You are on page 1of 13

MAKALAH

MADZHAB HANAFI

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Tarikh Tasyri‟

Dosen Pengampu : Hj. Ratu Haika, M.Ag

Disusun Oleh:

Muhammad Ridho Arief Rausan Fikri

(2221508008)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTANAJI MUHAMMAD


IDRIS SAMARINDA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada
Ibu Hj. Ratu Haika, M.Ag yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Tarikh Tasyri‟ khususnya dalam Madzhab
Hanafi. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi pembaca.

Samarinda, 23 Juni 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I ............................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 2
BAB II ........................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3
A. Biografi Imam Abu Hanifah ................................................................................. 3
B. Pemikiran Hukum Islam Pada Masa Imam Hanafi. ............................................. 4
C. Metode Ijtihad Imam Hanafi. ............................................................................... 6
BAB III ......................................................................................................................... 9
PENUTUP ..................................................................................................................... 9
A. Kesimpulan. .......................................................................................................... 9
B. Saran. .................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Madzhab Hanafi adalah salah satu dari empat madzhab utama dalam
hukum Islam Sunni. Madzhab ini dinamakan setelah Imam Abu Hanifah
(699-767 M), seorang ulama dan tokoh fikih terkemuka dari Kufah, Irak.
Imam Abu Hanifah dikenal karena pendekatannya yang fleksibel dan
rasional dalam memahami hukum Islam. Beliau mengembangkan metode
ijtihad yang memungkinkan interpretasi dan penyesuaian hukum Islam sesuai
dengan perubahan kondisi sosial dan kehidupan masyarakat.
Prinsip dasar madzhab Hanafi adalah menggunakan ra'yu (penalaran
pribadi) dan qiyas (analogi) untuk mencapai keputusan hukum. Madzhab
Hanafi memberikan perhatian khusus pada dalil-dalil al-Qur'an dan Sunnah,
tetapi juga memperhitungkan maslahah (kemaslahatan) dan mafsadah
(kerusakan) dalam mengeluarkan fatwa. Madzhab ini menghargai pemikiran
independen dan memungkinkan perbedaan pendapat di antara para ulama,
asalkan argumen yang kuat dan relevan dapat diajukan. Madzhab Hanafi
dikenal dengan ketelitian dan kehati-hatiannya dalam mempertimbangkan
dalil-dalil hukum.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja yang menjadi latar belakang dari kehidupan Imam Abu
Hanifah selaku pelopor dari Madzhab Hanafiah?.
2. Bagaimana pola pemikiran yang diterapkan oleh Imam Abu Hanifah?.
3. Apa saja yang menjadi landasan Imam Abu Hanifah dalam berijtihad?.

1
C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui profil serta riwayat hidup seorang Imam Hanafi.


2. Mengidentifikasi metode pemikiran Imam Abu Hanfiah dalam
menetapkan suatu hukum.
3. Mengidentifikasi sumber-sumber hukum yang menjadi landasan Imam
Abu Hanifah dalam menetapkan hukum.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah lahir di Kufah Irak tahun 80 H/ 659 M, nama asli
beliau adalah An-Nu‟man bin Tsabit bin Zuwatha.
Imam Abu Hanifah merupakan seorang mujtahid dalam bidang fiqih sekaligus
salah satu dari 4 Imam madzhab yaitu madzhab Hanafi, berdasarkan catatan
sejarah beliau lahir pada masa kekuasaan Khalifah ke empat bani Umayyah
yaitu Abdul Malik bin Marwan, dan selama hidupnya Imam Abu Hanifah
mengalami dua masa dinasti kekhalifahan yaitu bani Umayyah dan bani
Abbasiyah.
Adapun nama panggilan "Abu Hanifah" memiliki sejumlah perbedaan
pendapat dikalangan pop arah ahli sejarah terkait asal usul nama tersebut,
setidaknya ada tiga pendapat yang menjelaskan terkait asal usul nama tersebut
diantaranya:
1. Pendapat pertama mengatakan karena beliau memiliki anak
yang bernama Hanifah, sehingga sangat lazim beliau dipanggil
"Abu Hanifah" yang artinya ayah Hanifah.
2. Pendapat kedua mengatakan bahwa arti dari kata Hanifah yang
berasal dari kata "hanif" yang artinya orang yang lurus dan
sholih, tentu arti tersebut sangat merepresentasikan sosok dari
An-Nu‟man bin Tsabit itu sendiri.
3. Pendapat ketiga mengatakan bahwa karena keluarga beliau
berasal dari Persia, dimana dalam bahasa persia Hanifah berarti
"Tinta" dimana kata tinta tersebut menggambarkan sosok
Imam Hanafi yang identik dengan tinta, sebab beliau adalah

