You are on page 1of 38

ASUHAN KEBIDANAN INTRA NATAL CARE PADA NY.

W G4P3A1 UMUR 33 TAHUN


DENGAN USIA KEHAMILAN 37-38 MINGGU DENGAN EPILEPSI DI RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH TANJUNGPINANG
TAHUN 2022

LAPORAN KASUS
UNTUK MEMENUHI SALAH SATU SYARAT MENYELESAIKAN
MATA KULIAH PRAKTIK KLINIK KEBIDANAN (PK KDK)

DISUSUN OLEH:

NAMA : RAHMI UMAYYAH


NIM : PO7224221 2078
KELAS : 2B KEBIDANAN

DOSEN PEMBIMBING :
RAWDATUL JANNAH, SKM
CLINICAL INSTRUKTUR :
MARIANI Amd.Keb

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES TANJUNG PINANG

PRODI DIII KEBIDANAN


TAHUN 2022
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL LAPORAN :ASUHAN KEBIDANAN INTRA NATAL CARE PADA NY. W G4P3A1
UMUR 33 TAHUN DENGAN USIA KEHAMILAN 37-38 MINGGU
DENGAN EPILEPSI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
TANJUNGPINANG TAHUN 2022
NAMA MAHASISWA : RAHMI UMAYYAH
NIM : PO7224221 2078
JURUSAN : DIII KEBIDANAN

Tanjungpinang, 17 September 2022

Mengetahui,

CLINICAL INSTRUKTUR DOSEN PEMBIMBING

MARIANI Amd, Keb RAWDATUL JANNAH, SKM


NIP : 1977070092010012008 NIP : 1988 1015 2010 12 2004
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya saya tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai penugasan dari mata kuliah Asuhan Kebidanan Kehamilan dengan
judul “asuhan kebidanan intra natal care pada ny. W g4p3a1 umur 33 tahun dengan usia kehamilan
37-38 minggu dengan epilepsi di rumah sakit umum daerah
Tanjungpinang Tahun 2022”.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1. Iwan Iskandar, SKM, MKM selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Tanjungpinang.
2. Rahmadona, M. Keb selaku Ketua Prodi Kebidanan Poltekkes Kemenkes Tanjungpinang
3. Rawdatul Jannah, SKM, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan
dalam penulisan laporan ini.
4. Mariani Amd.Keb selaku pembimbing dilapangan yang memberi bimbingan dan
pengarahan dalam melaksanakan praktik klinik kebidanan (PK KDK) dan penulisan
laporan ini.
5. Ny. ”W” yang bersedia untuk diambil sebagai klien dalam pembuatan laporan tugas ini.

Saya sangat berharap dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat. Namun dalam pembuatan
makalah ini tentu saja masih banyak kekurangan. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca untuk membuat perbaikan makalah saya ini dimasa yang akan datang.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita
semua.

Tanjungpinang, 17 September 16,2022


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Epilepsi merupakan kelainan neurologik, dimana pada ibu hamil membutuhkan
tata laksana yang adekuat dan tanpa beresiko baik terhadap ibu/bayi (Laidlaw, 1988;
Gilroy, 1992). Menurut statistik Amerika Serikat, 0.5% kehamilan dijumpai pada wanita
epilepsi. Resiko pada wanita epilepsi yang hamil lebih besar dari pada wanita normal
yang hamil. Untuk menanggulangi banyak resiko, maka dokter ahli kandungan dan
dokter ahli neurologi bekerjasama agar bayi dan ibu mengalami keselamatan jasmani dan
rohani. Angka kematian neonatus pada pasien epilepsi yang hamil adalah tiga kali
dibandingkan populasi normal (Gilroy, 1992).

Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi bervariasi. Kira-kira ¼ kasus frekuensi


bangkitan akan meningkat terutama pada trimester terakhir. Seperempatnya lagi menurun
dan separuhnya tidak mengalami perubahan selama kehamilan (Holmes, 1985; Shorvon,
1988).

Pengobatan wanita epilepsi yang hamil pada umumnya dilakukan menurut prinsip
yang sama seperti pada pasien tidak hamilo. Resiko yang dialami janin karena bangkitan
yang dialami ibu mungkin sama besar dengan yang disebabkan obat anti epilepsi.
Malformasi yang disebabkan terapi obat anti epilepsi akan terjadi pada 4-8 minggu
pertama dalam pertumbuhan janin (Shorvon, 1988).

Pada masa lalu, perempuan dengan epilepsi disarankan untuk tidak memiliki anak
dan sebagian besar negara memiliki hukum yang menghambat pernikahan bagi mereka
yang memiliki epilepsi tetapi perilaku ini telah secara bertahap memberikan jalan bagi
sebuah suasana dimana pernikahan dan keibuan menjadi sesuatu yang dapat diterima bagi
perempuan dengan epilepsi, dan manajemen kehamilan pada perempuan dengan epilepsi
semakin mendapatkan perhatian dari neurolog dan dokter lain4.
Sebagian besar perempuan dengan epilepsi saat ini dapat memiliki dan
membesarkan anak yan normal dan sehat, tetapi kehamilan mereka memiliki peningkatan
risiko untuk komplikasi. Kehamilan dapat menyebabkan eksaserbasi frekuensi bangkitan
pada beberapa perempuan dengan epilepsi, dan baik epilepsi maternal dan paparan obat
antiepileptik in utero dapat meningkatkan risiko terjadinya outcome yang merugikan pada
anak yang dilahirkan dari ibu dengan epilepsi. Outcome ini termasuk kematian janin dan
kematian perinatal, malformasi dan anomali kongenital, perdarahan neonatal, berat badan
lahir rendah, keterlambatan perkembangan, dan epilepsi masa kanakkanak5. Mengacu
pada bahasan di atas, perempuan hamil dengan epilepsi dihadapkan pada kondisi yang
unik. Penghentian sama sekali OAE juga bukan suatu keputusan yang realistik. Satu sisi,
kehamilannya mempunyai risiko untuk meningkatkan serangan, di sisi lain penggunaan
OAE umumnya mempunyai efek teratogenik. Penanganan epilepsi pada perempuan
hamil perlu direncanakan secara cermat.

Pada kejadian epilepsi biasanya diperlukan terapi obat antiepilepsi jangka


panjang.Studi terbaru di negara yang berpenghasilan rendah dan menengah menunjukkan
bahwa hingga 70% anak-anak dan orang dewasa dengan epilepsi berhasil diobati (yaitu
kejang mereka sepenuhnya terkontrol) dengan OAE dan setelah 2-5 tahun menjalani
pengobatan, anak berhasil dan bebas dari kejang, obat dapat dihentikan pada sekitar 70%
anak-anak dan 60% orang dewasa tanpa kambuh lagi.

