You are on page 1of 13

HAKIKAT MANUSIA DALAM BIMBINGAN KONSELING ISLAM

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat BKI
Diampu oleh Dr. Isep Zaenal Arifin, M.Ag, dan Sugandi Miharja. Ph.D.

Disusun Oleh:

R. Rindoe Devianty Atmaja Kusumah (22230130042)


Gina Rismawati (2230130037)

BKI C (Non Reguler)

JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM


FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2023
Hakikat Manusia Sebagai Konselor dalam BKI

Pendahuluan

Di dalam pendidikan tidak terlepas dari ilmu yang membahas mengenai prilaku manusia, agar
proses pendidikan tersebut berjalan lancar. Sejalan dengan itu pula masalah pendidikan ini tidak
terlepas dari ilmu bimbingan dan konseling yang membimbing manusia secara khusus untuk
menyelesaikan permasalahan hidupnya. “Bimbingan didefenisikan sebagai suatu proses
membantu individu untuk memahami dirinya dan dunianya,” sedangkan “konseling adalah
hubungan timbal balik di antara dua orang individu, di mana yang seorang (ialah konselor)
berusaha membantu yang lain (ialah klien) untuk mencapai atau mewujudkan pemahaman
tentang dirinya sendiri dalam kaitannya dengan masalah atau kesulitan yang diahadapinya pada
saat ini dan pada waktu mendatang.” (Dewa Ketut Sukardi, :168-169).

Namun secara umum pendidikan berarti suatu proses transformasi yang dilakukan seseorang atau
masyarakat ke generasi berikutnya, serta dilaksanakan secara sengaja, teratur, terstruktur dan
dapat diukur atau diketahui hasilnya. A. Muri Yusuf mengatakan “pendidikan tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan setiap individu, baik sebagai makhluk individual, ethis maupun
makhluk sosial. Tiap-tiap individu akan tumbuh dan berkembang; cepat atau lambat dalam
lingkungan yang terus berubah ditentukan antara lain oleh kemampuan pendidik dalam
memahami tujuan yang akan dicapai.” (A. Muri Yusuf,:dalam kata pengantar). Artinya
pendidikan itu diperlukan untuk membimbing manusia yang akan tumbuh dan berkembang agar
menjalankan tugas dan panggilan hidupnya secara efektif, dan juga pendidikan tersebut bertugas
untuk membangun kualitas manusia seutuhnya. Ini semua tak terlepas dari peran Konselor dan
Konseling.

Mengenai konselor dan konseling yang merupakan salah satu proses dalam pendidikan untuk
membantu manusia baik secara kelompok ataupun individu dalam menyelesaikan masalah-
masalah yang dihadapi. Dalam makalah mata pelajaran Isu-isu Pendidikan Islam ini akan
membahas mengenai Manusia Sebagai Konselor dan Sasaran Konseling Dalam Pendidikan, di
mana pembahasan ini akan meliputi tentang:

1. Pola-pola kepribadian dan dimensi kemanusiaan.

2. Manusia sebagai khalifah.

3. Manusia sebagai konselor dan sasaran konseling.

Pengertian Konselor

Konselor menurut Hartono dan Boy Soedarmadji memberikan pengertian yakni konselor
merupakan tenaga profesional yang memberikan pelayanan dalam bidang konseling.
Sementara, menurut Jones konselor diartikan sebagai kegiatan yang mengumpulkan fakta dan
pengalaman para siswa. Konselor akan memfokuskan terhadap masalah tertentu yang dialami
bersangkutan. Akhirnya konselor akan memberi masukan untuk memecahkan masalah
tersebut.

Winkel, seorang praktisi psikolog mengemukakan bahwa konselor biasanya ditemukan di


sekolah. Mereka bertindak sebagai tenaga profesional untuk memberikan bimbingan dan
konseling bagi siswa maupun tingkatan mahasiswa. Selain sekolah, konselor biasanya berada
di rumah ibadah, kursus-kursus, maupun membuka praktik sendiri.

Para konselor membantu kliennya untuk melakukan konseling, terutama dalam masalah berat.
Apabila ternyata masalah yang dialami klien berat dan mendalam, maka konselor akan
memberikan rujukan klien untuk pergi ke psikiater atau psikolog. Jadi, sangat mungkin terjadi
kerjasama antara konselor, psikolog, dan psikiater dalam upaya penyembuhan klien.

