OU
terlelap bagai orang mati. Mungkin kelelahan sampai tidur
pun tak ingat tempat. Tangannya ia tangkupkan agar hawa
dingin tak terlalu terasa. Rambut ikalnya sudah memutih
dengan beberapa rambut hitam yang masih kentara. Jari-jari
kakinya mengeras, bahkan sudah ada yang mengelupas.
Urat-urat tangannya menonjol menunjukkan betapa ia
seorang pekerja keras.
Beberapa pintu dari kamarnya, tiga orang anak dan
seorang wanita paruh baya tampak bercakap-cakap penuh
antusias. Sang wanita kisaran umur 50 tahun itu tampak
gusar meladeni ketiga anaknya yang terus mempersoalkan
kegiatan memancing mereka. Tanpa bosan, sang ibu terus
mendengarkan ocehan si sulung yang sedang protes minta
dibatalkan jadwal memancing besok. Ia hanya tersenyum,
perintahnya adalah mutlak. Walaupun anaknya ini akan
merajuk, ia tidak peduli. Ja ingin mengajari anaknya ini
sedikit tentang pengabdian terhadap orang tua. Ia lalu
bangkit dari duduknya tanpa berkata apa-apa. Hari sudah
terlalu larut untuk terus berargumen.
ae
Surya menyibak fajar, mulai kembali ke tahtanya
semula. Harum gaharu menyeruak, menetralisir bebauan
khas sehabis hujan. Di sudut kampung, di sebuah rumah
legam, aktivitas rutin di pagi hari mulai berjalan. Seorang
wanita jangkung tampak tengah menggoreng sesuatu di
atas wajan. Keningnya mengkerut tatkala cipratan minyak
mengenai kulit tangannya. Disapunya pelan, tak takut
cipratan minyak panas itu akan berbekas nantinya.
Keluarga Alsaleh merupakan perantau dari timur.
Mereka sengaja menetap di Belitung untuk mencari
pekerjaan. Konon, keluarga Alsaleh merupakan keturunan
dari Antu Kedundong, makhluk halus dengan raga seperti
8 Cerita Rakyat Dari Belitung Timur
@ Dipindai dengan CamScannermanusia. Namun yang
menjadi pembeda
adalah tumit Ant,
Kedundong berada di jarj
kaki dan jari kakinya
berada di tumit, terbalik.
Penampakannya sangat
_menyeramkan dengan
.>-kulit yang dikerubungi
‘oulat dan bau busuk.
Kain kafan melilit tubuh
mereka seakan tak ingin
lepas, hukuman_ bagi
yang ingkar. Legenda
mengisahkan, keluarga
‘Alsaleh senang
mempelajari ilmu
hitam. Meminta kekuatan dari sebangsa jin dan setan untuk
memenuhi hasrat mereka. Akibatnya berdampak pada
keturunan mereka walaupun sudah tak lagi berurusan
dengan ilmu hitam. Setiap keturunan dari keluarga
Alsaleh meninggal, ruh mereka akan bergentayangan
dan mengusik penduduk ‘kampung. Itulah akibat dari
menuntut ilmu yang tak sepatutnya dipelajari.
Cik Salam, beliau adalah keturunan dari Antu
Kedundong. la sangat heran dengan keluarganya kenap4
harus berurusan dengan. hal-hal seperti itu. Namur
nyatanya ia juga tak taat dalam agamanya. Jarang
menunaikan salat dan Rukun Islam lainnya. Ia terlalu sibuk
dengan urusan dunia sampai seringkali meninggalka"
kewajibannya sebagai seorang muslim.
Pria 50 tahunan itu kini tengah sibuk dengan sesuatt
di tangannya. Jari-jarinya begitu gesit_menjamahi bulo
8 Cerita Rakyat Dari Belitung Timur > |
@ Dipindai dengan CamScannerkuning. Tak jarang ia menggerutu karena pekerjaannya
tak kunjung beres. Urat di dahinya menyembul, tanda
kerisauan sudah meradang di ubun-ubunnya, “Berapa
lama lagi aku akan sibuk dengan ambong ini. Sudah
setengah jam berlalu sejak aku mengotak-atik bambu ini,”
Cik Salam menggerutu.
“Bagaimana mau selesai kalau tak kaulakukan dengan
ikhlas dan sabar,” sang istri menggoda. Dia tersenyum
maklum dengan suaminya yang tampak kelelahan itu.
Menoleh pada sang istri, Cik Salam berucap,
“Sepertinya memang harus seperti itu,” dia menelan
kekeh, sadar akan sikapnya yang kekanak-kanakan karena
sudah berbicara dengan benda mati.