Tujuan dari pengobatan epilepsi adalah bebasnya kejang tanpa menimbulkan efek
samping seperti mual, muntah, keluhan pencernaan, penambahan berat badan. Dari
beberapa obat anti epilepsi yang ada, asam valproat adalah obat yang paling sering
diberikan. Namun dari beberapa penelitian sebelumnya ditemukan bahwa obat anti
epilepsi golongan Asam valproat dengan penggunaan minimal 6 bulan dapat
mempengaruhi pertumbuhan pada anak seperti penambahan berat badan. Seperti
penelitian yang dilakukaan di rumah sakit Al-Azhar University selama periode dari Juni
2011 hingga Juni 2012 ditemukan adanya peningkatan yang signifikan dari berat badan
dan penurunan tinggi badan dengan penggunaan 6 bulan dan 1 tahun.Kemudian
penelitian yang dilakukan oleh Hongliang dkk di Cina menyatakan efek samping asam
valproat adalah peningkatan berat badan yang cukup besar.
Atas dasar hasil evaluasi tersebut maka diperlukan pembaharuan terapiyang dapat
berupa perubahan dosis, perubahan jenis, penambahan OAE lebih dari satu jenis
(politerapi) atau penghentian obat. Untuk politerapi, harus dipertimbangkan dengan baik
agar dapat diperoleh efektivitas yang lebih tinggi tanpa disertai efek samping.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini adalah :“ Bagaimana gambaran kehamilan pada Ny”W” dengan riwayat
epilepsi dan risiko komplikasi kehamilan dengan geralan janin tidak teraba di Rumah
Sakit Umum Daerah?

C. Tujuan
a. Tujuan umum
Melaksanakan asuhan kebidanan pada Ny. “W” G4P3A1 usia kehamilan 37-38
minggu dengan riwayat epilepsy dan Gerakan janin tidak teraba dengan penkes
komplikasi yang terjadi:
a. Ibu mengetahui tentang kehamilan
b. Ibu dengan riwayat epilepsi

b. Tujuan khusus
1. Mampu melakukan pengkajian data pada ibu hamil.
2. Mampu melakukan pemeriksaan fisik pada ibu hamil.
3. Melakukan diagnosis dan masalah potensial.
4. Mampu menyusun langkah-langkah dalam menyusun manajemen
kebidanan.
5. Mampu mendokumentasikan SOAP

D. Waktu dan Tempat Pengambilan Kasus


1. Waktu
Pelaksanaan tinjauan kasus dilaksanakan pada tanggal 17 September 2022
2. Tempat
Tempat pengambilan kasus di Rumah Sakit Umum Daerah
E. Manfaat.
a. Manfaat Teoritis
Pengembangan ilmu pengetahuan mengenai ada tidaknya hubungan dan
antara kepatuhan minum obat dengan kualitas hidup pasien epilepsi.
Menjadi sumber referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai
hubungan kepatuhan minum obat serta kaitannya dengan kualitas hidup.
b. Manfaat Praktis
Diharapkan tenaga medis dapat memberikan pelayanan yang tepat
terhadap pasien epilepsi khususnya mengenai kepatuhan minum obat
terhadap kualitas penderita epilepsi
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
1.1 Kehamilan

Masa kehamilan dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin. Lamanya


hamil normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari) dihitung dari hari
pertama haid terakhir. Kehamilan dibagi dalam 3 triwulan yaitu triwulan pertama
dimulai dari konsepsi sampai 3 bulan, triwulan kedua dari bulan keempat sampai
6 bulan, triwulan ketiga dari bulan ketujuh sampai 9 bulan (Saifuddin, 2009: 89).
Dari berbagai pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa kehamilan
merupakan proses yang terdiri dari ovulasi, konsepsi, pertumbuhan zigot, nidasi
hasil konsepsi, pembentukan plasenta, dan tumbuh kembang hasil konsepsi
hingga lahirnya janin. Kehamilan berlangsung sampai lahirnya janin pada usia
kurang lebih 9 bulan lebih 7 hari atau 40 minggu

1.2 Proses kehamilan


Proses kehamilan dimulai dengan terjadinya konsepsi. Konsepsi adalah
bersatunya sel telur (ovum) dan sperma. Proses kehamilan (gestasi) berlangsung
selama 40 minggu atau 280 hari di hitung dari hari pertama menstruasi terakhir.
Usia kehamilan sendiri adalah 38 minggu, karena dihitung mulai dari tanggal
konsepsi (tanggal bersatunya sel sperma dengan telur) yang terjadi dua minggu
setelahnya (Sulistyawati, 2010:4).

Fertilisasi pada manusia ini diawali dengan terjadinya persetubuhan


(koitus). Fertilisasi merupakan peleburan anatara inti spermatozoa dengan inti sel
telur. Proses fertilisasi ini dapat terjadi di bagian ampula tuba falopi atau uterus
yang berhasil menemukan ovum akan merusak korona radiata dan zona pelusida
yang mengelilingi membran sel ovum, lalu spermatozoa akan melepaskan enzim.
Enzim dari banyak spermatozoa akan merusak korona radiata dan zona pelusida
sehingga spermatozoa berhasil menembus membran sel ovum, konfigurasi
membran ovum langsung berubah sehingga spermatozoa lain tidak. Spermatozoa
menuju masa apa saja uang berbentuk telur yang ditemuinya, dan hanya sedikit
yang mencapai ovum sebenarnya. Spermatozoa dapat msuk. Hanya kepala
spermatozoon yang masuk ke dalam ovum, bagian ekor akan ditinggalkan. DNA
dalam nukleus spermatozoon akan dilepaskan dari kepala, memicu pembelahan
miosis akhir pada kromosom wanita. Bersatunya inti spermatozoon dan inti sel
telur akan tumbuh menjadi zigot. Zigot mengalami pertumbuhan dan
perkembangan melalui 3 tahap selama kurang lebih 280 hari.

Tahap-tahap ini meltiperiode implamantasi (7 hari pertama), periode


embrionik (7minggu berikutnya), dan periode fetus (7 bulan berikutnya). Selama
2-4 hari pertama setelah fertilisasi, zigot berkembang dari satu sel menjadi
kelompok 16 sel (morula). Morula kemudian tumbuh dan berdiferesiasi menjadi
100 sel. Selama periode ini zigot berjalan di sepanjang tuba falopi,setelah itu
masuk ke uterus dan tertanam dalam endomentrium uterus. Perkembangan Janin
di Dalam Uterus (Sulistyawati, 2010:89).

a) Trimester pertama (minggu 0-12)


