Professional Documents
Culture Documents
Bab I
Bab I
id
BAB I
PENDAHULUAN
1
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Kasunanan, tetapi saat ini sudah tidak lagi beroperasi lagi (B Subono, 6 Februari
2017).
Seni wayang ialah bentuk pertunjukan tradisional yang disajikan oleh
seorang dhalang dengan menggunakan boneka atau sejenisnya sebagai alat
pertunjukan (Wibisono, 1974:6). Melalui media pertunjukan wayang inilah
diyakini menjadi jembatan persembahan untuk menolak bencana, meskipun
terdapat model ritual ruwatan yang lebih sederhana
(Garingan/Dhodhokan/Nyontreng), yakni tanpa menggelar pertunjukan wayang
kulit secara lengkap. Adapun tradisi ruwatan dilakukan dengan tujuan untuk
mensucikan orang-orang sukerta. Istilah sukerta secara etimologis berasal dari
kata suker artinya sulit, kotor, atau sedih (Soebalidinata, 1985:3). Mereka yang
disebut sebagai wong sukerta adalah orang-orang yang menurut tradisi Jawa harus
di-ruwat karena dianggap memiliki cela dan ketidaksempurnaan dalam hidupnya.
Teks ruwatan terdiri dari segala macam aktivitas ruwatan, terdapat variasi
yang tentu saja didorong oleh kepentingan-kepentingan terselubung
penghayatnya. Misalnya mengenai perbedaan waktu pertunjukan antar daerah,
sesajen yang digunakan, aturan-aturan yang diberlakukan orang yang diruwat,
pilihan tempat pelaksanaan ritualnya, tata cara dalam membaca mantra yang
digunakan. Sebagai salah satu ritus yang memiliki nilai religius, tradisi ruwatan
telah memberikan esensi makna penghayatan yang arif bagi pelakunya. Kearifan
penghayatan inilah yang menimbulkan kepercayaan, keyakinan dan sugesti yang
tinggi dikalangan pelaku tradisi tersebut. Bahwa ruwatan harus dilakukan oleh
dhalang ruwat dan keturunannya. Bahkan muncul sebuah mindset dikalangan
pelaku tradisi, yakni ruwatan dilakukan oleh dhalang ruwat, namun apabila tidak,
maka yang berhajat dan keturunannya akan ditimpa malapetaka.
Tradisi ruwatan melalui media pementasan seni wayang kulit dengan lakon
Murwakala yang masih bisa dijumpai sampai saat ini merupakan produk Dinasti
Mataram baru atas titah Sultan Agung. Titah tersebut pada awalnya direalisasikan
melalui pementasan wayang beber dan mengalami transformasi yang diganti
dengan wayang kulit (de Graaf, 1986: 24). Semenjak peristiwa tersebut, timbul
aturan-aturan khusus yang dibuat untuk diberlakukan kepada pelaku tradisi ini
3
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
4
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
melalui penerapan teori hegemoni, resistensi, mitos, semiotik, magis dan teori
pendukung yang lain untuk membedah fenomena hegemoni dalam ruwatan
Murwakala di dalam penulisan disertasi ini sekaligus menjadi titik celah
perbedaan dengan penelitian-penelitian lain yang sejenis dan diharapkan
menemukan konsep-konsep kebaruan yang berhubungan dengan ruwatan. Storey
(2009: 9) menjelaskan bahwa hegemoni yang digunakan oleh Antonio Gramsci
merujuk pada suatu kondisi dimana kelas dominan menguasai masyarakat melalui
penggunaan moral dan kepemimpinan intelektual. Dalam pengertian ini, pengaruh
hegemoni dari hasil pewacanaan dhalag ruwat mensugesti masyarakat (kelas
subordinat) secara aktif mendukung dan mematuhi nilai - nilai, gagasan, sasaran,
makna kultural yang mengikat serta memasukkannya kedalam struktur kekuasaan
yang berlaku.
