Professional Documents
Culture Documents
Jurnal Vol 8 No 1 2017
Jurnal Vol 8 No 1 2017
JURNAL DIALOG
PENANGGULANGAN
BENCANA
Volume 8, Nomor 1, Tahun 2017
Pembina:
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Penasihat:
Sekretaris Utama BNPB
Mitra Bestari:
Prof. DR. rer. nat. Junun Sartohadi, MSc
Prof. DR. Edvin Aldrian, MSc
DR. Tri Handoko Seto,M.Si
Pelaksana Redaksi:
Teguh Harjito, Dian Oktiari,
Suprapto, Ainun Rosyida, Nurul Maulidhini,
Ratih Nurmasari, Theopilus Yanuarto,
Andri Cipto Utomo, Ignatius Toto Satrio
Alamat Redaksi:
Pusat Data Informasi dan Humas
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
GRAHA BNPB Jl. Pramuka Kav. 38 Jakarta Timur 13120 Indonesia
Telp. 021-29827793 & Fax. 021-21281200,
Email : Redaksijurnal@bnpb.go.id
e
Foto Cover :
Tanah Longsor, Desa Banaran, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur - BNPB
f
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya, sehingga
penerbitan Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Volume 8 Nomor 1 pada bulan Juni 2017 ini
dapat diselesaikan.
Materi jurnal dalam edisi ini, menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan seluruh fase
kebencanaan. Mengukur Ketangguhan Sosial Ekonomi Provinsi Sumatera Selatan dalam
Menghadapi Bencana dengan Menggunakan Prevalent Vulnerability Index (PVI). Materi berikutnya
menyampaikan hal mengenai Preventive Toward Earthquake’s Disaster In West Sumatera Based
On Geophysic Analysis diikuti materi Analisis Sebaran Banjir Berdasarkan Skenario Periode Ulang
Debit (Studi Kasus: SUB Das Citarum Hilir). Analisis Kerentanan dan Kapasitas Masyarakat dalam
Menghadapi Bencana Letusan Gunungapi Wilis sebagai Upaya Pengurangan Risiko Bencana
di Kabupaten Ponorogo. Studi Analisa Distribusi Sebaran Korban Jiwa Berdasarkan Usia dan
Gender pada Peta KRB Erupsi Gunungapi Merapi 2010. Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan
Penginderaan Jauh untuk Zonasi Kerawanan Bencana Gempabumi Sesar Lembang.
Pada jurnal edisi kali ini juga menyajikan Kajian Spasial Tingkat Kerentanan Rumah Tangga di
Kawasan Rawan Bencana Jatuhan Piroklastik Gunungapi Kelud. Dan terakhir membahas tentang
Evaluasi Efektivitas Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana Wilayah Barat.
Bagi para tim redaksi jurnal penanggulangan bencana serta pihak yang turut membantu dalam
edisi kali ini, kami mengucapkan terima kasih.
Tim Penyusun
i
JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA
Volume 8, No. 1, Juni 2017
DAFTAR ISI
Analisis Sebaran Banjir Berdasarkan Skenario Periode Ulang Debit (Studi Kasus: SUB
Das Citarum Hilir)
Rinanda Putri Cahyanti, I Putu Santikayasa ................................................................. 21-31
Studi Analisa Distribusi Sebaran Korban Jiwa Berdasarkan Usia dan Gender pada Peta
KRB Erupsi Gunungapi Merapi 2010
Meassa Monikha Sari ...................................................................................................... 43-53
Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh untuk Zonasi Kerawanan
Bencana Gempa Bumi Sesar Lembang
Tri Widodo, Yoga Hepta, Hana Fairuz ............................................................................. 54-68
Kajian Spasial Tingkat Kerentanan Rumah Tangga di Kawasan Rawan Bencana Jatuhan
Piroklastik Gunungapi Kelud
Achmad Fandir Tiyansyah .............................................................................................. 69-79
ii
MENGUKUR KETANGGUHAN SOSIAL EKONOMI PROVINSI SUMATERA SELATAN
DALAM MENGHADAPI BENCANA DENGAN MENGGUNAKAN PREVALENT
VULNERABILITY INDEX (PVI)
E-mail: ratih.nurmasari@gmail.com
Abstract
Disaster is the intersection of vulnerability on the one hand and hazard on the other side.
One of the key that should be doing to reduce disaster risk and increase resilience is by measuring
the vulnerability. Vulnerability and resilience are the two things that are interrelated. This study
aim0s to measure social economic resilience in order to reduce vulnerability. The measured
region is South Sumatra Province because this province is a potential province, but tend to be
prone to disasters. Social economic resilience measured using Prevalent Vulnerability Index (PVI),
which is calculated from several social economic indicators. The results showed that the social
economic resilience of South Sumatra Province has been good enough. PVI value of all districts/
municipalities are relatively similar and this is show that the social economic resilience in South
Sumatra Province has been fairly equal. Some of indicators still need to be improved. Those are
the indicators included in the component PVILR (Lack of Resilience) which are indicators related to
the capacity of the region.
Mengukur Ketangguhan Sosial ... (Ratih Nurmasari, Suprapto, dan Ainun Rosyida) 1
Gambar 1. Model Pressure and Release (PAR)
Sumber: Wisner dkk (2003)
berbahaya dan orang yang tidak memiliki cukup ketangguhan adalah dengan melakukan
makanan (Wisner et.al., 2003). pengukuran terhadap kerentanan (Birkmann,
Model PAR ini berkaitan erat dengan risiko 2006).
bencana. Risiko bencana merujuk pada potensi Kerentanan dan ketangguhan adalah
kerugian akibat bencana terhadap nyawa, status dua hal yang saling berkaitan, namun para
kesehatan, mata pencaharian, aset dan layanan, peneliti masih memperdebatkan tentang bentuk
yang dapat terjadi pada suatu komunitas atau hubungan keduanya. Manyena dalam Endarti
masyarakat tertentu selama jangka waktu (2016) menyatakan bahwa ketangguhan
tertentu di masa mendatang (UN ISDR, 2010). merupakan hasil (bukan proses) dari kerentanan
Menurut Wisner et.al (2003), ada tiga dan merupakan bagian dari kerentanan
unsur yang menentukan risiko bencana, yaitu (Gambar 2 (a)). Pendapat lain menyebutkan
risiko, kerentanan, dan bahaya. Ketiga unsur bahwa kerentanan dan ketangguhan saling
tersebut seringkali dinyatakan dalam persamaan: mempengaruhi satu sama lain seperti terlihat
pada Gambar 2 (b) (Ainuddin dan Routray, dalam
R = H x V (1) Endarti, 2016). Selain itu, Cutter et.al (2008)
memperkenalkan model Disaster Resilience of
dimana R adalah risiko, H adalah bahaya Place (DROP) yang didalamnya menggambarkan
(hazards) dan V adalah kerentanan (vulnerability). bahwa kerentanan dan ketangguhan merupakan
Salah satu kunci penting dalam usaha untuk dua konsep yang terpisah namun terkadang
mengurangi risiko dan meningkatkan saling berkaitan (Gambar 2 (b)).
2 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 1-12
(a) (b) ke negara tetangga seperti Singapura dan
Malaysia.
Kerentanan
2. METODOLOGI
Kerentanan Ketangguhan
Ketangguhan
2.1. Landasan Teori
Mengukur Ketangguhan Sosial ... (Ratih Nurmasari, Suprapto, dan Ainun Rosyida) 3
dan kesehatan untuk membantu tingkat faktor penentu penting pada ketangguhan
pendidikan dan kesehatan masyarakat yang masyarakat.
tidak mampu secara ekonomi dan adanya Ketangguhan ekonomi (economic
kebijakan pemerintah untuk membantu resilience) yang dikaitkan dengan ketangguhan
masyarakat mengurangi dampak dari bencana dalam menghadapi bencana merupakan salah
yang terjadi. Keputusan Menteri Sosial Nomor satu area yang perlu mendapatkan perhatian
12 Tahun 2006 menjelaskan bahwa ketahanan serius dari pemerintah. Upaya pengurangan
sosial masyarakat adalah suatu kemampuan risiko bencana menjadi perhatian penting
komunitas (masyarakat) dalam mengatasi pemerintah, sehingga mulai dilakukan upaya
risiko akibat perubahan baik ekonomi, sosial, pengalokasian dana untuk kebencanaan di
budaya, maupun politik. Suatu komunitas tiap provinsi maupun kabupaten/kota (Astuti,
dikatakan memiliki ketangguhan sosial apabila 2015).
komunitas tersebut mampu melindungi secara
efektif anggotanya termasuk individu dan 2.1.3. Prevalent Vulnerability Index (PVI)
keluarga yang rentan; mampu melakukan
investasi sosial dalam jaringan sosial; PVI menggambarkan kondisi kerentanan
mampu mengembangkan mekanisme yang yang dominan, kerapuhan sosial ekonomi dan
efektif dalam mengelola konflik atau tindak kurangnya ketangguhan sosial suatu wilayah
kekerasan; dan mampu mengembangkan (Cardona, 2006). Kerentanan yang diukur akan
kearitan lokal dalam memelihara sumber daya menggambarkan hubungan antara risiko dan
alam maupun sosial. pembangunan (Astuti, 2015). PVI dimaksudkan
untuk memahami dampak langsung bencana
2.1.2. Ketangguhan Ekonomi secara fisik terhadap paparan dan kerentanan
(Exposure and Susceptibility/ES), dampak
Menurut Rose (2004), ketangguhan bencana yang tidak langsung dan tidak berwujud
ekonomi mengacu pada respon yang terhadap kerapuhan sosial dan ekonomi
melekat dan adaptif terhadap bencana yang (Social economy Fragility/SF), serta kurangnya
memungkinkan individu dan masyarakat untuk ketangguhan dalam menghadapi bencana atau
menghindari beberapa potensi kerugian. Selain Lack of Resilience/LR. PVI diperoleh dengan
itu, ketangguhan ekonomi diartikan sebagai merata-ratakan ketiga komponen tersebut
kondisi dinamis kehidupan perekonomian dengan metode persamaan berikut (Cardona,
bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan 2006):
kekuatan nasional dalam menghadapi serta
mengatasi segala tantangan, ancaman, PVI = (PVIES + PVISF + PVILR)/3 (2)
hambatan dan gangguan yang datang dari
luar maupun dari dalam secara langsung PVIES terdiri dari indikator yang
maupun tidak langsung untuk menjamin menggambarkan kerentanan fisik yang
kelangsungan perekonomian bangsa dan meliputi populasi rentan, aset, investasi,
negara berlandaskan Pancasila dan UUD produksi, mata pencaharian, dan aktivitas
1945 (Kementerian Pertahanan, 2014). manusia. Indikator kerapuhan sosial ekonomi
Buckle (2001) dalam Mayunga (2007) (PVISF), diwakili oleh indikator seperti
menerangkan bahwa stabilitas ekonomi terkait kemiskinan, ketergantungan, buta huruf,
erat dengan ketangguhan, yaitu ekonomi yang ketimpangan pendapatan, pengangguran,
lebih stabil akan meningkatkan ketangguhan, inflasi, utang dan kerusakan lingkungan yang
sedangkan ekonomi yang tidak sehat atau meningkatkan efek langsung dari fenomena
menurun adalah indikator meningkatnya bencana. PVILR yang menggambarkan
kerentanan atau dengan kata lain menurunkan kurangnya ketangguhan (lack of resilience),
ketangguhan. Hal ini menurut Mayunga (2007) dapat diwakili sejumlah indikator yang
disebabkan karena modal ekonomi merupakan mengukur pembangunan manusia, redistribusi
4 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 1-12
ekonomi, pemerintahan, perlindungan Penyertaan modal
finansial, kesadaran masyarakat, tingkat 5. Modal saham
pemerintah daerah
kesiapan untuk menghadapi krisis situasi, dan Ekspor dan impor
perlindungan lingkungan. Indikator-indikator 6. Tidak tersedia
barang dan jasa
ini akan menangkap kapasitas manusia Investasi domestik Pembentukan modal
untuk memulihkan dari atau menyerap 7.
bruto tetap (domestik) bruto
dampak berbahaya dari fenomena bencana, Persentase lahan
bagaimanapun sifat dan keparahan bencana 8. Lahan pertanian pertanian dari luas
tersebut. wilayah
PVI Social economy Fragility (PVISF)
2.2. Bahan dan Metode 1. Indeks kemiskinan Indeks kemiskinan
Ketergantungan Ketergantungan
Data yang digunakan pada penelitian 2. terhadap penduduk terhadap penduduk
ini adalah data sekunder dari pengumpulan usia kerja usia kerja
data yang telah dilakukan oleh lembaga atau 3. Disparitas sosial Indeks Gini
instansi terkait. Data sekunder yang dimaksud Tingkat pengangguran
merupakan hasil pengumpulan data selama 4. Pengangguran
terbuka
tahun 2015. Data yang digunakan untuk Inflasi harga bahan
menghitung PVI dapat dilihat pada Tabel 1. 5. Tidak tersedia
pangan
Teknik analisis data yang digunakan adalah
Persentase kontribusi
analisis deskriptif. Kontribusi sektor
6. sektor pertanian pada
Hasil perhitungan PVI berada pada pertanian
PDRB
skala 0-100 dengan interpretasi sebagai 7. Pembayaran utang Pembayaran utang
berikut (Cardona dan Carreno, 2010):
8. Kerusakan tanah Lahan kritis
a. 80 < PVI ≤ 100 : wilayah yang diukur
memiliki kerentanan yang sangat tinggi; PVI Lack of Resilience (PVILR)
b. 40 < PVI ≤ 80 : wilayah yang diukur Indeks
Indeks Pembangunan
memiliki kerentanan tinggi; 1. Pembangunan
Manusia
Manusia
c. 20 < PVI ≤ 40 : wilayah yang diukur
memiliki kerentanan sedang; Indeks
Indeks Pembangunan
2. Pembangunan
d. 0 < PVI ≤ 20 : wilayah yang diukur Gender
Gender
memiliki kerentanan rendah.
Persentase
3. Pembiayaan sosial pembiayaan sosial
Tabel 1. Indikator dari PVIES, PVISF, dan PVILR Beserta dari PDRB
Ketersediaan Data.
Governance Index
4. Tidak tersedia
(Kaufmann)
Komponen dan
No. Ketersediaan Data Asuransi infrastruktur
Indikator PVI 5. Tidak tersedia
dan perumahan
PVI Exposure and Susceptibility (PVIES)
Televisi per 1000
Pertumbuhan Pertumbuhan 6. Tidak tersedia
1. orang
penduduk penduduk
Tempat tidur rumah
Pertumbuhan Tempat tidur rumah
7. sakit per 1000 orang
Pertumbuhan penduduk kecamatan sakit
2. penduduk
penduduk perkotaan ibukota kabupaten/
kota Indeks Kelanjutan
Lingkungan /
Kepadatan 8. Environment Tidak tersedia
3. Kepadatan penduduk
penduduk Suistanibality Index
Persentase jumlah Persentase jumlah (ESI)
4.
penduduk miskin penduduk miskin
Sumber: Berbagai Sumber.
Mengukur Ketangguhan Sosial ... (Ratih Nurmasari, Suprapto, dan Ainun Rosyida) 5
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengangguran 16%
Kontribusi pertanian
3.1. Perhitungan PVI dalam PDRB (%)
7%
6 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 1-12
jumlah penduduk ibukota kabupaten/ 6. Pembentukan Modal Tetap (Domestik)
kota di Provinsi Sumatera Selatan tahun Bruto:
2015 dengan jumlah penduduk ibukota Pembentukan Modal Tetap (Domestik)
kabupaten/kota tahun 2014 dibagi Bruto (PMTB) adalah pengeluaran
dengan luas wilayah. unit produksi untuk menambah aset
Sumber data: BPS. tetap dikurangi dengan pengurangan
3. Kepadatan penduduk: aset tetap bekas. Penambahan barang
Kepadatan penduduk adalah rasio modal meliputi pengadaan, pembuatan,
banyaknya penduduk per kilometer dan pembelian barang modal baru.
persegi (BPS, 2016). Astuti (2015) Pengurangan barang modal meliputi
menyebutkan bahwa kepadatan penjualan barang modal (termasuk
penduduk dapat menunjukkan barang modal yang ditransfer atau barter
konsentrasi penduduk yang terpapar kepada pihak lain). Disebut sebagai
efek negatif bencana secara spasial pembentukan modal tetap bruto karena
terutama di daerah yang berisiko terkena menggambarkan penambahan serta
bencana. pengurangan barang modal pada periode
Sumber data: BPS. tertentu. Istilah ”bruto” mengindikasikan
4. Persentase penduduk miskin: bahwa didalamnya masih mengandung
Pengukuran persentase penduduk miskin unsur penyusutan.
dilakukan dengan menggunakan konsep Sumber data: Kementerian Keuangan.
kemampuan memenuhi kebutuhan 7. Lahan pertanian:
dasar (basic need approach). Dengan Lahan pertanian yang dimaksud dalam
pendekatan ini, kemiskinan dipandang penelitian ini adalah persentase luas
sebagai ketidakmampuan dari sisi lahan pertanian dari total luas lahan.
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan Lahan pertanian tersebut meliputi lahan
dasar makanan dan bukan makanan sawah maupun lahan bukan sawah.
yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode Sumber data: BPS.
yang digunakan adalah menghitung 8. Indeks kemiskinan:
Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Indeks kemiskinan yang dimaksud pada
dua komponen yaitu Garis Kemiskinan penelitian ini adalah indeks kedalaman
Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan kemiskinan, yaitu ukuran rata-rata
Non-Makanan (GKNM). Penghitungan kesenjangan pengeluaran masing-
Garis Kemiskinan dilakukan secara masing penduduk miskin terhadap garis
terpisah untuk daerah perkotaan dan kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks
perdesaan (BPS, 2016). Astuti (2015) kedalaman kemiskinan berarti semakin
menyebutkan bahwa keluarga yang jauh rata-rata pengeluaran penduduk
berpenghasilan rendah adalah yang dari garis kemiskinan (BPS, 2016).
paling terpengaruh risiko kerugian akibat Sumber data: Kementerian Negara
bencana. Perencanaan Pembangunan Nasional.
Sumber data: BPS. 9. Ketergantungan pada usia kerja:
5. Penyertaan modal pemerintah daerah: Rasio ketergantungan (dependency
Penyertaan modal pemerintah daerah ratio) atau angka beban ketergantungan
adalah investasi jangka panjang daerah adalah suatu angka yang menunjukkan
yang bersifat permanen pada pihak besar beban tanggungan kelompok
ketiga untuk menghasilkan pendapatan usia produktif atas penduduk usia
atau meningkatkan pelayanan kepada nonproduktif. Makin besar rasio
masyarakat (Kementerian Keuangan, ketergantungan berarti makin besar
2016). beban tanggungan bagi kelompok
Sumber data: Kementerian Keuangan. usia produktif. Tinggi rendahnya angka
Mengukur Ketangguhan Sosial ... (Ratih Nurmasari, Suprapto, dan Ainun Rosyida) 7
ketergantungan dapat dibedakan dari total Produk Domestik Regional
menjadi tiga golongan, yaitu angka Bruto (PDRB).
ketergantungan rendah bila kurang Sumber data: BPS.
dari 30, angka ketergantungan sedang 13. Pembayaran utang:
bila berada diantara 30-40, dan angka Pembayaran utang yang dimaksud
ketergantungan tinggi bila lebih dari 41 pada penelitian ini adalah persentase
(BPS, 2016). pembayaran utang pokok yang telah
Sumber data: BPS. jatuh tempo yang termasuk dalam
10. Disparitas sosial: komponen pembiayaan pada Anggaran
Disparitas sosial pada penelitian ini Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
diambil dari rasio gini yang dihitung dari total PDRB.
oleh BPS. Rasio gini adalah ukuran Sumber data: Kementerian Keuangan.
pemerataan pendapatan yang dihitung 14. Lahan kritis:
berdasarkan kelas pendapatan. Kerusakan tanah menunjukkan kondisi
Angka rasio gini berkisar antara nol lingkungan yang semakin buruk yang
(pemerataan sempurna) hingga satu mengakibatkan peningkatan bahaya
(ketimpangan yang sempurna). dan penurunan perlindungan terhadap
Sumber data: BPS. fenomena yang ekstrim (IADB, 2004
11. Pengangguran: dalam Astuti, 2015). Kerusakan tanah
Data pengangguran yang digunakan yang dimaksud pada penelitian ini adalah
pada penelitian ini adalah tingkat persentase luas lahan kritis dibagi dengan
pengangguran terbuka yang dihitung total luas wilayah, dimana datanya
oleh BPS. Tingkat pengangguran diperoleh dari Kementerian Kehutanan.
terbuka merupakan persentase Luas lahan kritis yang dihitung adalah
jumlah pengangguran terhadap luas lahan dengan kategori agak kritis,
jumlah angkatan kerja (BPS, 2016). kritis, dan sangat kritis. Yang dimaksud
Pengangguran adalah orang yang dengan lahan kritis menurut Peraturan
masuk dalam angkatan kerja (15 Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-
sampai 64 tahun) yang sedang mencari II/2013 adalah lahan yang berada di
pekerjaan dan belum mendapatkannya dalam dan di luar kawasan hutan yang
serta orang yang tidak sedang mencari telah menurun fungsinya sebagai unsur
kerja karena sesuatu hal /belum produksi dan media pengatur tata air
membutuhkan pekerjaan (seperti DAS.
ibu rumah tangga, pelajar, dan lain Sumber data: Kementerian Kehutanan.
sebagainya). Tingkat pengangguran 15. Indeks pembangunan manusia:
menunjukkan kurangnya pendapatan Indeks pembangunan manusia adalah
yang mencerminkan berkurangnya pengukuran perbandingan dari harapan
kapasitas untuk mendapatkan akses ke hidup, melek huruf, pendidikan dan
sumber daya dan sarana perlindungan standar hidup untuk suatu wilayah. IPM
(IADB, 2004 dalam Astuti, 2015). menjelaskan bagaimana penduduk
Sumber data: BPS. dapat mengakses hasil pembangunan
12. Kontribusi pertanian dalam PDRB: dalam memperoleh pendapatan,
Produksi pertanian berkaitan dengan kesehatan, pendidikan, dan sebagainya
variabilitas iklim dan perubahan (BPS, 2016). IPM merupakan indikator
lingkungan global (IADB, 2004 dalam penting untuk mengukur keberhasilan
Astuti, 2015). Kontribusi sektor pertanian dalam upaya membangun kualitas hidup
yang dimaksud dalam penelitian ini manusia (masyarakat/penduduk). IPM
adalah persentase peranan sektor dapat menentukan peringkat atau level
pertanian, kehutanan, dan perikanan pembangunan suatu wilayah. Semakin
8 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 1-12
tinggi nilai IPM suatu negara/daerah, Gambar 3 menunjukkan komponen-
menunjukkan pencapaian pembangunan komponen penyusun indeks kerentanan
manusianya semakin baik (BPS, 2016). prevalensi masing-masing kabupaten/kota di
Sumber data: BPS. Provinsi Sumatera Selatan. Dari Gambar 3
16. Indeks pembangunan gender: terlihat bahwa komponen PVILR memiliki nilai
Menurut Kemen PPPA (2016), IPG yang lebih tinggi dibandingkan dua komponen
adalah salah satu ukuran pencapaian lainnya pada semua kabupaten/kota.
pembangunan gender. IPG merupakan
turunan dari IPM, yaitu rasio antara IPM
perempuan dan IPM laki-laki. Semakin
tinggi rasionya (mendekati 100), maka
semakin rendah gap pembangunan
manusia antara laki-laki dan perempuan
dan sebaliknya. Kesetaraan gender
dalam pencapaian kemampuan dasar
mencerminkan bahwa masyarakat
memiliki kapasitas yang lebih besar
untuk menghadapi kesulitan (IADB, 2004
dalam Astuti, 2015). Gambar 3. Grafik Komponen-Komponen Penyusun
Sumber data: Kementerian Negara PVI.
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak.
17. Bantuan sosial:
Belanja bantuan sosial adalah transfer
uang atau barang yang diberikan oleh
Pemerintah Pusat/Daerah kepada
masyarakat guna melindungi dari
kemungkinan terjadinya risiko sosial,
seperti bencana alam (risiko lingkungan),
usia tua (risiko siklus hidup), kondisi
ekonomi, serta risiko sosial lainnya (PP
No. 24 Tahun 2005 tentang Standar
Gambar 4. Nilai PVI Kabupaten/Kota di Provinsi
Akuntansi Pemerintahan). Pembiayaan Sumatera Selatan.
sosial yang dimaksud pada penelitian
ini adalah belanja bantuan sosial yang Nilai PVI yang diperoleh dengan merata-
termasuk dalam komponen belanja pada ratakan ketiga komponennya dapat dilihat
APBD. pada gambar 4. Dari Gambar 4 tersebut
Sumber data: Kementerian Keuangan. terlihat bahwa nilai PVI seluruh kabupaten/
18. Tempat tidur rumah sakit: kota cenderung tidak terlalu jauh berbeda dan
Tempat tidur rumah sakit dalam berkisar diantara 25 hingga 31.
perspektif bencana menggambarkan
kesiapan prasarana kesehatan dan 3.2. Ketangguhan Sosial Ekonomi Provinsi
kapasitas yang memadai yang akan Sumatera Selatan
dapat menampung korban bencana
(IADB, 2004 dalam Astuti, 2015). Rumah Nilai indeks kerentanan prevalensi
sakit yang dimaksud meliputi rumah sakit seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera
umum maupun rumah sakit khusus, baik Selatan berada diantara 20-40. Hal ini berarti
milik pemerintah maupun milik swasta. seluruh kabupaten/kota tersebut memiliki
Sumber data: Kementerian Kesehatan. kerentanan sedang. Kerentanan yang termasuk
Mengukur Ketangguhan Sosial ... (Ratih Nurmasari, Suprapto, dan Ainun Rosyida) 9
dalam kategori sedang ini menunjukkan bahwa mengacu pada kapasitas daerah yang dimiliki
seluruh kabupaten/kota memiliki ketangguhan adalah komponen yang kerentanannya paling
sosial ekonomi yang cukup baik, namun belum tinggi. Hal ini mengindikasikan perlunya
maksimal dan perlu ditingkatkan lagi. PVI seluruh meningkatkan kapasitas daerah dalam upaya
kabupaten/kota cenderung tidak jauh berbeda, meningkatkan ketangguhan sosial ekonomi.
hal ini mengindikasikan bahwa ketangguhan
sosial ekonomi dalam menghadapi bencana di 5. SARAN
masing-masing kabupaten/kota sudah cukup
merata dan tidak terjadi kesenjangan. Hasil analisa menunjukkan bahwa nilai
Komponen penyusun indeks kerentanan Lack of Resilience (LR) berada pada kerentanan
prevalensi yang paling tinggi nilainya di seluruh kategori tinggi. Hal ini perlu mendapatkan
kabupaten/kota adalah komponen lack of perhatian bagi pemerintah Sumatera Selatan
resilience (LR), yaitu kurangnya ketangguhan supaya kerentanan dapat diturunkan. Beberapa
dalam menghadapi bencana. Komponen ini cara yang dapat dilalakukan adalah dengan
mengacu pada ketangguhan yang dilihat dari peningkatan sumber daya yang ada. Baik
kapasitas yang dimiliki. Semua kabupaten/kota sumber daya manusia maupun sarana dan
memiliki nilai komponen LR lebih dari 40, yang prasara dalam menghadapi bencana.
berarti seluruh wilayah termasuk dalam kategori Kapasitas sumber daya dapat
kerentanan yang tinggi dalam hal kapasitas, ditingkatkan melalui pelatihan dan bimbingan
baik dalam konteks manusia maupun sarana teknis. Seperti pelatihan penanggulangan
dan prasarananya. bencana yang disesuaikan dengan ancaman
Dua komponen lainnya, yaitu kerentanan yang ada. Peningkatan kapasitas melalui
dan keterpaparan secara fisik (Exposure bimbingan teknis untuk meningkatkan
and Susceptibility/ES) serta dampak tidak pengetahuan baik itu petugas maupun
langsung dari bencana dalam hal sosial dan masyarakat.
ekonomi (Social economy Fragility/SF) hampir Selain kapasitas petugas dan masyrakat,
semuanya bernilai kurang dari 20. Ini berarti sumber daya peralatan penanggulangan
seluruh wilayah memiliki kerentanan rendah bencana juga perlu ditingkatkan. Peralatan
dalam hal kerentanan dan keterpaparan secara dan sarana ini digunakan untuk memeprcepat
fisik serta dampak tidak langsung bencana penanganan ketika terjadi bencana. Namun
terhadap sosial ekonomi. yang perlu menjadi perhatian adalah semua
peralatan dan sarana yang ada harus mampu
4. KESIMPULAN dioptimalkan pemakaiannya oleh petugas
penanggulangan bencana yang ada.
