Professional Documents
Culture Documents
BK Anak Berkebutuhan Khusus
BK Anak Berkebutuhan Khusus
Makalah ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah “bk anak
berkebutuhan khusus”
Dosen pengampu :
Dra. Elni yakub, MS./ Dian oktary,S.Pd., M.Pd
Disusun oleh :
Kelompok 2
Ucapan terima kasih pun pemakalah sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah yaitu Ibu
Siska Mardes, S.Pd., M.Pd. dan Ibu Khairiyah Khadijah, S.Pd,I., M.Pd., kons. karena atas pemberian
tugas makalah ini pemakalah bisa lebih banyak memperoleh ilmu dan pengetahuan khususnya tentang
pentingnya Konseling Lintas Budaya di satuan sekolah.
Pemakalah menyadari bahwa dalam penyusunan tugas makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, namun pemakalah berharap dengan ketidaksempurnaan tersebut bisa menjadi bahan
perbaikan di masa yang akan datang.
Tim pemakalah
i
DAFTAR ISI
PRAKATA....................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................................... ii
Bab I PENDAHULUAN.................................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang................................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah.............................................................................................................. 1
1.3. Tujuan ................................................................................................................................ 1
BAB II KAJIAN TEORI ................................................................................................................ 2
2.1 Pengertia bimbingan dan konseling .................................................................................. 2
2.2 Tujuan bimbingan dan konseling...................................................................................... 3
2.3 Asas bimbingan dan konseling ......................................................................................... 3
2.4 Prinsip bimbingan dan konseling...................................................................................... 4
2.5 Fungsi bimbingan dan konseling ...................................................................................... 5
2.6 Peranan bimbingan dan konseling ..................................................................................... 6
2.7 Jenis-jenis masalah anak berkebutuhan khusus ................................................................ 7
BAB III PENUTUP ......................................................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................................... 15
3.2 Saran.................................................................................................................................. 15
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Perhatian besar pemerintah adalah pendidikan inklusi karena meningkatnya jumlah anak
berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap
manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu
negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap
warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan
(difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1).Namun sayangnya sistem
pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan
munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan
bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas
segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar
menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
membuka jalan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus untuk dapat mengenyam
pendidikan dengan layak. Pendidikan inklusi secara khusus diartikan sebagai sebuah upaya
penyelenggaraanpendidikan yang diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus dan anak normal
untuk belajar. Dengan adanya pendidikan inklusi artinya sekolah tersebut harus mampu
mengakomodasi setiap anak tanpa kecuali, baik secara fisik, intelektual, emosional,
sosial, bahasa, budaya, etnis, minoritas dan berbagai hal lainnya. Tujuannya adalah tidak ada
kesenjangan di antara anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Diharapkan
pula anak dengan kebutuan khusus dapat memaksimalkan potensi yang ada dalam
dirinya
1
BAB II KAJIAN TEORI
Berkaitan dengan permasalahan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus karena
mereka memiliki beberapa hambatan yang ada pada dirinya. Sehubungan dengan hal tersebut
maka pemberian bantuan terhadap anak berkebutuhan khusus harus terus menerus diberikan
secara sistematis, terus menerus, terencana dan terarah pada tujuan dalam upaya memecahkan
masalah yang dihadapinya. Bimbingan bagi anak berkebutuhan khusus diberikan agar anak
berkbutuhan khusus tersebut lebih mengenal dirinya sendiri, menerima keadaan dirinya,
mengenali kekuatan dan kelemahannya serta dapat mengarahkan dirinya sesuai
dengan kemampuaannya.
2
Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-
hambatan perkembangan dirinya, dan untuk mencapai perkembangan optimal kemampuan
pribadi yang dimilikinya, proses tersebut dapat terjadi setiap waktu. Bantuan yang diberikan
kepada konseli lebih menekankan kepada peranan konseli itu sendiri ke arah tujuan yang sesuai
dengan potensinya.
ASCA (American School Counselor Association) mengemukakan bahwa, konseling
adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan
pemberian kesempatan dari konselor kepada konseli, konselor mempergunakan pengetahuan dan
keterampilannya untuk membantu konseli mengatasi masalah-masalahnya.
Maka dapat ditarik kesimpulan, konseling bagi anak berkebutuhan khusus adalah upaya
batuan yang diberikan oleh konselor kepada konseli agar konseli tersebut dapat menyelesaikan
masalah yang sedang dihadapinya dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
berbeda dengan dirinya serta mereka mampu untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anak berkebutuhan khusus tersebut.
3
pembimbing (konselor) terlebih dahulu bersikap terbuka dan tidak berpura-pura. Asas
keterbukaan ini bertalian erat dengan asas kerahasiaan dan dan kekarelaan.
