You are on page 1of 28

TUGAS MAKALAH MANAJEMEN FARMASI

PELAYANAN FARMASI KLINIK


Dosen Pengmpu : Apt. Almahera, S. Farm., M. Farm.

Disusun Oleh :
1. Miftahul Jannah ( 2108060029 )
2. Nahri ( 2108060031 )
3. Rizka Sopia ( 2108060039 )
4. Widia Wati ( 2108060035 )

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA NTB
MATARAM
2023
KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur pemakalah panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
atas segala berkat dan rahmat-Nya yang memberikan kesehatan dan nikmat kepada
pemakalah sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik sesuai dengan waktu
yang direncanakan.

Makalah yang berisi materi “Farmasi Klinik” disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Manajemen Famasi. Pada kesempatan ini pemakalah menyampaikan
terima kasih kepada dosen pengampu Apt. Almahera S. Farm., M. Farm yang telah
banyak memberikan bimbingan dan saran kepada pemakalah.

Pemakalah telah berupaya dengan semaksimal mungkin dalam penyelesaian


makalah ini. Namun, pemakalah menyadari masih banyak kelemahan baik dari segi
isi maupun tata bahasanya. Untuk itu pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca demi sempurnanya makalah ini. Semoga isi
makalah ini bermanfaat dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan
pendidikan. Terima kasih.

Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................................ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1
A. Latar Belakang ...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................................3
C. Tujuan ...........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................4
A. Pelayanan Farmasi Klinik ..............................................................................4
B. Pelayanan Obat...............................................................................................9
C. Pelayanan Obat Wajib Apotek (OWA) ..........................................................13
D. Pelayanan Resep.............................................................................................14
E. Penetapan Harga Dan Pajak Obat ..................................................................18
F. Peleyanan Obat Dengan Dan Tanpa Resep ....................................................20
G. Studi Kasus.....................................................................................................22
BAB III PENUTUP ..................................................................................................24
A. Kesimpulan ....................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................25

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan
bahwa praktik kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian Obat,
pelayanan Obat atas Resep dokter, pelayanan informasi Obat serta pengembangan
Obat, bahan Obat dan Obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan kewenangan pada peraturan perundang-undangan, Pelayanan
Kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada
pengelolaan Obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif
meliputi pelayanan Obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009
tentang Pekerjaan Kefarmasian menyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian adalah
pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran Obat, pengelolaan
Obat, pelayanan Obat atas Resep dokter, pelayanan informasi Obat, serta
pengembangan Obat, bahan Obat dan Obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian
tersebut harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu. Peran Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan
pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah pemberian informasi Obat dan
konseling kepada pasien yang membutuhkan..
Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan
pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi,
mencegah, serta mengatasi masalah terkait Obat (drug related problems), masalah

1
farmakoekonomi, dan farmasi sosial (sociopharmacoeconomy). Untuk
menghindari hal tersebut, Apoteker harus menjalankan praktik sesuai standar
pelayanan. Apoteker juga harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan
lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan Obat yang
rasional. Dalam melakukan praktik tersebut, Apoteker juga dituntut untuk
melakukan monitoring penggunaan Obat, melakukan evaluasi serta
mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. Untuk melaksanakan semua
kegiatan itu, diperlukan Standar Pelayanan Kefarmasian.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di bidang
kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi Pelayanan Kefarmasian dari
pengelolaan Obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif
(pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola Obat namun
dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi
untuk mendukung penggunaan Obat yang benar dan rasional, monitoring
penggunaan Obat untuk mengetahui tujuan akhir, serta kemungkinan terjadinya
kesalahan pengobatan.
Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan peraturan perundang-
undangan dan perubahan peran Apoteker sebagaimana tersebut di atas, maka perlu
dilakukan revisi terhadap Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksudkan dengan pelayanan farmasi klinik?
2. Bagaiamana pelayanan obat untuk pasien?
3. Bagaimanana pelayanan Obat Wajib Apotek (OWA)?
4. Bagaiman a alur pelayanan resep ?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksudkan dengan pelayanan farmasi klinik.
2. Mengetahui bagaimana pelayanan obat untuk pasien.
3. Mengetahui bagaimanana pelayanan Obat Wajib Apotek (OWA).
4. Mengetahui bagaiman a alur pelayanan resep.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan Farmasi Klinis adalah pelayanan langsung yang diberikan apoteker
kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan
risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien
(patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin
(PERMENKES RI No. 34 Tahun 2021). Pelayanan farmasi klinik meliputi :
1. Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan
pertimbangan klinis.
a. Kajian administratif meliputi:
1) Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan.
2) Nama dokter, Nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon
dan paraf.
3) Tanggal penulisan resep.
b. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
1) Bentuk dan kekuatan sediaan
2) Stabilitas
3) Kompatibilitas (ketercampuran obat).
c. Pertimbangan klinis meliputi:
1) Ketepatan indikasi dan dosis Obat
2) Aturan, cara dan lama penggunaan Obat
3) Duplikasi dan/atau polifarmasi
4) Reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping Obat,
manifestasi klinis lain)
5) Kontra indikas dan interaksi

