You are on page 1of 6

Memastikan Restorative Justice dan APS Non Litigasi dalam Pidana Medis akibat Kelalaian

Nakes dalam RUU KESEHATAN OBL


Oleh :
Dr. dr. Abd. Halim,SpPD.SH.MH.MM*
Idaman Justitia Law Firm Banjarbaru (09Nov2022)
Litbang PERDAHUKKI Pusat dan HAMO PERSI Pusat

Mencermati RUU KESEHATAN yang sedang beredar dan juga mungkin juga rancangan yang
sedang disusun oleh tim Baleg yang mana saat ini infonya sedang menyusun ulang NA dan Draft
RUU tersebut maka perlu adanya tindakan kita untuk memasukkan penyelesaian Restorative
Justice dan Penekanan penyelesaian APS non Litigasi dalan kasus tindak pidana akibat kelalaian
medis dalam muatan materi atau pasal dalam RUU tersebut untuk memberikan kepastian hukum
dan landasan hukum bagi aparat penegak hukum dengan menggunakan UU Lex Specialis.
Seorang Nakes ataupun dokter dalam menjalankan profesinya dapat mengalami masalah
pelanggaran etika dan disiplin profesi maupun tanggung jawab hukum baik hukum pidana, perdata
dan administrasi.
Restorative Justice mengandung pengertian yaitu: suatu pemulihan hubungan dan penebusan
kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak
pidana tersebut (keluarganya) (upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan
agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut dapat
diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak
Kelemahan dan ketidakpuasan terhadap sistem peradilan pidana mendorong untuk dicari alternatif
penyelesaian perkara di luar jalur penal yaitu dengan cara mediasi penal sebagai wujud restorative
justice dengan melalui jalur alternative dispute resolution (ADR) atau APS
Untuk saat ini landasan hukum Restorative Justice di KHUP belum ada tapi dalam tingkat aturan
dibawahnya untuk beberapa kasus pidana ringan dan tuntutan hukuman maksimal 5 tahun bisa
dilaksanakan Restorative Justice dengan landasan pada Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 tahun
2020, SK Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Nomor 1692 tahun 2020 dan
Peraturan Kapolri nomor 8 tahun 2021 yang mana ada persyaratan dan ketentuan berlaku seperti
dalam masing masing aturan tersebut.
Pada UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman tepatnya pada Pasal 5 dengan
tegas menyebutkan bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (the
living law atau local wisdom). Pada hakikatnya hakim harus atau wajib menerapkan pendekatan
atau konsep Restorative Justice dalam menyelesaikan perkara karena pendekatan atau konsep
Restorative Justice) sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yakni Pancasila, sesuai dengan nilai-
nilai hukum adat dan sesuai pula dengan nilai-nilai agama.
Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020, syarat dalam melakukan restorative
justice, yaitu:
1. Tindak pidana yang baru pertama kali dilakukan
2. Kerugian dibawah Rp 2,5 juta
3. Adanya kesepakatan antara pelaku dan korban
4. Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara
tidak lebih dari 5 tahun
5. Tersangka mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban
6. Tersangka mengganti kerugian korban
7. Tersangka mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana dan atau
memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana

Dalam Perkapolri 8 tahun 2021 Pasal 5 dan 6 disebutkan Persyaratan materiil dan formil.
Persyaratan materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, meliputi: (pasal5)
a) tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat;
b) tidak berdampak konflik sosial;
c) tidak berpotensi memecah belah bangsa;
d) tidak bersifat radikalisme dan separatisme;
e) bukan pelaku pengulangan Tindak Pidana berdasarkan Putusan Pengadilan; dan
f) bukan Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana terhadap keamanan negara, Tindak
Pidana Korupsi dan Tindak Pidana terhadap nyawa orang
Pasal 6 ayat 1 :Persyaratan formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, meliputi:
a) Perdamaian dari kedua belah pihak, kecuali untuk Tindak Pidana Narkoba; dan
b) Pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, kecuali untuk Tindak
Pidana Narkoba

Dalam UU Praktek Kedokteran pada Bab Ketentuan Pidana yaitu pasal 75 , 76 dan 79 adanya
ancaman Pidana denda yang bevariasi antara 50 juta- 150 juta. Adapun ancaman pidana kurungan
yang awalnya 3 tahun – 5 tahun tapi dengan putusan MK hasil JR pasal tersebut ancaman pidana
kurungan dihapuskan.

Dalam UU 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 190 bahwa Nakes dengan sengaja tidak
memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah). Dan apabila mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 29 Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya,
kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

Dalam UU 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Ketentuan sanksi Pidana ada pasal 83,84,85
dan 86 dengan sanksi pidana kurungan minimal 3 tahun pada Nakes dengan kelalaian berat
mengakibatkan kecatatan berat dan apabila menyebabkan kematian tuntutannya 5 tahun (pasal 84
ayat 1 dan 2).