Tak lama kemudian, senyum Cik Salam merekah.
Ambong di tangannya sudah selesai dan siap digunakan.
Kebahagiannya pun bertambah tatkala sang _istri
menyodorkan pisang goreng untuk bekalnya selama
memancing. Asap masih terlihat mengepul di sekitaran
pisang goreng, menambah nafsu makannya.
“ Ambillah sepotong untuk kaumakan sebelum pergi,”
sang istri berucap. Tanpa pikir panjang, Cik Salam melahap
pisang goreng itu tanpa peduli akan panasnya. Cik Salam
pun berpamitan kepada sang istri sebelum berangkat
melaut. Anak sulungnya juga mengekor, membantu sang
ayah melaut kali ini. Tangannya sudah penuh dengan
pancingan dan alat-alat melaut lainnya. Pagi-pagi seperti
ini akan bagus jika ingin mencari peruntungan di laut.
Cuaca belum panas dan ikan juga banyak berkumpul.
Tak banyak yang ia harap. Hanya diberi keselamatan dan
rezeki untuk keluarganya.
Riuh rendah kepak camar menyapa indera. Cemara
menjulang, mengawasi dua lelaki yang tengah duduk
tenang dia atas perahu. Keduanya bersimpuh, tak terasa
8 Cerita Rakyat Dari Belitung Timur
@ Dipindai dengan CamScanneral sudah duduk berjam-jam. Sang surya tak
adah
penat padal t merah lebam muka
habis-habisnya_bersinar, membual
Ufuk timur sudah menggelap, pertanda hujan
eka.
i untuk yang ke berapa kalinya
akan segera turun entah
sebulan ini. :
“Dul, ayo kita pulang. Hujan akan segera turun
sebentar lagi,” Cik Salam menyenggol bahu anaknya yang
sepertinya sudah sedikit terlelap itu. Sampan dikayuhnya
cepat-cepat, takut hujan turun saat mereka masih di tengah
laut.
ae
Siang itu hujan mengeroyok habis-habisan kampung
Lalang. Langit kelabu, tak ada gairah. Fillicium-fillicium
sudah basah seluruhnya, menandakan betapa lebat hujan
hari itu. Satu per satu penduduk kampung meninggalkan
pekerjaan mereka di kebun dan lebih memilih menyesap
kuah gangan panas sambil menikmati suasana hujan.
Cik Salam, pria arang itu sudah siap dengan
setelannya. Celana panjangnya ia tarik sedikit agar air
hujan tak merembes dan membuat basah celananya.
Terindak kesayangannya ia kenakan percaya diri, tak risau
dengan ukurannya yang besar, Ia berencana menemui
Haji Adam untuk menanyakan kursi rotan yang telah ia
pesan. Sahabatnya itu merupakan satu-satunya orang
di kampung yang pandai membuat kerajinan dari rotan.
Hasil kerja tangannya begitu memuaskan sehingga banyak
orang yang memesan kepadanya, Hal itu berhasil membuat
sahabatnya dijuluki Juragan Rotan.
; Saat perjalanan menuju rumah Haji Adam, langkah
Co i i Chg rg man nc
ali ear ya. akaiannya putih-putih dari ujung
pai ujung kepala.
8 Cerita Rakyat Dari Belitung Timur
@ Dipindai dengan CamScanner84
“Assalamualaikum,” Cik Salam berujar dengan
sedikit keras.
“Astagfirullahaladzim!" Haji Adam terkejut bukan
main, tak sadar ada yang datang, “wa’alaikumsalam,”
barulah ia membalas, “ya Allah, Cik Salam! Ja berucap
semangat, “bagaimana? Ada yang perlu dibantu?” ia
tersenyum.
“Hujan masih lebat, sepertinya tak dapat memancing
hari ini,” kata Cik Salam.
“Sore nanti mungkin bisa. Bebulus di laut tak akan
habis walau sehari tak memancing,” Haji Adam tersenyum
setengah bingung melihat tingkah teman memancingnya
ini. Begitu khawatir tak dapat memancing saking,
senangnya beliau dengan aktivitas tersebut.
“ Aku harap seperti itu,” ia terkekeh. “Oh, iya. Apakah
kursi rotanku sudah selesai kaubuat? Istriku sudah tak
sabar ingin melihatnya.”
“Tinggal sedikit lagi. Kaubisa mengambilnya sore
nanti.”
