You are on page 1of 18

MAKALAH

( KONSEP AKAD )

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih muamalah

Dosen : Fathor Rahman, S.H.I.,M.Sy.

Kelompok 1 :
Lutfiatul Uyun (222102020028)

M. Vito Royhan Huda (224102020029)

M. Yazid Maulana Ishaq (222102020030)

FAKULTAS SYARI’AH
PRODI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH. AHMAD SIDDIQ JEMBER
TAHUN PELAJARAN 2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha kuasa atas segala limpahan rahmat, taufik dan
hidayahnya, serta tak lupa sholawat serta salam semoga tetap mengalir pada junjungan kita Nabi
besar Muhammad Saw. atas petunjuk risalahnya yang telah membawa umatnya dari zaman
kegelapan menuju ke zaman terang benderang, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
tugas makalah ini dalam bentuk maupun isi nya yang sangat sederhana.

Pada makalah “KONSEP AKAD” yang membahas tentang “FIQIH MUAMALAH”.


Kami sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna oleh karna itu kami sangat
menghargai kritik dan saran dari para pembaca untuk perbaikan makalah ini. Agar dapat memberi
banyak manfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi kami sendiri. Dalam penyusunan tugas
makalah ini, kami ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah banyak
membantu dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagaimana
semestinya.

Jember, 11 September 2023

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................4


1.3......................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................5
2.1 Pengertian Akad..............................................................................................................5

2.2........................................................................................................................Rukun Akad....5

2.3 Syarat-syarat Akad..........................................................................................................7

2.4 Macam-macam Akad......................................................................................................8

2.5 Berakhirnya Akad...........................................................................................................15

BAB III PENUTUP.................................................................................................................17


3.1 Kesimpulan ....................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jual beli merupakan suatu kegiatan muamalah yang melekat pada kehidupan masyarakat dari
zaman dahulu hingga sampai sekarang. Kegiatan jual beli atau perdagangan sangatlah erat
hubungannya dengan aktivivitas- aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jual beli
secara bahasa artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling menganti.
Adapun bat menurut istilah Syekh Al Qalyubi dalam Hasyiyah-nya bahwa "akad saling mengganti
dengan harta yang berakibat kepada kepemilikan terhadap satu benda atau manfaat untuk tempo
waktu selamanya dan bukan untuk bertaqarub kepada Allah". Dengan kata lain "saling
mengganti"1. Dalam kehidupan manusia mempunyai bermacam-macam kebutuhan yaitu kebutuh
primer, kebutuhan sekunder dan kebutuhantresier. Adapun kebutuhan primer adalah kebutuhan
yang harus dipenuhi untuk bertahan hidup sebab bila tidak terpenuhi manusia akan kesulitan dalam
bertahan hidup seperti halnya kebutuhan akan pakaian.

Jual beli menjadi kegiatan rutin yang dilakukan setiap waktu oleh semua manusia. Akan tetapi
jual beli yang benar menurut hukum Islam belum tentu semua muslim melaksanakannya, bahkan
ada yang tidak tahu sama sekali tentang ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh hukum Islam
dalam hal jual tidak jelas, sepertimengandung unsur paksaan, tipuan, mudarat, serta adanya syarat-
syarat lain yang membuat jual beli itu rusakdalam rukun dan syarat jual beli sesuai dengan syar'i

1.2 Rumusan Masalah


a. Dapat memahami pengertian Akad?
b. Dapat memahami rukun Akad?
c. Dapat mengetahui Syarat-syarat Akad?
d. Dapat memahami Macam-macam Akad?

1
Juanda, Fiqih Muamalah Prinsip-prinsip bermualamah secara syar’i (Jawa Tengah: Desa Pustaka Indonesia, 2016),
74.
4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Akad

Akad secara bahasa ialah sambungan, janji, dan mengikat. Dan menurut pendapat wahbah
al-zuhaily akad ialah ikatan antara dua perkara, ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi
dari satu segi maupun dua segi. Dengan kata lain akad adalah suatu perikatan yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih berdasarkan ijab dan qabul dengan adanya ketentuan syar’i. Tidak semua
perikatan atau perjanjian dapat disebut sebagai akad, karena akad itu sendiri memiliki beberapa
syarat yang harus di penuhi seperti dan beberapa ketentuan syari’at islam.
Dan akad secara istilah ulama fiqih, akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu secara umum
dan secara khusus.
1. Pengertian Umum
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad
dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi'iyah, malikiyah, dan hanafilah, yaitu : “Segala
sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak,
pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti
jual beli, perwakilan, dan gadai.”
2. Pengertian Khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqih, antara lain:

‫إرباط ايجاب بقبول على وجه مشروع يظهر أثره فى محله‬

Artinya: “Perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang
berdampak pada objeknya.”2

Dengan demikian, ijab-qobul merupakan suatu perbuatan atau pernyataan untuk menujukan
sesuatu keridoan dalam berakad diantara dua orang atau lebih untuk terhidar dari suatu ikatan yang
tidak sesuai berdasarkan syara'.