Pelaku tradisi upacara ruwatan dari kalangan dhalang turunan untuk
mencapai tujuan biasanya menguatkan kedudukannya melalui mitos-mitos yang
berlaku dan disakralkan oleh masyarakat. Pada upacara ruwatan dengan pagelaran
wayang kulit lakon Murwakala, dibangun propaganda dengan cara mewacanakan
sesuatu kedalam bentuk teks-teks serat kekancingan (surat ketetapan) yang
berorientasi pada kepentingan golongan elit-dominan dhalang trah terhadap pihak
subordinat (dhalang non-trah). Persoalan subordinasi merupakan cikal bakal
terjadinya pertarungan kelas, baik pertarungan posisi (war of position) maupun
pertarungan gerakan (war of movement). Mengenai bagaimana cara memenangkan
dominasi atas civil society dibutuhkan gerakan mengubah common sense
masyarakat pendukung ruwatan dari melindungi hegemoni menjadi mendukung
gerakan counter-hegemony (Cox. 1993:53). Cox (1993:5) mengomentari hal
tersebut sebagai strategi revolusioner yang sulit dan membutuhkan waktu yang
sangat panjang. Strategi yang mengharuskan kelas subordinat (dhalang non-trah)
tidak hanya mengonsolidasikan kekuatan di dalam kelompoknya, namun juga
harus mengambil peran dalam sistem yang mendukung gerakan counter-
hegemony.
Fenomena berkurangnya dhalang ruwat di Surakarta dan sekitarnya
mensinyalir munculnya beberapa gerakan resistensi budaya, yakni ruwatan telah
9
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari apa yang telah dibahas pada latar belakang masalah di atas,
maka diperoleh dasar identifikasi masalah dalam disertasi ―RESISTENSI
DHALANG RUWAT TERHADAP HEGEMONI DHALANG RUWAT TRAH
DALAM RUWATAN MURWAKALA DI SURAKARTA DAN SEKITARNYA‖
ini. Untuk itu, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah bentuk hegemoni dhalang trah dalam ruwatan Murwakala?
2. Bagaimanakah resistensi terhadap hegemoni dhalang trah ruwatan?
3. Mengapa pertunjukkan upacara Ruwatan dengan media pertunjukan wayang
kulit terjadi penurunan?
10
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan disertasi ini secara umum dirancang untuk menerapkan dan
mengembangkan kajian budaya yang memfokuskan telaah secara kritis pada
fenomena hegemoni dan strategi-strategi counter-hegemony khususnya bentuk-
bentuk resistensi di dalam tradisi ruwatan di daerah Surakartan dan sekitarnya.
a. Mengkaji bentuk hegemoni dhalang trah dalam ruwatan Murwakala. Tujuan
ini untuk menjawab pertanyaan bentuk bentuk hegemoni oleh dhalang trah
yang tanpa disadari telah melekat pada ritus upacara ruwatan Murwakala.
Peristiwa ini di dalam masyarakat Jawa sudah berlangsung secara turun
temurun mengingat yang berhak meruwat hanyalah dhalang yang secara
genealogi adalah keturunan Ki Panjangmas. Dengan menyandang status
sebagai dhalang trah tersebut, tentu dapat dengan mudah mendapatkan akses
me-ruwat dari segi sosial maupun dari segi budaya. Menurut pandangan
tersebut, pada bab ini akan membahas dinamika hegemoni budaya yang
melekat pada objek material tersebut.
b. Menginterpretasi dinamika resistensi terhadap hegemoni dhalang trah
ruwatan. Tujuan ini merupakan reaksi alami yang berwujud perlawanan
(counter-hegemony) atas bentuk-bentuk hegemoni yang ditemukan dalam
tradisi ruwatan di Surakarta dan sekitarnya. Tentu dalam sebuah hegemoni
pasti terdapat sebuah resistensi atau perlawanan. Perlawanan yang dilakukan
oleh pihak yang terhegemoni tersebut memberikan sebuah potensi transformasi
disertai dengan dinamikanya dari pihak dhalang non keturunan secara internal
dan dinamika secara eksternal.
c. Menganalisis implikasi atas faktor penurunan pertunjukkan upacara ruwatan
dengan media wayang kulit. Analisis pada tahap ini menjadi penting karena
untuk menemukan faktor faktor yang menjadi sebab ruwatan dengan
menggunakan media wayang kulit mengalami penurunan dalam praktiknya.
