You are on page 1of 13

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Upacara Ruwatan merupakan sistem ritus yang dikembangkan oleh
masyarakat Jawa. Upacara ruwatan yang biasa digelar oleh masyarakat Jawa
hingga saat ini adalah bentuk realisasi laku budaya, diyakini sebagai usaha untuk
menghindarkan seseorang dari ancaman marabahaya yang diramalkan
(Koentjaraningrat, 1974: 376). Dalam Baoesastra (Poerwadarminto, 1940: 534)
dijelaskan bahwa secara etimologis kata ruwatan memiliki kesepadanan makna
dengan kata luwar dalam pengertian bahasa Jawa bermakna ‗lepas‘. Kata
ruwatan diderivasi dari akar kata wat yang berarti lolos atau lepas. Ruwatan
serupa dengan ritus penyucian dalam rangka penyelamatan (ritual salvation).
Zoetmulder (2004: 1479-1480) menambahkan, istilah kata ruwat dalam bahasa
Jawa Kuna sangat dekat dengan kata wwat yang berarti ‗jembatan‘ dan
‗mempersembahkan‘, yaitu menjembatani seseorang agar terlepas dari sukerta dan
kekuatan gaib yang dianggap membahayakan.
Pada hakikatnya, ngruwat menurut definisi tradisi setempat bermakna
dipulihkan atau dikembalikan pada keadaan semula. Dari pandangan ontologis di
atas, kita mengetahui bahwa orang Jawa secara komunal sudah dihadapkan pada
suatu kepercayaan perihal ‗keselamatan‘ atau ‗bencana‘. Keduanya beroposisi
secara biner untuk memberikan suatu pilihan hidup kepada masyarakat Jawa.
Konkritnya, apabila hidup ini mengalami kesusahan ataupun kesialan secara terus
menerus, maka kemungkinan seseorang tersebut mempunyai ―kotoran-kotoran‖
batin/kehidupan yang menyebabkannya menjadi ―sial‖ secara terus menerus.
Tentu hal ini menjadi sangat kompleks dan dilematis ketika yang diharapkan
dalam hidup ini hanyalah keselamatan lahir dan batin. Berdasarkan problematika
itulah sistem ruwatan menjadi suatu jembatan tradisi yang menghantarkan orang-
orang yang mempunyai ―kotoran‖ tersebut agar menyeberang ke jalan
keselamatan lahir dan batin.

1
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tradisi ruwatan dipercaya pernah hidup subur dalam kehidupan masyarakat


Jawa sejak zaman Majapahit (Rusdy, 2012: 2). Tradisi ruwatan yang masih bisa
dijumpai hingga saat ini khususnya di wilayah Surakarta dan sekitarnya umumnya
disajikan melalui media pertunjukan seni wayang kulit dengan lakon Murwakala
(Suseno1985: 21). Penggunaan lakon Murwakala memang telah populer
dimanfaatkan dalam me-ruwat orang-orang sukêrta, karena di dalam ceritanya
memang terdapat suatu narasi tentang penetapan kriteria orang yang menjadi
makanan Bathara Kala oleh Bathara Guru. Bagi orang Jawa yang telah
mempercayai ritual ruwatan, Bathara Kala adalah simbol malapetaka di dalam
kehidupan. Orang yang terlahir sukêrta dapat diartikan bahwa orang tersebut
dinaungi simbol kesialan. Tanda yang seperti inilah bagi orang Jawa sudah
melekat secara turun temurun secara lisan. Dengan sistem yang demikian itulah,
tidak menutup kemungkinan bahwa teks dengan lakon Murwakala selalu
dijadikan rujukan di dalam ritual ruwatan dengan media pewayangan.
Di wilayah Surakarta, ada dua gaya/style/gagrag pedhalangan yang
berkembang, yaitu gagrag Keraton Kasunanan dan gagrag Pura Mangkunegaran.
Dalam hal pelaksanaan upacara ruwatan Murwakala, perbedaan terletak pada
jumlah mantra yang digunakan yaitu dari Mangkunegaran menggunakan mantra
berjumlah 13 dan dari kasunanan berjumlah 18. Pertunjukkan ruwatan
Murwakala ini apabila dhalang dari kasunanan menggunakan adegan yang
menyebutkan silsilah dhalang, tetapi dari Mangkunegaran adegan ini tidak ada.
Pada ruwatan gaya Kasunanan tokoh wayang yang me-ruwat Bathara Kala adalah
Ki Sampurno Jati, sedangkan di Mangkunegaran mengggunakan nama Ki
Dhalang Sejati atau Ki Dhalang Kandha Buwana (Soetarno,1995:55).
Pada perkembangannya dalam hal pertunjukkan ruwatan dengan media
wayang kulit yang umum menggunakan menggunakan style pedhalangan dari
Pura Mangkunegaran. Hal ini dikarenakan di Pura Mangkunegaran masih ada
tempat pembelajaran menjadi dhalang yang bernama ―PDMN‖ atau Pasinaon
Dhalang Mangkunegaran. Sedangkan di keraton Kasunanan yang dulunya ada
tempat pembelajaran serupa yakni ―Padhasuka‖ atau Pasinaon Dhalang