Ketangguhan sosial ekonomi yang
dimaksud pada penelitian ini adalah DAFTAR PUSTAKA
ketangguhan sosial ekonomi pada level
wilayah, yaitu level kabupaten/kota. Dari PVI Astuti, D. (2015). Mengukur Tingkat Ketahanan
yang telah dihitung, dapat disimpulkan bahwa Sosial Ekonomi Kabupaten/Kota di
seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Daerah Istimewa Yogyakarta dalam
Selatan sudah memiliki ketangguhan sosial Menghadapi Bencana Berdasarkan
ekonomi yang cukup baik dalam menghadapi Indikator Disaster Deficit Index
bencana. Ketangguhan sosial ekonomi dalam (DDI), Local Disaster Index (LDI) dan
menghadapi bencana di masing-masing Prevalent Vulnerability Index (PVI). Tesis
kabupaten/kota sudah cukup merata karena Universitas Pertahanan.
seluruh kabupaten/kota memiliki nilai PVI yang Bappeda Provinsi Sumatera Selatan. (2015).
hampir sama. Rencana Kerja Pemerintah Daerah
Dari ketiga komponen penyusun PVI, (RKPD) Provinsi Sumatera Selatan
disimpulkan bahwa komponen LR yang tahun 2015.
10 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 1-12
BPS Kabupaten Banyuasin. (2016). Birkmann, J. (2006). Measuring Vulnerability
Kabupaten Banyuasin dalam Angka to Promote Disaster-Resilient Societies:
Tahun 2015. Conceptual Frameworks and Definitions
BPS Kabupaten Empat Lawang. (2016). dalam Measuring Vulnerability to Natural
Kabupaten Empat Lawang dalam Hazards. United Nation University Press.
Angka Tahun 2015. Cutter, et.al. (2008). A Place-Based Model for
BPS Kabupaten Lahat. (2016). Kabupaten Understanding Community Resilience to
Lahat dalam Angka Tahun 2015. Natural Disasters. Global Environmental
BPS Kabupaten Muara Enim. (2016). Change, 18(4), 598-606.
Kabupaten Muara Enim dalam Angka Cardona, OD. dan M.L Carreno. (2010).
Tahun 2015. Updating Indicators of Disaster Risk and
BPS Kabupaten Musi Banyuasin. (2016). Risk Management for The Americas.
Kabupaten Musi Banyuasin dalam Endarti, Ajeng Tias. (2016). Pengaruh
Angka Tahun 2015. Ketangguhan Masyarakat Terhadap
BPS Kabupaten Musi Rawas. (2016). Kualitas Hidup di Daerah Rawan
Kabupaten Musi Rawas dalam Angka Bencana Pasca Erupsi Gunungapi Kelud
Tahun 2015. 2014. Disertasi Fakultas Kesehatan
BPS Kabupaten Musi Rawas Utara. (2016). Masyarakat Universitas Indonesia.
Kabupaten Musi Rawas Utara dalam http://data.go.id/dataset/penduduk-miskin-dan-
Angka Tahun 2015. indeks-kemiskinan/resource/0416b371-
BPS Kabupaten Ogan Ilir. (2016). Kabupaten e6a3-46b1-ab53-d8caef3cc728 diunduh
Ogan Ilir dalam Angka Tahun 2015. pada tanggal 19 September 2016.
BPS Kabupaten Ogan Komering Ilir. (2016). http:// sirs.yankes.kemkes.go.id/ diunduh pada
Kabupaten Ogan Komering Ilir dalam tanggal 20 September 2016.
Angka Tahun 2015. Kementerian Keuangan. (2016). LGF Anggaran
BPS Kabupaten Ogan Komering Ulu. (2016). Ringkas Tahun 2015.
Kabupaten Ogan Komering Ulu dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Angka Tahun 2015. (2016). Statistik Lingkungan Hidup dan
BPS Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Kehutanan Indonesia Tahun 2015.
(2016). Kabupaten Ogan Komering Ulu Kementerian Negara Pemberdayaan
Selatan dalam Angka Tahun 2015. Perempuan dan Perlindungan Anak.
BPS Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur. (2016). Pembangunan Manusia Berbasis
(2016). Kabupaten Ogan Komering Ulu Gender Tahun 2015.
Timur dalam Angka Tahun 2015. Kementerian Pertahanan. Buku Putih
BPS Kabupaten Penukal Abab Lematang Pertahanan Indonesia. (2014). Jakarta.
Ilir. (2016). Kabupaten Penukal Abab Mayunga, Joseph S. Understanding and
Lematang Ilir dalam Angka Tahun 2015. Applying The Concept of Community
BPS Kota Lubuklinggau. (2016). Kota Disaster Resilience: A Capital-Based
Lubuklinggau dalam Angka Tahun Approach. http://www.ehs.unu.edu/
2015. file/get/3761. Diunduh pada tanggal 3
BPS Kota Pagaralam. (2016). Kota Pagaralam Agustus 2016.
dalam Angka Tahun 2015. Rose, Adam. (2004). Defining and Measuring
BPS Kota Palembang. (2016). Kota Economic Resilience to Disasters. Jurnal
Palembang dalam Angka Tahun 2015. Disaster Prevention and Management
BPS Kota Prabumulih. (2016). Kota Volume 13, Number 4, 2004). ISSN
Prabumulih dalam Angka Tahun 2015. 0965-3562.
BPS Provinsi Sumatera Selatan. (2016). Twigg, J. 2012. Karakteristik Masyarakat Tahan
Provinsi Sumatera Selatan dalam Bencana. Australia-Indonesia Facility for
Angka Tahun 2015. Disaster Reduction (AIFDR), AusAID.
Mengukur Ketangguhan Sosial ... (Ratih Nurmasari, Suprapto, dan Ainun Rosyida) 11
United Nation Internastional Strategy for and Disasters. Copyright to La Red
Disaster Reduction. (2010). Terminologi (Latin America), Duryog Nivaran (South
Pengurangan Risko Bencana - Edisi Asia) and Peri-Peri (Southern Africa).
indonesia. Asian Disaster Reduction and Kementerian Pertahanan. 2014. Buku
Response Network. Putih Pertahanan Indonesia.
Wisner, B. et.al. (2003). At Risk Second Edition,
Natural Hazards, People’s Vulnerability
12 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 1-12
PREVENTIVE TOWARD EARTHQUAKE’S DISASTER IN WEST SUMATERA
BASED ON GEOPHYSIC ANALYSIS
reza.pyanti@yahoo.com
Abstract
Earthquake is a natural phenomenon that until now has not been able to predict the time of
occurrence and can not be stopped. One of the provinces in Indonesia is prone to earthquakes
is West Sumatra, as it is located along the subduction zone of the Sumatera Island. Based on
geophysic studies, some areas in West Sumatra has been predicted become earthquake’s
prone namely Padang, Pesisir Selatan, Solok, Agam and Mentawai Island. From all that areas,
Padang is the region which has the largest potential damage when an earthquake happen. It
is because Padang as a capital city of West Sumatera that run multi-complex functions as a
center of government, economy, education, housing and tourism. The condition of unstable region
and the amount of damages that could be caused by the earthquake need an action of disaster
prevention. This paper aimsto explain preventive way to minimize the impact of the earthquake
based on geophysic analysis. Moving the capital city to the eastern part of West Sumatera that
bordering with the Province of Riau, the District 50 City, is the preventive way towards disaster.
The region is relatively stable and not included in the risk zone. Moving the capital city will provide
two benefits at once. First, avoid the threat of earthquakes so that the central of government will
be more stable. Second, creating a domino effect in the form of new economic growth centers in
the border region of the province of West Sumatra and Riau. New economic growth center will
be a magnet that attract people to live in that area and encourage the migration of people from
disaster-prone areas to the center of the new economy that provides opportunities to improve the
economic life of society and to avoid the risk of earthquakes.
Preventive Toward Earthquake’s ... (Reza Prima Yanti, Suharsono, Indriati Retno Palupi, Wahyu Hidayat) 13
the outskirts of active plate world. This can be process that greater than the expected
seen in the high incidence of earthquakes on frequency and magnitude, causes major
Sumatera, because this area is the meeting ‘human hardship with significant damage’
zone of the tectonic plates, but also due to (part of the larger environment of frequencies
the fault Mentawai (Mentawai Fault System) expected and the main cause of human
and Sumatra Fault System. Combination of difficulties with significant damage). Meanwhile,
the three earthquake sources add complexity the United Nations define disaster as a serious
and causing tectonic Sumatra. That condition disruption of the functioning of society, causing
create West Sumatra region as one of the widespread human, material or environmental
areas prone to earthquakes. Historical data losses, which exceed the ability of the affected
recorded seismic activity over the past 200 society to cope using only its own resources
years back showed that West Sumatra is prone (malfunctioning of a serious public causing
to earthquakes, with regard to its location at harm to human, material loss or environmental
the confluence of the zone four large tectonic damage that exceeds the ability of the affected
plates. community in which way to address such
Geological structure of the area coupled damage just by using the resource itself (UN,
with a dense residential population in the zone 1992).
of higher seismic amplification helps explain Meanwhile, according to the National
the huge damage from the earthquake, both Disaster Management Agency (BNPB, 2008)
in terms of casualties and damage and loss of disaster is an event or series of events that
material. On 30 September 2009, an earthquake threaten and disrupt the lives and livelihood
measuring 7.2 Richter (or 7.5 SR according to the caused by both natural factors and/or factors
USGS) has rocked West Sumatra that caused of non-natural or human factors that lead to
some areas in West Sumatra were affected as the emergence of human lives, damage to the
the city of Padang, Padang Pariaman, Agam environment, loss of property, and psychological
and South Coastal District. As a result of the impact. Disaster itself can be classified into two
earthquake, infrastructure and utilities as well categories, natural or environmental disasters
as residential areas suffered much damage. and disasters due to human activities or the
After the occurrence of the earthquake in 2009, creation (technology) (Gustin, 2005: 61).
the West Sumatra often hasearthquake though Includes natural disasters such as cyclones,
the power still under 7.2 magnitude. But it still tornadoes, floods, and earthquakes. While
creating panic for the public and damage to other examples of disasters caused by human
infrastructure. Based on this situation, we can activity or incidents include accidents tech
see that West Sumatra has great potential for materials, radiological accidents, transportation
experiencing an earthquake back in the future, accidents, bombings and electrical failure.
especially in the western region adjacent to the According to the Ministry of Social Affairs,
source of the quake. disaster management is a dynamic process,
continuous and integrated to improve the quality
2. LITERATURE REVIEW of the measures related to the observation and
analysis of disasters and disaster prevention,
The disaster is an event or series of mitigation, preparedness, early warning,
events that threaten and disrupt the lives and emergency response, disaster rehabilitation
livelihood caused by natural factors and non- and reconstruction. While according to the
natural factors and human factors, resulting in Disaster Management Act 24 of 2007 states
the emergence of human lives, environmental that implementation of disaster management is
damage, loss of property, and psychological a series of efforts that include the establishment
impact (Law No.24 of 2007). Also John Oliver of development policies that are at risk of the
in the Handbook of Disaster Research (2007: onset of the disaster, disaster prevention, relief
9) defines disaster as part of the environmental and rehabilitation.
14 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 13-20
Disaster management activities can be 3. METHODOLOGY
divided into three main activities (Coppola,
2007): As the region lies in the earthquake-prone
1. The pre-disaster activities that include zones and the magnitude of the losses incurred
prevention, mitigation, preparedness and in the event of an earthquake, the province
early warning. of West Sumatra need to adapt and change
2. Activities during disaster which includes the paradigm in face of such disasters. The
emergency response activities to earthquake that struck the province of this often
alleviate suffering while, such as the requires an effort which not only emphasizes
activity search and rescue (SAR), the aspects of post-disaster but more
emergency assistance and evacuation. emphasizes the aspect pre-disaster. That’s why
3. Activities include a post-disaster the efforts should be prepared before a disaster
recovery activities, rehabilitation and happen again because it will cause loss of
reconstruction. life and infrastructure. This study provides
recommendations to policymakers in the field
Pre-disaster phase activities have been of disaster mitigation as one step in minimizing
widely overlooked, but quite the pre-disaster and anticipate the magnitude of losses due to
activities at this stage is very important because the earthquake that occurred in the province of
what is already prepared at this stage is a West Sumatra. This recommendation was made
capital in the face of disaster and post-disaster. based on the mapping of disaster-prone zones
Very few government and private together earthquake that identified through geophysical
with the community to think about the steps studies.
or activities of what needs to be done in the
face of disaster or how to minimize the impact 4. RESULTS AND DISCUSSION
of disasters (Schneid and Collins, 2001). The
activities undertaken when a disaster occurs West Sumatra is one of the earthquake-
immediately upon occurrence of a disaster, prone areas in Indonesia because it lies near a
to cope with the impact, especially in the subduction zone on the west coast of Sumatra.
form of rescue and property, evacuation and Subduction zones are the result of the collision
displacement, will get full attention from both zone between the Australian plate and the
government and the private shared society. Eurasian plate, forming a subduction zone
At the time of the disaster, usually so many along the western coast of Sumatra, south of
people are paying attention and lend a hand Java up to Nusa Tenggara. The subduction
provide energy assistance, moral and material. zone is one source of the earthquake. Usually
The amount of assistance is an advantage that earthquakes that dominate the quakes with
should be managed properly, so that any aid magnitude value is high enough, so that
received can be appropriate, effective, precise this earthquake is referred to as megathrust
benefit, and occurs efficiency (Higgins in Linda earthquake. In addition, along the island of
and Donald, 2005: 65). The activities in post- Sumatra Fault Semangko, there are also
disaster phase is a process of improvement a source of the quake but not for the large
of the condition of the affected people, by magnitude earthquake source megathrust.
re-creating infrastructure and facilities in Fault Semangko also pass through the
its original state. At this point to note is that province of West Sumatra, especially in the
the rehabilitation and reconstruction will be central part of the province.
implemented must fulfill the standards of Mentawai Islands are located in the
disaster, not only do physical rehabilitation west of West Sumatra and separated an
but also should be noted the rehabilitation archipelago formed by the slab pull force below
of the psyche that occurs as fear, trauma or the surface. Pull Slab style is a style which
depression (Schwab, 1998). caused by differences in the density below the
Preventive Toward Earthquake’s ... (Reza Prima Yanti, Suharsono, Indriati Retno Palupi, Wahyu Hidayat) 15
surface. Pull Sab illustration style can be seen The layout of the Mentawai islands near the
in Figure 1 below: subduction zone and the central part of West
Sumatra fault Semangko traversed the cause
of high value of PGA in both these areas. The
ρ1 second vulnerable zone is the western part of
West Sumatra where the provincial capital of
Padang as included in it, and tramstop prone
zones is the eastern part of West Sumatra
ρ2
bordering Riau province has a low value PGA.
ρ3
ρ1<ρ2<ρ3
16 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 13-20
of the earthquake. Seen that megathrust 336 people (1.52%). In 2013 increased to 876
earthquake source marked with black curve is 678 people (1.37%), 2014 increased again to
the source of the largest earthquake in Padang. 889 646 people (1.62%). 2015 rose again to
Megathrust earthquake source has a value of 902 413 people (1.44%). The distribution of
frequency of occurrence of earthquake and population by region still not done well. Along
PGA are quite high. with the increasing of population, the population
Based on the results of the geophysical density of Kota Padang increased from 1,280
analysis can be known that the Kota Padang inhabitants per km2 in 2014 to 1,299 inhabitants
is very prone to earthquakes. It caused by the per km2 in 2015.
located of Kota Padang which is above the The earthquake rocked West Sumatra
source of the earthquake megathrust while on September 30, 2009 at 17:18 GMT with
also run multi function (multiple functions) as the strength of 7.9 on the Richter Scale (SR)
the center of government, economy, housing, and centered (epicenter) in the Indian Ocean
education and tourism. Based on Government 57 km Southwestern Pariaman with a depth of
Regulation No. 17 of 1980, which was later 71 km. This disaster claimed many casualties.
adapted by Act No. 22 of 1999 and Government In addition to casualties, the earthquake also
Regulation No. 25 of 2000 extensive previous resulted in some buildings collapsed and
Kota Padang is 694.96 km2 (mainland) or 1.65 severely damaged, the road split at some point
percent of the area of West Sumatra province in the city of Padang, even a fire at several
into 1414.96 km2 net of sea area of 720 km2 locations, one of them in Pasar Raya Padang.
(BPS Kota Padang, 2016). Aftershocks occurred at 17:38 pm measuring 6.2
By 2015 the population of the Kota on the Richter Scale (SR), the location of LS 0.72
Padang reached 902 413 people. Since 2010, - 99.94 BT centered in the Indian Ocean 22 km
the population growth tends to increase, from Southwestern Pariaman with a depth of 110 km.
minus 0.95% in 2010 to 1.68% in 2011. In Furthermore, on Thursday, October 1, 2009 at
2012 the population of Padang rose to 854 09.00 am back in an earthquake measuring 7.0.
Victims
No. District
Lose Died Big Injured Small Injured
1. Bungus Teluk Kabung 8 38
2. Lubuk Kilangan 5 31 32
3. Lubuk Begalung 1 40 24 60
4. Padang Selatan 35 42 43
5. Padang Timur 41 109 113
6. Padang Barat 81 110 264
7. Padang Utara 1 28 52 31
8. Nanggalo 27 10 59
9. Kuranji 36 29 38
10. Pauh 13 1 32
11. Koto Tangah 19 23 61
12. Alamat Tidak Diketahui 11
13. Luar Daerah 39
Total 2 383 431 771
Preventive Toward Earthquake’s ... (Reza Prima Yanti, Suharsono, Indriati Retno Palupi, Wahyu Hidayat) 17
Impact of the earthquake towards Kota even the potential for recurrence of earthquakes
Padang is damage and loss of infrastructure, in the future is huge. Kota Padang as the
water and sanitation. Number of damaged capital city of West Sumatra province is highly
houses reached 107.028 units as shown in the vulnerable to the impact of the earthquake
following table. The estimated loss of houses and will suffer a great loss if an earthquake
by the earthquake in Padang around Rp. rocked again as it was located directly above
5,506,751,250,000. the epicenter of megathrust. Learn from the
Victims
No. District Heavy Moderately Minor
Total in number
Damage Damage Damage
1. Bungus Teluk Kabung 1.151 1.044 1.219 176.793.750.000
2. Lubuk Kilangan 2.441 2.098 2.315 362.328.750.000
3. Lubuk Begalung 4.976 5.305 6.506 836.651.250.000
4. Padang Selatan 2.436 2.535 2.887 399.386.250.000
5. Padang Timur 1.670 3.087 3.395 381.543.750.000
6. Padang Barat 2.160 2.202 2.399 347.940.000.000
7. Padang Utara 2.666 3.036 3.102 450.517.500.000
8. Nanggalo 2.787 1.911 1.468 360.000.000.000
9. Kuranji 4.990 4.749 4.753 767.036.250.000
10. Pauh 1.129 1.426 2.005 214.233.750.000
11. Koto Tangah 7.191 8.423 7.566 1.210.320.000.000
Total 33.597 35.816 37.615 5.506.751.250.000
Besides what happen to housing and earthquake that rocked West Sumatra in 2009
infrastructure, damages and losses also occurred can be seen that the magnitude of the damage
in the social sectors (education, health, cultural, and losses caused by the earthquake disaster,
religious and social institutions) as well as the especially for Kota Padang which run multi
productive sector and across sectors. The value functions.
of damage and losses are greatest at the housing Different with Kota Padang, in geophysical
component of the value of damage and losses studies also found the area that not prone to
reached Rp. 15:41 trillion. The infrastructure earthquakes, namely the eastern part of West
sector suffered damage and losses reached Sumatra. The eastern region is little potential for
Rp 963 billion, social sectors reached Rp 1.52 the affected, which is Kabupaten 50 Kota. This
trillion, economic sectors reached Rp 2.3 trillion, kabupaten composed of 13 districts and has
sub-sectors of government and environment 3354.30 km2 of land area, which means 7.94%
suffered damage and losses amount Rp 674.6 of the landmass of West Sumatra province
billion, bringing the total value of damage and which covers 42229.64 km2 (BPS Kabupaten 50
recorded losses of Rp 20.86 trillion. Kota, 2015). Kabupaten 50 Kota flanked by four
Based on the results of geophysical districts,which are Agam, Tanah Datar district
research can be find the disaster-prone areas and Sinjunjung and Pasaman, and also by one
and areas that are not prone to earthquake province which is Riau Province.
in West Sumatra province. Kota Padang in Kabupaten 50 Kota has availability to
identification is very prone to earthquakes, and serve as the capital of West Sumatra province
18 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 13-20
because it is supported by some of the aspects from the situation with the city of Padang who
to be built as a capital. First, from the aspect continue to experience obstacles in economic
of land availability. Kabupaten 50 Kota area development for Teluk Bayur as the economic
still widely available. The development area hub of Padang slowing down of economic
into several areas in Kabupaten 50 Kota still activity and can not be developed. Fourth, from
wide open for example Tanjung Pati, Batingkok the aspect of affordability location of various
Lubuk Batu Balang up Taram with their many regions in West Sumatra. As the capital which
undeveloped state land for development. became the center for the activities of the
Second, from the historical aspect. Kabupaten provincial government, then access to the city
50 Kota, especially Sarilamak City is a major should be able to reach from various regions.
city for trading transit in the East Minangkabau Kabupaten 50 Kota with the Sarilamak as capital
in history 18-20 AD. Various plantations, mining city relatively close to the entire region in West
and forestry are collected in Sarilamak then Sumatra, except Mentawai Islands.
taken to the Base (Kotabaru), which became
the largest river port of East Minangkabau at 5. CONCLUSION
that time. From Base, commodities trading were
brought to the Kuala Kampar in the Malacca West Sumatra is a province that prone
Strait by passing Mahat Batang - Batang to earthquakes. Based on geophysical studies
Kampar - Taratak Reed - Kuntu - Lipat Kain - can be find that the middle lane of the province
Pangkalan Kerinci - Pangkalan Kuras - Cotton is very dangerous and potentially higher risk of
Base - Base Indarung - Palalawan. The seller earthquakes. In addition, the western part of the
will meet with traders from Arabia, India, United province such as the Mentawai Islands and the
Kingdom, America and China in the region and city of Padang is also high potential affected by
subsequent trading of various commodities will the earthquake, especially Kota Padang. This is
be forwarded by the merchants to Penang and due to Kota Padang located above the epicenter
Melaka. megathrust and also as the capital city of West
Third, the economic aspect. In its Sumatra. With the role as the capital city, the
development, trade flows between Riau risk of losses incurred when the quake hit most
West Sumatra overland passes more rapidly. large compared to other areas in West Sumatra.
Research from Department of Infrastructure’s Earthquake threat many buildings institutions,
Development of West Sumatra proved that education, public facilities. Eearthquake also had
the road in 2002 has passed by around 6800 an impact on the economy and local communities.
vehicles on weekdays and about 11,350 on The amount of risk that must be faced and the
holidays, and carry about 28.5 million tons potential for a recurrence of earthquakes in
of goods and 15.8 million people across the Padang cause high levels of vulnerability of Kota
line Payakumbuh - Pekanbaru. From this Padang as the provincial capital. Meanwhile,
perspective then Kabupaten 50 Kota under the according to geophysical studies, it can be seen
leadership of Regent’s Alis Marajo (2000-2005) that there is a safe area of the earthquake, the
opened the way to some areas in the central eastern region of West Sumatra province, which
part of Sumatra, which connects Kabupaten is known Kabupaten 50 Kota. Kabupaten 50
50 Kota to other regions. Traffic access to Riau Kota have some potential which are not prone
Province developed with the opening of the to the threat of earthquake and has availability to
road from the base to the Lipat Kain. Traffic be capital city. Thus, an attempt to relocate the
access to the economy of North Sumatra is capital city of West Sumatra from Kota Padang
also developed through the beehive, Kapur IX were highly vulnerable to disasters to Kabupaten
to Rokan. Besides the potential areas that could 50 Kota which not prone to earthquakes is a
be further developed to economic development, recommendation to mitigate disasters as well as
Kabupaten 50 Kota also has the airport that ever the development of West Sumatra province in
functioned in 1942-1950. This is quite different the future.
Preventive Toward Earthquake’s ... (Reza Prima Yanti, Suharsono, Indriati Retno Palupi, Wahyu Hidayat) 19
REFERENCES Gustin, J.F, 2005, Disaster and Recovery
Planning: A Guide for Facility Managers,
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Padang, 2016 The Fairmont Press Inc, Lilburn
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten 50 Kota, Handbook Disaster Research, 2007
2015 Higgins, V., 2001, Smoothing the Process of
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Change? A Genealogy of Farm Viability in
(BPBD) Kota Padang, 2010 Australia(1967-1997), Queensland
Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Schneid, T. D., & Collins, L., 2001, Disaster
(BPRR), 2009 Management and Preparedness, CRC
Badan Nasional Penanggulangan Bencana Press LLC, Florida
(BNPB), 2008 Schwab, J., 1998, Planning for Post-Disaster
Coppola, D.P, 2007, Introduction to International Recovery and Reconstruction, Chicago
Disaster Management, Butterworth- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Heinemann, Oxford Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Edwiza, Daz dan Sri Novita, 2008, Pemetaan Bencana
Percepatan Tanah Maksimum dan
Intensitas Seismik Kota Padang
Menggunakan Metode Kanai, Jurnal
Teknika No.29 Vol.2 Tahun XV Universitas
Andalas
20 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 13-20
ANALISIS SEBARAN BANJIR BERDASARKAN
SKENARIO PERIODE ULANG DEBIT
(STUDI KASUS: SUB DAS CITARUM HILIR)
psantika@gmail.com
Abstract
The lower Citarum subbasin is a flood prone area. Small land slope causes a lot of stagnant
water flow. The subbasin is dominated by agricultural land, so that inundation area affect crop
yields and productivity. The objectives of this research are to evaluate the inundation floodplain
area and evaluate the flood area both rice field and residential land covers. The inundation
area is evaluating using HEC-RAS hydrological model to calculate water surface profile. The
result showed that highest inudation area is located in the Karawang district about 40% of the
total area. Furthermore, the inundation areas are expected to increase about 22%, 126% and
196%, in the scenarios of return period of the 5, 25 and 100 years, respectively. The highest
inundation of agriculture area is at Karawang subdistrict or about 58% of the total area, and
Telukjambe subdistrict of the residential area or about 42% of the total area. It can be concluded
that hydrological model is able to use as a tool for assessing the flood in the area.