4. Asas Kegiatan; yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (klien) yang menjadi sasaran
layanan dapat berpartisipasi aktif di dalam penyelenggaraan/kegiatan bimbingan. Guru
Pembimbing (konselor) perlu mendorong dan memotivasi peserta didik untuk dapat aktif dalam
setiap layanan/kegiatan yang diberikan kepadanya.
5. Asas Kemandirian; yaitu asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan konseling;
yaitu peserta didik (klien) sebagai sasaran layanan/kegiatan bimbingan dan konseling diharapkan
menjadi individu-individu yang mandiri, dengan ciri-ciri mengenal diri sendiri dan
lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan, serta mewujudkan diri sendiri.
Guru Pembimbing (konselor) hendaknya mampu mengarahkan segenap layanan bimbingan dan
konseling bagi berkembangnya kemandirian peserta didik.
6. Asas Kekinian; yaitu asas yang menghendaki agar obyek sasaran layanan bimbingan dan
konseling yakni permasalahan yang dihadapi peserta didik/klien dalam kondisi sekarang.
Kondisi masa lampau dan masa depan dilihat sebagai dampak dan memiliki keterkaitan dengan
apa yang ada dan diperbuat peserta didik (klien) pada saat sekarang.
7. Asas Kedinamisan; yaitu asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran layanan
(peserta didik/klien) hendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta
berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
8. Asas Keterpaduan; yaitu asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiatan bimbingan
dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang,
harmonis dan terpadukan. Dalam hal ini, kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak yang
terkait dengan bimbingan dan konseling menjadi amat penting dan harus dilaksanakan sebaik-
baiknya.
9. Asas Kenormatifan; yaitu asas yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan bimbingan
dan konseling didasarkan pada norma-norma, baik norma agama, hukum, peraturan, adat istiadat,
ilmu pengetahuan, dan kebiasaan – kebiasaan yang berlaku. Bahkan lebih jauh lagi, melalui
segenap layanan/kegiatan bimbingan dan konseling ini harus dapat meningkatkan kemampuan
peserta didik (klien) dalam memahami, menghayati dan mengamalkan norma-norma tersebut.
10. Asas Keahlian; yaitu asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling
diselnggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana layanan dan
kegiatan bimbingan dan konseling lainnya hendaknya tenaga yang benar-benar ahli dalam
bimbingan dan konseling. Profesionalitas guru pembimbing (konselor) harus terwujud baik
dalam penyelenggaraaan jenis-jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling dan dalam
penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
11. Asas Alih Tangan Kasus; yaitu asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu
menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu
permasalahan peserta didik (klien) kiranya dapat mengalih-tangankan kepada pihak yang lebih
ahli. Guru pembimbing (konselor)dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru
lain, atau ahli lain. Demikian pula, sebaliknya guru pembimbing (konselor), dapat mengalih-
tangankan kasus kepada pihak yang lebih kompeten, baik yang berada di dalam lembaga sekolah
maupun di luar sekolah.
12. Asas Tut Wuri Handayani; yaitu asas yang menghendaki agar pelayanan bimbingan dan
konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana mengayomi (memberikan rasa aman),
mengembangkan keteladanan, dan memberikan rangsangan dan dorongan, serta kesempatan
yang seluas-luasnya kepada peserta didik (klien) untuk maju.
4
dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin, sehingga ia dapat mencapai
hidup bahagia sesuai dengan kecacatannya. Oleh karena itu guru harus kreatif. Guru dituntut
mencari berbagai pendekatan pembelajaran yang cocok bagi anak. Pendekatan tersebut harus
disesuaiakan dengan keunikan dan karakteristik dari masing – masing kecatatan.
2. Kenyataan (reality) Pengungkapan tentang kemampuan fisik dan psikologis pada masing –
masing anak berkebutuhan khusus mutlak dilakukan. Hal ini penting, mengingat melalui tahapan
tersebut pelaksanaan pendidikan maupunpelaksanaan rehabilitasi dapat memberikan layanan
yang sesuai dengan kemampuan yang dimilki oleh masing – masing anak berkebutuhan khusus.
Dasar pendidikan yang menempatkan pada kemampuan masing – masing anak tunadaksa inilah
yang dimaknai sebagai dasr yang berlandaskan pada kenyataan.