2
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kasunanan, tetapi saat ini sudah tidak lagi beroperasi lagi (B Subono, 6 Februari
2017).
Seni wayang ialah bentuk pertunjukan tradisional yang disajikan oleh
seorang dhalang dengan menggunakan boneka atau sejenisnya sebagai alat
pertunjukan (Wibisono, 1974:6). Melalui media pertunjukan wayang inilah
diyakini menjadi jembatan persembahan untuk menolak bencana, meskipun
terdapat model ritual ruwatan yang lebih sederhana
(Garingan/Dhodhokan/Nyontreng), yakni tanpa menggelar pertunjukan wayang
kulit secara lengkap. Adapun tradisi ruwatan dilakukan dengan tujuan untuk
mensucikan orang-orang sukerta. Istilah sukerta secara etimologis berasal dari
kata suker artinya sulit, kotor, atau sedih (Soebalidinata, 1985:3). Mereka yang
disebut sebagai wong sukerta adalah orang-orang yang menurut tradisi Jawa harus
di-ruwat karena dianggap memiliki cela dan ketidaksempurnaan dalam hidupnya.
Teks ruwatan terdiri dari segala macam aktivitas ruwatan, terdapat variasi
yang tentu saja didorong oleh kepentingan-kepentingan terselubung
penghayatnya. Misalnya mengenai perbedaan waktu pertunjukan antar daerah,
sesajen yang digunakan, aturan-aturan yang diberlakukan orang yang diruwat,
pilihan tempat pelaksanaan ritualnya, tata cara dalam membaca mantra yang
digunakan. Sebagai salah satu ritus yang memiliki nilai religius, tradisi ruwatan
telah memberikan esensi makna penghayatan yang arif bagi pelakunya. Kearifan
penghayatan inilah yang menimbulkan kepercayaan, keyakinan dan sugesti yang
tinggi dikalangan pelaku tradisi tersebut. Bahwa ruwatan harus dilakukan oleh
dhalang ruwat dan keturunannya. Bahkan muncul sebuah mindset dikalangan
pelaku tradisi, yakni ruwatan dilakukan oleh dhalang ruwat, namun apabila tidak,
maka yang berhajat dan keturunannya akan ditimpa malapetaka.
Tradisi ruwatan melalui media pementasan seni wayang kulit dengan lakon
Murwakala yang masih bisa dijumpai sampai saat ini merupakan produk Dinasti
Mataram baru atas titah Sultan Agung. Titah tersebut pada awalnya direalisasikan
melalui pementasan wayang beber dan mengalami transformasi yang diganti
dengan wayang kulit (de Graaf, 1986: 24). Semenjak peristiwa tersebut, timbul
aturan-aturan khusus yang dibuat untuk diberlakukan kepada pelaku tradisi ini
3
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yakni setiap pemimpin ruwatan diwajibkan meminta izin dhalang yang


