You are on page 1of 7

LEGAL SUMMARY

CYBERCRIME

TULISAN INI MENCAKUP :

1. Pengertian, Bentuk, Serta Ruang Lingkup Kejahatan Siber (Cybercrime)


2. Pengaturan Tindak Pidana Siber (Cybercrime) Materiil dan Formil di
Indonesia

DASAR HUKUM :

- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi


Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Udang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008.
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

PENGERTIAN, JENIS, SERTA RUANG LINGKUP KEJAHATAN SIBER

1. Bahwa cybercrimes memiliki banyak definisi, baik menurut para ahli maupun
menurut peraturan perundang-undangan. Salah satu definisi menurut Sussan
Benner dalam bukunya Defining Cybercrime: A riview of State and Federal
Law in Cybercrime The Investigation, Prosecution and Defence of A
Computer-Related Crime (2011) membagi cybercrimes menjadi tiga kategori,
yaitu :

“Crimes in which the computer is the target of the criminal activity, crimes in
which the computer is a tool used to commit the crime, and crimes in which
the use of the computer is an incidental aspect of the commission of the
crime.

2. Bahwa selanjutnya, menurut instrumen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)


dalam Tenth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the
Treatment of Offenders yang diselenggarakan di Vienna, 10-17 April 2000,
kategori cyber crime dapat dilihat secara sempit maupun secara luas, yaitu:
a) Cyber crime in a narrow sense (“computer crime”): any illegal behavior
directed by means of electronic operations that targets the security of
computer systems and the data processed by them;
b) Cyber crime in a broader sense (“computer-related crime”): any illegal
behaviour committed by means of, or in relation to, a computer system
or network, including such crimes as illegal possession, offering or
distributing information by means of a computer system or network.

3. Bahwa berdasarkan Convention on Cybercrime (Budapest, 23.XI.2001) tidak


memberikan definisi cybercrimes, tetapi memberikan ketentuan-ketentuan
yang dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Title 1 – Offences against the confidentiality, integrity and availability of


computer data and systems
2. Title 2 – Computer-related offences
3. Title 3 – Content-related offences
4. Title 4 – Offences related to infringements of copyright and related
rights
5. Title 5 – Ancillary liability and sanctions Corporate Liability

4. Bahwa selain itu seiring berkembangnya teknologi Informasi (internet) dan


segala bentuk manfaat di dalamnya terdapat pula konsekuensi negatif
tersendiri dimana semakin mudahnya para penjahat untuk melakukan
aksinya, maka cybercrime dapat diartikan sebuah perbuatan melawan yang
dilakukan dengan mamakai kompouter sebagai sarana atau alat atau
computer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan maupun tidak,
dengan merugikan pihak lain, serta bukan hanya menggunakan kecanggihan
teknologi telekomunikasi di dalam pengoperasiannya.

5. Bahwa berdasarkan dari pengertian-pengertian kejahatan siber (cybercrime)


yang telah disebutkan diatas, jika membahas mengenai ruang lingkup
kejahatan siber, yaitu:
a) Pembajakan;
b) Penipuan;
c) Pencurian;
d) Pornografi;
e) Pelecehan;
f) Pemfitnahan;
g) Pemalsuan;

6. Bahwa dalam bukunya (Maskun, Kejahatan Siber Cyber Crime, 2013:51)


dalam praktiknya kejahatan siber dikelompokkan dalam beberapa bentuk,
antara lain :

a) Unauthorized access to computer system and service, yaitu kejahatan


yang dilakukan kedalam suatu sistem jaringan computer secara tidak
sah, tanpa izin, atau tanpa pengetahuan dari pemilik sistem jaringan
computer yang dimasukinya.
b) Illegal contents, yaitu kejahatan dengan memasukkan data atau
informasi ke internet tentang suatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan
dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.
c) Pemuatan suatu berita bohong atau fitnah yang akan menghancurkan
martabat atau harga diri pihak lain.
d) Pemuatan hal-hal yang berhubungan dengan pornografi.
e) Pemuatan suatu informasi yang merupakan rahasia Negara, agitasi,
dan propaganda untuk melawan pemerintah yang sah, dan
sebagainya.
f) Data forgecy, yaitu kejahatan dengan memalsukan data pada
dokumendokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless dokumen
melalui internet. Kejahatan ini biasanya ditunjukkan pada dokumen-
dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi salah ketik
yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku.
g) Cyber espionage, yaitu kejahatan yang memanfaatkan jaringan
internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain
dengan memasuki sistem jaringan computer pihak sasarannya.
h) Cyber sabotage and extortion, yaitu kejahatan yang dilakukan dengan
membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu
data, program computer atau sistem jaringan computer yang
tersambung dengan internet.
i) Offence agains intellectual property, yaitu kekayaan yang ditunjukkan
terhadap hak kekayaan intelektuan yang dimiliki seorang di internet.
j) Infringements of privacy, yaitu kejahatan yang ditunjukkan terhadap
informasi seseorang yang merupakan hal yang sangan pribadi dan
rahasia.

