You are on page 1of 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.W KEHAMILAN TRIMESTER III DENGAN


PARTUS PREMATURE IMMINENS (PPI) DI RUANG POLI HAMIL
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB

OLEH :
FADILA HAPSAH BAPANG
033STYCJ21

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI NERS JENJANG PROFESI
MATARAM
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
PARTUS PREMATURUS IMMINENS

A. Definisi
Menurut Oxorn (2010), partus prematurus atau persalinan prematur dapat
diartikan sebagai dimulainya kontraksi uterus yang teratur yang disertai pendataran
dan atau dilatasi servix serta turunnya bayi pada wanita hamil yang lama
kehamilannya kurang dari 37 minggu (kurang dari 259 hari) sejak hari pertama haid
terakhir.
Menurut Nugroho (2010) persalinan preterm atau partus prematur adalah
persalinan yang terjadi pada kehamilan kurang dari 37 minggu (antara 20-37 minggu)
atau dengan berat janin kurang dari 2500 gram. Partus preterm adalah kelahiran
setelah 20 minggu dan sebelum kehamilan 37 minggu dari hari pertama menstruasi
terakhir (Benson, 2012).
Menurut Rukiyah (2010), partus preterm adalah persalinan pada umur
kehamilan kurang dari 37 minggu atau berat badan lahir antara 500-2499 gram.
Berdasarkan beberapa teori diatas dapat diketahui bahwa Partus Prematurus
Imminens (PPI) adalah adanya suatu ancaman pada kehamilan dimana timbulnya
tanda- tanda persalinan pada usia kehamilan yang belum aterm (20 minggu-37
minggu) dan berat badan lahir bayi kurang dari 2500 gram.
B. Etiologi dan Faktor Resiko
Faktor resiko PPI menurut Wiknjosastro (2010) yaitu :
1. Janin dan plasenta : perdarahan trimester awal, perdarahan antepartum, KPD,
pertumbuhan janin terhambat, cacat bawaan janin, gemeli, polihidramnion.
2. Ibu : DM, pre eklampsia, HT, ISK, infeksi dengan demam, kelainan bentuk uterus,
riwayat partus preterm atau abortus berulang, inkompetensi serviks, pemakaian
obat narkotik, trauma, perokok berat, kelainan imun/resus.
Namun menurut Nugroho (2010) ada beberapa resiko yang dapat menyebabkan partus
prematurus yaitu :
1. Faktor resiko mayor : Kehamilan multiple, hidramnion, anomali uterus, serviks
terbuka lebih dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, serviks mendatar/memendek
kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, riwayat abortus pada trimester II
lebih dari 1 kali, riwayat persalinan pretem sebelumnya, operasi abdominal pada
kehamilan preterm, riwayat operasi konisasi, dan iritabilitas uterus.
2. Faktor resiko minor : Penyakit yang disertai demam, perdarahan pervaginam
setelah kehamilan 12 minggu, riwayat pielonefritis, merokok lebih dari 10 batang
perhari, riwayat abortus pada trimester II, riwayat abortus pada trimester I lebih
dari 2 kali.
Sedangkan menurut Manuaba (2009), faktor predisposisi partus prematurus adalah
sebagai berikut:
1. Faktor ibu : Gizi saat hamil kurang, umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35
tahun, jarak hamil dan bersalin terlalu dekat, penyakit menahun ibu seperti;
hipertensi, jantung, ganguan pembuluh darah (perokok), faktor pekerjaan yang
terlalu berat.
2. Faktor kehamilan : Hamil dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan
antepartum, komplikasi hamil seperti pre eklampsi dan eklampsi, ketuban pecah
dini.
3. Faktor janin : Cacat bawaan, infeksi dalam rahim