Persfektif Kepribadian

Kepribadian adalah aspek perilaku yang relatif menetap di dalam diri manusia dan tidak
berubah-ubah (Ewen, 2010). Sejumlah ahli psikologi berpendapat bahwa kepribadian hanya
dapat diketahui dengan cara mengamati perilaku sosial eksternal. Namun demikian, sejumlah
ahli lainnya berpendapat bahwa kepribadian berasal dari dalam diri individu. Dengan kata lain,
kepribadian bisa jadi mengandung aspek yang tidak terlihat.

Ewen (2010) menuturkan bahwa kepribadian berhubungan dengan berbagai perilaku manusia
dalam aspek fisik, mental, emosional, maupun sosial. Sejumlah aspek kepribadian tidak dapat
diamati, seperti pikiran, ingatan, dan mimpi. Di sisi lain, ada aspek kepribadian yang dapat
diamati, seperti perilaku dan tindakan yang dilakukan secara fisik dan terang-terangan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kepribadian juga mencakup aspek-aspek yang
tersembunyi di dalam diri kita. Bisa jadi, terdapat aspek-aspek kepribadian yang tidak kita
sadari sepenuhnya. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan definisi dan pengertian
kepribadian dalam perspektif psikologi menurut Robert B. Ewen. Yaitu karakteristik pribadi
yang stabil dan konstan, dapat dilihat dan tidak dapat dilihat, yang disadari dan tidak disadari.

POLA-POLA KEPRIBADIAN DAN DIMENSI KEMANUSIAN

Al-Qur’an memuat petunjuk mengenai manusia, sifat-sifat dan keadaan psikologisnya


yang berkaitan dengan pembentukan gambaran yang benar tentang kepribadian manusia,
motivasi utama yang menggerakkan perilaku manusia, serta faktor-faktor yang mendasari
keselarasan dan kesempurnaan kepribadian manusia dan terwujudnya kesehatan jiwa manusia.
(Muhammad Utsman Najati,: 11).
Namun pengklasifikasian manusia ke dalam pola-pola kepribadian yang menghimpun pribadi-
pribadi yang memiliki kesamaan ciri, perlu diupayakan karena membantu menjelaskan dan
menafsirkan prilaku-prilaku manusia. Dalam Al-quran, manusia diklasifikasikan berdasarkan
keyakinan ke dalam tiga hal sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhammad Utsman Najati yang
di kutip oleh Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, yaitu, Mukmin, Kafir dan Munafik:

a.) Mukmin

Adalah gambaran kepribadian manusia paripurna dalam kehidupan ini. Manusia yang merupakan
model bagi masyarakat yang telah dibentuk oleh Rasulullah Saw pada generasi pertama umat ini.
Melalui generasi awal inilah Rasulullah mampu mengubah wajah sejarah umat manusia dari
bentuk jahiliyah menjadi bentuk non jahiliyah dengan cahaya ketauhidan. Dan karekteristik
manusia yang menjadi model kehidupan ini ialah: beriman, beribadah kepada rabbnya secara
benar, berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan akhlak mulia dalam
kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan dalam menghindari perbuatan terlarang, serta
dalam beramal selalu ikhlas, amanah dan sempurna. Dan kesemua itu tidak terlepas dari yang
diamanahkan Allah swt di dalam al-quran yang mulia dan hadist/sunnah nabi-Nya.

b.) Kafir

Perihal kepribadian orang yang tidak mengimani ketauhidan Allah Swt, tidak mengimani rasul-
rasul, kitab-kitab yang diturunkan, tidak beriman pada hari akhirat, kebangkitan, dan hisab, serta
tidak pula mengimani surga dan neraka yang dijanjikan. Bersikap taklid atas tradisi yang biasa
dilakukan oleh para leluhurnya, karena mereka bersikap terhadap tradisi jahiliyah yang dilakukan
oleh leluhur yang telah sesat dan tak tahu jalan kembali, membuat pribadi-pribadi mereka
mengalami kejumudan (stagnasi) berfikir dan tidak mampu menyelami ketauhidan yang
diajarkan oleh para utusan. Mereka adalah pribadi-pribadi yang materialistik dan oportunistik
yang sangat mementingkan kenikmatan dan kesenangan dunia semata, sehingga menjadikan
mereka orang yang berprilaku hasud, iri hati, tidak senang, serta bersikap sombong dan
menertawai kaum mukmin, tersebab hal yang demikian itu, mereka dalam mengarungi
kehidupan ini, sarat dengan kedurhakaan, kefasikan, serta tenggelam dalam pemuasan hawa
nafsu dan syahwat.

