You are on page 1of 36

CASE REPORT

VERTIGO

Oleh
dr. Ulima Mazaya Ghaisani

Pendamping
dr. H. Agung Priyo Sasongko

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS KEDATON LAMPUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Sistem vestibuler merupakan suatu sistem keseimbangan yang berperan


terhadap persepsi gerakan, posisi kepala, serta orientasi ruang secara relatif
terhadap gravitasi. Informasi yang diterima organ vestibuler dan jaras sarafnya,
memungkinkan untuk menjaga stabilitas postural melalui refleks vestibulookuler
dan vestibulospinal (You, et al., 2018). Vertigo merupakan persepsi yang salah
dari gerakan seseorang atau lingkungan sekitarnya. Persepsi tersebut dapat berupa
rasa melayang, mengambang yang timbul akibat gangguan sistem proprioseptif
atau sistem visual maupun persepsi berupa rasa berputar yang timbul akibat
gangguan pada sistem vestibuler. Vertigo tidak selalu sama dengan dizziness.
Dizziness adalah sebuah istilah non spesifik yang dapat dikategorikan ke dalan
empat subtipe tergantung gejala yang digambarkan oleh pasien (Sura dan
Naawell, 2010). Terdapat empat tipe dizziness yaitu vertigo, light headedness,
presyncope, dan disequilibrium. Yang paling sering adalah vertigo yaitu sekitar
54% dari keluhan dizziness yang dilaporkan pada pelayanan kesehatan tingkat
pertama (Labuguen, 2006; Lempert dan Neuhauser, 2009).
Berdasarkan letak lesinya, vertigo vestibuler dibagi menjadi dua, yaitu
vertigo vestibuler perifer dengan lesi pada labirin dan nervus vestibularis, dan
vertigo vestibuler sentral dengan lesi pada nukleus batang otak, thalamus hingga
ke korteks serebri (Cetin, et al., 2018). Benign Paroxysmal Positional Vertigo
(BPPV) merupakan suatu gangguan klinis berupa gangguan vestibuler perifer
yang bersifat subjektif dan paling banyak terjadi di dunia. Gejala rasa pusing
berputar secara tiba–tiba diikuti mual muntah dan keringat dingin, yang dipicu
oleh perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi tanpa adanya keterlibatan
lesi di susunan saraf baik pusat maupun perifer (PERDOSSI, 2012). Insidensi
yang terjadi dari BPPV ini adalah 64/100.000 yang pada umumnya melibatkan
kanalis semisirkularis posterior dengan angka resolusi lebih dari 85% setelah
terapi reposisi kanalith (Lance dan Mossman, 2018). Pasien dengan keluhan dan
gejala yang sesuai dengan BPPV, harus disesuaikan dengan kriteria diagnostik
BPPV kanalis posterior itu sendiri. Sekitar 50%, penyebab BPPV adalah

2
idiopatik, selain idiopatik, penyebab terbanyak adalah trauma kepala diikuti
dengan neuritis vestibularis, migrain, implantasi gigi dan operasi telinga, ataupun
mastoiditis kronis (Lance dan Mossman, 2018; Lim, et al., 2019).
Cara untuk menegakkan diagnosis BPPV harus dilakukan dalam beberapa
tahap. Anamnesis sebagai tahap pertama, harus ditanyakan faktor–faktor yang
merupakan etiologi atau penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi
keberhasilan terapi, seperti riwayat diabetes, hipertensi, trauma kepala, stroke,
migrain dan riwayat gangguan keseimbangan atau riwayat gangguan saraf
sebelumnya (Lim, et al., 2019; Tan, et al., 2017). Berdasarkan hasil penelitian,
hipertensi berhubungan dengan peningkatan terjadinya BPPV berulang (Gupta, et
al., 2019). Tahap selanjutnya, anamnesis dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik
berupa Dix-Hallpike maneuver untuk memastikan adanya keterlibatan kanalis
semisirkularis dengan terlebih dahulu diinformasikan kepada pasien bahwa
tindakan yang dilakukan bertujuan untuk memprovokasi serangan vertigo (Lance
dan Mossman, 2018).
Diagnosis banding vertigo meliputi penyebab perifer vestibular (berasal
dari system saraf perifer), dan sentral vestibular (berasal dari system saraf pusat)
dan kondisi lain. 93% pasien pada pelayanan kesehatan tingkat pertama
mengalami BPPV, akut vestibular neuronitis, atau menire disease karena pasien
dengan dizziness seringkali sulit menggambarkan gejala mereka, menentukan
penyebab akan menjadi sulit. Penting untuk membuat sebuah pendekatan
menggunakan pengetahuan dari kunci anamnesis, pemeriksaan fisik, dan temuan
radiologis akan membantu dokter untuk menegakkan diagnosis dan memberi
terapi yang tepat untuk pasien (Hain, 2012).

3
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. R
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 57 tahun
Suku Bangsa : Indonesia (Lampung)
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Kedaton

ANAMNESIS

Diambil dari : autoanamnesis


Tanggal : 10 Juli 2020
Pukul : 11.00 WIB

Keluhan utama : pusing berputar sejak 1 jam sebelum masuk


puskesmas.

Keluhan tambahan : mual dan muntah

RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT


Riwayat Penyakit Sekarang:
Sejak 1 jam SMRS, pasien mengeluhkan pusing berputar yang timbul mendadak
setelah bangun tidur. Saat serangan tiba, pasien merasa dirinya tidak bisa
seimbang ketika melihat lingkungan sekitar, dan pandangannya nampak ganda.
Saat serangan datang pasien sempat muntah sebanyak 3x di rumah disertai dengan
mual. Serangan bertambah berat ketika pasien merubah posisi dari bangun tidur,
langsung duduk, berjalan, serta memberat ketika membuka mata. Keluhan sedikit
berkurang ketika berbaring di tempat tidur dan memejamkan mata. Telinga

4
berdenging (-), keluhan pendengaran (-), riwayat trauma (-), riwayat bepergian
jauh dengan menggunakan kendaraan (-).

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat penyakit hipertensi (-), diabetes mellitus (-), asma (-).

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit keluarga hipertensi (-), diabetes mellitus (-), asma (-).

Riwayat Pribadi
Pasien memiliki riwayat kebiasaan merokok namun sekarang sudah berhenti.
Passien tidak mempunyai riwayat kebiasaan mengonsomsi alkohol. Olah raga dan
aktivitas dirasa kurang aktif.

Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan


Pasien tidak menyebutkan penghasilannya, tetapi penghasilannya cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
1) Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
2) Kesadaran : Compos Mentis
3) Tanda-tanda vital
o Tekanan darah : 110/70 mmHg
o Frekuensi napas : 20 x/menit
o Frekuensi nadi : 90 x/menit
o Suhu : 37,5 ºC
4) Status gizi
o Berat badan : 65 kg
o Tinggi badan : 170 cm

5
o IMT : 65/(1,7)2 = 22,8 (normal)
Pemeriksaan Khusus
1) Kepala
Rambut : pertubuhan merata
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : pernapasan cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut : perioral cyanosis (-), mukosa bibir basah
2) Leher : KGB tidak teraba pembesaran, JVP 5+0 cmH2O
3) Thorax
Pulmo : Inspeksi: bentuk dan gerak simetris, retraksi substernal (-),
retraksi subcostal (-)
Perkusi : sonor (+/+)
Palpasi : fremitus taktil sama pada kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Cor : Batas atas dalam batas normal
Auskultasi : S1-S2, reguler, murmur sistolik (-), gallops (-)
4) Abdomen
Inspeksi : cembung
Auskultasi : bising usus (+) normal 8x/m
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba pembesaran
5) Ekstremitas
Atas : hangat, sianosis (-/-), capillary refill <2 detik, edem (-/-).
Bawah : hangat, sianosis (-/-), capillary refill <2 detik, edem (-/-).