2.1. Tempat dan Waktu Penelitian Periode ulang merupakan suatu waktu
saat debit atau curah hujan dengan besaran
Lokasi penelitian bertempat di Sungai tertentu sama atau dilampaui pada jangka
Citarum, sub DAS Citarum Hilir, DAS Citarum waktu tertentu dan menunjukkan derajat
dengan pengolahan data bertempat di keseringan suatu peristiwa terjadi, sehingga
Laboratorium Hidrometeorologi, Departemen dapat didefinisikan sebagai kebalikannya dari
Geofisika dan Meteorologi, IPB. Penelitian ini probabilitas (peluang terlampaui) (Mohymont
dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2004). Data debit yang digunakan dalam
2016. penelitian ini adalah debit harian selama
11 tahun dari tahun 2005 sampai 2015. Uji
2.2. Alat dan Bahan kecocokan antara model distribusi empiris data
historis yang dianalisis dengan empat belas
Data yang digunakan meliputi data jenis distribusi frekuensi teoritis menggunakan
Digital Elevation Model (DEM) resolusi 30 x 30 aplikasi Crystall ball yang terintegrasi microsoft
meter, geometri sungai hasil olahan data DEM excel. Distribusi empiris yang mendekati
di ArcMap, debit outlet Bendung Walahar tahun distribusi frekuensi teoritis dipilih berdasarkan
2005 sampai 2015, peta jaringan sungai, curah nilai statistik Anderson - Darling terkecil.
hujan Sub DAS Citarum Hilir tahun 2005 sampai Menurut Sri Harto (1993), pemilihan jenis
2015, peta Citarum Hilir, Citra satelit Landsat-8 distribusi yang kurang tepat akan menyebabkan
bulan Juli 2015 dan Landsat-5 bulan Agustus kesalahan perkiraan yang cukup besar baik
2010, serta peta penggunaan lahan tahun 2012. over estimated atau under estimated.
Alat yang digunakan dalam penelitian Jika hasil distribusi yang diperoleh
ini adalah seperangkat komputer yang cenderung termasuk dalam distribusi
dilengkapi perangkat lunak Ms. Excel, Global gamma, maka parameter distribusi seperti
Mapper, software pengolahan data Geographic parameter bentuk (α) dan parameter skala
Information System (GIS) ArcMap.10.1 (β) yang menyusun model dapat diperoleh
terintegrasi HEC-geoRAS, software HEC-RAS dari pengolah statistik. Langkah selanjutnya
4.1.0, serta ArcHydro. adalah transformasi model distribusi menjadi
fungsi distribusi peluang kumulatif (cumulative
2.3. Prosedur Analisis Data distribution function, cdf) dengan persamaan
umum:
p = F(x|a,b) (1)
2.3.1. Tahap Persiapan Data
dimana p merupakan nilai peluang cdf , F adalah
Peta jaringan sungai (morfologi sungai), fungsi distribusi peluang kumulatif tertentu, x
peta Citarum Hilir, data DEM ASTER resolusi menunjukkan data yang akan dianalisa, a dan
22 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 21-31
b merupakan nilai parameter distribusi peluang. terhadap waktu. Sebaliknya pada aliran
Nilai debit kemudian dihitung dengan melakukan tak mantap (unsteady flow), perubahan
inverse pada fungsi distribusi kumulatif (inverse kedalaman dan kecepatan terjadi
cumulative distribution function, icdf) dari cdf terhadap waktu dan jarak sepanjang
yang diperoleh sebelumnya (Dasanto 2015). saluran (Tate dan Maidment 1999).
Bentuk umum persamaan tersebut adalah Perhitungan hidraulik untuk memperoleh
sebagai berikut: profil muka air menggunakan persamaan
x = F-1(p|a,b) (2) energi dengan memperhitungkan kehilangan
dimana x adalah nilai debit pada periode ulang tinggi energi dan kapasitas angkut sungainya.
tertentu, F-1 adalah fungsi icdf, p merupakan Perhitungan profil muka air dalam simulasi
nilai periode ulang, a dan b nilai parameter aliran mantap menggunakan persamaan energi
distribusi peluang. antara dua penampang melintang.
a2V2² a1V1²
2.3.3. Pemodelan Wilayah Banjir Y2 + Z2 + = Y1 + Z1 + + he (3)
2g 2g
HEC-RAS merupakan model hidraulik dimana Y1 dan Y2 adalah kedalaman aliran,
satu dimensi aliran mantap (steady flow) Z1 dan Z2 elevasi dasar saluran, V1 dan V2
atau tidak mantap (unsteady flow) (USACE kecepatan rata-rata, a1 dan a2 adalah koefisien,
2010) sedangkan HEC-GeoRAS digunakan g percepatan gravitasi dan he koefisien
untuk membuat data geometri sebagai input kehilangan energi.
data HEC-RAS dan membuat hasil model Kehilangan tinggi energi (he) terdiri dari
dalam format spasial. Pemetaan daerah kehilangan energi karena gesekan (friction
sebaran banjir dipengaruhi oleh banyak faktor losses) dan karena perubahan tampang
diantaranya kualitas data terrain (DEM), (contraction or expansion losses) dapat dihitung
susunan penampang melintang (cross section), berdasarkan persamaan:
dan penggunaan 1D atau 2D model hidraulik a2V2² a1V1²
(Cook 2008). Dalam HEC-RAS, pemodelan he = L.Sf + C |
2g
2g
| (4)
wilayah banjir dilakukan melalui 3 tahap yaitu
pre-processing, peniruan aliran dan post- dimana L merupakan panjang penggal
processing. sungai antar kedua penampang yang diberi
bobot menurut debit, Sf representatif friction
(1) Pre-processing slope antar kedua penampang dan C adalah
Pre-processing atau proses peniruan koefisien kehilangan energi akibat perubahan
geometri sungai pada ArcMap terintegrasi penampang.
HEC-GeoRAS menggunakan terrain Kehilangan energi akibat gesekan
dalam bentuk GRID maupun TIN merupakan hasil perkalian kemiringan garis
(USACE 2009). Layer yang digunakan energi dengan panjang penggal sungai.
untuk membuat data geometri sungai Kemiringan garis energi dapat dihitung dengan
diantaranya: garis aliran sungai (stream menggunakan persamaan Manning.
centerline), batas kanan dan kiri sungai
(bank lines), batas area sebaran banjir ( )
Q ²
Sf = K (5)
maksimal (flowpaths centerline), dan
penampang melintang (cross section). Kapasitas angkut dan kecepatan
(2) Peniruan Aliran rata-rata aliran dihitung dengan membagi
Peniruan aliran pada HEC-RAS penampang menjadi 3 bagian yaitu bantaran
dimaksudkan untuk penentuan profil kiri (left overbank), alur utama (main channel),
muka air. Steady flow menunjukkan suatu dan bantaran kanan (right overbank). Koefisien
kondisi saat kedalaman dan kecepatan Manning n ditetapkan pada setiap bagian
aliran pada suatu saluran tidak berubah tampang sungai dan dihitung berdasarkan
24 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 21-31
rata wilayah berkisar antara 26 – 27,5°C. Tabel 1. Luas penggunaan lahan Sub DAS Citarum Hilir.
Curah hujan wilayah tahunan sebesar 1.707
mm/tahun termasuk kedalam pola hujan Penggunaan Lahan Luas (Ha)
monsoonal dengan nilai terendah sekitar 23 Badan Air 19.263
mm pada bulan Agustus dan tertinggi 371 Sawah 52.874
mm bulan Januari. Vegetasi non sawah 42.770
Lahan terbuka 27.432
Pemukiman 15.397
(b)
26 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 21-31
muka air mengalami peningkatan rata-rata 1,5 3.6. Validasi Model
meter pada skenario periode ulang 25 dan
100 tahunan. HEC-RAS sebagai model 1D, Validasi model dilakukan untuk melihat
menghitung tinggi muka air satu persatu pada besar persentase jumlah pixel hasil model
tiap penampang melintang, sehingga tinggi dengan jumlah pixel pada kondisi aktual.
muka air tidak bervariasi sepanjang penampang. Akurasi genangan dipengaruhi oleh resolusi
Dataran banjir dan saluran utama akan memiliki DEM. Semakin tinggi resolusi DEM, penampang
tinggi muka air yang sama (Goodell dan Warren melintang akan semakin sensitif terhadap
2006). Slope muka air sungai pada penampang perubahan hidrologi (Cook 2008). Hasil analisis
memanjang (b) cukup landai yaitu < 1o sehingga menunjukkan perbandingan jumlah pixel hasil
kecepatan aliran rendah dan berpotensi untuk citra dengan hasil model menggunakan metode
terjadi genangan di dataran yang lebih rendah. Horrit dan Bates (2002) memiliki persentase
sebesar 60,6%, sehingga hasil model mampu
3.5. Sebaran Banjir Kondisi Saat Ini menggambarkan 60,6% dari kondisi aktual.
(existing)
3.7. Analisis Genangan Berdasarkan
Hasil sebaran banjir dari debit existing Periode Ulang Debit
(Gambar 4) menunjukkan total luas genangan
1.926 ha yang tersebar di delapan kecamatan. Peta sebaran banjir dari ketiga skenario
Kecamatan Karawang merupakan wilayah periode ulang (Gambar 5) tidak menunjukkan
dengan genangan banjir terluas yaitu sekitar adanya peningkatan batas terluar genangan.
40% dari total luas genangan. Hal ini dipengaruhi Hal ini disebabkan adanya pembatasan wilayah
lokasi Kecamatan Karawang berada di sebelah sebaran banjir pada tahap pembuatan geometri
timur Sungai Citarum dengan slope lebih landai sungai (flowpath centerline) berdasarkan riwayat
dibandingkan sebelah barat. lokasi sebaran banjir terjauh serta panjang
penampang melintangnya. Flowpath digunakan
untuk menentukan panjang jangkauan antara
penampang melintang pada sungai utama
dengan dataran banjir (Goodell dan Warren
2006).
28 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 21-31
adalah penjumlahan antara luas banjir di dengan rata-rata 58% dari luas genangan sawah
perkotaan dan pedesaan sedangkan pada (Gambar 6). Hal ini disebabkan penggunaan
pertanian, besar kerugian hanya dihitung lahan Kecamatan Karawang didominasi sawah
untuk padi sawah (Muin et al. 2015). serta lokasi sawah yang umumnya terletak di
pinggir sungai untuk kepentingan irigasi. Selain
Tabel 4. Luas Area Banjir Setiap Periode Ulang itu, genangan terluas pada daerah pemukiman
Berdasarkan Penggunaan Lahan terletak di Kecamatan Telukjambe dengan luas
.
Luas Genangan (ha) antara 257 – 718 ha atau sekitar 42% luas
Penggunaan Periode Ulang
total pemukiman tergenang. Hal ini disebabkan
Lahan Tahunan Kecamatan Telukjambe memiliki jumlah
Existing
penduduk terbanyak di Kabupaten Karawang
5 25 100
sebanyak 185.487 jiwa (BPS Karawang
Pemukiman 564 669 1275 1746
2015). Peningkatan nilai debit berdasarkan
Sawah 896 1121 2059 2597 periode ulang tidak terlalu berpengaruh pada
Vegetasi 387 470 834 1076 perubahan luas genangan di Kecamatan
Lemahabang dan Kedungwaringin. Persentase
Penggunaan lahan yang paling luas genangan kedua kecamatan pada lahan
terpengaruh oleh genangan pada semua sawah dan pemukiman kurang dari 1%.
periode ulang debit adalah sawah dengan
luas rata-rata 47% dari luas total genangan. 4. KESIMPULAN DAN SARAN
Pemukiman memiliki rata-rata peningkatan
persentase luas genangan terbesar yaitu 95% Dari hasil analisis sebaran banjir di aliran
pada tiap periode ulang dibandingkan sawah sungai Citarum Hilir berdasarkan periode ulang
yang memiliki rata-rata peningkatan persentase beberapa nilai debit dapat disimpulkan dan
82% dan vegetasi sebesar 78%. Sensitivitas disarankan sebagai berikut:
daerah pemukiman lebih besar untuk tergenang
saat terjadi peningkatan nilai debit atau curah 4.1. Kesimpulan
hujan. Lokasi pemukiman sebagian besar
berada di sepanjang aliran sungai dan tersebar Pemetaan sebaran banjir suatu wilayah
di setiap kecamatan sehingga menyebabkan dapat menggunakan model hidrologi HEC-RAS
lahan pemukiman lebih rawan tergenang dengan menurunkan data DEM menjadi profil
dibandingkan lahan sawah. muka air banjir pada tiap penampang melintang.
Sebaran daerah rawan banjir diidentifikasi
Pemukiman Sawah dari luas genangan pada periode ulang 5,
el
3% el
ng
% g
Ciamp
Ciamp
ran
ik2aa3%
haba
Rawame
ame
ra
2%
1%
Cik
Raw
Rawamerta
Rawamerta
Lema
Ciampela
Ciampela 19%
19% Lemahabang
21%
21% TTeelulu
kkjajamm
Lemahabang
0%
0%
ulang 5, 25 dan 100 tahunan berturut-turut
ranngg
Telukjambe
Telukjambe CCikika2a2ra
%% 77%% bbee
Karawang
Karawang
sebesar 22%, 126% dan 196%. Kecamatan
42%
42%
58%
58% Karawang merupakan wilayah dengan rata-
ingin
in
Karawang
Karawang KKlalariri
gwarring
21%
21% 1111%%
rata genangan banjir terluas yaitu sekitar 40%
ngwa
Kedu 11%%
Kedungwaringin
Kedungwaringin
Klari
Klari 0%
0%
dari total luas genangan dan mudah mengalami
edun
11%
11%
30 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 21-31
akibat bencana banjir di DAS Citarum Tate, E., D. Maidment, 1999, Floodplain
Hulu, Jurnal Tanah dan Iklim, 39(2):73- Mapping Using HEC-RAS and ArcView
83. GIS, Report, University of Texas, Austin,
Parhi, P.K., 2013. HEC-RAS Model for Texas, USA.
Manning’s Roughness: A Case Study, [USACE] US Army Corps of Engineers, 2009,
Open Journal of Modern Hydrology, (3): HEC-GeoRAS 4.2 GIS Tools for Support
97 – 101. of HEC-RAS using ArcGIS, CA (US):
Santikayasa, I.P., Mukand S, Babel, Sangam Hydrologic Engineering Center, Davis.
Shrestha, Damien Jourdain and Roberto [USACE] US Army Corps of Engineers, 2010,
S. Clemente, 2014, Evaluation of Water HEC RAS 4.0 River Analysis System, CA
Use Sustainability under Future Climate (US): Hydrological Engineering Center,
and Irrigation Management Scenarios Davis.
in Citarum River Basin, Indonesia, Ward, P.J., H. de Moel, J.C.J.H. Aerts, 2011,
International Journal of Sustainable How are flood risk estimates affected
Development & World Ecology, Vol. 21, by the choice of return- periods?, Nat.
No. 2, pp. 181-194. doi:10.1080/135045 Hazards Earth Syst, Sci, 11: 3181-3195.
09.2014.884023
Sri Harto, B.R., 1993, Analisis Hidrologi, Jakarta
(ID) : Gramedia.
Abstract
This study aims to (1) vulnerability, (2) capacity, (3) the risk of Wilis volcanic eruption disaster
at Ponorogo. The study is a balanced combination model research of qualitative and quantitative.
Sample of the study is society and environment at 13 villages of Ponorogo in Disaster-Prone
Areas of Volcanic Eruption. The result of the study show that the vulnerability of communities in
encountering Wilis Volcano disaster ranges from low to moderate. The moderate-level vulnerability
(1, 861434) is in Jurug Village, Sooko, while the low-level vulnerability (1,449574) is in Kemiri
Village, Jenangan. The capacity of communities in encountering Wilis Volcano eruption disaster
is low with the vulnerability score of one. The risk of Wilis volcanic eruption disaster ranges from
high to moderate with the high-level of risk in five villages of three sub districts.
32 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 32-42
pernah mengalami bencana letusan gunungapi. senada dengan pengertian kapasitas menurut
Selama ini masyarakat menganggap bahwa UNISDR (2009: 08) yang mendefiniskan
Gunung Wilis merupakan gunungapi yang “Coping capacity is the ability of people,
telah mati. Tetapi berdasarkan pantauan organizations and system, using available
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana skills and resources, to face and manage
Geologi (PVMBG), Gunung Wilis merupakan adverse condition, emergencies or disaster”.
gunungapi tipe B yang dapat diramalkan Terdapat konsensus yang
kondisinya bisa meningkat menjadi gunungapi mengklasifikasikan kapasitas menjadi
tipe A. Pengukuran tingkat pengetahuan dan tiga level yang saling berhubungan yaitu
kesiapan masyarakat terhadap bencana lingkungan yang mendukung, organisasi
letusan gunungapi ini penting dilakukan agar kebencanaan, dan kapasitas individu (Capacity
masyarakat di sekitar mengetahui bagaimana for Disaster Reduction Initiative, 2011:9).
menghadapi bencana letusan gunungapi. Lingkungan yang mendukung adalah kondisi
Hal ini senada dengan prioritas aksi Sendai yang diciptakan untuk memenuhi kapasitas
Framework for Disaster Risk Reduction organisasi dan individu seperti peraturan
(UNISDR, 2015: 14) yakni understanding perundang-undangan, norma-norma sosial
disaster risk. yang membantu peningkatan kapasitas
Risiko bencana dipengaruhi oleh masyarakat. Organisasi kebencanaan
ancaman letusan gunungapi yang disebut berkaitan dengan sistem dan strategi yang
sebagai Kawasan Rawan Bencana, tingkat dikelola untuk memudahkan masyarakat
kerentanan serta kapasitas terhadap bencana. dalam peningkatan kapasitas bencana.
Penentuan Kawasan Rawan Bencana Kelompok siaga bencana merupakan salah
menggunakan peta KRB dari Kabupaten satu organisasi di tingkat masyarakat. Ketiga
Ponorogo. Berdasarkan Twigg, John et.al. level kapasitas ini merupakan kesatuan
(2007:29) “Disaster Risk is a function of the bagian yang tidak terpisahkan dan saling
characteristics and frequency of hazards memengaruhi. Ketiganya memiliki hubungan
experienced in a specified location, the nature timbal balik.
of the elements at risk, and their inherent
degree of vulnerability and resilience.” 1.2. Tujuan
Pendapat ini memberikan penjelasan bahwa
risiko bencana adalah kondisi dimana adanya Berdasarkan teori dan kerangka berpikir,
pengalaman terjadi bencana di lokasi tertentu tujuan dari penelitian ini adalah: (i) Mengetahui
yang berkaitan dengan faktor kerentanan dan kerentanan bencana, (ii) mengetahui kapasitas
kapasitas terhadap bencana. bencana, (iii) mengetahui risiko bencana
Kerentanan masyarakat diperoleh letusan Gunung Wilis.
melalui analisis kerentanan sosial, ekonomi,
fisik, dan lingkungan hidup. Pendapat ini 2. METODE PENELITIAN
sesuai dengan definisi kerentanan menurut
Twigg, John. et al, 2007: 29) “Vulnerability is 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian
the potential to suffer harm or loss related to
the capacity to anticipate a hazard, cope with Penelitian dilakukan di Kabupaten
it, resist it, and recover from its impact. Both Ponorogo yang terbagi menjadi delapan
vulnerability and its antithesis, resilience, are kecamatan yaitu Kecamatan Sawoo, Sooko,
determined by physical, environmental, social, Pudak, Pulung, Mlarak, Siman, Jenangan, dan
economic, political, cultural and institutional Ngebel. Lokasi penelitian berdasarkan Peta
factors” Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunungapi
Sedangkan kapasitas diperoleh yang disusun oleh Bappeda Kabupaten
melalui data kelembagaan kebencanaan Ponorogo. Penelitian dilakukan pada bulan
dan pemerintah kecamatan/desa. Hal ini bulan November 2015 hingga Januari 2017.
Analisis Kerentanan dan Kapasitas ... (Ilfatul Amanah, Sarwono, Peduk Rintayati) 33
2.2. Metode Pengumpulan Data dan Pulung Kecamatan Pulung memiliki kepadatan
Analisis Sampel penduduk terbesar yaitu 1380,06 jiwa/km2.
Jumlah penduduk Desa Pulung adalah 4568
Penelitian ini adalah penelitian metode jiwa dengan luas desa yaitu 3,31 km2 . Desa
kombinasi model dengan data kuantitatif Pulung terletak di jalur kecamatan yang
dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh menghubungkan Kecamatan Siman dengan
dengan cara penskoran dengan menganalisis Kecamatan Pudak sehingga lokasi Desa
kerentanan, kapasitas, dan risiko bencana Pulung sangat strategis. Lokasi yang strategis
sehingga menghasilkan pemetaan daerah membuat Desa Pulung merupakan wilayah
risiko bencana. Data kualitatif diperoleh dengan pemukiman sehingga memiliki kepadatan
menganalisis dan mendeskripsikan hasil penduduk yang tinggi.
pemetaan data kuantitaif diperkuat dengan
data sekunder untuk menginterpretasi faktor- Tabel 1. Kepadatan Penduduk.
faktor risiko bencana. Kecamatan Desa
Kepadatan
Skor
Analisis kerentanan, kapasitas, dan Penduduk
risiko bencana menggunakan parameter BNPB Sawoo Temon 447,27 0,69
berdasarkan Peraturan Kepala BNPB No. 02 Sooko Ngadirojo 307,56 0,67
Tahun 2012 (39, 44). Sampel dalam penelitian Sooko Jurug 594,15 0,71
ini berjumlah 104 orang menggunakan teknik
Pulung Wagir Kidul 1020,88 0,75
cluster random sampling.
Pulung Pulung 1380,06 0,77
34 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 32-42
suatu tempat/desa. Rasio jenis kelamin di keluarga pra sejahtera alasan ekonomi dan
semua tempat penelitian bernilai tinggi. Hal ini Keluarga Sejahtera Tahap I karena alasan
disebabkan jumlah penduduk perempuan lebih ekonomi tidak dapat memenuhi kebutuhan
banyak daripada penduduk laki-laki. yakni: (1) paling kurang sekali seminggu
keluarga makan daging/ikan/telor, (2) setahun
Tabel 2. Rasio Jenis Kelamin. terakhir seluruh keluarga memperoleh paling
Rasio kurang satu stel pakaian baru, dan (3) luas
Kecamatan Desa Jenis Skor lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap
Kelamin hunian.
Sawoo Temon 102,19 0,3 Data tersebut kemudian diperoleh
Sooko Ngadirojo 95,08 0,3 melalui analisis data sekunder. Perbandingan
ini diperoleh angka rasio kemiskinan dengan
Sooko Jurug 97,23 0,3
kelas tinggi sebanyak delapan desa dan kelas
Pulung Wagir Kidul 98,62 0,3 sedang sebanyak empat desa. Rasio tertinggi
Pulung Pulung 98,86 0,3 berada di Desa Talun Kecamatan Ngebel
Pulung Banaran 98,09 0,3 dengan nilai rasio 73,70. Angka ini menunjukkan
Mlarak Candi 95,59 0,3 bahwa dalam 100 penduduk tidak miskin
Siman Ronosentanan 101,67 0,3
terdapat 74 penduduk miskin. Rasio penduduk
Desa Talun, Ngebel ini tergolong tinggi karena
Jenangan Kemiri 95,39 0,3
Desa Talun merupakan desa yang berada pada
Ngebel Talun 95,95 0,3 lereng pegunungan yang banyak mengalami
Ngebel Ngebel 101,73 0,3 pergerakan tanah.
Pudak Pudak Wetan 95,34 0,3
Tabel 3. Rasio Kemiskinan.
Pudak Banjarjo 97,25 0,3
Sumber: Kecamatan dalam Angka 2015. Rasio
Kecamatan Desa Kemiskin- Skor
an
Berdasarkan Tabel 2 rasio jenis kelamin
tertinggi berada pada Desa Temon Kecamatan Sawoo Temon 59,17 0,3
Sawoo sebesar 102,19. Hal ini berarti bahwa Sooko Ngadirojo 40,03 0,2
dalam 100 penduduk perempuan terdapat Sooko Jurug 30,02 0,2
102 laki-laki. Jumlah penduduk laki-laki Desa Pulung Wagir Kidul 30,43 0,2
Temon berjumlah 3.816 jiwa dan jumlah
Pulung Pulung 73,46 0,3
penduduk perempuan berjumlah 3.734 jiwa.
Dalam menghadapi bencana, perempuan Pulung Banaran 63,84 0,3
membutuhkan bantuan dari orang lain karena Mlarak Candi 30,07 0,2
keterbatasan kekuatan dan emosi. Hal ini Siman Ronosentanan 41,84 0,3
senada dengan pernyataan Saputra (2015: Jenangan Kemiri 54,16 0,3
65) yang mengatakan bahwa perempuan Ngebel Talun 73,70 0,3
akan memperoleh dampak ancaman yang
Ngebel Ngebel 41,26 0,3
lebih berisiko dibandingkan dengan laki-laki.
Sehingga semakin tinggi rasio jenis kelamin Pudak Pudak Wetan 58,18 0,3
maka tingkat kerentanan masyarakat terhadap Pudak Banjarjo 67,32 0,3
bencana akan semakin besar. Sumber: Kecamatan dalam Angka 2015.
Berdasarkan Undang-Undang No. 10
Tahun 1992, indikator keluarga sejahtera Jenis tanah di Desa Talun merupakan
merupakan indikator yang spesifik dan tanah lempung yang menyebabkan air mudah
operasional yang digunakan untuk mengukur lolos sehingga tanah mudah longsor. Selain
derajat kesejahteraan keluarga. Berdasarkan itu vegetasi yang ditanam di Desa Talun tidak
BKKBN Jawa Timur, keluarga miskin adalah dapat memperkuat struktur tanah sehingga
Analisis Kerentanan dan Kapasitas ... (Ilfatul Amanah, Sarwono, Peduk Rintayati) 35
menyebabkan tanah turun. Rasio kemiskinan penduduk yang termasuk kelompok rentan
terendah berada di Desa Jurug Sooko yaitu terhadap bencana.
bernilai 30. Desa Jurug merupakan desa Rasio penduduk cacat rendah
yang telah maju. Meskipun berada di lereng menunjukkan bahwa desa tersebut memiliki
pegunungan tapi akses dan transportasi sedikit penduduk yang tergolong kelompok
menuju desa tersebut sudah baik. Lokasi rentan. Penduduk dengan keterbatasan
Desa Jurug berada di pusat Kecamatan Sooko membutuhkan bantuan orang lain ketika
sehingga merupakan lokasi strategis dalam terjadi bencana. Hal inilah yang menyebabkan
hal pendidikan dan perekonomian. Kemiskinan penduduk penyandang keterbatasan memiliki
merupakan salah satu sektor kelompok rentan tingkat kerentanan yang lebih tinggi terhadap
terhadap bencana. Berdasarkan ActionAid bencana daripada penduduk yang lain.