4
2. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi
Obat. Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai berikut:
a. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan Resep
1) Menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep
2) Mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik Obat.
b. Malakukan peracikan Obat bila diperlukan
c. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi: - warna putih untuk Obat
dalam/oral; - warna biru untuk Obat luar dan suntik; - menempelkan label
“kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau emulsi.
d. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk Obat yang
berbeda untuk menjaga mutu Obat dan menghindari penggunaan yang salah.
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat. Informasi mengenai Obat
termasuk Obat Resep, Obat bebas dan herbal. Informasi meliputi dosis, bentuk
sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda pemberian, farmakokinetik,
farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu
hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga,
sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain.
a. Kegiatan Pelayanan Informasi Obat meliputi:
1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan.
2. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan
masyarakat (penyuluhan).
3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien.
4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi
yang sedang praktik profesi.
5. Melakukan penelitian penggunaan obat.

5
6. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah.
7. Melakukan program jaminan mutu.
b. Hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan Informasi Obat :
1. Topik Pertanyaan;
2. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan;
3. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon);
4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti
riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium);
5. Uraian pertanyaan;
6. Jawaban pertanyaan;
7. Referensi.
Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, per telepon) dan data
Apoteker yang memberikan Pelayanan Informasi Obat Apoteker di Apotek
juga dapat melayani Obat non Resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker
harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan Obat non Resep
untuk penyakit ringan dengan memilihkan Obat bebas atau bebas terbatas
yang sesuai.
4. Konseling
Merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga untuk
meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga
terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan Obat dan menyelesaikan
masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker
menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai
rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus
melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami
Obat yang digunakan.
a. Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
1) Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau
ginjal, ibu hamil dan menyusui).

6
2) Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB,
DM, AIDS, epilepsi).
3) Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off).
4) Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
fenitoin, teofilin).
5) Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk
indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk
pemberian lebih dari satu Obat untuk penyakit yang diketahui dapat
disembuhkan dengan satu jenis Obat.
6) Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
b. Tahap kegiatan konseling:
1) Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien
2) Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Three
Prime Questions, yaitu:
a) Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda?
b) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian Obat
Anda?
c) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan
setelah Anda menerima terapi Obat tersebut?
3) Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada
pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat
4) Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan Obat
5) Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan
pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan

7
dalam konseling dengan menggunakan Formulir 7 sebagaimana
terlampir.
5. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan
terapi Obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan
meminimalkan efek samping.
6. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau
memodifikasi fungsi fisiologis.
7. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan
Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.
8. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan Obat secara
terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin Obat yang digunakan
sesuai indikasi, efektif, aman, dan terjangkau (rasional).
a. Tujuan:
1) Mendapatkan gambaran pola penggunaan Obat pada kasus tertentu.
2) Melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan Obat tertentu.
3) Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan Obat.
4) Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan Obat.
b. Kegiatan praktek EPO:
1) Mengevaluasi penggunaan Obat secara kualitatif; dan
2) Mengevaluasi penggunaan Obat secara kuantitatif.

