You are on page 1of 108

LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN MATERNITAS


PADA IBU NIFAS DENGAN DIAGNOSA MEDIS HEMORRHAGE POST PARTUM
(HPP) DAN MASALAH KEPERAWATAN POLA NAPAS TIDAK EFEKTIF
DI RUANG MERPATI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
(TANGGAL : 29 DESEMBER 2018 S/D 11 JANUARI 2019)

Diajukan Sebagai Tugas Praktik Profesi Ners Stase Keperawatan Maternitas


Yang Dibimbing Oleh Dosen Ibu Dr. Dhiana Setyorini, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.Mat.

Disusun Oleh :
FITRI SOLICHAH
P27820820019

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHUN 2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus Asuhan Keperawatan Maternitas Pada Ibu Nifas Dengan Diagnosa Medis
Hemorrhage Post Partum (HPP) Dan Masalah Keperawatan Pola Napas Tidak Efektif Di Ruang
VK Merpati RSUD Dr. Soetomo Surabaya dilakukan pada periode 15 Februari 2021 sampai
dengan 06 Maret 2021 telah dilaksanakan sebagai Laporan Praktik Profesi Ners Semester I Stase
Keperawatan Maternitas oleh :
Nama Mahasiswa : Fitri Solichah
NIM : P27820820019

Pembimbing Praktik

Dr. Dhiana Setyorini, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.Mat.


NIP. 19691003 199203 2 003
LAPORAN PENDAHULUAN DAN
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN MATERNITAS
PADA IBU NIFAS DENGAN HEMORRHAGE POST PARTUM (HPP)

Disusun Oleh :
FITRI SOLICHAH
P27820820019

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN MATERNITAS
PADA IBU NIFAS DENGAN HEMORRHAGE POST PARTUM (HPP)

I. KONSEP KEPERAWATAN MATERNITAS IBU NIFAS


A. Definisi Persalinan Normal
Persalinan normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan
cukup bulan (37-42 minggu) lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang
berlangsung dalan 18 jam tanpa komplikasi baik ibu maupun janin (Prawirohardjo, 2005).
Menurut Prawiroharjo (2005), persalinan dibagi menjadi 4 tahap yaitu :
1. Kala I (Kala Pembukaan)
Kala satu persalinan adalah permulaan kontraksi persalinan sejati, yang ditandai oleh
perubahan serviks yang progresif yang diakhiri dengan pembukaan lengkap (10 cm)
pada primpara kala I berlangsung kira-kira 13 jam,sedangkan pada multipara kira-kira
7 jam (Varney, 2007).
2. Kala II (Kala Pengeluaran Janin)
Beberapa tanda dan gejala persalinan kala II adalah ibu merasakan ingin mengejan
bersamaan terjadinya kontraksi , ibu merasakan peningkatan tekanan pada rectum
atau vaginanya, perineum terlihat menonjol, vulva vagina dan sfingter ani terlihat
membuka, peningkatan pengeluaran lender darah (Depkes RI, 2002).
3. Kala III (Pengeluaran Plasenta)
Tanda -tanda lepasnya plasenta mencakup beberapa atau semua hal dibawah ini :
perubahan bentuk dan tinggi fundus, tali pusat memanjang, semburan darah tiba-tiba
(Depkes RI, 2002).
4. Kala IV
Kala pengawasan setelah 2 jam setelah plasenta lahir untuk mengamati atau
memantau keadaan adanya komplikasi, misalnya perdarahan abnormal (Depkes RI,
2002).

B. Defisini Masa Nifas


Post Partum atau masa nifas adalah masa yang dimulai setelah plasenta keluar dan
berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan semula (sebelum hamil).
Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu (Ary Sulistyawati, 2009).
Masa nifas atau post partum adalah masa setelah persalinan selesai sampai 6
minggu atau 42 hari. Setelah masa nifas, organ reproduksi secara berlahan akan
mengalami perubahan seperti sebelum hamil. Selama masa nifas perlu mendapat
perhatian lebih dikarenakan angka kematian ibu 60% terjadi pada masa nifas. Dalam
Angka Kematian Ibu (AKI) adalah penyebab banyaknya wanita meninggal dari suatu
penyebab kurangnya perhatian pada wanita post partum (Maritalia, 2012).
C. Klasifikasi Masa Nifas
Menurut Yetti Anggraini (2010), tahap masa nifas di bagi menjadi 3 yaitu :
1. Purperium dini, waktu 0-24 jam post partum.
Purperium dini yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-
jalan. Dianggap telah bersih dan boleh melakukan hubungan suami istri apabila
setelah 40 hari.
2. Purperium intermedial, waktu 1-7 hari post partum.
Purperium intermedial yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang lamanya 6
minggu.
3. Remote purperium, waktu 1-6 minggu post partum.
Remote purperium adalah waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna
terutam bila selama hamil dan waktu persalinan mempunyai komplikasi. Waktu untuk
pulih sempurna bisa berminggu-minggu, bulanan bahkan tahunan.

D. Perubahan Fisiologis Masa Nifas


Untuk mengingat komponen yang diperlukan dalam pengkajian post partum,
banyak perawat menggunakan istilah BUBBLE-LE yaitu termasuk Breast (payudara),
Uterus (rahim), Bowel (fungsi usus), Bladder (kandung kemih), Lochia (lokia),
Episiotomy (episiotomi/perinium), Lower Extremity (ekstremitas bawah), dan Emotion
(emosi).
Menurut Hacker dan Moore (2001), perubahan fisiologis yang terjadi pada ibu
nifas yaitu :
1. Involusi Rahim
Melalui proses katabolisme jaringan, berat rahim dengan cepat menurun dari sekitar
1000gm pada saat kelahiran menjadi 50 gm pada sekitar 3 minggu masa nifas.
Serviks juga kehilangan elastisnya dan kembali kaku seperti sebelum kehamilan.
Selama beberapa hari pertama setelah melahirkan, sekret rahim (lokhia) tampak
merah (lokhia rubra) karena adanya eritrosit. Setelah 3 sampai 4 hari lokhia menjadi
lebih pucat (lokhia serosa), dan dihari ke 10 lokhea tampak berwarna putih atau
kekuning kuningan (lokhia alba).
Berdasarkan waktu dan warnanya pengeluaran lochia dibagi menjadi 4 jenis:
a. Lochia rubra, lochia ini muncul pada hari 1 sampai hari ke 3 masa postpartum,
warnanya merah karena berisi darah segar dari jaringan sisa-sisa plasenta.
b. Lochia sanguilenta, berwarna merah kecoklatan dan muncul di hari ke 4 sampai
hari ke 7.
c. Lochia serosa, lochia ini muncul pada hari ke 7 sampai hari ke 14 dan berwarna
kuning kecoklatan.
d. Lochia alba, berwarna putih dan berlangsung 2 sampai 6 minggu post partum.
Munculnya kembali perdarahan merah segar setelah lokia menjadi alba atau serosa
menandakan adanya infeksi atau hemoragi yang lambat. Bau lokia sama dengan bau
darah menstruasi normal dan seharusnya tidak berbau busuk atau tidak enak. Lokhia
rubra yang banyak, lama, dan berbau busuk, khususnya jika disertai demam,
menandakan adanya kemungkinan infeksi atau bagian plasenta yang tertinggal. Jika
lokia serosa atau alba terus berlanjut melebihi rentang waktu normal dan disertai
dengan rabas kecoklatan dan berbau busuk, demam, serta nyeri abdomen, wanita
tersebut mungkin menderita endometriosis (Martin, Reeder, G., Koniak, 2014).
Proses involusi uterus adalah sebagai berikut :
a. Iskemia Miometrium
Hal ini disebabkan oleh kontraksi dan retraksi yang terus menerus dari uterus
setelah pengeluaran plasenta sehingga membuat uterus menjadi relatif anemi dan
menyebabkan serat otot atrofi.
b. Atrofi Jaringan
Atrofi jaringan terjadi sebagai reaksi penghentian hormone esterogen saat
pelepasan plasenta.
c. Autolysis
Merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di dalam otot uterus.
Enzim proteolitik akan memendekkan jaringan otot yang telah mengendur hingga
panjangnya 10 kali panjang sebelum hamil dan lebarnya 5 kali lebar sebelum
hamil yang terjadi selama kehamilan. Hal ini disebabkan karena penurunan
hormon estrogen dan progesteron.
d. Efek Oksitosin
Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi otot uterus sehingga
akan menekan pembuluh darah yang mengakibatkan berkurangnya suplai darah
ke uterus. Proses ini membantu untuk mengurangi situs atau tempat implantasi
plasenta serta mengurangi perdarahan.