C. Tanda dan Gejala


Partus prematurus iminen ditandai dengan :
1. Kontraksi uterus dengan atau tanpa rasa sakit
2. Rasa berat dipanggul
3. Kejang uterus yang mirip dengan dismenorea
4. Keluarnya cairan pervaginam
5. Nyeri punggung
Gejala diatas sangat mirip dengan kondisi normal yang sering lolos dari kewaspadaan
tenaga medis.
Menurut Manuaba (2009), jika proses persalinan berkelanjutan akan terjadi tanda
klinik sebagai berikut :
1. Kontraksi berlangsung sekitar 4 kali per 20 menit atau 8 kali dalam satu jam
2. Terjadi perubahan progresif serviks seperti pembukaan lebih dari 1 cm, perlunakan
sekitar 75-80 % bahkan terjadi penipisan serviks.

D. Patofisiologi
Persalinan prematur menunjukkan adanya kegagalan mekanisme yang
bertanggung jawab untuk mempertahankan kondisi tenang uterus selama kehamilan
atau adanya gangguan yang menyebabkan singkatnya kehamilan atau membebani
jalur persalinanan normal sehingga memicu dimulainya proses persalinan secara dini.
Empat jalur terpisah, yaitu stress, infeksi, regangan dan perdarahan (Norwintz, 2007).
Enzim sitokinin dan prostaglandin, ruptur membran, ketuban pecah, aliran
darah ke plasenta yang berkurang mengakibatkan nyeri dan intoleransi aktifitas yang
menimbulkan kontraksi uterus, sehingga menyebabkan persalinan prematur.
Akibat dari persalinan prematur berdampak pada janin dan pada ibu. Pada
janin, menyebabkan kelahiran yang belum pada waktunya sehingga terjailah
imaturitas jaringan pada janin. Salah satu dampaknya terjdilah maturitas paru yang
menyebabkan resiko cidera pada janin. Sedangkan pada ibu, resiko tinggi pada
kesehatan yang menyebabkan ansietas dan kurangnya informasi tentang kehamilan
mengakibatkan kurangnya pengetahuan untuk merawat dan menjaga kesehatan saat
kehamilan.
E. Pathway

- Faktor Ibu - Faktor Mayor


- Faktor Janin & Plasenta - Faktor Minor

Kehamilan <37 minggu

Partus Prematurus Imminens

Rangsangan pada uterus Tindakan Pembedahan Krisis situasional


(SC)