3. Program yang dinamis (a dynamic program) Pendidikan pada dasarnya bersifat dinamis.
Pendidikan dikatakan dinamis karena yang menjadi subjek pendidika adalah manusia yang
sedang tumbuh dan berkembang, yang di dalamnya terdapat proses yang bergradasi,
berkesinambungan untuk mencapai sasaran pendidikan. Dinamika dlam proses pendidikan
terjadi karena subjek didinya selalu berkembang, sehingga penyesuaian layanan harus
memperhatikan perkembangan yang terjadi pada subjek didik. Dinamika juga terjadi karena
perkembangan ilmu pengetahuan. Kedua kenyataan ini menuntut guru untuk mengkaji teori –
teori pendidikan yang berkembang setiap saat. Memperhatikan kedua dinamika tersebut layanan
pendidikan seharusnya memperhtikan karakteristik yang cukup hetergen pada anak dengan
segala dinamikanya.
4. Kesempatan yang sama (equality of opportunity) Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus diberi
kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensinya tanpa memprioritaskan jenis – jenis
kecacatan yang dialaminya. Titik perhatian yang utama pada anak berkebutuhan khusus adalah
optimalisasi potensi yang dimiliki masing – masing anak melalui jenjang pendidikan yang
ditempuhnya. Hal – hal yang besifat teknis berkaitan dengan sarana dan prasarana sekolah
disesuiakan dengan kenyataan yang ada. Kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan
menuntut penyelenggara pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus untuk menyediakan dan
mengusahakan sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan anak dan variasi
kecacatannya.
5. Kerjasama (cooperative) Pendidikan pada anak berkebutuhan khusus tidak akan berhasil
mengembangkan potensi merekajika tidak melibatkan pihak – pihak yang terkait. Beberapa pihak
terkait yang paling utama dalah orang tua. Orang tua anak berkebutuhan khusus perlu dilibatkan
dalam merancang dan melaksanakan program Pendidikan
5
sekolah yang dapat mendukung bagi perkembangan dan potensi peserta didik. Bimbingan dan
konseling memfasilitasi kebutuhan peserta didik yang memiliki hambatan/gangguan/kelainan,
agar setiap anak dapat tumbuh berkembang sesuai dengan potensi dan kebutuhannya.
2. Peranan bimbingan dan konseling dalam penanganan anak yang memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa
Sesuai dengan karakteristiknya, pembelajaran yang diprogramkan untuk peserta didik
yang memiliki potensi kecerdasandan/atau bakat istimewa (PKBI) dibuat berbeda dengan peserta
didik pada umumnya yaitu dengan cara dieskalasi (ditingkatkan), baik dengan program
pemampatan kurikulum (compacting), akselerasi (acceleration), pengayaan (enrichment), atau
program lainnya. Program sekolah tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk mempertemukan
kebutuhan dasar peserta didik yang memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa dengan
pengembangan kurikulum yang berbasis pada kebutuhan belajar peserta didik yang berpotensi
cerdas dan/atau berbakat istimewa.
Program Bimbingan dan Konseling disiapkan untuk membantu berbagai pihak, yaitu
pendidik dan tenaga kependidikan, peserta didik, pemangku kepentingan (stakeholder) dan orang
tua dalam menyelaraskan keinginan masing-masing pihak dengan kebutuhan program bagi
peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Bimbingan dan
konseling mempertemukan berbagai kepentingan tersebut dalam wujud program bimbingan dan
konseling di sekolah yang dapat mendukung bagi perkembangan dan potensi peserta didik yang
memiliki kecerdasan dan bakat istimewa. Bimbingan dan konseling memfasilitasi keutuhan
peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa, agar setiap anak dapat
tumbuh berkembang sesuai dengan potensi dan kebutuhannya.
6
downsyndrom atau ABK mental lainnya. Sehingga dibutuhkan pendekatan yang berbeda.
paling tidak, ABK dapat mengeahui secara mendasar untuk mengetahui siapa dirinya, terlebih
lagi dapat secara sederhana mengorganisir dirinya. Dalam fase pemahaman ini juga
membantu ABK fisik untuk berfikir dan menerima dengan lebih lapang serta
mengambangkan nilai-nilai positif lainnya agar menjad pribadi yang lebih tabah, kemudian
memahami hal-hal lain diluar pribadinya. Berbeda lagi ketika melakukan pemahaman
terhadap anak berbakat, dan kebutuhan ABK lainnya.
b. Pemahaman lingkungan kecil
Pemahaman dalam jenis ini ABK diminta agar mengetahui orang-orang di sekitarnya
seperti memahami teman sekitar (sekolah maupun rumah), keluarga, guru, dan konselor.