Contohnya ijab dari pernyataan seorang penjual seperti :


"Saya telah menjual barang ini kepadamu" atau "saya serahkan barang ini kepadamu,"

2
Rahmat Syafi’i: fiqh muamalah, 2004, hal 43-44
5
Contohnya qobul dari pernyataan seorang pembeli seperti:
"Saya beli barangmu." Atau Saya terima barangmu,"

2.2 Rukun Akad

Rukun adalah sesuatu yang ada didalam akad dan memengaruhi sah tidaknya akad. Menurut
jumhur ulama’ selain Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun yaitu:
1. Akid (orang yang berakad)
Akid adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi, atau orang yang memiliki hak
dan yang akan diberi hak. Misalnya, akid dalam jual beli adalah penjual dan pembeli.
Dalam fiqh, ulama memberikan dua syarat akid. Yang pertama ahliyyah, yaitu kompetensi
orang sehingga ia bisa dianggap cakap melakukan transaksi. Dalam fiqh, ahliyyah ini
adalah seorang mukallaf atau mumayyis, dan berakal. Dengan demikian, transaksi anak
kecil, orang gila, tidak sah karena tidak memiliki ahliyyah.
Selain ahliyyah, agid hanes disyaratkan memiliki wilayah, Wilayah adalah hak dan
kewenangan seseorang yang menda- patkan legalitas syar'i untuk melakukan transaksi atas
suatu objek tertentu. Artinya, orang yang melakukan transaksi adalah pemilik asli, wali
atau wakil atas suatu objek transaksi sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk
melakukan transaksi.

2. ma'qul Alaihi (sesuatu yang diakadkan) baik berupa harga atau yang dihargakan.
Ada beberapa syarat barang yang di- akadkan, yaitu: harus ada ketika akad
dilakukan, harus berupa mal mutagain, harus dimiliki penuh pemiliknya, bias diserahteri
makan, dan berupa barang yang suci (tidak najis). Jika persyaratan ini tidak dipenuhi, maka
jual beli menjadi tidak sah.

3. Ijab Qabul.
Ijab qabul adalah ungkapan yang menun- jukkan kerelaan atau kesepakatan dua
pihak yang melakukan kontrak atau akad. Menurut ulama figh, ada beberapa syarat ijab
qabul yaitu: adanya kejelasan maksud dari kedua belah pihak, ada-nya kesesuaian antara
ijab dan qabul, berurutan, adanya satu majlis dan tidak ada penolakan.
Ijab qabul dinyatakan batal jika penjual menarik kembali uca- pannya sebelum ada
qabul pembeli, adanya penolakan, berakhir- nya majlis akad dan salah satu atau kedua
pihak hilang ahliyah- nya, barang yang ditransaksikan rusak sebelum ada kesepakatan.3
3
Prof.Dr. M. Noor harisudin M.Pd.I , fiqh muamalah, IAIN Jember Press ,Jember,2015,hal. 20-21
6
2.3 Syarat-syarat Akad

Didalam syarat-syarat akad Ada beberapa macam syarat akad, yaitu syarat terjadinya akad,
syarat Sah, syarat memberikan, dan syarat keharusan (lujum).

1. Syarat Terjadinya Akad


Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad
secara syara'. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad menjadi batal. Syarat ini terbagi
menjadi dua bagian:
a. Umum, yakni syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad.
Para ulama’ fiqih menetapkan beberapa syarat umum yang harus dipenuhi dalam
melakukan suatu akad, Berikut beberapa syarat dalam akad:
- Pihak-pihak yang melakukan akad itu telah cakap bertindak hukum.
- Obyek akad itu diakui oleh syara’.
- Akad itu bermatfaat.
- Pernyataan ijab tetap utuh dan sahih.
- Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis.4
b. Khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad, dan tidak disyaratkan
pada bagian bagian lainnya.