Gambar 1. Involusi Uteri


2. Uterus
Setelah kelahiran plasenta, uterus menjadi massa jaringan yang hampir padat.
Dinding belakang dan depan uterus yang tebal saling menutup, yang menyebabkan
rongga bagian tengah merata. Ukuran uterus akan tetap sama selama 2 hari pertama
setelah pelahiran, namun kemudian secara cepat ukurannya berkurang oleh involusi
(Martin, Reeder, G., Koniak, 2014).
3. Uterus Tempat Plasma
Pada bekas implantasi plasenta merupakan luka yang kasar dan menonjol ke dalam
kavum uteri. Segera setelah plasenta lahir, dengan cepat luka mengecil, pada akhir
minggu ke-2 hanya sebesar 3-4 cm dan pada akhir nifas 1-2 cm. Penyembuhan luka
bekas plasenta khas sekali. Pada permulaan nifas bekas plasenta mengandung banyak
pembuluh darah besar yang tersumbat oleh thrombus. Luka bekas plasenta tidak
meninggalkan parut. Hal ini disebabkan karena diikuti pertumbuhan endometrium
baru di bawah permukaan luka. Regenerasi endometrium terjadi di tempat implantasi
plasenta selama sekitar 6 minggu. Pertumbuhan kelenjar endometrium ini
berlangsung di dalam decidua basalis. Pertumbuhan kelenjar ini mengikis pembuluh
darah yang membeku pada tempat implantasi plasenta hingga terkelupas dan tak
dipakai lagi pada pembuangan lokia (Martin, Reeder, G., Koniak, 2014).
4. Afterpains
Merupakan kontraksi uterus yang intermiten setelah melahirkan dengan berbagai
intensitas. Afterpains sering kali terjadi bersamaan dengan menyusui, saat kelenjar
hipofisis posterioir melepaskan oksitosin yang disebabkan oleh isapan bayi. Oksitosin
menyebabkan kontraksi saluran lakteal pada payudara, yang mengeluarkan kolostrum
atau air susu, dan menyebabkan otot otot uterus berkontraksi. Sensasi afterpains dapat
terjadi selama kontraksi uterus aktif untuk mengeluarkan bekuan bekuan darah dari
rongga uterus (Martin, Reeder, G., Koniak, 2014).
5. Vagina
Meskipun vagina tidak pernah kembali ke keadaan seperti seleum kehamilan, jaringan
suportif pada lantai pelvis berangsur angsur kembali pada tonus semula (Martin,
Reeder, G., Koniak, 2014).
6. Sistem Pencernaan
Biasanya ibu mengalami obstipasi setelah persalinan. Hal ini terjadi karena pada
waktu melahirkan sistem pencernaan mendapat tekanan menyebabkan kolon menjadi
kosong, kurang makan, dan laserasi jalan lahir (Dessy, K., dkk. 2009).
7. Sistem Kardiovaskuler
Segera setelah kelahiran, terjadi peningkatan resistensi yang nyata pada pembuluh
darah perifer akibat pembuangan sirkulasi uteroplasenta yang bertekanan rendah.
Kerja jantung dan volume plasma secara berangsur angsur kembali normal selama 2
minggu masa nifas (Dessy, K., dkk. 2009)
8. Sistem Perkemihan
Diuresis post partum normal terjadi dalam 24 jam setelah melahirkan sebagai respon
terhadap penurunan estrogen. Kemungkinan terdapat spasme sfingter dan edema leher
buli-buli sesudah bagian ini mengalami tekanan kepala janin selama persalinan.
Protein dapat muncul di dalam urine akibat perubahan otolitik di dalam uterus
(Rukiyah, 2010).
9. Psikososial
Wanita cukup sering menunjukan sedikit depresi beberapa hari setelah kelahiran.
“perasaan sedih pada masa nifas” mungkin akibat factor emosional dan hormonal.
Dengan rasa pengertian dan penentraman dari keluarga dan dokter, perasaan ini
biasanya membaik tanpa akibat lanjut (Rukiyah, 2010).
10. Kembalinya Haid Dan Ovulasi
Pada wanita yang tidak menyusui bayi, aliran haid biasanya akan kembali pada
sampai 8 minggu setelah kelahiran, meskipun ini sangat bervariasi. Meskipun ovulasi
mungkin tidak terjadi selama beberapa bulan, terutama ibu yang menyusui bayi,
penyuluhan dan penggunaan kontrasepsi harus ditekankan selama masa nifas untuk
menghindari kehamilan yang tak dikehendaki (Rukiyah, 2010).
11. Sistem Muskuloskeletal
Ligamen, fasia, dan diafragma pelvis yang meregang pada waktu persalinan, setelah
bayi lahir berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih kembali (Mansyur, 2014).
12. Tanda Vital
Pada ibu masa nifas terjadi peerubahan tanda-tanda vital, meliputi:
a. Suhu Tubuh
Pada 24 jam setelah melahirkan subu badan naik sedikit (37,50C-380C) sebagai
dampak dari kerja keras waktu melahirkan, kehilangan cairan yang berlebihan,
dan kelelahan (Trisnawati, 2012).
b. Nadi
Sehabis melahirkan biasanya denyut nadi akan lebih cepat dari denyut nadi
normal orang dewasa (60-80x/menit) (Rukiyah, 2010).
c. Tekanan Darah
Biasanya tidak berubah, kemungkinan bila tekanan darah tinggi atau rendah
karena terjadi kelainan seperti perdarahan dan preeklamsia (Rukiyah, 2010).
d. Pernafasan
Frekuensi pernafasan normal orang dewasa adalah 16-24x/permenit. Pada ibu post
partum umumnya pernafasan lambat atau normal. Bila pernafasan pada masa post
partum menjadi lebih cepat, kemungkinan ada tanda-tanda syok (Rukiyah, 2010).
13. Proses Penyembuhan Luka
Menurut Yetti Anggraini (2010), dalam keadaan normal proses penyembuhan luka
mengalami 3 tahap atau 3 fase yaitu :
a. Fase Inflamasi
Fase ini terjadi sejak terjadinya injury hingga sekitar hari kelima. Pada fase
inflamasi, terjadi proses :
1) Hemostasis (usaha tubuh untuk menghentikan perdarahan), di mana pada
proses ini terjadi :
a) Konstriksi pembuluh darah (vasokonstriksi)
b) Agregasi platelet dan pembentukan jala-jala fibrin
c) Aktivasi serangkaian reaksi pembekuan darah
2) Inflamasi, di mana pada proses ini terjadi :
a) Peningkatan permeabilitas kapiler dan vasodilatasi yang disertai dengan
migrasi sel-sel inflamasi ke lokasi luka.
b) Proses penghancuran bakteri dan benda asing dari luka oleh neutrofil dan
makrofag.
b. Fase Proliferasi
Fase ini berlangsung sejak akhir fase inflamasi sampai sekitar 3 minggu. Fase
proliferasi disebut juga fase fibroplasia, dan terdiri dari proses :
1) Angiogenesis
Adalah proses pembentukan kapiler baru yang distimulasi oleh TNF-α2 untuk
menghantarkan nutrisi dan oksigen ke daerah luka.
2) Granulasi
Yaitu pembentukan jaringan kemerahan yang mengandung kapiler pada dasar
luka (jaringan granulasi). Fibroblas pada bagian dalam luka berproliferasi dan
membentuk kolagen.
3) Kontraksi
Pada fase ini, tepi-tepi luka akan tertarik ke arah tengah luka yang disebabkan
oleh kerja miofibroblas sehingga mengurangi luas luka. Proses ini
kemungkinan dimediasi oleh TGF-β .
4) Re-epitelisasi
Proses re-epitelisasi merupakan proses pembentukan epitel baru pada
permukaan luka. Sel-sel epitel bermigrasi dari tepi luka melintasi permukaan
luka. EGF berperan utama dalam proses ini.
c. Fase Maturasi atau Remodelling
Fase ini terjadi sejak akhir fase proliferasi dan dapat berlangsung
berbulan-bulan. Pada fase ini terjadi pembentukan kolagen lebih lanjut,
penyerapan kembali sel-sel radang, penutupan dan penyerapan kembali kapiler
baru serta pemecahan kolagen yang berlebih. Selama proses ini jaringan parut
yang semula kemerahan dan tebal akan berubah menjadi jaringan parut yang
pucat dan tipis.
Pada fase ini juga terjadi pengerutan maksimal pada luka. Jaringan parut
pada luka yang sembuh tidak akan mencapai kekuatan regang kulit normal, tetapi
hanya mencapai 80% kekuatan regang kulit normal. Untuk mencapai
penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang
diproduksi dengan yang dipecah. Kolagen yang berlebihan akan menyebabkan
terjadinya penebalan jaringan parut atau hypertrophicscar, sebaliknya produksi
kolagen yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka tidak
akan menutup dengan sempurna.

E. Perubahan Psikologis Masa Nifas


Reva Rubin (1997) dalam Ari Sulistyawati (2009) membagi periode ini menjadi 3
bagian, antara lain :
1. Taking In (Istirahat/Penghargaan)
Sebagai suatu masa ketergantungan dengan ciri-ciri ibu membutuhkan tidur yang
cukup, nafsu makan meningkat, menceritakan pengalaman partusnya berulang-ulang
dan bersikap sebagai penerima, menunggu apa yang disarankan dan apa yang
diberikan. Disebut fase taking in, karena selama waktu ini, ibu yang baru melahirkan
memerlukan perlindungan dan perawatan, fokus perhatian ibu terutama pada dirinya
sendiri. Pada fase ini ibu lebih mudah tersinggung dan cenderung pasif terhadap
lingkungannya disebabkan karena faktor kelelahan. Oleh karena itu, ibu perlu cukup
istirahat untuk mencegah gejala kurang tidur. Di samping itu, kondisi tersebut perlu
dipahami dengan menjaga komunikasi yang baik.
2. Fase Taking On/Taking Hold (Dibantu Tetapi Dilatih)
Terjadi hari ke 3-10 post partum. Terlihat sebagai suatu usaha ter-hadap pelepasan
diri dengan ciri-ciri bertindak sebagai pengatur dan penggerak untuk bekerja,
kecemasan makin menguat, perubahan mood mulai terjadi dan sudah mengerjakan
tugas keibuan. Pada fase ini timbul kebutuhan ibu untuk mendapatkan perawatan dan
penerimaan dari orang lain dan keinginan untuk bisa melakukan segala sesuatu secara
mandiri. Ibu mulai terbuka untuk menerima pendidikan kesehatan bagi dirinya dan
juga bagi bayinya. Pada fase ini ibu berespon dengan penuh semangat untuk
memperoleh kesempatan belajar dan berlatih tentang cara perawatan bayi dan ibu
memi-liki keinginan untuk merawat bay-inya secara langsung.
3. Fase Letting Go (Berjalan Sendiri Dilingkungannya)
Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya yang
berlangsung setelah 10 hari post partum. Periode ini biasanya setelah pulang kerumah
dan sangat dipengaruhi oleh waktu dan perhatian yang diberikan oleh keluarga. Pada
saat ini ibu mengambil tugas dan tanggung jawab terhadap per-awatan bayi sehingga
ia harus beradaptasi terhadap kebutuhan bayi yang menyebabkan berkurangnya hak
ibu, kebebasan dan hubungan sosial.
4. Fase Post Partum Blues
Menurut Hamilton PM (1995), fase ini mucul pada hari ke 3 dan ke 5 setelah
melahirkan, dimana ibu akan mengalami depresi, mudah menangis dan kurang
istirahat yang biasanya disebabkan oleh penurunan kadar estrogen dan progesterone
yang tiba-tiba.

F. Tanda dan Gejala Masa Nifas


Menurut Masriroh (2013) tanda dan gejala masa post partum adalah sebagai
berikut :
1. Organ-organ reproduksi kembali normal pada posisi sebelum kehamilan.
2. Perubahan-perubahan psikologis lain yang terjadi selama kehamilan berbalik
(kerumitan).
3. Masa menyusui anak dimulai.
4. Penyembuhan ibu dari stress kehamilan dan persalinan di asumsikan sebagai
tanggung jawab untuk menjaga dan mengasuh bayinya.