Munafik

Mengenai perihal kepribadian orang munafik, al-quran membicarakannya di dalam surat An-
Nisa’:142

‫ِإَّن اْلُم َناِفِقيَن ُيَخ اِد ُع وَن َهّللا َو ُهَو َخ اِد ُع ُهْم َو ِإَذ ا َقاُم وْا ِإَلى الَّص َالِة َقاُم وْا ُك َس اَلى ُيَر آُؤ وَن الَّناَس َو َال َيْذ ُك ُروَن َهّللا ِإَّال َقِليًال‬

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, maka Allah membalas tipuan
mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud
riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit
sekali.” (QS. An-N

Dan juga secara panjang lebar di surah Al-baqarah pada ayat ke 8 s/d ayat ke 20, dan tidak
mungkin akan kami tulis dalam makalah yang ringkas ini. Namun Rasulullah Saw dalam
haditsnya menyimpulkan, bahwa kepribadian orang munafik itu ialah:

‫َأْر َبٌع َم ْن ُك َّن ِفيِه َك اَن ُم َناِفًقا َخ اِلًصا َو َم ْن َكاَنْت ِفيِه َخْص َلٌة ِم ْنُهَّن َكاَنْت ِفيِه َخْص َلٌة ِم ْن الِّنَفاِق َح َّتى َيَدَع َها ِإَذ ا اْؤ ُتِم َن َخ اَن َوِإَذ ا َح َّدَث‬
‫َك َذ َب َوِإَذ ا َعاَهَد َغ َد َر َوِإَذ ا َخ اَص َم َفَجَر‬

“Empat hal bila ada pada seseorang maka dia adalah seorang munafiq tulen, dan barangsiapa
yang terdapat pada dirinya satu sifat dari empat hal tersebut maka pada dirinya terdapat sifat
nifaq hingga dia meninggalkannya. Yaitu, jika diberi amanat dia khianat, jika berbicara dia
dusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika berseteru dia berbuat kefajiran”. (HR. Al-Bukhari
no. 89 dan Muslim no. 58)

Dan dalam hadits yang berbunyi

‫ِإَّن َأْثَقَل َص َالٍة َع َلى اْلُم َناِفِقيَن َص َالُة اْلِع َش اِء َو َص َالُة اْلَفْج ِر َو َلْو َيْع َلُم وَن َم ا ِفيِهَم ا ِأَل َتْو ُهَم ا َو َلْو َح ْبًو ا‬

“Sesungguhnya salat yang paling berat dilaksanakan oleh orang-orang munafik adalah salat isya
dan shalat subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan
mendatanginya sekalipun dengan merangkak.” (HR. Al-Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)

MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH

Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, 2010 berkata “Sebelumnya, pembicaraan ini terlebih
dahulu harus diawali dengan memahami term-term manusia yang ada di dalam al-quran. Hal ini
dianggap penting karena manusia merupakan sosok makhluk multidimensi yang bersifat unik.
Lebih lagi tatkala dikaitkan dengan peran manusia sebagai makhluk yang berpotensi untuk
menimbulkan masalah dan kemampuannya menyelesaikan masalah. Dalam kegiatan konseling,
sosok manusia dipandang sebagai konselor dan sasaran konseling (klien).”

Term-term manusia yang ada di dalam al-quran. Sebagaimana yang dijelaskan oleh M. Quraishi
Shihab, 1998 yang dikutip oleh Nizar dan Muhammad Syaifudin, 2010 : bahwa Al-quran
menyebutkan manusia dengan berbagai nama antara lain: Al-Basyar, Al-Insan, An-Nas, Bani
Adam, al-ins, Abdullah (hamba Allah), dan Khalifah Allah.