2. Syarat Sah Akad


Syarat syah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara' untuk menjamin
dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut rusak.
Ada kekhususan syarat sah akan pada setiap akad. Ulama Hanafiyah mensyaratan
terhindamya seseorang dari enam kecacatan dalam jual beli, yaitu kebodohan, paksaan,
pembatasan waktu, perkiraan, ada ungsur kemadaratan, dan syarat-syarat jual beli rusak
(fasid).

3. Syarat Pelaksanaan Akad


Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan kekuasaan.
Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas
dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara'. Adapun kekuasaan adalah
kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketetapan syara', baik secara asli,
yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai pengantian (menjadi wakil seseorang).

4
Dr. H Nasrun Haroen, MA , fiqh muamalah, gaya media pratama, jakarta hal. 101
7
Dalam hal ini, disyaratkan antara lain:
a. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika dijadikan,
maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli.
b. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain.

4. Syarat Kepastian Hukum (Luzum)


Dasar dalam akad adalah kepastian. Di antara syarat uzum dalam jual-beli adalah
terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dal lain- lain.
Jika luzum tampak, maka akad batal atau dikembalikan.

2.4 Macam-Macam Akad Dalam Prespektif Fiqih Mu’amalah

Accounting and Auditing Organization for Islamic Institutions (AAOIFI) ditetapkan 14 sukuk
yang dapat diterbitkan sesuai dengan standard syariah.Sukuk yang sesuai dengan standar AAOIFI
adalah Sukuk Mudhârabah, Sukuk Musyârakah, Sukuk Ijârah, Sukuk Murâbahah, Sukuk Salam,
dan Sukuk Istishnâ. Selain enam akad tersebut, terdapat dua akad penerbitan sukuk yang
dipraktikkan pada penerbitan sukuk di Malaysia, yakni akad bay al-inah dan akad bay al-dayn.
Penjelasan kedelapan akad tersebut ditinjau dari perspektif fikih sebagai berikut

1. Akad Murâbahah
Murâbahah berasal dari kata ribh, yang berarti perolehan, keuntungan, atau
tambahan. Pelaksanaan jual beli dengan akad murâbahah, penjual harus mengungkapkan
biayanya pada saat akad terjadi serta penetapan marjin keuntungan yang disetujui. Bay’ al-
Murâbahah adalah menjual barang dengan harga yang ditetapkan di pasaran dengan
tambahan keuntungan yang diketahui. Jual beli murâbahah dipraktikkan pada zaman
sebelum Islam yang terdapat dalam al-Muwatta’ kitab pertama Imam Mâlik yang mencatat
berbagai hadis Nabi Muhammad Saw. Menurut Imam Mâlik, murâbahah dilakukan dan
diselesaikan dengan pertukaran barang dengan harga, termasuk marjin keuntungan yang
telah disetujui Bersama pada saatitu dan pada tempat itu.
Al-Marghinani, fukaha Hanâfi, mendefinisikan murâbahah sebagai penjualan barang
apa pun pada harga pembelian yang ditambah dengan jumlah yang tetap sebagai
keuntungan. Berdasarkan beberapa definisi, maka akad murâbahah merupakan akad jual
beli yang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Akadnya menjadi
sah apabila pembeli mengetahui harga awal, biaya tambahan jika ada, dan jumlah
keuntungannya.