G. Kunjungan Masa Nifas


Kunjungan masa nifas paling sedikit 4 kali, kunjungan masa nifas dilakukan
untuk menilai status kesehatan ibu dan bayi baru lahir (Saifuddin, 2010).

H. Penatalaksanaan Masa Nifas


Menurut Masriroh (2013) penatalaksanan yang diperlukan untuk ibu dengan post
partum adalah sebagai berikut :
1. Meperhatikan kondisi fisik ibu dan bayi.
2. Mendorong penggunaan metode-metode yang tepat dalam memberikan makanan
pada bayi dan mempromosikan perkembangan hubungan baik antara ibu dan anak.
3. Mendukung dan memperkuat kepercayaan diri ibu dan memungkinkannya mingisi
peran barunya sebagai seorang ibu, baik dengan orang, keluarga baru, maupun
budaya tertentu.
II. KONSEP PENYAKIT HEMORRHAGE POST PARTUM (HPP)
A. Definisi Hemorrhage Post Partum (HPP)
Post partum adalah masa dimulai setelah partum selesai kira-kira 6minggu setelah
plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandung kembali seperti keadaan sebelum
hamil. Dimana tubuh menyesuaikan baik fisik maupun psikososial terhadap proses
melahirkan (Saifuddin, 2002).
Perdarahan pasca persalinan adalah kehilangan darah melebihi 500 ml yang terjadi
setelah bayi lahir, perdarahan primer terjadi dalam 24 jam pertama, sedangkan
perdarahan sekunder terjadi setelah itu (Mansjoer, 2002 : 313).
Hemoragik pasca partum adalah kehilangan darah melebihi dari 500 ml selama dan
atau setelah kelahiran dapat terjadi dalam 24 jam pertama setelah kelahiran, atau lambat
sampai 28 hari pasca partum (akhir dari puerperium) (Doenges, 2001 : 487).

B. Klasifikasi Hemorrhage Post Partum (HPP)


Menurut Doenges (2001 : 487), menurut waktu terjadinya perdarahan post partum dibagi
atas 2 bagian yaitu :
1. Perdarahan Post Partum Primer/Dini (Early Postpartum Hemorrhage)
Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertamasetelah bayi lahir. Penyebab utamanya
adalah atonia uteri,retention placenta,sisa plasenta dan robekan jalan lahir. Banyaknya
terjadi saat 2 jam pertama.
2. Perdarahan Post Partum Sekunder/Lambat (Late Postpartum Hemorrhage)
Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pertama setelah bayi lahir biasanya antara 5-
15 hari postpartum. Disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau
sisa plasenta yang tertinggal.
Tabel 1. Penilaian Klinik Untuk Menentukan Derajat Syok
Tekanan Darah
Kehilangan Darah Gejala dan Tanda Derajat Syok
(Sistolik)
500-1000 ml Palpitasi, takikardi, dan
Normal Terkompensasi
(10-15%) pusing
1000-1500 ml Penurunan ringan Lemah, takikardia, dan
Ringan
(15-25%) (80-100 mmHg) keringat dingin
1500-2000 ml Penurunan sedang Gelisah, pucat, dan
Sedang
(25-35%) (70-80 mmHg) oliguria
2000-3000 ml Penurunan tajam Penurunan kesadaran,
Berat
(35-50%) (50-70mmHg) hipoksia, dan anuria
Estimate Blood Volume (EBV) = 70cc X Berat Badan
Estimate Blood Loss (EBL) = Derajat perdarahan % X EBV

C. Anatomi dan Fisiologi Hemorrhage Post Partum (HPP)


1. Uterus
Uterus (rahim) berbentuk seperti buah pear yang sedikit gepeng ke arah depan
belakang. Ukurannya sebesar telur ayam kampong dan mempunyai rongga. Uterus
terdiri dari tiga bagian besar, yaitu : fundus uteri yang berada di bagian uterus
proksimal, badan rahim (korpus uteri) yang berbentuk segitiga, dan leher rahim
(serviks uteri) yang berbentuk silinder. Serviks uteri terbagi kepada dua bagian, yaitu
pars supra vaginal dan pars vaginal. Lapisan otot-otot polos di sebelah dalam
berbentuk sirkular dan di sebelah luar berbentuk longitudinal. Di antara kedua lapisan
itu terdapat lapisan otot oblik yang berbentuk anyaman.Lapisan ini paling penting
dalam persalinan karena sesudah plasenta lahir, otot lapisan ini berkontraksi kuat dan
menjepit pembuluh-pembuluh darah yang terbuka sehingga perdarahan berhenti
(Prawirohardjo, 2008).

Gambar 2. Anatomi Uterus


Bagian endometrium disuplai darah oleh arteriol spiralis dan basalis. Arteriol
spiralis yang memegang peran dalam mensturasi dan member nutrisi kepada janin
yang sedang berkembang dalam uterus (Prawirohardjo, 2008).
2. Plasenta
a. Plasenta Normal
Placenta berbentuk cakrarn yang bundar atau lonjong (oval), mempunyai
ukuran 20 x 15.cm dan tebal 1.5 sampai 2.0 cm. Berat plasenta biasanya 20 persen
dari berat janin, berkisar antara 425 dan 550 gr. Pada sisi uterus terdapat delapan
atau lebih cotyledon maternal yang dipisahkan oleh alur-alur (fissura). Istilah
cotyledon fetal mengacu pada bagian plasenta yang mendapat suplai darah dari
pembuluh villus utama dan cabang-cabangnya. Permukaan maternal ditutupi oleh
lapisan deciduadan fibrin yang ikut keluar bersama-sama plasenta pada kelahiran.
Sisi fetal ditutupi oleh membran atau selaput ketuban (Prawirohardjo, 2008).
Secara normal plasenta tertanam pada bagian atas uterus. Kadang-kadang
plasenta berada pada segmen bawah dan adakalanya terletak di atas servik.
Keadaan terakhir ini disebut dengan istilah plasenta previa dan menjadi penyebab
timbulnya perdarahan dalam trimester ketiga. Kadang-kadang pemeriksaan
ultrasonik pada kehamilan dini menunjukkan adanya plasenta di bagian bawah
yang merupakan indikasi bagi plasenta previa, tetapi dalam pemeriksaan ulang
pada kehamilan lanjut ditemukan plasenta pada segmen atas. Mungkin
pertumbuhan normal plasenta menjauhi cervik (Prawirohardjo, 2008).
b. Kelainan Plasenta
Menurut Prawirohardjo (2008), kelainan plasenta diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Lobus Succenturiata
Ini merupakan lobus tambahan atau lobus asesorius yang berada dengan jarak
tertentu dari placenta utama. Pembuluh darah yang mensuplai lobus ini
berjalan menembus selaput ketuban dan dapat terputus ketika selaput ketuban
tersebut robek atau pada saat kelahiran. Lobus succenturiata bisa tertinggal
setelah melahirkan dan menyebabkan perdarahan postpartum.
2) Placenta Circumvallata
Selaput ketuban melipat ke belakang pada permukaan janin dan berinsersio ke
dalam placenta itu sendiri. Plasenta berada di sebelah luar chorion.
3) Amnion Nodosum
Ini berupa nodulus kuning dengan diameter 3 sampai 4 cm, yang terletak pada
permukaan-fetal amnion. Nodulus ini berisi vernix, fibrin, sel-sel yang
mengelupas (deskuamasi) dan rambut lanugo. Amnion nodosum dapat
berbentuk sebuah kista. Keadaan ini disertai oligohydramnios. Infark yang
terlokalisir sering dijumpai. Makna klinisnya tidak diketahui sekalipun jika
keadaan ini berlebihan, maka kapasitas fungsional placenta dapat berkurang.
4) Perubahan Warna (Diskolorisasi)
Warna merah berhubungan dengan adanya perdarahan. Warna hijau
disebabkan oleh meconium dan dapat merupakan indikasi adanya hipoksia
janin.
5) Placenta Kembar
Pada kembar monochorionik, placenta membentuk satu massa sedangkan pada
kembar dichorionik, placenta dapat menyatu atau terpisah.
6) Berat Placenta
Placenta yang beratnya lebih dari 600 g atau di bawah 400 g biasanya
berhubungan dengan kehamilan yang abnormal.
c. Placenta Pada Berbagai Keadaan
Menurut Prawirohardjo (2008), plasenta pada berbagai keadaan diklasifikasikan
sebagai berikut :
1) Prematuritas
Placenta kecil dan sering pucat.
2) Pastmaturitas
Ukuran dan berat placenta biasanya normal. Terlihat warna meconium
terdapat infark atau fibrosis yang luas, fungsi placenta dapat berkurang.
3) Retardasi Pertumbuhan Intrauterin
Placenta cenderung kecil, kurangnya berat placenta sebanding dengan berat
bayi.
4) Diabetes Mellitus
Placenta biasanya lebih hesar daripada normal, tetapi pada kasus-kasus yang
berat dengan sirkulasi darah ibu yang terganggu. Placenta dapat ukuran kecil.
5) Toxemia Gravidarurn
Tidak terlihat perubahan yang khas. Sering placenta tampak normal.
6) Erythroblastosis
Placenta tampak lapuk, berwarna pucat sampai dan beratnya dapat mencapai
2.000 gram.
7) Syphilis Kongenital
Placenta lebar, tebal dan pucat.
8) Arnnionis
Selaput ketuban suram (opaque) dan berubah warna menjadi kuning. placenta
mungkin mengeluarkan bau yang busuk.
3. Retensio Plasenta
Menurut Prawirohardjo (2008), retentio placentae dalam uterus dapat dibagi menjadi
4 kelompok yaitu :
a. Terpisah Tapi Tertahan
Di sini tidak ada tenaga yang dalam keadaan normal mendorong placenta keluar.
b. Terpisah Tapi Terperangkap (Inkarserata)
Konstriksi rahirn yang berbentuk jam-pasir (hourglass) atau spasme cervix
menyebabkan placenta terperangkap dalam segmen etas uterus.
c. Melekat Tapi Dapat Dipisahkan (Adhesiva)
Dalam situasi ini, placenta tidak dapat terlepas sendiri dari dinding rahim.
Penyebabnya mencakup kegagalan kontraksi-normal dan retraksi pada kala tiga,
defek anatomis dalam uterus, dan abnormaiitas decidua yang mencegah
terbentuknya lempeng pemisahan decidua yang normal.
d. Melekat Tapi Tidak Dapat Dipisahkan
Di sini berupa placenta acreta dengan berbagai derajat. Decidua normal tidak ada,
dan villi chorialis melekat langsung serta menembus myometrium.
Pengeluaran placenta yang tertahan secara manual tidak lagi dianggap
berbahaya sebagaimana anggapan yang pernah ada. Banyak hasil yang jelek dari
prosedur ini disebabkan oleh tindakan yang ditunda terlampau lama sampai
perdarahan menyebabkan masuknya pasien ke dalam keadaan yang berbahaya. Kalau
ada perdarahan, placenta harus segera dikeluarkan. Tidak disertai perdarahan dan
pasien berada dalam kondisi yang baik, diperbolehkan menunggu selama 30 menit.