Ansietas
Kontraksi Uterus ↑
Insisi Abdomen

Prostaglandin
↑ Kerusakan Jaringan

Resiko Infeksi
Dilatasi Serviks
Nyeri Akut Kurang Pengetahuan

Kehilangan energi
berlebih Intoleransi Aktivitas
F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nugroho (2010) pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah
sebagai berikut :
1) Laboratorium
a) Pemeriksaan kultur urine
b) Pemeriksaan gas dan pH darah janin
c) Pemeriksaan darah tepi ibu : jumlah leukosit
d) C-reactive protein. CRP ada pada serum penderita infeksi akut dan dideteksi
berdasarkan kemampuannya untuk mempresipitasi fraksi polisakarida somatik non
spesifik kuman pneumococcus yang disebut fraksi C. CRP, dibentuk di hepatosit
sebagai reaksi terhadap IL-1, IL-6, TNF.
2) Amniosintesis : hitung leukosit, pewarnaan Gram bakteri (+) pasti amnionitis,
kultur, kadar IL-1, IL-6, kadar glukosa cairan amnion
3) Pemeriksaan ultrasonografi
a) Oligohidramnion : berhubungan dengan korioamnionitis dan koloni bakteri
pada amnion.
b) Penipisan serviks : bila ketebalan serviks < 3 cm (USG), dapat dipastikan akan
terjadi persalinan preterm..
c) Kardiotokografi : kesejahteraan janin, frekuensi dan kekuatan kontraksi
d) Sonografi seviks transperineal dapat menghindari manipulasi intravagina
terutama pada kasus KPD dan plasenta previa
Menurut Nugroho (2010) pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah
sebagai berikut :
1) Laboratorium
a) Pemeriksaan kultur urine
b) Pemeriksaan gas dan pH darah janin
c) Pemeriksaan darah tepi ibu : jumlah leukosit
d) C-reactive protein. CRP ada pada serum penderita infeksi akut dan dideteksi
berdasarkan kemampuannya untuk mempresipitasi fraksi polisakarida somatik non
spesifik kuman pneumococcus yang disebut fraksi C. CRP, dibentuk di hepatosit
sebagai reaksi terhadap IL-1, IL-6, TNF.
2) Amniosintesis : hitung leukosit, pewarnaan Gram bakteri (+) pasti amnionitis,
kultur, kadar IL-1, IL-6, kadar glukosa cairan amnion
3) Pemeriksaan ultrasonografi
a) Oligohidramnion : berhubungan dengan korioamnionitis dan koloni bakteri
pada amnion.
b) Penipisan serviks : bila ketebalan serviks < 3 cm (USG), dapat dipastikan akan
terjadi persalinan preterm..
c) Kardiotokografi : kesejahteraan janin, frekuensi dan kekuatan kontraksi
d) Sonografi seviks transperineal dapat menghindari manipulasi intravagina
terutama pada kasus KPD dan plasenta previa
G. Penatalaksanaan
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:
1. Menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolitik, yaitu :
a. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan tiap 8
jam sampai kontraksi hilang. Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontaksi
berulang. dosis maintenance 3x10 mg.
b. Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol dapat
digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih
kecil.Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 µg/menit, sedangkan per oral: 4
mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 10-15
µg/menit, subkutan: 250 µg setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5 mg
setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah:
hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema
paru.
c. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara
bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat ini
jarang digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada ibu
ataupun janin. Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi, nyeri dada,
dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).
d. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide dapat
menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat cyclooxygenases (COXs)
yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin. Indometasin merupakan penghambat
COX yang cukup kuat, namun menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. Sulindac
memiliki efek samping yang lebih kecil dari pada indometasin. Sedangkan nimesulide
saat ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis. Untuk menghambat proses PPI,
selain tokolisis, pasien juga perlu membatasi aktivitas atau tirah baring serta
menghindari aktivitas seksual. Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika
lingkungan intrauterine terbukti tidak baik, seperti:
a. Oligohidramnion
b. Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini
c. Preeklamsia berat
d. Hasil nonstrees test tidak reaktif
e. Hasil contraction stress test positif
f. Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan pasien stabil
dan kesejahteraan janin baik
g. Kematian janin atau anomali janin yang mematikan
h. Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-mimetik.

2. Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,


Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan
paru janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome (RDS), mencegah
perdarahan intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang
akhirnya menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana
usia kehamilan kurang dari 35 minggu.
Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian steroid
ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian siklus
tunggal kortikosteroid ialah:
a. Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
b. Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.
Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing
hormone 400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang
kemudian dapat meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen
inositol, karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan
dalam pembentukan surfaktan.
3. Pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan antibiotik
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika yang
tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis
neonatorum. Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko
terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang
dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah
ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain
seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena
risikonecrotising enterocolitis.