Pengaturan Tindak Pidana Siber (Cybercrime) di Indonesia

1. Bahwa dalam Instrumen PBB tersebut, maka pengaturan tindak pidana siber
di Indonesia secara luas iaalah tindak pidana yang menggunakan sarana atau
dengan bantuan system elektronik. Berarti semua tindak pidana konvensional
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sepanjang
menggunakan bantuan system elektronik seperti pembunuhan, perdagangan
orang, dapat termasuk dalam kategori tindak pidana siber dalam arti luas.

2. Bahwa selanjutnya dalam pengertian yang lebih sempit, pengaturan tidak


pidana siber diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah
diubah oleh Udang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (“UU 19/2016”) sama halnya seperti Convention on Cybercrimes.

3. Bahwa UU ITE juga tidak memberikan definisi mengenai cybercrimes, tetapi


dalam bukunya (Sitompul, 2012 yang berjudul Cyberspace, Cybercrimes,
Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana) membaginya menjadi beberapa
pengelompokan yang mengacu pada Convention on Cybercrimes, yaitu :

1) Tindak Pidana yang berhubungan dengan aktivitas illegal, yaitu :


a) Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten
illegal yang terdiri dari :
- Kesusilaan (Pasal 27 ayat (1) UU ITE);
- Perjudian (Pasal 27 ayat (2) UU ITE);
- Pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3) UU ITE);
- Pemerasan dan/atau pengancaman (Pasal 27 ayat (4) UU ITE);
- Berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen
(Pasal 28 ayat (1) UU ITE);
- Menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat
(2) UU ITE);
- Mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau
menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Pasal 29 UU ITE);
b) Dengan cara apapun melakukan akses illegal (Pasal 30 UU ITE);
c) Intersepsi atau penyadapan illegal terhadap informasi atau
dokumen elektronik dan Sistem Elektronik (Pasal 31 UU 19/2016);
2) Tindak Pidana yang berhubungan dengan gangguan (Interferensi),
yaitu:
a) Gangguan terhadap informasi atau Dokumen Elektronik (data
interference) Pasal 32 UU ITE
b) Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference)
Pasal 33 UU ITE
3) Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (Pasal 34 UU
ITE);
4) Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik (Pasal 35
UU ITE);
5) Tindak pidana tambahan (accessoir Pasal 36 UU ITE); dan
6) Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal 52 UU ITE)

4. Bahwa selanjutnya pengaturan tindak pidana siber formil di Indonesia diatur


dalam Pasal 42 UU ITE mengatur bahwa penyidikan terhadap tindak pidana
dalam UU ITE dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan ketentuan
alam UU ITE. Ketentuan penyidikan dalam KUHAP tetap berlaku sepanjang
tidak diatur dalam UU ITE. Kekhususan UU ITE dalam penyidikan antara lain:
a) Penyidik yang menangani tindak pidana siber ialah dari instansi
Kepolisian Negara RI atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil (“PPNS”)
Kementerian Komunikasi dan Informatika;
b) Penyidikan dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap
privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau
keutuhan data;
c) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang
terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum acara pidana;
d) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sistem
elektronik, penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan
pelayanan umum

5. Bahwa berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun1981 tentang Hukum Acara


Pidana, Adapun prosedur untuk menuntut secara pidana terhadap perbuatan
tindak pidana siber, secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Korban yang merasa haknya dilanggar atau melalui kuasa hukum,


datang langsung membuat laporan kejadian kepada penyidik POLRI
pada unit/bagian Cybercrime atau kepada penyidik PPNS pada Sub
Direktorat Penyidikan dan Penindakan, Kementerian Komunikasi dan
Informatika. Selanjutnya, penyidik akan melakukan penyelidikan yang
dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan atas kasus bersangkutan
Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam UU ITE.

2) Setelah proses penyidikan selesai, maka berkas perkara oleh penyidik


akan dilimpahkan kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan
di muka pengadilan. Apabila yang melakukan penyidikan adalah
PPNS, maka hasil penyidikannya disampaikan kepada penuntut umum
melalui penyidik POLRI.

KESIMPULAN

1. Bahwa seiring berkembangnya teknologi selain dampak positif yang


ditimbulkan, terdapat pula hal-hal negative yang dapat terjadi salah satunya
ialah tindak pidana kejahatan siber (cybercrime) dan dapat dikatakan
kejahatan tersebut ialah kejahatan yang melawan yang dilakukan dengan
mamakai kompouter sebagai sarana atau alat atau computer sebagai objek,
baik untuk memperoleh keuntungan maupun tidak, dengan merugikan pihak
lain, serta bukan hanya menggunakan kecanggihan teknologi telekomunikasi
di dalam pengoperasiannya.
2. Selanjutnya mengenai pengaturan Materiil dari kejahatan siber di Indonesia
tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh
Udang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan juga aturan formilnya terdapat dalam
Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
menjelaskan mengenai prosedur untuk menuntut secara pidana terhadap
perbuatan tindak pidana siber.

REKOMENDASI

1. Bahwa selain UU ITE, peraturan yang menjadi landasan dalam penanganan


kasus cybercrime di Indonesia ialah peraturan pelaksana UU ITE dan juga
peraturan teknis dalam penyidikan di masing-masing instansi penyidik.

You might also like