(2005: 7) poverty is the state of deprivation Rasio kelompok umur digunakan untuk
(lack of accesss) to key resources necessary mengetahui tingkat ketergantungan anak-
for full participation in economic and social anak dan penduduk usia lanjut ketika terjadi
life. Masyarakat miskin memiliki keterbatasan bencana. Anak-anak dan penduduk usia lanjut
dalam hal ekonomi dan sosial. Mereka sulit merupakan kelompok masyarakat yang rentan
dalam bertahan hidup. Masyarakat miskin tidak terhadap bencana. Mereka membutuhkan
memiliki asuransi sehingga akan lebih sulit bantuan orang lain saat terjadi bencana.
untuk melanjutkan kehidupan setelah bencana. Keterbatasan ruang gerak dan kemampuan
dalam menghadapi bencana inilah yang
Tabel 4. Rasio Orang Cacat. menyebabkan kelompok ini rentan terhadap
Kecamatan Desa Rasio Skor bencana.
Sawoo Temon 0,18 0,1 Tabel 5. Data Rasio kelompok Umur.
Sooko Ngadirojo 0,63 0,1
Depedency
Sooko Jurug 0,67 0,1 Kecamatan Desa Skor
Ratio
Pulung Wagir Kidul 0,56 0,1 Sawoo Temon 37,35 0,2
Pulung Pulung 0,70 0,1 Sooko Ngadirojo 35,77 0,2
Pulung Banaran 0,39 0,1 Sooko Jurug 42,21 0,3
Mlarak Candi 0 0,1 Pulung Wagir Kidul 37,38 0,2
Siman Ronosentanan 1,135 0,1 Pulung Pulung 42,65 0,3
Jenangan Kemiri 1,15 0,1 Pulung Banaran 40,15 0,3
Ngebel Talun 0,28 0,1 Mlarak Candi 40,86 0,3
Ngebel Ngebel 0 0,1 Siman Ronosentan- 44,95 0,3
Pudak Pudak Wetan 0 0,1 an
Pudak Banjarjo 0 0,1 Jenangan Kemiri 34,78 0,2
Sumber: Kecamatan dalam Angka 2015. Ngebel Talun 38,42 0,2
Ngebel Ngebel 41,55 0,3
Seluruh desa di lokasi penelitian Pudak Pudak 35,85 0,2
memiliki tingkat rasio orang cacat yang Wetan
rendah. Desa yang paling banyak memiliki Pudak Banjarjo 33,16 0,2
jumlah orang cacat adalah Desa Kemiri Sumber: Data Konsolidasi Bersih Dukcapil Ponorogo
Kecamatan Jenangan berjumlah 47 jiwa Semester I 2016.
sedangkan Desa Candi, Ngebel, Pudak
Wetan, dan Banjarjo tidak memiliki penduduk Berdasarkan Tabel 5, dependency ratio
cacat. Rasio penduduk cacat merupakan tertinggi terdapat pada Desa Ronosentanan
indikator yang menunjukkan banyaknya Kecamatan Siman dengan nilai 44,95. Hal ini
36 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 32-42
berarti setiap 100 orang produktif menanggung 45 Lahan produktif Desa Wagir Kidul dan
penduduk usia 0-14 dan 65 ke atas. Selanjutnya Desa Pulung yaitu 70,7 ha merupakan sumber
nilai dependency ratio tinggi juga ditunjukkan daya alam yang digunakan masyarakat untuk
oleh Desa Pulung Kecamatan Pulung dengan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kondisi
nilai 42,65. Rasio kelompok umur paling rendah ekonomi masyarakat tergantung pada sumber
terdapat pada Desa Banjarjo Kecamatan Pudak daya alam. Hal ini sesuai dengan pendapat
dengan nilai dependency ratio 33,16. Hal ini Saputra (2015) yang berpendapat bahwa
berarti bahwa setiap 100 orang berusia 15-64 secara ekonomi masyarakat akan terpuruk dan
tahun menanggung 33 penduduk usia 0-14 dan terpinggirkan dalam kemiskinan jika sumber
penduduk usia 65 tahun ke atas. daya alam yang digunakan untuk memenuhi
Berdasarkan parameter tersebut, kebutuhan semakin terbatas. Sehingga
kerentanan sosial berada pada rentang rendah lahan produktif berpengaruh terhadap tingkat
hingga sedang. Kerentanan sosial sedang kerentanan.
ditunjukkan oleh Desa Pulung, Ronosentanan,
Kemiri, dan Ngebel. Hal ini disebabkan tingginya 3.3. Kerentanan Lingkungan
kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk
merupakan indikator penduduk tercacah yang Kerentanan lingkungan menunjukkan
dimungkinkan terkena bencana. prediksi jumlah kerugian lingkungan yang akan
ditimbulkan jika terjadi bencana letusan Gunung
3.2. Kerentanan Ekonomi Wilis. Desa sampel penelitian merupakan
daerah dataran tinggi yang memiliki lahan hutan
Kerentanan ekonomi dalam analisis negara di Kabupaten Ponorogo. Hutan negara
risiko bencana merupakan indikator kerugian ini mencakup hampir seluruh lokasi penelitian.
material yang diramalkan terjadi. Kerugian Sehingga dengan letaknya tersebut kerentanan
secara ekonomi ini dihitung berdasarkan nilai lingkungan terhadap bencana letusan Gunung
lahan produktif dan Pendapatan Domestik Wilis di Ponorogo tergolong tinggi.
Regional Bruto (PDRB). Kerentanan ekonomi Penggunaan lahan di lokasi penelitian
masyarakat tergolong rendah hingga sedang. masih didominasi dengan sawah, perkebunan,
Kerentanan rendah terdapat pada Desa dan hutan. Desa Pudak Wetan memiliki hutan
Ronosentanan, Kemiri, Pudak Wetan, dan Negara seluas 900 ha yang mendominasi lokasi
Banjarjo. Masing-masing desa memiliki nilai penelitian. Wilayah dengan ketinggian 900
kerentanan 1,4. Pendapatan Domestik Regional meter di atas permukaan laut ini memiliki luas
Bruto (PDRB) Desa Ronosentanan dan Desa lahan pertanian sawah yaitu 49 ha dan lahan
Kemiri adalah Rp. 240.980.000,- dan Rp. 231. pertanian non sawah seluas 148 ha. Produksi
890. 000,-. Sementara itu, PDRB Desa Pudak lahan non pertanian berupa ubi kayu, jagung,
Wetan dan Banjarjo tergolong rendah, yaitu dan buah-buahan serta sayur. Lahan pertanian
masing-masing Rp. 237.894.000,- dan Rp. memproduksi beras dengan lokasi sawah jauh
123.812.556,-. Hal ini disebabkan Kecamatan dari permukiman warga. Sawah berada di
Pudak merupakan Kecamatan yang baru lereng sehingga menggunakan terasering.
berdiri pada tahun 2002. Parameter tanaman hutan dalam
Pendapatan Domestik Regional Bruto analisis kerentanan lingkungan memiliki skor
dapat digunakan sebagai salah satu indikator yang paling tinggi yaitu sebesar 80%. Hutan
untuk mengetahui kerugian secara material. merupakan unsur penjaga siklus air sehingga
Kerugian secara material akan berdampak keberadaan hutan dalam kehidupan sangat
terhadap pembangunan desa. Kejadian bencana penting. Penggunaan lahan untuk hutan negara
yang berulang akan menyebabkan berkurangnya di lokasi penelitian masih tergolong tinggi. Luas
sumber daya. Sumber daya akan berkaitan hutan negara di Desa Ngadirojo yakni 788 ha
dengan lahan produktif yang menjadi indikator sedangkan hutan negara di Desa Talun seluas
lain dalam penilaian kerentanan ekonomi. 700 ha. Hutan negara di kedua desa tersebut
Analisis Kerentanan dan Kapasitas ... (Ilfatul Amanah, Sarwono, Peduk Rintayati) 37
berada di pegunungan berupa lembah dan terdapat di tujuh desa yakni Desa Temon,
lereng. Ngadirojo, Jurug, Wagir Kidul, Banaran, Pudak
Luas hutan negara selanjutnya berada Wetan, dan Banjarjo. Ketujuh desa tersebut
di Desa Banjarjo yakni 565 ha sedangkan berada di rangkaian Pegunungan Wilis bagian
di Desa Jurug seluas 510 ha. Desa Banjarjo selatan.
terletak di sebelah timur Desa Jurug. Jalan Desa Temon merupakan desa yang
menuju Desa Banjarjo melalui jalur Desa memiliki rasio penduduk miskin tinggi yaitu
Jurug melewati hutan pinus yang masih jarang sebesar 59,17 %. Hal ini berarti 59,17%
terdapat permukiman warga. Akses yang bisa penduduknya adalah penduduk miskin.
dilewati adalah aspal dengan kualitas yang Jika dilihat dari penggunaan lahan untuk
sudah rusak. Saat berada di lokasi penelitian di permukiman, penduduk Desa Temon memiliki
Desa Banjarjo, pukul 11.00 WIB cuaca sudah jumlah rumah berdinding bambu sebanyak
mendung dan tertutup kabut karena lokasinya 725 rumah. Lokasi yang berada di lereng
yang berada di pegunungan. pegunungan menyebabkan pola permukiman
Penggunaan lahan di Desa Jurug lebih penduduk adalah menyebar. Jarak rumah
beragam karena Desa Jurug terletak di ibukota penduduk satu dengan yang lainnya cukup jauh
Kecamatan Sooko. Penggunaan lahan di sehingga di sekitar rumah terdapat perkebunan
Desa Jurug selain hutan negara adalah lahan dan lahan kosong.
pertanian, perkebunan, dan peternakan.
Pertanian berupa sawah irigasi dan sayur- Tingkat Kerentanan
sayuran. Peternakan yang ada di Desa Jurug Tingkat kerentanan dihitung melalui
adalah peternakan sapi perah. Hutan negara penjumlahan skor kerentanan sosial, kerentanan
berada di sebelah utara dan timur yang ekonomi, kerentanan fisik, dan kerentanan
berbatasan dengan Kecamatan Pudak dan lingkungan. Kerentanan tertinggi terdapat
Pulung. Di sebelah utara kantor kepala desa pada Desa Banaran. Desa Banaran memiliki
terdapat Air Terjun Pletuk yang menjadi sumber nilai kerentanan sebesar 1,7. Hal ini berarti
mata air penduduk Desa Jurug. potensi kerugian dan kerawanan Desa Banaran
terhadap bencana adalah tinggi. Selain faktor
3.4. Kerentanan Fisik nilai kerentanan tersebut, tingkat kerentanan
juga dapat digolongkan berdasarkan Kawasan
Kerentanan fisik dihitung berdasarkan Rawan Bencana. Berdasarkan KRB yang
parameter kerentanan fasilitas umum, disusun BAPPEDA Ponorogo, Desa Banaran
kerentanan rumah, dan kerentanan fasilitas berada di Kawasan Rawan Bencana III, artinya
kritis. Seluruh desa di lokasi penelitian tidak ketika terjadi letusan Gunung Wilis Desa Banaran
memiliki SLB dan poliklinik. Sedangkan semua terkena dampak langsung akibat letusan.
desa memiliki polindes. Terdapat enam desa Tingkat kerentanan rendah terdapat di
yang memiliki puskesmas pembantu sedangkan sembilan desa dengan nilai kerentanan antara
seluruh desa memiliki posyandu. Kerentanan 1,8 hingga 1,4 dengan lokasi KRB I dan II
rumah diperoleh dengan menjumlahkan nilai sehingga ketika terjadi bencana desa tersebut
ganti rugi rumah. Rumah yang berada pada memiliki tingkat kerawanan terhadap bencana
Kawasan Rawan Bencana (KRB) I bernilai Rp. yang rendah.
5.000.000,- sebagai biaya pengganti kerugian, Nilai kerentanan 1,86 dengan taraf
rumah yang berada pada KRB II bernilai Rp. sedang disebabkan oleh tingkat rasio jenis
10.000.000,- dan rumah yang berada pada kelamin dan rasio kelompok umur yang tinggi.
KRB III bernilai Rp. 15.000.000,- sebagai biaya Desa Jurug memiliki jumlah penduduk wanita
pengganti kerugian. sebanyak 3.404 jiwa dan jumlah penduduk usia
Kerentanan rumah di lokasi penelitian produktif sebanyak 4.356 jiwa. Sehingga jumlah
berada pada rentangan rendah, sedang, dan penduduk wanita yang tinggi menyebabkan
tinggi. Kerentanan rumah dengan kelas tinggi tingkat kerentanan meningkat dan penduduk
38 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 32-42
usia produktif tinggi menyebabkan dependency seperti penetapan status Gunungapi. Dengan
ratio menjadi tinggi. demikian BPBD Kabupaten Ponorogo tidak
No Jumlah
Indikator Nilai Skor
Pertanyaan Responden
Aturan kelembagaan tentang PRB 20 12 Rendah 1
Peringatan dini dan kajian risiko bencana 18 5 Rendah 1
Pendidikan kebencanaan 17 24 Rendah 1
Pengurangan faktor risiko dasar 19 11 Rendah 1
Pengembangan kesiapsiagaan pada seluruh lini 15 23 Rendah 1
Analisis Kerentanan dan Kapasitas ... (Ilfatul Amanah, Sarwono, Peduk Rintayati) 39
Gambar 2. Peta Kapasitas Bencana Letusan Gunung Wilis Kab. Ponorogo.
Pendidikan dan sosialisasi kebencanaan letusan Gunung Wilis terletak di sebelah timur
di Kabupaten Ponorogo dilakukan untuk Kabupaten Ponorogo, berada pada kompleks
bencana yang sering terjadi seperti banjir Pegunungan Wilis. Desa dengan tingkat risiko
dan tanah longsor. Karena bencana letusan tinggi adalah Desa Temon Kecamatan Sawoo,
Gunung Wilis belum diketahui kejadiannya, Desa Ngadirojo dan Jurug di Kecamatan
maka belum pernah ada sosialisasi. Pada tahun Sooko, Desa wagir Kidul Kecamatan Pulung,
2011 dilakukan sosialisasi dari BNPB tentang dan Desa Banaran Kecamatan Pulung. Kelima
gerakan tanah di Balai Desa Wagir Kidul desa tersebut terletak di Kompleks Pegunungan
Kecamatan Pulung. Warga resah menganggap Wilis bagian selatan.
suara gemuruh berhubungan dengan aktivitas Desa Temon, Ngadirojo, Jurug,
gunungapi sehingga dilakukan sosialisasi Wagir Kidul, dan Banaran terletak di lereng
tentang bencana letusan gunungapi. Selain Pegunungan Wilis bagian Selatan. Dengan
itu kesiapsiagaan pada berbagai lini telah demikian, risiko bencana letusan Gunung
dilakukan di beberapa desa seperti kelompok Wilis di Ponorogo berkisar tinggi hingga
siaga bencana di Desa Ngebel Kecamatan sedang. Kelima desa tersebut memiliki tingkat
Ngebel, Desa Jurug Kecamatan Sooko, dan kerentanan sedang artinya berdasarkan faktor-
Desa Banaran Kecamatan Pulung. Sementara faktor sosial, ekonomi, fisik, dan lingkungan
itu belum ada jalur evakuasi jika terjadi bencana. memiliki tingkat kerawanan dalam menghadapi
bahaya yang tinggi.
3.6. Analisis Risiko Desa Temon memiliki jumlah penduduk
miskin tinggi yaitu sebanyak 1.180 KK dari
Analisis risiko bencana letusan Gunung 3.174 penduduk. Yang berarti 59,17 %
Wilis mengkombinasikan tingkat kerentanan penduduk Desa Temon adalah penduduk
dan kapasitas. Penentuan tingkat risiko bencana miskin. Kemiskinan merupakan salah satu
menggunakan matrik berdasarkan Peraturan sektor kelompok rentan terhadap bencana.
Kepala BNPB No. 02 Tahun 2012 tentang Berdasarkan ActionAid (2005: 7) poverty and
Pedoman Pengkajian Risiko Bencana (49) vulnerability mutually re-enforcing and strong
dengan menghubungkan tingkat kerentanan linked. All poor people are vulnerable but not all
dan kapasitas masyarakat terhadap bencana vulnerable people are poor. Masyarakat miskin
letusan Gunung Wilis. Kawasan rawan bencana memiliki keterbatasan dalam hal ekonomi dan
40 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 32-42
sosial. Mereka sulit dalam bertahan hidup. sedangkan tingkat kerentanan rendah
Masyarakat miskin tidak memiliki asuransi (1,449574) terdapat di Desa Kemiri Kecamatan
sehingga akan lebih sulit untuk melanjutkan Jenangan, (ii) Kapasitas masyarakat dalam
kehidupan setelah bencana. Oleh karena menghadapi bencana letusan Gunung Wilis
itu, Desa Temon memiliki tingkat risiko tinggi tergolong rendah dengan skor kerentanan
terhadap bencana letusan gunungapi. satu. (iii) Risiko bencana letusan Gunung
Desa Jurug Kecamatan Sooko memiliki Wilis di Kabupaten Ponorogo berkisar tinggi
dependency ratio tinggi yaitu 42,21%. Jumlah hingga sedang dengan tingkat risiko tinggi
penduduk usia produktif di Desa Jurug adalah terdapat di lima desa di tiga kecamatan.
4.356 jiwa dan jumlah penduduk non produktif Saran yang dapat diberikan dalam
sebesar 1.839 jiwa. Hal tersebut berarti bahwa penelitian ini adalah sebagai berikut.
di Desa Jurug terdapat banyak penduduk usia Kepada pemerintah diharapkan (i) adanya
produktif sehingga ketika terjadi bencana maka pengawasan terhadap aktivitas Pegunungan
akan mengalami kerugian material akibat tidak Wilis termasuk pergerakan tanah, aktivitas
bekerja. Jumlah penduduk usia non produktif sumber air panas, dan aktivitas belerang.
juga berdampak kepada jumlah penduduk (ii) Peningkatan kapasitas bencana perlu
rentan, yaitu anak-anak dan orang tua. Anak- ditingkatkan guna mengurangi risiko bencana
anak dan orang tua memerlukan orang letusan Gunung Wilis melalui kajian risiko
lain dalam menghadapi bencana sehingga bencana dan faktor-faktor yang menyebabkan
termasuk kelompok yang memiliki risiko tinggi. kerugian. (iii) Pengaktifan Early Warning
System dengan sistem yang lebih aman
4. KESIMPULAN DAN SARAN sebagai salah satu upaya pengawasan
terhadap aktivitas vulkanik dan tektonik, (iv)
Kesimpulan dari hasil dan pembahasan Penyediaan informasi bencana di wilayah
sebagai berikut. (i) Kerentanan masyarakat kompleks Pegunungan Wilis antara lain
dalam menghadapi bencana letusan Gunung bencana gunungapi, tanah longsor, dan
Wilis berkisar rendah hingga sedang dengan gempa bumi secara luas dan mudah diakses
tingkat kerentanan sedang (1,861434) pada semua lini. (v) Adanya mitigasi non
terdapat di Desa Jurug Kecamatan Sooko struktural di daerah dengan tingkat risiko
Analisis Kerentanan dan Kapasitas ... (Ilfatul Amanah, Sarwono, Peduk Rintayati) 41
sedang dan mitigasi struktural di daerah BPS Kabupaten Ponorogo. (2015). Kecamatan
dengan tingkat risiko tinggi. Jenangan dalam Angka 2013. Ponorogo.
Kepada masyarakat diharapkan (i) BPS Kabupaten Ponorogo. (2015). Kecamatan
Pembentukan dan pemberdayaan komunitas Ngebel dalam Angka 2013. Ponorogo.
bencana dalam rangka meningkatkan Capacity for Disaster Reduction Initiative
kapasitas masyarakat. (ii) Hasil penelitian dapat (CaDRI). (2011). Basic of Capacity
mengubah persepsi dan sikap masyarakat Development for Disaster Risk
dengan cara mengenali bahaya di lingkungan Reduction. Geneva, Switzerland.
sekitar tempat tinggal. Departement of Economic and Social Affairs.
United Nations. tanpa tahun. Glossarium
DAFTAR PUSTAKA of Demographic Term. (Online).
(https://esa.un.org/unpd/wpp/General/
ActionAid.(2005). Participatory Vulnerability GlossaryDemographicTerms.aspx).
Analysis: A Step-by-step guide for diakses tanggal 1 januari 2017.
field staff. London, United Kingdom: Kementerian Kesehatan RI. 2014. Situasi
International Emergencies Team Penyandang Disabilitas. Buletin Jendela
ActionAid International Data dan Informasi Kesehatan. Semester
Bappeda Ponorogo.(2013). Pemetaan Daerah II, 2014.
Rawan Bencana dan Analisis Risiko Saputra, I Wayan Gede Eka. (2015). Analisis
Bencana di Kabupaten Ponorogo. Risiko Bencana Tanah Longsor di
Ponorogo Kecamatan Sukasada Kabupaten
BNPB.(2012). Peraturan Kepala BNPB No. 02 Buleleng. Universitas Udayana
Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Denpasar. Tesis-tidak diterbitkan.
Pengkajian Risiko Bencana. Jakarta. Twigg, John. Charlotte B. Tiziana R.(2007).
BPS Kabupaten Ponorogo. (2015). Kecamatan Tools for Mainstreaming Disaster
Sawoo dalam Angka 2013. Ponorogo. Risk Reduction: Guidance Notes for
BPS Kabupaten Ponorogo. (2015). Kecamatan Development Organisations. Geneva,
Sokoo dalam Angka 2013. Ponorogo. Switzerland: ProVention Consortium.
BPS Kabupaten Ponorogo. (2015). Kecamatan United Nation International Strategi for Disaster
Pudak dalam Angka 2013. Ponorogo. Reduction (UNISDR). (2009). 2009
BPS Kabupaten Ponorogo. (2015). Kecamatan UNISDR Terminology on Disaster Risk
Pulung dalam Angka 2013. Ponorogo. Reduction. Geneva, Switzerland.
BPS Kabupaten Ponorogo. (2015). Kecamatan United Nation International Strategi for Disaster
Mlarak dalam Angka 2013. Ponorogo. Reduction (UNISDR). (2015). Sendai
BPS Kabupaten Ponorogo. (2015). Kecamatan Framework for Disaster Risk Reduction
Siman dalam Angka 2013. Ponorogo. 2015-2030. Geneva, Switzerland.
42 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 32-42
STUDI ANALISA DISTRIBUSI SEBARAN KORBAN JIWA BERDASARKAN USIA DAN
GENDER PADA PETA KRB ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI 2010
khasanny@yahoo.com
Abstract
The eruption of Merapi Volcano in 2010 was one of the biggest eruptions in the Merapi
Volcano history. It caused several impacts such as building and environment damage, financial
loss, and many casualties. The objective of this research is as a disaster mitigation by obtaining
casualties distribution based on 2010 Disaster-prone Area map (Kawasan Rawan Bencana),
knowing how the casualties distribution based on age and gender and getting the factors which
caused many casualties. The research was done by quetionnaires, observation, field survey and
interview with the casualties and stakeholders, then the data was analyzed using ArcMap software.
The result of the research showed that distribution of the most casualties was in the around of
Gendol River stream which was part of KRB III area about 260 persons. Meanwhile, 82 casualties
were also spread in the KRB II area, 72 persons in the KRB I and non KRB area. The casualties
in KRB III were caused by pyroclastic flow, and the others caused by tephra falls, accidents,
disease, psychological condition and culture. Based on gender, men are many more than women
and based on age, old men and women casualties are more than the younger casualties.
1.2. Tujuan
Gambar 1. Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Tujuan dari penelitian ini sebagai salah
Erupsi Gunungapi Merapi 2010. satu upaya mitigasi bencana erupsi Gunungapi
(Sumber: PVMBG, 2010) Merapi yaitu dengan:
a. Mengetahui distribusi sebaran korban
Oleh sebab itu dengan adanya peta jiwa akibat erupsi Gunungapi Merapi 2010
Kawasan Rawan Bencana (KRB) ini, diharapkan pada peta Kawasan Rawan Bencana
kerugian, kerusakan dan terutama korban (KRB).
jiwa yang mungkin timbul akibat erupsi dapat b. Mengetahui korban jiwa berdasarkan
diminimalkan. distribusi umur dan jenis kelamin.
Letusan Gunung Merapi yang terjadi pada c. Mengetahui faktor-faktor penyebab
2010 yang lalu merupakan salah satu letusan timbulnya banyak korban jiwa.
terbesar dalam sejarah erupsi gunung tersebut.
Dalam catatan sejarah letusan sampai Oktober 2. METODOLOGI
2010, Gunungapi Merapi sudah tercatat meletus
sebanyak 84 kejadian dengan jumlah korban 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian
manusia yang cukup banyak (Sutaningsih dkk,
2011). Letusan Gunungapi Merapi terjadi pada Penelitian ini berlokasi di kawasan
44 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 43-53
terdampak erupsi Merapi 2010 meliputi Kab. 2.3. Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB)
Sleman, Kab. Magelang, Kab. Boyolali dan Kab. Erupsi Merapi
Klaten berdasarkan pada peta Kawasan Rawan
Bencana (KRB) 2010 seperti yang ditunjukkan Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB)
oleh Gambar 2 dengan waktu penelitian selama yang dikeluarkan oleh PVMBG BPPTKG
Februari 2016 dan Oktober 2016. selama ini merupakan satu-satunya peta
yang menjadi patokan bagi masyarakat
2.2. Pengambilan dan Analisa Data yang menggambarkan tingkat kerawanan
untuk bertempat tinggal di sekitar Merapi
Penentuan sampel responden (Sari, 2013). Peta tersebut mencakup jenis
yang diwawancarai dipilih menggunakan dan sifat bahaya gunungapi, daerah rawan
teknik cluster random sampling. Sebaran bencana, arah jalur penyelamatan diri, lokasi
responden seperti ditunjukkan oleh pengungsian dan pos-pos penanggulangan
Gambar 2. bencana. Pembagian kawasan rawan
bencana melalui penyusunan peta kawasan
rawan bencana tersebut didasarkan kepada
geomorfologi, geologi, sejarah kegiatan,
distribusi produk erupsi terdahulu, penelitian
dan studi lapang. Selanjutnya kawasan rawan
bencana Gunungapi Merapi dibagi kedalam
tiga tingkatan yaitu: Kawasan Rawan Bencana
III (KRB III), Kawasan Rawan Bencana II (KRB
II), dan Kawasan Rawan Bencana I (KRB I)
(Bappenas dan BNPB, 2011).