8
c. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
1) Indikator peresepan;
2) Indikator pelayanan; dan
3) Indikator fasilitas
c. Identifikasi target EPO berdasarkan lingkup potensial masalah, misalnya:
1) Biaya Obat tinggi.
2) Obat dengan pemakaian tinggi.
3) Frekuensi Adverse Drug Reaction (ADR) tinggi.
4) Efektifitas obat kurang.
5) Antibiotik.
6) Injeksi.
7) Obat baru.
8) Jarang digunakan
EPO dilaksanakan minimal sekali dalam setahun.
B. Pelayanan Obat
1. Obat Bebas dan Bebas Terbatas
Dalam penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas, Apoteker memiliki
dua peran yang sangat penting, yaitu menyediakan produk obat yang sudah
terbukti keamanan, khasiat dan kualitasnya serta memberikan informasi yang
dibutuhkan atau melakukan konseling kepada pasien (dan keluarganya) agar
obat digunakan secara aman, tepat dan rasional. Konseling dilakukan terutama
dalam mempertimbangkan :
a. Ketepatan penentuan indikasi/penyakit.
b. Ketepatan pemilihan obat (efektif, aman, ekonomis).
c. Ketepatan dosis dan cara penggunaan obat.
Satu hal yang sangat penting dalam konseling swamedikasi adalah
meyakinkan agar produk yang digunakan tidak berinteraksi negatif dengan
produk-produk yang sedang digunakan atau dikonsumsi pasien. Di samping itu
Apoteker juga diharapkan dapat memberikan petunjuk kepada pasien

9
bagaimana memonitor penyakitnya, serta kapan harus menghentikan
pengobatannya atau kapan harus berkonsultasi kepada dokter. Informasi tentang
obat dan penggunaannya perlu diberikan pada pasien saat konseling untuk
swamedikasi pada dasarnya lebih ditekankan pada informasi farmakoterapi
yang disesuaikan dengan kebutuhan serta pertanyaan pasien. Informasi yang
perlu disampaikan oleh Apoteker pada masyarakat dalam penggunaan obat
bebas atau obat bebas terbatas antara lain:
a. Khasiat obat : Apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat
yang bersangkutan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan
kesehatan yang dialami pasien.
b. Kontraindikasi : pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontra indikasi
dari obat yang diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontra
indikasi dimaksud.
c. Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu diberi
informasi tentang efek samping yang mungkin muncul, serta apa yang harus
dilakukan untuk menghindari atau mengatasinya.
d. Cara pemakaian: cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada
pasien untuk menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup,
dioleskan, dimasukkan melalui anus, atau cara lain.
e. Dosis: sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, Apoteker dapat menyarankan
dosis sesuai dengan yang disarankan oleh produsen (sebagaimana petunjuk
pemakaian yang tertera di etiket) atau dapat menyarankan dosis lain sesuai
dengan pengetahuan yang dimilikinya.
f. Waktu pemakaian: waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan jelas
kepada pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan tidur.
g. Lama penggunaan: lama penggunaan obat juga harus diinformasikan kepada
pasien, agar pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan karena
penyakitnya belum hilang, padahal sudah memerlukan pertolongan dokter.