8
Oleh sebab itu, murâbahah adalah kontrak yang berdasarkan kepercayaan atau
kontrak buyu’ al-amânah. Dinamakan jual-beli amanah, karena ia bergantung kepada
kepercayaan penjual kepada harga barang yang dijual di pasar yang diberitahu oleh
pembeli.
Contoh : Dalam kontrak jual beli bay’ bithamanajil, jika harga naik, pembeli mendapatkan
keuntungan karena membeli barang tersebut berbasiskan pembayaran ditunda dengan harga
yang lebih murah, jika harga turun, penjual mendapatkan keuntungan karena berhasil
menjual barang yang dibelinya dengan berbasiskan pembayaran tangguh dengan harga
yang lebih tinggi. Jadi dalam kontrak bay’ bithamanajil, sesuai dengan konsep al-ghunmbil
al-ghurm, yakni keuntungan beriringan dengan risiko. Dengan syarat jual-beli harus
diselesaikan pada satu harga sehingga kewajiban diketahui oleh semua pihak.
2. Akad Istishnâ’
Secara bahasa Istisnâ’ berasal dari akar kata sana’a (‫ ) صنع‬ditambah alif, sin, dan ta’
menjadi istisnâ’ (‫ناع‬ii‫ ) استص‬yang dapat diartikan talab alsun’ah (‫نعةطلب‬ii‫( الص‬meminta
dibuatkan barang atau “meminta untuk dibuatkan sesuatu”18 Pengertian istisnâ’ menurut
istilah, di definisikan sebagai akad meminta seseorang untuk membuat sebuah barang
tertentu dalam bentuk tertentu. Pengertian istisnâ’ merupakan akad yang dilakukan dengan
seseorang untuk membuat barang tertentu dalam tanggungan dan akad tersebut merupakan
akad membeli sesuatu yang akan dibuat oleh seseorang. Menurut ahli fikih, pengertian
istisnâ’ adalah suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang tertentu
Menurut cara tertentu yang materinya (bahan bakunya) dari pihak pembuat
(tukang). Menurut jumhur ulama, hokum transaksi istisnâ’ hukumnya boleh, begitu pula
pendapat ahli fikih Hanâfiyah, jual beli istisnâ’ di perbolehkan karena telah lama men jadi
kebiasaan (‘urf) yang mengandung unsure kebaikan (istihsân). Jadi hikmah dibolehkannya
jual beli istisnâ’ karena keberadaannya telah menjadi keperluan manusia.
3. Akad Salam
Akad salam disyaratkan berdasarkan dalil dari Alquran, sunnah dan ijma ulama.
Akad salam atau salaf adalah penjualan sesuatu di masa yang akan dating dengan imbalan
sesuatu yang sekarang, atau menjual sesuatu yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan.
Para ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah mendefinisikan akad salam sebagai akad atas
sesuatu yang disebutkan dalam sifatnya dalam perjanjian dengan penyerahan tempo dengan
imbalan harga yang diserahkan dalam majelis akad. Pengertian salaf atau istalafa sama
dengan iqtarada yang artinya “berutang”. Menurut istilah, mazhab Hanâfi mendefinisikan
salam sebagai jual beli tempo dengan tunai. Menurut Mazhab Maliki, salam adalah akad
jual beli dimana modal (harga) dibayar di muka, sedangkan barang diserahkan di belakang.

9
Jadi salam adalah salah satu bentuk jual beli di mana uang harga barang dibayarkan secara
tunai, sedangkan barang yang dibeli belum ada, hanya sifat-sifat, jenis, dan ukurannya
sudah disebutkan pada waktu perjanjian dibuat.
4. Akad Bay al-Inah
Kata ‘al-‘inah” berasal dari bahasa Arab yang berarti “tunai” atau “segera”. Tetapi,
yang dimaksud dengan bay-‘inah adalah menjual harta dengan bayaran angsuran, kemudian
segera membelinya kembali dengan bayaran tunai. Menurut al-Bahuty, bay’ al-‘inah adalah
penjualan barang kepada seseorang dengan harga kredit dan barang diserahkan kepada
pembeli, kemudian dibeli kembali oleh penjual sebelum mengambil bayarannya dengan
uang tunai lebih kecil dari harga asalnya.
Menurut al-Jauhari kata “inah” bermakna pinjaman dan utang. Dia mengatakan bahwa
‘inah’ adalah jika ada seorang pedagang menjual barang secara kredit, kemudian dia
membelinya kembali dengan harga yang lebih rendah. Jual beli secara ‘inah berarti
seseorang menjual barang kepada orang lain dengan pembayaran diangsur, lalu barang itu
diserahkan kepada pembeli, kemudian penjual itu, membeli kembali barangnya
sebelumuangnya lunas dengan harga lebih rendah dari harga pertama.
Pendapat ulama berbeda tentang bay’ al-‘inah, Abû Hanîfah mengatakan hukumnya
fâsid, sedangkan Imam Mâlik dan Hambali mengatakan akadnya batal. Abû Yûsuf
berpendapat bahwa bay’ al-‘inah hukumnya makruh, sedangkan pandangan para sahabat
seperti Aisyah dan Ibn Abbas dan dari tabi’in Ibn Sirin, al-Sha’bi dan pandangan jumhur
ulama hukum bay’ al- ‘inah haram. Mayoritas ulama fikih selain Imam Syâfi’i menyatakan
bahwa jual beli ini adalah rusak (fâsid) dan tidaksah. Karena, jual beli ini menjadi sarana
munculnya riba dan menyebabkan terjadinya sesuatu yang dilarang oleh Allah sehingga
jual beli ini tidak sah. Namun mazhab Imam Syâfi’i membolehkan penggunaan kontrak
bay’ al- ‘inah karena akad jual beli yang dilakukan telah memenuhi rukunya itu ijâb dan
qobûl, tanpa memandang kepada niat pelaku.
5. Akad Bay’ al-Dayn
Bay’ al-Dayn adalah suatu akad jual beli dengan objek jual belinya adalah piutang
atau tagihan (dayn). Bay’ al-dayn adalah seseorang yang mempunyai hak mengutip hutang
yang akan dibayar pada masa yang akan datang dan diadapat menjual haknya kepada orang
lain dengan harga yang disetujui bersama. Konsep bay’ al-dayn sebenarnya merujuk
kepada pembiayaan hutang yaitu peruntukkan sumber keuangan yang di perlukan oleh unit
unit pembiayaan, perdagangan dan jasa dengan cara menjual atau membeli kertas kertas
dan dokumen-dokumen perdagangan. Bentuk jual beli hutang diklasifikasi menjadi tiga,
yaitu:

10
a. Bentuk jual beli utang oleh pihak kreditur kepada pihak pengutang (debitur) lebih dekat
pada kontrak hiwâlah. Jual beli utang seperti ini dibenarkan oleh ulama Hanâfi, karena
tidak termasuk kedalam jual beli gharar. Mazhab Mâliki memiliki pendapat yang sama
bahwa jual beli utang kepada pihak debitur dibolehkan.
b. Bentuk jual beli utang oleh pihak kreditur kepada pihak ketiga dengan harga tunai.
Penjualan utang semacam ini tidak dibenarkan oleh MazhabHanâfi dan Hambali, karena
penjual utang tidak berkemampuan untuk menyerahkan utang tersebut pada waktunya.
Mazhab Mâliki membenarkan jual beli hutang kepada pihak ketiga dengan persyaratan
tertentu.
c. Penjualan utang kepada pihak pengutang atau pihak ketiga tetapi dengan cara
pembayaran tertangguh. Menurut Ibn Taimiyah jual beli utang seperti ini tidak dibenarkan
dan golongan ulama terdahulu menamakan bay’ al-kali bi alkali yakni akad jual beli hutang
dengan hutang.
6. Akad Mushârakah
Pengertian shirkah (mushârakah) secara harfiah berarti percampuran. Menurut
bahasa, shirkah adalah bercampurnya suatu harta dengan harta yang lain sehingga
keduanya tidak dapat dibedakan. Menurut ulama Syafi’iyyah, shirkah adalah tetapnya hak
kepemilikan bagi dua atau lebih sehingga tidak terbedakan antara hak pihak yang satu
dengan hak pihak yang lain dan menurut ulama Hanâfiyah, shirkah adalah transaksi antara
dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan.Pengertian mushârakah menurut
bahasa ialah pencampuran harta di antara dua orang atau lebih. Menurut Saad Abdul Sattar
al-Harran, mushârakah (shirkah) sebagai bentuk perkongsian di mana dua orang atau lebih
bergabung baik dalam bentuk modal atau tenaga kerja atau keduanya dalam kadar tertentu
bagi masing-masing dengan pembagian keuntungan, kerugian, dan tanggung jawab
masing-masing. Hukum shirkah dibolehkan oleh syariat, berdasarkan Alquran, sunnah dan
Ijma’. Dalil dari Alquran, firman Allah:
“.maka mereka bersekutu dalam bagian yang seperti gaitu dan sesungguhnya kebanyakan
dari orang orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang
lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat
sedikit lah mereka ini (Q.s. Shâd [38]:24).”
Adapun dalil dari sunnah, hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Abû Hurairah secara
marfû’ dari Rasullulah bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘azzawajalla
berfirman,” Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersekutu, selama salah seorang
dari keduanya tidak menghianati yang lain, maka Aku keluar dari persekutuan tersebut.
(H.r.Abû Dawud serta Hâkim). Shirkah dikelompokkan menjadi dua, iaitu sher
11
kah amlak (kongsi harta) dan syirkah uqûd (kongsi transaksi). Shirkah amlak atau shirkah
milk merupakan bentuk persekutuan di antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan
harta yang di peroleh tanpa disertai akad. Shirkah amlak dikelompokkan menjadi dua,
yaitu syirkah ikhtiyâr (suka rela), yaitu shirkah yang lahir atas kehendak dua pihak yang
bersekutu. Kedua, shirkah jabar (paksa), yaitu persekutuan yang terjadi di antara dua orang
atau lebih tanpa kehendak mereka. Hukum kedua jenis syirkah ini bagaikan pihak asing
atas sekutunya yang lain. Sehingga, salah satu pihak tidak berhak melakukan tindakan
apapun terhadap harta tersebut tanpa izin dari yang lain, karena masing masing sekutu tidak
memiliki kekuasaan atas bagian saudaranya. Shirkah ‘uqûd adalah bentuk persekutuan di
antara dua pihak atau lebih untuk menjalankan suatu usaha berdasarkan prinsip bagi hasil.
7. Akad Mudhârabah
Mudhârabah dari segi bahasa berasal dari kata dasar al-darb: ‫ ضربايضربضرب‬yang
ber arti bergerak, menjalankan, memukul, kemudian mendapat tambahan huruf sehingga
menjadi ‫ارب‬iii‫ مضاربيضاربض‬yang berarti saling bergerak, saling pergi, atau saling
menjalankan atau saling memukul. Dalam arti lain, ‫ارب‬iii‫ ض‬berarti berdagang atau
memperdagangkan. Di dalam Alquran kata daraba digunakan dalam rangkaian kata ayat