Kawasan Rawan Bencana III (KRB III),
adalah kawasan yang letaknya dekat dengan
sumber bahaya yang sering terlanda awan
Gambar 2. Lokasi Pengambilan Responden. panas, aliran lava, guguran batu, lontaran
batu (pijar) dan hujan abu lebat. Oleh karena
Pada cluster random sampling (sampel tingkat kerawanan yang tinggi, maka kawasan
acak kelompok), populasi dibagi menjadi ini tidak diperkenankan untuk digunakan
beberapa kelompok dengan ketentuan setiap sebagai hunian tetap. Penetapan batas KRB
kelompok terdiri dari subjek-subjek yang III didasarkan pada sejarah kegiatan dalam
dianggap sama (bersifat homogen) walaupun waktu 100 tahun terakhir. KRB III Gunungapi
antar kelompok saling heterogen. Subjek di Merapi ini merupakan kawasan yang paling
setiap kelompok dapat dipilih secara acak rawan terkena letusan, apapun jenis dan
untuk dijadikan sampel yang akan diteliti. besar letusan. Letusan normal Merapi pada
Pertimbangan waktu, biaya, tenaga dan umumnya mempunyai indeks letusan skala VEI
besarnya populasi memungkinkan teknik ini 1-3, dengan jangkauan awan panas maksimum
digunakan dalam menentukan titik sampel 8 km, sedangkan letusan besar dengan letusan
responden (Arikunto, 2012). Data pendukung VEI 4 jangkauan awan panasnya bisa mencapai
lain yang dibutuhkan adalah data korban 15 km atau lebih. Dalam rangka upaya
yang meninggal yang diperoleh dari Dinas pengurangan risiko bencana, perlu dilakukan
Kesehatan Kabupaten Sleman, Dinas pengendalian tingkat kerentanan. Apabila
Kesehatan Kabupaten Klaten dan Dinas terjadi peningkatan aktivitas Gunungapi Merapi
Kesehatan Kabupaten Magelang dalam yang mengarah kepada letusan, masyarakat
periode Oktober – Desember 2010. Analisa yang masih bertempat tinggal di KRB III
data sebaran korban jiwa ke dalam peta KRB diprioritaskan untuk diungsikan terlebih dahulu
menggunakan program ArcGIS. (Bappenas dan BNPB, 2011).
46 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 43-53
Kesehatan. Berdasarkan data sekunder yang Kecamatan Sawangan di Kabupaten Magelang,
diperoleh, ternyata tercatat sebanyak 414 serta Kecamatan Kemalang di Kabupaten
korban jiwa, sehingga terdapat 414 titik korban Klaten. Berdasarkan hasil wawancara dengan
pada plotting peta sebaran korban. Koordinat para korban yang masih hidup serta wawancara
korban ditentukan dari alamat pada Kartu Tanda dengan BPBD dan Dinas Kesehatan Kabupaten
Penduduk (KTP) korban. Hasil plotting sebaran Sleman serta Kabupaten Klaten, korban jiwa
korban jiwa akibat erupsi Merapi 2010 pada peta pada wilayah-wilayah ini tidak disebabkan
KRB menggunakan ArcGIS ditunjukkan oleh oleh ancaman primer awan panas, akan tetapi
Gambar 4. disebabkan oleh faktor-faktor tidak langsung
Pada peta KRB, sebaran korban terbesar akibat letusan Merapi. Selain awan panas atau
sebanyak 260 jiwa terdapat pada wilayah KRB aliran piroklastik yang merupakan ancaman
III yaitu Kecamatan Cangkringan meliputi Desa utama erupsi Merapi, besarnya jumlah
Umbulharjo, Argomulyo, Kepuharjo, Wukirsari, korban jiwa yang timbul akibat letusan 2010
dan Glagaharjo, kemudian sebagian kecil di dibandingkan dengan beberapa letusan terakhir
Desa Sindumartani Kecamatan Ngemplak, dapat disebabkan oleh berbagai hal diantaranya
Kabupaten Sleman dan Desa Balerante adalah akibat awan panas yang merupakan
Kecamatan Kemalang. Korban jiwa pada penyebab langsung, abu vulkanik dan gas
wilayah-wilayah ini merupakan korban yang vulkanik, sistem peringatan dini yang berkaitan
terdampak langsung akibat awan panas. Daerah- dengan aktivitas Merapi, kondisi psikologis,
daerah tersebut termasuk wilayah KRB III, selain penyakit, serta pengaruh kepercayaan lokal
merupakan wilayah yang berada sekitar 5 – 10 penduduk di sekitar Gunungapi Merapi yang
km dari puncak Gunungapi Merapi, juga berada timbul sebagai penyebab tidak langsung
di sekitar aliran Kali Gendol yang menjadi aliran kematian akibat letusan Merapi. Lahar pada
utama material piroklastik. Akan tetapi beberapa erupsi Merapi 2010 tidak menjadi penyebab
korban jiwa di KRB III di Kabupaten Magelang, timbulnya korban jiwa walaupun tingkat
bukanlah terdampak langsung oleh awan panas kerusakan yang ditimbulkan oleh lahar cukup
melainkan akibat faktor-faktor lain. besar.
Dalam kejadian erupsi Merapi 2010,
timbulnya korban jiwa yang terdampak
langsung awan panas adalah akibat letusan
yang terjadi sebanyak 2 (dua) kali. Menurut
Subandriyo (2011), letusan pertama terjadi
pada 26 Oktober 2010 sore, yang secara
kronologis erupsi diawali oleh letusan vulkanian
dan menghasilkan semburan awan panas yang
mengarah ke sektor selatan antara Kali Kuning
dan Kali Gendol sejauh 8 km. Awan panas pada
letusan pertama ini menyapu Dusun Kinahrejo
dan sekitarnya yang membawa korban tokoh
terkenal, Juru Kunci Merapi Mbah Marijan dan
25 orang di sekitarnya. Setelah itu aktivitas
Gambar 4. Distribusi Sebaran Korban Jiwa pada
Peta KRB. erupsi sedikit mereda, tetapi suara gemuruh
masih terus berlangsung. Aktivitas erupsi
Distribusi Korban jiwa juga tersebar di meningkat kembali pada tanggal 29 Oktober
wilayah KRB II sebayak 82 jiwa, lalu di wilayah 2010. Erupsi Merapi 2010 ini bersifat eksplosif
KRB I dan non KRB sebanyak 72 jiwa yang membentuk kolom letusan setinggi 10 km dari
tersebar di Kecamatan Pakem, Kecamatan Turi, puncak dan menghasilkan awan panas yang
Kecamatan Cangkringan di Kabupaten Sleman, makin membesar hingga mencapai puncaknya
Kecamatan Srumbung, Kecamatan Dukun, pada 5 November 2010 dinihari.
48 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 43-53
adalah ke arah Selatan, yaitu arah Kali Kuning menjelang letusan kedua 5 November 2010.
dan Kali Gendol. Pemerintah dalam kejadian Perbandingan perubahan status Merapi
erupsi Merapi 2010 telah bekerja maksimal ditunjukkan oleh Gambar 5.
dalam memberikan early warning berdasarkan
pemantauan intensif gejala-gejala dan aktivitas Waspada Siaga Awas
yang ditunjukkan oleh Gunungapi Merapi
dengan menggunakan berbagai metode dan
pemanfaatan teknologi modern. Akan tetapi 2010 31 4 1
Tahun Erupsi
peristiwa letusan Merapi tetap merupakan
peristiwa alam yang terjadinya tidak bisa
dikendalikan, ditahan atau ditunda oleh 2006 28 30 2
19 6 12
warga bahkan sengaja mengunci diri di rumah, 25 5 8
menolak untuk dievakuasi bahkan cenderung 17 4 19
50 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 43-53
Tabel 2. Korban Jiwa di Wilayah KRB II.
Perbandingan Jumlah Korban Meninggal dalam KRB II (Jiwa) Perbandingan Jumlah Korban Meninggal dalam KRB I (Jiwa)
5 9 6 7 9 6
18 8 12 13 8 14
6 7 9 8 7 5
10 6 6 3 6 4
5 1 3 5 1
1 4 4
3 4 2
3 3 3
2 2
3 1
1 1
Gambar 7. Korban Jiwa Laki-laki dan Perempuan Gambar 8. Korban Jiwa Laki-laki dan Perempuan
di Wilayah KRB II. di Wilayah KRB I dan Non KRB.
20 2 8
18 1 5
4.2. SARAN
Kelompok Umur
Laki - laki Perempuan
Perlu dilakukan penelitian untuk
Gambar 9. Korban Jiwa Laki-laki dan Perempuan membandingkan bagaimana sebaran korban
di Wilayah KRB. jiwa pada Peta KRB dengan sebaran korban
jiwa pada Peta Isovulkanik akibat erupsi
Dalam semua kelompok umur, korban jiwa Gunungapi Merapi 2010.
laki-laki jauh lebih banyak dibandingkan korban
jiwa perempuan dikarenakan pada proses UCAPAN TERIMA KASIH
evakuasi kaum rentan seperti perempuan,
anak-anak, wanita hamil, penyandang cacat Penulis menyampaikan terima kasih
diutamakan terlebih dahulu. Kelompok umur yang sebesar-besarnya kepada Universitas
lansia (di atas 60 tahun) merupakan kelompok Serang Raya atas kesempatan dan
paling rentan menjadi korban karena berbagai dukungan, kepada Prof. Widodo FTSP UII
faktor dalam kejadian erupsi Merapi 2010 dan Prof. Sunarto Fak. Geografi UGM serta
karena jumlahnya yang paling banyak. Hal terima kasih juga disampaikan kepada para
ini disebabkan oleh banyak faktor yang telah responden dan stakeholder terkait yang telah
dibahas di atas. membantu jalannya penelitian.
52 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 43-53
DAFTAR PUSTAKA Sari, Meassa. M., (2016), The Comparison
of Fatalities Distribution on The KRB
Arikunto, Suharsimi., (2010), Prosedur Map with the Fatalities Distribution
Penelitian Studi Pendekatan Praktik, on the Isovolcanic map of the 2010
Rineka Cipta, Edisi Revisi 2010, Jakarta Merapi Eruption, Proceeding The 4th
Bappenas dan BNPB, (2011), Rencana Aksi International Conference on Sustainable
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Built Environment, Jogjakarta, 13-14
Pascabencana Erupsi Gunung Merapi Oktober 2016, ISSN 2541-223X
di Provinsi D.I Yogyakarta dan Provinsi Sari, Meassa. M., (2013), Skala Intensitas
Jawa Tengah Tahun 2011-2013, Juni Erupsi Gunungapi dan Aplikasinya pada
2011 Peta Isovulkanik Letusan Gunungapi
Nandaka Agung IGD., (2010), Terminologi Merapi 2010, Tesis, Magister Teknik
Erupsi Merapi, Buletin Berkala Merapi, Sipil, FTSP, Universitas Islam Indonesia,
Vol.07/03/Edisi Desember 2010, ISSN Jogjakarta
1693-9212, BPPTK, Pusat Vulkanologi Subandriyo (2011), Sintesis Umum Erupsi
dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Gunung Merapi 2006, Edisi Khusus
Geologi, Yogyakarta Erupsi Merapi 2006:Laporan dan kajian
PVMBG, (2011), Edisi Khusus Erupsi Merapi Vulkanisme Erupsi, Kementrian Energi
2006:Laporan Dan kajian Vulkanisme Dan Sumber daya Mineral, Badan
Erupsi, Kementerian Energi dan Sumber Geologi, Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi
Daya Mineral, Badan Geologi, BPPTK, Bencana Geologi, BPPTK, Jogjakarta
Yogyakarta Subandriyo, Sayudi D.S., Muzani M., (2009),
Qowo, Agus., (2014), Tingkat Kerusakan Ancaman Bahaya Letusan G. Merapi
dan Peta Kerentanan Rumah Tinggal Ke Arah Selatan Pasca Erupsi 2006,
Masyarakat di Kawasan Rawan Bencana Buletin Berkala Merapi, Vol 06/01/Edisi
Erupsi Gunung Merapi 2010, Tesis, April 2009, ISSN 1693-9212, BPPTK,
Magister Teknik Sipil, FTSP, Universitas Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Islam Indonesia, Jogjakarta. Geologi, Badan Geologi, Yogyakarta.
Sari, Meassa. M., (2016), Isovolcanic Map Sutaningsih dkk (2011), Perbedaan Letusan
Application for Identifying Attenuation Merapi Tahun 2006 dan 2010 Ditinjau
of Damage Intensity in 2010 Merapi Dari Karakteristik Kimia Gas Vulkanik,
Eruption, Proceeding The 3rd Buletin Berkala Merapi, Vol.08/01/Edisi
International Conference on Earthquake April 2011, ISSN 1693-9212, BPPTK,
Engineering and Disaster Mitigation, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Nusa Dua Bali, 1-2 Agustus 2016 Geologi, Badan Geologi, Yogjakarta
Abstract
Lembang Fault is an active fault beneath the earth’s surface with a length of 29 Km, with the
worst-case scenario, could produce an earthquake at magnitude 6.5 to 7 on the Richter scale if
the entire segment move. Lembang Fault location which is in the residential area could be a threat
to people living in the area. The purpose of this study is to provide information about zoning due
to the earthquake disaster vulnerability Lembang Fault with the use of Geographic Information
Systems and Remote Sensing. The results of this study in the form of zoning vulnerability to
earthquakes in Lembang district administrative regions which are divided into three classes which
are very vulnerable zones, prone zone, the zone is not vulnerable. Cibodas Village is an area
that is prone and villages Cikidang a relatively safe area of the impact of the earthquake fault
Lembang. Recommendations from this study is the area with the straight distance ≤ 3 kilometers
from the Lembang fault is not recommended to be used as a residential area, a residential area
that is included in the zone is prone recommended to increase the capacity of the environment
from the threat of earthquakes, including building construction and the ability of communities in
disaster mitigation earthquake, residents in the area of Lembang district then being aware of the
movement of Lembang fault activity is also recommended to understand the interrelationships
between the activities of Mount Tangkuban Perahu in Lembang fault movement, because of
Mount Tangkuban Perahu and Lembang fault still have relevance geological structure.
54 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 54-68
yang tepat berada di antara perbatasan antara dalam waktu sehari, kemudian dari bekas
lempeng bumi Eruasian dan lempeng Indo tumbangnya pohon besar itu Sangkuriang
Australia. Garis batas lempeng itu menggaris mellihat ada muncul danau-danau kecil hingga
lurus dari barat ke timur di pesisir selatan membendung aliran sungai. Arah tumbangnya
Pulau Jawa. Akibat zona tumbukan lempeng pohon dalam Legenda Sangkuriang itu berasal
besar benua ini, beragam patahan atau sesar dari Bukit Tunggul ke Gunung Burangrang.
membelah kondisi bawah permukaan Pulau Berdasarkan kisah itu, LIPI kemudian
Jawa. Sesar Opak di Yogyakarta, Sesar Ciputat, menganalisis citra Sesar Lembang. Ternyata di
Sesar Cimandiri di Sukabumi, Sesar Grindulu sebelah sisi timur Sesar Lembang, bentuknya
di Jawa Timur, hingga Sesar Lembang yang berupa satu garis, kemudian di sisi sebelah
berada tepat di utara Kota Bandung merupakan barat Sesar Lembang yakni di sekitar daerah
beberapa sesar yang berada di Pulau Jawa. Muril, Gunung Burangrang, terjadi percabangan
Sesar Lembang terbentuk pada tahap pasca dengan banyak retakan. Fakta ini menunjukkan
pembentukan kaldera Sunda, kejadian tersebut ada indikasi bahwa cerita legenda Sangkuriang
kemudian diikuti oleh lahirnya G. Burangrang, itu punya hubungan dengan kejadian gempa
sekarang gunungapi tersebut telah padam. besar yang pernah terjadi akibat gerakan Sesar
Seberapa besar kah potensi gempa bumi Lembang.
yang bisa muncul dari aktivitas tektonik sesar Penelitian tentang sesar atau patahan
Lembang?. Sebuah riset terbaru yang dilakukan Lembang di Bandung yang dilakukan oleh
oleh peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Bandung telah mengungkapkan sejauh mana (LIPI) Bandung, Mudrik R. Daryono (2015),
potensi bahaya yang tersembunyi dalam sesar mengatakan riset terbaru sesar aktif itu
Lembang. Bahkan riset ini sampai merujuk menyangkut tiga hal.
pada cerita legenda Sangkuriang yang amat 1. Total panjangnya 29 kilometer dengan
terkenal di sebagian besar penduduk Jawa titik nol kilometer di daerah Padalarang
Barat. dekat jalan tol, sebagai penanda pangkal
Riset yang sampai mencari data sesar di sebelah barat. Sesar Lembang
dari rangkaian kisah legenda Sangkuriang memanjang ke timur hingga berada di
ini dilakukan untuk mencari jawaban dari antara Bukit Batu Lonceng dan Gunung
pertanyaan besar yang masih belum bisa Manglayang. Sesar terbagi dalam
diungkapkan: Kapan terakhir kali Sesar segmen atau bagian dan tidak lurus
Lembang menghasilkan sebuah gempa besar? memanjang, tetapi di bagian tengahnya
Kini Sesar Lembang masih terus bergerak, ada yang berbelok-belok.
namun sejarah modern tak pernah mencatat 2. Sesar Lembang merupakan patahan
kapan terakhir kali Sesar Lembang bergejolak aktif, dengan percepatan geser dari 3 –
dan menimbulkan gempa yang besar. Legenda 5,5 milimeter per tahun. Pergerakannya
Sangkuriang diketahui sudah turun temurun termasuk lambat, Sesar Lembang
diceritakan sejak berabad silam. Melacak kisah bergerak dengan pola geser mengiri, tapi
tentang gempa Sesar Lembang Bandung dari pada bagian sesar yang belok-belok itu
catatan legenda Sangkuriang ini dilakukan polanya bisa sesar naik.
oleh LIPI karena catatan gempa di Indonesia 3. Potensi gempa dari sesar Lembang,
terhenti hanya sampai tahun 1600-an, catatan dengan panjang sesar mencapai 29
gempa Indonesia paling tua diambil dari kilometer, dengan skenario terburuk,
catatan para pelaut dan penjajah yang pernah bisa menghasilkan gempa dengan skala
singgah di Indonesia. Salah satu bagian magnitudo 6,5 sampai 7 jika seluruh
kisah Legenda Sangkuriang, ada kisah yang segmennya bergerak.
menceritakan sosok Sangkuriang memotong Sejauh ini, riset belum sampai pada
pohon, dan pohon besar itu langsung tumbang kajian karakteristik sesar, apakah bisa bergerak
Aplikasi Sistem Informasi ... (Tri Widodo, Yoga Hepta, Hana Fairuz) 55
serentak sepanjang 29 kilometer atau per bagian. 2. METODOLOGI
Dari catatan kejadian gempa termutakhir, seperti
di Muril dekat Gunung Burangrang, pergerakan 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Sesar Lembang menimbulkan gempa sekitar
magnitudo 3. Tempat penelitian berlokasi di
Bukti lain bahwa Sesar Lembang wilayah administratif Kecamatan Lembang
merupakan patahan aktif adalah penelitian yang Kabupaten Bandung Barat, yang terdiri dari
dilakukan oleh Sulaeman (2011, hlm. 185) yaitu 16 Desa diantaranya Desa Lembang, Jayagiri,
“pada tanggal 22 Juli 2011 pukul 05.46 terjadi Kayuambon, Wangunsari, Gudangkahuripan,
gempa bumi di kawasan Kota Bandung. Getaran Cikahuripan, Sukajaya, Cibogo, Cikole, Cikidang,
gempa bumi tersebut terasa di Bojongkoneng, Wangunharja, Cibodas, Suntenjaya, Mekarwangi,
Ujungberung, dan Pasir Impun, Kota Bandung Langensari dan Pagerwangi. Luas wilayah sekitar
dengan intensitas II – III MMI. Berdasarkan data 9.587,2 Ha. Secara astronomis, Kecamatan
dari enam stasiun seismik yang ada di Bandung Lembang terletak pada koordinat 6º45’30” LS - 6
dan sekitarnya telah ditentukan pusat gempa º51’59” LS dan 107 º35’00” BT - 107 º43’59” BT.
bumi terletak pada koordinat 107,72° BT dan Waktu Penelitian dilaksanakan selama dua bulan
6,84°LS dengan kedalaman 6 km, berada pada pada tanggal 18 Maret 2016 – 18 Mei 2016.
jarak 12,5 km timur Lembang dan 16 km timur laut
Bandung. Lokasi sumber gempa bumi tersebut 2.2. Sampel Penelitian
berada pada jalur Sesar Lembang. Magnitudo
gempa bumi tersebut 3,4 Richter dan memiliki Jenis sampel yang digunakan dalam
mekanisme fokal dengan pergerakan sesar penelitian ini adalah sampel jenuh. Tujuan
normal”. penggunaan sampel jenuh dalam penelitian
Kemudian berdasarkan katalog gempa ini untuk membuat generalisasi dengan tingkat
bumi merusak di Indonesia Supartoyo dan kesalahan yang minimum.
Surono, (2008, hlm 5) “gempa bumi akibat Sampel yang menjadi variabel dalam
aktivitas Sesar Lembang tercatat pada 11 Juli penelitian ini terdiri dari delapan peta parameter,
2003 yang menyebabkan kerusakan bangunan meliputi:
di Desa Cihideung, Lembang dan getarannya • Peta Lokasi Sesar Lembang
terasa di timur laut kota Bandung”. Kedua hasil • Peta Intensitas Gempa Bumi
penelitian tersebut menjelaskan bahwa wilayah • Peta Percepatan Gempa Bumi
sesar lembang merupakan sesar aktif karena • Peta Geologi
pernah terjadi pergerakan yang cukup kuat • Peta Penggunaan Lahan
sehingga menimbulkan gempa dengan kekuatan • Peta Kemiringan Lereng
3,4 skala Richter. • Peta Kepadatan Penduduk
Tiga buah penelitian yang telah dilakukan • Peta Jenis Tanah
terhadap sesar lembang tersebut, menjadi latar
belakang penelitian ini bahwa perlu dikaji tentang 2.3. Teknik Pengumpulan dan Analisis
zonasi kerawanan bencana gempa bumi sesar Data
lembang di Kecamatan Lembang, Kabupaten 2.3.1. Teknik Pengumpulan Data
Bandung Barat.
Teknik pengumpulan data yang digunakan
1.2. Tujuan pada penelitian ini meliputi:
• Interpretasi Citra
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Interpretasi citra merupakan teknik
memberikan informasi tentang zonasi kerawanan pengumpulan data berupa melihat citra
bencana akibat gempa bumi Sesar Lembang penginderaan jauh dengan menggunakan
dengan menggunakan Sistem Informasi beberapa kunci interpretasi. Pengumpulan
Geografis dan Penginderaan Jauh. data dengan menggunakan interpretasi
56 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 54-68
citra tidak memerlukan kontak langsung adalah “aspek keruangan suatu objek atau
dengan objek penelitian. kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan
• Studi Literatur posisinya”. Berdasarkan penjelasan tentang
Studi literatur pada penelitian ini definisi spasial dan konsep gempa bumi yang
menggunakan data yang diperoleh dari telah disampaikan pada bagian sebelumnya,
publikasi karya tulis ilmiah berupa buku, dapat memberikan pemahaman bahwa
artikel, jurnal, dan laporan penelitian kajian bencana gempa bumi dapat dilakukan
terdahulu yang menunjang terhadap hasil menggunakan metode analisis spasial.
kajian zonasi kerawanan bencana gempa Kemudian teknik analisis data yang digunakan
bumi Sesar Lembang. dalam penelitian ini adalah interpretasi citra,
Sumber data yang digunakan dalam buffering dan overlay dengan menggunakan
penelitian ini berasal dari data primer (citra hasil pemodelan aritmatika. Teknik ini dilakukan
penginderaan jauh) dan data skunder (literatur dengan cara menumpang susunkan semua
publikasi karya ilmiah), penjabaran mengenai peta parameter yang diperlukan, kemudian
sumber data tersebut bisa dilihat dalam tabel 1. selanjutnya mencari nilai masing-masing
Tabel 1. Sumber Data. segmen (zonasi). Nilai pada tiap segmen akan
Peta Tipe Data diperoleh melalui perkalian antara bobot dan
Sumber skor. Agar dapat diperoleh nilai zonasi tersebut,
Parameter Primer Skunder
diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
Peta Lokasi √ Peta Geologi
Sesar
Lembang • Menentukan Skor dari Peta Parameter
a. Peta Lokasi Sesar Lembang
Peta √ Pusat
Intensitas vulkanologi Sesar lembang yang memiliki panjang 29
Gempa Bumi dan mitigisi km merupakan pusat dari sumber gempa
bencana yang sedang dikaji dalam penelitian
geologi ini. Peneliti memiliki asumsi bahwa
Peta √ Pusat semakin dekat sebuah wilayah kepada
Percepatan vulkanologi pusat gempa maka semakin besar juga
Gempa Bumi dan mitigisi dampak yang ditimbulkannya. Sehingga
bencana
peneliti membuat peta skor kelas
geologi
buffering dari peta lokasi Sesar Lembang
Peta Geologi √ √ Citra Landsat
tersebut, pembagian kelas skor tersebut
8 Peta Geologi
bisa dilihat pada tabel 2.
Peta √ √ Citra Ikonos,
Penggunaan Citra Landsat Tabel 2. Skor Kelas Buffering Sesar Lembang.
Lahan 8 dan Peta
RBI No Kelas Buffering Sesar Lembang Skor
Peta √ √ Citra Aster, 1. < 1 km (sangat rawan) 4
Kemiringan BAPEDA Jabar 2. 2 – 3 km (rawan) 3
Lereng
3. 4 – 5 km (agak rawan) 2
Peta √ BPS Kab.
Kepadatan Bandung barat 4. > 7 km (tidak rawan) 1
Penduduk Sumber: Analisis Peneliti, 2016.
Peta Tanah √ BAPEDA Jabar
Sumber: Peneliti, 2016. b. Peta Intensitas Gempa Bumi
Peneliti menjadikan peta intensitas
2.3.2 Teknik Analisis Data gempa bumi sebagai variabel dalam
penelitian ini berdasarkan pada asumsi,
Definisi spasial dalam Undang-Undang bahwa sejarah kejadian gempa bumi di
No. 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial sebuah wilayah bisa menjadi parameter
Aplikasi Sistem Informasi ... (Tri Widodo, Yoga Hepta, Hana Fairuz) 57
untuk prediksi kejadian gempa pada tersebut maka daya rusak akibat gempa
waktu yang akan datang. bumi pun akan semakin besar, karena
Sehingga peneliti membuat peta batuan keras yang ada di perut bumi
skor kelas intensitas gempa dari peta akan lebih kuat dalam menghantarkan
intensitas gempa bumi yang dibuat oleh gelombang gempa. Skor kelas kekerasan
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana batuan untuk penelitian ini dapat dilihat
Geologi, pembagian kelas skor tersebut pada tabel 5.
bisa dilihat pada tabel 3.
Tabel 5. Skor Kelas Kekerasan Batuan.
Tabel 3. Skor Kelas Intensitas Gempa. No Kelas Kekerasan Batuan Skor
No Kelas Intensitas Gempa Skor 1. Batuan Keras 2
1. VI – VII MMI 4 2. Batuan Kurang Keras 1
2. V- VII MMI 3 Sumber: Analisis Peneliti 2016.
3. IV- V MMI 2
4. III – IV MMI 1 e. Peta Penggunaan Lahan
Jenis penggunaan lahan pemukiman
Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
atau area terbangun akan mengakibatkan
Geologi.
dampak kerusakan yang lebih tinggi
c. Peta Percepatan Gempa Bumi apabila terjadi gempa jika dibandingkan
Kecepatan suatu rambatan gempa akan dengan penggunaan lahan area
menyebabkan kerusakan yang serius pertanian. Konsep tersebut menjadi
karena dengan kecepatan rambatan dasar asumsi bagi peneliti bahwa
yang tinggi energi yang disalurkan penggunaan lahan di sebuah wilayah
pun akan semakin tinggi dan wilayah menjadi salah satu penentu besaran
yang terdampak akan semakin luas. kerusakan yang akan ditimbulkan oleh
Berdasarkan asumsi tersebut peneliti gempa. Skor kelas penggunaan lahan
membuat peta skor kelas percepatan untuk zonasi kerawanan gempa bumi
rambatan gempa bumi, pembagian dapat dilihat pada tabel 6.
kelas skor tersebut bisa dilihat pada
Tabel 6. Skor Kelas Penggunaan Lahan
tabel 4.