Serta implikasinya yang digunakan sebagai dasar acuan untuk menentukan
sebuah kebijakan dalam hal pelestarian tradisi ruwatan yang menggunakan
media wayang kulit.
11
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
C. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang seputar ruwatan telah banyak dilakukan oleh beberapa
peneliti lain yang diantaranya adalah tulisan Soetarno ―Wayang Kulit: Perubahan
Makna dan Hiburan‖ (2004), Subalinata dkk ― Sejarah dan Perkembangan Cerita
Murwakala dari Sumber-Sumber Sastra Jawa‖ (1985), Harpawati ―Pertunjukkan
Wayang Kulit Purwa Lakon Sudamala Sebagai Tradisi Ritual Selamatan dalam
Kehidupan Masyarakat Jawa‖ (2017), Sarwanto ―Pertunjukkan Wayang kulit
Purwa Jawa Dalam Ritual Bersih Desa kajian fungsi dan makna‖ (2008), Lestari
―Nilai Etis Ruwatan Sukerta dengan pertunjukkan Wayang Kulit Purwa
Relevansinya bagi penanaman Budi Pekerti Masyarakat‖ (2009). Beberapa karya
penelitian di atas sejauh penelusuran belum ada yang mengulas tradisi ruwatan
dari cara pandang cultural studies terutama dari paradigma hegemoni, resistensi
dan membahas tentang penurunan frekwensi penurunan pertunjukkan tradisi
ruwatan dengan media wayang kulit. sehingga penelitian ini memiliki perbedaan
yang signifikan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai; (1) Masukan berupa konsep
yang berhubungan dengan kajian budaya, hegemoni dan resistensi pada wacana
dhalang trah dalam kegiatan ritus budaya yaitu tradisi ruwatan dengan lakon
Murwakala, (2) Kontribusi pemikiran bagi peneliti lain yang berkaitan dengan
kegiatan ritus budaya yang berupaya mendobrak mitos-mitos yang berimplikasi
pada dikukuhkannya kuasa (hegemoni) dan ketimpangan-ketimpangan sosial yang
diderita oleh kelompok pelaku kebudayaan yang tersubordinat (dhalang non-
ruwat), (3) memberi wacana baru terhadapa mengenai ruwatan dengan pagelaran
Wayang Kulit lakon Murwakala sebagai indikator manifestasi hegemoni di dalam
ritus budaya Jawa diharapkan dapat menjembatani aspirasi seniman dhalang
pemula untuk tetap melestarikan budaya ruwatan dengan media Wayang Kulit.
12
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini berupaya mengklarifikasi mitos-mitos yang direpresentasikan di
dalam tradisi ruwatan sebagai media peneguhan kuasa dhalang turunan atas
dhalang biasa. Dengan diklarifikasinya isu-isu tentang praktik hegemoni kuasa
ruwatan yang dimainkan oleh dhalang trah menjadi landasan bagi para seniman
kritikus untuk merevitalisasi peran dan fungsi dhalang di masyarakat seni
Wayang Kulit dan fungsinya pada upacara ruwatan. Penelitian ini diharapkan
memberi pecerahan dan wacana baru terhadap kegiatan-kegiatan ritus budaya
lokal Jawa bahwa terjadi hegemoni yang terkadang tidak terjamah oleh pemikiran
kritis. Hasil penelitian ini juga diharapkan mampu menjelaskan secara ilmiah
bentuk-bentuk kepemimpinan hegemonik dhalang trah dan strategi-strategi
resistensinya oleh dhalang non-trah dalam perhelatan status sosial dan ekonomi
pelaku tradisi ruwatan.
13