“darb fî al-ardi”, yang membermaksud keluar mengembara untuk menjalankan perniagaan
atau melakukan perjalanan untuk berniaga. Penggunaan makna ini adalah bersesuaian
dengan firman Allah dalam Alquran surah al-Muzammil “dan orang-orang yang berjalan
di muka bumi mencari sebagian karunia Allah”
Istilah Mudhârabah dengan pengertian berpergian untuk berdagang digunakan oleh
penduduk Irak. Sedangkan penduduk Hijaz menggunakan istilah qirâd, yang diambil dari
kata qard (‫رض‬ii‫( ق‬yang artinya al-qat’u (‫ع‬ii‫ )القط‬yakni memotong. Dinamakan demikian,
karena pemilik modal memoton gsebagian hartanya untuk diperdagangkan oleh ’âmil dan
memperoleh keuntungannya. Praktik seperti ini dikenal sebagai “almu qâradah” yang
berarti sama rata karena masing-masing berkongsi modal dan akan turut sama mendapatkan
keuntungan dari sesuatu perniagaan yang dijalankan.” Mudhârab ahadalah akad yang
berlaku antara dua pihak dengan syarat salah seorang dari keduanya menyerahkan sejumlah
uang kepada pihak yang lain untuk didagangkan dan keuntungan yang diperoleh dibagi
dua sesuai dengan kesepakatan.
Menurut Wahbah al-Zuhayli, mudhârabah didefinisikan sebagai akad yang di
dalamnya pemilik modal memberikan (harta) pada ‘âmil (pengelola) untuk mengelolanya,
dan keuntungannya menjadi milik bersama sesuai dengan apa yang mereka sepakatkan,
sedangkan kerugiannya hanya menjadi tanggung an pemilik modal saja. Sayid Sabiq,
memberikan definisi mudhârabah adalah suatu akad antara dua pihak di mana salah satu
12
pihak memberikan uang (modal) kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan
ketentuan bahwa keuntungan dibagi di antara mereka berdua sesuai dengan kesepakatan
mereka. Jadi mudhârabah merupakan akad yang dilakukan antara dua pihak yakni pihak
pemilik modal dan pengelola untuk melakukan kerjasama aktivitas bisnis di mana
keuntungan yang diperoleh akan dibagi dua sesuai dengan kesepakatan.
8. Akad Ijârah
Sewa-menyewa dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Ijârah. Ijârah berasal dari
kata “ajara (‫ر‬iii‫( اج‬dan memiliki beberapa sinonim, dapat diartikan: menyewakan,
memberinya upah dan memberinya pahala. Menurut bahasa, ijârah artinya, sewa menyewa
atau jual beli manfaat. Sayid Sabiq mengemukakan, bahwa al-ijârah berasal dari kata ‘al-
ajru’ (‫ ) االجر‬yang berarti ‘al-‘iwâdh’ (sewa atau imbalan, ganjaran atau pahala). Jadi Ijarah
menurut bahasa dan secara syara’ memiliki makna jual beli manfaat. Dalam pengertian
istilah, terdapat perbedaan pendapat tentang ijârah di kalangan ulama Hanâfiah, Mâlikiyah,
Syâfi’iyyah dan Hanâbilah. Ulama Hanâfiah, mendefinisikan ijârah sebagai akad atas
manfaat disertai imbalan berupa harta. Namun ulama Mâlikiyah dan Hanâbilah memberi
pengertian bahwa ijârah adalah suatu akad yang memberikan hak kepemilikan manfaat
sesuatu yang mubah untuk masa tertentu disertai imbalan.Adapun menurut ulama
Syâfi’iyyah, akad ijârah adalah suatu akad atas manfaat yang mengandung maksud yang
tertentu, mubah, dan dapat didermakan serta dibolehkan dengan imbalan tertentu. Menurut
istilah fukaha, ijârah ialah kontrak untuk mendapatkan manfaat (jasa) tertentu yang boleh
dibayar dan dihalalkan dengan barang tertentu. Kontrak ini dilaksanakan dengan
memindahkan hak milik jasa (manfaat) tersebut.
Akad ijârah (sewa) akad untuk memperoleh manfaatdengan disertai bayaran.
Dengan kata lain, ijârah merupakan bentuk jual beli manfaat, untuk mendapatkan imbalan.
Praktik akad ijârah dalam transaksi keuangan Islam menggunakan landasan hokum dari
Alquran dan Hadis Nabi. Hal ini merujuk kepada pendapat mayoritas ulama
memperbolehkan akad ijârah dengan dalil Alquran, Sunnah, dan Ijma’. Kemudian akad
ijârah tersebut, digunakan dalam penerbitan Sukuk ijârah di Pasar Modal Indonesia,
berdasarkan: Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada hari Kamis,
tanggal 8 Muharram 1412 H/13 April 2000. Landasan hokum akad ijârah berdasarkan
Alquran:
“.dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain...(Q.S. AlZukhruf
[43]: 32)”