“Baguslah, nanti aku akan mengambilnya.” Ia terdiam
sejenak, “Aku bingung denganmu. Bagaimana mungkin
kau mengerjakannya begitu cepat? Kau tak menggunakan
semacam mantra untuk memanggil jin agar membantu
pekerjaanmu, kan?” ia terkekeh.
” Ada-ada saja. Aku hanya serius mengerjakannya dan
tentu saja dengan hati yang ikhlas.” Haji Adam juga ikut
tertawa, “Tapi Salam, aku tak melihat kau tadi di masjid.”
“ Ah, itu. Aku sedang sibuk memperbaiki ambongku.
Ambong itu rusak lagi.” Jujurnya.
“Jangan terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang dapat
kautunda, Salam. Ingat, Kita hidup dan dapat berbicara
seperti ini karena Allah. Kewajiban tetaplah kewajiban.
Kauharus mengingatnya.” Ia bernasihat panjang lebar.
8 Cerita Rakyat Dari Belitung Timur
@ Dipindai dengan CamScanner“Aku akan mengingatnya,” ujar Cik Salam. :
Mereka pun mengobrol sampai tak terasa hujan Sudah
berhenti sepenuhnya. Mereka memutuskan untuk segera
pulang setelah sebelumnya membuat janji, entah apa itu,
ie
Dari seluruh malam gelap yang pernah ada, inilah
malam tergelap yang pernah ia rasakan. Tampak aneh
karena hujan sudah berhenti sejak tadi sore. Bahkan bulan
terasa takut untuk muncul, entah kenapa. Kampung Lalang
benar-benar padam malam ini.
Disudut kampung sana, pohon kedundong itu kembali
meranggas. Aura yang dikeluarkan selalu saja membuat
takut. Bahkan daun keringnya yang jatuh selalu berhasil
membuat orang-orang yang lewat menjerit. Terlalu takut
sampai tak tahu takut kepada apa.
”“ Assalamualaikum, Cik Salam!” Haji Adam, berseru
keras. Dirinya sedikit kerepotan karena barang-barang
yang dibawanya. Tak lama, sosok Cik Salam keluar dari
balik pintu rumah. Terindak sudah siap di kepala. Ambong
juga sudah ia sandang. Pria itu bersetelan serba panjang
malam ini. |
“Wa'alaikumsalam,” ia'menjawab,
“Bagaimana? Sudah siap?” Haji Adam bertanya
tanpa menatap, ia sedang direpotkan oleh barang-barang
bawaannya.
“Ayo, kita harus segera pergi. Malam akan semakin
larut,” jawabnya sambil membenarkan senter di kepalanya.
Wajahnya kelihatan sedikit menggigil. Sebetulnya ia sedang
tak enak badan tapi apa boleh buat ia mesti menepati janji
yang sudah disepakati.
tiga CS mulan itu tampak tenang, Suara riak aif
Jelas dari. kejauhan. Cik Salam dan Haji Ada™
8 Cerita Rakyat Dari Belitung Timur
@ Dipindai dengan CamScanner66
berangkat ke tengah laut. Kater mereka kayuh bersamaan
agar cepat sampai. Tak butuh waktu lama bagi mereka
untuk sampai di tempat yang banyak ikannya. Pancing
segera mereka keluarkan dan mulai menunggu dengan
sabar sampai kailnya berhasil menjerat ikan.
“Aku selalu heran dengan penduduk kampung.
Mereka selalu ketakutan saat melewati pohon kedundong
di samping rumahku,” Cik Salam memulai obrolan.
“Aku pun begitu. Mereka terhanyut oleh rumor tak
jelas itu sampai lupa siapa sebenarnya yang harus mereka
takuti,” Haji Adam berujar. Mereka pun mengobrol sambil
sesekali tertawa mengingat-ingat tingkah aneh penduduk
kampung. Berbincang tanpa bosan, keduanya tak sadar
hujan mulai tururn semakin deras. Mereka pun terpaksa
kembali mengayuh ke tepi pantai. Sekuat tenaga kater
mereka kayuh hingga sampai ke tepian. Keduanya tanpa
pikir panjang langsung berlari dan meninggalkan pantai.
Pancing dan ambong mereka bawa kesusahan karena
sibuk berlari. Sampai di pertigaan jalan mereka berpencar
menuju ke rumahnya masing-masing.
wie
Siang itu matahari seperti ingin membakar ubun-
ubun kepala. Sangat terik sampai membuat panas sekujur
badan. Sungguh ‘aneh karena tadi malam hujan turun
tumpah-ruah. Insiden malam itu sangat mengkhawatirkan
karena hujan turun sangat deras. Bahkan tak ada tanda
akan berhenti padahal hari sudah masuk tengah malam.