A. Konsep Al-Basyar

Kata Al-Basyar dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan
baik dan indah. Dari akar kata yang sama, lahirlah kata basyarah yang berarti kulit. Manusia
dikatakan basyarah karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang lainnya.
Selanjutnya menurut Abdul Mujib dan Muhaimin, 1993 yang dikutip oleh Samsul Nizar dan
Muhammad Syaifudin, 2010, “manusia dalam konsep basyar, dipandang dari pendekatan
biologis. (Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin:172)

Jadi dapat dipahami bahwa manusia, secara biologis, tidak jauh berbeda dengan makhluk
biologis lainnya. Manusia memiliki dorongan biologis seperti dorongan makanan dan minuman
untuk hidup, dan juga memerlukan pasangan hidup untuk melanjutkan proses khidupannya. Dan
juga mengalami proses akhirnya secara fisik, yaitu mati seperti makhluk biologis lainya.

B. Konsep Al-Insan

Dari kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat ini, jika ditinjau dari
sudut pandangan Al-Quran lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya
yang berarti lupa atau nasa-yanusu yang berarti berguncang. Di dalam Al-Quran, penggunaan
kata Al-Insan mengacu kepada potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia seperti untuk
tumbuh dan berkembang secara fisik dan juga mental spiritual. Potensi tesebut meliputi potensi
untuk mengembangkan diri secara positif yang memberi peluang bagi manusia untuk
mengembangkan kualitas sumber daya insaninya, sehingga diharapkan dapat menjadi makhluk
ciptaan Allah yang mengabdi kepada pencipatnya. Selain itu, manusia juga memiliki potensi
negative yang berpeluang untuk mendorong manusia ke arah tindakan, sikap dan prilaku yang
akan menjerumuskan dirinya kepada jurang kehinaan dan penderitaan hidup.

Terhadap potensi yang negatif tersebut, manusia sebagai makhluk alternatif, diharapkan
mampu mengatasinya sehingga dapat mengantarkan dirinya kepada posisi yang terhomat dan
mulia.

C. Konsep An-Nas

Kata An-Nas terulang sebanyak 24 kali di dalam Al-Quran dan secara umum
dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan sebagai
makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan perempuan, kemudian
menjadi suku dan bangsa untuk saling mengenal. Secara fitrah manusia senang berkelompok
dimulai dari bentuk yang terkecil yaitu keluarga sampai yang terbesar yaitu bernegara (bangsa)
dan umat manusia. Sejalan dengan konteks tersebut, manusia diharapkan mampu menciptakan
keharmonisan hidup baik pada ruang lingkup yang paling sederhana yaitu keluarga maupun pada
ruang lingkup yang lebih luas yaitu masyarakat. Kemampuan untuk memerankan diri sebagai
makhluk sosial, dikaitkan dengan konsep beriman dan beramal saleh.

D. Konsep Bani Adam

Muhammad Fuad Abd. Baqi mengatakan seperti dikutip oleh Samsul Nizar dan
Muhammad Syaifudin “Manusia sebagai Bani Adam, termaktub di 7 tempat di dalam al-quran.
Manusia sebagai Bani Adam dikaitkan dengan gambaran peran Adam As saat awal diciptakan.
Di kala Adam As akan diciptakan, para malaikat seakan mengkhawatirkan kehadiran makhluk
ini. Para malaikat takut bumi akan dipenuhi dengan kerusakan dan pertumbahan darah.
Kemudian Adam dan Hawa karena kekeliruan akhirnya terjebak oleh hasutan setan hingga
keduanya dikeluarkan dari surga sebagai hukuman atas kelalaian yang mereka perbuat. (Samsul
Nizar dan Muhammad Syaifudin:174).

Berdasarkan kenyataan di atas, dapat dipahami bahwa manusia selaku Bani Adam
dipandang sebagai makhluk yang bermasalah dan selalu dalam kekeliruan. Sehingga berpeluang
untuk tergoda oleh setan. Oleh karena itu, manusia diharapkan mampu menjaga kemuliaan
dirinya dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Konsep ini menitikberatkan kepada upaya
pembinaan hubungan persaudaraan antar sesama manusia yang memiliki latar belakang sosio-
kultural, agama, bangsa dan bahasa yang berbeda-beda. Disamping itu, konsep Bani Adam
terkait erat dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) yang sarat dengan nilai-nilai
humanis yang hakiki dalam ruang lingkup global.