No Kelas Skor
Tabel 4. Kelas Percepatan Rambatan Gempa Bumi. 1. Sawah 2
No Kelas Percepatan Gempa Bumi Skor 2. Pemukiman 3
1. > 0,3 g 5 3. Ladang/Tegalan 2
2. 0,25 – 0,3 g 4 4. Semak Belukar 2
3. 0,2 – 0,25 g 3 5. Hutan 1
4. 0,15 – 0,2 g 2 6. Kebun 2
5. < 0,15 g 1 Sumber: Analisis Peneliti 2016.
Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi. f. Peta Kemiringan Lereng
Semakin curam kondisi topografi sebuah
d. Peta Geologi wilayah maka peluang terjadinya longsor
Kondisi geologis sebuah wilayah sangat akibat gempa bumi akan semakin tinggi,
berpengaruh terhadap jenis batuan yang begitu pun sebaliknya semakin landai
terkandung dalam perut bumi. Peneliti kondisi topografi sebuah wilayah maka
dalam hal ini memiliki asumsi bahwa potensi longsor akibat dari peristiwa
semakin keras jenis batuan di wilayah gempa bumi akan semakin kecil, gempa
58 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 54-68
bumi pada wilayah topografi yang datar tersebut akan menyerap gelombang
hanya akan mengakibatkan retakan seismik lebih besar daripada jenis tanah
tanah. Konsep tersebut memberikan yang memiliki tekstur lebih longgar.
asumsi bagi peneliti bahwa kondisi Sehingga peneliti memiliki asumsi
topografi (kemiringan lereng) akan bahwa tekstur tanah akan berpengaruh
berpengaruh terhadap daya rusak yang terhadap rambatan dari gelombang
ditimbulkan oleh gempa bumi. Skor seismik yang ditimbulkan oleh gempa.
kelas kemiringan lereng untuk zonasi Skor kelas tekstur tanah untuk zonasi
kerawanan gempa bumi dapat dilihat kerawanan gempa bumi dapat dilihat
pada tabel 7. pada tabel 9.
Aplikasi Sistem Informasi ... (Tri Widodo, Yoga Hepta, Hana Fairuz) 59
• Menentukan Zonasi Kerawanan Gempa 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Bumi
Hasil perkalian antara nilai skor dan bobot 3.1. Laporan Penelitian
dari setiap peta parameter akan menentukan
besaran luas wilayah zonasi kerawanan • Peta Buffering Sesar Lembang
gempa bumi. Proses pembuatan zonasi Berdasarkan Peta Buffering Sesar
kerawanan gempa bumi Sesar Lembang Lembang, Desa Lembang, Desa Kayuambon,
tersebut mengunakan metode overlay Desa Langensari, dan Desa Cibodas
analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) termasuk daerah ‘sangat rawan’ bencana
dari nilai atribut pada setiap skor dan bobot gempa bumi, karena desa-desa tersebut
peta parameter. Hasil perhitungan nilai skor terletak sejauh 1 km dari Sesar Lembang.
dan bobot dari peta parameter untuk zonasi Kemudian Desa Suntenjaya, Desa Cibogo,
kerawanan gempa bumi dapat dilihat pada Desa Pagerwangi, Desa Gudangkahuripan,
tabel 11. Desa Wangunharja, Desa Wangunsari, dan
Desa Mekarwangi, sebagian besar wilayah
Tabel 11. Perhitungan Skor dan Bobot Setiap Parameter.
mereka termasuk kedalam daerah ‘rawan’
Peta Parameter Bobot Skor Min Max bencana gempa bumi, karena jarak desa
Lokasi Sesar 5 1,2,3,4 5 20
tersebut kurang lebih 2 – 3 km terhadap Sesar
Lembang. Sedangkan sisanya, yaitu Desa
Intensitas Gempa 5 1 5 5
Sukajaya, Desa Jayagiri Desa Cikahuripan,
Percapatan Gempa 5 1,2 5 10 Desa Cikole, dan Desa Cikidang berada
Geologi 4 1,2 4 8 pada daerah ‘agak rawan’ terhadap bencana
Penggunaan Lahan 3 1,2,3 3 9 gempa bumi Sesar Lembang, karena desa-
Kemiringan Lereng 2 1,2,3,4,5 2 10
desa tersebut terletak antara 4 – 7 km dari
Sesar Lembang. Informasi spasial mengenai
Kepadatan 4 1,2 4 8
Penduduk
peta buffering sesar lembang di Kecamatan
Lembang dapat dilihat pada gambar 1.
Tekstur Tanah 1 1,2,3 1 3
Jumlah 29 73
Sumber: Analisis Peneliti 2016.
Tabel 12. Zonasi Kerawanan Gempa Bumi Sesar Gambar 1. Peta Buffering Sesar Kecamatan Lembang.
Lembang.
No Kelas Kerawanan Interval • Peta Intensitas Gempa Bumi
Skor Kecamatan Lembang
1. Sangat Rawan 61 – 73 Wilayah Kecamatan Lembang
2. Rawan 45 – 60 beradasarkan Peta Kawasan Rawan
Bencana Gempa Bumi Jawa Bagian Barat
3. Tidak Rawan 29 – 44
skala 1:500.000 yang dibuat oleh Pusat
Sumber: Analisis Peneliti 2016. Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
60 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 54-68
dengan menggunakan pengukuran dari skala • Peta Percepatan Gempa Bumi
intensitas kegempaan Mercalli atau Modified Kecamatan Lembang
Mercalli Intensity (MMI) masuk kedalam skala Peta Percepatan Gempa Bumi atau
III – IV (MMI). Deskripsi dampak kerusakan Peak Ground Acceleration (PGA) di wilayah
dari keterangan tersebut adalah skala III yaitu Kecamatan Lembang berdasarkan peta yang
dirasakan oleh sedikit orang, terutama yang bersumber dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
berada di dalam rumah, seperti getaran yang Bencana Geologi dalam 500 tahun terakhir
berasal dari kendaraan berat yang melintas terbagi kedalam dua kelas yaitu 0,15 – 0,2
di dekat rumah. Kemudian skala IV adalah g dan 0,2 – 0,25 g. Zona kelas percepatan
dirasakan oleh banyak orang, beberapa orang gempa bumi atau percepatan gerakan tanah
terbangun disaat tidur, piring dan jendela maksimum dengan kelas 0,15 – 0,2 g berada
bergetar, dapat mendengar suara-suara yang di wilayah utara Kecamatan Lembang, yang
berasal dari pecahan barang pecah belah. lokasinya berdekatan dengan gunungapi
Faktor yang membuat wilayah Tangkuban Prahu. Kondisi aktifitas vulkanik
Kecamatan Lembang masuk kedalam skala Gunung Tangkuban Prahu yang masih aktif
III – IV (MMI) yaitu di wilayah tersebut cukup memberikan pengaruh terhadap nilai
memang jarang dirasakan gempa dengan PGA di wilayah sekitarnya.
intensitas besar. Hal ini dikarenakan lokasi Zona kelas percepatan gempa bumi
Kecamatan Lembang jauh dari aktivitas atau percepatan gerakan tanah maksimum
Subduksi Indo-Australia yang merupakan dengan kelas 0,2 – 0,25 g berada di wilayah
zona dengan tingkat intensitas kegempaan selatan Kecamatan Lembang. Nilai PGA di
tinggi. Gempa yang berasal dari aktivitas wilayah selatan Kecamatan Lembang lebih
Subduksi Indo-Australia yang dirasakan besar dibandingkan dengan wilayah utara yang
sampai di Kecamatan Lembang hanya dalam mengindikasikan bahwa di wilayah selatan
skala kecil. Sumber gempa lainnya yang Kecamatan Lembang terdapat faktor endogen
sering dirasakan oleh masyarakat di wilayah lain yang lebih besar dibanding aktivitas vulkanik
Kecamatan Lembang adalah gempa vulkanik Gunung Tangkuban Prahu. Angka tersebut bisa
dari aktivitas Gunung Tangkuban Prahu dan dijadikan bukti lain bahwa Sesar Lembang yang
getaran yang terasa di wilayah ini juga masih berada di wilayah selatan Kecamatan Lembang
dalam skala kecil karena Gunung Tangkuban merupakan sesar yang cukup aktif sehingga
Prahu jarang menimbulkan erupsi yang cukup bisa memberikan nilai PGA yang lebih besar
besar. Informasi spasial mengenai peta dibandingkan wilayah yang jauh dengan zona
intensitas gempa bumi Kecamatan Lembang sesar lembang.
dapat dilihat pada gambar 2. Analisis kedua dari angka PGA wilayah
selatan yang lebih besar dibandingkan dengan
wilayah utara karena letak geografis wilayah
selatan Kecamatan Lembang yang lebih dekat
dengan zona subduksi di Samudera Hindia,
yang mengakibatkan intensitas gerakan tanah
di wilayah selatan lebih tinggi, karena panjang
rambatan magnitudo yang harus dilalui oleh
gempa dari Samudera Hindia menuju wilayah
selatan lebih pendek dibandingkan menuju
wilayah utara. Keadaan tersebut menghasilkan
konsekuensi bahwa semakin jauh wilayah dari
pusat gempa getaran yang dirasakan akan
semakin kecil. Informasi spasial mengenai peta
Gambar 2. Peta Intensitas Gempa Bumi Kecamatan percepatan gempa bumi Kecamatan Lembang
Lembang. dapat dilihat pada gambar 3.
Aplikasi Sistem Informasi ... (Tri Widodo, Yoga Hepta, Hana Fairuz) 61
dari barat sampai timur Kecamatan Lembang,
dengan luas 63,23 % dari luas area Kecamatan
Lembang.
Selain Gunung Tangkuban Prahu di
Kecamatan Lembang juga terdapat Gunung
Putri yang yang dahulunya merupakan sebuah
gunungapi tetapi saat ini sudah tidak aktif
dan hanya berupa bukit, keberadaan Gunung
Putri inilah yang menghasilkan formasi batuan
gunungapi neogen terdiri dari susunan batuan
breksi gunungapi, lahar, dan lava berselang
seling yang merupakan hasil gunungapi tua
Gambar 3. Peta Percepatan Gempa Bumi Kecamatan tak teruraikan. Formasi batuan gunungapi
Lembang. neogen berada di wilayah tengah dan selatan
Kecamatan Lembang, dengan luas 23,33 %
• Peta Geologi Kecamatan Lembang dari luas area Kecamatan Lembang.
Kecamatan Lembang dalam Peta Gunung Bukit Tunggul yang berada
Geologi lembar Bandung (9/XIII-F) skala di bagian timur laut Kecamatan Lembang
1:100.000 yang dibuat oleh Pusat Penelitian merupakan gunung yang memiliki puncak
dan Pengembangan Geologi tahun 1973 tertinggi dibandingkan gunung lainnya di
tersusun dari tiga jenis formasi batuan yaitu Kawasan Metropolitan Bandung. Gunung Bukit
batuan gunungapi kuarter, batuan gunungapi Tunggul dahulunya merupakan gunung api,
neogen, dan batuan gunungapi plio-plistosen. tetapi saat ini sudah tidak aktif. Keberadaan
Kecamatan Lembang secara fisiografi berada gunung api purba inilah yang menghasilkan
dalam Zona Bandung dengan karakteristik formasi batuan gunungapi plio-plistosen,
banyak memiliki gunungapi baik yang sudah formasi aslinya sebagian sudah tertutupi oleh
tidak aktif (gunungapi tipe B dan C) yang batuan-batuan yang lebih muda hasil dari
ditandai dengan fumarol dan solfatara yaitu letusan Gunung Tangkuban Prahu. Formasi
Gunung Bukit Tunggul dan Gunung Putri, batuan gunungapi plio-plistosen berada di
kemudian juga terdapat gunung api yang masih wilayah timur laut, dengan luas 13,44% dari
aktif (gunungapi tipe A) Gunung Tangkuban luas area Kecamatan Lembang
Prahu, sehingga formasi batuan yang berada Wilayah Kecamatan Lembang
di wilayah tersebut didominasi oleh batuan seluruhnya terisi oleh endapan vulkanik
gunungapi. baik itu berupa vulkanik muda (endapan
Gunung Tangkuban Prahu terdapat kuarter) ataupun campuran antara vulkanik
di komplek gunungapi tua yang disebut tua (endapan tertier) dan endapan kuarter.
komplek Gunung Sunda. Komplek Gunung Berdasarkan ketiga jenis formasi batuan di
Sunda adalah sebuah gunungapi majemuk wilayah Kecamatan Lembang formasi batuan
yang terdiri atas tiga buah gunungapi, dua gunungapi kuarter merupakan yang paling
diantaranya sudah tidak aktif dan yang berpengaruh terhadap pergerakan tanah
masih aktif yaitu Gunung Tangkuban Prahu. apabila terjadi gempa sehingga mendapatkan
Keberadaan Gunung Tangkuban Prahu skor dua kemudian Batuan Gunungapi Plio
inilah yang menghasilkan formasi batuan – Plistosen dan Batuan Gunungapi Neogen
gunungapi kuarter (endapan vulkanik muda) (Mio - Plio) diangggap pengaruhnya lebih
terdiri dari tufa pasir, tufa berbatu apung, lapili, rendah terhadap pergerakan tanah apabila
kepingan-kepingan andesit padat dan breksi terjadi gempa sehingga mendapatkan skor
yang merupakan hasil dari letusan Gunung satu. Informasi spasial mengenai peta geologi
Tangkuban Prahu. Formasi batuan gunungapi Kecamatan Lembang dapat dilihat pada
kuarter berada di wilayah tengah, membentang gambar 4.
62 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 54-68
Kecamatan Lembang dapat diketahui bahwa
sebagian besar wilayah di Kecamatan
Lembang berada pada daerah lereng/
punggung bukit. Daerah berbukit dan curam
terletak pada bagian utara dan selatan
Kecamatan Lembang. Adapun daerah
yang memiliki wilayah yang berbukit dan
curam adalah Desa Gudang Kahuripan,
Desa Wangunsari, Desa Pagerwangi, Desa
Mekarwangi, Desa Cikahuripan, Desa
Sukajaya, Desa Jayagiri, Desa Cikole, Desa
Cikidang, Desa Wangunharja, dan Desa
Gambar 4. Peta Geologi Kecamatan Lembang.
Suntenjaya. Sedangkan daerah yang memiliki
wilayah yang cukup datar diantaranya adalah
• Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Desa Langensari, Desa Kayuambon, Desa
Lembang Lembang, Desa Cibogo, dan Desa Cibodas.
Berdasarkan peta penggunaan lahan Informasi spasial mengenai peta kemiringan
Kecamatan Lembang, pada daerah utara lereng Kecamatan Lembang dapat dilihat
Kecamatan Lembang didominasi oleh pada gambar 6.
penggunaan lahan hutan, tegalan, dan
kebun. Sedangkan untuk penggunaan lahan
pemukiman terpusat pada daerah tengah
Kecamatan Lembang. Adapun Desa yang
memiliki penggunaan lahan pemukiman
terluas diantaranya adalah Desa Sukajaya,
Desa Cikahuripan, Desa Jayagiri bagian
selatan, Desa Cibogo, Desa Lembang, Desa
Gudangkahuripan, Desa Cikole, Desa Cikidang,
dan Desa Cibodas. Informasi spasial mengenai
peta penggunaan lahan Kecamatan Lembang
dapat dilihat pada gambar 5.
Aplikasi Sistem Informasi ... (Tri Widodo, Yoga Hepta, Hana Fairuz) 63
Tekstur tanah liat yang terdapat di wilayah
ini didominasi oleh jenis tanah andosol > 60 %
terdiri dari abu vulkanik Gunung Tangkuban Prahu
yang sudah terendapkan sehingga lokasinya
berada di bagian utara Kecamatan Lembang.
Kondisi topografi Kecamatan Lembang yang
memiliki karakteristik semakin ke arah selatan
ketinggiannya semakin rendah menghasilkan
lokasi keberadaan tekstuk tanah tersebut berada
di sebelah selatan tekstur tanah pasir. Luas jenis
tekstur tanah liat di wilayah tersebut yaitu luas
47,03% dari luas area Kecamatan Lembang.
Informasi spasial mengenai peta tekstur tanah
Gambar 7. Peta Kepadatan Penduduk Kecamatan
Lembang. Kecamatan Lembang dapat dilihat pada gambar
8.
• Peta Tekstur tanah Kecamatan
Lembang
Peta Tekstur Tanah Kecamatan Lembang
yang bersumber dari BAPPEDA Provinsi Jawa
Barat tahun 2010 terdiri dari tiga jenis tekstur
tanah yaitu Lempung, Liat dan Pasir. Faktor
yang membuat wilayah Kecamatan Lembang
terdiri dari tiga jenis tekstur tanah yaitu kondisi
geologi di wilayah tersebut yang merupakan
daerah aktivitas vulkanik.
Tekstur tanah lempung yang terdapat
di Kecamatan Lembang bersumber dari hasil
pelapukan batuan dan unsur kimia lainnya.
Tekstur di wilayah tersebut didominasi oleh Gambar 8. Peta Tekstur Tanah Kecamatan Lembang.
jenis tanah latosol yang tersusun dari tekstur
tanah dengan kadar liat > 60 %, remah sampai • Peta Zonasi Kerawanan Gempa Bumi
gumpal, gembur, warna tanah seragam Sesar Lembang Kecamatan Lembang
dengan batas-batas horison yang kabur, solum Berdasarkan hasil analisis overlay
kedalaman > 150 cm. Tekstur tanah lempung di terhadap delapan peta parameter kerawanan
wilayah tersebut merupakan hasil dari endapan gempa bumi diperoleh hasil zonasi kerawanan
tanah liat yang berada di atasnya. Sehingga gempa bumi Sesar Lembang. Ada tiga zonasi
lokasi keberadaanya terdapat di wilayah selatan yang dihasilkan yaitu daerah sangat rawan
Kecamatan Lembang, dengan luas 50,28 % dari gempa bumi Sesar Lembang, daerah rawan
luas area Kecamatan Lembang. Lokasi tekstur gempa bumi Sesar Lembang, dan daerah tidak
tanah lempung dekat dengan sesar lembang rawan terhadap gempa bumi Sesar Lembang.
Tekstur tanah pasir yang terdapat di Secara umum zona sangat rawan gempa
wilayah tersebut bertekstur kasar dengan bumi Sesar Lembang berada di sekitar wilayah
kadar pasir > 60% yang bersumber dari sesar lembang tersebut, dengan luas wilayah
erupsi Gunung Tangkuban Prahu. Sehingga 1.246 Ha atau 12,94 % dari luas area Kecamatan
lokasi keberadaannya dekat dengan wilayah Lembang merupakan wilayah sangat rawan
gunungapi aktif yaitu Gunung Tangkuban Prahu terhadap gempa bumi Sesar Lembang.
yang berada di wilayah barat laut Kecamatan Zona rawan gempa bumi sesar lembang
Lembang, dengan luas 1,09 % dari luas area berada di wilayah antara 1 – 3 kilometer dari
Kecamatan Lembang. Sesar Lembang tersebut, dengan luas wilayah
64 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 54-68
5.804 Ha atau 60,24 % dari luas area Kecamatan
Lembang merupakan wilayah rawan terhadap
gempa bumi Sesar Lembang. Zona tersebut
berada di wilayah tengah Kecamatan Lembang
membentang dari timur sampai barat.
Zona tidak rawan gempa bumi Sesar
Lembang berada di wilayah dengan jarak 5 –
7 km dari Sesar Lembang tersebut, dengan
luas wilayah 2.584 Ha atau 26,82 % dari luas
area Kecamatan Lembang merupakan wilayah
tidak rawan terhadap gempa bumi Sesar
Lembang. Zona tersebut berada di wilayah utara
Kecamatan Lembang.
Adapun luas dari ketiga zona kelas Gambar 9. Peta Zonasi Kerawanan Sesar Lembang
Kecamatan Lembang.
kerawanan terhadap masing-masing wilayah
administratif desa di Kecamatan Lembang bisa
dilihat dalam tabel 13.
Tabel 13. Informasi Luas Zonasi Kerawanan.
Aplikasi Sistem Informasi ... (Tri Widodo, Yoga Hepta, Hana Fairuz) 65
dari timur ke barat. Berawal dari kaki Gunung menimbulkan kerusakan yang berarti.
Manglayang di sebelah timur hingga sebelum Meskipun begitu tidak menutup kemungkinan
kawasan perbukitan kapur Padalarang di akan timbul gempa yang lebih besar, karena
bagian barat. Sesar Lembang berada tepat di penyimpanan energi yang terlalu lama.
antara Gunung Tangkuban Prahu dan dataran Jenis tanah di Kecamatan Lembang
Bandung sehingga memisahkan antara kota didominasi oleh lempung dan liat di bagian
bandung dan Kecamatan Lembang. utara hingga selatan, dan sedikit pasir di
Sesar Lembang memang tidak arah barat laut. Nilai PGA (Peak Ground
mempunyai sejarah atau catatan yang Acceleration) di wilayah selatan Kecamatan
mendeteksi adanya gempa besar yang Lembang lebih besar dibandingkan dengan
pernah terjadi. Meskipun demikian, dengan wilayah utara yang mengindikasikan bahwa di
menggunakan teknologi dan data yang wilayah selatan Kecamatan Lembang terdapat
terkumpul, para ahli dapat menyimpulkan faktor endogen lain yang lebih besar, seperti
bahwa, Sesar Lembang memiliki potensi untuk zona subduksi di Samudera Hindia.
menghasilkan gempa dengan magnitude 6,5 Penggunaan lahan di Kecamatan
– 7 SR. Gempa bumi memang sulit untuk di Lembang didominasi oleh pemukiman ladang
ramalkan kapan akan terjadi, meskipun begitu, dan hutan, hal ini cukup membahayakan
kita tetap dapat mempersiapkan diri jika hal jika gempa terjadi, karena kerugian yang
tersebut terjadi. Untuk itulah peta kerawanan akan ditimbulkan akan besar. Desa-desa
bencana gempabumi dibuat. yang berada di Kecamatan Lembang rata-
Kemudian dalam penelitian ini, penulis rata terletak pada lereng atau punggungan
menggunakan delapan parameter yang bukit, hal ini akan sangat merugikan, jika
cocok untuk memetakan kerawanan gempa terjadi gempa bumi, karena semakin besar
bumi. Parameter tersebut diantaranya kemiringan lereng yang ada maka potensi
adalah informasi geologi, kemiringan lereng, longsor akibat gempa bumi akan semakin
jenis tanah, peak ground acceleration, data besar. Hal ini juga sama pengaruhnya untuk
intensitas gempa bumi, penggunaan lahan, faktor kepadatan penduduk, semakin banyak
kepadatan penduduk, dan peta buffer dari dan padat penduduk mendiami suatu desa,
Sesar Lembang. Lalu parameter-parameter maka korban jiwa yang akan timbul pun
tersebut, diolah menggunakan sistem semakin besar.
informasi geografis dengan mengintegrasikan Hasil analisis menunjukkan bahwa
antara parameter satu dengan parameter terdapat tiga zonasi rawan gempa bumi
lainnya, sehingga dihasilkan informasi baru, di Kecamatan Lembang yang rata-rata
berupa peta kerawanan gempa bumi Sesar membentang dari timur ke barat mengikuti
Lembang. bentuk Sesar Lembang. Tiga zonasi tersebut
Kecamatan Lembang memiliki Sesar diantaranya adalah ‘tidak rawan’, ‘rawan’,
aktif yang berada di tengah Kecamatan dan ‘sangat rawan’. Zona ‘sangat rawan’
Lembang, dengan jarak antara 0 – 7 km gempa bumi Sesar Lembang berada di
dari Sesar Lembang. Kecamatan Lembang sekitar wilayah Sesar Lembang, dengan luas
memiliki formasi geologi berupa endapan wilayah 1.246 Ha atau 12,94 % dari luas area
kuarter, Batuan Gunungapi Plio – Plistosen Kecamatan Lembang. Zona ‘rawan’ gempa
dan Batuan Gunungapi Neogen (Mio - Plio). bumi Sesar Lembang berada di wilayah antara
Dari ketiga formasi geologi tersebut, endapan 1 – 3 kilometer dari Sesar Lembang, dengan
kuarter lah yang sangat sensitif terhadap luas wilayah 5.804 Ha atau 60,24 % dari
pergerakan tanah ketika terjadi gempa bumi. luas area Kecamatan Lembang. Zona ‘tidak
Intensitas gempa yang dihasilkan Sesar rawan’ gempa bumi Sesar Lembang berada
Lembang cukup kecil, sehingga ia termasuk di wilayah dengan jarak 5 – 7 km dari Sesar
ke dalam skala III – IV (MMI), karena hanya Lembang, dengan luas wilayah 2.584 Ha atau
dirasakan beberapa orang saja dan tidak 26,82 % dari luas area Kecamatan Lembang.
66 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 54-68
4. KESIMPULAN DAN SARAN • Wilayah permukiman yang masuk dalam
zona sangat rawan gempa bumi Sesar
4.1. Kesimpulan Lembang direkomendasikan untuk
meningkatkan kapasitas lingkungan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dari ancaman gempa bumi, meliputi
kesimpulan dari penelitian ini adalah zonasi konstruksi bangunan yang relatif kuat
kerawanan bencana gempa bumi Sesar untuk sebuah guncangan gempabumi
Lembang dengan menggunakan aplikasi dan kemampuan masyarakat dalam
Sistem Informasi Geografis dan penginderaan mitigasi bencana gempabumi.
jauh di wilayah administratif Kecamatan • Penduduk yang berada di wilayah
Lembang terbagi menjadi tiga kelas zonasi Kecamatan Lembang selain
yaitu zona sangat rawan, zona rawan, zona mewaspadai aktifitas pergerakan Sesar
tidak rawan. Lembang juga direkomendasikan
Zona sangat rawan masuk ke dalam untuk memahami keterkaitan antara
empat belas wilayah administratif desa di aktivitas Gunung Tangkuban Prahu
Kecamatan Lembang, wilayah desa yang dengan pergerakan Sesar Lembang,
paling terdampak yaitu Desa Cibodas karena Sesar Lembang terbentuk pada
dengan luas 375 Ha. Kemudian zona rawan tahap pasca pembentukan kaldera
masuk ke dalam seluruh desa di Kecamatan Gunung Sunda, kejadian tersebut
Lembang dengan luas zonasi antara 908 – kemudian diikuti oleh lahirnya Gunung
51 Ha, sedangkan zona tidak rawan masuk ke Burangrang, dan Gunung Tangkuban
dalam sebelas wilayah administratif dengan Prahu. Sehingga antara Gunung
luas antara 671 – 1,5 Ha. Berdasarkan hasil Tangkuban Prahu dan Sesar Lembang
penelitian zonasi kerawanan bencana gempa masih memiliki keterkaitan struktur
bumi Sesar Lembang menunjukan bahwa geologis.