H. Diagnosis
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI (Wiknjosastro, 2010),
yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8
menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa
tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%, atau telah
terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The
American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis PPI
ialah sebagai berikut:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau delapan
kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung ketepatan diagnosis PPI :
1. Pemeriksaan Laboratorium: darah rutin, kimia darah, golongan ABO, faktor
rhesus, urinalisis, bakteriologi vagina, amniosentesis : surfaktan, gas dan PH darah
janin.
2. USG untuk mengetahui usia gestasi, jumlah janin, besar janin, kativitas biofisik,
cacat kongenital, letak dan maturasi plasenta, volume cairan tuba dan kelainan
uterus
I. Komplikasi
Menurut Nugroho (2010), komplikasi partus prematurus iminens yang terjadi
pada ibu adalah terjadinya persalinan prematur yang dapat menyebabkan infeksi
endometrium sehingga mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka
episiotomi. Sedangkan pada bayi prematur memiliki resiko infeksi neonatal lebih
tinggi seperti resiko distress pernafasan, sepsis neonatal, necrotizing enterocolitis dan
perdarahan intraventikuler.
Menurut Benson (2012), terdapat paling sedikit enam bahaya utama yang
mengancam neonatus prematur, yaitu gangguan respirasi, gagal jantung kongestif,
perdarahan intraventrikel dan kelainan neurologik, hiperilirubinemia, sepsis dan
kesulitan makan.
Sedangkan menurut Oxorn (2010), prognosis yang dapat terjadi pada persalinan
prematuritas adalah :
1. Anoksia 12 kali lebih sering terjadi pada bayi prematur
2. Gangguan respirasi
3. Rentan terhadap kompresi kepala karena lunaknya tulang tengkorak dan
immaturitas jaringan otak
4. Perdarahan intracranial 5 kali lebih sering pada bayi prematur dibanding bayi
aterm
5. Cerebral palsy
6. Terdapat insidensi kerusakan organik otak yang lebih tinggi pada bayi prematur
(meskipun banyak orang–orang jenius yang dilahirkan sebelum aterm).
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
PARTUS PREMATURUS IMMINENS