10
h. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya
pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu
bersamaan.
i. Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat.
j. Cara penyimpanan obat yang baik.
k. Cara memperlakukan obat yang masih tersisa.
l. Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak.
Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas,
berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima)
centimeter, lebar 2 (dua) centimeter dan memuat pemberitahuan berwarna putih
sebagai berikut :

2. Prekursor
Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi
industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang
mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine,
ergotamin, ergometrine, atau Potasium Permanganat (PerBPOM, 2021).
Penyerahan obat prekursor sebagai berikut (Apriliana, 2022) :

11
a. Harus memperhatikan kewajaran jumlah yang diserahkan sesuai terapi.
b. Penyerahan diluar kewajaran harus dilakukan oleh APJ/APing setelah
dilakukan screening terhadap permintaan obat.
c. Mewaspadai pembelian dalam jumlah besar misalnya oleh medical
representative/sales dari industri farmasi atau PBF dan pembelian berulang –
ulang dengan frekuensi yang tidak wajar.
3. Psikotropika dan Narkotika
Psikotropika adalah zat atau Obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku (PerBPOM, 2021).
Narkotika adalah Obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (PerBPOM, 2021).
Narkotika dan psikotropika hanya dapat diserahkan atas dasar resep asli
rumah sakit, puskesmas, apotek lain, balai pengobatan, dan dokter. Salinan
resep narkotika dalam tulisan “iter” tidak boleh dilayani sama sekali, tapi
psikotropika boleh.
Syarat dan penangan resep narkotika sebagai berikut :
a. Screening resep.
1) Harus resep asli.
2) Nama pasien dan alamat lengkap.
3) Tidak boleh ada iter.
4) Aturan pakai jelas, tidak boleh ada tulisan u.c (usus cognitus) yang
atinya cara pakai diketahui.
b. Obat narkotika di dalam resep diberi garis bawah tinta merah.
c. Resep tidak boleh diulang, tetapi harus dibuat resep baru/
d. Resep harus terpisah dari resep lain.

12
e. Pasien boleh meminta setengah dari resep, namun copy resep hanya bisa
ditebus pada instansi yang menyimpan resep aslinya.
Syarat dan penangan resep psikotropika sebagai berikut :
a. Screening resep.
1) Harus resep asli.
2) Nama pasien dan alamat lengkap.
3) Aturan pakai jelas, tidak boleh ada tulisan u.c (usus cognitus) yang
atinya cara pakai diketahui.
b. Obat psikotropika di dalam resep diberi garis bawah tinta biru.
c. Resep harus disimpan terpisah dari resep lain.
C. Pelayanan Obat Wajib Apotek (OWA)
Obat Wajib Apotek (OWA) adalah obat keras yang bisa diberikan oleh apoteker
kepada pasien tanpa perlu menggunakan resep dari dokter. Obat keras adalah obat-
obatan yang hanya bisa dibeli dengan resep dokter. Pengecualian diberikan untuk
OWA sesuai dengan ketentuan langsung dari pemerintah. Sebelum masuk ke
ketentuan pemberian OWA, beberapa tujuan dari pemberian OWA yang sesuai
dengan Kepmenkes No. 347/Menkes/SK/VII/1990, yaitu:
1. Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri
guna mengatasi masalah kesehatan,
2. Meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional,
3. Meningkatkan peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE (Komunikasi
Informasi dan Edukasi) serta pelayanan obat kepada masyarakat.
Dalam pemberiannya kepada pasien, apoteker memiliki beberapa kewajiban
untuk melayani pemberian OWA, yaitu:
1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan
dalam Obat Wajib Apotek yang bersangkutan.
2. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
3. Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi,
efek samping, dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.

13
Seperti yang sudah disebutkan, pemberian OWA harus sesuai dengan ketentuan
dari pemerintah. Ketentuan ini mengikuti poin Kriteria Obat Yang Dapat
Diserahkan Tanpa Resep yang ada di Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan nomor
919/MENKES/PER/X/1993. Obat yang dapat diserahkan tanpa resep harus
memenuhi kriteria :
1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di
bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada
kelanjutan penyakit.
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan.
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia.
5. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
Di samping itu, pasien juga harus menyampaikan kondisi tidak umum atau
khusus yang sedang dialaminya ke apoteker. Tanyakan hal-hal khusus seperti
apakah obat boleh dikonsumsi untuk ibu hamil jika sedang mengandung.
D. Pelayanan Resep
Secara garis besar pelayanan resep di apotek terdiri dari tiga tahapan, yaitu
skrining resep (untuk memastikan resepnya sesuai dan legal), penyiapan obat (baik
racikan atau non-racikan), dan penyerahan obat sekaligus pemberian informasi
obat.
1. Resep Datang
Ketika di apotek, ada pasien membawa resep datang, maka pihak
apotek (biasanya front office) menyambut pasien dan mempersilahkan pasien
untuk menunggu sebentar.