Pemeriksaan Neurologi
1) Kaku kuduk: (-)
2) Saraf kranial
a. N I (Olfactorius)
o Daya pembau: (normal/normal)
b. N II (Opticus)
o Daya penglihatan: (normal/normal)

6
o Lapang pandang: (normal/normal)
o Pengenalan warna: (normal/normal)
c. N III (Oculomotorius)
o Ptosis: (-/-)
o Pupil : Bentuk: (bulat/bulat)
Ukuran: (Φ 3mm/ 3mm)
o Gerak bola mata: (normal/normal)
o Refleks pupil : Langsung: (+/+)
Tidak langsung: (+/+)
d. N IV (Trokhlearis)
o Gerak bola mata: (normal/normal)
e. N V (Trigeminus)
o Motorik: (normal/normal)
o Sensibilitas: (normal/normal)
o Refleks kornea: (+/+)
f. N VI (Abdusens)
o Gerak bola mata: (normal/normal)
o Strabismus: (-/-)
o Deviasi: (-/-)
g. N VII (Facialis)
o Tic: (-/-)
o Motorik: (normal/normal)
o Daya perasa: (normal/normal)
o Tanda chvostek: (-/-)
h. NVIII (Akustikus)
o Pendengaran: (normal/normal)
i. N IX (Glossofaringeus)
o Arkus faring: (normal/normal)
o Daya perasa: (normal/normal)
o Refleks muntah: (+/+)
j. N X (Vagus)

7
o Arkus faring: (normal/normal)
o Dysfonia: (-/-)

k. N XI (Asesorius)
o Motorik: (normal/normal)
o Trofi: (eutrofi/eutrofi)
l. NXII (Hipoglossus)
o Motorik: (normal/normal)
o Trofi: (eutrofi/eutrofi)
o Tremor: (-/-)
o Disartria: (-/-)

3) Sistem Motorik
a. Ekstremitas atas
o Kekuatan: 5/5
o Tonus: (normal/normal)
o Trofi: (eutrofi/eutrofi)
o Gerakan involunter: (-/-)
o Klonus: (-/-)
b. Ekstremitas bawah
o Kekuatan: 5/5
o Tonus: (normal/normal)
o Trofi: (eutrofi/eutrofi)
o Gerakan involunter: (-/-)
o Klonus: (-/-)
4) Sistem sensorik
a. Raba: (normal/normal)
b. Nyeri: (normal/normal)
c. Suhu: (normal/normal)
d. Perspektif: (normal/normal)
5) Reflex

8
a. Fisiologis
o Biseps: (+/+)
o Triseps: (+/+)
b. Patella: (+/+)
c. Achilles: (+/+)
d. Patologis
o Babinski: (-/-)
o Chaddock: (-/-)
o Hoffman tromer: (-/-)
o Openheim: (-/-)
o Schuffner: (-/-)
6) Fungsi koordinasi
a. Tes telunjuk hidung: (normal/normal)
b. Tandem: terdapat kesulitan
c. Romberg: terdapat kesulitan
7) Sistem Otonom
a. Miksi: normal
b. Defekasi: normal
8) Pemeriksaan lain
a. Laseque: tidak terbatas
b. Kernig: tidak terbatas
c. Patrick: (-/-)
d. Kontrapatrick: (-/-)
e. Brudzinski: (-/-)
9) Tes provokasi hallpike maneuver: (+) saat kepala dimiringkan ke kanan
ddengan nistagmus posisional yang muncul sesudah 10 detik.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
-

9
RINGKASAN DATA DASAR
Tn. R, 57 tahun datang ke Puskesmas rawat inap Kedaton dengan keluhan
sejak 1 jam sebelum masuk puskesmas, pasien mengeluhkan pusing berputar
timbul mendadak setelah bangun tidur. Saat serangan tiba, pasien merasa dirinya
tidak bisa seimbang ketika melihat lingkungan sekitar, dan pandangannya nampak
ganda. Saat serangan datang pasien sempat muntah sebanyak 3x di rumah disertai
dengan mual. Serangan bertambah berat ketika pasien merubah posisi dari bangun
tidur, langsung duduk, berjalan, dan membuka mata. Keluhan sedikit berkurang
ketika berbaring di tempat tidur dan memejamkan mata.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien tampak sakit
sedang. Tekanan darah 110/70 mmHg, napas 20x/m, nadi 90 x/m, suhu 37,5ºC, IMT
22,8 (normal). Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan hasil normal. Pada
pemeriksaan neurologi: tidak didapatkan kaku kuduk, tidak didapatkan kelainan
pada saraf kranial, sistem motorik, sistem sensorik, sistem otonom. Refleks
fisiologis dalam batas normal serta tidak terdapat refleks patologis. Pada fungsi
koordinasi didapatkan romberg dan tandem sulit untuk dilakukan. Pada Tes
provokasi hallpike maneuver: (+) saat kepala dimiringkan ke kanan ddengan
nistagmus posisional yang muncul sesudah 10 detik.

DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis banding : BPPV, neuritis vestibularis, meniere’s disease
Diagnosis klinis : vertigo
Diagnosis topik : sistem vestibuler perifer
Diagnosis etiologik : BPPV

RENCANA PENGELOLAAN
A. Rencana Pengobatan
Non-Medikamentosa
 Mengurangi stress
 Latihan untuk membuka mata, melirik ke atas, ke bawah, ke samping,
kiri-kanan

10
 Latihan menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan, kemudian miring
kiri-kanan
 Latihan duduk, berdiri, kemudian berjalan secara perlahan

Medikamentosa
 Betahistine 6mg 3x1
 Ondansetron 4mg 3x1

B. Rencana Pemantauan
 Pemantauan tanda-tanda vital pasien

C. Rencana Edukasi
 Memberikan informasi tentang penyakit vertigo
 Meminum obat sesuai aturan
 Edukasi kepada pasien untuk segera datang kembali ke puskesmas jika
keluhan datang tiba-tiba terutama menyebabkan hendaya dalam
melakukan aktivitas sehari–hari.
 Memberikan edukasi kepada keluarga untuk berperan dalam
mengingatkan pasien mengenai latihan dengan metode Brandt-Daroff
maneuver untuk mencegah kekambuhan serta gaya hidup yang sehat.

PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanactionam : ad bonam

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Vertigo merupakan persepsi yang salah dari gerakan seseorang atau
lingkungan sekitarnya. Vertigo (berasal dari bahasa Latin vertere yang artinya
memutar) merujuk pada sensasi berputar sehingga mengganggu rasa
keseimbangan seseorang, umumnya disebabkan oleh gangguan pada sistim
keseimbangan (Basshiruddin, 2008). Persepsi tersebut dapat berupa rasa
melayang, mengambang yang timbul akibat gangguan sistem proprioseptif atau
sistem visual maupun persepsi berupa rasa berputar yang timbul akibat gangguan
pada sistem vestibuler. Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar
serasa berputar mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi
lingkungan sekitar (Wreksoatmojo, 2009).

3.2 Epidemiologi
Vertigo merupakan gejala yang sering didapatkan pada individu dengan
prevalensi sebesar 7%. Beberapa studi telah mencoba untuk menyelidiki
epidemiologi dizziness, yang meliputi vertigo dan non vestibular dizziness.
Dizziness telah ditemukan menjadi keluhan yang paling sering diutarakan oleh
pasien, yaitu sebesar 20-30% dari populasi umum. Dari keempat jenis dizziness
vertigo merupakan yang paling sering yaitu sekitar 54%. Pada sebuah studi
mengemukakan vertigo lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding pria (2:1),
sekitar 88% pasien mengalami episode rekuren (Joesoef, 2000).
Vertigo sentral biasanya diderita oleh populasi berusia tua karena adanya
faktor resiko yang berkaitan, diantaranya hipetensi, diabetes melitus,
atherosclerosis, dan stroke. Rata-rata pasien dengan infark serebelum berusia 65

12
tahun, dengan setengah dari kasus terjadi pada mereka yang berusia 60-80 tahun.
Dalam satu seri, pasien dengan hematoma serebelum rata-rata berusia 70 tahun.
Pemulihan seperti yang terjadi pada vertigo perifer akut tidak dapat diharapkan
pada vertigo sentral (Anderson dan Levine, 1997).