E. Konsep Al-Ins

Kata Al-Ins merupakan homonym dari kata al-jins dan an-nufur (Muhammad Fuad Abd
dalam Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin:175). Menurut M. Quraish Shihab seperti yang
dikutip oleh Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin “kata al-Insan terambil dari akar kata uns
yang berarti jinak, harmonis, dan tampak.” Pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandangan Al-
Quran lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya yang berarti lupa atau
nasa-yanusu berarti berguncang. Sementara menurut Bintu Syathi’, kata al-ins selalu disebut
bersamaan dengan kata jin sebagai lawan katanya. Penyebutan kata al-ins dalam format
redaksional seperti itu terdapat pada 18 ayat. Pesan makna yang dapat ditangkap dari kata Al-ins
adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang bersifat kongkrit (nyata) yang terikat oleh taklif
(tugas keagamaan) yang merupakan amanat dari Allah yang harus dipikulnya. Karena manusia
dibekali dengan ilmu yang dapat ditangkap dan dicerna oleh telinga, akal serta hati, sehingga
menjadika manusia tersebut mempau berfikir yang buruk dan yang baik.

F. Konsep Abdullah

Dalam Konsep manusia sebagai Abd Allah yang berarti abdi atau hamba Allah. Menurut
M. Quraish Shihab, seluruh makhluk yang memiliki potensi berperasaan dan berkehendak adalah
Abd Allah dalam arti dimiliki Allah. Kepemilikan Allah terhadap makhluk tersebut merupakan
kepemilikan mutlak dan sempurna. Dengan demikian, Abd Allah tidak dapat berdiri sendiri
dalam kehidupan dan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan itu. Dalam konteks manusia sebagai
Abd Allah, diharapkan manusia mampu menempatkan diri sebagai yang dimiliki, tunduk dan taat
kepada semua ketentuan pemiliknya, yaitu Allah. Sebagai pernyataan pengahambaan dirinya,
manusia harus dapat menempatkan dirinya sebagai pengabdi Allah dengan sungguh-sungguh dan
secara ikhlas.
Keenam istilah di atas identik untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriahnya serta
persamaan dan perbedaan dengan manusia seluruhnya. Sedangkan yang menyangkut unsur
immaterial, ditemukan antara lain dalam uraian tentang sifat-sifat manusia, yaitu uraian tentang

1. Fitrah,

2. Nafs,

3. Qalb, dan

4. Ruh

G. Konsep Khalifah

Pernyataan tentang kekhalifahan Adam di muka bumi diterangkan dalam Al-Quran, kata
Khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal) terulang sebanyak 2 kali, yaitu pada Surat Al-Baqarah
ayat 30 dan surat Shad ayat 26. Kata Khalifah berarti di belakang, dan karena itu sering diartikan
pengganti (karena yang menggantikan selalu berada dibelakang, atau datang sesudah yang
digantikan). (M. Quraish Shihab dalam Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin: 179).

Islam memandang manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan sebagai proyeksi dimensi
vertikal ke dalam tataran horizontal. Hal tersebut dikarenakan manusia yang memiliki akal
mengetahui realitas dia sendiri dan menjadi salah satu manifestasinya. Ia dapat bangkit
melampaui egonya yang bersifat duniawi dan kontigen. Kemampuannya yang berbicara tersebut
dia dapat berdialog dengan Tuhan sebagai teman bicaranya. Manusia merupakan cerminan yang
di dalamnya terpantul nama dan sifat-sifat Allah yang dihadapan-Nya berdiri tegak dan untuk
selama-lamanya. (H.A. Sholeh Dimyati, 1995).

Dengan potensi akal yang dimiliki maka manusia memiliki kedudukan yang mulia di mata Allah
ataupun makhluk yang lain. dikarenakan dalam akal tersebut mengandung berbagai macam
sumber sangat diperlukan oleh semua makhluk baik manusia atapun makhluk yang lain. Hal ini
dikarenakan manusia dengan akalnya merupakan makhluk yang mensejarah untuk menciptakan
sejarah, mahluk yang berkebudayaan dan berbudaya dalam menciptakan peradaban serta
manusia merupakan sebagai khalifah Allah dimuka bumi yang memiliki tugas melahirkan serta
menjaga ketentraman di bumi.