berotoritas. Hal ini menegaskan bahwa monopoli bisnis jasa ritus ruwatan telah
dimulai sejak abad 17 melalui kekuatan hegemoni Kerajaan Mataram. Kenyataan
ini mengkonfirmasi pernyataan McHoul dan Grace (1993: 57) bahwa aplikasi
desain monopoli yang melahirkan bentuk-bentuk hegemoni budaya, suatu kondisi
bekerja melalui jaringan praktek kekuasaan dan pengetahuan.
Hegemoni menurut pandangan Gramsci menyangkut basis supremasi kelas,
dimana sebuah kelompok sosial tertentu mengaktualisasikan diri melalui dua cara
yaitu sebagai dominasi dan kepemimpinan intelektual dan moral (Patria, 2003:
115-118). Di satu sisi, sebuah kelompok sosial mendominasi (menguasai) suatu
kelompok tertentu melalui kekuasaan. Pada praktiknya, suatu kelompok sosial
pemilik akses kekuasaan melakukan langkah-langkah yang dapat melanggengkan
kekuasaannya. Gramsci menjelaskan cara kerja hegemoni melalui mekanisme
konsensus daripada melalui penindasan terhadap kelas sosial lainnya. Beragam
cara dapat digunakan, misalnya melalui institusi yang ada di dalam masyarakat
sebagai unsur penentu yang beroperasi secara langsung atau tidak langsung
melalui struktur-struktur kognitif masyarakat. Berdasarkan pandangan tersebut,
fenomena hegemoni yang terjadi pada masyarakat pelaku seni dan ritus
kebudayaan, seperti dhalang trah dalam frame budaya Jawa melakukan dominasi
dengan cara melejitimasi kelompoknya melalui pengkomunikasian mitos-mitos
kesakralan yang dapat mengkonstruksi mental atau pikiran penganut tradisi
ruwatan di Jawa. Hal ini sejalan dengan pendapat Poerwasito (2002:129) bahwa
agar ambisi hegemoni terealisasi, kelompok elit dhalang ruwat membentuk
gerakan emosional primordialisme melalui kerangka magis-keagamaan atau
pemikiran mitos (2002:129). Poerwasito juga menegaskan bahwa budaya yang
telah menjadi identitas kultural memberikan pola tentang bagaimana
berkomunikasi. Dalam hal ini, seolah-olah budaya bertanggungjawab atas semua
perilaku komunikatif dan penyandian makna setiap orang. Dalam konteks ini
berarti suatu sistem sosial budaya tertentu sangat mempengaruhi bagaimana
proses komunikasi berlangsung (2003:204).

4
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Fenomena dominasi yang terjadi di kalangan lapisan masyarakat elit dhalang


ruwat tidak terlepas dari alam pikir masyarakat Jawa yang masih bergantung pada
keyakinan-keyakinan mistis (Peursen, 1976:18). Hal ini menjadikan kedudukan
tradisi ruwatan dan para pelakunya berada dalam wilayah sakral. Sistem
keyakinan orang Jawa dalam praktiknya menyandingkan kegiatan ritual dengan
aspek simbolisme. Malinowski menjelaskan bahwa sistem keyakinan dan logika
yang didasarkan pada kajian etnografi masyarakat Asia Tenggara mencakup aspek
sosio-kultural penduduknya, dalam hal ini dikaitkan dengan identitas masyarakat
Jawa yang dalam praktiknya lekat dengan keyakinan magis.
…. the foundations of magical belief and practice are not taken
from the air, but are due to a number of experiences actually lived
through, in which man receives the revelation of his power to attain the
desired end (Malinowski, 1945: 82).
Segala kejadian yang dikategorikan sebagai keyakinan berangkat dari konteks
personal atau pengalaman pribadi seseorang. Tentunya perihal tradisi ruwatan,
kesakralan seorang dhalang dan disahkannya kegiatan ruwatan bergantung pada
kondisi dhalang, yang tidak lain pengalaman dhalang pionir bernama Ki Lebda
Jiwa atau Ki Panjang Mas. Implikasi sosial atas legitimasi Ki Lebda Jiwa
membawa dampak besar terutama bagi masyarakat berprofesi dhalang yang tidak
termasuk dalam genealogi dhalang ruwat (keturunan dhalang Ki Lebda
Jiwa/Panjang Mas).
Ki Manteb Soedarsono, selaku dhalang ruwat berpendapat apabila ingin
menjadi dhalang ruwat setidaknya harus melalui proses berguru dan tentunya
berguru kepada dhalang ruwat yang sudah senior (Ichsan, 22 Agustus, 2015).
Garis warisan keturunan dapat diperoleh dari kakek atau orang tua. Hal tersebut
ditujukan supaya tercipta kemurnian genetik seorang dhalang ruwat, seperti
halnya sumpah yang diucapkan saat ditasbihkan menjadi dhalang ruwat, juga
harus sudah pernah menikahkan anak atau mantu, tidak boleh menduda, tidak
boleh beristri dua, tidak boleh melanggar pantangan agama karena itu syarat wajib
dhalang ruwat. Dhalang tersebut juga harus keturunan dari dhalang ruwat.