A. Pengkajian
1) Pengkajian biodata antara lain :
a) Nama : Dikaji dengan nama yang jelas dan lengkap
b) Umur : Untuk mengetahui faktor resiko. Pada ibu hamil dengan PPI
biasanya terjadi pada usia < 20 tahun atau > 35 tahun (Nugroho,
2010)
c) Agama : Untuk memberikan motivasi atau dorongan sesuai dengan agama
yang dianut.
d) Suku bangsa : Untuk mengetahui adat istiadat yang menguntungkan dan merugikan.
e) Pendidikan : Untuk mengetahui tingkat intelektual, tingkat penerimaan informasi
hal-hal baru atau pengetahuan baru karena tingkat pendidikan yang
lebih tinggi, mudah mendapatkan informasi. Memudahkan ibu untuk
menerima informasi KIE tanda bahaya partus prematurus iminens.
f) Pekerjaan : Untuk mengetahui status ekonomi keluarga. Pada ibu hamil dengan
PPI terjadi pada keadaan sosial ekonomi rendah dan pekerjaan yang
terlalu berat sewaktu hamil (Nugroho, 2010).
g) Alamat : Untuk mempermudah hubungan jika diperlukan dalam keadaan
mendesak sehingga bidan mengetahui tempat tinggal pasien.
2) Keluhan Utama
Untuk mengetahui keluhan yang dirasakan saat pemeriksaan serta berhubungan
dengan persalinan. Pada kasus ibu hamil dengan partus prematurus iminens
keluhannya meliputi mules yang berulang pada usia kehamilan 20-37 minggu,
keluar lendir bercampur darah, kram seperti menstruasi, nyeri punggung bawah,
tekanan panggul yang terasa seperti bayi mendorong kebawah, cairan encer yang
keluar dari vagina (Winkjosastro, 2010)
3) Riwayat Kehamilan Sekarang
Primigravida / multigravida, usia kehamilan, presentasi letak janin, hari pertama
haid terakhir, gerakan janin, obat yang dikonsumsi, keluhan selama hamil, ANC
berapa kali, teratur/tidak, penyuluhan yang pernah didapat, imunisasi TT dan
kekhawatiran khusus trauma dan kelainan letak (Nugroho, 2010).
Pada ibu hamil dengan PPI biasanya mempunyai riwayat kehamilan ganda,
hidramnion, pre- eklampsia, perdarahan antepartum seperti solusio plasenta,
plasenta previa, pecahnya sinus marginalis, ketuban pecah dini, serviks
inkompetensia, infeksi pada vagina asenden (Nugroho, 2010).
4) Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu
a) Kehamilan : Untuk mengetahui berapa umur kehamilan, bagaimana letak
janin dan berapa tinggi fundus uteri, apakah sesuai dengan umur kehamilan atau
tidak. Pada ibu dengan PPI adanya riwayat abortus berulang dan perawatan
prenatal care yang buruk (Wiknjsastro, 2010).
b) Persalinan : Spontan atau buatan, lahir aterm atau prematur, ada atau tidak
perdarahan, waktu persalinan ditolong oleh siapa, dimana tempat melahirkan, ada
atau tidak riwayat persalinan prematur sebelumnya. Pada ibu hamil dengan PPI
memiliki riwayat abortus pada trimester II lebih dari 1 kali, riwayat persalinan
preterm sebelumnya, operasi abdominal pada kehamilan preterm (Nugroho, 2010)
c) Nifas : Apakah ada luka episiotomi atau robekan jalan lahir yang
telah dijahit.
d) Anak : Jenis kelamin, hidup atau mati, kalau sudah meninggal pada
usia berapa dan sebab meninggal, berat badan dan panjang badan waktu lahir.
5) Pola kebiasaan sehari-hari
Menurut (Saminem, 2010) pola kebiasaan sehari–hari yang perlu dikaji adalah :
a) Pola nutrisi
Makan teratur 3 kali sehari, 1 piring nasi, lauk, sayur dan buah, minum kurang lebih
8 gelas per hari, susu, teh dan air putih. Pada ibu yang kurang gizi dapat
mempengaruhi terjadinya PPI (Nugroho, 2010).
b) Pola Aktivitas
Apa aktivitas sehari-hari yang dilakukan ibu. Pada ibu hamil dengan PPI baianya
melakukan pekerjaan yang terlalu berat (Nugroho, 2010).
c) Pola Seksual
Untuk mengetahui apakah hubungan seksual berlangsung dengan normal dan ada
keluhan atau tidak. Pada ibu dengan PPI biasanya frekuensi hubungan seksual
berlebihan terutama pada usia kehamilan tua dan dengan posisi yang tidak aman.
d) Pola eliminasi
Utuk mengetahui frekuensi BAB dan BAK serta output cairan. Pada ibu hamil
dengan PPI biasanya disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih atau
bakterinuria ( Wiknjosasttro, 2010).
e) Perokok dan pemakai obat-obatan
Untuk mengetahui apakah ada kebiasaan merokok dan mengkonsumsi obat-obatan
serta alkohol. Pada ibu dengan PPI biasanya perokok berat atau lebih dari 10
batang/hari (Wiknjsastro, 2010).
6) Pemeriksaan fisik
a) Kepala
(1) Rambut : Untuk menilai warna, ketebalan, distribusi merata atau tidak
(2) Muka : Keadaan muka pucat atau tidak, adakah kelainan atau tidak,
adakah oedema atau tidak.
(3) Mata : Conjungtiva warna pucat atau kemerahan, skelera putih atau
tidak
(4) Hidung : Untuk mengetahui ada tidaknya polip
(5) Telinga : Bagaimana keadaan daun telinga, liang telinga, bentuk
telinga, dan posisinya
(6) Mulut : Untuk mengetahui apakah mulut bersih dan kering, ada
carries, dan karang gigi atau tidak
b) Leher
Untuk mengetahui apakah ada pembesaran vena juguluris, pembesaran kelenjar
limfe dan tyroid
c) Dada dan axilla
(1) Mamae : Untuk mengetahui bentuk payudara dan pigmentasi
puting, puting susu menonjol, benjolan abnormal dan kolostrum
(2) Axilla : Adakah tumor atau benjolan, adakah nyeri tekan atau
tidak
d) Ekstremitas

Untuk mengetahui apakah ada oedema atau tidak, terdapat varicess atau tidak, reflex
patella+/-
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (SDKI, Hal 172)
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kehilangan energy berlebih (SDKI, Hal
128)
3. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional (SDKI, Hal 180)
4. Resiko infeksi (SDKI, Hal 304)

