You are on page 1of 13

Arsitektur Masjid Asasi Padangpanjang

Menelusuri kota Padangpanjang yang dikenal sebagai serambi mekah dengan wisata
religinya kami menemukan “Kampung Wisata Religi & Budaya”. Kami menapaki Masjid tertua
di kota Padangpanjang yang terletak di Desa Sigando, Kecamatan Padangpanjang Timur yaitu
Masjid Asasi. Masjid asasi ini sangat unik, berbeda dengan bangunan masjid pada umumnya
bernuansa arab dengan kubah. Masjid ini memiliki khas arsitektur Minangkabau dengan gonjong
dan ukiran coraknya. Setelah melakukan riset sebanyak dua kali, dengan observasi secara
lansung ke lokasi Masjid Asasi kami bertemu dengan beberapa penjaga masjid dan budayawan
disana. Awalnya kami melakukan pengamatan pada corak – corak dinding masjid dan
peninggalan yang tersisa. Hal itu memancing rasa ingin tahu lebih dalam tentang sejarah yang
terkandung dari arsitektur masjid asasi.

Narasumber 1: Bapak H. Azhar Noer (Pengurus Masjid)

Kami melakukan wawancara dengan Pengurus masjid, penjaga masjid dan budayawan
yang mengerti seluk beluk Masjid Asasi. Bapak H. Azhar Noer sebagai orang tua sekaligus
selaku pengurus masjid asasi mengatakan bahwa Masjid Asasi awalnya bernama Surau Gadang.
Arsitekturnya sejak dulu mengikuti bentuk masjid tradisional Minangkabau tidak berubah dari
bentuk awak. Bahkan sejak didirikan, konstruksi masjid tidak mengalami kerusakan berarti,
walaupun dilanda gempa pada 1926 dan 2009. Renovasi yang dilakukan berupa penggantian atap
ijuk dan dinding tidak mengubah keaslian bentuk masjid. Pemerintah Indonesia telah
menetapkannya sebagai benda cagar budaya di bawah Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala
(BP3) Sumatra Barat, Riau, dan Kepulauan Riau. Saat ini, Masjid Asasi menjadi salah satu daya
tarik wisata Religi dan Budaya di Padangpanjang.

Narasumber 2: Bapak Asrul Effendi (Budayawan)

Untuk bukti yang lebih jelas kami melanjutkan wawancara dengan Bapak Asrul Effendi
selaku budayawan pengamat Masjid Asasi. Beliau menjelaskan menurut sejarahnya awal Surau
Gadang yang kini dikenal dengan Masjid asasi sesuai catatan kerapatan adat nagari (Suluah
Bendang dalam nagari) setempat menyebutkan, Surau Gadang didirikan pada 1770. Namun,
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatra Barat merujuk tahun 1702 sebagai awal
pendirian masjid. Sedangkan dari versi Kemenag mengatakan berdirinya masjid ini sudah sejak
tahun 1405, namun masih tidak memiliki data yang cukup kuat. Berbagai pendapat tersebut
digali oleh bapak Asrul Effendi bersama tim penelitian budaya di Padangpanjang untuk
mendapat jawaban yang pasti dengan bukti yang ada. Hingga diputuskan pendirian masjid terjadi
pada tahun 1685 berdasarkan Pergub nomor 430609 tahun 2018 “Nagari Percontohan” dimana
Nagari Gunuang menjadi pilot percontohan nagari percontohan dan pelestarian adat
Minangkabau Sumatera Barat. Diteliti dari 3 buku, 1770 itu rehabilitasi berat, dari arsitektur atap
ijuk menjadi seng. Pergub tersebut telah sesuai penelitian dengan beberapa orang ahli dan
musyaearah bersama niniak mamak, cadiak pandai, alim ulama sehingga disepakati tahun berdiri
masjid ini yaitu 1685. Hal itu juga berkaitan dengan ajaran Islam pertama kali masuk ke daratan
Minangkabau pada abad 15. Masuk ke sumatera barat 1551 dari Samudera pasai ke Pariaman,
lalu dikembangkan Syekh Burhanudin 15/16 akhir awal. Kesepakatan tersebut telah dicetuskan
dalam buku PPKD Pokok pokok kebudayaan Padangpanjang. Sedangkan untuk penamaan Asasi
sendiri baru muncul setelah tahun 1930. Asasi berasal dari kata "asas" dalam bahasa Arab yang
berarti dasar atau sesuatu yang jadi tumpuan. Dihibahkan oleh Angku Datuak Kayo dari surau
gadang menjadi masjid asasi, dengan gotong royong dibangun masjid dengan nama asasi yang
juga berarti asal muasal yakni awal masjid dari 4 koto.