Dalam fase ini ada tiga periode penting pertumbuhan mulai dari
periode germinal sampai periode terbentuknya janin (Kusmiyati,
2009:67).
1) Periode germinal (minggu 0-3). Proses pembuhan telur oleh
sperma yang terjadi pada minggu ke-2 di hari pertama
menstruasi terakhir. Telur yang sudah di buahi sperma
bergerak dari tuba falopi dan menempel di dinding uterus
(endrometrium).
2) Periode embrionik (minggu 3-8). Proses dimana sistem
saraf pusat, organ organ utama dan struktur anatomi mulai
tebentuk seperti mata, mulut dan lidah mulai terbentuk,
sedangkan hati mulai memproduksi sel darah. Janin mulai
berubah dari blastosit menjadi embrio berukuran 1,3cm
dengan kepala yang besar.
3) Periode fetus (minggu 9-12). Periode dimana semua organ
penting terus bertumbuh dengan cepat dan saling berkaitan
dan aktivitas otak sangat tinggi.
b) Trimester Ke-dua (minggu ke 12-24) Pada trimester kedua ini
terjadi peningkatan perkembangan janin. Pada minggu ke-18 kita
bisa melakukan pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) untuk
mengecek kesempurnaan janin, posisi plasenta dan kemungkinan
bayi kembar. Jaringan kuku, kulit serta rambut berkembang dan
mengeras pada minggu ke-20 dan ke-21. Indra pengliatan dan
pendengaran janin mulai berfungsi. Kelopak mata sudah dapat
membuka dan menutup. Janin (fetus) mulai tampak sosok manusia
dengan panjang 30cm (Kusmiyati, 2009:68).
c) Trimester Ketiga (minggu 24-40) Pada trimester ini semua oragan
tumbuh dengan sempurna. Janin menunjukkan aktivitas motorik
yang terkoordinasi menendang atau menonjok serta dia sudah
mempunyai periode tidur dan bangun. Massa tidurnya jauh lebih
lama dibandingkan masa bangun. Paru-paru berkembang pesat
menjadi sempurna. Pada bulan ke sembilan,janin mengambil posisi
kepala di bawah dan siap untuk dilahirkan. Berat bayi lahir anatara
3kg sampai 3,5kg dengan panajang 50cm (Kusmiyati, 2009:67)
1) Periode Germinal
Ovum yang kini berkembang menjadi blastosit, mencapau
uterus sekitar hari ke-5 setelah fertilisasi. Di uterus,
blastosit terletak dekat dengan endometrium selama satu
sampai dua hari untuk memungkinkan trofoblas menyekresi
enzim proteolik yang memecah permukaan endrometrium.
Dengan cara mencerna dan mencairkan sel-sel
endometrium uterus. Blastosit tertanam ke dalam
endometrium sehingga blastosit dapat dihidopi dan
melanjutkan perkembangan nya. Penonjolan kecil seperti
jari berkembangan di sekitar keseluruhan blastosit dan
trofoblas, membantu proses implantasi dan melekatkan
blastosit dengan kuat ke dalam endometirum. Tonjolan
tersebut disebut vili korionik primitif. Bebebrapa vili
korionik ini akan berkembang menjadi plasenta matur dan
sisanya akan atrofi dan menjadi membran korionik yang
memmbatasi janin dengan uterus. Implementasi plasenta
sempurna normalnya pada hari ke-11, setelah fertilisasi.
Begitu tertanam, endometrium disebut desidua. Desidua
menjadi beberapa kali lebih tebal dibandingkan dengan
endometrium tidak hamil akibat peningkatan kadar hormon
kehamilan dan desidua menghidupi ovum yang telah
dibuhai selama kehamilan.
2) Periode Embrionik
Begitu blastosit tertanam dalam disidua, maka ini disebut
sebagai embrioni. Tahapan embrio dimulai dari
perkembangan masa sel sejak implementasi sampai minggu
ke-8 kehamilan. Embrio berkembang dengan sangat cepat.
Tahap pertama perkembangan embrio adalah pembentukan
dua buah rongga tertutup yang saling berdekatan satu sama
lain yaitu rongga amnion dan yolk sac. Bagian embrio yang
terbentuk di antara kedua rongga ini disebut lempeng
embrionik. Ada tiga lapisan sel yang berkembang pada
lempeng embrionik.
i. Lapisan yang terdekat dengan rongga
amnion,disebut ektoderm, akan berkembang
mmenjadi kulit dan sistem syaraf pusat embrio.
ii. Lapisan tengah disebut mesoderm akan berkembang
menjadi tulang otot,jantung dan pembuluh darah
serta beberapa organ dalam seperti ginjal dan organ
reproduksi.
iii. Lapisan dalam yang terdekat dengan yolk sac
adalah endoderm. Endoderm akan berkembang
menjadi organorgan pencernaan,kelenjar dan
membran mukosa.

1.3 Diagnosis Tanda gejala kehamilan


Banyak manifestasi dari adaptasi fisiologis ibu terhadap kehamilan yang
mudah dikenali dan dapat menjadi petunjuk bagi diagnosis dan evaluasi kemajuan
kehamilan. Tetapi sayangnya proses farmakologis atau patofisiologis kadang
memicu perubahan endokrin atau anatomis yang menyerupai kehamilan sehingga
dapat membingungkan. Perubahan endokrinologis, fisiologis, dan anatomis yang
menyertai kehamilan menimbulkan gejala dan tanda yang memberikan bukti
adanya kehamilan. Untuk menegakkan kehamilan ditetapkan dengan melakukan
penilaian terhadap beberapa tanda dan gejala kehamilan (Marjati, 2011:34).
a. Tanda dugaan hamil
1) Amenorea (berhentinya menstruasi)
2) Mual (nausea) dan muntah (emesis)
3) Ngidam (menginginkan makan tertentu)
4) Syncope (pingsan)
5) Kelelahan
6) Payudara tegang
7) Sering miksi
8) Kontipasi atau obstipasi
9) Pigmentasi Kulit
Pigmentasi ini meliputi tempat-tempat berikut ini:
a) Sekitar pipi: cloasma gravidarum (penghitaman pada
daerah dahi, hidung, pipi, dan leher).
b) Sekitar leher tampak lebih hitam.
c) Dinding perut: strie lividae/gravidarum (terdapat pada
seorang primigravida, warnanya membiru), strie nigra,
linea alba menjadi lebih hitam (linea grisae/nigra).
d) Sekitar payudara: hiperpigmentasi aerola mamae sehingga
terbentuk areola sekunder. Pigmentasi areola ini berbeda
pada tiap wanita, ada yang merah muda pada wanita kulit
putih, coklat tua pada wanita kulit coklat, dan hitam pada
wanita kulit hitam. Selain itu, kelenjar montgometri
menonjol dan pembuluh darah menifes sekitar payudara
(Prawirohardjo, 2010:134).
e) Sekitar pantat dan paha atas: terdapat strie akibat
pembesaran bagian tersebut (Walyani, 2015: 71)
b. Tanda kemungkinan hamil (Problem sign)
a) Perubahan abdomen, yaitu perubahan ukuran uterus menyebabkan
pertambahan lingkar abdomen secara bertahap.
b) Perubahan uterus. Dimana dalam 12 minggu pertama uterus berbentuk
menjadi bulat kuat, membesar, lunak dan berbentuk seperti rongga.
c) Tanda hegar menggambarkan perlunakan ekstrem segmen bawah uterus
sampai kedaerah yang dapat dikompresi hampir setipis kertas (Reeder,
dkk. 2011:417).
d) Ballotement. Ketukan mendadak pada uterus menyebabkan janin
bergerak dalam cairan ketuban yang dapt dirasakan oleh tangan
pemeriksa (Ummi, dkk. 2011:72).
e) Perubahan serviks. Pada usia sekitar 8 minggu gestasi, serviks mulai
melunak dan lubang eksternal serviks memperlihatkan konsistensi atau
derajat pelunakan, seperti lobus telinga atau bibir (dikenal dengan istilah
tanda Goodell). Sebagai perbandingan konsistensi serviks pada wanita
yang tidak hamil terasa sama dengan ujung hidung (Reeder, dkk.
2011:417).
f) Kontraksi Braxton Hicks. Apabila uterus di rangsang atau distimulasi
dengan rabaan akan mudah berkontraksi (Sulistyawati, 2012:124).
Peregangan sel-sel otot uterus, akibat meningkatnya aktomiosin di
dalam otot uterus (Ummi, dkk. 2011:72).