Kebanyakan ABK menutup diri dan tidak mau memahami atau sekedar mengenal lingkungan
kecil di sekitarnya. Pada fungsi pemaham poin ini memberikan pandangan pada ABK bahwa
dia tidak sendiri; karena masih banyak orang-orang yang peduli dengannnya untuk melewati
masa sulit dan membantu keluar dari permasalahan.
c. Pemahaman lingkungan luas
Pemahaman yang satu ini besikap sangat global karena sudah tidak melulu memahami
dirinya dan lingkungan sekitar tetapi juga sudah mencakup masyarakat luas. Contohnya,
seringkali di TV atau media masa lainnya yang menayangkan anak- anak berkebutuhan
khusus yang menjadi big fans suatu komunitas music, atau komunitas lainnya. Itu merupakan
bantuan koneslor dalam melakukan aktivitas pemahaman lingkungan luas. Mereka menjadi
tahu berbagai profesi di luar sana dan menyukai hal-hal yang juga digemari oleh manusia atau
anak anak seusianya. Hal ini dapat menyebabkan ABK menyalurkan fungsi pemahaman pada
poin pertama (pemahaman personal) dengan hal-hal yang digemari di luar. Sehingga ABK
menjadi pribadi yang mandiri dan berprestasi dengan segala kekurangannya. Berikut terdapat
dua contoh kisah ABK berprestasi yang dikutip dari dua media online berbeda.
3. Fungsi perbaikan
Seperti namanya, fungsi ini adalah untuk memperbaiki keadaan ABK yang ditangani.
Perbaikan ini dapat dilakukan saat pengidetifikasian pertama kali karena keadaan ABK ini harus
dilakukan perbaikan karena terlambat dilakukan penanganan. Di sisi lain perlakukan perbaikan
ini dapat dilakukan ketika terdapat hambatan pada fungsi pencegahan dan fungsi pemahaman.
Tidak semua perencanaan dan pelakasanaan aktivitas konseling yang sistematis mendapatkan
jalan yang mulus dan langsung bertemu pada titik terang. Sehingga dibutuhkan fungsi yang ke
tiga ini, konseling sebagai fungsi perbaikan terhadap ABK.
4. Fungsi pengembangan dan penyaluran
Maksud dan tujuan dari fungsi ini adalah sebuah tindak lanjud dari masing-masing definisi
detil fungsi sebelum-sebelumnya. Dimana ABK dioptimalkan kemampuannya secara akademik
dan non akademik. Sehingga dapat menjadi pribadi yang berguna bagi masyarakat sekitarnya.
Seperti contoh kisah siswa di Seragen dan Aurel di Bandung.
Selain mengembangkan minat danbakat yang ada dalam dirinya, konseling ini juga
berfungsi untuk mengembangkan pola pikirnya dan pengembangan pribadinya. Dari aktivitas
tersebut, konselor dapat membantu menyalurkan ke dalam wadah yang tepatt, sesuai dengan
keadaan yang ada.
7
a. Masalah Pribadi dan Masalah Penerimaan Diri
Setiap anak akan menghadapi berbagai masalah yang berbeda-beda. Dalam keadaan
tertentu kadang-kadang anak dihadapkan pada suatu kesulitan yang bersumber dari dalam
dirinya. Keadaan ini seperti ini tidak terelakan bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang secara
nyata memiliki hambatan/ gangguan/kelainan. Seringkali masalah ini timbul karena anak
berkebutuhan khusus kurang berhasil dalam menyesuaikan diri dan menghadapi dengan hal-hal
dari dalam dirinya sendiri. Contohnya adalah konflik yang berlarut-larut dan gejala-gejala
frustasi dengan keadaan dirinya. Permasalahan yang dihadapi oleh anak tersebut berkaitan erat
dengan bimbingan yang harus diperolehnya. Berkenaan dengan anak berkebutuhan khusus maka
permasalahan anak yang paling krusial adalah permasalahan yang disebabkan oleh perbedaan
dengan anak-anak lainnya. Dengan mengalami hambatan/ gangguan/kelainan maka berkaitan
erat pula dengan masalah penerimaan dirinya. Siapa yang tidak akan merasa menjadi beban
apabila tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, tidak bisa bicara, tidak bisa bergerak atau
berjalan bebas atau tidak sama dengan anak-anak lainnya. Kenyataan ini akan berdampak negatif
pada perkembangan kepribadiannya, sehingga perlu adanya bimbingan pribadi bagi setiap anak
berkebutuhan khusus.
Bimbingan ini sangat penting karena berdampak pula pada penerimaan atau penolakan
terhadap dirinya. Memang tidak mudah melakukannya untuk itulah konselor atau guru kelas
perlu berupaya memahami anak berkebutuhan khusus sebaik mungkin, memahami keluarganya,
teman-temannya dan lingkungan sosialnya. Bagi anak berkebutuhan khusus yang telah menerima
keadaan dirinya akan menjadi kekuatan atau motivasi untuk hidup sukses, sehinga akan lebih
tercurah atau terfokus kepada upaya-upaya belajar dan penyiapan diri untuk berkarya atau
bimbingan pekerjaan.