Gagasan pembangunan yang menjadi cikal bakal masjid berawal dari surau yang
didirikan oleh 4 suku yang mendiami Nagari Gunung. Masjid dicetuskan oleh 4 suku koto
diantaranya yaitu penduduk Nagari Gunung dan tiga nagari sekitarnya; Paninjauan, Tambangan,
dan Jawo. Keempat nagari ini menjadikan Masjid Asasi sebagai pusat aktivitas keagamaan.
Surau tersebut terbuat dari kayu dan atap terbuat dari ijuk.

Denah mesjid berbentuk persegi panjang berbentuk panggung dengan bagian mihrab dan
serambi menonjol keluar dari bangunan utama. Bangunan di kelilingi pagar besi setinggi 90 cm
di bagian selatan dan pagar tembok setinggi 110 cm di bagian barat dan utara.Pintu gerbang
berada di sebelah selatan. Atap susun tiga dari seng dan bergonjong dua di bagian mihrab dan
serambi. Pintu masuk ruang utama berada di sebelah timur melalui tujuh buah anak tangga. Pintu
memiliki dua buah daun pintu.

Secara umum, komponen bahan bangunan masjid terbuat dari kayu, mulai dari dinding, lantai,
dan tiang penyangga. Surau ini di topang oleh 25 buah tiang, ruang utama ditopang oleh delapan
tiang penyangga dengan garis lingkar rata-rata 110-130 cm dan sebuah Tiang utama yaitu Taiang
maco yang terletak di tengah diambil dari sebatang kayu madang di Rimbo Kayu Putiah,
pertemuan padangpanjang dengan padang. Tonggak macu berukuran lebih besar dari tiang-tiang
lainnya dengan diameter 1,5 m. Tonggak macu yang dahulu terbuat dari kayu, diganti dengan
dengan beton karena kropos pada bagian bawah (sampai plafon). Tiang bagian bawah (beton)
berbentuk segi empat (150 x 142 cm) dan bentuk bulat diatasnya (keliling 330 cm). Kemudian di
atasnya berbentuk segi delapan dan bentuk bulat lagi sampai plafon, pada bagian atas tiang macu
terdapat hiasan berbentuk kelopak bunga matahari. Sekeliling dinding terdapat 13 buah jendela,
masing-masing jendela tiri dari dua lapis, pada bagian dalam terdapat 8 buah lobang angin.

Dinding bangunan dipenuhi dengan ragam hias motif flora, ukiran khas tradisional
Minangkabau. Terdapat jendela kaca berdaun dua pada dinding sisi utara dan selatan, masing-
masing berjumlah empat. Jendela serupa terdapat pula di bagian mihrab, masing-masing satu di
sisi utara dan selatan mihrab. Dinding terbuat dari kayu papan ukir khas tradisional Minangkabau
di bagian luar, sedangkan bagian dalam ditambah lapisan papan polos (baru). Lantai mesjid dari
papan kayu. Jendela bagian luar terbuat dari kayu dan penuh dengan ukiran berwarna warni,
daun jendela sebanyak dua buah. Sedangkan pada bagian dalam juga terdapat dua daun jendela
berkaca. Jendela kaca dengan dua daun di ruang utama terdapat mihrab yang menjorok keluar
dari ruang utama. Dinding papan berukir dan bagian dalamnya dilapisi papan polos (baru).