5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dhalang ruwat yang dipercaya oleh masyarakat untuk memimpin dan


menjalankan prosesi ruwatan tidaklah dari sembarang dhalang. Dhalang ruwat
harus memenuhi beberapa kriteria persyaratan untuk kemudian bisa ditetapkan
sebagai dhalang sejati. Namun seiring bergulirnya waktu, fenomena ini justru
membuat kedudukan dhalang ruwat menjadi sejenis logosentrisme yang hampir
tidak terjamah oleh pikiran kritis, yang nampaknya menyisakan dualisme antara
kebenaran dan klaim tentang kebenaran beserta sangkut pautnya terhadap istilah
dhalang sejati. Selanjutnya dengan mengutip pandangan McCarthy (2006:309)
kesakralan klaim dhalang sejati dapat dijadikan sarana untuk tujuan tertentu.
Sebagian besar dhalang masa kini, yakni mereka yang bukan keturunan
dhalang ruwat belum berani mendobrak mitos eksitensi dhalang sejati meskipun
yang bersangkutan memiliki pengetahuan mengenai prosedur dan seluk-beluk
upacara ruwatan. Namun demikian tetap muncul seniman dhalang yang bukan
keturunan dhalang ruwat beralih menjadi dhalang ruwat. Disamping itu,
kukuhnya eksistensi dinasti dhalang ruwat tersebut juga didukung oleh
pengakuan sebagian besar masyarakat. Masyarakat umum tidak akan mau
mendatangkan dhalang ruwat yang bukan trah abdi dalem Ki Panjang Mas.
Masyarakat menganggap bahwa dhalang biasa tidak memiliki kekuatan spiritual
untuk membersihkan sukerta, bahkan meskipun dhalang biasa yang dimaksud
berkualifikasi menguasai ilmu, tingkat spiritualitas dan keagamaaan. Hal ini
mengimplikasikan pandangan bahwa sebagian masyarakat Jawa masih memiliki
pandangan yang cukup baik dalam memahami batas budaya serta tradisi dan nilai-
nilai yang melingkupinya.
Banyaknya klasifikasi ciri orang sukerta yang harus di-ruwat membuat tradisi
ruwatan sangat mudah dijumpai, setidaknya hingga tahun 1990an tradisi upacara
ruwatan pernah menjadi sebuah gaya hidup dalam masyarakat Jawa. Tradisi
upacara ruwatan merupakan produk budaya massa yang telah dibungkus mitos
budaya. Perkembangan zaman melahirkan banyak perubahan, yaitu munculnya
perubahan terhadap model-model tradisi lama. Disisi lain, isolasi yang terjadi
pada konsep ruwatan dan dhalang ruwat di Jawa membawa dampak ke arah
kepunahan dhalang ruwat dan mengakibatkan penurunan frekwensi pementasan
6
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