13
“dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagi mu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihatapa yang kamukerjakan. (Q.s. al-Baqarah
[2]: 233).”
Ijârah menurut istilah bahasa Arab merujuk kepada upah yang diberikan kepada
orang yang melakukan suatu pekerjaan sebagai ganjaran kepada apa yang dilakukannya.
Ganjaran tersebut disebut sebagai ajratauujrah. Kata ‘ajjarahu’ atau ‘âjarahu’ bermakna
memberi upah karena kerja yang dilakukan. Perkataan ini hanya digunakan bagi merujuk
kepada sesuatu yang memberikan keuntungan dan tidak digunakan untuk sesuatu yang
merugikan. Ajr biasanya digunakan untuk merujuk ganjaran akhirat, sementara ujrah pula
merujuk kepada ganjaran dunia. Rukunijârah menurut Hanâfiyah adalah ijâb dan qabûl,
yaitu dengan lafadz ijârah. Sedangkan rukun ijârah menurut mayoritas ulama ada empat,
yaitu dua pelaku akad (pemilik sewa dan penyewa), sighah (ijâb dan qabûl), upah, dan
manfaat barang.
Objek Ijârah terbagi empat:
 Ijarah terhadap manfaat dari barang, disebut juga ijârah ‘ala al-manâfi atau ijârah al-
a’yân. Contohnya seperti menyewakan gedung, rumah, kapal, mobil dan lainnya.
 Ijârah terhadap manfaat dari pekerjaan manusia (ijârah ‘ala al-a’mal). Seperti
mengupah seorang manajer untuk mengelola perusahaan, dan tukang angkat untuk
memindahkan barang.
 Ijârah terhadap perpaduan manfaat manusia dan barang (Ijârah ‘ala almanâfiwa al-
a’mal). Seperti mengupah se orang atau lembaga membangun rumah sedang alat-
alat berasal dari pekerja atau lembaga tersebut; atau mengendarai angkutan umum di
mana upah diberikan untuk sopir dan mobil atau kendaraan beratnya.
 Bila dimasukkan pendapat Ibnu Qayim, maka terdapat objek Ijârah keempat, yaitu:
ijârah bukan tehadap manfaat, tapi terhadap “barang”-‘ain, yaitu hasil berkelanjutan
dari suatu barang asal namunzat barang tersebut tetap ada, seperti buah sebagai hasil
dari penyewaan pohon.
Dari beberapa pendapat tersebut, maka ijârah merupakan akad sewa menyewa atau jual beli
manfaat antara dua pihak yaitu antara penyewa dan yang menyewakan barang, yang
memberikan hak kepemilikan manfaat dari barang, manfaat dari pekerjaan manusia,
perpaduan manfaat dari barang dan dari pekerjaan manusia untuk jangka waktu tertentu dan
menerima imbalan.