3.3 Etiologi
Vertigo merupakan suatu gejala, sederet penyebabnya antara lain akibat
kecelakaan,stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan, terlalu sedikit
atau banyak aliran darah ke otak dan lain-lain. Tubuh merasakan posisi dan
mengendalikan keseimbangan melalui organ keseimbangan yang terdapat di
telinga bagian dalam. Organ ini memiliki saraf yang berhubungan dengan area
tertentu di otak. Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan di dalam telinga, di dalam
saraf yang menghubungkan telinga dengan otak dan di dalam otaknya sendiri
(Anderson dan Levine, 1997).
Keseimbangan dikendalikan oleh otak kecil yang mendapat informasi
tentang posisi tubuh dari organ keseimbangan di telinga tengah dan mata.
Penyebab umum dari vertigo (Anderson dan Levine, 1997):
a. Keadaan lingkungan: mabuk darat, mabuk laut.
b. Obat-obatan: alkohol, gentamisin.
c. Kelainan telinga: endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di
dalam telinga bagian dalam yang menyebabkan benign paroxysmal positional
d. Infeksi telinga bagian dalam karena bakteri, labirintis, penyakit maniere,
e. Peradangan saraf vestibuler, herpes zoster.
f. Kelainan Neurologis: Tumor otak, tumor yang menekan saraf vestibularis,
sklerosismultipel, dan patah tulang otak yang disertai cedera pada labirin,
persyarafannya atau keduanya.
g. Kelainan sirkularis : Gangguan fungsi otak sementara karena berkurangnya
aliran darah ke salah satu bagian otak (transient ischemic attack) pada arteri
vertebral dan arteri basiler.

Penyebab vertigo dapat berasal dari perifer yaitu dari organ vestibuler
sampai ke inti nervus VIII. Berbagai penyakit atau kelainan dapat menyebabkan

13
vertigo. Penyebab vertigo serta lokasi lesi, antara lain (Anderson dan Levine,
1997):

a. Labirin, telinga dalam


o vertigo posisional paroksisimal benigna
o pasca trauma
o penyakit menierre
o labirinitis (viral, bakteri)
o toksik (misalnya oleh aminoglikosid, streptomisin, gentamisin)
o oklusi peredaran darah di labirin
o fistula labirin
b. Saraf otak ke VIII
o neuritis iskemik (misalnya pada DM)
o infeksi, inflamasi (misalnya pada sifilis, herpes zoster)
o neuritis vestibular
o neuroma akustikus
o tumor lain di sudut serebelo-pontin
c. Telinga luar dan tengah
o Otitis media
o Tumor

Penyebab vertigo dapat juga berasal dari kelainan sentral dari inti nervus
VIII sampai ke korteks. Penyebab vertigo serta lokasi lesi pada vertigo sentral
antara lain (Anderson dan Levine, 1997):
a. Supratentorial
o Trauma
o Epilepsi
b. Infratentorial
o Insufisiensi vertebrobasiler
c. Obat

14
Beberapa obat ototoksik dapat menyebabkan vertigo yang disertai tinitus dan
hilangnya pendengaran. Obat-obat itu antara lain aminoglikosid, diuretik loop,
antiinflamasi nonsteroid, derivat kina atau antineoplasitik yang mengandung
platina. Streptomisin lebih bersifat vestibulotoksik, demikian juga gentamisin;
sedangkan kanamisin, amikasin dan netilmisin lebih bersifat ototoksik.
Antimikroba lain yang dikaitkan dengan gejala vestibuler antara lain
sulfonamid, asam nalidiksat, metronidaziol dan minosiklin. Terapi berupa
penghentian obat bersangkutan dan terapi fisik, penggunaan obat supresan
vestibuler tidak dianjurkan karena jusrtru menghambat pemulihan fungsi
vestibluer. Obat penyekat alfa adrenergik, vasodilator dan antiparkinson dapat
menimbulkan keluhan rasa melayang yang dapat dikacaukan dengan vertigo.

3.4 Klasifikasi
Vertigo dapat berasal dari kelainan di sentral (batang otak, serebelum atau
otak) atau di perifer (telinga–dalam, atau saraf vestibular) (Joesoef, 2000).
a. Fisiologik
Vertigo fisiologik adalah keadaan vertigo yang ditimbulkan oleh stimulasi dari
sekitar penderita, dimana sistem vestibulum, mata, dan somatosensorik
berfungsi baik. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain :
o Mabuk gerakan (motion sickness)
Mabuk gerakan ini akan ditekan bila dari pandangan sekitar (visual
surround) berlawanan dengan gerakan tubuh yang sebenarnya. Mabuk
gerakan akan sangat bila sekitar individu bergerak searah dengan gerakan
badan. Keadaan yang memperovokasi antara lain duduk di jok belakang
mobil, atau membaca waktu mobil bergerak.
o Mabuk ruang angkasa (space sickness)
Mabuk ruang angkasa adalah fungsi dari keadaan tanpa berat
(weightlessness). Pada keadaan ini terdapat suatu gangguan dari
keseimbangan antara kanalis semisirkularis dan otolit.
o Vertigo ketinggian (height vertigo)

15
Adalah suatu instabilitas subjektif dari keseimbangan postural dan
lokomotor oleh karena induksi visual, disertai rasa takut jatuh, dan gejala-
gejala vegetatif.
b. Patologik :
o Sentral: diakibatkan oleh kelainan pada batang otak atau cerebellum
o Perifer: disebabkan oleh kelainan pada telinga dalam atau nervus cranialis
vestibulocochlear (N. VIII).
o Medical vertigo: dapat diakibatkan oleh penurunan tekanan darah, gula
darah yang rendah, atau gangguan metabolik karena pengobatan atau infeksi
sistemik.

Vertigo Sentral
Terdapat tiga jenis vertigo sentral yang paling sering dialami yaitu (Joesoef,
2000):
a. Migraine
Selby and Lance (1960) menemukan vertigo menjadi gejala yang sering
dilaporkan pada 27-33% pasien dengan migraine. Sebelumnya telah dikenal
sebagai bagian dari aura (selain kabur, penglihatan ganda dan disarthria) untuk
basilar migraine dimana juga didapatkan keluhan sakit kepala sebelah.Vertigo
pada migraine lebih lama dibandingkan aura lainnya, dan seringkali membaik
dengan terapi yang digunakan untuk migraine.
b. Vertebrobasilar insufficiency
Vertebrobasilar insufficiency biasanya terjadi dengan episode rekuren dari
suatu vertigo dengan onset akut dan spontan pada kebanyakan pasien terjadi
beberapa detik sampai beberapa menit. Lebih sering pada usia tua dan pada
paien yang memiliki faktor resiko cerebrovascular disease. Sering juga
berhungan dengan gejala visual meliputi inkoordinasi, jatuh, dan lemah.
Pemeriksaan diantara gejala biasanya normal.
c. Tumor Intrakranial
Tumor intrakranial jarang member manifestasi klinik vertigo dikarenakan
kebanyakan adalah tumbuh secara lambat sehingga ada waktu untuk
kompensasi sentral. Gejala yang lebih sering adalah penurunan pendengaran

16
atau gejala neurologis. Tumor pada fossa posterior yang melibatkan ventrikel
keempat atau Chiari malformation seringtidak terdeteksi di CT scan dan butuh
MRI untuk diagnosis. Multipel sklerosis pada batang otak akan ditandai
dengan vertigo akut dan nistagmus walaupun biasanya didaptkan riwayat
gejala neurologia yang lain dan jarang vertigo tanpa gejala neurologia lainnya.