upacara ruwatan. Syarat khusus menyangkut genealogi dhalang ruwat


dibebankan kepada para pelaku ruwatan menjadi salah satu faktor semakin
berkurangnya kreatifitas men-dhalang dan eksistensi dhalang ruwat di Jawa.
Faktor lainnya adalah cara pandang masyarakat yang ikut berubah mengikuti
selera jaman. Hal ini dipengaruhi oleh ideologi dari luar yang dikonsumsi oleh
masyarakat melalui berbagai media penyaluran. Terlepas dari asumsi unsur-unsur
budaya dalam masyarakat selalu mengalami perubahan dan pergeseran
berdasarkan pemicu kepentingannya. Memahami fenomena tersebut, peneliti
mengasumsikan bahwa berkurangnya jumlah dhalang ruwat dan penurunan
frekwensi pementasan upacara ruwatan melibatkan dua aspek sekaligus, yaitu
aspek internal dari masyarakat pe-dhalang-an dan aspek eksternal masyarakat
penghayat kearifannya.
Jowett dan O‘Donnell mengklasifikasi wacana informatif dan persuasif yang
digunakan pewacana untuk melakukan propaganda. Baik wacana informatif dan
persuasif memberikan suatu pandangan kepada penerima pesan dengan cara
mempersilakan mereka mendapatkan infomasi, memahami lingkungan dan belajar
dari suatu hal (2006:30). Dalam hal ini, penggagas wacana persuasif memiliki
kepentingan untuk mendominasi penerima pesan (masyarakat pendukung
ruwatan) agar menyetujui pendapatnya, seakan-akan kepentingan mereka
(dhalang trah) tidak kontras dengan kepentingan masyarakat setempat (2006: 31-
32). Sebaliknya, propaganda dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan si
propagandis, terlepas dari kepentingan-kepentingan yang sama-sama dimiliki.
The propagandist is very likely to appear as a persuader with a stated
purpose that appears to promote interactive dependency. In reality,
however, the propagandist wants to promote his or her own interests or
those of an organization, sometimes at the expense of the recipients,
sometimes not. The point is that the propagandist does not regard the
well-being of the audience as a primarily concern (2006: 44).
Penerima pesan wacana manipulatif seakan tidak menyadari stuktur bahasa
yang memengaruhi persepsi mereka. Karakteristik wacana manipulatif dan
propaganda, keduanya memberikan dampak pada situasi atau konteks dimana
7
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

terjadi ketimpangan kekuasaan yang digandrungi para manipulator. Sehingga,


akan sulit bagi orang awam untuk memahami wacana persuasif dan propaganda,
khususnya apabila suatu masyarakat meyakini bahwa sumber wacana komunikasi
tersebut dapat dipercaya, dan dapat dipertanggung jawabkan secara sosio-
kulturalnya.
Menurut apa yang sudah dipaparkan di atas, menarik apabila fenomena yang
telah berkembang pada masyarakat itu dibedah secara kultural dengan kajian yang
menampilkan sisi yang belum terjangkau oleh penelitian-penelitian sebelumnya.
Mengingat, sebuah status personalitas dari seorang dhalang ruwat, merupakan
status yang tidak semua dhalang dapat menyandangnya secara sosial maupun
spiritual. Oleh karena itu, sebagian dhalang yang ingin menjadi dhalang ruwat
pastilah terhalang faktor status genealogi. Terlebih lagi, ritus ruwatan pada
zaman sekarang juga telah menunjukkan penurunan secara signifikan oleh karena
beberapa faktor. Pengkajian disertasi ini dihadapkan pada domain penelitian
dhalang ruwat dalam kaitannya dengan problematika hegemoni dan resistensi
serta frekuensi pertunjukkan ruwatan Murwakala.
Penelitian ini diproyeksi untuk dapat mengungkap fenomena gerakan dan
strategi-strategi resistensi dhalang non-ruwat terhadap hegemoni, resistensi
dhalang ruwat dalam tradisi upacara ruwatan di masyarakat Jawa khususnya di
wilayah Surakarta dan sekitarnya. Menurut syarat-syarat yang berlaku di dalam
budaya setempat, upacara ruwatan hanya boleh digelar dan dipimpin oleh dhalang
sejati. Peneliti mengindikasi aturan-aturan baik yang termanifestasi di dalam
wacana teks atau berbentuk mitos-mitos yang di transmisi turun-temurun kepada
pendukungnya, merupakan unsur-unsur yang dapat mengukuhkan kuasa dhalang
trah keturunan Ki Panjang Mas.
Penelitian ini juga mengkaji fenomena penurunan frekuensi ritual upacara
ruwatan dengan media wayang kulit di daerah Surakarta dan sekitarnya.
Problematika yang diangkat berdasarkan pertimbangan adanya kasus penurunan
intensitas pertunjukkan upacara ruwatan, adanya gerakan hegemoni dan resistensi
dan berbagai sumber berdasarkan informasi keluarga dhalang ruwat tentang
syarat-syarat menjadi dhalang ruwat. Beberapa pendekatan dan cara pandang
8
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