Desa Cibodas merupakan wilayah yang
sangat rawan terhadap dampak dari ancaman UCAPAN TERIMA KASIH
gempa bumi Sesar Lembang dan Desa
Cikidang merupakan wilayah yang relatif aman Penelitian ini dapat terselesaikan atas
terhadap dampak dari gempa bumi sesar bantuan dari berbagai pihak yang senantiasa
lembang. Daerah yang relatif aman terhadap selalu memberikan kemudahan dan kelancaran
bencana gempa bumi Sesar Lembang berada sehingga penulis dapat menyelesaikan
di wilayah utara Kecamatan Lembang karena penelitian ini. Oleh karena itu, penulis dalam
didominasi oleh penggunaan lahan bukan kesempatan ini ingin menyampaikan ucapan
permukiman dan jauh dari zona sesar. terima kasih kepada :
• Pusat Vulkanologi dan Mitigisi Bencana
4.2. Saran Geologi.
• BAPPEDA Provinsi Jawa Barat.
Sebuah informasi spasial (peta) sudah • Badan Pusat Statistik Kabupaten
seharusnya tidak hanya menyajikan data Bandung Barat.
pada satu masa, tetapi mampu memberikan
informasi mengenai peristiwa yang akan DAFTAR PUSTAKA
datang, begitu juga terhadap informasi spasial
dari hasil penilitian ini bisa diambil beberapa Mudrik R. Daryono. (2015). Riset Terbaru:
rekomendasi diantaranya: Panjang Sesar Lembang 29 Kilometer,
• Wilayah dengan jarak lurus ≤ 3 Potensi Gempa Cukup Besar. Pusat
kilometer dari garis Sesar Lembang Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu
tidak direkomendasikan untuk dijadikan Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bandung.
wilayah permukiman.
Aplikasi Sistem Informasi ... (Tri Widodo, Yoga Hepta, Hana Fairuz) 67
Peraturan Kepala BNPB No. 8 tahun 2011
tentang Standarisasi Data Kebencanaan.
Sulaeman. Cecep dan S. Hidayati. (2011).
Gempa Bumi Bandung 22 Juli 2012.
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi,
2 (3), hlm. 185-190.
Surono (2008) Katalog Gempabumi Merusak
di Indonesia, Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi, Bandung.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor
4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana.
68 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 54-68
KAJIAN SPASIAL TINGKAT KERENTANAN RUMAH TANGGA DI KAWASAN RAWAN
BENCANA JATUHAN PIROKLASTIK GUNUNGAPI KELUD
E-mail: achmad_fandir@gmail.com
Abstract
This research was conducted in the Kutut hamlet, Pandansari village, where located on
the area that potentially affected by tephra fall and heavy ash fall and also located on third ring
of disaster prone area of Kelud Volcano. Kutut hamlet has 235 of household. This hamlet is one
of the worst affected area during eruption of Kelud Volcano in 2014. On of effort on disaster risk
reduction to face pyroclastic flow which threatens on the future can be done through vulnerability
analysis. The aims of this study is to determine the spatial distribution of vulnerability household’s
level in the Kutut Hamlet. The unit of analysis is the household. Data were collected through
the census and image interpretation. Image interpretation used to make building block map
and determine the types of roofs. This study mapped the vulnerability considering four types of
vulnerabilities (physical, social, economic, and environmental). Spatial Multi Criteria Evaluation
(SMCE) Method used as the data analysis. This method can combine spatial and non-spatial data
which is expected to produce a balanced decision. The results of physical vulnerability analysis
there are 18.3 % of household categorized as high vulnerability. Social vulnerability level generate
that 14.9 % of household categorized as high vulnerability. Economic vulnerability level generate
21.3 % of household, and environment vulnerability generate 13.2 % of household. While for the
total vulnerability with 4 scenario, there are about 6.4 % of the population are always categorized
as high vulnerability.
70 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 69-79
2. METODOLOGI 2.3. Spatial Multi Criteria Evaluation
72 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 69-79
3.2. Kerentanan Sosial terdampak juga semakin tinggi. Selain itu
banyaknya jumlah keluarga juga berbanding
Kerentanan sosial merupakan potensi lurus dengan besarnya tanggungan untuk
dampak dari peristiwa pada kelompok rentan kebutuhan hidup tiap anggota keluarga.
yaitu seperti orang miskin, rumah tangga, orang Berdasarkan hasil analisis data
tua tunggal, perempuan hamil, orang difabel, penduduk, dapat diketahui bahwa sebagian
anak-anak, dan orang tua. Kerentanan sosial besar penduduk Dusun Kutut memiliki
berkaitan dengan kondisi demografi dan struktur jumlah anggota keluarga 1-3 orang dengan
penduduk di suatu daerah. Di dalam penelitian persentase 53%. Terdapat 17% rumah
ini indikator kerentanan sosial menggunakan 6 tangga yang di dalamnya terdapat lebih dari
indikator. 5 orang. Pendidikan sebagian besar kepala
Setiap indikator dalam kerentanan sosial keluarga adalah jenjang Sekolah Dasar (58%).
menggunakan standarisasi fuzzi maksimum Hanya terdapat 3% kepala keluarga yang
dengan consider benefit. Semua indikator menyelesaikan pendidikan hingga jenjang
menggunakan consider benefit karena semakin SMA.
tinggi jumlahnya, maka akan memepengaruhi Hasil sensus yang dilakukan
tingkat kerentanan yang semakin tinggi pula. menunjukkan bahwa 40% rumah tangga
Misalnya semakin banyak jumlah jumlah di dalamnya terdapat kelompok rentan.
penduduk difable maka tingkat kerentanan akan Sebagian besar kelompok rentan merupakan
semakin tinggi. Pembobotan masing-masing penduduk lansia dan balita. Persentase lansia
indikator dapat dilihat pada Tabel 2. sebesar 25 % sedangkan balita sebesar 13 %.
Kondisi ini memerlukan perhatian khusus saat
Tabel 2. Pembobotan Indikator Kerentanan Sosial. terjadi bencana. Persebaran spasial tingkat
No Indikator Consider Bobot kerentanan sosial dapat dilihat pada Gambar 5.
1. Jumlah Anggota Benefit 0,26
Keluarga
2. Difabel Benefit 0,21
3. Lansia Benefit 0,19
4. Penderita Penyakit Benefit 0,15
5. Balita Benefit 0,11
6. Pendidikan Benefit 0,08
74 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 69-79
kebencanaan. Lingkungan dengan daya dukung dasar untuk menentukan temporary shelter
optimal tentunya akan memberikan dampak oleh peneliti. Setelah diketahui tempat untuk
positif bagi manusia yang hidup di sekitarnya. berlindung, dihitung jarak setiap rumah
Daya dukung lingkungan dalam analisis ini terhadap tempat berlindung sementara
terbatas pada ketersediaan sumber air bersih tersebut. Data jarak terhadap temporary
yang dapat mencukupi kebutuhan warga serta shelter menjadi salah satu indikator kerentanan
jarak rumah tangga terhadap tempat berlindung lingkungan dengan pembobotan seperti pada
sementara (Temporary Shelter). tabel 4.
Air merupakan kebutuhan utama saat
terjadi bencana. Jika suatu daerah memiliki Tabel 4. Pembobotan Indikator Kerentanan Lingkungan.
sumber air yang memenuhi standar maka No Indikator Consider Bobot
dianggap dapat menurunkan kerentanan di 1. Ketersediaan sumber Cost 0,5
daerah tersebut. Sumber air di daerah penelitian air
sebagian besar masih mengandalkan sumber
2. Jarak terhadap Cost 0,5
dari pegunungan yang dikelola oleh masyarkat Temporary Shelter
setempat. Pada saat terjadi letusan sumber air
tersebut langsung terkena dampak sehingga Hasil pengkelasan terhadap indikator
masyarakat setempat langsung kehilangan kerentanan lingkungan menunjukkan bahwa
sumber air untuk kebutuhan sehari-hari. sebagian besar rumah tangga yang ada
Temporary Shelter juga menjadi salah di Dusun Kutut tergolong dalam kategori
satu kebutuhan utama saat terjadi Erupsi. kerentanan rendah yakni sebesar 66,4%.
Berdasarkan kejadian erupsi Gunungapi Kelud Kategori kerentanan sedang sebanyak 48
tahun 2014 jarak antara kondisi awas dan rumah tangga sedangkan kategori kerentanan
erupsi hanya sekitar 1 jam 40 menit. Kondisi ini tinggi berjumlah 31 rumah tangga atau 13,2%.
mengakibatkan warga untuk dapat berlindung Rumah tangga yang tergolong dalam
sesegera mungkin ke tempat yang dianggap kategori kerentanan tinggi terletak jauh dari
aman terhadap jatuhan piroklastik. Beberapa tempat berlindung sementara seperti masjid,
tempat yang digunakan sebagai tempat mushola, maupun balai dusun. Persebaran
berlindung diantaranya adalah balai dusun, rumah tangga ini terletak pada RT 12 terutama
masjid, musholla, dan rumah cor. Gambaran di bagian selatan. RT 12 merupakan RT
kondisi tempat berlindung sementara di Dusun dengan pemukiman yang paling dekat dengan
Kutut dapat dilihat pada Gambar 7. Gunungapi Kelud. Jarak rumah menuju masjid
yang menjadi tempat berlindung utama sekitar
300 meter. Kondisi ini yang menyebabkan
rumah tangga di RT ini tergolong dalam
kategori kerentanan tinggi.
Selain faktor jarak terhadap tempat
berlindung terdapat faktor ketersediaan
sumber air. Faktor sumber air dianggap
memiliki pengaruh cukup besar terhadap
tingkat kerentanan. Tiap rumah tangga
menggunakan sumber air yang sama yakni
mata air dari Gunungapi yang dikelola secara
swadaya oleh masyarakat. Kerusakan pada
sumber air menyebabkan Dusun Kutut sangat
Gambar 7. Temporary Shelter di Dusun Kutut. bergantung pada bantuan air dari relawan dan
pemerintah pasca erupsi. Persebaran spasial
Tempat-tempat yang digunakan untuk tingkat kerentanan lingkungan disajikan pada
berlindung oleh warga dijadikan sebagai Gambar 8.
76 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 69-79
aspek sosial sedangkan aspek fisik, ekonomi pulih lebih cepat. Bobot yang digunakan dalam
dan lingkungan masing-masing diberi bobot skenario ini adalah 0,49 untuk aspek ekonomi
0,167. Pembobotan tersebut menggunakan sedangkan aspek fisik, sosial dan lingkungan
metode Pairwise Comparison. Hasil dari masing-masing diberi bobot 0,167.
pembobotan tersebut kemudian dilakukan Hasil pengkelasan berdasarkan skenario
komputasi dengan SMCE yang menghasilkan ekonomi menunjukkan bahwa dari total 235
peta kerentanan dengan skenario sosial. rumah tangga yang ada Dusun Kutut 26 rumah
Hasil pengkelasan berdasarkan tangga tergolong dalam kategori kerentanan
skenario sosial menunjukkan bahwa dari total tinggi. Kategori kerentanan sedang sebanyak
235 rumah tangga yang ada Dusun Kutut, 107 rumah tangga sedangkan kategori
26 rumah tangga tergolong dalam kategori kerentanan rendah berjumlah 102 rumah
kerentanan tinggi. Kategori kerentanan sedang tangga. Distribusi spasial skenario kerentanan
sebanyak 107 rumah tangga sedangkan ekonomi dapat dilihat pada Gambar 11.
kategori kerentanan rendah berjumlah 102
rumah tangga. Persebaran spasial skenario
kerentanan sosial dapat dilihat pada Gambar
10.
Gambar 10. Peta Tingkat Kerentanan Skenario Sosial. Pembobotan skenario equal / seimbang
mempertimbangkan bahwa semua aspek
3.5.3. Skenario Kerentanan Ekonomi kerentanan memiliki andil yang sama pada
tingkat kerentanan. Nilai bobot untuk masing-
Faktor ekonomi merupakan elemen masing kerentanan adalah 0,250. Nilai ini akan
yang dianggap paling berpengaruh untuk menjadi faktor pengali untuk setiap kerentanan
skenario kerentanan ekonomi. Rumah tangga sehingga akan menghasilkan peta kerentanan
dengan kondisi ekonomi yang baik tidak hanya dengan skenario equal.
mengandalkan bantuan dari pemerintah saat Hasil pengkelasan berdasarkan skenario
terdampak bencana. Sehingga dapat cepat ekonomi menunjukkan bahwa dari total 235
mengatasi kerusakan yang terjadi dan dapat rumah tangga yang ada Dusun Kutut 44 rumah
UCAPAN TERIMAKASIH
78 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 69-79
Hizbaron, D. R., 2011. Urban Risk Management: Sumekto, Didik Rinan. 2011. Pengurangan
An Overview from Geographical Studies. Risiko Bencana Melalui Analisis
International Conference on the Future of Kerentanan dan Kapasitas Masyarakat
Urban and Peri Urban Area (pp. 84-96). dalam Menghadapi Bencana. Seminar
Yogyakarta: Environtmental Geography Nasional Pengembangan Kawasan
Departemen, Universitas Gadjah Mada. Merapi: Aspek Kebencanaan dan
Hizbaron, D. R., 2012. Integration of Pengembangan Masyarakat. DPPM UII.
Vulnerability Assessment Into Seismic Westen, C.J. Van., Alkema, D., Damen, M.C.J.,
Based Planning in Bantul Yogyakarta, Kerle, N., and Kingma, N.C. 2011. Multi
Indonesia, Disertasi: Ilmu Lingkungan Hazard Risk Assessment. United Nation
UGM. University-ITC School on Disaster
ISDR. 2004. Living with Risk: A Global Review of Geoinformation Management (UNU-ITC
Disaster Reduction Initiatives. Genewa, DGIM).
Switzerland: UNISDR. Zulkarnaen, M.W.D., 2012, Evaluasi Multi-
Mardiatno, D., Marfai M.A, Rachmawati., K., Kriteria Keruangan untuk Penilaian
Tanjung, R., Septriayadi, R., Y.S 2012. Risiko Total Tsunami di Pacitan, Tesis,
Penilaian Multirisiko Banjir dan Rob di Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada.
Kecamatan Pekalongan Utara, Fakultas
Geografi, Universitas Gadjah Mada.
Subarkah, P., 2009, Spatial Multi Criteria
Evaluation for Tsunamis Vulnerability
Case Study of Coastal Area Parangtritis,
Yogyakarta, Indonesia, Tesis.
Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada.
Jajat Suarjat
Alumni Mahasiswa Pasca Sarjana Manajemen Bencana Universitas Pertahanan Indonesia
Widyaiswara Ahli Pertama Pusdiklat PB BNPB
Arielriza@gmail.com
Abstract
Disaster Rapid Response Unit (SRC PB) was formed in 2009. As a guide to manage the
units and operations in the field, then made blueprint SRC PB in 2010. Implementation SRC PB
during 2010 to 2015 have not been evaluated for their overall effectiveness. So it is felt necessary
to evaluate the implementation of SRC PB is in accordance with the blueprint as a guide that has
been determined or even a blueprint that should be revised because it does not comply with the
demands and needs on the ground. The purpose of this study was to evaluate the effectiveness
of SRC PB especially in the western region after established. Then blueprint was made as a
reference to run fast SRC PB in dealing with disasters. After Knowing blueprint’s obstacles and
challenges, then exploration the stakeholder strategy to improve the effectiveness of SRC PB
in the future. This study uses combination method (a combination of qualitative and quantitative
methods). Qualitative methods using in-depth interviews, observations, review of documents, while
quantitatively using a checklist and organizational effectiveness index. The result of this research
is the effectiveness index of western region SRC PB that was compared between blueprint and
the implementation index is equal to 0.358, meaning the effectiveness of the medium level. Thus
require improvement action in the short term. The effectiveness of SRC PB adequate, but the
purpose and functions of SRC PB in disaster response still potential failure.
Keywords : Rapid Response Unit, Disaster Management, Blueprint SRC PB, Effectiveness.
80 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 80-100
Pertahanan, 2008). Salah satu upaya Sehingga untuk melihat efektivitas SRC
penanganan bencana di Indonesia yaitu PB perlu membandingkan antara tujuan dengan
dengan melibatkan kolaborasi sumber daya implementasi. Efektivitas SRC PB ini dianalisis
yang dimiliki sipil dan militer. dengan menggunakan acuan blueprint dan
Pada tanggal 5 November 2009 Presiden dikaitkan dengan beberapa teori efektivitas
RI Bapak Dr. Susilo Bambang Yudhoyono organisasi dan teori manajemen.
memberikan arahan untuk membentuk
Standby Force. Hal ini Berdasarkan 1.2. Rumusan Masalah
pengalaman penanggulangan bencana di
Indonesia yang selalu melibatkan unsur Pelaksanaan tugas dan fungsi SRC
pemerintah, TNI/POLRI, masyarakat, dan PB sudah tertulis dalam blueprint. Isi blueprint
dunia usaha. Implementasi perintah tersebut menguraikan secara rinci mulai dari latar
adalah dengan dibentuknya Satuan Reaksi belakang, dasar hukum, sampai pedoman
Cepat Penanggulangan Bencana (SRC PB). teknis dan dukungan yang diberikan untuk
Kolaborasi sipil dan militer dalam meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan
penanggulangan bencana seringkali terganggu pembentukan SRC PB. Dengan adanya acuan
dengan perbedaan budaya diantara keduanya, tersebut, seharusnya implementasi SRC PB
Hal ini diungkapkan juga oleh Nugroho sebagai berjalan efektif dan efisien. Namun kenyataannya
berikut: “Beberapa permasalahan lain yang SRC PB masih mengalami beberapa hambatan
ditemui di lapangan, dalam level operasional dalam melaksanakan blueprint secara efektif
antara lain perbedaan budaya militer dengan diantaranya: belum tersosialisasinya blueprint
otoritas sipil khususnya dalam menangani kepada anggota, dan pimpinan instansinya,
masalah-masalah yang bersifat urgent atau belum adanya standar penentuan status darurat
membutuhkan keputusan yang cepat. Ada dalam pengerahan, tidak operasionalnya home-
dua kemungkinan mengapa hal ini bisa terjadi. based dan standby force.
Pertama, kemungkinan memang budaya militer Berdasarkan latar belakang masalah di
yang terlalu kuat sehingga merasa kurang atas, maka dirumuskan beberapa pertanyaan
nyaman ketika kepemimpinan diambil oleh sipil penelitian sebagai berikut :
yang tidak mempunyai jalur komando. Kedua, 1. Bagaimana tingkat efektivitas SRC PB
kepemimpinan yang dilaksanakan oleh pejabat wilayah barat?
sipil tersebut memang tidak sesuai dalam arti 2. Apakah hambatan dan tantangan yang
tidak optimal untuk mengambil keputusan dihadapi oleh SRC-PB wilayah barat?
secara cepat pada saat dibutuhkan.” (Nugroho, 3. Bagaimana strategi yang perlu dilakukan
2012, p.155). dalam meningkatkan efektifitas SRC PB
Implementasi dan kendala SRC wilayah barat?
PB dalam penanggulangan bencana jika
dibandingkan dengan tujuan, mekanisme, dan 1.3. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
manajemen dalam blueprint SRC PB terdapat
beberapa hal yang tidak sesuai, jika melihat 1.3.1. Tujuan Penelitian
teori efektivitas organisasi maka kesenjangan
tersebut akan mempengaruhi efektivitas Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam
organisasi. Menurut Steers (1984,p.6) menjawab permasalahan di atas diantaranya:
“Efektivitas dinilai menurut ukuran seberapa 1. Mengetahui tingkat efektivitas SRC PB
jauh organisasi berhasil mencapai tujuan yang wilayah barat.
layak dicapai”. Emitai dan Etzioni (1982,p.54) 2. Mengetahui hambatan dan tantangan
mengemukakan bahwa “efektivitas organisasi yang dihadapi oleh SRC-PB.
dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan 3. Mengetahui strategi yang perlu dilakukan
organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam meningkatkan efektifitas SRC PB
atau sasaran”. wilayah barat.
82 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 80-100
Subjek dalam penelitian ini mengambil merupakan cara analisis dengan
interview yang terlibat langsung baik dalam tujuan menajamkan, menggolongkan,
pembentukan, penugasan, pengembangan, mengarahkan, dan membuang hal-
sampai pada pengurus, serta anggota hal yang tidak relevan, selanjutnya
SRC PB wilayah barat itu sendiri. Subjek data disusun sedemikian rupa. Semua
dalam penelitian ini yaitu; 1. Deputi Bidang transkrip harus dibaca dan kemudian
Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, dilakukan pengkodingan dengan
2. Deputi Bidang Penanganan Darurat membuat simbol yang mempunyai arti
BNPB, 3. Direktur tangggap darurat BNPB, berdasarkan topik pada setiap kelompok
4. Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan kata, kalimat dan paragraf. Selanjutnya
Penanggulangan Bencana, 5. Kepala Bidang melakukan pengelompokan kategori
Kurikulum dan Penyelenggara Pusdiklat sesuai dengan kategorinya.
PB, 6. Komandan SRC PB wilayah barat, c) Menyajikan data, data disajikan dalam
7. Kepala Bidang Operasi SRC PB wilayah bentuk narasi sesuai dengan variabel
Barat, 8. Kepala Bidang Sumber daya SRC penelitian
PB Wilayah Barat, 9. Staf Ahli Deputi Bidang d) Menarik kesimpulan dan verifikasi,
Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, 10. yaitu dengan cara membandingkan
Kepala Sub Direktorat Penyelamatan dan pertanyaan penelitian dengan hasil
Evakuasi BNPB. penelitian setelah wawancara, kemudian
Dalam penelitian ini yang menjadi di triangulasi dengan observasi dan
objek adalah bagaimana efektivitas SRC PB telaah dokumen.
wilayah barat, Apa hambatan dan tantangan,
serta bagaimana strategi untuk meningkatkan 2.4.2. Analisis Data Kuantitatif
efektivitas SRC PB.
Peneliti membuat checklist berdasarkan
2.3. Teknik Pengumpulan Data pada variabel dan menentukan indikator yang
terdapat di blueprint, kemudian membuat
Teknik pengumpulan data dalam kriteria penilaian. Setelah checklist terhadap
penelitian ini terbagi menjadi dua kelompok, semua variabel selesai dilakukan, maka
yaitu teknik pengumpulan data kualitatif langkah selanjutnya adalah menghitung
dan kuantitatif. Pengumpulan data kualitatif tingkat efektivitas SRC PB. Tingkat efektivitas
melalui wawancara mendalam, observasi, dibagi menjadi tiga yaitu rendah, sedang
checklist dan dokumentasi. Pengumpulan dan tinggi. Efektivitas rendah dinilai dengan
data kuantitatif melalaui teknik observasi dan 0, sedang=1, dan tinggi=2. Perhitungan
melakukan checklist. kumulatif menggunakan rumus sebagai
berikut:
2.4. Teknik Analisis Data
Tingkat Efektivitas = {(jumlah item checklist dengan
2.4.1. Analisis Data Kualitatif hasil rendahx0)+(jumlah item checklist dengan
hasil sedangx1)+(jumlah item checklist dengan
Setelah semua data terkumpul, maka hasil tinggi x 2)}:jumlah total nilai item checklist
dilakukan analisis data dengan mode Miles
Sumber: Adopsi Penentuan Indeks dari PAHO (Pan
dan Huberman (1992) dalam (Sugiyono : 2010) America Health Organization).
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Hasil wawancara direkam dengan tape Setelah indeks efektivitas didapatkan,
recorder dan atau catatan lapangan selanjutnya berdasarkan nilai tingkat
disalin dalam bentuk transkrip efektivitas SRC PB dibagi menjadi 3, yaitu
b) Reduksi data dengan pembuatan level rendah, sedang dan tinggi seperti
koding dan kategori. Reduksi data dijelaskan pada tabel di bawah ini.
84 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 80-100
MoU. Dilihat dari segi kebijakan atau legislasi, 2009, tentang perlunya dibentuk
SRC PB telah memiliki kebijakan yang menjadi Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan
dasar pedoman yaitu berupa SOP dan MoU. Bencana (SRC PB).
Jika dilihat dari segi Undang-undang dan • Dalam rapat koordinasi terbatas tingkat
Peraturan Pemerintah belum ada kebijakan Menteri bidang Kesejahteraan Rakyat
yang mendasari SOP dan MoU tersebut. yang dipimpin oleh Menko Kesra pada
tanggal 10 November 2009 dalam
Tabel 2. Klasifikasi Tingkat Efektivitas SRC PB.
rangka 100 (seratus) hari kerja Kabinet
Kebijakan/ Tingkat Efektivitas Indonesia Bersatu II, Kepala BNPB
Legislasi Rendah Sedang Tinggi memaparkan tentang konsep SRC PB.
khusus SRC
• Berdasarkan arahan Bapak Presiden
1. Undang- V
dan Rapat Koordinasi tersebut, telah
undang
dibentuk SRC PB yang hingga saat ini
2. Peraturan V
SRC PB telah melaksanakan tugasnya
Pemerintah
dengan baik.
3. Perpres V • Untuk memperkuat keberadaan SRC
4. SOP V PB diperlukan payung hukum bagi
5. MoU V para pimpinan kementerian/lembaga/
Sumber: Peneliti, 2016. organisasi dalam rangka memudahkan
koordinasi dan untuk efektivitas
Dari tabel 2 didapatkan bahwa efektivitas pemanfaatan SRC PB, yaitu melalui
ketersediaan dan dukungan legislasi produk hukum (peraturan Presiden
mengenai SRC PB, maka nilai indeks tingkat tentang Tim Nasional SRC PB).
efektivitas rendah yaitu 0.2, dan dikategorikan Pada tanggal 12 Maret 2014 BNPB
pada level rendah sesuai dengan indeks menerima surat keputusan dari Nomor B.136/
efektivitas SRC PB. Permasalahan terhadap Seskab/III/2014/Sekretaris Kabinet yang
keberadaan SRC PB belum didukung secara menjelaskan bahwa permohonan ijin prakarsa
khusus baik Undang-undang, Peraturan peraturan presiden tentang tim nasional satuan
Pemerintah maupun Peraturan Presiden. reaksi cepat penanggulangan bencana SRC
Usulan pembuatan Peraturan Presiden khusus PB tidak dapat disetujui. Pembentukan SRC
SRC PB pada tahun 2015 tidak mendapat PB dikhawatirkan akan menimbulkan tumpang
persetujuan dari Kementerian Koordinator tindih kewenangan/pelaksanaan tugas dan
Kesejahteraan Rakyat. Selain itu sosialisasi fungsi BNPB dalam penanggulangan bencana.
serta kurang mengikatnya MoU yang dibuat Oleh sebab itu, diamanatkan jika SRC PB
mengakibatkan dukungan dari kementerian diperlukan maka keberadaannya di bawah
dan lembaga menjadi kurang. BNPB, sehingga tidak ditetapkan melalui
Pemikiran untuk penguatan SRC PB Peraturan Presiden.
sudah dilakukan oleh pimpinan BNPB yaitu MoU dan SOP memerlukan sosialisasi
dengan mengajukan Peraturan Presiden dan komitmen dari stakeholder, sehingga
mengenai SRC PB pada tanggal 24 Desember implementasinya dapat berjalan dengan efektif.
tahun 2013 melalui surat Nomor :B.1392/ Perlunya dibentuk landasan hukum yang
Ka.BNPB/Hk.10/12/2013 tentang draft khusus mengenai SRC PB, diungkapkan juga
Peraturan Presiden tentang Tim Nasional oleh responden sebagai berikut:
SRC PB yang di dalamnya berisi penjelasan “...Landasan konstitusional nya
sebagai berikut : jelas, yaitu undang-undang dasar. Undang-
• Pembentukan Tim Nasional SRC undangnya ada, pake UU Nomor 34 tahun 2004
PB tersebut adalah didasarkan pada tentang TNI itu ada namanya o.... itu bagian
arahan Presiden pada Sidang Kabinet dari OMSP, nah tinggal turunan di bawahnya
Indonesia Bersatu II tanggal 5 November dari pada undang- undang itu. (R7, B3).”