14
2. Skrining resep
Kelanjutnya pihak front office memberikan resep kepada petugas
penyekrening resep (harus apoteker) segera melakukan skrining resep. Skrining
resep ini antara lain skrining administratif, skrining farmasetis, dan skrining
klinis.
a. Skrining administratif. Berguna untuk menghindari kesalahan penulisan
resep maupun pemalsuan resep. Yang dianalisis dalam skrining ini antara
lain ada tidaknya maupun keaslian dari :
1) Ada tidaknya Nama,SIP dan alamat dokter.
2) Ada tidaknya dan logis tidaknya Tanggal penulisan resep.
3) Ada tidaknya Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.
4) Ada tidaknya Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan
pasien (jika perlu).
5) Benar salahnya Nama obat , sesuai tidaknya potensi obat , dosis, jumlah
yang minta.
6) Jelas tidaknya Cara pemakaian untuk pasien
b. Skrining farmasetis. Yakni menyesuaian dengan kondisi pasien tentang :
1) Bentuk sediaan,apakah cocok digunakan pasien?
2) Dosis apakah sesuai dengan usia, umur, atau berat badan pasien. Sesuai
disini maksudnya dapat menyelesaikan problema terapi pasien. Disini
akan dihitung dosis dan apakah dosis over dosis atau tidak.
3) Potensi obat, cocok tidak khasiatnya dengan penyakit yang diderita
pasien,
4) Stabilitas, apakah apabila obat ini digunakan dalam bentuk sediaan
tertentu (misal cair), apakah stabil atau tidak
5) Inkompatibilitas,apakah obat satu berinteraksi dengan obat yang lainnya
ketika dicampur/ketika dibuat, apkah rusak atau tidak
6) Cara dan lama pemberian apakah dapat menyebabkan kenyamana pada
pasien atau tidak.

15
c. Skrining klinis
1) Adanya alergi, efek samping, interaksi,obat .
2) Kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain).
3. Pemberian Harga
Apabila pasien dengan harga yang kita berikan, maka akan segera
dilakukan penyiapan/peracikan obat. Namun, permasalahan terjadi apabila
pasien sensitif terhadap harga,sehingga pasien tidak setuju dengan harga yagn
diajukan. maka penanganannya adalah mengajukan obat alternative dengan
jenis, jumlah, jumlah item dan harga sesuai kemampuan pasien. Disinilah
terkadang akan muncul kopi resep. Karena dengan kopi resep ini pasien bisa
menebus setengah obatnya terlebih dahulu, baru setelah itu, bisa ditebus waktu
berikutnya. Disinilah juga terkadang ada pergantian obat paten satu dengan obat
paten satunya yang lebih murah atau pergantian obat paten menjadi obat
generiknya. Setelah pasien setuju dengan harga obat, maka tahap selanjutnya
adalah penyiapan /peracikan obat. Namun apabila memang benar-benar pasien
tidak mampu untuk menebus obat dan dapat dibuktikan dengan rasa dan etika,
maka itu kebijakan dari apotekernya, apakah akan memberikannya secara gratis
atau menghutanginya.
4. Penyiapan/peracikan obat
Tahap yang dilakukan pada penyiapan /peracikan obat antara lain
penyiapan/peracikan, dan penyerahan obat ke pasien. Yang melakukan tahpa
ini tidak harus apoteker, bisa tenaga ahli kesehatan seperti aa,ataupun tenaga
terlatih lainnya.
5. Peracikan.
Dalam peracikan, dilakukan kegiatan penimbangan obat , pencampuran
obat apabila obat perlu dicampur (dijadikan serbuk, cairan, dll), kemudian
pengemasan setelah obat berhasil dibuat. Dan tahap selanjutnya adalah
pemberian etiket. Yang harus diperhatikan adalah tahap ini harus jelas
prosedurnya, ada protab/sopnya dengan memperhatikan tahap tahap kritikal