Anak berkebutuhan khusus memiliki permasalahan yang diakibatkan
hambatan/gangguan/kelainan yang disandangnya, walaupun masalah-masalah tersebut tidak
selalu dialami oleh semua anak berkebutuhan khusus.
Sebagai ilustrasi di bawah ini dicontohkan masalah yang terjadi dari anak berkesulitan
belajar. Anak berkesulitan belajar adalah anak yang memiliki gangguan satu atau lebih dari
proses dasar yang mencakup pemahaman penggunaan bahasa lisan atau tulisan, gangguan
tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak sempurna dalam
mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau menghitung. Batasan
tersebut meliputi kondisi-kondisi seperti gangguan perceptual, luka pada otak, diseleksia dan
afasia perkembangan. Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan
sejumlah karakterisktik peserta didik atau anak/siswa yang beraneka ragam. Ada anak yang dapat
menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di
sisi lain tidak sedikit pula anak yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan.
Kesulitan belajar anak ditunjukkan oleh adanya hambatan- hambatan tertentu untuk mencapai
hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya
dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.
Anak yang mengalami kesulitan belajar akan tampak dari berbagai gejala yang
dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif.
Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain
1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata- rata nilai yang dicapai oleh
kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
2. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa
yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu renda.
3. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-
kawannya dari waktu yang disediakan.
4. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura,
dusta dan sebagainya.
5. Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak
mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau
mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
8
6. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti: pemurung, mudah tersinggung,
pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam
menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya
9
apabila orang-orang yang dikunjunginya kurang empati atau memandang sebelah mata dengan
kehadirannya.
Sikap menolak atau memandang rendah dari masyarakat terhadap anak-anak berkebutuhan
khusus bisa membuat luka atau membuat hancur hatinya. Oleh karena itu perlu sekali ada
gerakan-gerakan penyadaran kepada masyarakat dari pihak sekolah,
dinas/instansi/badan/balai/lembaga terkait untuk lebih bersikap humanis dan menghargai hak
azazi manusia, sehingga tidak ada lagi sikap-sikap yang menolak dan mendiskriminasi karena
mereka memiliki hak- hak yang sama dengan anak-anak atau anak-anak lainnya.
d. Masalah Belajar pada Anak Berkebutuhan Khusus
1. Kesulitan Belajar
Anak yang mengalami kesulitan belajar sering disebut dengan istilah learning
problems atau learning difficulties adalah kelompok learning disabilities (LD). Masalah
kesulitan belajar dalam pendidikan kebutuhan khusus (special needs education), anak yang
mempunyai kebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun permanen akan
berdampak langsung kepada proses belajar, dalam bentuk hambatan untuk melakukan
kegiatan belajar (barrier to learning and development). Misalnya, kesulitan atau gangguan
belajar ABK yang disebabkan akibat gangguan penglihatan (tunanetra), gangguan
pendengaran dan bicara (tunarungu/wicara), kelainan kecerdasan
(tunagrahita giffted dan genius), gangguan anggota gerak (tunadaksa), gangguan perilaku dan
emosi (tunalaras), lamban belajar (slow learner), autis, atau ADHD akan berdampak
terhadap proses pembelajaran sesuai dengan tingkat kesulitannya. Dalam diklat ini terfokus
kepada pembahasan kesulitan belajar bagi ABK di sekolah dasar inklusi yang mengalami
gangguan belajar spesifik yaitu disleksia.
Anak yang mengalami learning disabilities (LD) atau Specific Learning
Diificulties (SLD) secara umum dapat diartikan suatu kesulitan belajar pada anak yang
ditandai oleh ketidakmampuan dalam mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya dan
berdampak pada hasil akademiknya. Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat Anna Surti
Ariani, Psi, mendefinisikan kesulitan belajar merupakan hambatan atau gangguan belajar pada
anak atau remaja yang ditandai adanya kesenjangan yang signifikan antara taraf intelegensi
dan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai oleh anak seusianya.
Anak LD atau SLD adalah masalah belajar primer yang disebabkan karena adanya
defisit atau kekurangan fungsi dalam satu atau lebih area inteligensi. Penyebabnya gangguan
neurologis dan genetik. Istilah LD atau SLD hanya dikenakan pada anak-anak yang
mempunyai inteligensia normal hingga tinggi. Gangguan ini merupakan gangguan yang kasat
mata, berupa kesalahan dalam hal membaca (disleksia), menulis (disgrafia), dan berhitung
(diskalkulia). Kesalahan yang terjadi akan selalu dalam kesalahan sama secara terus menerus,
dan dibawa seumur hidup (long live disabilities).