Jendela seperti di ruang utama berjumlah dua buah terdapat di sisi utara dan selatan.
Model jendela seperti ini biasanya dijumpai pada bangunan rumah gadang diberbagai daerah di
Minangkabau. Biasanya pada pagi hari jendela bagian luar dibuka, maka jendela kaca bagian
dalam ditutup, pada sore hari menjelang magrib jendela bagian luar ditutup. Pemakaian dua daun
jendela merupakan pengaman bagi keluarga seisi rumah, dimana apabila jendela bagian luar
dibuka, maka jendela bagian dalam berfungsi sebagai pengaman. Sinar terang dari luardapat
masuk melalui kaca. Di bagian timur terdapat bangunan serambi yang menjorok keluar seperti
pada bagian mihrab. Bangunan serambi berupa ruangan tertutup tanpa jendela dan atapnya
berbentuk gonjong. Saat ini ruangan serambi di mamfaatkan sebagai ruangan kantor pengurus
mesjid dengan menyekatnya dari ruang utama dan membuat sebuah pintu masuk di sebelah barat
(dari ruang utama). Atap masjid terbuat dari seng, berundak-undak sebanyak tiga tingkat.
Berbentuk limas, permukaan atap dibuat cekung, cocok untuk daerah beriklim tropis karena
dapat lebih cepat mengalirkan air hujan. Adapun atap mihrab berbentuk gonjong, terpisah dari
atap ruang utama.
Masjid Asasi memiliki 3 motif ukiran dari aliran yang berbeda yaitu pada tingkat ke -3 adalah
aliran Hindu yang mana motifnya mengarah pada tulisan palawa.

Tingkat ke – 2 adalah aliran China, dikarenakan dahulu ada perebutan kekuasaan.

Tingkatan pertama paling dasar secara keseluruhan adalah corak khas Minangkabau.

Masjid Asasi berdiri di atas tanah berukuran 25 x 22 m. Ruang utama yang merupakan
ruang salat memiliki denah dasar berukuran 13,1 m x 13,1 m. Letaknya ditinggikan sekitar satu
meter dari permukaan tanah, membentuk kolong. Mihrab dibuat menjorok pada sisi barat,
berdenah 2,2 m x 4,6 m. Terdapat serambi pada sisi timur berupa ruangan tertutup berukuran 5 m
x 4,4 m tanpa jendela. Tangga masuk masjid berada pada sisi kiri dan kanan serambi berupa
coran semen. . Di ruang belakang, terdapat sekumpulan benda kuno, berupa brankas peninggalan
Belanda dan beberapa lembar Al – Qur’an beraksara Arab-Melayu. Dan pada bagian mihrab,
terdapat mimbar yang terbuat dari kayu papan.

Masjid dikelilingi pagar besi di bagian selatan dan pagar tembok di bagian barat dan
utara. Untuk memasuki area masjid, terdapat pintu gerbang di sebelah selatan. Terpisah dari
bangunan induk, terdapat bangunan panggung “Rumah Tabuah” di sebelah utara seperti tempat
penyimpanan padi. Bangunan ini digunakan untuk tempat bedug yang terbuat dari kayu kelapa.

Bedug mesjid terbuat dari pohon kelapa diletakkan dalam bangunan tersendiri berbentuk
panggung, seperti bangunan menyimpan padi. Terletak di bagian depan mesjid sebelah utara
(utara serambi). Bangunan terbuat dari kayu, dinding papan berukir, dan atap dari seng
bergonjong empat. Pintu masuk terdapat di sebelah timur.

Salah satu yang unik dari rumah gadang adalah ragam hiasnya, ukirannya berbentuk
bamego-mego. Selain sebagai hiasan dan untuk menambah keindahan, ukiran juga menujukkan
status ekonomi sipemilik yang berasal dari golongan kaum berada. Akan tetapi tidak
menggambarkan martabat sosial dalam strata pemerintahan adat Minangkabau(Garang,
1983:28). Ragam hias Minangkabau adalah ungkapan atau ekspresi yang lahir dari suatu konsep
untuk menyatakan diri dalam kebudayaan, khususnya dalam bidang kesenian.

