You are on page 1of 5

PERTOBATAN MENURUT MASYARAKAT NIAS

Oleh Silfanus Harefa

1. Pengantar
Gerakan Fangesa dödö (pertobatan massal) yang telah terjadi puluhan tahun yang lalu
yang dimotori oleh Misionaris Kristen dari Eropa yang menganut pandangan “Christ Against
Cultura” (Kritus menentang kebudayaan) merupakan kesalahan yang sangat merugikan suku
bangsa yang sama artinya pemusnahan bukti sejarah perkembangan masyarakat Nias,
penghancuran identitas dan pembunuhan kreativitas yang dahulu mengalir dalam darah generasi
pada zaman itu1. Pembuatan patung-patung (Adu Zatua) dilarang karena hanya dipandang dari
sisi teologi saja sementara nilai moral dan nilai seni di dalam patung tersebut, seperti motif,
ukiran, pahatan serta warnanya yang khas tidak dihiraukan. Persembahan sesaji yang
dipersembahkan oleh masyarakat di depan patung ini seperti sirih dan makanan (babi, ayam,
telur) serta ritual-ritualnya dipandang sebagai penyembahan berhala. Akibatnya kekayaan-
kekayaan kearifan budaya Nias pada zaman itu yang sering kali mendapat pujian dari orang lain
kini menjadi kemiskinan yang sangat meprihatinkan bagi generasi muda yang hidup pada zaman
modern sekarang ini khususnya bagi para Arkeolog dan Seniman.
Kedatangan misionaris di Nias, membuat masyarakat murka dari agama Pelebegu.
Pelebegu adalah kelompok yang menyembah arwah leluhur melalui patung-patung yang diukir.
Arwah yang dimaksud ialah ruh orang tua yang sudah meninggal. Roh orang yang meninggal
dimasukkan dalam patung yang telah diukir. Hal ini yang ditentang oleh para misionaris.

2. Pertobatan Bagi Masyarakat Nias


Berbicara tentang pertobatan tentu tidak terlepas dari suatu tindakan yang dianggap
sebagai dosa. Tindakan yang mengakibatkan dosa menimbulkan pertobatan. Satu sama lain
memiliki hubungan sebab akibat. Karena berdosa maka bertobat dan sebaliknya. Berkaitan
dengan itu, masyarakat Nias sudah mengalaminya sejak puluhan tahun lalu. Misalnya: masalah

1
Johannes M. Hammerle, Asal Usul Masyarakat Nias, Suatu Intepretasi (Gungnungsitoli: Yayasan Pusaka
Nias, 1999), hlm. 201-204.

1
tentang pengambilan kepala manusia (Emali). Emali dianggap sebagai tindakan yang terhormat.
Sebab hal itu merupakan suatu cara untuk mencari jati diri. 2 Bahkan tidak hanya bersifat personal
namun ada juga yang berkelompok, misalanya: perang antar kampung. Tindakan ini tampak pada
syair yang dipegang oleh masyarakat Nias zaman dulu, yaitu “sӧkhi mate moroi aila” artinya
lebih baik mati dari pada malu. Walaupun masyarakat nias keras dalam hal itu tetapi mereka juga
tidak lupa memohon kekuatan dan pengampunan dari dewa mereka (Lawalangi).
Denninger adalah salah seorang misionaris yang kemudian mengambil alih istilah
Lawalangi menjadi Lowalangi.3 Istilah ini digunakan untuk menyebut Tuhan dalam mewartakan
Injil di Pulau Nias. Awal perubahan istilah ini menimbulkan pertentangan antara pemimpin
setempat dengan misionaris. Titik pertentangannya terletak pada dialektika bahasa di Nias yang
berbeda-beda.4 Di Nias Selatan, kata lawa (atas) dan lani (langit) berbeda dengan Nias Utara di
mana arti atas (yawa) dan langit (langi). Maka dapat dipahami bahwa perubahan istilah
lawalangi menjadi lowalangi tergantung pada titik awwal pewartaan mereka di Pulau Nias.
Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat Nias tidak lagi berpihak pada dewa
Lawalangi melainkan kepada Lowalangi yang mereka akui sebagai Tuhan yang mengurus
kesejahteraan hidup manusia. Kesadaran dan pengetahuan tentang Allah (Lowalangi) memicu
timbulnya perasaan bersalah dan ketakutan yang merujuk pada pembaharuan diri (pertobatan).