Kata khalifah, para mufassir tidak memberikan makna yang berbeda. Al-Shabuni misalnya
seperti yang dikutip oleh Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin; “menafsirkan kata tersebut
dengan wakil tuhan (di bumi) untuk melaksanakan berbagai hukum-hukum dan ketentuannya.”
Penelusuran lebih lanjut terhadap istilah Khalifah tersebut ditemukan beberapa persamaannya,
baik dalam redaksi maupun dalam makna dan konteks uraian. Pertama, kata khalifah berkaitan
dengan al-ardh (bumi). Kedua, baik Adam maupun Dawud sama-sama digambarkan pernah
tergelincir tetapi diampuni Allah. Ketiga, sebagai orang yang dimuliakan Allah, mereka dibekali
dengan ilmu pengetahuan.
Dapat dipahami bahwa dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya sebagai khalifah,
manusia senantiasa dibimbing Allah. Bimbingan itu dapat dilakukan secara langsung seperti
bimbingan Allah terhadap para Nabi dan Rasul-Nya, atau secara tidak langsung. Dengan
bimbingan yang diberikan Allah, diharapkan manusia tidak akan tersesat dan tidak mengikuti
jalan setan delam memecahkan segala persoalan (problem) hidup yang dihadapinya.

Tujuan Dan Tugas Kehidupan

Adler (1954) mengemukakan bahwa tujuan akhir dari kehidupan psikis adalah “menjamin” terus
berlangsungnya eksistensi kehidupan kemanusiaan diatasbumi, dan memungnkan
terselesaikannya dengan aman perkembangan manusia. Sedangkan Jung (1958) melihat bahwa
kehidupan psikis manusia mencari keterpaduan, dan di dalamnya terdapat dorongan instinctual
kearah keutuhan dan hidup sehat (dalam Witner & Sweeney, 1992). Lebih jauh, sebagai
kesimpulan dari hasil studinya tentang cirri-ciri manusia yang hidupnya sehat,Maslow (dalam
Witner & Sweeney, 1992) menegaskan bahwa da ya upaya yang keras untuk terciptanya hidup
yang sehat merupakan kecenderungan yang bersifat universal dlam kehidupan manusia. Dalam
kaitan itu semua, Witner & Sweeney (1992) mengajukan suatu model tentang kebahagiaan dan
kesejahteraan hidup serta upaya mengembangkan dan mempertahankannya sepanjang hayat.
Kedua pemikir tersebut mengemukakan ciri-ciri hidup sehat sepanjang hayat dalam lima kategori
tugas kehidupan, yaitu berkenaan dengan spiritual, pengaturan diri, pekerjaan, persahabatan, dan
cinta.

MANUSIA SEBAGAI KONSELOR DAN SASARAN KONSELING

Manusia sebagai khalifah, dituntut untuk mampu mengembangkan dimensi-dimensi


kemanusiaan yang ada pada dirinya yaitu kepribadian yang matang, kemampuan sosial yang
menyejukkan, kesusilaan yang tinggi dan keimanan serta ketakwaan yang mendalam. Tetapi,
kenyataan yang sering dijumpai adalah keadaan pribadi yang kurang berkembang dan rapuh,
kesosialan yang panas dan sangar, kesusilaan yang rendah, dan keimanan serta ketawaan yang
dangkal.

Berbagai persoalan (problem) tersebut tumbuh dan berkembang seiring dengan


perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Problem tersebut baik dari segi sifat, sikap,
prilaku maupun keyakinan kepada agamanya. Pergeseran nilai seperti di atas mengakibatkan
hilangnya identitas kepribadian muslim yang sempurna. Pada saat seseorang mengalami
probelema dalam kehidupannya, ia pasti membutuhkan orang lain untuk menyelesaikan berbagai
persoalan yang dihadapi.