C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa keperawatan Tujuan keperawatan Perencanaan keperawatan


SDKI SLKI SIKI
1. Nyeri akur Setelah dilakukan asuhan Manajemen nyeri (SIKI, hal
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 201)
pendarahan jam daharapkan pasien 1. identifikasi lokasi,
intraperitonial Tingkat nyeri (SLKI, Hal karakteristik, durasi, frekuensi,
145) : kualitas, intenitas nyeri
1. keluhan nyeri menurun 2. identifikasi respon nyeri non
2. sikap peotektif menurun verbal
3. frekuensi nadi membaik 3. fasilitasi istirahat dan tidur
4. gelisah menurun 4. kalaborasi pemberian
5. kesulitan tidur menurun analgetik, jika perlu
2. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan asuhan Manajemen energi :
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 1. identifikasi gangguan fungsi
kehilangan energy jam, maka toleransi tubuh yang mengakibatkan
berlebih aktivitas meningkat, kelelahan
dengan kriteria hasil: 2. monitor kelelahan fisik
1. frekuensi nadi menurun 3. lakukan latihan rentang
2. keluhan lelah menurun gerak pasif dan atau aktif
3. dyspnea saat 4. anjurkan tirah baring
beraktivitas menurun 5. kalaborasi dengan ahli gizi
4. sianosis menurun tentang cara meningkatkan
5. tekanan darah membaik asupan makanan
3. Ansietas b.d krisis Setelah dilakukan tindakan 1. dorong keberadaan atau
situasi keperawatan selama 3x24 parsitipasi pasangan
jam ansietas atau 2. bantu pasien atau pasangan
kecemasan dapat hilang dalam mengidentifikasi
dengan kriteria hasil : mekanisme koping baru jika
1. mengungkapkan dibutuhkan
perasaan ansietas 3. mulai kontak antara
2. melaporkan bahwa pasien/pasangan dengan baik
ansietas sudah menurun segera mungkin
3. kelihatan rileks, dapat
tidur/ istirahat dengan
benar

4. Resiko infeksi Luaran utama; tingkat Pencegahan infeksi (SIKI, hal


infeksi 278)
Setelah dilakukan tindakan 1. monitor tanda dan gejala
keperawatan selama 3x24 infeksi local dan sistemik’
jam diharapkan pasien; 2. cuci tangan sebelum dan
1. demam menurun sesudah kontak dengan pasien
2. nyeri menurun dan lingkungan pasien
3. kebersihan diri 3. pertahankan tehnik aseptic
meningkat pada pasien beresiko tinggi
4. ajarkan cara mencuci tangan
yang benar

D. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status
kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan
(Gordon, 1994, dalam Potter & Perry, 1997).

E. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan
tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Dalam evaluasi
meliputi 3 kriteria hasil, yaitu :
1. Masalah teratasi
2. Masalah teratasi sebagian
3. Masalah belum teratasi
DAFTAR PUSTAKA

Benson, Ralph C dan Pernoll, Martin L. 2012. Buku Saku Obsetri dan Ginekologi. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hariadi, R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan Kedokteran
Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
Manuaba. 2009. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita Edisi 2. Jakarta : EGC
NANDA. 2012-2014, Nursing Diagnosis: Definitions and Classification, Philadelphia, USA
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nugroho, Taufan. 2010. Kesehatan Wanita, Gender dan Permasalahannya. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Oxorn Harry, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan (Human Labor
and Birth). Yogyakarta : YEM.
Rukiyah, Ai Yeyeh, dkk. 2010. Asuahan Kebidanan Patologi. Jakarta : Trans Info Media
Wiknjosastro, H. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, Sarwono
Prawirohardjo.
Wilkinson, J.M., & Ahern N.R., 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Diagnosa NANDA
Intervensi NIC Kriteria Hasil NOC. Edisi Kesembilan. Jakarta : EGC.

You might also like