3
orang yang gemar menulis, serta memiliki banyak murid yang
diajarnya.

Imam Abu Hanifah merupakan seorang ulama yang tumbuh dengan


penguasaan yang tinggi terhadap berbagai disiplin ilmu seperti, logika
ushuluddin, hadist, dan juga fiqih. Beliau merupakan sosoknya yang dikenal
dengan kecepatan hafalan, kekuatan logika, serta ketajaman berfikir, yang
akhirnya membuat beliau menjadi ulama terkemuka pada zamannya bahkan
madzhab beliau serta karya karya beliau masih menjadi rujukan ulama ulama
kontemporer hingga saat ini.

Dalam riwayat pendidikannya, belia bermulazamah kepada Syaikh


Hammad bin Abu Sulaiman selama belasan tahun, meskipun demikian Imam
Abu Hanifah tetap menimba ilmu pada guru-guru lain yang juga mulia.
Tercatat beli menimba ilmu di berbagai wilayah seperti Kufah, Basrah, dan
juga Mekkah.1

B. Pemikiran Hukum Islam Pada Masa Imam Hanafi.

Imam Abu Hanifah merupakan golongan generasi ketiga setelah Nabi


Muhammad SAW (at-ba‟ al-tabi‟in). Beliau tumbuh dan besar di Kufah Irak,
sehingga membuat beliau belajar fiqih kepada para ulama fiqih aliran Irak
yang dikenal dengan ahl al-ra‟yu atau yang diartikan sebagai penetapan
hukum fiqih yang cenderung pada penalaran atau dominasi pemikiran akal.
Oleh karena itu pemikiran fiqih yang diterapkan dan dikembangkan oleh
Imam Abu Hanifah sangat merepresentasikan aliran al-ra'yu.
Ketika memulai pembelajaran Imam Abu Hanifah tidak memulainya
dengan pembelajaran fiqh, melainkan dengan pembelajaran kalam, alhasil
cara ini meningkatkan pembentukan metode berfikirnya yang realistis dan

1
Wildan Jauhari, Biografi Imam Abu Hanifah (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2018).

4
rasional. Dalam perkembangannya, beliau mendapat sebutan sebagai ahlul
ra'yu, hal ini didasarkan pada kecenderungan beliau yang menggunakan akal
dalam mengistinbatkan suatu hukum. Dalam fiqih ada satu metodenya yang
terkenal yaitu istihsan.
Dalam Thaha Jabir Fayadi Al-Ulwani, menguraikan tentang cara
ijtihad Imam Abu Hanifah yang terbagi menjadi dua yaitu:
1. Ijtihad pokok, yaitu merupakan cara istinbath yang dilakukan
dengan cara menetapkan Al-Qur'an sebagai sumber rujukan
utama dalam menetapkan permasalahan hukum. Apabila tidak
terdapat pada Al-Qur'an maka merujuknya pada Hadist Nabi
yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah, dan apabila
tidak ditemukan jalan keluar pada kedua sumber hukum ini,
maka mencarinya pada qaul sahabat.
2. . Ijtihad tambahan, merupakan metode yang mengkritisi
beberapa substansi seperti; Bahwa dilalah lafad umum („am)
adalah qath‟i, seperti lafad khash, Bahwa pendapat sahabat
yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat
khusus, Bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti
lebih kuat (rajih), Adanya penolakan terhadap mafhum (makna
tersirat) syarat dan shifat, Bahwa apabila perbuatan rawi
menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah
perbuatannya bukan riwayatnya, Mendahulukan qiyas jali atas
khabar ahad yang dipertentangkan, Menggunakan istihsan dan
meninggalkan qiyas apabila diperlukan.2