Gambar 3. Pengeluaran Plasenta Secara Manual


Apabila pasien mengalami perdarahan secara aktif, dipasang infus intravena
dan disediakan darah. Anesthesi diperlukan. Prosedur dilaksanakan dalam kondisi
aseptik. Uterus dipegang dengan salah satu tangan pada bagian fundus lewat dinding
abdomen ibu. Tangan lainnya dimasukkan ke dalam vagina (Harry Oxorn, 2003).

D. Etiologi Hemorrhage Post Partum (HPP)


Perdarahan postpartum bisa disebabkan karena :
1. Atonia Uteri
Atonia uteri adalah ketidakmampuan uterus khususnya miometrium untuk
berkontraksi setelah plasenta lahir. Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol
oleh kontraksi serat-serat miometrium terutama yang berada di sekitar pembuluh
darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta (Wiknjosastro, 2006).
Kegagalan kontraksi dan retraksi dari serat miometrium dapat menyebabkan
perdarahan yang cepat dan parah serta syok hipovolemik.
Kontraksi miometrium yang lemah dapat diakibatkan oleh kelelahan karena
persalinan lama atau persalinan yang terlalu cepat, terutama jika dirangsang. Selain
itu, obat-obatan seperti obat anti-inflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-
simpatomimetik, dan nifedipin juga dapat menghambat kontraksi miometrium.
Penyebab lain adalah situs implantasi plasenta di segmen bawah rahim,
korioamnionitis, endomiometritis, septikemia, hipoksia pada solusio plasenta, dan
hipotermia karena resusitasi masif (Rueda et al., 2013). Atonia uteri merupakan
penyebab paling banyak HPP, hingga sekitar 70% kasus. Atonia dapat terjadi setelah
persalinan vaginal, persalinan operatif ataupun persalinan abdominal. Penelitian
sejauh ini membuktikan bahwa atonia uteri lebih tinggi pada persalinan abdominal
dibandingkan vaginal.
2. Laserasi Jalan Lahir
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan
robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat
pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi,
robekan spontan perineum, trauma forsep atau vakum ekstraksi, atau karena versi
ekstraksi (Prawirohardjo, 2010).
Laserasi diklasifikasikan berdasarkan luasnya robekan yaitu (Rohani, Saswita
dan Marisah, 2011):
a. Derajat satu : robekan mengenai mukosa vagina dan kulit perineum.
b. Derajat dua : robekan mengenai mukosa vagina, kulit, dan otot perineum
c. Derajat tiga : robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum, otot perineum,
dan otot sfingter ani eksternal.
d. Derajat empat : robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum, otot perineum,
otot sfingter ani eksternal, dan mukosa rektum.
3. Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah plasenta belum lahir hingga atau melebihi waktu 30
menit setelah bayi lahir. Hal ini disebabkan karena plasenta belum lepas dari dinding
uterus atau plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan. Retensio plasenta merupakan
etiologi tersering kedua dari perdarahan postpartum (20% -30% kasus).
Kejadian ini harus didiagnosis secara dini karena retensio plasenta sering
dikaitkan dengan atonia uteri untuk diagnosis utama sehingga dapat membuat
kesalahan diagnosis. Pada retensio 11 plasenta, resiko untuk mengalami HPP 6 kali
lipat pada persalinan normal (Ramadhani, 2011).
Terdapat jenis retensio plasenta antara lain (Saifuddin, 2002) :
a. Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga
menyebabkan mekanisme separasi fisiologis.
b. Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian
lapisan miometrium.
c. Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan
serosa dinding uterus.
d. Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus serosa
dinding uterus.
e. Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri, disebabkan
oleh konstriksi ostium uteri.
Menurut Doenges (2001 : 487), penyebab perdarahan post portum antara lain :
1. Penyebab Perdarahan Paska Persalinan Dini
a. Perlukaan jalan lahir : ruptur uteri, robekan serviks, vagina dan perineum, luka
episiotomi (4-5 %).
b. Perdarahan pada tempat menempelnya plasenta karena : atonia uteri (50-60 %) ,
retensi plasenta (16-17 %), inversio uteri.
c. Gangguan mekanisme pembekuan darah (0,5-0,8 %).
2. Penyebab Perdarahan Paska Persalinan Terlambat
Biasanya disebabkan oleh sisa plasenta atau bekuan darah, infeksi akibat retensi
produk pembuangan dalam uterus sehingga terjadi sub involusi uterus (23-24%).
Menurut Astikawati & Dewi (2017), secara etiologi perdarahan post partum lebih diingat
dengan 4T, yaitu:
1. Tone
Diagnosis antonio uteri ditegakan setelah bayi lahir dan plasenta lahir dan ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpul serta pada palpasi didapatkan fundus
uteri masih setinggi pusat atau lebih, kontraksi uterus lembek. Antonio uteri
disebabkan akibat partus cepat, persalinan karena induksi oksitoksin pada kelahiran
sebelumnya.
2. Tissue
Bila plasenta tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disebut retensio
plasenta. Sisa plasenta disebabkann karena kotiledon atau selaput ketuban tersisa.
3. Trauma
Trauma persalinan menyebabkan laserasi atau hematoma sehingga dapat
menyebabkan perdarahan post partum. Trauma dapat disebabkan karena episiotomi
yang melebar, ruptur uteri, robekan pada perineum, vagina dan serviks.
4. Thrombin
Thrombin karena gangguan pembekuan darah. Pada pembekuan darah akan terjadi
perdarahan setiap dilakukan penjahitan, perdarahan merembes atau timbul hematoma
pada bekas jahitan.

E. Manifestasi Klinis Hemorrhage Post Partum (HPP)


Menurut Wiknjosastro (2006), gejala klinis umum yang terjadi adalah kehilangan darah
dalam jumlah yang banyak (> 500 ml), nadi lemah, pucat, lochea berwarna merah, haus,
pusing, gelisah, letih, dan dapat terjadi syok hipovolemik, tekanan darah rendah,
ekstremitas dingin, dan mual. Sedangkan gejala klinis berdasarkan penyebab yaitu :
1. Perdarahan Post Partum Akibat Atonia Uteri
Perdarahan post partum dapat terjadi karena terlepasnya sebagian plasenta dari
rahim dan sebagian lagi belum; karena perlukaan pada jalan lahir. Atonia uteri dapat
terjadi karena proses persalinan yang lama; pembesaran rahim yang berlebihan pada
waktu hamil seperti pada hamil kembar atau janin besar; persalinan yang sering
(multiparitas) atau anestesi yang dalam. Atonia uteri juga dapat terjadi bila ada usaha
mengeluarkan plasenta dengan memijat dan mendorong rahim ke bawah sementara
plasenta belum lepas dari rahim. Perdarahan yang banyak dalam waktu pendek dapat
segera diketahui. Tapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama tanpa disadari
penderita telah kehilangan banyak darah sebelum tampak pucat dan gejala lainnya.
Pada perdarahan karena atonia uteri, rahim membesar dan lembek.
Pada perdarahan yang timbul setelah janin lahir dilakukan upaya penghentian
perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Pada perdarahan yang
disebabkan atonia uteri dilakukan tamponade utero vaginal, yaitu dimasukkan tampon
kasa kedalam rahim sampai rongga rahim terisi penuh. Adapun Faktor predisposisi
terjadinya atonia uteri, yaitu umur, partus lama dan partus terlantar
2. Perdarahan Post Partum Akibat Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir selama 1 jam
setelah bayi lahir. Penyebab retensio plasenta :
a. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh lebih
dalam.
b. Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum keluar karena atonia
uteri.
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila
sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi
untuk segera mengeluarkannya. Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung
kemih atau rektum penuh. Oleh karena itu keduanya harus dikosongkan.
3. Perdarahan Post Partum Akibat Subinvolusi
Subinvolusi adalah kegagalan uterus untuk mengikuti pola normal involusi, dan
keadaan ini merupakan salah satu dari penyebab terumum perdarahan pascapartum.
Biasanya tanda dan gejala subinvolusi tidak tampak, sampai kira-kira 4 hingga 6
minggu pascapartum. Fundus uteri letaknya tetap tinggi di dalam abdomen/ pelvis
dari yang diperkirakan. Keluaran lokhea seringkali gagal berubah dari bentuk rubra
ke bntuk serosa, lalu ke bentuk lokhea alba. Lokhea yang tetap bertahan dalam bentuk
rubra selama lebih dari 2 minggu pasca patum sangatlah perlu dicurigai terjadi kasus
subinvolusi. Jumlah lokhea bisa lebih banyak dari pada yang diperkirakan. Leukore,
sakit punggung, dan lokhea berbau menyengat, bisa terjadi jika ada infeksi. Ibu bisa
juga memiliki riwayat perdarahan yang tidak teratur, atau perdarahan yang berlebihan
setelah kelahiran.
4. Perdarahan Post Partum Akibat Inversio Uteri
Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau
seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri. Uterus dikatakan mengalami inverse jika
bagian dalam menjadi di luar saat melahirkan plasenta. Reposisi sebaiknya segera
dilakukan dengan berjalannya waktu, lingkaran konstriksi sekitar uterus yang
terinversi akan mengecil dan uterus akan terisi darah. Pembagian inversio uteri yaitu :
a. Inversio uteri ringan : fundus uteri terbalik menonjol ke dalam kavum uteri namun
belum keluar dari ruang rongga Rahim
b. Inversio uteri sedang : terbalik dan sudah masuk ke dalam vagina
c. Inversio uteri berat : uterus dan vagina semuanya terbalik dan sebagian sudah
keluar vagina.
Penyebab inversio uteri ada 2 yaitu spontan dan karena tindakan. Penyebab
inversio uteri spontan yaitu : grande multipara, atoni uteri, kelemahan alat
kandungan, tekanan intra abdominal yang tinggi. Sedangkan penyebab inversio uteri
karena tindakan yaitu : cara tarikan tali pusat yang berlebihan.
5. Perdarahan Post Partum Akibat Hematoma
Hematoma terjadi karena kompresi yang kuat disepanjang traktus genitalia, dan
tampak sebagai warna ungu pada mukosa vagina atau perineum. Hematoma yang
kecil diatasi dengan es, analgesik dan pemantauan yang terus menerus. Biasanya
hematoma ini dapat diserap kembali secara alami.
6. Perdarahan Post Partum Akibat Laserasi/Robekan Jalan Lahir
Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan post
partum. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan post
partum dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh :
a. Robekan Serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks sehingga servik seorang
multipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan
servik yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah
uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti, meskipun plasenta sudah
lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi dengan baik, perlu dipikirkan
perlukaan jalan lahir, khususnya robekan servik uteri.
b. Robekan Vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering
dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi
sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar.
Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan
spekulum.
c. Robekan Perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang
juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi digaris
tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus
pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah
dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkum ferensia suboksipito bregmatika.
Laserasi pada traktus genitalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi perdarahan yang
berlangsung lama yang menyertai kontraksi uterus yang kuat.