Adanya hak dari penerima jasa pelayanan dokter seperti dalam UU Pradok pasal 66 ayat (1) Setiap
orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Dan ayat (3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan
tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Dan berdasarkan Putusan MA Nomor 42 P/HUM/2021 bahwa Putusan MKDKI dapat digunakan
sebagai alat bukti dalam pengadilan pidana dan atau perdata.

Penerapan sistem pengadilan pidana konvensional saat ini sepertinya gagal memberikan rasa
keadilan yang substansi terutama yang terkait dengan tindak pidana medis karena hanya
berorientasi pada penghukuman pelaku, sedangkan hak-hak korban diabaikan, masyarakat pun
tidak mendapatkan manfaat apa-apa malah terjadi justru menambahi beban negara. Dihukumnya
pelaku dalam kasus tindak pidana medis (dokter), terbukti tidak menyelesaikan masalah, baik bagi
pelaku, korban, masyarakat, maupun negara. Bagi pelaku dan korban, penghukuman itu, baik
secara fisik, psikis, sosial, maupun ekonomis, tidak mendatangkan manfaat apa pun, kecuali
sekadar pembalasan dendam yang bersifat emosional, Secara empiris penghukuman itu sama
sekali tidak efektif. Korban dan/atau keluarga korban dalam kasus pidana, misalnya, selama proses
penanganan masalah, mulai dari pemeriksaan hingga pelaksanaan hukuman (pemenjaraan), yang
bisa memakan waktu tahunan dan membuang biaya yang besar.

Tindak pidana menurut kaca mata Restorative Justice adalah suatu pelanggaran terhadap manusia
dan relasi antar manusia. Restorative Justice dapat dilaksanakan melalui: Mediasi korban dengan
pelanggar; Musyawarah kelompok keluarga; pelayanan di masyarakat yang bersifat pemulihan
baik bagi korban maupun pelaku. Konsep Restorative Justice pada dasarnya sederhana. Ukuran
keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik,
psikis atau hukuman); namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan
dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan
keluarga dan masyarakat bila diperlukan.

Bagi Indonesia, ternyata restorative justice bukanlah hal yang baru, mengingat nilai-nilainya telah
terinternalisasi dalam kehidupan sosial budaya masyarakat dan sejalan dengan falsafah bangsa
Indonesia: Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itu, kebijakan restorative justice dalam upaya
penanggulangan tindak pidana medis selain memiliki prospek yang baik juga dirasakan lebih
sesuai dan mudah dilaksanakan dengan metode konstruksi, kodifikasi, dan unifikasi. Kebijakan
Restorative Justice dapat diterapkan dalam rangka penanggulangan tindak pidana medis dengan
cara nonlitigasi, kuasi litigasi, dan litigasi. Penerapan kebijakan Restorative Justice yang lebih
mengutamakan cara musyawarah untuk mufakat dengan melibatkan pelaku, korban dan/atau
keluarga korban, masyarakat, serta penegak hukum, terbukti lebih “kompatibel” dan bermanfaat
bagi semua pihak. Oleh karena itu, kebijakan Restorative Justice memiliki prospek yang baik
untuk diterapkan sebagai solusi komprehensif dalam menyelesaikan perkara tindak pidana medis
pada masa yang akan datang sebagai ius constituendum

Tindak pidana medis memiliki karakteristik yang spesifik dan dalam beberapa hal kondisinya
berbanding terbalik dengan tindak pidana biasa. Misalnya, kalau tindak pidana biasa yang
dijadikan fokus perhatiannya adalah akibatnya (gevolg), namun pada tindak pidana medis yang
dijadikan objek perhatian utamanya adalah sebabnya (causa). Sehingga, apapun yang dilakukan
oleh seorang dokter, diukur dari sesuai atau tidaknya tindakan medis tersebut dengan ketentuan-
ketentuan praktik kedokteran, yaitu: standar kompetensi medis, kewenangan medis, standar
pelayanan medis, standar prosedur operasional, indikasi medis, informed consent, standar etika
kedokteran, disiplin praktik kedokteran, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh
sebab itu, apa pun akibatnya, sepanjang tindakan medis yang dilakukan oleh dokter telah sesuai
dengan ketentuan medis tersebut di atas, maka dokter tidak dapat dituntut secara hukum.

Tindak pidana medis (criminal malpractice) adalah tindakan medis yang memenuhi unsur pidana
yang dilakukan oleh tenaga medis:
1. Adanya perbuatan/tindakan medis yang bersifat melawan hukum;
2. Dilakukan oleh tenaga medis yang mampu bertanggung jawab;
3. Dilakukan dengan sengaja atau alpa;
4. Tidak ada alasan pemaaf.