2
Muhammad Rijal Fadli, “Tinjauan Historis: Pemikiran Hukum Islam Pada Masa Tabi‟in,” Tamaddun
8, no. 1 (2020): 1–20.

5
C. Metode Ijtihad Imam Hanafi.

Sebagai seorang ulama yang dijuluki ahlul ra'yi, maka dalam


menetapkan suatu hukum Imam Abu Hanifah lebih cenderung menggunakan
nalar. sehingga dalam menetapkan suatu hukum atau perkara Imam Abu
Hanifah mengambil sumber dari beberapa dalil syara' yang terdapat di dalam
Al-Qur'an, Hadist Nabi, Ijma' Sahabat, Qiyas, Istihsan, dan Urf.

1. Penggunaan Al-Qur'an sebagai sumber hukum yang pertama.


AlQuran merupakan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wasallam melalui malaikat Jibril sebagai
perantaranya yang mana membacanya merupakan nilai ibadah. Alquran
sendiri merupakan pedoman utama bagi umat muslim sehingga dalam hal ini
Imam Hanafi sepakat dengan jumhur ulama lainnya bahwasannya AlQuran
merupakan sumber hukum pertama dan tertinggi dalam menetapkan perkara-
perkara yang berkaitan dengan hukum Islam.

2. Penggunaan Hadist Nabi SAW sebagai sumber hukum kedua.

Apabila suatu perkara atau permasalahan yang berkaitan dengan


syariat Islam tidak ditemukan pembahasannya atau akar dari masalahnya di
dalam Al-Qur'an maka Imam Hanafi menggunakan Hadist Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai sumber hukum kedua dalam berijtihad.
Dalam hal ini tentu mayoritas ulama sepakat bahwa hadis yang dapat
digunakan sebagai sumber hukum merupakan Hadits yang shahih, namun para
ulama berselisih pendapat dalam menentukan kesahihan suatu Hadist.
Menurut Imam Hanafi apabila ditinjau dari segi sanadnya Hadist terbagi
menjadi tiga yaitu Hadist Mutwatir, Hadist Mahsyur, dan Hadist Ahad.

6
3. Penggunaan Ijma' Sahabat sebagai sumber hukum ketiga.

Ijma' merupakan kesepakatan seluruh Imam Mujtahid pada suatu


masa setelah Rasulullah wafat dalam menetapkan hukum syara' mengenai
suatu perkara. Ijma' sebagai sumber hukum yang posisinya ketiga setelah Al-
Qur'an dan Hadist telah disepakati oleh para ulama termasuk Imam Hanafi.
Kehujjahan Ijma' didasari oleh Hadist Nabi yang menegaskan bahwa Ijma'
pada hakikatnya adalah milik umat Islam, dan Imam Mujtahid merupakan
wakil umat dalam memutuskan suatu hukum, sehingga apabila para Mujtahid
sudah berkumpul dan membahas suatu perkara hukum dan memutuskannya,
maka keputusan itu dianggap sah dan benar sebagaimana Hadits Nabi SAW :
“Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itupun baik disisi
Allah.”(HR. Ahmad).

4. Penggunaan Qiyas sebagai sumber hukum keempat.

Qiyas merupakan suatu metode istinbath hukum, yang dilakukan


dengan cara menganalogikakan suatu perkara yang baru yang tidak ada
dalilnya, dengan perkara sebelumnya yang ada dalilnya karena adanya
persamaan illat. Jumhur ulama termasuk Imam Hanafi menyepakati Qiyas
sebagai sumber hukum diurutan keempat karena adanya alasan kuat baik dari
segi akal maupun nash, sebab dalam Al-Qur'an banyak sekali ayat yang
menyeru kepada manusia agar dapat menggunakan akalnya sebaik mungkin.