c. Tanda pasti (positive sign)

Tanda pasti adalah tanda yang menunjukkan langsung keberadaan janin,


yang dapat dilihat langsung oleh pemeriksa (Walyani, 2015:73).

a) Terdengarnya bunyi jantung janin , tanda ini baru timbul


setelah kehamilan lanjut diatas empat bulan. Jika dengan
ultrasound bunyi jantung janin dapat didengar pada
kehamilan 12 minggu (Sunarti, 2013:59-60).
b) Melihat, meraba, atau mendengar pergerakan anak saat
melakukan pemeriksaan (Sunarti, 2013:60)
c) Melihat rangka janin pada sinar Ro atau dengan
menggunakan ultrasonografi (Sunarti, 2013:60)

1.4 Kehamilan terhadap epilepsy

Epilepsi pada kehamilan dibagi adlam 2 kelompok:

1. Yang sebelumnya sudah menderita epilepsi

2. Berkembang menjadi epilepsi selama hamil

Wanita-wanita yang mendapat bangkitan selama masa reproduksi, dapat


terjadi secara insidentil pada kehamilan(Laidlaw, 1988).

Hormon yang berpengaruh terhadap bangkitan pada ibu epilepsi yang


hamil adalah estrogen dan progesteron. Pada seorang wanita yang hamil kadar
estrogen dalam darah akan menurun,sehingga merangsang aktifitas enzim asam
glutamate dekarboksilase dan karena itu sintesa gamma amino butiric acid
(GABA) akan menurun dalam otak. Dengan menurunnya konsentrasi GABA di
otak akan merangsang bangkitan epilepsi (Laidlaw, 1988; Gilroy, 1992).

Pada kehamilan akan terjadi hemodilusi, dengan akibat filtrasi glomerulus


berkurang sehingga terjadi retensi cairan serta edema, akibatnya kadar obat dalam
plasma akan menurun. Retensi cairan yang terjadi menyebabkan hiponatremi.

Keadaan ini akan menimbulkan gangguan parsial dari “sodium pump”


yang mengakibatkan peninggian eksitabilitas neuron dan mempresitasi bangkitan
(Plum,1982: Laidlaw, 1988).

Pada pasien wanita epilepsi yang hamil sangat sulit untuk menduga
terjadinya bangkitan, karena fenomena ini tidak berhubungan dengan tipe
bangkitan selama menderita epilepsi (Yerby, 1991; Lander, 1992). Terjadinya
suatu bangkitan sangat berbahaya baik untuk ibu maupun fetus akibat trauma
yang timbul. Supresi detak jantung janin selama proses persalinan akibat
bangkitan yang timbul.

Penelitian prospektif yang dilakukan oleh Schmid dan kawan-kawan, ari


122 wanita hamil, ditemukan bahwa kehamilan tidak berpengaruh terhadap
frekuensi bangkitan pada 68 kehamilan (50%), jumlah bagkitan meningkat 37%,
dan frekuensi bangkitan menurun pada 13% (Laidlaw, 1988).

Studi terdahulu menemukan pasien-pasien dengan epilepsi yang berat


kemungkinan akan bertambah buruk, dan kadar obat anti epilepsi yang diminum
tidak sesuai, tetapi studi yang baru membuktikan bahwa perburukan tidak terjadi
(Holmes, 1985; Liadlaw, 1988)

Pada wanita hamil volume plasma meningkat kira-kira sepertiga pada


trisemester ketiga, hal ini disebabkan oleh efek dilusi. Penentuan danangka
penurunan dari konsentrasi obat anti epilepsi berbeda ubtuk setiap jenis obat.
Penurunan kadar obat dalam adrah untuk fenitoin kira-kira 80% terjadi pada
trisemester pertama, juga serupa dengan fenobarbital. Untuk karbamazepin
terbesar penurunannya pada trisemester ketiga (Yerby,1991).

Pada wanita hamil dengan bangkitan dan telah mendapat obat anti epilepsi
maka pemeriksaan yang perlu dilakukan yaitu:

1. pemeriksaan kadar obat dalam darah

2. EEG

3. CT Scan, bila ada kelainan neurologik, dilakukan tergantung pada stadium


kehamilan.

Perubahan-perubahan konsentrasi obat anti epilepsi secara teratur harus


dimonitor setiap bulan.

a) Komplikasi Kehamilan

Wanita epilepsi lebih cenderung memperoleh komplikasi


obstetrik adlam masa kehamilan dari pada wanita penduduk rata-rata.
Pengaruh epilepsi terhadap kehamilan yaitu:

1. Melahirkan bayi prematur, didapat 4-11%

2. Berat badan lahir rendah, kurang dari 2500 gr, ditemukan pada
7 – 10%

3. Mikrosefali

4. Apgar skor yang rendah (Yerby, 1991)

Hiilesmaa mengikuti 138 kehamilan wanita epilepsi


dibandingkan dengan 150 orang sebagai kontrol, yang sesuai adalah
umur, paritas, sosial ekenomi dan jenis kelamin fetus. Beberapa
peneliti tak dapat membuktikan bahwa komplikasi pada kehamilan
tidak lebih besar pada wanita epilepsi (Laidlaw, 1988).

b) Komplikasi persalinan

Neonatus wanita epilepsi yang hamil mengalami lebih banyak


resiko karena kesukaran yang akan dialami ketika partus berjalan.
Partus prematur lebih sering terjadi pada wanita epilepsi. Penggunaan
obat anti epilepsi mengakibatkan kontraksi uterus yang melemah,
ruptur membran yang terlalu dini. Oleh karena itu maka partus wanita
epilepsi hampir selalu harus dipimpin oleh pakar obstetrik.
Penggunaan firsep atau vakum sering dilakukan dan juga seksio
saesar. (dikutip dari Warta Epilepsi. 1992)

Teramo dan kawan-kawan (1985) menemukan, tak seorangpun


dari 170 bangkitan umum pada 48 kehamilan yang diikuti selama 24
jam menunjukkan komplikasi obstetrik (laidlaw, 1988).