Tata letak Ragam Hias di Mesjid Asasi Padangpanjang

A. Tata letak Ragam hias di Dinding sebelah kiri dan kanan Ragam hias
1) Dinding sebelah kanan
2) Dinding Sebelah Kiri
1. Tantadu Manyasok Bungo
Tantadu adalah ulat daun berwarna hijau yang memiliki dua antena di kepalanya,
ulat tantadu selalu bersungguh-sungguh bila sedang menghisap bunga/ madu, buah
pinang merupakan salah satu kelengkapan makan sirih. Jadi motif ini melambangkan
kesuburan dan cita-cita. Motif tantadu termasuk motif pengisi bidang kecil dan peralatan
lainnya.
2. Siriah Gadang
Siriah gadang merupakan simbol yang melambangkan keramahtamahan, sirih dan
kelengkapannya merupakan alat untuk menjamu tamu. Sirih dihidangkan sewaktu
memulai acara atau membuka pembicaraan. Hal ini melambangkan persatuan yang erat di
tengah-tengah masyarakat. Terlihat konsep persaudaraan dan rasa sosial, supaya
masyarakat teratur. perumpamaan ini dikiaskan kepada orang yang berorientasi dari tata
nilai bertindak yang baik di tengah masyarakat.
3. Carano Kanso
Carano kanso adalah wadah yang gunanya tempat meletakkan sirih pinang
selengkapnya, terbuat dari logam seperti loyang atau kuningan. Motif carano kanso
melambangkan suatu penghormatan kepada tamu. Bila mengundang orang atau bertamu,
sebelum memulai pembicaraan terlebih dahuu disuguhi sirih pinang dalam carano. Motif
carano kanso juga merupakan motif pengisi bidang besar.
4. Sajamba Makan
Sajamba makan berarti suasana jamuan makan secara adat Minangkabau, atau
biasa disebut makan bajamba. Makan bajamba menggunakan piring besar atau dulang
dengan duduk berhadapan empat orang. Motif sajamba makan melambangkan adanya
aturan dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Oleh karena itu harus diketahui dan
didalami tata cara adat yang merupakan pedoman hidup. Sajamba makan termasuk motif
bidang besar.
5. Aka Cino
“Aka” dalam bahasa Minangkabau dapat berarti akar tumbuhan dan dapat pula
berarti akal/ daya pikir. Sedangkan “cino” berasal dari kata Cina yaitu negara di Asia
Timur yang penduduknya suka merantau. Motif ini melambangkan suatu kedinamisan
hidup yang gigih dan ulet dalam memenuhi kebutuhan hidup. Motif aka cino termasuk
motif ukiran pengisi bidang kecil.
6. Daun Bodi
Daun Bodi melambangkan akhlak dan budi pekerti. Artinya dengan corak Daun
Bodi di dinding Masjid Asasi menunjukkan bahwah masjid adalah tempat membentuk
akhlak terpuji dengan ajaran agama islam.
7. Itiak Pulang Patang
Segerombolan itiak (itik) selalu berjalan menurut induk rombongannya, apabila
ada diantara mereka yang jatuh, maka yang lain pun ikut menurut. Motif itiak pulang
patang (itik yang pulang di sore hari) menggambarkan barisan itik yang berjalan melalui
pematang sawah menuju kandangnya, motif ini melambangkan kesepakatan, dan
persatuan yang kokoh. Selain sebagai pengisi bidang kecil pada dinding rumah gadang,
motif ini juga banyak menghiasi benda lainnya seperti pada kalintuang
8. Alang Babega
Alang Babega menggambarkan suatu hal yang sederhana, dimana ukirannya
meniru dari gerakan terbang burung elang ketika di udara yang sedang beriap menukik
untuk menyambar mangsanya. Seperti papatah minang, alam takambang jadi guru yaitu
apa yang ada di alam bisa dijadikan pelajaran.
9. Lumuik Hanyuik
Menggambarkan kehidupan seseorang yang durhaka, melanggar norma hukum,