F. Patofisiologi Hemorrhage Post Partum (HPP)


Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk
meningkatkan sirkulasi ke sana, atoniauteri dan subinvolusi uterus menyebabkan
kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah-pembuluh darah yang melebar tadi
tidak menutup sempurna sehingga perdarahan terjadi terus menerus. Trauma jalan lahir
seperti epiostomi yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri juga menyebabkan
perdarahan karena terbukanya pembuluh darah, penyakit darah pada ibu misalnya
afibrinogemia atau hipofibrinogemia karena tidak ada atau kurangnya fibrin untuk
membantu proses pembekuan darah juga merupakan penyebab dari perdarahan post
partum. Perdarahan yang sulit dihentikan bisa mendorong pada keadaan shock hemoragik
(Wiknjosastro, 2006).
Menurut Wiknjosastro (2006), perbedaan perdarahan pasca persalinan karena
atonia uteri dan robekan jalan lahir adalah :
1. Atonia Uteri
a. Atonia uteri (sebelum/sesudah plasenta lahir)
b. Kontraksi uterus lembek, lemah, dan membesar (fundus uteri masih tinggi
c. Perdarahan terjadi beberapa menit setelah anak lahir
d. Bila kontraksi lemah, setelah masase atau pemberian uterotonika, kontraksi yang
lemah tersebut menjadi kuat.
2. Robekan Jalan Lahir
a. Robekan jalan lahir (robekan jaringan lunak)
b. Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil
c. Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir. Perdarahan ini terus-menerus
d. Setelah dilakukan masase atau pemberian uterotonika langsung uterus mengeras
tapi perdarahan tidak berkurang.

G. Pathway Hemorrhage Post Partum (HPP)

Gambar 4. Pathway HPP


H. Pemeriksaan Penunjang Hemorrhage Post Partum (HPP)
Menurut Mansyur (2014), pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada klien
dengan perdarahan post partum yaitu :
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Untuk
mengetahui kadar hemoglobin, hematokrit, masa perdarahan dan masa
pembekuan dapat dilihat dari jumlah darah lengkap. Hemoglobin saat tidak hamil
: 12-16 gr/dl, saat hamil : 10-14gr/dl. Hematokrit saat tidak hamil : 37%-47%,
saat hamil : 32% 42%. Sel darah putih saat tidak hamil : 4.500-10.000/mm3, saat
hamil : 5.000 15.000/mm3. Kadar hemoglobin dibawah 10 g/dL berhubungan
dengan hasil kehamilan yang buruk.
b. Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak periode
antenatal. Untuk menentukan Rh, ABO dan percocokan silang.
c. Perlu dilakukan pemeriksaan profil koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu
pembekuan. Untuk mengetahui peningkatan degradasi, kadar produk
fibrin/produk split fibrin (FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen : masa
tromboplastin partial diaktivasi, masa tromboplastin partial (APT/PTT), masa
protrombin memanjang pada KID.
d. Kultur uterus dan vagina, untuk mengesampingkan infeksi pasca partum.
e. Kultur urinalisis, untuk memastikan kerusakan kandung kemih
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan
penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium
atau radiologis dapat dilakukan. Berdasarkan pengalaman, pemeriksaan sonografi
dapat membantu untuk melihat adanya jendalan darah dan retensi sisa plasenta.
b. USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan
resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarahan post partum
seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan sensivitas dan
spesifitas dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya.

I. Penatalaksanaan Hemorrhage Post Partum (HPP)


1. Penatalaksaan Keperawatan
Menurut Amin Huda, dkk (2013), penatalaksanaan keperawatan perdarahan
post partum adalah :
a. Berikan kenyamanan fisik (posisi yang nyaman)
b. Percepat kontraksi dengan cara melakukan masas pada uterus jika uterus masih
teraba
c. Kaji kondisi klinis klien
d. Ambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium
e. Jika klien syok lakukan tindakan sesuai dengan prosedur seperti :
1) Resusitasi Cairan
Berikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar, baik
normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat (RL) melalui akses intravena
perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan karena biaya
yang ringan dan kompatoilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi
darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan
perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak
(>10 L), dapat dipertimbangkan penggunaan cairan RL.
2) Transfusi Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan
diperkirakan akan melebihi 2.00 mL atau keadaan klinis klien menunjukan
tanda-tanda syok walaupu telah dilakukan resusitasi cepat.
2. Penatalaksaan Medis
Menurut Wiknjosastro (2006), diagnosis yang tepat harus segera ditegakkan
dengan cara segera mengidentifikasi perdarahan berlebihan setelah persalinan.
Tersedia tim penolong yang berpengalaman. Obat-obatan, peralatan, ruang operasi dan
tranfusi darah sudah harus tersedia. Menentukan etiologi nilai uterus untuk
kemungkinan atonia, hipotonia, ruptur atau inversi. Nilai traktus genitalis bawah untuk
kemungkinan perlukaan pada servik, vagina dan perineum. Menilai kemungkinan
koagulopati. Menilai apakah ada retensi plasenta.
Menurut Wiknjosastro (2006), penatalaksanaan medis perdarahan post partum
terdiri dari :
a. Penatalaksaan Umum
1) Ketahui dengan pasti kondisi klien sejak awal (saat masuk)
2) Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman (termasuk
upaya pencegahan perdarahan pasca persalinan)
3) Lakukan observasi melekat pada 2 jam pertama pasca persalinan (di ruang
persalinan) dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya (di
ruang rawat gabung).
4) Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
5) Segera lakukan penlilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan
dengan masalah dan komplikasi
6) Atasi syok
7) Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah, lakukam pijatan
uterus, berikan uterotonika 10 IU IM dilanjutkan infus 20 IU dalam 500cc
NS/RL dengan 40 tetesan permenit.
8) Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan robekan
jalan lahir.
9) Bila perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
10) Pasang kateter tetap dan lakukan pemantauan input-output cairan
11) Cari penyebab perdarahan dan lakukan penangan spesifik.
b. Penatalaksanaan Berdasarkan Etiologi
1) Atonia uteri
a) Kenali dan tegakan kerja atonia uteri
b) Sambil melakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan
pengurutan uterus
c) Pastikan plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi jalan lahir
d) Lakukan tindakan spesifik yang diperlukan :
e) Kompresi bimanual eksternal yaitu menekan uterus melalui dinding
abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang
melingkupi uterus. Bila perdarahan berkurang kompresi diteruskan,
pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi atau dibawa ke
fasilitas kesehatan rujukan.
f) Kompresi bimanual internal yaitu uterus ditekan diantara telapak tangan
pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjempit
pembuluh darah didalam miometrium.
g) Kompresi aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis dengan ujung jari
tangan kiri, pertahankan posisi tersebut genggam tangan kanan kemudian
tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga
mencapai kolumna vertebralis, penekanan yang tepat akan menghetikan atau
mengurangi, denyut arteri femoralis.
2) Retensio Plasenta Dengan Separasi Parsial
a) Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang
akan diambil.
b) Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengejan, bila ekspulsi tidak
terjadi cobakan traksi terkontrol tali pusat.
c) Pasang infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL dengan tetesan 40/menit,
bila perlu kombinasikan dengan misoprostol 400mg per rektal.
d) Bila traksi terkontrol gagal melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta
secara hati-hati dan halus.
e) Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.
f) Lakukan transfusi darah bila diperlukan.
g) Berikan antibiotik profilaksis ( ampicilin 2 gr IV/oral + metronidazole 1 g
supp/oral ).
3) Plasenta Inkarserata
a) Tentukan diagnosis kerja
b) Siapkan peralatan dan bahan untuk menghilangkan kontriksi serviks yang
kuat, tetapi siapkan infus fluothane atau eter untuk menghilangkan kontriksi
serviks yang kuat, tetapi siapkan infus oksitosin 20 .Untuk 500 NS atau RL
untuk mengantisipasi gangguan kontraksi uterus yang mungkin timbul.
c) Bila bahan anestesi tidak tersedia, lakukan manuver sekrup untuk
melahirkan plasenta.
d) Pasang spekulum sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak jelas.
e) Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan 8 dan lepaskan
spekulum
f) Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak jelas.
g) Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta di sisi
berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin, minta asisten untuk
memegang klem tersebut.
h) Lakukan hal yang sama pada plasenta kontra lateral.
i) Satukan kedua klem tersebut, kemudian sambil diputar searah jarum jam
tarik plasenta keluar perlahan-lahan.
4) Ruptur Uteri
a) Berikan segera cairan isotonik ( RL/NS) 500 cc dalam 15-20 menit dan
siapkan laparatomi.
b) Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta, fasilitas pelayanan
kesehatan dasar harus merujuk pasien ke rumah sakit rujukan.
c) Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan
memungkinkan, lakukan operasi uterus.
d) Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien mengkwatirkan
lakukan histerektomi.
e) Lakukan bilasan peritonial dan pasang drain dari cavum abdomen.
f) Antibiotik dan serum anti tetanus, bila ada tanda-tanda infeksi.
5) Sisa Plasenta
a) Penemuan secara dini, dengan memeriksa kelengkapan plasenta setelah
dilahirkan.
b) Berikan antibiotika karena kemungkinan ada endometriosis.
c) Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan mengeluarkan bekuan
darah atau jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrument,
lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuret.
d) Jika Hb < 8 gr/dl berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600mg/hari
selama 10 hari.
6) Ruptur Peritonium Dan Robekan Dinding Vagina
a) Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber
perdarahan.
b) Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik.
c) Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang
yang dapat diserap.
d) Lakukan penjahitan luka dari bagian yang paling distal.
e) Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis demi lapis
dengan bantuan busi pada rektum, sebagai berikut :
1. Setelah prosedur aseptik- antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung
robekan.
2. Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul sub
mukosa, menggunakan benang polyglikolik no 2/0 (deton/vierge) hingga
ke sfinter ani, jepit kedua sfinter ani dengan klem dan jahit dengan
benang no 2/0.
3. Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa dengan
benang yang sama (atau kromik 2/0) secara jelujur.
4. Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara sub mukosa dan sub
kutikuler.
5. Berikan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor berikan antibiotika untuk
terapi.
7) Robekan Serviks
a) Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang terjulur akan mengalami
robekan pada posisi spina ishiadika tertekan oleh kepala bayi.
b) Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan
banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan porsi.
c) Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga perdarahan
dapat segera di hentikan, jika setelah eksploitasi lanjutkan tidak dijumpai
robekan lain, lakukan penjahitan, jahitan dimulai dari ujung atas robekan
kemudian kearah luar sehingga semua robekan dapat dijahit.
d) Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri
dan perdarahan paska tindakan.
e) Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda
infeksi.
f) Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila kadar Hb dibawah 8
gr/dl berikan transfusi darah.
c. Tindakan Operatif Dalam Kala Uri (Kala 3)
1) Perasat Crede’
a) Indikasi, bermaksud melahirkan plasenta yang belum terlepas dengan syarat
uterus berkontraksi baik dan vesika urinaria kosong.
b) Teknik Pelaksanaan
1. Fundus uterus dipegang oleh tangan kanan sedemikian rupa, sehingga
ibu jari terletak pada permukaan depan uterus sedangkan jari lainnya
pada fundus dan permukaan belakang. setelah uterus dengan rangsangan
tangan berkontraksi baik, maka uterus ditekan ke arah jalan lahir.
gerakan jari-jari seperti meremas jeruk. Perasat crede’ tidak boleh
dilakukan pada uterus yang tidak berkontraksi karena dapat
menimbulkan inversion uteri.
2. Perasat crede’ dapat dicoba sebelum meningkat pada pelepasan plasenta
secara manual.
2) Manual Plasenta
a) Indikasi, keadaan perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc
yang tidak dapat dihentikan dengan uterotonika dan masase, retensio
plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit
seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk
eksplorasi jalan lahir dan tali pusat putus.
b) Teknik Pelepasan
1. Sebelum dikerjakan, penderita disiapkan pada posisi litotomi. Keadaan
umum penderita diperbaiki sebesar mungkin, atau diinfus NaCl atau
Ringer Laktat. Anestesi diperlukan kalau ada constriction ring dengan
memberikan suntikan diazepam 10 mg intramuskular. Anestesi ini
berguna untuk mengatasi rasa nyeri. Operator berdiri atau duduk
dihadapan vulva dengan salah satu tangannya (tangan kiri) meregang tali
pusat, tangan yang lain (tangan kanan) dengan jari-jari dikuncupkan
membentuk kerucut.