Komplikasi persalinan baik untuk ibu dan bayi adalah:

 Frekuensi bangkitan meningkat 33%

 Perdarahan post partum meningkat 10%

 Bayi mempunyai resiko 3% berkembang menjadi epilepsi

 Apabila tanpa profilaksis vitamin K yang diberikan pada ibu,


terdapat resiko 1)% terjadi perdarahan perinatal pada bayi
(Johnston, 1992)

c) Pengobatan / Tata laksana


Seorang wanita epilepsi yang merencanakan untuk hamil selalu
khawatir terhadap janin, kehamilan, perkembangan danperawatan
bayi. Hal ini membutuhkan pengawasan khusus, baik sebelum dan
selama hamil, dan penyuluhan prekonsepsi haruslah merupakan bagian
yang penting untuk pencegahan dan persiapan (Laidlaw, 1988).

d) Efek Terotogenik Obat Anti Epilepsi

Hipotesa mekanisme terjadinya teratogenisitas obat anti epilepsi


adalah:

1. Metabolisme obat anti epilepsi terjadi melalui komponen arene


oksid atau epoksid, yang sebagian besar merupakan komponen
reaktif yang bersifat teratogenik.

2. Kelainan genetik yang disebabkan oleh hidrolase epoksid


meningkatkan resiko terhadap toksisitas fetus, atau alternatif
lain

3. Radikal bebas yang dihasilkan dari metabolisme obat anti


epilepsi danbersifat sitotoksik.

4. Kelainan genetik yang disebabkan oleh “free radical


scavenging activity” meningkatkan resiko terhadap toksisitas
fetus (Yerby,1991; Johnston,1992)

Konsentrasi obat anti epilepsi dalamplasma wanita hamil yang


akan melahirkan bayi malformasi selalu lebih tinggi dari pada kadar
obat anti epilepsi pada wanita epilepsi hamil yang melahirkan tanpa
malformasi. Para wanita epilepsi yang hamil dengan menggunakan
berbagai jenis obat anti epilepsi lebih mudah melahirkan bayi dengan
malformasi dari pada wanita epilepsi wanita epilepsi yang hamil
memakai obat epilepsi tunggal. Sudah barang tentu multipel dan
penggunaan dosis tinggi berhubungan dengan jenis epilepsi yang tidak
mudah terkontrol. (Dikutip dari Warta Epilepsi, 1992).

Malformasi fetal yang berhubungan dengan obat-obat anti


epilepsi,lagi pula dengan adanya kemungkinan neonatus cacad akibat
malformasi dan anomali kongenital. Studi Meadow (1968), yang
mencakup kasus kehamilan sejumlah 427 pada 186 wanita epilepsi
yang menggunakan obat anti epilepsi, menemukan anak dengan cacad
(bibir dan langit-langit sumbing) yang berjumlah cukup banyak.
Meadow dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa malformasi
kongenital pada anak yang terkena efek obat anti epilepsi adalah 2 kali
lebih sering dibandingkan anak yang tidak terkena efek obat anti
epilepsi (Yerby, 1991). Malformasi untuk populasi rata-rata berkisar
antara 2-3%, sedangkan untuk bayi yang dilahirkan oleh ibu epilepsi
antara 1,25 – 11% (Yerby,1991). Menurut peneliti lain berkisar 4-6%
(Johnston, 1992)

e) Obat-obat anti epilepsi

Penelitian pada binatang telah terbukti bahwa semua obat-obat


anti epilepsi adalah bersifat teratogenik dan dihubungkan dengan kadar
obat anti epilepsi misalnya fenitoip, berakibat malformasi pada tikus,
tergantung pada jenis tikus dandosis yang diberikan. Salah satu bentuk
malformasi tersebut adalah palatum yang terbelah dan ini merupakan
malformasi yang terbanyak tampak pada epilepsi (Laidlaw, 1988;
Hirano, 1989). Umumnya obat anti epilepsi yang digunakan adalah
fenitoin,karbamazepin, dan sodium valproat, dihubungkan dengan
malformasi konginetal minor seperti wajah dismorfik dan hipoplasia
phalang distal. Trimetadion dihubungkan dengan abnormalitas berat,
dan fenobarbital adalah obat anti epilepsi yang paling rendah
toksisitasnya (laidlaw, 1988; Adams, 1989; Johnston, 1992).
1.5 Dampak epilepsy terhadap kehamilan
Sekitar 30% perempuan hamil yang sudah mendapat terapi
mengalami kenaikan frekuensi bangkitan. Risiko paling tinggi dihadapi
oleh mereka yang sudah memiliki bangkitan lebih dari satu kali sebelum
hamil. Risiko paling rendah terjadi pada mereka yang pada masa sebelum
kehamilan hanya mengalami bangkitan kurang dari satu kali dalam
sembilan bulan.
Fungsi ginjal juga meningkat dengan adanya peningkatan
creatinine clearance 50% yang berdampak pada metabolisme. Hal ini akan
menurunkan kadar OAE dalam sirkulasi darah, sehingga kebutuhan OAE
meningkat. Selain itu, estrogen yang bersifat Sebaliknya, progesteron yang
bersifat antiepileptik akan meningkat pada fase luteal dalam siklus
menstruasi sehingga pada masa itu frekuensi bangkitan akan turun.
Pada kehamilan akan terjadi hemodilusi, dengan akibat filtrasi
glomerulus berkurang sehingga terjadi retensi cairan serta edema,
akibatnya kadar obat dalam plasma akan menurun. Retensi cairan yang
terjadi menyebabkan hiponatremi. Keadaan ini akan menimbulkan
gangguan parsial dari sodium pump yang mengakibatkan peninggian
eksitabilitas neuron dan mempresipitasi bangkitan.

Secara ringkas, beberapa penyebab yang dideteksi memicu


kenaikan frekuensi bangkitan adalah :

1. Faktor hormonal, peningkatan estrogen yang bersifat


epileptogenik,
2. Metabolik, yaitu peningkatan sodium dan retensi cairan,
3. Psikologik dan emosional, yaitu kecemasan atau ketegangan
yang cenderung meningkat serta gangguan tidur
4. Farmakokinetik yaitu gangguan ikatan protein atau protein
binding plasma dan absorbsi OAE
5. Kurangnya ketaatan pasien selama kehamilan terhadap terapi
yang disebabkan karena malas, bosan atau adanya mual-
muntah selama kehamilan maupun kekawatiran terhadap efek
samping obat.

Kebanyakan perempuan dengan epilepsi telah mengalami


bangkitan sebelum kehamilan. Meskipun jarang terjadi, beberapa
perempuan dengan epilepsi mungkin mengalami bangkitan hanya selama
kehamilan, yang disebut dengan gestational epilepsy. Perempuan tersebut
akan bebas bangkitan diantara kehamilan. Sebuah subkelompok lain
(gestational onset epilepsy) mungkin mengalami bangkitan pertama
mereka ketika hamil dan setelah itu mungkin terus mendapatkan bangkitan
rekuren spontan. Sekitar 1% hingga 2% perempuan dengan epilepsi
mungkin mengalami status epileptikus selama kehamilan, yang
berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi.