16
seperti dosis yang harus tepat, pencampuran yang harus tepat. Etiket pun harus
jelas dan dapat dibaca serta mudah dipahami. Pengemasan pun harus rapi dan
dapat menjaga kualitas dari obat tersebut.
6. Penyerahan obat ke pasien.
Sebelum obat di serahkan kepasien, maka harus dilakukan pengecekan
kembali terhadap kesesuaian antara obat dengan etiket, obat dengan resep. Di
sini yang mengecek kembali biasanya adalah orang lain. Penyerahan obat
dilakukan oleh apoteker dan dilakukan konseling serta pemberian informasi,
dan edukasi agar pasien dapat complience maupun adherence.
7. Pemberian informasi, edukasi, dan konseling
a. Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah
dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini.
b. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian
obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta
makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi
c. Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi,
pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki
kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya
penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan
kesehatan lainnya.
d. Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC,
asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling
secara berkelanjutan agar bisa menghasilkan outpun maksimal dimana
pasien dapat complience dan addherence.
7. Monitoring penggunaan Obat
Ini lebih dikhususkan oleh pasien – pasien yang mempunyai penyakit
kronis, seperti DM, antihipertehnsi, dll.

17
E. Penetapan Harga dan Perpajakan Obat
1. Penetapan harga obat
Faktor-faktor penentu harga obat
a. Biaya bahan baku ( bahan baku/ zat aktif, bahan/zat tambahan dan bahan
pengemas )
b. Biaya oprasional (oprational cost)
c. Biaya marketing dan promosi
d. Biaya distribusi
e. Biaya lain lain ( umum, penyusustan, pajak dan lain lain)
Alur penetapan harga obat :

a. Harga Pokok Produksi (HPP) atau Cost of Goods Manufacture (COGM)


1) HPP = Raw Material + Packaging Material+ Direct Labor + Over Head +
Fix Burden.
2) Dalam industri farmasi, biaya bahan baku (zat aktif dan bahan pengisi)
dan bahan pengemas sekitar 70-80 %.
3) Biaya tenaga kerja langsung sekitar 5-10 % , dan Biaya tambahan (biaya
penyusutan, biaya energi, biaya bahan bakar, biaya telepon, biaya
perawatan, biaya pelatihan, biaya onderdil) sekitar 15-20% dari HPP.
b. Harga Jual Pabrik (HJP) atau Cost of Goods Sales ( COGS )
1) HJP = HPP + Biaya Pemasaran + Biaya Administrasi + Biaya Manajemen
+ Pajak + Keuntungan + Lisensi.
2) Biaya pemasaran adalah biaya yang digunakan untuk pengeluaran
pemasaran bagi sales marketting ( medrep ).
3) Biaya administrasi adalah biaya yang digunakan untuk administrasi
industri farmasi. Biaya ini dibebankan pada produk ( obat ) tersebut

18
karena produk merupakan satu- satunya pendapatan utama dalam industri
farmasi.
4) Pajak adalah pajak penghasilan industri farmasi.
5) Keuntungan adalah laba yang diperoleh industri farmasi sebagai sumber
keuntungan industri farmasi.
c. Harga Netto Apotek ( HNA )
1) HNA = HJP + Biaya Distribusi.
2) HNA + PPN = Harga jual pabrik obat dan/atau PBF kepada apotek dan
rumah sakit (harga patokan tertinggi).
3) PPN ( Pajak Pertambahan Nilai ) ditetapkan sebesar 10 % untuk semua
jenis obat. ( Kepmenkes 92/2012 tentang HET Obat Generik Tahun
2012).
d. Harga Eceran Tertinggi ( HET )
1) HET = HNA + Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% + Margin apotek
25%.
2) HET adalah harga eceran tertinggi yang ditetapkan berdasarkan
Kepmenkes 69/2006 tentang Pencantuman HET pada Label Obat yang
berguna untuk melindungi konsumen dari harga yang mahal.
3) HET adalah harga jual tertinggi di apotek, rumah sakit, klinik, dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang berlaku untuk seluruh
Indonesia (Kepmenkes 92/2012 tentang HET Obat Generik Tahun 2012).
HNA ≤ 74% HET (Kepmenkes 92/2012 tentang HET Obat Generik
Tahun 2012).
e. Harga Jual Apotek (HJA)
1) Besarnya HJA kepada pasien tidak boleh lebih tinggi dari HET.
2) Secara garis besar, cara untuk menentukan HJA menggunakan rumus
sebagai berikut:

19
HJA = (HNA + PPN) x I + E + T
I = Indeks/ Keuntungan (berkisar 1,1-1,3).
E = Embalase (harga wadah pembungkus obat dan peralatan lain,
misalnya plastik, salinan resep).
T = Tuslah ( merupakan besaran balas jasa pelayanan farmasi ).
F. Penetapan Harga Obat Dengan Dan Tanpa Resep
Harga merupakan variabel penting dalam suatu bisnis, termasuk bisnis apotek.
Harga jual mempengaruhi kompetisi dengan kompetitor dan mempengaruhi
keuntungan di apotek. Penetapan harga jual apotek dilakukan untuk
menyeimbangkan agar harga tidak terlalu tinggi sehingga tidak terjangkau oleh
masyarakat, namun tetap harus mampu memberi keuntungan dari pendapatan di
apotek.
Struktur harga yang ditetapkan oleh Gabungan Perusahaan Farmasi dan
disetujui pemerintah disebut HET (Harga Eceran Tertinggi). HET adalah harga jual
tertinggi obat di apotek, toko obat, dan IFRS/klinik. HET dicetak di label obat oleh
industri farmasi sampai pada satuan kemasan terkecil. Informasi HET wajib ada
pada obat, baik obat bebas, bebas terbatas, dan obat keras.
Menurut Permenkes No 98 tahun 2015, Apotek, toko obat dan IFRS/klinik
harus menjual obat dengan harga sama atau lebih rendah dari HET. Namun, bisa
menjual dengan harga lebih tinggi jika harga pada label sudah tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini, jika harga lebih tinggi maka apotek harus
memberikan penjelasan kepada masyarakat/pelanggan.
1. Penetapan Harga Jual Obat dengan Resep.
Pelayanan obat dengan resep hanya dapat dilakukan di apotek, meliputi
obat keras termasuk narkotika, pikotropika, dan prekursor farmasi baik
berbentuk racikan dan non racikan. Pendapatan apotek untuk obat dengan resep
memiliki markup yang lebih besar daripada tanpa resep. Besarnya penetapan
harga obat dengan resep biasanya dihitung menggunakan persamaan berikut :

20
HJA = [(HNA + PPN) x indeks] + E + S
Keterangan :
HJA = Harga jual apotek, harga yang diberikan apotek kepada pasien.
HNA = Harga netto apotek, harga yang diberikan PBF kepada apotek
sebelum ditambah PPN.
PPN = Pajak pertambahan nilai, sebesar 11%.
Indeks = Besarnya markup apotek. Biasanya untuk obat resep sebesar 1,3
namun perhatikan lagi agar tetap di bawah HE.
E = Biaya embalase, harga barang tidak termasuk obat seperti plastik
pengemas, salinan resep.
S = Biaya servis.
2. Penetapan Harga Jual Obat Tanpa Resep.
Penjualan obat tanpa resep meliputi obat bebas, obat bebas terbatas, obat
wajib apotek (OWA), alat kesehatan, kosmetika, dan obat tradisional. Besarnya
penetapan harga obat tanpa resep biasanya dihitung menggunakan persamaan
berikut :
HJA = [(HNA + PPN) x indeks] + E
Keterangan :
HJA = Harga jual apotek, harga yang diberikan apotek kepada pasien.
HNA = Harga netto apotek, harga yang diberikan PBF kepada apotek
sebelum ditambah PPN.
PPN = Pajak pertambahan nilai, sebesar 11%.
Indeks = Besarnya markup apotek. Biasanya untuk obat resep sebesar 1,2
namun perhatikan lagi agar tetap di bawah HE.
E = Biaya embalase, harga barang tidak termasuk obat seperti plastik
pengemas, salinan resep.