Dalam kaitannya dengan dunia konseling, ungkapan di atas memberikan petunjuk kepada
umat manusia agar senantiasa membagi suka dan duka kepada sesama saudaranya, terutama
sesama muslim, dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapinya. Hal ini menunjukkan
bahwa manusia, sebagai individu dan makhluk sosial, memiliki peran ganda yaitu pada suatu
saat berperan sebagai seorang yang memberikan bantuan kepada orang lain (konselor) dan pada
saat yang lain berperan sebagai orang yang memerlukan bantuan orang lain (klien) dalam
mengatasi berbagai persoalan hidup yang dihadapinya. (M. Utsman Najati dalam Samsul Nizar
dan Muhammad Syaifudin: 186).

Peran sebagai konselor dan klien (sasaran konseling) dapat dipahami dari uraian berikut
ini:

Pertama, Allah berperan sebagai konselor dan para nabi/rasul sebagai kliennya. Kedua,
Rasul berperan sebagai konselor dan umatnya sebagai kliennya. Ketiga, orang tua berperan
sebagai konselor dan anak-anaknya sebagai kliennya. Keempat, Guru berperan sebagai konselor
dan murid sebagai kliennya.

Tuntutan profesional

Konselor merupakan pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling. Bimbingan dan
Konseling sebagai sebuah profesi digambarkan dengan tampilnya konselor yang dapat
memberikan ketenteraman, kenyaman dan harapan baru bagi klien. Untuk menjadi seorang
konselor professional haruslah menampilkan sikap hangat, empati, jujur, menghargai, dan yang
paling penting dapat dipercaya (terjaga kerahasiaan konseli).

Konselor sebagai pribadi harus mampu menampilkan jati dirinya secara utuh, tepat dan berarti,
serta membangun hubungan antar pribadi yang unik dan harmonis, dinamis, persuasif, dan
kreatif, sehingga menjadi motor penggerak keberhasilan layanan bimbingan dan konseling.
Dalam hal ini alat yang paling penting untuk dipakai dalam pekerjaan seorang konselor adalah
dirinya sendiri sebagai pribadi. Disamping itu, dalam mengambil keputusan secara efektif,
diperlukan kualitas hubungan antar pribadi yang baik dari konselor dalam konseling. Untuk
dapat melaksanakan peranan profesional yang unik dan terciptanya layanan bimbingan dan
konseling secara efektif, sebagaimana adanya tuntutan profesi, konselor harus memiliki kualitas
pribadi. Keberhasilan konseling lebih tergantung pada kualitas pribadi konselor dibandingkan
kecermatan teknik.

Konselor adalah tenaga pendidik profesional yang telah menyelesaikan pendidikan akademik
strata satu program studi bimbingan dan konseling serta program pendidikan profesi konselor
dari perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
Dibalik itu, bagi individu yang menerima pelayanan profesi bimbingan dan konseling disebut
konseli, dan pelayanan bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan formal dan nonformal
diselenggarakan oleh konselor.

Dalam mencapai kualitas yang professional, seorang konselor hendaknya mengembangkan


struktur internal, ini dimulai dari diri konselor sendiri untuk memfasilitasi kemampuan untuk
mengidentifikasi keterampilan dan wawasan ilmu pengetahuan, mengenali kesulitan yang terjadi
pada setiap sesi pelayanan.
bimbingan dan proses konseling, memperhatikan tema atau topik selama melakukan pemberian
sesi pelayanan bimbingan dan proses konseling, mulai menyadari setiap gangguan hambatan
konseli yang mengganggu kemajuan pelaksanaan bimbingan dan konseling, senantiasa
menghidupkan kembali gairah dan rasa ingin tahu dalam membantu bimbingan dan konseling
serta menumbuhkan kemampuan akses intuisi dan kreativitas pada ketika berperan sebagai
konselor.

Adapun istilah professional berasal dari kata profesi yang artinya suatu pekerjaan yang dalam
melaksanakan tugasnya memerlukan atau menuntut keahlian (expertise). Menurut Martinis
Yamin profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian,
kemampuan, teknik, dan prosedur berlandaskan intelektualitas. Sedangkan menurut Jasin
Muhammad profesi adalahsuatu pekerjaan yang dalam melakukan tugasnya memerlukan.

teknik dan prosedur ilmiah, memiliki dedikasi, serta cara menyikapi lapangan pekerjaan yang
beorientasi pada pelayanan yang ahli. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa profesi adalah suatu bidang pekerjaan atau keahlian tertentu yang
mensyaratkan kompetensi intelektualitas, sikap, dan keterampilan tertentu yang diperoleh
melalui proses pendidikan secara akademis yang intensif.