Gambar 5. Meregang tali pusat dengan jari-jari membentuk kerucut


2. Dengan ujung jari menelusuri tali pusat sampai plasenta. Jika pada
waktu melewati serviks dijumpai tahanan dari lingkaran kekejangan
(constrition ring), ini dapat diatasi dengan mengembangkan secara
perlahan-lahan jari tangan yang membentuk kerucut tadi. Sementara itu,
tangan kiri diletakkan di atas fundus uteri dari luar dinding perut ibu
sambil menahan atau mendorong fundus itu ke bawah. Setelah tangan
yang di dalam sampai ke plasenta, telusurilah permukaan fetalnya ke
arah pinggir plasenta. Pada perdarahan kala tiga, biasanya telah ada
bagian pinggir plasenta yang terlepas.
Gambar 6. Ujung jari menelusuri tali pusat, tangan kiri diletakkan di
atas fundus
3. Melalui celah tersebut, selipkan bagian ulnar dari tangan yang berada di
dalam antara dinding uterus dengan bagian plasenta yang telah terlepas
itu. Dengan gerakan tangan seperti mengikis air, plasenta dapat
dilepaskan seluruhnya (kalau mungkin), sementara tangan yang di luar
tetap menahan fundus uteri supaya jangan ikut terdorong ke atas.
Dengan demikian, kejadian robekan uterus (perforasi) dapat
dihindarkan.

Gambar 7. Mengeluarkan plasenta


4. Setelah plasenta berhasil dikeluarkan, lakukan eksplorasi untuk
mengetahui kalau ada bagian dinding uterus yang sobek atau bagian
plasenta yang tersisa. Pada waktu ekplorasi sebaiknya sarung tangan
diganti yang baru. Setelah plasenta keluar, gunakan kedua tangan untuk
memeriksanya, segera berikan uterotonik (oksitosin) satu ampul
intramuskular, dan lakukan masase uterus. Lakukan inspeksi dengan
spekulum untuk mengetahui ada tidaknya laserasi pada vagina atau
serviks dan apabila ditemukan segera di jahit.
3) Explorasi Cavum Uteri
a) Indikasi, persangkaan tertinggalnya jaringan plasenta (plasenta lahir tidak
lengkap), setelah operasi vaginal yang sulit, dekapitasi, versi dan ekstraksi,
perforasi dan lain-lain, untuk menetukan apakah ada ruptur uteri. Eksplosi
juga dilakukan pada pasien yang pernah mengalami seksio sesaria dan
sekarang melahirkan pervaginam.
b) Teknik Pelaksanaan
Tangan masuk secara obstetric seperti pada pelepasan plasenta secara
manual dan mencari sisa plasenta yang seharusnya dilepaskan atau meraba
apakah ada kerusakan dinding uterus. Untuk menentukan robekan dinding
rahim eksplorasi dapat dilakukan sebelum plasenta lahir dan sambil
melepaskan plasenta secara manual.

J. Komplikasi Hemorrhage Post Partum (HPP)


Menurut Sulaiman Sastrawinata (2005), berdasarkan lama waktunya komplikasi
perdarahan post partum terdiri dari 2 yaitu :
1. Jangka Pendek
a. Anemia
b. Syok hipovolemik
c. Gagal ginjal akut
d. Gagal hepar akut (hepato-renal syndrome)
e. Edema paru akut, consumption coagulopathy, reaksi transfusi
2. Jangka Panjang
a. Infeksi (puerperal infections, HIV, hepatitis)
b. Sheehan’s syndrome (nekrosis pituitary anterior)
c. Anemia kronis
d. Gagal ginjal kronis

K. Pencegahan Hemorrhage Post Partum (HPP)


Menurut Wiknjosastro (2006), pencegahan perdarahan post partum terdiri dari beberapa
tahap yaitu :
1. Perawatan Masa Kehamilan
Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang disangka
akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan
sewaktu bersalin tetapi sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan antenatal
care yang baik. Menangani anemia dalam kehamilan adalah penting, ibu-ibu yang
mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangat dianjurkan untuk
bersalin di rumah sakit.
2. Persiapan Persalinan
Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah, dan
bila memungkinkan sediakan donor darah dan dititipkan di bank darah. Pemasangan
cateter intravena dengan lobang yang besar untuk persiapan apabila diperlukan
transfusi. Untuk pasien dengan anemia berat sebaiknya langsung dilakukan transfusi.
3. Persalinan
Setelah bayi lahir, lakukan massae uterus dengan arah gerakan circular atau maju
mundur sampai uterus menjadi keras dan berkontraksi dengan baik. Massae yang
berlebihan atau terlalu keras terhadap uterus sebelum, selama ataupun sesudah
lahirnya plasenta bisa mengganggu kontraksi normal myometrium dan bahkan
mempercepat kontraksi akan menyebabkan kehilangan darah yang berlebihan dan
memicu terjadinya perdarahan postpartum.
4. Kala 3 dan Kala 4
a. Uterotonica dapat diberikan segera sesudah bahu depan dilahirkan. Studi
memperlihatkan penurunan insiden perdarahan postpartum pada pasien yang
mendapat oxytocin setelah bahu depan dilahirkan, tidak didapatkan peningkatan
insiden terjadinya retensio plasenta. Hanya saja lebih baik berhati-hati pada pasien
dengan kecurigaan hamil kembar apabila tidak ada USG untuk memastikan.
Pemberian oxytocin selama kala tiga terbukti mengurangi volume darah yang
hilang dan kejadian perdarahan postpartum sebesar 40%.
b. Pada umumnya plasenta akan lepas dengan sendirinya dalam 5 menit setelah bayi
lahir. Usaha untuk mempercepat pelepasan tidak ada untungnya justru dapat
menyebabkan kerugian. Pelepasan plasenta akan terjadi ketika uterus mulai
mengecil dan mengeras, tampak aliran darah yang keluar mendadak dari vagina,
uterus terlihat menonjol ke abdomen, dan tali plasenta terlihat bergerak keluar dari
vagina. Selanjutnya plasenta dapat dikeluarkan dengan cara menarik tali pusat secra
hati-hati. Segera sesudah lahir plasenta diperiksa apakah lengkap atau tidak. Untuk
“manual plasenta” ada perbedaan pendapat waktu dilakukannya manual plasenta.
Apabila sekarang didapatkan perdarahan adalah tidak ada alas an untuk menunggu
pelepasan plasenta secara spontan dan manual plasenta harus dilakukan tanpa
ditunda lagi. Jika tidak didapatkan perdarahan, banyak yang menganjurkan
dilakukan manual plasenta 30 menit setelah bayi lahir. Apabila dalam pemeriksaan
plasenta kesan tidak lengkap, uterus terus di eksplorasi untuk mencari bagian-
bagian kecil dari sisa plasenta.
c. Lakukan pemeriksaan secara teliti untuk mencari adanya perlukaan jalan lahir yang
dapat menyebabkan perdarahan dengan penerangan yang cukup. Luka trauma
ataupun episiotomi segera dijahit sesudah didapatkan uterus yang mengeras dan
berkontraksi dengan baik.
KONSEP DASAR
ASUHAN KEPERAWATAN MATERNITAS
PADA IBU NIFAS DENGAN HEMORRHAGE POST PARTUM (HPP)