melalui penerapan teori hegemoni, resistensi, mitos, semiotik, magis dan teori
pendukung yang lain untuk membedah fenomena hegemoni dalam ruwatan
Murwakala di dalam penulisan disertasi ini sekaligus menjadi titik celah
perbedaan dengan penelitian-penelitian lain yang sejenis dan diharapkan
menemukan konsep-konsep kebaruan yang berhubungan dengan ruwatan. Storey
(2009: 9) menjelaskan bahwa hegemoni yang digunakan oleh Antonio Gramsci
merujuk pada suatu kondisi dimana kelas dominan menguasai masyarakat melalui
penggunaan moral dan kepemimpinan intelektual. Dalam pengertian ini, pengaruh
hegemoni dari hasil pewacanaan dhalag ruwat mensugesti masyarakat (kelas
subordinat) secara aktif mendukung dan mematuhi nilai - nilai, gagasan, sasaran,
makna kultural yang mengikat serta memasukkannya kedalam struktur kekuasaan
yang berlaku.
Pelaku tradisi upacara ruwatan dari kalangan dhalang turunan untuk
mencapai tujuan biasanya menguatkan kedudukannya melalui mitos-mitos yang
berlaku dan disakralkan oleh masyarakat. Pada upacara ruwatan dengan pagelaran
wayang kulit lakon Murwakala, dibangun propaganda dengan cara mewacanakan
sesuatu kedalam bentuk teks-teks serat kekancingan (surat ketetapan) yang
berorientasi pada kepentingan golongan elit-dominan dhalang trah terhadap pihak
subordinat (dhalang non-trah). Persoalan subordinasi merupakan cikal bakal
terjadinya pertarungan kelas, baik pertarungan posisi (war of position) maupun
pertarungan gerakan (war of movement). Mengenai bagaimana cara memenangkan
dominasi atas civil society dibutuhkan gerakan mengubah common sense
masyarakat pendukung ruwatan dari melindungi hegemoni menjadi mendukung
gerakan counter-hegemony (Cox. 1993:53). Cox (1993:5) mengomentari hal
tersebut sebagai strategi revolusioner yang sulit dan membutuhkan waktu yang
sangat panjang. Strategi yang mengharuskan kelas subordinat (dhalang non-trah)
tidak hanya mengonsolidasikan kekuatan di dalam kelompoknya, namun juga
harus mengambil peran dalam sistem yang mendukung gerakan counter-
hegemony.
Fenomena berkurangnya dhalang ruwat di Surakarta dan sekitarnya
mensinyalir munculnya beberapa gerakan resistensi budaya, yakni ruwatan telah
9
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mengalami dekonstruksi budaya, simulasi budaya, nostalgia budaya dan