86 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 80-100
bencana periode 2010-2015 didominasi bencana organisasi dan pergerakan pada saat periode
banjir, sedangkan masyarakat terdampak lebih panic. Dukungan instansi/lembaga/organisasi
dari 50% masyarakat mengungsi, selebihnya dikategorikan pada tingkat efektivitas sedang,
korban meninggal, hilang, dan terluka. sedangkan jika dilihat dari pergerakan pada
Sehingga dari data di atas perlu pengembangan saat periode panic dikategorikan pada tingkat
pengerahan SRC PB tidak sebatas bencana efektivitas rendah. Seperti dapat dilihat dari tabel
besar saja, namun dikerahkan juga pada saat 6.
terjadi bencana menengah. Hal ini didukung Tabel 6. Hasil Checklist Indikator Ruang Lingkup
oleh pernyataan responden yang menyebutkan,” SRC PB.
SRC PB dikerahkan untuk kejadian bencana Tingkat Efektivitas
menengah dan ekstrem.” (R10.B.19) Indikator
Rendah Sedang Tinggi
Sedangkan data pengerahan SRC PB
1. Dukungan
Wilayah barat selama tahun 2010 – 2015 ke luar
Instansi/ V
negeri dan dalam negeri adalah sebagai berikut: Lembaga
Tabel 5. Pengerahan SRC PB Wilayah Barat. 2. Bergerak
pada periode V
NO TAHUN LOKASI BENCANA panik
1 2009 HAITI GEMPABUMI Sumber: Peneliti, 2016.
GEMPABUMI
2 2010 JEPANG Dari tabel 6 didapatkan bahwa nilai indeks
TSUNAMI
3 2010 PAKISTAN BANJIR
efektivitas pencapaian tujuan SRC PB yaitu 0.25,
dan dikategorikan pada level rendah sesuai
4 2010 KARAWANG BANJIR
dengan indeks efektivitas SRC PB.
5 2010 CIWIDEY LONGSOR SRC PB merupakan pasukan elite
6 2013 JAKARTA BANJIR dalam penanggulangan bencana. Namun
7 2013 ACEH GEMPA karena permasalahan personil SRC PB yang
8 2014 JAKARTA BANJIR tidak memiliki surat keputusan pengangkatan
sehingga tidak terdata dalam struktur organisasi
GUNUNG
9 2014 SINABUNG
MERAPI SRC PB. Hal ini sesuai dengan pernyataan
responden, “SRC itu merupakan tim elite
10 2014 JAKARTA BANJIR
sehingga orangnya termasuk terpilih dan harus
11 2015 JAKARTA BANJIR mendapat penghargaan, sehingga anggota SRC
KEBAKARAN merasa bangga.” (R.10.B.12).
12 2015 RIAU HUTAN DAN Kendala lainnya adalah personil SRC
LAHAN
PB masih terikat oleh instansi masing- masing
Sumber: Dokumentasi Surat Perintah Mabes TNI. sehingga akan berpengaruh terhadap jenjang
kariernya. Seperti yang diungkapkan responden,”
Selain itu SRC PB dikerahkan dalam Dalam membentuk SRC PB terkendala pada
membantu negara lain yang terkena bencana. masalah personil karena berkaitan dengan karir
Hal ini perlu review dari blueprint supaya tidak mereka.” (R10.B21). Masalah ini perlu adanya
menyalahi pedoman, karena pengerahan ini kesepakatan antara BNPB dan instansi yang
sangat penting dan perlu di lindungi oleh payung pegawainya menjadi anggota SRC PB sehingga
hukum. jenjang kariernya tetap diperhitungkan.
88 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 80-100
Tabel 9. Komposisi Personil SRC PB. 3.2.1.7. Mekanisme Pengerahan SRC PB
Tabel 10. Hasil Checklist Indikator Dukungan SRC PB. Tabel 11. Hasil Checklist Indikator Mekanisme
Pengerahan SRC PB.
Tingkat Efektivitas
Indikator
Rendah Sedang Tinggi Tingkat Efektivitas
Indikator
Rendah Sedang Tinggi
1. Peralatan/
V
perlengkapan 1. Persiapan V
2. Peralatan 2. Pengerahan
V V
Perorangan (mobilisasi)
3. Basis Lokasi V 3. Pengakhiran V
4. Depo Logistik Sumber: Peneliti, 2016.
V
Regional
Dari tabel 11 didapatkan bahwa nilai
Dari tabel 10 didapatkan bahwa nilai indeks efektivitas pencapaian tujuan SRC
indeks efektivitas pencapaian dukungan SRC PB yaitu: 0.50, dan dikategorikan pada level
PB yaitu: 0.50, dan dikategorikan pada level sedang sesuai dengan indeks efektivitas
sedang sesuai dengan indeks efektivitas SRC SRC PB. Pengerahan SRC PB baik untuk
PB. Peralatan SRC PB di gudang Halim dan penanggulangan bencana di dalam negeri
Pusdiklat PB termasuk peralatan canggih. maupun di luar negeri selalu melakukan rapat
Namun dalam pemeliharaan dan pemakaian persiapan dan koordinasi di gedung BNPB,
peralatan tersebut masih kurang, kendaraan penentuan tujuan dan penetapan personil
taktis, dan ambulans khususnya di gudang direncanakan dengan pasukan yang akan
logistik INA DRTG jarang dipanaskan dan diberangkatkan.
dipakai dalam latihan, peminjaman terkendala Untuk pengerahan karena SRC PB
birokrasi yang lama dan berbelit. tidak memiliki anggota tetap maka pengerahan
90 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 80-100
ganti dalam setiap pelatihan sehingga materi Mm direx
terkesan berulang. “...SRC PB bermanfaat 1. Peningkatan
namun belum efektif perlu adanya perampingan kapasitas
maksimal 50 orang namun orang yang benar tingkat seksi
- benar terlatih dan profesional anggota bisa 2. Peningkatan
4 2014 Padang
kapasitas
dari TNI bisa juga dikontrak selama 2 tahun tingkat bidang
dan anggota tetap sehingga dalam melatih ada 3. Peningkatan
keberlanjutan, tidak seperti sekarang latihan kapasitas
terus itu saja tanpa ada kenaikan kelas, kita tingkat satuan
rugi dan kurang efisien kita perlu prajurit walau 1. Peningkatan
sedikit tetapi sekali tembak kena sasaran.” kapasitas
(R10,B 9). tingkat seksi
2. Peningkatan
Tabel 14. Peningkatan Kapasitas SRC PB Tingkat 5 2015 Bogor kapasitas
Internasional. tingkat bidang
NO. TAHUN LOKASI KEGIATAN 3. Peningkatan
DISASTER kapasitas
1 2010 HAWAII MANEGEMENT tingkat satuan
EXCHANGE
Sumber : Surat Perintah BNPB dan Mabes TNI
MEDICAL Didukung Laporan Penyelenggaraan
2 2012 CHINA
RESPONSE TEAM Peningkatan Kapasitas SRC PB oleh
3 2013 VIETNAM ARDEX Pusdiklat PB (setelah diolah kembali)
Sumber: Surat Perintah BNPB dan Mabes TNI (setelah Pembiayaan SRC PB seluruhnya
diolah kembali). berasal dari anggaran BNPB. Pembiayaan
yang ditanggung BNPB diantaranya untuk
Kegiatan peningkatan secara berkala pengerahan, peningkatan kapasitas, dan
dilaksanakan setiap tahun terlihat dalam tabel operasional termasuk pasukan siaga bencana
di bawah ini. Namun pelaksanaan tersebut (stand by force). Efektivitas pembiayaan
masih kurang dari target pelaksanaan yang di terlihat dalam checklist sebagai berikut:
rencanakan dalam blueprint. Semua kegiatan
dilaksanakan hanya satu kali per tingkat latihan. Tabel 16. Hasil Checklist Indikator Pembiayaan
SRC PB.
Tabel 15. Peningkatan kapasitas SRC PB.
Tingkat Efektivitas
NO. TAHUN LOKASI KEGIATAN Indikator
Rendah Sedang Tinggi
Ciracas
1 2011 Urban SAR 1. Pembiayaan
Jaktim V
Pengerahan
2 2012 Kalibata Gelar pasukan
2. Pembiayaan
Pondok Peningkatan V
Gelar pasukan
cabe kapasitas
1. Peningkatan 3. Pembiayaan
kapasitas Operasional
tingkat seksi V
(Stand by
2. Peningkatan force)
3 2013 Bogor kapasitas
tingkat bidang Sumber: Peneliti, 2016.
3. Peningkatan
kapasitas Hasil checklist 0.66 adalah kategori
tingkat satuan tinggi ada sebagian aktivitas SRC PB ter
Tingkat Efektivitas
Rendahnya tingkat efektivitas SRC PB
Indikator dikarenakan adanya hambatan dan tantangan.
Rendah Sedang Tinggi
Hasil checklist, wawancara dari responden
1. Koordinasi penelitian dan hasil observasi peneliti hambatan
V
dengan BNPB
dan tantangan tersebut terlihat dalam tabel
2. Koordinasi berikut:
dengan Lintas V
sector Tabel 18. Rekapitulasi Checklist Per Indikator.
3. Koordinasi
V NO. INDIKATOR NILAI KATEGORI
TNI/Polri)
1. Kebijakan/legislasi 0.2 Rendah
Sumber: Peneliti, 2016.
2. Tujuan 0.083 Rendah
Dari data di atas dapat disimpulkan 3. Ruang Lingkup 0.025 Rendah
bahwa koordinasi SRC PB baik internal BNPB, 4. Kelembagaan 0.025 Rendah
lintas sektor, dan koordinasi dengan TNI/Polri 5. Keanggotaan 0.167 Rendah
adalah : 0.33 dan masuk kategori rendah. Hasil 6. Dukungan 0.5 Sedang
ini didukung dengan hasil wawancara
Mekanisme
mendalam kepada responden. “... yang 7. 0.5 Sedang
Pengerahan
sekarang menjadi kendala itu dukungan dari
Keterlibatan
kementerian dan lembaga seperti kurang jelas 8. 0.5 Sedang
instansi
gitu perannya, mereka itu sering tidak ada,
92 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 80-100
9. Pembinaan 0.5 Sedang
TNI/ Polri, Kementerian/Lembaga,
Organisasi Nasional dan Internasional.
10. Pembiayaan 0.66 Tinggi
13. Tidak adanya Surat Keputusan dan
11. Koordinasi
0.33 Rendah penetapan personil yang mengikat
Sumber: Peneliti, 2016. mengakibatkan kurang dukungan dari
Kementerian/Lembaga maupun TNI/
Dari tabel di atas dapat diambil Polri
beberapa permasalahan yang menjadi faktor 14. Tidak jelasnya personil mempengaruhi
penghambat efektivitas satuan reaksi cepat struktur organisasi dan sekaligus akan
penanggulangan bencana di Indonesia mengganggu pembagian rincian tugas
diantaranya: dan fungsi masing-masing bagian.
1. Tidak ada aturan khusus yang jelas 15. Kurang tepat sasaran peningkatan
dan kuat mengenai SRC PB sebagai kapasitas personil SRC PB.
payung hukum. 16. Hambatan birokrasi dalam penggunaan
2. Kurang sosialisasi mengenai kebijakan peralatan latihan.
dan program SRC PB terhadap 17. Belum terealisasi dua belas titik depo
stakeholders. logistik untuk mempermudah jangkauan
3. Belum terjadinya bencana bantuan ke tempat terdampak.
besar, dan tidak adanya standar 18. Masih adanya ego sektoral, sehingga
penentuan tingkatan status bencana pengerahan penanggulangan bencana
mengakibatkan SRC PB tidak memiliki didasarkan pada kepentingan politis.
dasar untuk dikerahkan. Berdasarkan analisis tersebut maka
4. Anggota SRC PB tidak terikat karena peneliti melihat bahwa ada satu faktor
tidak ada surat keputusan dari BNPB penghambat yang mempengaruhi yang
By name by Address serta tidak ada lainnya (penghambat bersifat sistemis).
persetujuan atau surat keputusan Sehingga jika penghambat tersebut
dari instansi asalnya mengakibatkan diperbaiki maka akan menjadi pengungkit
personil tidak jelas kedudukannya. dan memperbaiki indikator lainnya. Faktor
5. Tidak terjadi periode panik penghambat yang bersifat sistemis tersebut
membuat SRC PB tidak teruji dalam adalah kurang jelasnya payung hukum SRC
melaksanakan TUPOKSI dalam PB yang dapat memperkuat implementasi
periode tersebut. blueprint dan SOP, ataupun petunjuk teknis
6. Struktur Organisasi SRC PB tidak jelas. turunan lainnya. Dimulai dari payung hukum
7. Tidak ada Vocal Point yang bisa yang jelas, dipahami, dipedomani oleh
menjembatani kedeputian di BNPB, stakeholders maka program apapun yang
Pusdiklat PB, SRC PB, serta dijalankan akan terlindungi dan pelaku
Kementerian/Lembaga. merasa tenang dalam melaksanakan
8. Tidak ada tempat (Markas untuk kegiatan.
berkoordinasi dan konsolidasi)
9. Belum ada aturan teknis mengenai SRC 3.2.3. Strategi Meningkatkan Efektivitas
PB yang lebih mengikat stakeholder SRC PB
dari instansi lain danTNI/Polri.
10. Realisasi komposisi tidak terpenuhi, 3.2.3.1. Penguatan Legislasi dan
Pasukan Standby Force tidak jalan, turunannya serta sosialisasi
dan Mekanisme perekrutan tidak jelas.
11. Basecamp tidak berfungsi karena Dukungan dalam penanggulangan
kurang dukungan anggaran bencana sebenarnya telah terbersit kuat
12. Masih kurang koordinasi baik di dengan Undang-Undang No. 24 tahun 2007
tingkat internal BNPB, maupun BNPB, tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan
94 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 80-100
3.2.3.7. Birokrasi sekaligus menjadi dasar pengelolaan SRC PB
selanjutnya.
Mengurangi hambatan yang Anggota SRC PB yang tidak tetap akibat
berhubungan dengan lambatnya pelayanan dari SRC PB sebagai organisasi ad Hoc secara
karena birokrasi yang terlalu panjang. tidak langsung mengakibatkan tidak berjalannya
beberapa program, salah satunya peningkatan
3.2.3.8. Monitoring dan Evaluasi Melekat kapasitas yang seharusnya bertahap berjenjang
dan berlanjut terkendala dengan peserta
Melakukan monitoring dan evaluasi yang berganti-ganti sehingga kurikulum terus
secara melekat dalam setiap aktivitas sehingga berulang tanpa peningkatan. Jumlah peserta
akan cepat beradaptasi dan memperbaiki yang terdaftar dengan jumlah pengerahan
kesalahan, atau bisa dengan membentuk tidak sebanding karena eskalasi bencana yang
tim quality control khusus SRC PB. SRC PB masih bisa dikendalikan pemerintah daerah.
diharapkan dapat cepat beradaptasi dan Dengan minimnya pengerahan sebagian
berinovasi terhadap kebutuhan yang cepat. masyarakat menganggap SRC PB tidak efektif
Dari beberapa strategi di atas maka dan efisien. Sehingga perlu kaji ulang program
strategi yang paling direkomendasikan dan dialihkan ke peningkatan kapasitas TRC
untuk memecahkan masalah serta dapat daerah agar memiliki kemampuan tingkat
menjadi “pengungkit” atau secara tidak nasional.
langsung pemecah masalah pokok yang bisa Pengerahan SRC PB pada banjir Jakarta
memecahkan masalah lainnya. Berdasarkan dan kebakaran hutan di Provinsi Riau dalam
hasil analisis maka penulis merekomendasikan blueprint sebenarnya tidak sesuai, namun
untuk memperbaiki dan menyempurnakan tuntutan penanggulangan bencana yang
kebijakan/legislasi. Kebijakan/legislasi yang memerlukan fleksibilitas tinggi mengharuskan
kuat akan menjadi landasan pencapaian tujuan, SRC PB untuk menangani bencana tersebut.
modal dasar untuk membuat program, dan Pengerahan yang seharusnya ada permintaan
memperjelas arus pengeluaran anggaran yang dari pemerintah DKI Jakarta tidak dilakukan,
akan dipakai. Kebijakan/legislasi harus dibuat namun SRC PB langsung dikerahkan sebagai
sampai aturan teknis dan memiliki kekuatan pendampingan dan membantu mengelola
yang mengikat kementerian/lembaga dan TNI/ bantuan logistik. Pengerahan di Provinsi
polri. Riau berjalan lebih dari satu bulan, SRC PB
seharusnya dikerahkan pada periode panik
3.2.4. Pembahasan pada saat pemerintah lumpuh, namun dengan
alasan politis dan dampak yang luas sampai
Efektivitas SRC PB setelah di ukur ke negara tetangga maka SRC PB dikerahkan
dengan indeks dengan indikator diambil dalam jangka waktu yang lama.
blueprint berada pada kategori sedang. Tuntutan penanggulangan bencana
Indikator yang diambil jika dikaitkan dengan yang semakin berkembang, menuntut
teori Richard M. Steers maka indikator tersebut pengembangan tujuan, dan ruang lingkup
menjadi bagian faktor yang mempengaruhi dari SRC PB. Selain itu pengiriman pasukan
efektivitas organisasi. Faktor tersebut yaitu: SRC PB keluar negeri untuk kemanusiaan
ciri organisasi, ciri lingkungan, ciri pekerja, dan maupun latihan bersama belum dimasukan
kebijakan serta praktik manajemen. dalam blueprint. Dari kasus tersebut perlu
Untuk meningkatkan efektivitas SRC PB dilakukan kaji ulang blueprint untuk melindungi
memerlukan perhatian seluruh stakeholders pengerahan personil supaya tidak menyalahi
yang terlibat. Langkah strategis yang harus di aturan yang berlaku.
ambil pertama kali adalah membuat peraturan Struktur organisasi SRC PB akan
khusus mengenai SRC PB. Peraturan ini tergantung pada jumlah anggota yang
sangat penting untuk memberikan pedoman ditetapkan. Pengisian struktur dan pembagian
96 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 80-100
satuan, pendidikan dan pelatihan yang salah Kementerian Lembaga
sasaran. • Lebih terlibat aktif dan dukungan penuh
Sehingga perlu strategi yang tepat terhadap personil yang terpilih menjadi
untuk meluruskan hal tersebut diantaranya anggota SRC PB.
penguatan legislasi dan turunannya serta • Siap menjadi pendukung baik sumber
melakukan sosialisasi, penetapan personil, daya manusia, logistik dan peralatan
menentukan Vocal Point dari BNPB, pendidikan jika terjadi bencana yang berdampak
dan pelatihan yang berdasarkan pada analisis luas.
kebutuhan, Review Pedoman baik blue print • Mengirimkan anggota SRC PB terpilih,
atau SOP, aktivasi basecamp, mengurangi selain menjadi anggota SRC PB
lambatnya birokrasi, melakukan monitoring dan tetapi menjadi penghubung antara
evaluasi melekat. SRC PB, BNPB, dan instansi masing-
masing sehingga ketika memerlukan
4.2. Saran pengerahan yang memerlukan personil
tambahan dan peralatan serta logistik
Dari hasil temuan penelitian diatas, yang ada di instansinya bisa lebih cepat.
maka peneliti memberikan saran kepada Pemerintah Daerah dan BPBD
instansi yang terlibat dalam SRC PB untuk • Mengenal dan mengetahui tugas
meningkatkan efektivitas SRC PB sebagai pokok dan fungsi SRC PB, sehingga
berikut : memberikan ruang lingkup yang luas
BNPB kepada SRC PB dalam memberikan
• Membuat payung hukum berupa bantuan, pada akhirnya akan tercapai
Peraturan Kepala BNPB tentang SRC harmonisasi dalam penanggulangan
PB, melakukan Sosialisasi dan meminta bencana yang efektif di daerah.
dukungan secara nyata dari stakeholder
yang terlibat. Saran penelitian selanjutnya
• Review Pedoman (blueprint) dan SOP Dengan memperhatikan pembahasan
serta turunan teknis lainnya serta kesimpulan dan keterbatasan penelitian, maka
sesuaikan dengan kebutuhan yang saran yang diberikan untuk penelitian lanjutan
semakin berkembang. adalah :
• Menunjuk Vocal Point untuk • Studi kasus pengerahan SRC PB dalam
meningkatkan koordinasi baik internal penanganan darurat bencana di daerah
BNPB maupun dengan instansi terkait. • Efektivitas TRC PB di daerah
• Aktivasi Basecamp dan realisasi dua • Analisis Kolaborasi Sipil –militer dalam
belas depo logistik. penanggulangan bencana di Indonesia
• Melakukan monitoring dan Evaluasi yang • Analisis perbedaan budaya sipil dan
melekat. militer dalam darurat bencana.
SRC PB
• Merampingkan struktur agar mudah DAFTAR PUSTAKA
berkoordinasi dan evaluasi.
• Menentukan personil yang memiliki BUKU
keahlian dan kemampuan sebagai
penghubung terhadap kementerian/ Arikunto, Suharsimi dan Safruddin, Cepi.
tempat mereka bekerja. (2008). Penilaian, Evaluasi Program
• Meningkatkan koordinasi internal dan Pendidikan. Jakarta. Bumi Aksara
eksternal. ASEAN. (2013). ASEAN Agreement on Disaster
• Menggunakan teknologi dan media Management and Emergency Response.
sosial untuk mempercepat koordinasi ASEAN 9th Reprint. Jakarta. ASEAN
dan laju informasi. Secretariat.
98 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 80-100
Chung-Fah Huang • Jieh-Jiuh Wang • Andri Joko. (2006). Analisis Efektivitas
Tai-Jun Lin. (2010). Resource Organisasi Dinas Perikanan dan
sufficiency, organizational cohesion, Kelautan Kabupaten Batang, Tesis,
and organizational effectiveness Semarang: Program Pascasarjana
of emergency response. Springer Universitas Diponegoro.
Science+Business Media B.V. 2010.
Nat Hazards (2011) 58:221–234 DOI PERATURAN DAN PERUNDANG
10.1007/s11069-010-9662-y. UNDANGAN
Gunawan, (2013). Studi Kebijakan
Penanggulangan Bencana Alam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24
Berbasis Masyarakat: (Studi Kasus Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Kampung Siaga Bencana Dalam Bencana. Jakarta. BNPB
Mengurangi Risiko Bencana Alam Di Undang-undang Republik Indonesia No. 3
Kota Padang Sumatera Barat dan Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Kabupaten Sleman D.I.Jogyakarta). Jakarta. Departemen Pertahanan RI
Jakarta. P3KS Press. Undang- undang Republik Indonesia nomor
Nugroho, Sundoro Agung. (2012). Analisis 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Kerjasama Sipil- Militer dalam Bantuan Indonesia. Jakarta. Departemen
Kemanusiaan di Indonesia Studi Kasus Pertahanan RI.
Masa Tanggap Darurat Penanggulangan
Bencana Alam Letusan Gunung Merapi DOKUMEN LAIN
2010. Jurnal Pertahanan Mei 2012,
Volume 2, Nomor 2 155 ASEAN. (2011). Standard Operating Procedure
Prasetia, Ade. (2013). Analisis Peran TNI for Regional Standby Arrangements and
Angkatan Laut Pada Mobilisasi Sumber Coordination of Joint Disaster Relief
daya dalam Tanggap Darurat Bencana and Emergency Response Operation.
(Study Kasus Tsunami Mentawai 2013). Section I-V at the 11th ASEAN Committee
Jakarta. Universitas Pertahanan. Disaster Management Meeting. Jakarta.
ASEAN Secretariat.
DISERTASI, TESIS, DAN SKRIPSI Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
(2009). Standar Prosedur Operasi
Paolin, E Thomas.(1996) Tesis Regional Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan
Emergency Response Teams (Case Bencana. Jakarta. BNPB
Studies in Hampton Road. Virginia). Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
USA (2014). Gema BNPB Vol 5, 2 September
Neil, Joyce.(2006). Tesis Civilian – Military in 2014. Jakarta. BNPB
Emergency Response in Indonesia / Commonwealth of Australia. (2003). Hazard,
2006). Virginia. USA Disaster, And Your Community,
Hadisuryo, Danang.(2012). Pengintegrasian Sixth Edition. Victoria. Emergency
Kebijakan ARB dan AMDAL untuk Management Australia.
Pembangunan Berisiko Tinggi Kesepakatan Bersama antara Kementerian
Hubungannya terhadap Keamanan Pertahanan RI, Markas Besar Tentara
Nasional. Jakarta. Tesis Universitas Nasional Indonesia, dengan Badan
Pertahanan Indonesia. Nasional Penanggulangan Bencana,
Puspitasari, Gani. (2015). Tesis Implementasi Nomor: MoU/01/M/I/2011, Nomor :
Sistem Komando Tanggap Darurat MoU : Kerma/1/I/2011, Nomor: MoU.1/
Bencana Erupsi Gunung Kelud di BNPB/I/2011 Tentang Kerjasama dalam
Kabupaten Malang tahun 2014. Jakarta. Penanggulangan Bencana. Jakarta.
Universitas Pertahanan Purnomo, BNPB
100 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 8, No. 1 Tahun 2017 Hal. 80-100
FORMAT PENULISAN
UNTUK JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA
Judul
(UPPERCASE, CENTER, BOLD FONT ARIAL 12)
Nama Lengkap Penulis
} Huruf dll lay
out hal berikut
Abstract : Tuliskan tujuan dari kesimpulan artikel anda secara jelas dan singkat; dalam BAHASA
INGGRIS maksimal 250 kata. Abstrak ditulis 4 cm dari sisi kiri dan sisi kanan dengan sentence,
Justify, Italic, Font Arial 10.
Keywords : bahasa Inggris paling banyak 10 kata (Sentence case, Justify, Italic, Arial 10).
2.2 Sampling dan analisis sampel; yang Tabel dan Gambar dapat disisipkan di
menjelaskan bagaimana mengambil sampel tengah-tengah artikel. Contoh :
dan dianalisis di mana dengan metode apa.
Tabel 1. Judul Tabel (Capital Each Word,
2.3 ............... (jika perlu) regular, ditulis di atas tabel).
Gambar 1. Judul Gambar (Capital Each DAFTAR PUSTAKA
Word, regular, ditulis di bawah Berisi referensi yang diacu yang dalam artikel
gambar). ditulis dengan superscript dan ditulis dengan cara
berikut:
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Penulis bisa membagi 2 sub bab: 4.1 1. Author, tahun Judul paper, jurnal/prosidang/
kesimpulan yang berisi kesimpulan pada buku, Vol (no), hal/jumlah hal. (perhatikan
pembahasan dan 4.2. Saran diberikan jika cara menaruh singkatan nama sebagai
ada hasil penelitian yang perlu ditindak author ke-1: Garno, Y.S. dan nama ke-2:
lanjuti. Y.S. Garno).
UCAPAN TERIMAKASIH
Berisikan ucapan terima kasih penulis pada pihak
yang membantu (kalau perlu saja).
LAYOUT PENULISAN
18.5 cm
1.5 cm
2 cm
2.5 cm
Footer 1.5 cm
Diterbitkan oleh:
Pusat Data Informasi dan Humas
BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA
Graha BNPB Jl. Pramuka Kav. 38 Jakarta Timur 13120