Haji Adam berjalan gontai, tak risau sama sekali
dengan cuaca panas siang itu. Ia berencana menanyakan
hasil tangkapan Cik Salam kemarin malam karena sudah
terlanjur kalang-kabut dibuat hujan yang turun tiba-tiba
sampai tak sempat memeriksa tangkapan.
8 Cerita Rakyat Dari Belitung Timur
@ Dipindai dengan CamScannerSaat akan memasuki pekarangan rumah Cik Salam,
atmosfer sekitarnya seakan meradang. Tubuhnya tiba-tipa
panas dingin entah kenapa. Bulu kuduknya merinding,
ia meriang seketika. Perasaan tak enak mulai menjalar dj
hatinya, “Sesuatu pasti terjadi,” batinnya. Cepat-cepat ig
masuk ke rumah Cik Salam. Tetap mengucapkan salam
walau tangannya siap mendobrak pintu. Ia kalang-kabut
sampai tak sadar itu masih rumah orang. la menyeru
beberapa kali. Memeriksa rumah itu dengan teliti. la
mendengar isak tangis. Di balik kamar itu asal suaranya.
Ia ragu, tapi tak mau menduga-duga. Perlahan, ia
sibak tirai putih itu dan mendapati sekeluarga utuh itu
berkumpul. Mereka mengerubung, saling menunduk dan
menutup muka. Si bungsu, anak 4 tahun itu tak mengerti.
Ta terlalu kecil untuk paham situasi. Bola matanya yang
besar mengerjap beberapa kali tanda ia kebingungan.
Sedang si sulung dan adiknya berusaha tak bersuara, tapi
isaknya sungguh kentara dalam suasana senyap seperti
ini. Ibunya? Air matanya sudah tumpah-ruah. Bibirnya
ia gigiti menahan isak. Mukanya mereka merah padam.
Keringat dan air mata seperti tak dapat dibendung,
menambah kekalutan. Tak ada yang dapat berbicara lagi.
Semuanya sudah jelas di sini. Namun kejelasan ini masih
perlu diperjelas lagi agar tak ada kesalahpahaman.
Haji Adam mendekat. Ia berdiri tepat di depan
semuanyas “Assalamu’alaikum,” ia memberi salam. |
la oes as = eee dengan wajah kacau-balav. |
gilaza me getir, sungguh dipaksakan, “Wa’alaiku™ —
y namun akhirnya membalas,
ar menahan napas. Ia terlalu takut untuk
1 Derbicara. Namun akhirnya ia beranikan di”
untuk berujar, “Aku tak tahu...”
Bisakah kaumakamkan suamiku sore ini?”
8 Cerita Rakyat Dari Belitune Timur
@ Dipindai dengan CamScannerkepergian Cik Salam. Semua terasa begitu cepat. Bary
rasanya ia memasakkan gangatt untuk suaminya hari ity,
Tapi waktu seakan sedang mengejar sesuatu, terlalu cepat
berlalu. Namun semuanya sudah terjadi. Ia hanya dapat
tabah dan ikhlas menerima cobaan yang dilimpahkan
kepadanya. Menjadikan sebuah pengajaran baru yang
sangat berharga di hidupnya.
a
+
Malam itu masih sama seperti malam-malam lainnya.
Kabut tebal masih setia menutupi kampung Lalang, tak
ada habisnya. Semak belukar terlihat rancak. Sesuatu di
dalam sana terasa sedang mengawasi. Suara-suara malam
terdengar sangat akrab di telinga. Kampung Lalang
memang terlampau indah jika dinikmati saat malam.
Haji Adam menutup salat Magribnya. Zikir senantiasa
ia lantunkan demi kesempurnaan salatnya. Tangannya
menadah, memohon pengampunan kepada sang khalik.
Hela napasnya terhenti karena menahan isak. Ia sungguh
berduka hari ini. Kepergian teman baik membuatnya
merinding sampai-sampai tak berani keluar rumah.
Ta terlalu takut menerima kenyataan di mana teman
memancingnya itu kini telah pergi dan tak akan pernah
kembali.
Haji Adamselesaidengandoanya. Jaberniatmerapikan
sajadah sebelum hawa di sekitarnya menghangat. Ja
mengernyit tatkala bulu kuduknya tiba-tiba meremang.
Pelipisnya seperti ditiup sesuatu, kali ini ia bertindak.