Vertigo Perifer
Terdapat tiga jenis vertigo perifer yang paling sering dialami yaitu (Joesoef,
2000):
a. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan penyebab utama
vertigo. Onsetnya lebih sering terjadi pada usia rata-rata 51 tahun. Benign
Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) disebabkan oleh pergerakan otolit
dalan kanalis semisirkularis pada telinga dalam. Hal ini terutama akan
mempengaruhi kanalis posterior dan menyebabkan gejala klasik tapi ini juga
dapat mengenai kanalis anterior dan horizontal. Otolit mengandung Kristal-
kristal kecil kalsium karbonat yang berasal dari utrikulus telinga dalam.
Pergerakan dari otolit distimulasi oleh perubahan posisi dan menimbulkan
manifestasi klinik vertigo dan nistagmus.
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) biasanya idiopatik tapi dapat
juga diikuti trauma kepala, infeksi kronik telinga, operasi dan neuritis
vestibular sebelumnya, meskipun gejala Benign Paroxysmal Positional Vertigo
(BPPV) tidak terjadi bertahun-tahun setelah episode.
b. Ménière’s disease
Ménière’s disease ditandai dengan vertigo yang intermiten diikuti dengan
keluhan pendengaran. Gangguan pendengaran berupa tinnitus (nada rendah),
dan tuli sensoris pada fluktuasi frekuensi yang rendah, dan sensasi penuh pada
telinga. Ménière’s disease terjadi pada sekitar 15% pada kasus vertigo otologik.
Ménière’s disease merupakan akibat dari hipertensi endolimfatik. Hal ini
terjadi karena dilatasi dari membrane labirin bersamaan dengan kanalis
semisirularis telinga dalam dengan peningkatan volume endolimfe. Hal ini

17
dapat terjadi idiopatik atau sekunder akibat infeksi virus atau bakteri telinga
atau gangguan metabolik.
c. Vestibular Neuritis
Vestibular neuritis ditandai dengan vertigo, mual, ataxia, dan nistagmus. Hal
ini berhubungan dengan infeksi virus pada nervus vestibularis. Labirintis
terjadi dengan komplek gejala yang sama disertai dengan tinnitus atau
penurunan pendengaran. Keduanya terjadi pada sekitar 15% kasus vertigo
otologik.

3.5 Patofisiologi
Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh yang
mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi aferen) yang
sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat (pusat
kesadaran). Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan
vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus menyampaikan
impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem optik
dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan
nuklei N.III, IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis.
Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor
vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi
paling besar, yaitu lebih dari 50% disusul kemudian reseptor visual dan yang
paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik.
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat
keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik
kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan
wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-
otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang
menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi
alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak
fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses
pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala
otonom. Di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga

18
muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat
berdiri/ berjalan dan gejala lainnya.

Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian ketidakseimbangan


tubuh:
a. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan
hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu; akibatnya akan
timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.
b. Teori konflik sensorik
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari
berbagai reseptor sensorik perifer yaitu antara mata/visus, vestibulum dan
proprioseptik, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik dari sisi kiri
dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di
sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa nistagmus (usaha koreksi
bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau
rasa melayang, berputar (yang berasal dari sensasi kortikal). Berbeda dengan
teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan proses
pengolahan sentral sebagai penyebab.
c. Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik; menurut teori ini
otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu; sehingga jika
pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan
yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola
gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme
adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.
d. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha
adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis
terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.

19
e. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori serotonin
(Lucat) yang masing-masing menekankan peranan neurotransmitter tertentu
dalam mempengaruhi sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejala
vertigo.
f. Teori sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada
proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres
yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing faktor), peningkatan
kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang
selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas
sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang
sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat
aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan
hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf
parasimpatis.

3.6 Gejala Klinis


Gejala klinis pasien dengan dizziness dan vertigo dapat berupa gejala
primer, sekunder ataupun gejala non spesifik. Gejala primer diakibatkan oleh
gangguan pada sensorium. Gejala primer berupa vertigo, impulsion, oscilopsia,
ataxia, gejala pendengaran. Vertigo, diartikan sebagai sensasi berputa. Vertigo
dapat horizontal, vertikal atau rotasi. Vertigo horizontal merupakan tipe yang
paling sering, disebabkan oleh disfungsi dari telinga dalam. Jika bersamaan
dengan nistagmus, pasien biasanya merasakan sensasi pergerakan dari sisi yang
berlawanan dengan komponen lambat. Vertigo vertikal jarang terjadi, jika
sementara biasanya disebabkan oleh BPPV. Namun jika menetap, biasanya
berasal dari sentral dan disertai dengan nistagmus dengan gerakan ke bawah atau
ke atas. Vertigo rotasi merupakan jenis yang paling jarang ditemukan.
Jika sementara biasnaya disebabakan BPPV namun jika menetap
disebabakan oleh sentral dan biasanya disertai dengan rotator nistagmus. Impulsi

20
diartikan sebagai sensasi berpindah, biasanya dideskrepsikan sebagai sensais
didorong atau diangkat. Sensasi impulse mengindikasi disfungsi apparatus otolitik
pada telinga dalam atau proses sentral sinyal otolit. Oscilopsia ilusi pergerakan
dunia yang dirovokasi dengan pergerakan kepala. Pasien dengan bilateral
vestibular loss akan takut untuk membuka kedua matanya. Sedangkan pasien
dengan unilateral vestibular loss akan mengeluh dunia seakan berputar ketika
pasien menoleh pada sisi telinga yang mengalami gangguan. Ataksia adalah
ketidakstabilan berjalan, biasanya universal pada pasien dengan vertigo otologik
dan sentral. Gejala pendengaran biasanya berupa tinnitus, pengurangan
pendengaran atau distorsi dan sensasi penuh di telinga. Gejala sekunder meliputi
mual, gejala otonom, kelelahan, sakit kepala, dan sensivitas visual. Gejala
nonspesifik berupa giddiness dan light headness. Istilah ini tidak terlalu memiliki
makna pada penggunaan biasanya. Jarang digunkan pada pasien dengan disfungsi
telinga namun sering digunakan pada pasien vertigo yang berhubungan dengan
problem medis.
Durasi tiap episode memiliki nilai diagnostik yang signifikan, semakin
lama durasi vertigo maka kemungkinan kearah vertigo sentral menjadi lebih besar.
Vertigo perifer umumnya memilki onset akut dibandingkan vertigo sentral kecuali
pada cerebrovascular attack. Vertigo sentral biasanya berkembang bertahap
(kecuali pada vertigo sentral yang berasal dari vaskular misalnya CVA. Lesi
sentral biasanya menyebabkan tanda neurologis tambahan selain vertigonya,
menyebabkan ketidakseimbnagan yang parah, nystagmus murni vertikal,
horizontal atau torsional dan tidak dapat dihambat oleh fiksasi mata pada objek.
Selain itu kita bisa membedakan vertigo sentral dan perifer berdasarkan
nystagmus. Nystagmus adalah gerakan bola mata yang sifatnya involunter, bolak
balik, ritmis, dengan frekuensi tertentu. Nystagmus merupakan bentuk reaksi dari
refleks vestibulo okuler terhadap aksi tertentu. Nystagmus bisa bersifat fisiologis
atau patologis dan manifes secara spontan atau dengan rangsangan alat bantu
seperti test kalori, tabung berputar, kursi berputar, kedudukan bola mata posisi
netral atau menyimpang atau test posisional atau gerakan kepala.
Gejala penyerta berupa penurunan pendengaran, nyeri, mual, muntah dan
gejala neurologis dapat membantu membedakan diagnosis penyebab vertigo.