3. Bentuk-Bentuk Pertobatan di Nias


3.1 pertobatan Sebelum Kekristenan
3.1.1 Pertobatan Personal
Bentuk perbatan ini yaitu perubahan gaya hidup setiap orang yang mencakup hati,
pikiran, sikap, dan tindakan/perbuatan yang berkaitan dengan kesadaran, pengenalan dan

2
Johannes M. Hammerle, Gerakan Fa’awӧsa di Nias (Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias, 2008), hlm. 7.
3
Dewasa ini nama Lowalangi adalah istilah yang digunakan oleh Kristen di Nias (Protestan dan Katolik)
untuk menyebut Allah. Nama itu diambil oleh Deninger R.M.G. Barmen dari salah satu dewa mitologi Nias.
Mengenai pilihan nama itu banyak ahli menolak seperti Schroder, Steinhart sebagai maha kuasa dan dewa pencipta,
karena paham tentang Lowalangi dalam mitologi Nias bukanlah yang tertinggi melainkan Sihai. Bdk. Peter Suzuki,
The Religious System and Culturaal of Nias, Indonesia (Washington U.S.A: Gravenhage, 1959), hlm. 1-4.
4
Johannes M. Hammerle, Gerakan Fa’awӧsa…, hlm. 7-9.

2
pemahamannya akan Tuhan dalam pengalaman sehari-hari. Pertobatan muncul berdasar pada
ketakutan. Ketakutan yang dimaksud ialah bukan ketakutan dalam arti negatif (ketakutan yang
tidak bertanggung jawab). Misalnya seorang anak asrama keluar malam tanpa sepengetahuan
para staf, namun ketika kembali ia ketahuan oleh seorang staf. Ia takut karena tindakannya itu
yang ceroboh. Karena ia sudah berbohong maka ia takut untuk berbohong maka dengan penuh
kesadaran dan kejujuran ia mengakui segala kesalahan yang ia lakukan dan dengan rela hati
bersedia menanggung segala resikonya. Begitulah masyarakat Nias mewujudkan pertobatan ini
bukan menghindari diri dari hadapan Tuhan tetapi mengadap Dia dalam kerendahan hati,
ketaatan, sujud dan menyembah Dia.

3.1.2 Pertobatan Kolektif


Bentuk pertobatan ini dapat dilihat di daerah Nias Selatan. Setiap tujuh tahun, mereka
mengadakan pematahan harimau (famatӧ harimao).5 Pematahan atau pembuangan harimao ke
dalam sungai Jumali menandakan pertobatan seluruh masyarakat, yang disebut dengan fangesa
sebua (pertobatan massal). Tidak hanya didasarkan oleh rasa ketakutan tetapi disertai dengan
kesadaran yang mendalam akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan mereka. Sebagai tanda
kegembiraan dan syukur atas pertobatan, mereka makan bersama di kampung halaman.

3.2 Pertobatan Sesudaha Kekristenan


Pada masa kekriistenan di Nias, masyarakat mengalami pertobatan personal dalam
jumlah yang besar (dalam suatu kelompok-kelompok tertentu). Pewartaan para misionaris
Kristen dari Eropa ini benar-benar menghantar masyarakat Nias memasuki titik pertobatan yang
sangat serius. Mereka mengarahkan masyarakat kepada Tuhan tidak hanya melalui tindakan-
tindakan, sikap dan perbutan seperti penyembuhan penyakit, pengusiran setan-setan dan tanda-
tanda keselamatan dalam Tuhan tetapi juga melalui perkataan dalam mewartakan Sabda Allah di
tengah-tengah masyarakat yang menghadirkan daya kekuatan ilahi yang menuntun setiap orang
untuk membaharui hidupnya.
Ada suatu peristiwa berkaitan dengan pertobatan. Di Desa Hemene, seorang bapak yang
bernama Filemo sedang mengikuti perjamuan kudus di kemah yang biasa mereka gunakan
sebagai tempat untuk berdoa. Mendengarkan khotbah misionaris, secara tiba-tiba bapak tersebut