14
2.5 Berakhirnya Akad

Akad dapat berakhir dengan pembatalan, meninggal dunia, atau tanpa adanya izin dalam
akad mauqud (ditangguhkan).

Akad habis dengan pembatalan contohnya seperti akad Ghair Lazim, yang kedua pihak
dapat membatalkan akad, pembatalan ini sangat jelas, seperti pada penitipan barang perwakilan,
dan la- in-lain, atau yang Ghair Lazim pada suatu pihak dan lazim pada pihak lainnya. Seperti
gadai, orang yang menerima gadai dibo- lehkan membatalkan akad walaupun tanpa sepengetahuan
orang yang menggadaikan barang.

Adapun pembatalan pada akad lazim, terdapat dalam beberapa hal : ketika akad rusak,
adanya khiyar, pembatalan akad, tidak mungkin melaksanakan dan masa akad berakhir.5

Akad selesai di sebabkan oleh sejumlah hal, di antaranya sebagai berikut:


a. Berakhirnya masa berlaku akad tersebut, apabila akad tersebut tidak mempunyai tenggang
waktu.
b. Di batalkan oleh pihak-pihak yang berakad, bilamana akad tersbeut sifatnya tidak mengikat.
c. Dalam akad sifatnya mengikat, suatu akad bisa dianggap selesai jika:
1) Jual beli yang di lakukan fasad, seperti terbisa unsur-unsur tipuan salah satu rukun
atau syaratnya tidak terpenuhi
2) Berlakunya khiyar syarat, aib, atau rukyat.
3) Akad itu tidak di lakukan oleh salah satu pihak
4) Salah satu pihak yang mekerjakan akad meninggal dunia"

Akad dapat berakhir dengan pembatalan, meninggal dunia, atas tanpa adanya izin dalam
akad mauquf (ditangguhkan).

Akad habis dengan pembatalan


Akad dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya, seperti paada masa khiyar,
terkadang dikaitkan pada masa yang akan datang, seperti pembatalan dalam sewa menyewa dan
pinjam meminjam yang telah disepakati selama 5 bulan, tetapi sebelum sampai 5 bulan, telah
dibatalka.
Pada akad Ghoir lazim yang kedua pihak dapat membatalkan akad, pembatalan ini sangat jelas,
seperti pada penitipan barang, perwakilan, dan lain lain, atau yang ghoir lazim pada satu pihak dan

5
Dr.M.Noor Harisudin,M.Fil I,Fiqh muamalah IAIN Jember Prees Jl. Mataram no 1 mangli Jember
15
lazim pada pihak lainnya, seperti gadai. Orang yang menerima gadai dibilehkan membatalkan akad
walaupun tanpa sepengetahuan orang yang menggadaikan barang.

Adapaun pembatalan pada akad lazim, terdapat dalam beberapa hal berikut:
A. Ketika akad rusak
B. Adanya khiyar
C. Pembatalan akad
D. Tidak mungkin melaksanakan akad
E. Masa akad berakhir6

6
Syafe’i, Rachmat. Fiqih Muamalah/ Prof, DR.H. Rachmat Syafe’i, M.A—cet. 2 Bandung: Pustaka Setia, 2004.
16
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan yang telah teruai diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan
bahwasanya kesepakatan antar kedua pihak berkenaan dengan suatu hal atau kontrak antara
beberapa pihak atas diskursus yang dibenarkan oleh syara' dan memiliki implikasi hukum
tertentu.terkait dalam implementasinya tentu akad tidak pernah lepas dari yang namanya rukun
maupun syarat yang mesti terpenuhi agar menjadi sah dan sempurnanya sebuah akad

Adapun mengenai jenis-jenis akad, ternyata banyak sekali macam-macam akad yang dilihat
dari berbagai perspektif, baik dari segi ketentuan syari'ahnya, cara pelaksanaan, zat benda-benda,
dan lain-lain. Semua mengandung unsure yang sama yakni adanya kerelaan dan keridhaan antar
kedua belah pihak terkait dengan pindahnya hak-hak dari satu pihak ke pihak lain yang melakukan
kontrak. Sehingga dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban diantara pihak yang
bertransaksi. Sehingga tercapailah tujuan kegiatan muamalah dalam kehidupan kita sehari-hari.

17
DAFTAR PUSTAKA

Juanda, fiqih Muamalah Prinsip-prinsip bermualamah secara syar’i , Jawa Tengah: Desa Pustaka
Indonesia, 2016.
Rahmat Syafi’i ,: fiqh muamalah, 2004.
Prof.Dr. M. Noor harisudin M.Pd.I , fiqh muamalah, IAIN Jember Press ,Jember,2015.

Dr. H Nasrun Haroen, MA , fiqh muamalah, gaya media pratama, jakarta

Syafe’i, Rachmat. Fiqih Muamalah/ Prof, DR.H. Rachmat Syafe’i, M.A—cet. 2 Bandung: Pustaka
Setia, 2004.

18

You might also like