intertekstualitas kultural (Yasraff, 2010: 384-385). Dekonstruksi budaya, misalnya
perluasan makna mengenai klasifikasi orang-orang sukerta. Jaman sekarang,
pengusaha yang sedang gulung tikar dianggap sukerta yang berarti harus di-
ruwat. Simulasi kultural misalnya representasi tokoh sukerta dalam pertunjukan
selalu diangap relevan dengan kondisi orang yang di-ruwat. Nostalgia budaya
misalnya mengenai hadirnya Bathara Kala sebagai sumber bencana menimpa
seseorang yang tergolong dalam katagori sukerta. Intertekstualitas kultural
misalnya pilihan lakon dengan berbagai konflik di dalamnya yang disajikan dalam
pertunjukan.
Tradisi upacara ruwatan dengan pagelaran wayang kulit lakon Murwakala ini
menunjukkan bahwa bagian dari kekayaan budaya yang masih bertahan sampai
saat ini. Masyarakat Jawa dewasa ini menghadapi sebuah kondisi dilematis
terutama pada aspek ritus kebudayaannya yang dijadikan ajang perebutan massa
secara ideologis. Tidak berlebihan jika dikatakan perebutan massa tersebut
berbasis ideologis. Masing-masing ideologi memiliki strategi-strategi resistensi
yang digunakan untuk membangun kesadaran masyarakat Jawa yang terhegemoni
dalam menentang praktik-praktik kuasa (counter-hegemony) yang telah mengakar
di dalamnya. Upaya membahas problematika dan mengungkap gejala fenomena
kultural yang muncul dalam pertunjukan ruwatan dengan pagelaran wayang kulit
lakon Murwakala diperlukan rumusan masalah yang lebih spesifik.

A. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari apa yang telah dibahas pada latar belakang masalah di atas,
maka diperoleh dasar identifikasi masalah dalam disertasi ―RESISTENSI
DHALANG RUWAT TERHADAP HEGEMONI DHALANG RUWAT TRAH
DALAM RUWATAN MURWAKALA DI SURAKARTA DAN SEKITARNYA‖
ini. Untuk itu, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah bentuk hegemoni dhalang trah dalam ruwatan Murwakala?
2. Bagaimanakah resistensi terhadap hegemoni dhalang trah ruwatan?
3. Mengapa pertunjukkan upacara Ruwatan dengan media pertunjukan wayang
kulit terjadi penurunan?
10
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan disertasi ini secara umum dirancang untuk menerapkan dan
mengembangkan kajian budaya yang memfokuskan telaah secara kritis pada
fenomena hegemoni dan strategi-strategi counter-hegemony khususnya bentuk-
bentuk resistensi di dalam tradisi ruwatan di daerah Surakartan dan sekitarnya.
a. Mengkaji bentuk hegemoni dhalang trah dalam ruwatan Murwakala. Tujuan
ini untuk menjawab pertanyaan bentuk bentuk hegemoni oleh dhalang trah
yang tanpa disadari telah melekat pada ritus upacara ruwatan Murwakala.
Peristiwa ini di dalam masyarakat Jawa sudah berlangsung secara turun
temurun mengingat yang berhak meruwat hanyalah dhalang yang secara
genealogi adalah keturunan Ki Panjangmas. Dengan menyandang status
sebagai dhalang trah tersebut, tentu dapat dengan mudah mendapatkan akses
me-ruwat dari segi sosial maupun dari segi budaya. Menurut pandangan
tersebut, pada bab ini akan membahas dinamika hegemoni budaya yang
melekat pada objek material tersebut.
b. Menginterpretasi dinamika resistensi terhadap hegemoni dhalang trah
ruwatan. Tujuan ini merupakan reaksi alami yang berwujud perlawanan
(counter-hegemony) atas bentuk-bentuk hegemoni yang ditemukan dalam
tradisi ruwatan di Surakarta dan sekitarnya. Tentu dalam sebuah hegemoni
pasti terdapat sebuah resistensi atau perlawanan. Perlawanan yang dilakukan
oleh pihak yang terhegemoni tersebut memberikan sebuah potensi transformasi
disertai dengan dinamikanya dari pihak dhalang non keturunan secara internal
dan dinamika secara eksternal.
c. Menganalisis implikasi atas faktor penurunan pertunjukkan upacara ruwatan
dengan media wayang kulit. Analisis pada tahap ini menjadi penting karena
untuk menemukan faktor faktor yang menjadi sebab ruwatan dengan
menggunakan media wayang kulit mengalami penurunan dalam praktiknya.
Serta implikasinya yang digunakan sebagai dasar acuan untuk menentukan
sebuah kebijakan dalam hal pelestarian tradisi ruwatan yang menggunakan
media wayang kulit.