A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
a. Identitas Klien
Hal yang harus dikaji dalam identitas klien yaitu :
1) Nama, ditulis dengan inisial karena bersifat rahasia
2) Umur, sering terjadi pada ibu dengan riwayat multiparitas, pada ibu usia
dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun (Rustam Mukthar, 1995)
3) Jenis kelamin, semua wanita dapat mengalaminya.
4) Status perkawinan, sudah menikah
5) Suku / bangsa, suku yang masih berpendidikan rendah, tingkat kesehatannya
biasanya rendah.
6) Agama, semua agama dapat mengalaminya.
7) Pekerjaan, semua pekerjaan dapat mengalaminya.
8) Pendidikan, semakin tinggi jenjang pendidikan berarti semakin tinggi tingkat
pengetahuannya tentang kesehatan.
9) Alamat, ditulis kota atau kabupaten saja karena bersifat rahasia.
10) Waktu masuk rumah sakit, ditulis sesuai waktu masuk rumah sakit berupa
hari, tanggal, bulan, tahun dan jam.
11) Diagnosa medis, ditulis sesuai dengan diagnosa yang terakhir saat pengkajian.
12) Nomor rekam medis, terdiri dari 8 digit, ditulis 4 digit angka terdepan dan 4
digit inisial misalnya X karena bersifat rahasia.
b. Identitas Penanggungjawab (Suami)
Hal yang harus dikaji dalam identitas penanggungjawab (suami) yaitu :
1) Nama, ditulis dengan inisial karena bersifat rahasia
2) Umur, ditulis berdasarkan waktu kelahiran
3) Jenis kelamin, suami klien berjenis kelamin laki-laki
4) Status perkawinan, sudah menikah
5) Suku / bangsa, suku yang masih berpendidikan rendah, tingkat kesehatannya
biasanya rendah.
6) Agama, semua agama dapat mengalaminya.
7) Pekerjaan, semua pekerjaan dapat mengalaminya.
8) Pendidikan, semakin tinggi jenjang pendidikan berarti semakin tinggi tingkat
pengetahuannya tentang kesehatan.
9) Alamat, ditulis kota atau kabupaten saja karena bersifat rahasia.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang (Rustam Mukthar, 1995)
a. Keluhan utama, ketika MRS klien mengeluhkan perdarahan dari jalan lahir, badan
lemah, keluar keringat dingin, kesulitan bernafas, pusing, pandangan berkunang-
kunang, dan penurunan kesadaran
b. Riwayat penyakit sekarang, mengkaji perjalanan penyakit semenjak timbul gejala
dan terdiagnosa penyakit yang merupakan faktor resiko dari hemoragik post
partum hingga pasien dirawat.
c. Upaya yang telah dilakukan, penanganan yang dilakukan ketika terjadi cidera,
trauma atau sakit seperti dibawa ke puskesmas, klinik kesehatan atau rumah sakit.
3. Riwayat Kesehatan Dahulu (Rustam Mukthar, 1995)
a. Riwayat penyakit sebelumnya, mengkaji riwayat penyakit terdahulu yang pernah
diderita ibu yang memungkinkan untuk memperburuk keadaan atau mempersulit
penyembuhan. Seperti : penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal kronik,
hemofilia, riwayat pre eklampsia, trauma jalan lahir, kegagalan kompresi
pembuluh darah, tempat implantasi plasenta, retensi sisa plasenta.
b. Riwayat kesehatan keluarga, adanya riwayat keluarga yang pernah atau sedang
menderita hipertensi, penyakit jantung, dan pre eklampsia, penyakit keturunan
hemopilia dan penyakit menular.
c. Alergi, kemungkinan klien tidak memiliki alergi terhadap makanan, minuman
maupun obat.
d. Terapi / operasi yang pernah dilakukan, untuk mengetahui adanya riwayat operasi
yang telah dilakukan sebelum sakit saat ini.
e. Riwayat kesehatan lingkungan, kondisi lingkungan tidak berpengaruh, terjadi
karena perdarahan setelah persalinan.
4. Riwayat Obstetri (Rustam Mukthar, 1995)
a. Riwayat menstruasi meliputi : menarche, lamanya siklus, banyaknya, baunya,
keluhan waktu haid, HPHT.
b. Riwayat perkawinan meliputi : usia kawin, kawin yang keberapa, usia mulai
hamil.
5. Riwayat Ginekologi (Rustam Mukthar, 1995)
a. Masalah ginekologi meliputi : Penyakit Menular Seksual (PMS) dan infeksi
reproduksi
b. Riwayat KB meliputi : KB suntik, pil KB, atau IUD.
6. Riwayat Hamil, Persalinan dan Nifas Yang Lalu (Rustam Mukthar, 1995)
a. Riwayat hamil meliputi : waktu hamil muda, hamil tua apakah ada abortus, retensi
plasenta.
b. Riwayat persalinan meliputi : tua kehamilan, cara persalinan, penolong, tempat
bersalin, apakah ada kesulitan dalam persalinan, anak lahir atau mati, berat badan
anak waktu lahir, panjang waktu lahir.
c. Riwayat nifas meliputi : keadaan lochea (lokia rubra berwarna merah muda atau
coklat setelah 3-4 hari. Lokia serosa terjadi setelah 10 hari setelah bayi lahir,
warna cairan ini menjadi warna kuning sampai putih. Lokia alba bias beratahan
selama dua sampai enam minggu setelah bayi lahir), apakah ada perdarahan, ASI
cukup atau tidak dan kondisi ibu saat nifas, tinggi fundus uteri dan kontraksi.
7. Riwayat Hamil, Persalinan dan Nifas Saat Ini (Rustam Mukthar, 1995)
a. Riwayat hamil meliputi :
1) Hamil muda, keluhan selama hamil muda
2) Hamil tua, keluhan selama hamil tua, peningkatan berat badan, tinggi badan,
suhu, nadi, pernafasan, peningkatan tekanan darah, keadaan gizi akibat mual,
dan keluhan lain
3) Antenatal care, berapa kali dilakukan, dimana tempat pelayanan, perawatan
serta pengobatannya yang didapat
b. Riwayat persalinan meliputi : jenis persalinan (jika sc atas indikasi apa),
presentasi kepala, tindakan forceps, ekstrasi vakum, tanggal dan jam persalinan
dan lahirnya plasenta, kondisi bayi (APGAR,BB,PB), jumlah perdarahan
umumnya >500cc, masalah dalam persalinan seperti uterus lembek kala III lama
atau partus cepat, lamanya ketuban pecah, dan kondisi ketuban.
c. Riwayat nifas meliputi : keadaan lochea, apakah ada perdarahan, ASI cukup atau
tidak dan kondisi ibu saat nifas, tinggi fundus uteri dan kontraksi.
8. Pola Fungsi Kesehatan (Rustam Mukthar, 1995)
a. Pola Persepsi dan Manajemen Kesehatan
Kaji tentang adanya perubahan sebelum dan sesudah klien masuk rumah sakit
mengenai kemampuan merawat diri dalam pemeliharaan kesehatan. Kaji apakah
klien sudah mengetahui tentang perdarahan postpartum dan sudah pernah
mendengar tentang hal itu. Biasanya klien bedrest dan semua kebutuhan diri
seperti : mandi, ganti pakaian, BAK, BAB, makan, minum dibantu oleh keluarga
dan perawat.
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Kaji tentang adanya perubahan sebelum dan sesudah klien masuk rumah sakit
mengenai pola menu makanan yang dikonsumsi, jumlah, jenis makanan (kalori,
protein, vitamin, tinggi serat), frekuensi, konsumsi snack (makanan ringan), nafsu
makan, pola minum, jumlah. Makan dan minum pada masa nifas harus bermutu
dan bergizi, cukup kalori, makanan yang mengandung protein, banyak cairan,
sayur-sayuran dan buah – buahan. Biasanya asupan nutrisi pada klien kurang
karena nafsu makan klien menurun.
c. Pola Aktivitas dan Latihan
Kaji tentang adanya perubahan sebelum dan sesudah klien masuk rumah sakit
mengenai kemampuan dalam beraktivitas seperti kemampuan mobilisasi beberapa
saat setelah melahirkan, kemampuan merawat diri dan melakukan eliminasi,
kemampuan bekerja dan menyusui.. Biasanya klien tidak mampu beraktivitas
seperti biasa kerena kelemahan, malaise umum, kehilangan produktivitas, dan
kebutuhan istirahat dan tidur lebih banyak.
d. Pola Eliminasi
Kaji tentang adanya perubahan sebelum dan sesudah klien masuk rumah sakit
mengenai kebiasaan BAB dan BAK. Perhatikan apakah terjadi diuresis, adakah
inkontinensia (hilangnya infolunter pengeluaran urin), hilangnya kontrol blas,
terjadi over distensi blass atau tidak, atau retensi urine karena rasa talut luka
episiotomi, apakah perlu bantuan saat BAK. Pola BAB, frekuensi, konsistensi,
rasa takut BAB karena luka perineum, kebiasaan penggunaan toilet. BAB harus
ada 3-4 hari post partum sedangkan miksi hendaklah secepatnya dilakukan
sendiri. Biasanya klien sering mengalami konstipasi, dan adanya penurunan
haluaran urin (< 500 cc).
e. Pola Istirahat dan Tidur
Kaji tentang adanya perubahan sebelum dan sesudah klien masuk rumah sakit
mengenai lamanya tidur, kapan (malam, siang), rasa tidak nyaman yang
mengganggu istirahat, penggunaan selimut, lampu atau remang-remang atau
gelap, apakah mudah terganggu dengan suara-suara, posisi saat tidur (penekanan
pada perineum). Biasanya klien mengalami kurang tidur karena nyeri pada luka
bekas jahitan pada persalinan.
f. Pola Hubungan dan Peran
Kaji tentang adanya perubahan sebelum dan sesudah klien masuk rumah sakit
mengenai hubungan klien dengan orang lain. Biasanya peran klien sebagai ibu
akan terganggu, karen penyakit yang dideritanya. Begitu juga hubungannya
dengan orang lain disekitarnya.
g. Pola Penanggulangan Stress
Kaji tentang adanya perubahan sebelum dan sesudah klien masuk rumah sakit
mengenai tingkat stress yang dirasakan, pengetahuan, dan penggunaan
manajemen stress. Adanyaa perubahan peran dan respon keluarga yang bervariasi
dapat menjadi pendukung berkurangnya rasa sakit atau nyeri yang dialami klien.
h. Pola Sensori dan Kognitif
Kaji tentang adanya perubahan sebelum dan sesudah klien masuk rumah sakit
mengenai panca indera. Biasanya klien tidak mengalami gangguan, karena klien
masih dapat berkomunikasi.
i. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Kaji tentang adanya perubahan sebelum dan sesudah klien masuk rumah sakit
mengenai keadaan sakit dan ancaman terhadap konsep diri meliputi sikap
penerimaan ibu terhadap tubuhnya, keinginan ibu menyusui, persepsi ibu tentang
tubuhnya terutama perubahan-perubahan selama kehamilan, perasaan klien bila
mengalami opresi SC karena cephalopelvic disproportion (CPD) atau karena
bentuk tubuh yang pendek. Biasanya klien merasa rendah diri karena tidak bisa
melahirkan secara normal dan juga belum dapat menyusui bayinya.
j. Pola Reproduksi Seksual
Kaji tentang adanya perubahan sebelum dan sesudah klien masuk rumah sakit
mengenai pola interaksi dan hubungan dengan pasangan meliputi : frekuensi
koitus atau hubungan intim, pengetahuan pasangan tentang seks, keyakinan,
kesulitan melakukan seks, kontinuitas hubungan seksual. Pengetahuan pasangan
kapan dimulai hubungan intercourse pasca partum (dapat dilakukan setelah luka
episiotomi membaik dan lochia terhenti, biasanya pada akhir minggu ke 3).
Biasanya klien mengalami masalah seksual karena kondisi klien nifas.
k. Pola Nilai dan Keyakinan
Kaji tentang adanya perubahan sebelum dan sesudah klien masuk rumah sakit
mengenai agama atau spiritual, pola ibadah dan dampak masalah terhadap
spiritual. Terkadang klien merasa Tuhan tidak adil dengannya akibat kondisi yang
diderita (hubungan spiritualnya kurang baik).
9. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
1) Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang
terhadap rangsangan yang berasal dari lingkungan. Tingkat kesadaran ini
dibedakan menjadi beberapa tingkat yaitu :
a. Composmentis, yaitu kondisi seseorang yang sadar sepenuhnya, baik
terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya dan dapat menjawab
pertanyaan yang ditanyakan pemeriksa dengan baik.
b. Apatis, yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak acuh
terhadap lingkungannya.
c. Delirium, yaitu kondisi seseorang yang mengalami kekacauan gerakan,
siklus tidur bangun yang terganggu dan tampak gaduh gelisah, kacau,
disorientasi serta meronta-ronta.
d. Somnolen yaitu kondisi seseorang yang mengantuk namun masih dapat
sadar bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti akan tertidur kembali.
e. Sopor, yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang dalam, namun masih
dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri,
tetapi tidak terbangun sempurna dan tidak dapat menjawab pertanyaan
dengan baik.
f. Semi-coma yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons
terhadap pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama sekali, respons
terhadap rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi refleks kornea dan pupil
masih baik.
g. Coma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, memberikan
respons terhadap pertanyaan, tidak ada gerakan, dan tidak ada respons
terhadap rangsang nyeri.
Sumber: Asmadi (2009)
2) Pemeriksaan GCS
Pada pemeriksaan GCS, respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3
hal yaitu reaksi membuka mata (Eye), pembicaraan (Verbal) dan gerakan
(Motorik). Hasil pemeriksaan tersebut dinyatakan dalam derajat (score)
dengan rentang angka 1 sampai 6 tergantung respon yang diberikan. Terdapat
perbedaan antara hasil pemeriksaan GCS pada orang dewasa dan pemeriksaan
GCS pada bayi karena terdapat perbedaan respon antara orang dewasa dan
bayi pada saat mereka menerima rangsangan.
Berikut nilai acuan dalam penilaian GCS pada orang dewasa:
1. Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan atau membuka mata dengan sendirinya tanpa dirangsang.
(3) : dengan rangsang suara (dilakukan dengan menyuruh pasien untuk
membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (memberikan rangsangan nyeri, misalnya
menekan kuku jari).
(1) : tidak ada respon meskipun sudah dirangsang.
2. Verbal (respon verbal atau ucapan) :
(5) : orientasi baik, bicaranya jelas.
(4) : bingung, berbicara mengacau (berulang-ulang), disorientasi tempat
dan waktu.
(3) : mengucapkan kata-kata yang tidak jelas.
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon
3. Motorik (Gerakan) :
(6) : mengikuti perintah pemeriksa
(5) : melokalisir nyeri, menjangkau dan menjauhkan stimulus saat diberi
rangsang nyeri.
(4) : withdraws, menghindar atau menarik tubuh untuk menjauhi stimulus
saat diberi rangsang nyeri.
(3) : flexi abnormal, salah satu tangan atau keduanya menekuk saat diberi
rangsang nyeri.
(2) : extensi abnormal, salah satu tangan atau keduanya bergerak lurus
(ekstensi) di sisi tubuh saat diberi rangsang nyeri.
(1) : tidak ada respon
Berikut nilai acuan dalam penilaian GCS pada bayi/anak:
1. Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan
(3) : membuka mata saat diperintah atau mendengar suara
(2) : membuka mata saat ada rangsangan nyeri
(1) : tidak ada respon
2. Verbal (respon verbal) :
(5) : berbicara mengoceh seperti biasa
(4) : menangis lemah
(3) : menangis karena diberi rangsangan nyeri
(2) : merintih karena diberi rangsangan nyeri
(1) : tidak ada respon
3. Motorik (Gerakan) :
(6) : bergerak spontan
(5) : menarik anggota gerak karena sentuhan
(4) : menarik anggota gerak karena rangsangan nyeri
(3) : fleksi abnormal
(2) : ekstensi abnormal
(1) : tidak ada respon
Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol
E-V-M dan selanjutnya nilai GCS tersebut dijumlahkan. Nilai GCS yang
tertinggi atau GCS normal adalah 15 yaitu E4V5M6 , sedangkan yang
terendah adalah 3 yaitu E1V1M1. Berikut beberapa penilaian GCS dan
interpretasinya terhadap tingkat kesadaran :
1. Nilai GCS (15-14) : Composmentis
2. Nilai GCS (13-12) : Apatis
3. Nilai GCS (11-10) : Delirium
4. Nilai GCS (9-7) : Somnolen
5. Nilai GCS (6-5) : Sopor
6. Nilai GCS (4) : semi-coma
7. Nilai GCS (3) : Coma
Sumber: Asmadi (2009)
3) Vital Sign
a) Tekanan darah
Pemeriksaan tekanan darah merupakan suatu tindakan melakukan
pengukuran tekanan darah, yaitu hasil dari curah jantung dan tahanan
perifer, menggunakan Sphygmomanometer. Tekanan darah adalah tekanan
yang ditimbulkan pada dinding arteri. Tujuannya untuk menilai system
kardiovaskular/keadaan hemodinamik klien (curah jantung, tahanan
vaskuler perifer, volume darah dan viskositas, dan elastisitas arteri).