berbuat salah sehingga dikucilkan oleh masyarakat.. Motif ini merupakan peringatan
kepada masyarakat untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan norma yang berlaku.
Motif ini juga berarti orang yang mudah menyesuaikan diri dimana mereka berada, tetapi
pengertian ini memberi kesan negatif yaitu orang tidak berpendirian akan mudah
dipengaruhi oleh orang lain. Pada rumah gadang motif ini pengisi bidang besar.
10. Labah Mangirok
Makna kultural dari proses penamaan labah mangirok adalah mengenai sistem
sosial dan hubungan bermasyarakat. Maksudnya adalah sebagai pembatas antara hal yang
baik dan buruk. Ketika sesuatu hal yang baik dan buruk itu telah diketahui maka akan
selamat dalam hidup bermasayrakat dan terhindar dari perbuatan yang melanggar hukum.
11. Tampuak Manggih
Corak Tampuak Manggih menggambarkan kita sebagai manusia diharuskan untuk
selalu introspeksi diri sendiri atas perbuatan-perbuatan yang tidakber kenan.
12. Pucuak Rabuang Penutup ukiran
Sebagaimana bunyi pepatah adat “ketek baguno, gadang tapakai” (kecil berguna
besar terpakai), seperti halnya pucuak rabuang (pucuk bambu) yang dapat dimanfa’atkan
dari mulai tumbuh hingga besar, motif pucuak rabuang melambangkan suatu kehidupan
yang dinamis. Motif ini pengisi bidang kecil.
13. Lumuik Hanyuik
Menggambarkan kehidupan seseorang yang durhaka, melanggar norma hukum,
berbuat salah sehingga dikucilkan oleh masyarakat.. Motif ini merupakan peringatan
kepada masyarakat untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan norma yang berlaku.
Motif ini juga berarti orang yang mudah menyesuaikan diri dimana mereka berada, tetapi
pengertian ini memberi kesan negatif yaitu orang tidak berpendirian akan mudah
dipengaruhi oleh orang lain. Pada rumah gadang motif ini pengisi bidang besar.
14. Kuciang Lalok
Salah satu sifat kucing yang tidak baik adalah apabila telah kenyang, maka ia
akan tidur saja dan tidak mau berusaha untuk mencari makan. Motif kuciang lalok
(kucing tidur) ini merupakan peringatan agar tidak malas dan berusahalah untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Kuciang lalok merupakan motif pengisi bidang besar.
Bentuk yang sederhana dari motif kuciang lalok juga terdapat menghiasi benda seperti
pada cetakan gambir.
15. Saik Galamai
Ajik/ galamai adalah makanan khas Minangkabau yang dalam penyajiannya
dipotong-potong dengan teliti sehungga berbentuk jajaran genjang. Motif saik ajik/
galamai mengandung makna kehati-hatian dalam berbuat dan menghadapi berbagai
permasalahan. Motif ini pengisi bidang kecil dan hiasan benda/ peralatan lain seperti
pada sarung senjata.
16. Kaluak Paku
Melambangkan tanggung jawab seorang laki-laki Minang yang memiliki dua
fungsi yaitu sebagai ayah dari anak-anaknya (kepala keluarga) dan sebagai mamak dari
kemenakannya. Ia harus membimbing dan mendidik anak dan kemenakannya sehingga
menjadi orang yang berguna dan bertanggung jawab terhadap keluarga, kaum, dan
nagari. Motif ini termasuk pengisi bidang besar.
17. Jalo Takaka/Taserak
Jalo atau jala (alat yang terbuat dari rajutan benang untuk menangkap binatang
laut). Jalo taserak ini melambangkan sistem pemerintahan Datuk Parpatih Nan Sabatang
dalam proses mengadili seseorang yang melanggar hukum dengan cara mengumpulkan