21
Kebanyakan penyebab vertigo dengan gangguan pendengaran berasal dari perifer,
kecuali pada penyakit serebrovaskular yang mengenai arteri auditorius interna
atau arteri anterior inferior cebellar. Nyeri yang menyertai vertigo dapat terjadi
bersamaan dengan infeksi akut telinga tengah, penyakit invasive pada tulang
temporal, atau iritasi meningeal. Vertigo sering bersamaan dengan muntah dan
mual pada akut vestibular neuronitis dan pada meniere disease yang parah dan
BPPV.
Pada vertigo sentral mual dan muntah tidak terlalu parah. Gejala
neurologis berupa kelemahan, disarthria, gangguan penglihatan dan pendengaran,
parestesia, penurunan kesadaran, ataksia atau perubahan lain pada fungsi sensori
dan motoris lebih mengarahkan diagnosis ke vertigo sentral misalnya penyakit
serebrovaskular, neoplasma, atau multiple sklerosis. Pasien dengan migraine
biasanya merasakan gejala lain yang berhubungan dengan migraine misalnya sakit
kepala yang tipikal (throbbing, unilateral, kadang disertai aura), mual, muntah,
fotofobia, dan fonofobia. 21-35 persen pasien dengan migraine mengeluhkan
vertigo.

3.7 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan neurologis yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis
antara lain (Joesoef, 2000):
a. Pemeriksaan nervus cranialis untuk mencari tanda paralisis nervus, tuli
sensorineural, nistagmus. Nistagmus vertikal 80% sensitive untuk lesi nucleus
vestibular atau vermis cerebellar. Nistagmus horizontal yang spontan dengan
atau tanpa nistagmus rotator konsisten dengan akut vestibular neuronitis.
b. Romberg’s sign
Pasien dengan vertigo perifer memiliki gangguan keseimbangan namun masih
dapat berjalan, sedangkan pasien dengan vertigo sentral memilki instabilitas
yang parah dan seringkali tidak dapat berjalan. Walaupun Romberg’s sign
konsisten dengan masalah vestibular atau propioseptif, hal ini tidak dapat
digunakan dalam mendiagnosis vertigo. Pada sebuah studi, hanya 19%
sensitive untuk gangguan vestibular dan tidak berhubungan dengan penyebab

22
yang lebih serius dari dizziness (tidak hanya terbatas pada vertigo) misalnya
drug related vertigo, seizure, arrhythmia, atau cerebrovascular event.
Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua mata
terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik.
Harus dipastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya
dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan vestibuler
hanya pada mata tertutup badan penderit akan bergoyang menjauhi garis
tengah kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak.
Sedangkan pada kelainan serebelar badan penderita akan bergoyang baik pada
mata terbuka maupun pada mata tertutup.
c. Unterberger's stepping test
Pasien disuruh untuk berjalan spot dengan mata tertutup – jika pasien berputar
ke salah satu sisi maka pasien memilki lesi labirin pada sisi tersebut). Berdiri
dengan kedua lengan lurus horisontal ke depan dan jalan di tempat dengan
mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada kelainan vestibuler
posisi penderita akan menyimpang/berputar ke arah lesi dengan gerakan seperti
orang melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua lengan
bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik.
Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.
d. Past-pointing test (Uji Tunjuk Barany)
Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan, penderita disuruh
mengangkat lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai menyentuh
telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata
terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibuler akan terlihat penyimpangan
lengan penderita ke arah lesi. Pemeriksaan untuk menentukan apakah letak
lesinya di sentral atau perifer.

Pemeriksaa vestibuler yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis


antara lain:
a. Dix-Hallpike manoeuvre
Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaringkan ke belakang
dengan cepat, sehingga kepalanya menggantung 45º di bawa garis horisontal,

23
kemudian kepalanya dimiringkan 45º ke kanan lalu ke kiri Perhatikan saat
timbul dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji in dapat dibedakan
apakah lesinya perifer atau sentral Perifer (benign positional vertigo): vertigo
dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik, hilang dalam waktu
kurang dari 1 menit, atau berkurang atau menghilang bila tes diulang-ulang
beberapa kali (fatigue). Sentral: tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo
berlangsung lebih dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula
(non-fatigue) (Anderson dan Levine, 1997).
Tes ini dilakukan jik pemeriksaan-pemeriksaan yang lain hasilnya normal.
Pasien diinstruksikan untuk bernapas kuat dan dalam 30 kali. Lalu diperiksa
nistagmus dan tanyakan pasien apakah prosedur tersebut menginduksi
terjadinya vertigo. Jika pasien merasakan vertigo tanpa nistagmus maka
didiagnosis sebagai sindrom hiperventilasi. Jika nistagmus terjadi setelah
hiperventilasi menandakan adanya tumor pada nervus VIII. (Anderson dan
Levine, 1997).
b. Tes Kalori
Tes ini membutuhkan peralatan yang sederhana. Kepala penderita diangkat ke
belakang (menengadah) sebanyak 60º, tujuannya ialah agar bejana lateral di
labirin berada dalam posisi vertikal, dengan demikian dapat dipengaruhi secara
maksimal oleh aliran konveksi akibat endolimf. Tabung suntik berukuran 20
mL dengan ujung jarum yang dilindungi oleh karet ukuran no 15 diisi dengan
air bersuhu 30ºC (kirakira 7º di bawah suhu badan) air disemprotkan ke liang
telinga dengan kecepatan 1 mL/detik, dengan demikian gendang telinga
tersiram air selama kira-kira 20 detik.
Bola mata penderita segera diamati terhadap adanya nistagmus. Arah gerak
nistagmus ialah ke sisi yang berlawanan dengan sisi telinga yang dialiri (karena
air yang disuntikkan lebih dingin dari suhu badan) Arah gerak dicatat,
demikian juga frekuensinya (biasanya 3-5 kali/detik) dan lamanya nistagmus
berlangsung dicatat. Lamanya nistagmus berlangsung berbeda pada tiap
penderita. Biasanya antara ½ - 2 menit. Setelah istirahat 5 menit, telinga ke-2
dites.

24
Hal yang penting diperhatikan ialah membandingkan lamanya nistagmus pada
kedua sisi, yang pada keadaan normal hampir serupa. Pada penderita
sedemikian 5 mL air es diinjeksikan ke telinga, secara lambat, sehingga
lamanya injeksi berlangsung ialah 20 detik. Pada keadaan normal hal ini akan
mencetuskan nistagmus yang berlangsung 2-2,5 menit. Bila tidak timbul
nistagmus, dapat disuntikkan air es 20 mL selama 30 detik. Bila ini juga tidak
menimbulkan nistagmus, maka dapat dianggap bahwa labirin tidak berfungsi.
Tes ini memungkinkan kita menentukan apakah keadaan labirin normal
hipoaktif atau tidak berfungsi.
c. Elektronistagmogram
Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan untuk merekam
gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian nistagmus tersebut dapat
dianalisis secara kuantitatif.
d. Posturografi
Dalam mempertahankan keseimbangan terdapat 3 unsur yang mempunyai
peranan penting: sistem visual, vestibular, dan somatosensorik.
Tes ini dilakukan dengan 6 tahap :
o Pada tahap ini tempat berdiri penderita terfiksasi dan pandangan pun dalam
keadaan biasa (normal).
o Pandangan dihalangi (mata ditutup) dan tempat berdiri terfiksasi (serupa
dengan tes romberg).
o Pandangan melihat pemandangan yang bergoyang, dan ia berdiri pada
tempat yang terfiksasi. Dengan bergeraknya yang dipandang, maka input
visus tidak dapat digunakan sebagai patokan untuk orientasi ruangan.
o Pandangan yang dilihat biasa, namun tumpuan untuk berdiri digoyang.
Dengan bergoyangnya tempat berpijak, maka input somatosensorik dari
badan bagian bawah dapat diganggu.
o Mata ditutup dan tempat berpijak digayang.
o Pandangan melihat pemandangan yang bergoyang dan tumpuan berpijak
digoyang. Dengan menggoyang maka informasi sensorik menjadi rancu
(kacau, tidak akurat) sehingga penderita harus menggunakan sistem sensorik
lainnya untuk input (informasi).