Bayi dari ibu yang menderita epilepsi memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk sejumlah outcome kehamilan yang merugikan. Di antaranya
adalah kematian janin, malformasi kongenital, perdarahan neonatus, berat
badan lahir rendah, keterlambatan perkembangan, kesulitan makan, dan
epilepsi masa kanak-kanak. Sejumlah data epidemiologi menunjukkan,
anak dari perempuan penderita epilepsi mengalami cacat lahir sekitar 2–3
kali lebih tinggi dari populasi umum. Di seluruh dunia, sekitar 40.000 bayi
setiap tahun terpajan OAE di dalam kandungan. Diperkirakan sekitar
1.500- 2.000 dari bayi tersebut mengalami cacat lahir sebagai dampak
OAE tersebut.

Bangkitan selama kehamilan meningkatkan risiko outcome


kehamilan yang merugikan. Bangkitan pada trimester pertama diketahui
meningkatkan risiko malformasi kongenital pada keturunan 12,3%
berbanding 4% dengan anak yang terpapar dengan bangkitan maternal
pada waktu yang lain. Bangkitan umum tonik-klonik meningkatkan risiko
hipoksia dan asidosis dan juga cedera karena trauma benda tumpul.
Peneliti dari Kanada menemukan bahwa bangkitan maternal selama
kehamilanepileptogenik meningkat selama kehamilan dan mencapai
puncaknya pada trimester ke tiga. Hal itu berdampak pada peningkatan
frekuensi bangkitan meningkatkan risiko keterlambatan perkembangan.
Meski jarang terjadi, status epileptikus dapat menyebabkan tingkat
mortalias yang tinggi bagi ibu dan anak. Di dalam sebuah penelitian
terhadap 29 kasus yang dilaporkan, 9 ibu dan 14 anak meninggal selama
atau sesaat setelah episode status epileptikus. Anak dari seorang
perempuan yang memiliki tiga kali bangkitan tonik klonik umum selama
kehamilannya, dapat menyebabkan perdarahan intraserebra:

1. Kematian Janin
2. Perdarahan Neonatus
3. Berat Badan Lahir Rendah
1.6 Nama Obat Anti Epilepsi
a. Trimetadion
Dapat mengakibatkan kelainan pada janin yang spesifik
disebut sindrom trimetadion fetus. German dan kawan-
kawan (1970) melaporkan bahwa dalam satu keluarga
terdapat 4 bayi yang mengalami malformasi dilahirkan dari
ibu yang menderita epilepsi dengan menggunakan obat ini;
studi lanjutan mengkonfirmasi terhadap resiko tinggi pada
sindrom ini,yang mana dapat menyebabkan perkembangan
yang lambat, anomali kraniofasial dan kelainan jantung
bawaan. Golongan obat ini tidak digunakan pada kehamilan
(Laidlaw, 1988; Gilroy, 1992; Johnston, 1992)

b. Fenitoin

Obat ini digunakan sangat luas sebagai obat anti


epilepsi pada kehamilan danmempunyai efek teratogenik.
Terdapat kejadian sedikit yang menyebabkan malformasi
mayor pada manusia. Sampai sekarang sebagian besar
pasien-pasien diobati dengan beberapa obat anti
epilepsi,sehingga sulit untuk mengevaluasi efek obat secara
individual. Angka malformasi total pada 305 anak yang
dilahirkan oleh ibu tanpa epilepsi adalah 6,4 % (laidlaw,
1988; Yerby,1991; Johnston, 1992) Penggunaan fenitoin
dapat mengakibatkan terjadinya sindrom hidantoin fetus.
Sindrom ini pertama kali diperkenalkan oleh Hanson dan
Smith (1975)untuk menggambarkan pola abnormalitas
yang diamati pada neonatus, dimana ibu epilepsi yang
hamil diberikan obat fenitoin, biasanya dikombinasi dengan
fenobarbital. Sindrom ini terdiri dari abnormalitas
kraniofasial,kelainan anggota gerak, defisiensi
pertumbuhan, retardasi mental baik ringan atau sedang
(Gilroy, 1992). Studi prospektif dari 35 bayi pada prenatal
diberi obat golongan hidantoin, Hansons dan kawan-kawan
(1976) menemukan 11% mempunyai gambaran sebagai
sindroma ini (laidlaw, 1988’ Yerbi, 1991). Dosis fenitoin
antara 150-600 mg/hari.

c. Sodium Valproat

Obat ini relatif baru dan sedikit data yang berefek


pada uterus. Penggunaan obat ini dapat mengakibatkan
kelainan pada janin berupa sindrom valproat fetus. Pernah
dilaporkan terhadap 7 bayi yang dilahirkan dari ibu epilepsi
yang menggunakan obat ini berupa kelainan pada wajah
dengan ciri-ciri: lipatan epikantus inferior, jembatan hidung
yang datar, filtrum yang dangkal (Yerby, 1991). Obat ini
pada manusia dapat menembus plasenta secara bebas dan
memberikan dosis yang lebih tinggi pada neonatus dari ibu.
(Laidlaw, 1988). Pada studi prospektif dari 12 bayi, pada
anternatal diberikan sodium valproat menunjukkan
semuanya normal. Pada kasus sporadik pernah dilaporkan
bahwa obat ini dapat menyebabkan kelainan “neural tube
defect”. Pada wanita epilepsi yang hamil bila diberikan
obat ini dapat menyebabkan kelainan tersebut kira-kira
1,2% (Laidlaw, 1988; Gilroy,1992; Johnston, 1992). Dosis
sodiumm valproat antara 600-3000 mg/hari

d. Karbamazepin

Obat ini tidak terlibat pada malformasi mayor tetapi


dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan kepala janin.
Hiilesmaa dan kawan-kawan (1981) didalam penelitiannya
terhadap 133 wanita menunjukkan bahwa penggunaan obat
ini (tunggal) atau kombinasi dengan fenobarbital dapat
menyebabkan retardasi (Laidlaw, 1988). Juga pernah
dilaporkan dari 25 anak dari ibu yang menggunakan obat
karbamazepin tunggal ditemukan 20% dengan gangguan
perkembangan (Yerby, 1991). Belakangan ini dilaporkan
bahwa karbamazepin mengakibatkan meningkatnya kasus
spina bifida sebanyak 0,5 – 1,0%

e. Fenobarbital

Terdapat sedikit keterangan mengenai teratogenik


dari obat ini, studi awalmengatakan bahwa sebagian besar
manita epilepsi mendapat kombinasi antara fenotoin dan
fenobarbital. Efek teratogenik obat ini kurang bila
dibandingkan dengan obat anti epilepsi lain dan pada
manusia, Shapiro dan kawan-kawan (1976) menemukan
fenobarnbital tidak menyebabkan meningkatnya angka
malformasi (Laidlaw, 1988; Yerby,1991). Pemakaian obat
ini dapat mengakibatkan sindrom fenobarbital fetus, yang
berupa Dismorfim wajah, gangguan pertumbuhan pre dan
postnatal, perkembangan lambat (Yerby, 1991). Bagian
Obstetri dan Ginekologi Akademi Amerika menganjurkan
pemakaian fenobarbital sebagai obat pilihan untuk wanita
epilepsi yang hamil (Yerby,1991). Sullivan (1975), pada
penelitiannya terhadap tikus yang hamil diberikan obat ini
mengakibatkan bibir and palatum sumbing berkisar antara
0.6 – 3.9% (Yerbi, 1991). Dosis Fenobarbital antara 30 –
240 mg/hari

BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
Asuhan Kebidanan Pada Ibu Hamil Kunjungan Ulang Ny. W G4P3A1 Usia 33 tahun
dengan usia kehamilan 37-38 minggu Di Rumah Sakit Umum Daerah

Tanggal Kunjungan : 17 September 2022


Tempat Pengkajian : Rumah Sakit Umum Daerah
Pengkaji : Rahmi Umayyah

SUBJEKTIF
Identitas Pasien
Nama Ibu : Ny. W Nama Suami : Tn. A
Umur : 33 tahun Umur : 35 tahun
Suku/Bangsa : Melayu Suku/Bangsa : Melayu
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMP Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Wiraswasta
Gol.Darah :- No. Telp :-
Alamat : Jl.Sultan Sulaiman

Keluhan Utama : Ibu mengalami kejang kejang

Riwayat Haid
Menarche : 12 tahun Disminore : Tidak ada
Siklus : 28 hari Banyaknya : 3 kali ganti pembalut
Teratur / tidak : Teratur HPHT : 6 - 01 - 2022
Lama Haid : 6-7 hari TP : 13- 09- 2022
Warna : Merah UK : 37-38 Minggu

Riwat Kehamilan Saat Ini


Keluhan-keluhan pada :
a. Trimester I : Mual dan muntah
b. Trimester II : Pusing
c. Trimester III : Tidak ada
Pemeriksaan Laboratorium
Protein Urine : Tidak dilakukan
Glukosa Urine : Dilakukan
HB : Dilakukan

Riwayat Imunisasi
TT1 : Ada TT4 : Ada, saat pra nikah (catin)
TT2 : Ada, saat SD TT5 : Ada saat hamil
TT3 : Ada, saat SD

Riwayat Penyakit Yang Menyertai Kehamilan Saat Ini


Jantung : Tidak ada DM : Tidak ada
Ginjal : Tidak ada Hipertensi : Tidak ada
Asma : Tidak ada Hepatitis : Tidak ada
TBC : Tidak ada PMS : Tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga
Jantung : Tidak ada DM : Tidak ada
Ginjal : Tidak ada Hipertensi : Tidak ada
Asma : Tidak ada Hepatitis : Tidak ada
Epilepsi : Ada PMS : Tidak ada
Riwayat Perkawinan
Perkawinan ke : 1
Status perkawinan : Sah
Lama Menikah : 17 tahun
Menikah pada usia : 16 tahun
Riwayat Kontrasepsi
Rencana pakai KB : Ada
Jenis KB yang pernah dipakai : Tidak ada
Jenis KB yang ingin dipakai : Tidak ada
Kapan berhenti menjadi akseptor : Tidak ada
Alasan berhenti menjadi akseptor : Tidak ada

Riwayat Psikososial
Keadaan emosional : Stabil
Pandangan ibu terhadap kehamilan : Senang
Pandangan suami terhadap kehamilan : Senang
Pengambil keputusan dalam keluarga : Suami
Jenis kelamin anak yang diinginkan : Apa saja.

Perencanaan Persiapan Persalinan


Tempat akan bersalin : Rumah Sakit
Penolong persalinan : Dokter
Transportasi : Mobil
Nama calon donor darah : Keluarga
Pendamping persalinan : Suami
Jaminan kesehatan : BPJS

Pemenuhan Kebutuhan Rutin


Nutrisi
a. Makanan
Jenis makanan : Nasi, ayam, ikan, sayur
Frekuensi : 2-3 kali sehari
Porsi : Sedikit tapi sering
Masalah : Mual
b. Minuman
Jenis : Air Putih, susu ibu hamil
Frekuensi : ±7-8 gelas sehari air putih
Masalah : Tidak ada

Eliminasi
a. BAB b. BAK
Frekuensi : 1 kali sehari Frekuensi : 3-4 kali sehari
Warna : kecoklatan Warna : Kuning jernih
Konsistensi : lunak Masalah : Tidak Ada
Masalah : Tidak Ada
c. Personal Hygine d. Istirahat
Ganti pakaian dalam : 2 kali sehari Tidur malam : ± 6-7 jam
Gosok gigi : 2 kali sehari Tidur siang : ± 1 jam
Mandi : 2 kali sehari Masalah :Tidak ada
Keramas : 4 kali seminggu

Aktivitas Sehari-hari
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Olahraga : Tidak ada
Seksualitas : 1 kali seminggu

OBJEKTIF
Pemeriksaan Umum
KU : Baik Kesadaran : Composmentis
TD : 113/40 mmHg BB Sebelum : 50 kg
RR : 23 kali/menit BB sekarang : 55 kg
S : 36,8°C TB : 155 cm
N : 82×/menit LILA : 24 cm
Pemeriksaan Fisik
Kepala
Rambut : Lurus, hitam, tidak berketombe
Kebersihan : Bersih
Mata
a. Kanan
Konjungtiva : Merah muda
Sclera : Tidak kuning
b. Kiri
Konjugtiva : Merah muda
Sclera : Tidak kuning
Muka
Oedema : Tidak ada
Pucat/tidak : Tidak pucat
Chlosmagravidarum : Tidak ada
Hidung
Bentuk : Simetris
Polip : Tidak ada
Mulut
Stomatitis : Tidak ada
Gigi berlubang : Ada
Telinga
a. Kanan
Bentuk : Simetris
Pengeluaran : Tidak ada
b. Kiri
Bentuk : Simetris
Pengeluaran : Tidak ada
Leher
Kelenjar tyroid : Tidak ada pembengkakan
Vena jugularis : Tidak ada pembesaran
Dada
Pembesaran mamae : Ada
Areola mamae : Hiperpigmentasi
Puting susu : Menonjol
Kebersihan : Bersih
Pengeluaran : Belum ada
Abdomen:
Pembesaran perut : Sesuai Usia kehamilan
Luka bekas operasi : Tidak ada
Linea : Tidak ada
Strie : Tidak ada
Palpasi
TFU : 2 Jari dibawah px
Leopold I : TFU 33cm, teraba lunak (Bokong)
Leopold II : Bagian kiri teraba bagian kecil (Ekstremitas)
Bagian kanan teraba keras (Punggung)
Leopold III : Pada bagian bawah perut ibu teraba satu bagian bulat,
keras dan tidak dapat digoyangkan
Leopold IV :kepala bayi sudah turun sampai rongga tulang panggul
(jalan lahir)

Auskultasi
DJJ :158 x/mnt
Irama : Teratur
Genitalia
Kemerahan : Tidak dilakukan Haemoroid : Tidak dilakukan
Varises : Tidak dilakukan Odema : Tidak dilakukan
Ekstremitas
Odema : Tidak ada
Refleks Patella : Ka/Ki : +/+

Pemeriksaan panggul luar


Distansi Aspinarum : Tidak dilakukan
Distansi Achristarum : Tidak dilakukan
Conjugate Eksterna : Tidak dilakukan
Lingkar Panggul : Tidak dilakukan

Pemeriksaan Penunjang
Protein Urine : Tidak dilakukan HIV/AIDS : Dilakukan
Glukosa Urine : Dilakukan HbsAg : Dilakukan
HB : Dilakukan

. ASSESMENT
Diagnosis : Ny. W usia kehamilan 37-38 minggu umur 33
Masalah : kejang kejang
Kebutuhan : Penkes tentang mengatasi kejang kejang
Diagnosa potensial : Pendekatan antara dokter dan Ny”w” (Psikologis).