Dalam hati ia tak lepas berzikir agar dihilangkan perasaan
tak enak ini. Perlahan ia bangkit dari duduknya, berbalik,
berniat kembali ke tempat tidur. Namun apa yang ada di
hadapannya membuat gerakannya terhenti. Tubuhnya
tiba-tiba kaku, ia mengejang. Iris kelamnya melebat,
8 Cerita Rakyat Dari Belitung Timur
@ Dipindai dengan CamScanner90
terbelalak tak percaya, Sosok Cik Salam tengah menatap
ke arahnya. Berdiri di hadapannya. Wajahnya pucat tanpa
mimik, Tubuhnya berselimut kain kafan lengkap dengan
noda tanah di sana-sini. Ulat-ulat menggeliat, merayapi
kulitnya, Kedua tumitnya menghadap ke depan sedangkan
jemari kakinya ke belakang, terbalik. Benar-benar seperti
yang pernah ia ceritakan. Aroma busuk paling hina
menguar, mengambang di udara. Di samping kakinya,
dua nisan dan batang pisang sudah tergeletak entah sejak
kapan. Heran, bagaimana ia membawanya?
Tatapannya yang kosong menyiratkan sesuatu. Haji
Adam sudah lemas, Bukan ia takut, namun terkejut melihat
keadaan sahabatnya sekarang. la bersedih karena saat mati
pun sahabatnya ini masih harus kesusahan.
” Assalamualaikum,” takut-takut ia memberi salam.
“Wa’alaikum salam,” Cik Salam membalas.
Ragu-ragu Haji Adam berkata, “Kenapa kau masih di
sini? Ini bukan alammu,” menghela napas, “kauseharusnya
pulang, Salam.”
“Aku tak tahu ke mana harus singgah. Ke mana
sebenarnya aku harus pulang, Adam?” suaranya terdengar
rapuh. Ja benar-benar sedang kesusahan sekarang.
Haji Adam tampak berpikir. Cukup lama sampai ia
teringat kepada cerita ayahnya dulu tentang sebuah padang
tempat iblis berkumpul. Padang yang masih menjadi
sebuah misteri baginya sampai sekarang. Ayahnya pun
tak tahu di mana pastinya tempat itu. Namun sang ayah
mengatakan bahwa padang tersebut terletak di ujung laut.
“Pergilah kau ke Padang Sendiju. Tempatnya ada di
ujung laut. Maaf, tapi aku tak bisa mengantarmu.”
“Padang Sendiju? Tempat seperti apakah itu?” Cik
Salam bertanya.
“Aku tak tahu, Salam. Ayahku dulu pernah bercerita
8 Cerita Rakyat Dari Belitung Timur
@ Dipindai dengan CamScannerDipindai dengan CamScanner‘find Fa
cul
,
Malam berkabut. Bintang dan bulan tak kunjung
muncul padahal hari sudah masuk sepertiga malam. Entah
memangtakakan munculatau tak beranimuncul. Atmosfer
di kampung ini memang sedang tak baik, pertanda buruk.
Di sudut kampung, pohon kedundong warisan turun
temurun keluarga Alsalch menjulang. Lumut sudah
mengakar hampir ke keseluruhan batang kedondong,
memperkuat aura mistis batang keramat itu. Kabut tak
berani mengepul di’ sana, terhalang kekuatan magis
‘penunggu pohon. Setidaknya itulah yang sering penduduk
kampung Lalang ributkan.
Tepat di samping batang keramat, sebuah rumah
panggung kayu kepunyaan keluarga Alsaleh berdiri.
Dinding rumahnya berlapis kulit kayu, sengaja dicat hitam
entah apa alasannya. Terasnya berpagar kayu mahoni,
dicat putih. Sangat kontras dengan dindingnya, Rumah
sempit itu terlihat tenang, tak sinkron dengan suasana
sekitarnya yang saling beradu suara.
Kehidupan malam mulai merangkak, memamerkan
bunyi-bunyian aneh, membuat bising. Hewan pengerat
memulai aktivitas mereka, menggigiti kayu lapuk berdebu
itu. Mata mereka mengkilat, tanda keberingasan. Takada |
cukup penerangan yang dapat terlihat di sekitar rumah
legam ini. Hanya satu dua obor kiranya yang dapat disebut
sebagai penerang. Lainnya sudah koyak tak berbentuk.
Silir angin -berembus, -mengeroyok pemilik
rumah’ yang sedang telelap. Tak ada geraken. Belian
8 Cerita Rakyat Dari Belitung Timur
4
@ Dipindai dengan CamScanner