Kelompok anak LD dicirikan dengan adanya gangguan-gangguan tertentu yang
menyertainya. Menurut Cruickshank (1980) gangguan-gangguan tersebut adalah
gangguan latar-figure, visual-motor, visual-perceptual, pendengaran, intersensory, berpikir
konseptual dan abstrak, bahasa, sosio-emosional, body image, dan konsep diri. Lain halnya
pandangan Hammil dan Myers (1975) meliputi gangguan aktivitas motorik, persepsi,
perhatian, emosionalitas, simbolisasi, dan ingatan. Ditinjau dari aspek akademik, kebanyakan
anak LD juga mengalami kegagalan yang nyata dalam penguasaan keterampilan dasar belajar,
seperti dalam membaca, menulis, dan atau berhitung.
Secara umum menurut Torey Hayden (2000) karakteristik siswa berkebutuhan khusus
yang mengalami kesulitan belajar dapat dilihat dari hal-hal berikut.
1) Banyak murid berkebutuhan khusus mengalami masalah di ruang kelas karena:
10
• Mereka mungkin tidak cakap dalam keterampilan dasar yang diperlukan untuk
pembelajaran, misalnya mempertahankan perhatian, menafsirkan makna suatu
informasi baru, mengikuti petunjuk, dan mengelola perilaku
• Mereka mungkin tak mampu memusatkan perhatian dalam waktu yang cukup lama.
• Mereka mungkin tak mampu melihat atau mendengar instruksinya.
• Mereka mungkin tak mampu memahami arti perintah itu atau tak bisa membaca dengn
baik.
• Mereka mungkin tak mampu mengenali perilaku penting saat melihat contoh.
3) Beberapa murid memiliki kesulitan untuk berusaha menyelesaikan tugas secara konsisten.
Hal ini bisa disebabkan oleh:
4) Tugas yang rumit memunculkan masalah beberapa murid berkebutuhan khusus, karena:
• Mereka memiliki kesulitan untuk memecah perhatian pada lebih dari satu hal dalam
waktu yng bersamaan.
• Mereka lebih mudah terganggu.
• Mereka melupakan petunjuk dan kebingungan menyelesaikan tugas.
• Mereka menemukan banyak sekali detail-detail yang membingungkan mereka.
• Beberapa materi petunjuk tidak diformat secara jelas di halaman atau buku petunjuk.
6) Banyak murid berkebutuhan khusus yang tak bisa membaca sebaik teman-temannya:
11
7) Seorang murid berkebutuhan khusus mungkin memahami informasi saat ia
mendengarkannya tetapi tidak mampu membaca materi yang diperlukan untuk tugas
sekolah.
8) Murid berkebutuhan khusus mungkin kesulitan mempelajari konsep dan proses matematis
karena:
• Keterampilan prosedural mereka buruk dan mereka bergantung pada strategi yang
kekanakan, misalnya menghitung dengan jari.
• Kemampuan ingatan mereka buruk, sehinga mereka kesulitan mengingat fakta
mendasar.
• Banyak murid yang memiliki ketidakmampuan-matematika juga memiliki
ketidakmampuan-membaca, dan ketidakmapuan-membaca inilah yang menyulitkan
mereka memahami soal.
Secara khusus menurut Direktorat PLB (2000) karakteristik siswa yang mengalami
disleksia dapat dilihat dari hal-hal berikut:
Secara harfiah Peer (2002:45) mendefinisikan bahwa siswa yang mengalami kesulitan
belajar disleksia adalah kesulitan yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis.
Kelainan ini disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menghubungkan antara lisan dan
tertulis, atau kesulitan mengenal hubungan antara suara dan kata secara tertulis. Lebih lanjut,
Paat menjelaskan bahwa anak dengan gangguan belajar disleksia memiliki masalah pada
kemampuan meta kognisi. Dengan kata lain, anak tersebut sulit mengatur pemahaman ketika
menerima informasi atau salah memberikan respon.
Apabila dibandingkan anak disleksia dengan anak normal dalam hal perkembangan
kemampuan membaca, maka anak normal kemampuan membaca sudah muncul sejak usia
enam atau tujuh tahun. Berbeda halnya dengan anak disleksia, ia sampai usia dua belas tahun
kadang mereka masih belum lancar membaca. Dengan demikian, disleksia merupakan
gangguan akan kemampuan membaca anak berada di bawah kemampuan seharusnya.
Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti masalah penglihatan, tetapi
mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak
tersebut. Kesulitan ini biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk
beberapa waktu.
12
adalah sekolah reguler yang juga menampung anak berkebutuhan khusus, dengan kurikulum,
guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama.