Tindakan segera : Memberi ibu mendapatkan terapi asam valproa

PLANNING
1. Memberi tahu ibu tentang hasil pemeriksaan ibu dan janin baik
 Rekomendasi terapi farmakologia.
a) Pemakaian asam valproat dilanjutkan namun dosisnya diturunkan secara
bertahap. Dosis dibawah 800 mg/hari tidak berhubungan dengan risiko
fetalyang lebih besar dibandingkan dengan risiko yang berhubungan
dengan penggunaan antiepilepsi lainnya. Terapi asam valproat
merupakan yang palingoptimal, untuk meminimalkan risiko pada janin
dapat dilakukan denganmenggunakan dosis efektif sekecil mungkin
dalam monoterapi yang idealnya< 1000 mg/hari selama trimester
pertama.
b) Selain menggunakan asam valproat dapat juga ditambahkan
denganmenggunakan supplemen asam folat dengan dosis 0,4-5 mg/hari.
Asam folatdengan dosis tersebut dapat meminimalkan efek samping dari
penggunaanasam valproat.
c) Vitamin K juga dapat digunakan untuk mencegah pendarahan pada saat
persalinan sehingga dapat diberikan 3 minggu sebelum masa
persalinandengan dosis 10-20 mg perhari.2.
 Rekomendasi terapi non-farmakologi
1. Menghindari faktor pencetus epilepsi seperti stress emosional
2. Menghindari penggunaan obat-obat lain secara sembarangan
3. Tidak menggunakan minuman beralkohol
4. Tidak melakukan aktivitas fisik secara berlebihan yang
menimbulkankelelahan3.
 Monitoring
1. Pemeriksaan USG untuk deteksi adanya kelainan janin (spina bifida, defek
jantung atau ekstremitas).
2. Monitoring kadar obat anti epilepsi dalam darah setiap bulan
BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan Asuhan Kebidanan kepada ibu hamil normal terhadap Ny. W umur 33
tahun G4P3A1 diRSUD, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalam melakukan asuhan kebidanan terhadap Ny. W penulis telah melaksanakan
pengkajian dengan baik dan lancar yang berupa data subjektif dan objektif.
2. Penulis dapat melakukan interprestasi data dengan keluhan ibu mengalami kejang
kejang.
3. Dalam kasus ini penulis telah melakukan asuhan kebidanan sesuai dengan yang telah di
rencanakan yaitu dengan melakukan asuhan kebidanan ibu hamil pada Ny. W yang
berupa konseling dan pemberian obat
4. Dalam kasus ini penulis telah melaksanakan evaluasi pada kasus Ny. W, dimana evaluasi
yang di dapat yaitu Ny. W telah diberikan konseling dalam menghadapi kehamilannya,
dan ibu merasakan pengetahuannya bertambah dengan pengetahuan karena adanya
konseling pada ibu.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan saran sebagai berikut:

1. Bagi Mahasiswa
Dengan telah disusun nya laporan asuhan kebidanan ini diharapkan dapat
meningkatkan keefektifan dalam belajar, pengetahuan, kemampuan dan keterampilan
mahasiswa dalam menerapkan atau mengaplikasikan studi yang telah didapat, serta
melengkapi sumber-sumber buku kepustakaan sebagai bahan informasi dan referensi
yang penting dalam mendukung laporan Asuhan Kebidanan mahasiswa

2. Bagi pembaca
Sebagian besar perempuan dengan epilepsi saat ini dapat memiliki dan
membesarkan anak yang normal dan sehat, tetapi kehamilan mereka memiliki
peningkatan risiko untuk komplikasi. Kehamilan dapat menyebabkan peningkatan
frekuensi bangkitan pada beberapa perempuan dengan epilepsi. Bangkitan epilepsi
maternal dan paparan obat antiepilepsi in utero dapat meningkatkan risiko terjadinya
outcome yang merugikan pada anak yang dilahirkan dari ibu dengan epilepsi.
Outcome ini termasuk fetal loss dan kematian perinatal, malformasi dan anomali
kongenital, perdarahan neonatal, berat badan lahir rendah, keterlambatan
perkembangan, dan epilepsi masa kanakkanak. Penatalaksanaan epilepsi pada
kehamilan meliputi pentalaksanaan konsultasi dan edukasi prakonsepsi, pemilihan
OAE sebelum dan selama kehamilan, ANC dan pemberian supemen volat dan Vit K,
persalinan dan post partum (menyususi).
DAFTAR PUSTAKA

Adams RD., Victor M. 1989. Principles of Neurology. 5th ed. Singapore : Mc Graw Hill Book.
Gilroy J. 1992. Basic neurology. 2nd ed. Singapore : Mc Graw Hill Book
Gilman AG., Rall TW., Nies AS., Taylor P. 1991. The Pharmacological basis of therapeutics.
8th ed. Vol. 1. Singapore : Pergomen Press
Holmes GL., Weber DA. 1985. Effect of pregnancy on development of Seizure. Epilepsia
(26)4: 299-302
Johnston MV., MacDonal RL., Young AB. 1992. Principles of drug therapy in neurology.
Philadelphia : FA Davis, p. 102-104
Laidlaw J., Riches A., Oxley J. 1988. A textbook of epilepsi. 3th ed. New York : Churchill
Livingstone, p. 203-211; 544-557
Lander CM. 1992. Managing the pregnant epileptic patient. Journal of Pediatrics Obstetrics and
Gynecology. 18(4), p. 26-30
Plum F.. Fosner JB. 1982. The Diagnosis of stupor and coma. 3th ed. Philadelphia : FA Davis
Company, p. 251-253
Shorvan SD. 1988. Epilepsi untuk praktek umum. Jakarta : Ciba Geigy Pharma Indonesia, p. 84-
87
Warta Epilepsi. 1992. Epilepsi dan hormon, (37), p. 1-8
Yerby MS. 1991. Pregnancy and teratogenesis in woman and epilepsy. JohnWiley & Sons, p.
163-181

You might also like