data dan kemudian dipilah-pillih hingga akhirnya diketahui siapa yang sebenarnya
bersalah. Jalo taserak termasuk motif pengisi bidang besar.
18. Paruah Anggang Ujung ukir pekayuan / balok
Paruah anggang merupakan paruh burung anggang yang melambangkan raja
Aditiawarman, kedatangan Aditiawarman ke daerah Minangkabu dari majapahit yang
dianggap sebagai raja, dilambangkan dalam tambo sebagai burung enggang.Makna motif
ukiran ini yaitu sikap seorang pemimpin yang bijaksana.
19. Bungo Mangarang Buah Pada papan dinding
Bungo Mangarang Buah yaitu bunga yang akan menjadi buah, bermakna daun
dan bunga mengandung dua akar perkara lahirnya akar didalam hutan, batinnya akar
dalam kepala.
20. Buah Palo Bapatah Pada tepi ukiran
Makna kultural dari proses penamaan buah palo bapatah adalah manfaat buah
pala dibelah dua menyiratkan nilai simboliknya untuk mendidik yaitu, adanya keinginan
untuk saling berbagi menikmati keindahan, saling berbagi rasa senang. Keindahan dan
rasa senang tidak dibatasi menjadi milik sekelompok kecil orang dan tidak dibiarkan
tersimpan di dalam lingkaran tertutup. Sebab dalam lingkaran tertutup bukanlah
keindahan, dan tidak bisa dinikmati keindahannya secara sempurna.
21. Bada Mudiak Pada tepi ukiran
Bada mudiak adalah ikan teri yang menghadap ke hulu sungai. Bada atau ikan teri
kecil ini kehidupannya selalu berkelompok. Motif ini menggambarkan kehidupan
masyarakat yang teratur, selalu kompak dan bersatu sehingga dapat mewujudkan
kemajuan yang menjadi tujuan hidup dalam keluarga dan masyarakat. Pada rumah
gadang motif ini sebagai pengisi bidang kecil.
22. Kalalawa Bagayuik
Motif ukiran yang diambil dari nama binatang yang artinya dalam bahasa
Indonesia adalah “kelelawar bergantung”, ini berperan sebagai penangkal upas dan racun
juga sebagai kelengkapan magis, namun ini berlaku hanya pada masa dahulu, sekarang
berfungsi sebagai penghias.
23. Tupai Managun Pada ujung-ujung pekayuan/balok
Motif tupai managun adalah lambang kreatifitas dan kelincahan dalam hidup.
Tupai adalah binatang yang hidupnya lincah meloncat dari pohon ke pohon. Motif tupai
managun juga melambangkan kelincahan dalam menghadapi tantangan hidup. Manusia
mengambil makna positif dari kehidupan tupai, bahwa menghadapi tantangan hidup
harus dibekali dengan kegigihan dan kelincahan dengan demikian harus dibekali dengan
berbagai ilmu dan keterampilan.
B. Tata letak Ragam Hias di Dinding Depan dan Belakang Bangunan Masjid
Ragam hias yang ada di dinding depan dan belakang mesjid Asasi semua
berjumlah empat belas macam yang terdiri dari bentuk flora (tumbuh-tumbuhan)
sebanyak empat macam yaitu aka cino,kaluak paku, lumuik hanyuik, dan pucuik rabung.
Sedangkan ragam hias yang berbentuk fauna (binatang) sebanyak empat macam yaitu;
itiek pulang patang, kalalawa, ramo – ramo sikumbang jati, tatandu manyosok bungo.
Ragam hias berbentuk geometris sebanyak dua macam yaitu; lapian duo dan lapian
ampek, yang terakhir adalah bentuk gabungan sebanyak empat macam yaitu; ati-ati
basanding, jarek takambang, saluak laka, dan saik galamai. Adapun dinding depan dan
belakang didominasi oleh ragam hias ati-ati basandin diulang sebanyak 7 kali, urutan
kedua jarek takambang di ulang sebanyak 5 kali, kemudian yang lainnya dibawah 3 kali.
1. Aka Bapilin
Motif aka bapilin melambangkan pekerjaan yang mempunyai tujuan. Dalam