25
3.8 Diagnosis Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada vertigo meliputi tes audiometrik, vestibular
testing, evalusi laboratorium dan evalusi radiologis, Tes audiologik tidak selalu
diperlukan. Tes ini diperlukan jika pasien mengeluhkan gangguan pendengaran.
Namun jika diagnosis tidak jelas maka dapat dilakukan audiometrik pada semua
pasien meskipun tidak mengeluhkan gangguan pendengaran (Chain. Vestibular
testing tidak dilakukan pada semau pasien dengan keluhan dizziness. Vestibular
testing membantu jika tidak ditemukan sebab yang jelas. Pemeriksaan laboratories
meliputi pemeriksaan elekrolit, gula darah, fungsi thyroid dapat menentukan
etiologi vertigo pada kurang dari 1 persen pasien.
Pemeriksaan radiologi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan vertigo
yang memiliki tanda dan gejala neurologis, ada faktor resiko untuk terjadinya
CVA, tuli unilateral yang progresif. MRI kepala mengevaluasi struktur dan
integritas batang otak, cerebellum, dan periventrikular white matter, dan kompleks
nervus VIII.

3.9 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sekitar 20
sampai 40% pasien dapat didiagnosis segera setelah anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Diagnosis juga dapat ditentukan berdasarkan komplek gejala yang terdapat
pada pasien.

3.10 Terapi
3.10.1 Prinsip umum terapi Vertigo
a. Medikasi
Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita seringkali merasa
sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali menggunakan
pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi. Sebagian besar
kasus terapi dapat dihentikan setelah beberapa minggu. Beberapa golongan
yang sering digunakan:

26
o Antihistamin
Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti vertigo. Antihistamin
yang dapat meredakan vertigo seperti obat dimenhidrinat, difenhidramin,
meksilin, siklisin. Antihistamin yang mempunyai anti vertigo juga memiliki
aktivitas antikholinergik di susunan saraf pusat. Mungkin sifat anti-
kholinergik ini ada kaitannya dengan kemampuannya sebagai obat
antivertigo. Efek samping yang umum dijumpai ialah sedasi (mengantuk).
Pada penderita vertigo yang berat efek samping ini memberikan dampak
yang positif.
o Betahistin
Senyawa Betahistin (suatu analog histamin) yang dapat meningkatkan
sirkulasi di telinga dalam, dapat diberikan untuk mengatasi gejala vertigo.
Efek samping Betahistin ialah gangguan di lambung, rasa enek, dan sesekali
“rash” di kulit.
o Betahistin Mesylate (Merislon)
Dengan dosis 6 mg (1 tablet) – 12 mg, 3 kali sehari per oral.
o Betahistin di Hcl (Betaserc)
Dengan dosis 8 mg (1 tablet), 3 kali sehari. Maksimum 6 tablet dibagi dalam
beberapa dosis.
o Dimenhidrinat (Dramamine)
Lama kerja obat ini ialah 4–6 jam. Dapat diberi per oral atau parenteral
(suntikan intramuscular dan intravena). Dapat diberikan dengan dosis 25
mg–50 mg (1 tablet), 4 kali sehari. Efek samping ialah mengantuk.
o Difhenhidramin Hcl (Benadryl)
Lama aktivitas obat ini ialah 4–6 jam, diberikan dengan dosis 25 mg (1
kapsul)–50 mg, 4 kali sehari per oral. Obat ini dapat juga diberikan
parenteral. Efek samping mengantuk. Antagonis kalsium dapat juga
berkhasiat dalam mengobati vertigo. Obat antagonis kalsium Cinnarizine
(Stugeron) dan Flunarizine (Sibelium) sering digunakan. Merupakan obat
supresan vestibular karena sel rambut vestibular mengandung banyak
terowongan kalsium. Namun, antagonis kalsium sering mempunyai khasiat

27
lain seperti anti kholinergik dan antihistamin. Sampai dimana sifat yang lain
ini berperan dalam mengatasi vertigo belum diketahui.
o Cinnarizine (Stugerone)
Mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular. Dapat mengurangi respons
terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis biasanya ialah 15–30 mg, 3 kali
sehari atau 1 x 75 mg sehari. Efek samping ialah rasa mengantuk (sedasi),
rasa capai, diare atau konstipasi, mulut rasa kering dan “rash” di kulit.
o Fenotiazine
Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat anti emetik (anti muntah).
Namun tidak semua mempunyai sifat anti vertigo. Khlorpromazine
(Largactil) dan Prokhlorperazine (Stemetil) sangat efektif untuk nausea
yang diakibatkan oleh bahan kimiawi namun kurang berkhasiat terhadap
vertigo.
o Promethazine (Phenergan)
Merupakan golongan Fenotiazine yang paling efektif mengobati vertigo.
Lama aktivitas obat ini ialah 4-6 jam. Diberikan dengan dosis 12,5 mg–25
mg (1 draze), 4 kali sehari per oral atau parenteral (suntikan intramuscular
atau intravena). Efek samping yang sering dijumpai ialah sedasi
(mengantuk), sedangkan efek samping ekstrapiramidal lebih sedikit
dibanding obat Fenotiazine lainnya.
o Khlorpromazine (Largactil)
Dapat diberikan pada penderita dengan serangan vertigo yang berat dan
akut. Obat ini dapat diberikan per oral atau parenteral (suntikan
intramuscular atau intravena). Dosis yang lazim ialah 25 mg (1 tablet)–50
mg, 3–4 kali sehari. Efek samping ialah sedasi (mengantuk).

b. Obat Simpatomimetik
Obat simpatomimetik dapat juga menekan vertigo. Salah satunya obat
simpatomimetik yang dapat digunakan untuk menekan vertigo ialah efedrin.
o Efedrin
Lama aktivitas ialah 4–6 jam. Dosis dapat diberikan 10-25 mg, 4 kali sehari.
Khasiat obat ini dapat sinergistik bila dikombinasi dengan obat anti vertigo

28
lainnya. Efek samping ialah insomnia, jantung berdebar (palpitasi) dan
menjadi gelisah.
o Obat Penenang Minor
Dapat diberikan kepada penderita vertigo untuk mengurangi kecemasan
yang diderita yang sering menyertai gejala vertigo.efek samping seperti
mulut kering dan penglihatan menjadi kabur. Contoh obat yang dapat
diberikan antara lain: Lorazepam dan Diazepam.

o Obat Anti Kholinergik


Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas sistem
vestibular dan dapat mengurangi gejala vertigo seperti skopolamin dapat
pula dikombinasi dengan fenotiazine atau efedrin dan mempunyai khasiat
sinergistik. Dosis skopolamin ialah 0,3 mg–0,6 mg, 3 –4 kali sehari.

c. Terapi fisik
Susunan saraf pusat mempunyai kemampuan untuk mengkompensasi
gangguan keseimbangan. Namun kadang-kadang dijumpai beberapa penderita
yang kemampuan adaptasinya kurang atau tidak baik. Hal ini mungkin
disebabkan oleh adanya gangguan lain di susunan saraf pusat atau didapatkan
defisit di sistem visual atau proprioseptifnya. Kadang-kadang obat tidak
banyak membantu, sehingga perlu latihan fisik vestibular. Latihan bertujuan
untuk mengatasi gangguan vestibular, membiasakan atau mengadaptasi diri
terhadap gangguan keseimbangan.