Namun selama ini baru menampung anak dengan hambatan penglihatan (tunanetra),
itupun perkembangannya kurang menggembirkan karena banyak sekolah reguler yang keberatan
menerima anak berkebutuhan khusus. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia, merespon
dan mendukung komitmen dunia terhadap pendidikan inklusi dengan mengeluarkan beberapa
perangkat Undang-Undang, diantaranya adalah Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang telah berusaha memberikan warna lain dalam penyediaan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pasal 15 memberikan penjelasan tentang pendidikan
khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang
berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara
inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pada
pasal ini yang memungkinkan terobosan untuk terbentuknya pelayanan pendidikan bagi anak
berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif..
Selain daripada itu, Permendiknas no. 70 tahun 2009 pasal 4 menjelaskan bahwa
pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sediki 1 (satu) sekolah dasar, dan 1 (satu) sekolah
menengah pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif.1 Hal ini menunjukkan bahwa anak yang memiliki
kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak pula memperoleh
kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam mengenyam pendidikan.
Berdasarkan hal diatas, pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus tidak hanya di Sekolah
Luar Biasa (SLB), tetapi terbuka di setiap jenjang dan satuan pendidikan. Sistem pendidikan
inklusi memberi kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk bersama-sama belajar
dengan anak-anak normal, sehingga adanya usaha atau proses penyesuaian diri anak
berkebutuhan khusus (ABK) dengan kehidupan sehari-hari secara lebih nyata. Secara konseptual
dan paradigmatis, pendidikan inklusif menurut Farel memiliki karakter akomodatif, dengan
menerima setiap siswa dan menghindari labaleing negatif, serta dalam operasionalnya melibatkan
pihak-pihak terkait secara aktif.
Beberapa isu tentang pendidikan inklusif juga tercantum dalam beranda berita di Indonesia
salah satunya terdapat dalam Kompas.com mengabarkan bahwa Wakil Direktur Kantor
UNESCO di Jakarta Robert Lee mengingatkan, bahwasanya dukungan dari lingkungan positif
bagi pendidikan inklusi sangat penting karena tanpa adanya hal itu maka akan terjadi
marjinalisasi di sekolah dan anak berkebutuhan khusus akan tersingkir dari sekolah. Situasi
pendidikan inklusi di Indonesia dan Malaysia dikeluhkan dalam paparan laporannya, banyak
orangtua yang tidak mengirim anaknya yang berkebutuhan khusus ke sekolah biasa karena
khawatir akan mendapat penolakan atau diskriminasi. Dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif, perlu adanya penyesuaian terhadap kebutuhan dan karakteristik peserta didik
berkebutuhan khusus, untuk itu sekolah perlu melakukan berbagai modifikasi dan /atau
penyesuaian, mulai dari kurikulum, tenaga pendidik, sistem pembelajaran, sistem penilaian serta
sarana prasarana untuk meningktakan mutu pendidikan yang efektif dan efisien sesuai dengan
harapan. Meskipun demikian sampai saat ini, sekolah inklusi masih identik dengan mencampur
anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak biasa. Padahal sekolah bisa disebut inklusi, jika
kita dapat melihat anak secara individual dengan pendekatan individual, bikan klasikal.
Saat ini, pendidikan kita msih melihat peserta didik dengan satu kaca mata, semua anak
adalah sama. Padahal setiap anak terlahir dengan fitrahnya masing-masing. Artinya stiap anak
harus diberi ruang dan hak untuk berkembang sesuai dengan kapasitas dan bakat yang
dibawanya. Sekolah inklusipun bisa bersesuaian dengan pendekatan kecerdasan majemuk
(multiple intellegence). Sebuah pendekatan pembelajaran yang sedang banyak dikembangkan
pula. Harapannya akan banyak tumbuh sekolah inklusi tanpa harus terbebani dengan segala
definisinya. Sekolah inklusi merupakan sebuah prinsip persamaan hak manusia, dan juga
13
jawaban dari pebedaan kita sebagai manusia. Nyatanya tak ada manusia yang sama. Karena
semua warga negara mempunyai hak yang sama terhadap pendidikan, termasuk didalamnya
adalah anak berkebutuhan khusus. Demikian salah satu inti yang tercantum dalam UUD 1945
pasal 31.
Setiap anak memiliki hak yang sama untuk berkarya dan mengekspresikan diri.
Termasuk bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Mereka juga punya kesempatan yang sama
untuk mengembangkan diri di dunia karier. Namun, yang menjadi masalah pada saat ini
ialah minimnya lapangan Pekerjaan bagi anak berkebutuhan khusus. Tidak banyak
perusahaan yang mau mempekerjakan mereka dan seolah-olah mereka tereliminasi dari
lingkungan pekerjaan. Padahal sama seperti masyarakat yang normal mereka juga membutuhkan
pekerjaan untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya. Di dunia kerja, peluang bagi
penyandang disabilitas untuk bersaing di dunia kerja juga masih rentan stigma. Penyandang
disabilitas dianggap kaum yang tidak mampu bersaing dalam dunia kerja. Biasanya instansi,
lembaga pemerintah, ataupun swasta menggunakan kriteria fisik tertentu dalam penerimaan
karyawannya. Misalnya, tinggi tertentu, tidak memiliki disabilitas fisik dan berbagai prasyarat
lainnya yang menomorduakan penyandang disabilitas.