Profesional dalam Undang-Undang Guru dan Dosen, dinyatakan bahwa profesional adalah
pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan
kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu
atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Kesimpulan

Manusia sebagai Khalifah Allah memiliki potensi untuk menjadi seorang konselor (pemberi
bimbingan) dan klien (penerima bimbingan). Hal ini dikarenakan manusia sejak zaman Nabi
Adam sampai sekarang dan pada masa yang akan datang, manusia dipandang sebagai makhluk
yang senantiasa penuh dengan masalah. Dan oleh karena itu perlu adanya bimbingan.

Manusia senantiasa dihadapkan dengan berbagai permasalahan (problem) kehidupan yang mau
tidak mau atau siap tidak siap harus diselesaikan/diberikan solosinya. Maksudnya penyelesaian
problem agar manusia dapat meraih kebahagian-kesenangan hidup. Dengan demikian walaupun
manusia sebagai Khalifah Allah dengan segudang potensi yang dimiliknya, namun mereka tidak
dapat melepaskan diri dari bimbingan dan konseling baik secara langsung yang berasal dari
Allah maupun secara tidak langsung dari sesama manusia. Sehingga ia tidak terjerumus dalam
hal-hal yang tidak diinginkan, seperti yang dijelaskan di atas mengenai tipe-tipe manusia.

Tujuan bimbingan adalah memberikan pelayanan bimbingan kepada siswa (kalau bimbingan
tersebut dikaitkan ke dalam bentuk sebuah pendidikan yang formal) dalam rangka upaya agar
siswa dapat menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan.
“Bimbingan dan konseling pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa, pencegahan
terhadap timbulnya masalah yang akan menghambat perkembangannya, dan menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapinya, baik sekarang maupun masa yang akan datang. Sehubungan
dengan target populasi layanan bimbingan dan konseling, layanan ini tidak terbatas pada
individu yang bermasalah saja, tetapi meliputi seluruh siswa.” (Nurihsan, 2006: 42). Proses
bimbingan guru kepada murid yang terjadi di sekolah, seperti dijelaskan oleh Nurihsan juga bisa
dimaknai secara luas (diluar sekolah)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Dimyati, H.A. Sholeh Tinjauan Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan tantang Manusia” Jakarta:
Media Tama, 1995

Najati, Muhammad Utsman Psikologi dalam Al-Qur’an: Terapi Qur’ani dalam Penyembuhan
Gangguan Kejiwaan, terj. M. Zaka al-Farisi, Bandung: Pustaka Setia, 2005

Nurihsan, A. Juntika Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung:
Refika Aditama, 2006

Sukardi, Dewa Ketut “bimbingan dan konseling” bina aksara, 1988

Yusuf, A. Muri “pengantar ilmu pendidikan” Jakarta: balai aksara, yudhistira dan saadiyah, 1982
Prayitno, Amti Erman. 2009. Dasar-Dasar Bimbingan Dan Konseling. Jakarta: PT Asdi
Mahasatya

Walgito Bimo. 2010. Bimbingan + Konseling [Studi & Karier]. Yogyakarta: Andi

Dedi Supriadi. 2001. Konseling Lintas Budaya: Isu – Isu Dan Relevansinya Di Indonesia.
Bandung. UPI.

Fukuyama, M. A. (1990). “Taking A Universal Approach To Multicultural Counseling.”


Counselor Education And Supervision, 30, 6-17.

Sue, D.W. Dan Sue, D. 2003. Counseling The Culturally Diverse Theory And Practice. New
York John Wiley And Sons, Inc.

Corey, G. 1991. Theory And Practice Of Group Counseling. California. Brooks/Cole Publishing
Company.

Adz-Dzaky, M. (2002). Konseling dan Psikoterapi Islam, Penerapan Metode Sufistik.


Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.Depdiknas. (2008). Penataan Pendidikan Profesional Konselor
dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung: Jurusan PPB
FIP UPI.

Hartono, dan Soedarmadji, B. (2012). Psikologi Konseling. Jakarta: Kecana.

Yusuf, S. (2009). Program Bimbingan & Konseling di Sekolah. Bandung: Rizqi Press

You might also like