3.10.2 Terapi Spesifik


a. BPPV
Pada kondisi ini tidak direkomendasikan terapi obat-obatan. Vertigo dapat
membaik dengan maneuver rotasi kepala hal ini akan mmemindahkan deposit
kalsium yang bebas ke belakang vestibule. Manuver ini meliputi reposisi
kanalit berupa maneuver epley, modifikasi maneuver epley. Pasien perlu tetap
tegak selama 24 jam setelah reposisi kanalit untuk mencegah deposit kalsium
kembali ke kanalis semisirkularis,

29
b. Vestibular neuronitis dan Labirynthis
Terapi focus pada gejala menggunakan terapi obat-obatan yang mensipresi
vestibular yang diikuti dengan latihan vestibular. Kompensasi vestibular terjasi
lebih cepat dan lebih sempurna jika pasien mulai 2 kali sehari latihan vestibular
sesegera mungkin setelah vertigo berkurang dengan obat-obatan.
c. Meniere disease
Terapi dengan menurunkan tekanan endolimfatik. Walaupun diet rendah garam
dan diuretic seringkali mengurangi vertigo, hal ini kurang efektif dalam
mengobati ketulian dan tinnitus. Pada kasus yang jarang intervensi bedah
seperti dekompresi dengan shunt endolimfatik atau cochleosacculoctomy
dibutuhkan jika penyakit ini resisten terhadap pengobatan diuretic dan diet.
d. Iskemik Vascular
Terap TIA dan stroke meliputi mencegah terjadinya ulangan kejadian melalui
control tekanan darah, menurunkan level kolesterol, mengurangi merokok,
menginhibisi fungsi platelet (misalnya aspirin, clopidogrel) dan terkadang
antikoagulasi (warfarin). Vertigo akut yang disebabkan oleh stroke pada batang
otak atau cerebellum diobati dengan obat-obat yang mensupresi vestibular dan
meminimalisrir pergerakan kepala pada hari pertama. Sesegera mungkin jika
keluhan dapat ditoleransi obat-obatan harus di tapper off dan latihan
rehabilitasi vestibular harus segera dimulai. Penempatan stent vertebrobasilar
diperlukan pada pasien dengan stenosis arteri vertebralis dan refrakter terhadap
penaganan medis. Perdarahan pada cerebellum dan batang otak memberi risiko
kompresi sehingga diperlukan dekompresi melalui neurosurgery.

30
BAB III
ANALISIS KASUS

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan gangguan


klinis dengan karakteristik berupa serangan vertigo perifer, berulang, singkat, dan
berkaitan dengan perubahan posisi kepala baik dari tidur kemudian memutar
kepala (You, et al., 2018). Etiologi pada pasien ini adalah idiopatik, yang
merupakan etiologi terbanyak untuk kasus BPPV (You, et al., 2018; PERDOSSI,
2012).
Aparatus vestibularis adalah komponen khusus pada telinga yang dapat
memberikan informasi mengenai sensasi keseimbangan serta koordinasi gerakan-
gerakan kepala, mata, dan posisi tubuh. Bagian vestibuler dari membran labirin ini
terdiri atas tiga kanalis semisirkularis yaitu, anterior, horizontal, dan posterior.
Labirin ini juga terdiri atas dua struktur otolit yaitu sakulus dan utrikulus yang
mampu mendeteksi akselerasi linear termasuk pengaruh gravitasi bumi. Makula
pada utrikulus diduga menjadi sumber partikel–partikel kalsium yang dapat
menyebabkan BPPV berupa kalsium karbonat (otokonia) yang berbentuk matriks
gelatinosa. Kristal kalsium karbonat ini memiliki densitas dua kali lipat dari
endolimfe sehingga berespon terhadap perubahan gravitasi dan gerakan akselerasi
yang lain. Adanya debris otokonia yang terlepas dari makula utrikulus yang
berdegenerasi, melekat di permukaan kupula (sensor gerakan) kanalis
semisirkularis posterior yang letaknya paling bawah (PERDOSSI, 2012). Sistem
vestibular akan terdegradasi dengan usia dan sebagai hasil dari perubahan yang
disebabkan oleh hipertensi. Hipertensi akan memicu kerusakan pembuluh darah

31
difus yang mengakibatkan penyakit aterosklerosis. Kerusakan pembuluh darah
pada telinga bagian dalam yang disebabkan oleh aterosklerosis dapat
mengakibatkan pelepasan otokonia secara progresif dari membran otolitik (Tan,
et. al., 2017).
Pergeseran massa otokonia membutuhkan waktu, menyebabkan adanya
masa laten sebelum timbulnya keluhan vertigo dan nistagmus. Kristal otokonia
yang bergerak di dalam kanalis semisirkularis akan menyebabkan endolimfe
bergerak dan menstimulasi ampula dalam kanal sehingga menyebabkan vertigo.
Nistagmus dibangkitkan oleh saraf ampularis yang tereksitasi di dalam kanal yang
berhubungan langsung dengan muskulus ekstra okuler (PERDOSSI, 2012).
Berdasarkan literatur diatas, terdapat hubungan yang cukup erat kaitannya
antara gejala yang dirasakan pasien dengan hipertensi. Diagnosis BPPV kanalis
posterior kanan komorbid hipertensi ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya
keluhan rasa pusing berputar sewaktu posisi kepala berubah, diikuti dengan gejala
mual muntah dan keringat dingin yang pernah dialami sejak tiga tahun lalu dan
riwayat hipertensi sejak satu setengah tahun lalu. Tes provokasi dengan Dix-
Hallpike maneuver menimbulkan vertigo hebat sewaktu kepala dimiringkan ke
kanan dengan nistagmus posisional yang muncul sesudah 10 detik. Nistagmus
posisional kanan muncul pada saat tes provokasi karena otokonia yang berada
pada bagian posterior kanal bergerak dari atas kebawah secara torsional, sehingga
mengakibatkan nistagmus posisional dengan fase cepat ke kiri. Nistagmus pada
tipe kupulolithiasis tidak mempunyai fase laten, intensitas menetap selama kepala
berada pada posisi provokatif dan tidak mempunyai fatigabilitas. Sebaliknya
nistagmus pada tipe kanalolithiasis akan memperlihatkan adanya fase laten
sebelum onset vertigo dengan onset yang lebih singkat sekitar satu menit dan
mempunyai fatigabilitas. Kedua hal diatas sangat penting untuk dibedakan karena
merupakan dasar penentuan letak lesi dan awal manuver terapi (PERDOSSI,
2012; Bhattacharyya, et al., 2017). Posisi telinga yang sakit ditentukan dengan
membandingkan intensitas vertigo dan nistagmus serta arah dari fase cepat
nistagmus. Pada pasien terdapat perbedaan intensitas yang bermakna yaitu
pergerakan dari arah kanan dapat menimbulkan vertigo dan nistagmus.