pepatah dikatakan; Aka nan bapilin, pilin jariang nak barisi, pilin kacang nak mamanjek.
(‘Akar yang berpilin, pilin jaring hendak berisi, pilin kacang hendak memanjat’).
Melakukan sesuatu harus ada maksud dan tujuan. Pekerjaan yang tanpa tujuan
menghasikan sesuatu yang sia-sia dan tidak berguna. Setiap gerak-gerik ada tujuannya,
ada maksudnya jangan sampai suatu pekerjaan sia-sia. Oleh karena itu, tidak boleh
berputus asa karena manusia dibekali dengan akal dan fikiran dalam memikirkan sesuatu
yang berguna dalam hidupnya.
2. Akar Barayun
Proses penamaan aka barayun tergolong penyebutan sifat khas karena akar ini
membutuhkan penopang agar akarnya dapat bergantung ataupun berayun seperti batang
pohon. Makna kultural dari proses penamaan aka barayun lambang keseimbangan hidup.
Maksudnya adalah akal dan budi yang harus seimbang dan stabil.
3. Ati-ati Basanding
Motif hati dengan sudut ini menunjukkan Nama Motif Berasal yang berasal dari
tubuh manusia, ikut merasakan kehadirannya dalam pembuatan corak masjid.
4. Itiak Pulang Patang
Proses penamaan itiak pulang patang tergolong penyebutan sifat khas berdasarkan
karakter, karena itiak adalah hewan yang ketika sudah petang dia akan pulang ke
kandangnya dan berjalan beriringan mengikuti induknya. Makna kultural dari proses
penamaan itiak pulang patang adalah kebersamaan dalam kehidupan masyarakat
Minangkabau.
5. Kalalawa
Corak ukiran Kalalawa ini berperan sebagai penangkal upas dan racun juga
sebagai kelengkapan magis, namun ini berlaku hanya pada masa dahulu, sekarang
berfungsi sebagai penghias.
6. Lumuik Hanyuik
Menggambarkan kehidupan seseorang yang durhaka, melanggar norma hukum,
berbuat salah sehingga dikucilkan oleh masyarakat.. Motif ini merupakan peringatan
kepada masyarakat untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan norma yang berlaku.
Motif ini juga berarti orang yang mudah menyesuaikan diri dimana mereka berada, tetapi
pengertian ini memberi kesan negatif yaitu orang tidak berpendirian akan mudah
dipengaruhi oleh orang lain. Pada rumah gadang motif ini pengisi bidang besar.
7. Pucuik Rabung
Sebagaimana bunyi pepatah adat “ketek baguno, gadang tapakai” (kecil berguna
besar terpakai), seperti halnya pucuak rabuang (pucuk bambu) yang dapat dimanfa’atkan
dari mulai tumbuh hingga besar, motif pucuak rabuang melambangkan suatu kehidupan
yang dinamis. Motif ini pengisi bidang kecil
8. Ramo-Ramo si Kumbang Jati
Ramo-ramo adalah kupu-kupu dalam bahasa Minangkabau. Sedangkan kumbang
jati adalah sejenis kumbang kecil berwarna hijau mengkilat. Kedua binatang ini tidak
merusak baik terhadap dirinya maupun terhadap kehidupan manusia. Motif ramo-ramo si
kumbang jati barasal dari kata-kata adat yang menerangkan tentang pusaka Minangkabau
yang tidak berubah dari dulu hingga sekarang, walaupun orang yang menjalankan pusaka
adat tersebut sudah berganti dari satu generasi ke generasi berikutnya. Motif ini termasuk
motif pengisi bidang besar.
9. Saik Galamai
Ajik/ galamai adalah makanan khas Minangkabau yang dalam penyajiannya
dipotong-potong dengan teliti sehungga berbentuk jajaran genjang. Motif saik ajik/
galamai mengandung makna kehati-hatian dalam berbuat dan menghadapi berbagai
permasalahan. Motif ini pengisi bidang kecil dan hiasan benda/ peralatan lain seperti
pada sarung senjata.