5. Penggunaan Istihsan sebagai sumber hukum kelima.

Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, bahwa istihsan ialah:


Perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang

7
hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan
keadilan.3

6. Penggunaan Urf sebagai sumber hukum.

Urf merupakan suatu kebiasaan atau tradisi yang sudah dilakukan atau
dikenal oleh masyarakat yang dijadikan sebagai sumber hukum. Dalam hal ini
Imam Abu Hanifah menetapkan Urf sebagai sumber hukum, beberapa alasan
dibalik kehujjahan Urf adalah adanya beberapa hukum Islam yang dinilai
sama dengan kebiasaan masyarakat Arab pra Islam seperti membayar diyat
kepada ahli waris yang terbunuh, dan juga adanya aqad jual beli salam. Imam
Hanafi sendiri menerapkan urf apabila sudah tidak ada lagi penyelesaian
hukum dari nash nash yang terdapat pada kelima sumber hukum diatas.4

3
Islam Al Mawaddah Warrahmah Kolaka et al., “Institut Agama METODE IJTIHAD IMAM
HANAFI DAN IMAM MALIK,” Jurnal Syariah Hukum Islam 1, no. 1 (2018): 16–37,
https://doi.org/10.5281/zenodo.1242561.
4
Sulfan Wandi, “Eksistensi ‟Urf Dan Adat Kebiasaan Sebagai Dalil Fiqh,” SAMARAH: Jurnal Hukum
Keluarga Dan Hukum Islam 2, no. 1 (2018): 181, https://doi.org/10.22373/sjhk.v2i1.3111.

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan.

Berdasarkan hasil pembahasan pada makalah ini, dapat disimpulkan bahwa:


1. Imam Abu Hanifah atau nama aslinya An-Nu'man bin Tsabit bin
Zuwatha, merupakan ulama tersohor sekaligus Mujtahid dalam bidang
fiqih serta salah satu pelopor dari 4 madzhab, yang dikenal sebagai
madzhab Hanafi.
2. Beliau merupakan ulama yang tumbuh besar di Irak wilayah Kufah,
yang mana Irak pada kala itu terkenal dengan banyaknya ulama fiqih
disana yang cenderung menerapkan akal dalam mengistinbathkan
hukum. Sehingga Imam Hanafi sendiri mahsyur dikenal sebagai Imam
yang Ahlul Ra'yi.
3. Dalam metode ijtihad yang dilakukan oleh Imam Hanafi terdapat enam
sumber hukum yang menjadi dasar ijtihadnya yaitu Al-Qur'an, Hadist,
Ijma, Qiyas, Istihsan, dan Urf.

B. Saran.

Semoga dengan membaca makalah ini diharapkan kita semua bisa


meningkatkan literasi dan wawasan terhadap adanya perbedaan pandangan
dikalangan ulama, yang membuat kita tidak harus menyalakan satu pendapat
karena mengikuti pendapat yang berbeda.

9
DAFTAR PUSTAKA

Fadli, Muhammad Rijal. “Tinjauan Historis: Pemikiran Hukum Islam Pada Masa
Tabi‟in.” Tamaddun 8, no. 1 (2020): 1–20.

Jauhari, Wildan. Biografi Imam Abu Hanifah. Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2018.

Mawaddah Warrahmah Kolaka, Islam Al, Askar Saputra, Khabar Ahad, Qoul
Shohabi, Amal Ahli Medina, Sadd AdDzarìah, and Istishaab andSyarù Man
Qoblanaa. “Institut Agama METODE IJTIHAD IMAM HANAFI DAN IMAM
MALIK.” Jurnal Syariah Hukum Islam 1, no. 1 (2018): 16–37.
https://doi.org/10.5281/zenodo.1242561.

Wandi, Sulfan. “Eksistensi ‟Urf Dan Adat Kebiasaan Sebagai Dalil Fiqh.”
SAMARAH: Jurnal Hukum Keluarga Dan Hukum Islam 2, no. 1 (2018): 181.
https://doi.org/10.22373/sjhk.v2i1.3111.

10

You might also like