Pekerjaan yang harus diberikan kepada penyandang kebutuhan khusus. Pertama, beri
mereka pekerjaan yang jelas tujuan akhirnya karena mereka sangat terstruktur dan harus
jelas langkah-langkahnya apa.. Tipe orang dengan kondisi seperti ini, tidak akan mudah
bosan. Jadi mereka termasuk orang yang ulet. Karena itu, perusahaan Microsoft di Amerika
Serikat bahkan sudah menyiapkan posisi analis bagi para penyandang autisme. Posisi ini
dinilai cocok bagi penyandang autisme atau kebutuhan khusus, karena mereka sangat detil
dalam bekerja. Kondisi lingkungan kerja juga tidak boleh diabaikan khusus untuk mereka.
Masing-masing dari mereka memiliki profil indera yang berbeda. Misalnya ada yang sangat
peka pada suara sehingga harus diberikan lingkungan kerja yang sunyi. Karena itu,
perusahaan yang ingin mempekerjakan penyandang kebutuhan khusus juga harus
mempelajari profil indera mereka.
g. Masalah Penggunaan Waktu Senggang
Waktu senggang atau waktu luang harus diisi dengan kegiatan yang berguna serta positif
bagi diri sendiri maupun orang lain. Ketidakmampuan untuk memilih kegiatan yang bermanfaat
atau kegiatan produktif bagi anak berkebutuhan khusus seringkali menjadi permasalahan bagi
semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus. Kegiatan-kegiatan yang tidak produktif seperti
menganggu ketertiban, begadang, pelanggaran disiplin, melamun, bermain music tanpa
mengindahkan lingkungan, berolok-olok yang berlebihan dapat menimbulkan permasalahan
yang lebih besar lagi.
Sehubungan hal tersebut maka perlu adanya bimbungan dalam memanfaatkan waktu
senggang. Pemanfaatan waktu senggang misalnya dengan membuat jadwal atau pembagian
waktu, mengisi waktu luang, memilih kegiatan yang cocok pada jam-jam bebas, diluar jam
Pelajaran dan waktu libur. Bagi anak berkebutuhan khusus tertentu penting sekali adanya
bimbingan ang sedemikian rupa dalam mengatur waktu luang ini.
14
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
konseling bagi anak berkebutuhan khusus adalah upaya batuan yang diberikan oleh konselor
kepada konseli agar konseli tersebut dapat menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya dan
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berbeda dengan dirinya serta mereka mampu
untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anak
berkebutuhan khusus tersebut. jenis jenis masalah yang dialami anak berkebutuhan khusus seperti
masalah pribadi atau penerimaan diri, masalah penerimaan orang tua, masalah social atau
penerimaan masyarakat, masalah belajar, masalah lanjutan studi, masalah pekerjaan dan masalah
gangguan Waktu senggang
3.2 Saran
Kami sebagai pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan
jauh dari kesempurnaan. Tentunya, pemakalah akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu
pada sumber-sumberyang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah di atas.
15
DAFTAR PUSTAKA
ABKIN (2007). Naskah Akademik: Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan
Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.
Arriani, F., & Wirantho, S. A. (2017). Kebijakan Layanan Pendidikan Untuk Anak Berkebutuhan
Khusus (Abk) Di Satuan Pendidikan Anak Usia Dini (Paud). AWLADY: Jurnal
Pendidikan Anak, 3(1).
Buku Bimbingan Konseling Anak Berkebutuhan Khusus
Yansen Alberth Raba S.Pd.K., M.Pd. dan Andika Ari Saputra, S.Pd., M.Pd.
Kustawan, Dedi. 2013. Bimbingan Konseling Bagi Anak Berkebutuhan Khusus.
Jakarta: Luxima Media
Khusus di SDN Kalirungkut-1 Surabaya. Jurnal Abdau: Jurnal Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, 2(1),
39-60.
PAUD. SELING: Jurnal Program Studi PGRA, 6(2), 193-208.
Sholawati, S. A. (2019). Manajemen Pembelajaran Pendidikan Inklusi Pada Anak Berkebutuhan
Setiawati, F. A. (2020). Mengenal Konsep-Konsep Anak Berkebutuhan Khusus dalam
http://irawidyastuti94.blogspot.com/2014/05/makalah-perbedaan-prinsipbimbingan-dan.htm
https://core.ac.uk/download/pdf/146820305.pdf
16