Pemisahan ini dilakukan karena setiap ruang memiliki perbedaan yang dominan dalam
peletakan ragam hiasnya. Pada dinding kanan dan kiri ditemukan sepuluh macam ragam hias
yang terdiri dari ragam hias yang berbentuk flora (tumbuh-tumbuhan) sebanyak empat macam
yaitu aka bapilin, aka barayun, lumuik hanyuik, pucuik rabung. Sedangkan ragam hias yang
diambil dari fauna ((binatang) sebanyak tiga macam yaitu; itiek pulang patang, kalalawa, dan
ramo-ramo si kumbang jati. Ragam hias yang diambil dari gabungan (nama benda, manusia)
sebanyak dua macam yaitu; ati-ati basanding, lapian duo, dan saik galamai, ragam hias berbentu
geometris hanya satu macam yaitu lapian duo. Ragam hias yang sering diulang adalah pacuak
rebung sebanyak 9 kali, kemudian saik galamai 4 kali yang lainnya dibawah 2 kali pengulangan.

C. Tata Letak Ragam Hias di Pintu dan Jendela Mesjid


Motif ragam hias yang terletak di pintu dan jendela yang ada di mesjid Asasi
Padangpanjang berjumlah enam macam bentuk yang terdiri dari flora tiga macam yaitu; aka
cino, sikambang maniah, dan salimpat. Sedangkan yang berbentuk fauna berjumlah tiga macam
yaitu; kudo manyipak, takuak kudo manyipak,kucing lalok. Motif ragam hias yang sering kali
dipergunakan di pintu dan jendela adalah kudo manyipak kemudian takuak kudo manyipak.
D. Analisa Tataletak Ragam Hias di Mesjid Asasi
Tata letak ragam hias mesjid Asasi Padangpanjang pada setiap dindingnya memiliki
perbedaan. Ragam hias yang terdapat pada dinding sebelah kanan berbeda dengan ragam hias
yang ada pada dinding sebelah kiri, demikian juga dengan ragam hias pada dinding depan dan
belakang. Namun ada beberapa ragam hias yang mengalami perulangan pada setiap dinding
seperti; aka cino, saluak laka, dan akar barayun. Ragam hias ini, dianggap memiliki arti penting
dalam pola dan tata letak ragam hias Minangkabau, sedangkan bentuk ragam hias yang lainnya
sebagai penunjang terhadap pola hias yang ada di mesjid.

Pola dan tata letak ragam hias pada dinding kiri dan kanan di mesjid Asasi
Padangpanjang tidak memiliki pola yang baku, karena disetiap dinding tersebut ragam hiasnya
berbeda-beda. Berbeda dengan tataletak ragam hias pada pintu dan jendela memiliki pola-pola
yang sama. Jika dibandingkan dengan ragam hias tradisional Minangkabau yang ada pada
Rumah Gadang, maka ragam hias di mesjid Asasi Padangpanjang tidak seluruhnya mengadopsi
dan mengambil pola-pola yang dipergunakan pada bangunan adat tersebut. Ada dibeberapa
tempat dimana tataletak ragam hias mesjid Asasi Padangpanjang memperguankan tataletak
ragam hias yang ada di Rumah gadang, seperti ragam hias aka cino, sikambang maniah,
salimpat, kudo manyipak, takuak kudo manyipak, kucing lalok. Ragam hias ini terletak pada
jendela dan pintu yang ada di mesjid Asasi Padangpanjang.

Dari perbedaan tata letak tersebut, diasumsikan bahwa tata letak ragam hias pada
bangunan sakral (rumah adat) berbeda dengan tata letak ragam hias pada bangunan profan
(mesjid). Perbedaan ini terjadi perlakuan terhadap dua bangunan ini di Minangkabau memiliki
fungsi dan peran masing-masing. Dialektika bangunan ini tidak hanya berada pada ranah model
dan penempatan ragam hias, tetapi juga merambah ke ranah ideologis dan filosofis serta
perebutan otoritas di tengah-tengah masyarakat. Dari tiga puluh ragam hias yang ada di mesjid
Asasi Padangpanjang, yang terdiri dari bentuk flora 11 macam,berbentuk fauna 10 macam,
geometris 3 macam, dan gabungan 6 macam, ragam hias yang sama tataletaknya hanya
berjumlah 8 macam. Maka bisa ditarik satu kesimpulan bahwa mesjid Asasi Padangpanjang
tidak mempergunakan konsep tataletak ragam hias pada rumah gadang, lebih luasnya ada
perbedaan tataletak ragam hias pada bangunan profan dengan bangunan sakral di Minangkabau.

Penelitian ini dapat menarik dua kesimpulan. Pertama, Ragam hias di mesjid Asasi
Padangpanjang mempergunakan ragam hias tradisonal Minangkabau yang ada di rumah gadang.
Dan ragam hias yang da di rumah Gadang mengambil ragam hias tradisional yang ada pada
benda-benda megalitik di menhir-menhir di Limapuluh kota. Hal ini menegaskan bahwa terjadi
keberlanjutan budaya dari masa megalitih sampai Islam,yang membedakannya adalah benda
yang menjadi obyek ragam hias, pada masa megalitik yang menjadi obyek adalah menhir, pada
tradisional Minangkabau obyeknya adalah rumah gadang, pada masa Islam obyeknya adalah
mesjid. Kedua, tataletak ragam hias pada bangunan sakral (mesjid) memiliki pola-pola tertentu,
dan ini berbeda dengan tata letak ragam hias pada bangunan profan (rumah gadang). Perbedaan
ini terjadi perlakuan terhadap dua bangunan ini di Minangkabau memiliki fungsi dan peran
masing-masing. Dialektika bangunan ini tidak hanya berada pada ranah model dan penempatan
ragam hias, tetapi juga merambah ke ranah ideologis dan filosofis serta perebutan otoritas di
tengah-tengah masyarakat.

You might also like