5
Johannes M. Hammerle, Famatӧ Harimao (Telukdalam: Abidin Medan, 1986), hlm. 126.

3
menangis sambil menjerit “horӧgu! Horӧgu!”. Ia memohon pengampuan “efa’ӧ horӧgu!
(ampuni dosaku)”. Banyak orang mmengira bahwa ia sudah gila atau sakit. Namun misionaris itu
memahami situasi tersebut. Ia mengatakan bahwa Filemo tidak gila atau sakit namun ia hanya
menyesali dosa-dosanya. Kemudian ia menuntun Filemo mengakui dosanya kepada Tuhan dan
menjumpai orang-orang yang pernah ia lakukan keejahatan. Uniknya peristiwa ini ialah setiap
orang yang ia datangi untuk meminta maaf, terharu dan menangis. Kemudian, orang itu juga
mengakui kesalahannya kepada orang yang pernah ia lakukan kesalahan. Peristiwa ini cepat
menyebar ke seluruh Nias di mana misionaris tersebut melayani. Dalam kurun waktu 14 tahun,
hampir seluruh masyarakat Pulau Nias menjadi Kristen. Mereka sungguh menunjukan dirinya
sebagai Kristen yang sejati dalam persekutuan. Pada masa inilah masyarakat nias menolak
agama tradisonal (sapelebegu), dengan menghancurkan patung-patung yang pernah mereka
agung-agungkan atau sembah.6

4. Efek Pertobatan dalam kehidupan


Akibat dari pertobatan yang sangat radikal ini, masyarakat Nias mulai mengenal istilah
“Fa’awӧsa khӧ Lowalangi” (bersahabat dengan Tuhan) yang berkaitan dengan kesadaran
pengetahuan mereka akan Tuhan.7 Dengan demikian mereka ketakutan yang terwujud dalam
ketaatan, sembah sujud dan menyembah kepadaNya. Kemudian mengakui Tuhan sebagai
pencipta. Tidak lagi datang mempersembahkan sesajen di pohon-pohon besar, gua-gua, dan
tempat-tempat lainnya yang digunakan sebagai tempat menyembah Lawalangi. Tempat untuk
mempersembahkan sesajen tidak lagi di gua-gua, dll, melainkan di dalam Osali.8 Di sana mereka
merayakan iman mereka. Dalam perjalanan waktu, dinamika iman umat semakin berkembang
dan subur maka didirikanlah tempat atau rumah ibadat dalam ukuran besar yang disebut dengan
Omo Lowalangi (Rumah Tuhan/Gereja).

5. Penutup
Pertobatan dalam budaya Nias dapat dikategorikan sebagai suatu masalah metafisik yang
didasarkan pada kekuatan ilahi. Pada akhirnya, mereka menyebut yang ilahi ini: Dewa
Lawalangi. Untuk menjalin relasi dengan dewa ini, masyarakat mengenal ritual tradisioanal yang
6
Johannes M. Hammerle, Gerakan Fa’awӧsa…, hlm. 12.
7
Johannes M. Hammerle, Gerakan Fa’awӧsa…, hlm. 17.
8
Osali adalah tempat melangsungkan upacara sakral yang mirip dengan rumah berukuran kecil. Bahan-
bahan yang digunakan ialah kayu, rumbia dll tanpa menggunakan paku.

4
berpusat di bawah pohon-pohhon besar, batu besar, dan gua-gua dengan mempersambahkan
sesajen.
Kehadiran para misionaris Kristen di Nias merupakan titik awal pertobatan radikal yang
membawa pembaharuan diri di kalangan masyarakat. Sehingga timbul ketakutan yang mereka
wujudkan dalam perubahan sikap hidup secara keseluruhan yang meliputi hati, pikiran, sikap,
tindakan, perbuatan dan perkataan. Mereka mengaktualisasikan dalam bentuk iman dengan
mengakui Tuhan sebagai satu-satunya yang benar, Allah Tritunggal; Bapa, Putera dan Roh
Kudus. Pengakuan mereka sangat mendalam yang tampak dalam kehidupan mereka sehari-hari
dengan memegang ucapan: “Hasara yawau Lowalangigu, Lowalangi silӧ ta’ila ba silӧ oroma”
yang berarti hanya satu di atas Tuhan Allahku, Tuhan yang tidak berwujud dan kelihatan.

Daftar Pustaka

Hammerle, Johannes M. Asal Usul Masyarakat Nias, Suatu Intepretasi. Gungnungsitoli:


Yayasan Pusaka Nias. 1999.
Suzuki, Peter. The Religious System and Culturaal of Nias, Indonesia. Washington U.S.A:
Gravenhage. 1959.
Hammerle, Johannes M. Gerakan Fa’awӧsa di Nias. Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias. 2008.
Hammerle, Johannes M. Famatӧ Harimao. Telukdalam: Abidin Medan. 1986.

You might also like