21
G. Studi Kasus
a. Judul
Penerapan Pelayanan Informasi Obat Di Beberapa Puskesmas Kota Makassar.
b. Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana penerapan PIO pada sarana pelayanan
kesehatan yaitu empat Puskesmas di Kota Makassar.
c. Metode
Kuesioner survei tertutup.
d. Hasil

Terkait cara penyimpanan obat, informasi ini diberikan dengan baik di


Puskesmas Batua dan Antara (100%) dan sekitar 20% disampaikan kepada
pasien yang menerima obat di Puskesmas Makkasau. Informasi lainnya yang
masih belum disampaikan kepada pasien yaitu terkait cara pembuangan obat.
Efek samping penggunaan obat telah disampaikan kepada pasien di
Puskesmas Makkasau (66%) dan Batua (29%). Hal ini membuktikan bahwa

22
pemberian informasi efek samping obat belum sepenuhnya dilakukan kepada
pasien di Puskesmas Makassar.
e. Kesimpulan
PIO yang diberikan kepada pasien di Puskesmas, pada tiga aspek informasi
yaitu terkait waktu, lama atau durasi, dan cara penggunaan obat (100%) telah
disampaikan, namun empat dari tujuh aspek masih belum optimal meliputi efek
samping obat dan cara penyimpanan obat, bahkan untuk informasi interaksi
obat dan cara pembuangan obat masih belum diberikan kepada pasien.

23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pelayanan Farmasi Klinis adalah pelayanan langsung yang diberikan apoteker
kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan
risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien
(patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin.
Dalam pelayanan obat bebas dan terbatas, hal – hal yang perlu di perhatikan
antara lain khasiat obat, indikasi, kontra indikasi, dosis, cara pemakaian, dll.
Kemudian untuk pelayanan obat prekursor harus memperhatikan memperhatikan
kewajaran jumlah yang diserahkan sesuai terapi, penyerahan diluar kewajaran
harus dilakukan oleh APJ/APing setelah dilakukan screening terhadap permintaan
obat, mewaspadai pembelian dalam jumlah besar misalnya oleh medical
representative/sales dari industri farmasi atau PBF dan pembelian berulang – ulang
dengan frekuensi yang tidak wajar. Dan untuk obat psikotropika dan narkotika
harus dengan resep asli, untuk narkotika tidak boleh di buat salinan resep.
Pemberian OWA harus sesuai dengan ketentuan dari pemerintah. Ketentuan
ini mengikuti poin Kriteria Obat Yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep yang ada di
Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan nomor 919/MENKES/PER/X/1993.
Secara garis besar pelayanan resep di apotek terdiri dari tiga tahapan, yaitu
skrining resep (untuk memastikan resepnya sesuai dan legal), penyiapan obat (baik
racikan atau non-racikan), dan penyerahan obat sekaligus pemberian informasi
obat.

24
DAFTAR PUSTAKA
Anggriani A., dkk. 2022. “Penerapan Pelayanan Informasi Obat Di Beberapa
Puskesmas Kota Makassar”. Departemen Farmasi, Fakultas Farmasi,
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Apriliana K., dkk. 2022. “Gambaran Pengelolaan Obat Prekursor Di Apotek Niwasya
Kabupaten Lampung Selatan Periode Januari – Juni 2021”.
Universitas Sahid Surakrta.
Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 24 Tahun 2021 “Tentang
Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika,
Dan Prekursor Farmasi Di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian”.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2021. “Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Klinik”.

25

You might also like