11
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

C. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang seputar ruwatan telah banyak dilakukan oleh beberapa
peneliti lain yang diantaranya adalah tulisan Soetarno ―Wayang Kulit: Perubahan
Makna dan Hiburan‖ (2004), Subalinata dkk ― Sejarah dan Perkembangan Cerita
Murwakala dari Sumber-Sumber Sastra Jawa‖ (1985), Harpawati ―Pertunjukkan
Wayang Kulit Purwa Lakon Sudamala Sebagai Tradisi Ritual Selamatan dalam
Kehidupan Masyarakat Jawa‖ (2017), Sarwanto ―Pertunjukkan Wayang kulit
Purwa Jawa Dalam Ritual Bersih Desa kajian fungsi dan makna‖ (2008), Lestari
―Nilai Etis Ruwatan Sukerta dengan pertunjukkan Wayang Kulit Purwa
Relevansinya bagi penanaman Budi Pekerti Masyarakat‖ (2009). Beberapa karya
penelitian di atas sejauh penelusuran belum ada yang mengulas tradisi ruwatan
dari cara pandang cultural studies terutama dari paradigma hegemoni, resistensi
dan membahas tentang penurunan frekwensi penurunan pertunjukkan tradisi
ruwatan dengan media wayang kulit. sehingga penelitian ini memiliki perbedaan
yang signifikan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai; (1) Masukan berupa konsep
yang berhubungan dengan kajian budaya, hegemoni dan resistensi pada wacana
dhalang trah dalam kegiatan ritus budaya yaitu tradisi ruwatan dengan lakon
Murwakala, (2) Kontribusi pemikiran bagi peneliti lain yang berkaitan dengan
kegiatan ritus budaya yang berupaya mendobrak mitos-mitos yang berimplikasi
pada dikukuhkannya kuasa (hegemoni) dan ketimpangan-ketimpangan sosial yang
diderita oleh kelompok pelaku kebudayaan yang tersubordinat (dhalang non-
ruwat), (3) memberi wacana baru terhadapa mengenai ruwatan dengan pagelaran
Wayang Kulit lakon Murwakala sebagai indikator manifestasi hegemoni di dalam
ritus budaya Jawa diharapkan dapat menjembatani aspirasi seniman dhalang
pemula untuk tetap melestarikan budaya ruwatan dengan media Wayang Kulit.

12
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Manfaat Praktis
Penelitian ini berupaya mengklarifikasi mitos-mitos yang direpresentasikan di
dalam tradisi ruwatan sebagai media peneguhan kuasa dhalang turunan atas
dhalang biasa. Dengan diklarifikasinya isu-isu tentang praktik hegemoni kuasa
ruwatan yang dimainkan oleh dhalang trah menjadi landasan bagi para seniman
kritikus untuk merevitalisasi peran dan fungsi dhalang di masyarakat seni
Wayang Kulit dan fungsinya pada upacara ruwatan. Penelitian ini diharapkan
memberi pecerahan dan wacana baru terhadap kegiatan-kegiatan ritus budaya
lokal Jawa bahwa terjadi hegemoni yang terkadang tidak terjamah oleh pemikiran
kritis. Hasil penelitian ini juga diharapkan mampu menjelaskan secara ilmiah
bentuk-bentuk kepemimpinan hegemonik dhalang trah dan strategi-strategi
resistensinya oleh dhalang non-trah dalam perhelatan status sosial dan ekonomi
pelaku tradisi ruwatan.

13

You might also like