32
Dix-Hallpike maneuver bernilai positif bila dijumpai adanya masa laten
selama 5–20 detik setelah posisi kepala berubah hingga onset munculnya
nistagmus dan vertigo, terjadi nystagmus dan vertigo secara bersamaan dengan
intensitas yang meningkat dan membaik dalam 60 detik serta vertigo yang
semakin berkurang setiap maneuver tersebut dilakukan berulang (Kim, et al.,
2014). Dix-Hallpike maneuver yang dilakukan pada pasien ini menimbulkan
gejala vertigo, sehingga bisa disimpulkan bahwa terdapat otokonia pada kanalis
posterior dan anterior (Cetin, et al., 2018; Strupp, et al., 2008). Bila pasien
merubah posisi seperti Dix-Hallpike maneuver, posisi kanalis posterior berubah
dari inforior ke superior sehingga kupula bergerak secara sentrifugal dan
menimbulkan keluhan vertigo serta nistagmus (Lim, et al., 2019). Secara statistik,
BPPV yang paling banyak ditemui adalah BPPV kanalis posterior. Hal ini dapat
terjadi karena BPPV kanalis horizontal dapat beremisi spontan pada saat kepala
sejajar dengan bidang horizontal bumi (Cetin, et al., 2018).
Menurut guideline, pasien dengan gejala khas BPPV dan hasil Dix-
Hallpike maneuver yang positif pada saat tes provokasi, menandakan terdapat
gangguan vertigo vestibuler kanal posterior karena Dix-Hallpike maneuver
merupakan manuver provokasi yang terbaik untuk BPPV kanalis posterior (Cetin,
et al., 2018; Strupp, et al., 2008). BPPV kanalis posterior dapat ditatalaksana
dengan terapi medikamenotasa dan nonmedikamentosa berupa berbagai macam
manuver terapi, namun yang terbanyak dan paling umum dipakai klinisi untuk
tatalaksana BPPV kanalis posterior adalah Epley maneuver dengan efektifitas
>85%. Epley maneuver dapat dilakukan untuk BPPV kanalis posterior tipe
kanalolitiasis. Pada pasien ini, nistagmus yang muncul merupakan nistagmus
posisional mempunyai karakteristik yang sesuai dengan tipe kanalolithiasis,
sehingga putaran Epley maneuver tetap dimulai dari telinga yang memperlihatkan
vertigo dan nistagmus dengan intensitas yang kuat pada saat berada diposisi
bawah (PERDOSSI, 2012; Bhattacharyya, et al., 2017).
Pada saat pertama kali dilakukan manuver terapi, pasien tidak mampu
menyelesaikan satu putaran, karena rasa pusing berputar dan gejala otonom yang
muncul begitu hebat, sehingga diputuskan untuk tidak melanjutkan terapi dan
diberikan pengobatan analog histamin yaitu betahistin mesylate yang dapat

33
mengurangi tekanan endolimfatik dengan cara memperbaiki mikrosirkulasi serta
pemberian vestibulosupresan yaitu difenhidramin HCl untuk mencegah
kekambuhan. Selain itu diberikan nasehat agar tidur miring dengan telinga yang
sakit berada di posisi atas (PERDOSSI, 2012; Bhattacharyya, et al., 2017).
Penatalaksanaan pada kasus ini digunakan betahistin (untuk mengurangi
keluhan vertigo dan pusing), ondansetron (untuk mengurangi gejala mual), terapi
rehabilitatif dan istirahat yang cukup. Terapi BPPV bertujuan untuk melepaskan
otokonia dari dalam kanalis atau kupula, mengarahkan agar keluar dari kanalis
semisirkularis menuju utrikulus melalui ujung non ampulatory kanal.
Penatalaksanaan vertigo terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu: Terapi kausal,
sebagian besar kasus vertigo tidak diketahui kausanya sehingga terapi lebih
banyak bersifat simtomatik dan rehabilitatif.
Terapi Simptomatis, pengobatan ini ditujukan pada dua gejala utama yaitu
rasa vertigo (berputar, melayang) dan gejala otonom (mual, muntah). Gejala
vestibular akut yang disebabkan oleh gangguan perifer diterapi dengan antiemetik
dan obat penekan vestibular, Antihistamin anti-vertigo pada obat antihistamin
(seperti obat betahistin) tidak berkaitan dengan potensinya sebagai antagonis
histamine, tetapi bersifat khas dan bukan hanya merupakan kemampuan menekan
pusat muntah di batang otak. Senyawa betahistin (suatu analog histamin) dapat
meningkatkan sirkulasi di telinga dalam sehingga dapat diberikan untuk
mengatasi gejala vertigo.
Terapi rehabilitatif yang bertujuan untuk membangkitkan dan
meningkatkan kompensasi sentral dan habituasi pada pasien dengan gangguan
vestibular. Timbulnya mekanisme bisa berasal baik dari system saraf tepi maupun
dari system saraf pusat, dalam usaha memperoleh keseimbangan baru sehingga
tanda kegawatan (alarm reaction) yang merupakan sebab terjadinya vertigo akan
dihilangkan. Mekanisme kompensasi ini dapat dipacu tumbuhnya dengan jalan
memberikan rangsangan terhadap alat keseimbangan di telinga bagian dalam
(vestibule), rangsangan terhadap visus dan juga proprioseptik.
Rangsangan dilakukan secara bertahap namun intensif setiap kali latihan
sehingga timbul gejala nausea, dan dilakukan secara berulang-ulang. Beberapa
cara latihan untuk penderita vertigo yang dapat dikemukakan antara lain: Latihan

34
gerakan tubuh dengan kepala-leher-mata dalam posisi tetap (stasioner) dan Mata
dan kepala bergerak mengikuti objek penglihatan yang bergerak.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson JH dan Levine SC. Sistem Vestibularis. Dalam : Effendi H, Santoso R,


Editor : Buku Ajar Penyakit THT Boies. Edisi Keenam. Jakarta :EGC. 1997.
h 39-45

Bashiruddin J. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak. Dalam : Arsyad E, Iskandar N,


Editor. Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal. 104-9

Bhattacharyya N, et al. Clinical Practice Guideline: Benign Paroxysmal Positional


Vertigo (Update). Otolaryngol Head Neck Surg. 2017; 156(3_suppl):S1-
S47.

Cetin YS, et al. Comparison of the effectiveness of Brandt-Daroff Vestibular


training and Epley Canalith repositioning maneuver in Benign Paroxysmal
Positional Vertigo long term result: A randomized prospective clinical trial.
Pak J Med Sci. 2018;34(3):558-563.

Hain TC. 2012. Post Traumatic Vertigo. American Hearing Reasearch


Foundation.

Joesoef AA. Vertigo. In : Harsono, editor. Kapita Selekta Neurologi.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2000. p.341-59

Kim MB, Lee HS, dan Ban JH. Vestibular suppressants after canalith
repositioning in benign paroxysmal positional vertigo. Laryngoscope.
2014;124(10):2400-3.

Lance S, and Mossman SS. Misleading signs in acute vertigo. Pract Neurol.
2018;18(2):162-165

35
Lempert, T, Neuhauser, H. 2009. Epidemiology of vertigo, migraine and
vestibular migraine in Journal Nerology 2009:25:333-338

Lim EC, et al. Developing a Diagnostic Decision Support System for Benign
Paroxysmal Positional Vertigo Using a Deep-Learning Model. J Clin Med.
2019;8(5):E633

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Pedoman Tatalaksana Vertigo.


Jakarta: PERDOSSI,2012

Strupp, M, et al. Long-term prophylactic treatment of attacks of vertigo in


Meniere's disease--comparison of a high with a low dosage of betahistine in
an open trial.Acta Otolaryngol. 2008;128(5): 520-4.

Sura, DJ, Newell, S. 2010. Vertigo Diagnosis and management in primary


care,BJMP 2010. Labuguen, RH. 2006. Initial Evaluation of Vertigo.
Journal American Family Physician January 15, 2006Volume 73, Number
2.

Tan J, Deng Y, Zhang T, dan Wang M. Clinical Characteristics and Treatment


Outcomes for Benign Proxysmal Positional Vertigo Comorbid with
Hypertension. Acta Otolaryngol. 2017; 137(5):482-484.

Wreksoatmojo BR. Vertigo-Aspek Neurologi. [online] 2009 [cited 2009 May


30th]. Available from: URL:http://www.google.com/vertigo/cermin dunia
kedokteran .html

You P, Instrum R, dan Parnes L. Benign Paroxysmal Positional Vertigo.


Laryngoscope Investig Otolaryngol. 2018;4(1):116-123

36

You might also like