Dalam RUU Kesehatan OBL pada Pasal 301 (1) Setiap orang yang mengetahui atau
kepentingannya dirugikan atas tindakan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan Pelayanan
Kesehatan mengadukan secara tertulis kepada konsil kedokteran Indonesia atau konsil masing-
masing kelompok Tenaga Kesehatan. Pada pasal 303 ayat (4) Dalam hal Tenaga Kesehatan sudah
melaksanakan sanksi yang dijatuhkan oleh majelis, aparat penegak hukum wajib mengutamakan
penyelesaian perselisihan dengan mekanisme keadilan restoratif.

Dalam Pasal 307 Setiap Pasien yang dirugikan akibat kesalahan Tenaga Kesehatan dapat meminta
ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 308 Dalam hal Tenaga
Kesehatan diduga melakukan kesalahan dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan
kerugian kepada Pasien, perselisihan yang timbul akibat kesalahan tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Pasal 309 Pengaduan kepada majelis dalam rangka penegakan disiplin Tenaga Kesehatan dan
penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 297 sampai dengan Pasal 308 tidak menghilangkan hak
setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang
berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

Pada proses penyidikan pada Pasal 423 (1) Selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia,
kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan
urusan di bidang kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang Kesehatan.

Pejabat pengawas yang ditunjukkan oleh pemerintah pusat atau daerah pada pasal 420 Apabila
hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga adanya pelanggaran hukum di
bidang Kesehatan, tenaga pengawas wajib melaporkan kepada penyidik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Dalam RUU Kesehatan OBL Tindak Pidana dibidang Kesehatan dapat berupa kelalaian medis,
pelanggaran administrasi atau murni tindakan pidana. Ini terlihat pada muatan pasal di pasal 426
sampai pasal 448. Tindak Pidana yang berkenaan dengan Kelalaian Tindakan tenaga Kesehatan
Pasal 436 (1) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan
pertolongan pertama terhadap Pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 144 ayat (2) atau Pasal 171 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Dalam hal
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau
kematian, pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal
439 (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Pasien luka
berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Jika kelalaian berat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Yang berhubungan dengan STR dan SIP terdapat pada Pasal 440 (1) Setiap Tenaga Kesehatan
yang dengan sengaja menjalankan praktik tanpa memiliki STR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 231 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah). Dan Pasal 441 (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki SIP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Pasal 444 (1) Setiap orang yang dengan sengaja
mempekerjakan Tenaga Kesehatan yang tidak mempunyai SIP dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Sedangkan yang murni kejahatan atau tindak pidana pada Pasal 426 Setiap orang yang dengan
sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
54 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 427 Setiap orang yang dengan sengaja
menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) Pasal 428 Setiap orang yang dengan sengaja mengkomersialkan atau
memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 86 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 429 Setiap orang yang dengan
sengaja melakukan bedah plastik rekonstruksi dan estetika untuk tujuan mengubah
identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

Pasal 431 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan Sediaan Farmasi
dan/atau Alat Kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,
khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (2) dan ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 432 Setiap Orang yang dengan sengaja
memproduksi atau mengedarkan Sediaan Farmasi dan/atau Alat Kesehatan yang tidak
memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) dan ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Kalau kita menganalisa dari regulasi yang ada tentang restorative justice baik dari Perjaksa Agung
dan Perkapolri dengan ketentuan dan syarat yang berlaku seperti diutarakan diatas, maka agak sulit
diterapkan karena biasanya yang menjadi obyek yang dipermasalahkan adalah kelalaian yang
menimbulkan kecatatan berat dan kematian. Maka penguatan RUU Kesehatan pada Pasal 301
(1). Pada pasal 303 ayat (4) dan Pasal 308 harus diperjuangkan dan dijadikan landasan hukum
Lex Specialis. Dan Juga harus diharmonisasi dengan RUU KHUP yang sedang masuk prolegnas
prioritas.
Dalam RUU KUHP Pasal 53 (1) Dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib
menegakkan hukum dan keadilan. (2) Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan,
hakim wajib mengutamakan keadilan. Dan Dalam Pasal 54 (1) Dalam pemidanaan wajib
dipertimbangkan: a. bentuk kesalahan pelaku Tindak Pidana; b. motif dan tujuan melakukan
Tindak Pidana; c. sikap batin pelaku Tindak Pidana; d. Tindak Pidana dilakukan dengan
direncanakan atau tidak direncanakan; e. cara melakukan Tindak Pidana; f. sikap dan tindakan
pelaku sesudah melakukan Tindak Pidana; g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi
pelaku Tindak Pidana; h. pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Tindak Pidana; i. pengaruh
Tindak Pidana terhadap Korban atau keluarga Korban; j. pemaafan dari Korban dan/atau
keluarganya; dan/atau k. nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. (2) Ringannya
perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta
yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana
atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Pasal 132 huruf g RUU KUHP menyatakan bahwa gugurnya perkara pidana kalau telah ada
penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
Demikian tulisan ini semoga bermanfaat sebagai percerahan
Banjarbaru 09 November 2022

You might also like