Tabel 2. Rentang Nilai Tekanan Darah Bayi dan Anak


Umur (Tahun) Sistole (mmHg) Diastole (mmHg)

Neonatal 75-105 45-75

2–6 80-110 50-80

7 85-120 50-80

8 90-120 55-85

9 90-120 55-85

10 95-130 60-85

11 95-135 60-85

12 95-135 60-85

13 100-140 60-90

14 105-140 65-90
Tabel 3. Rentang Nilai Tekanan Darah Dewasa

Kategori Sistole (mmHg) Diastole (mmHg)

Hipotensi < 90 < 60

Normal 90 – 119 60 – 79

Prehipertensi 120 – 139 80 – 89

Hipertensi derajat 1 140 – 159 90 – 99

Hipertensi derajat 2 160 – 179 100 – 109

Krisis Hipertensi 180 atau lebih 110 atau lebih


b) Nadi
Pemeriksaan denyut nadi merupakan pemeriksaan pada pembuluh nadi
atau arteri, dengan cara menghitung kecepatan/loncatan aliran darah yang
dapat teraba pada berbagai titik tubuh melalui perabaan. Pemeriksaan nadi
dihitung selama satu menit penuh, meliputi frekuensi, keteraturan dan isi.
Selain melalui perabaan dapat juga diperiksa melalui stetoskop.
Pemeriksaan denyut nadi bertujuan untuk mengetahui keadaan umum
pasien, mengetahui integritas sistem kardiovaskuler, dan mengikuti
perkembangan jalannya penyakit. Rentang nilai nadi :
1. Bayi yang baru dilahirkan (1-3 bulan): 120-140 kali/menit
2. Bayi 4 bulan-2 tahun: 80-150 kali/menit
3. Anak 2-10 tahun: 70-110 kali/mnit,
4. Anak anak >10 tahun: 55-90 kali/menit
5. Dewasa: 60-90 kali/menit
6. Usia lanjut yang sehat: 60/100 kali/menit
c) Pernafasan
Pemeriksaan frekuensi pernafasan dilakukan dengan menghitung jumlah
pernafasan, yaitu inspirasi yang diikuti ekspirasi dalam satu menit penuh.
Selain frekuensi, pemeriksa juga menilai kedalaman dan irama gerakan
ventilasi (jenis/sifat pernafasan). Selain itu, pemeriksaan ini bertujuan
untuk mengetahui keadaan umum klien, mengikuti perkembangan
penyakit, dan membantu menegakkan diagnosa. Rentang nilai pernafasan :
1. Bayi: 30 – 60 kali/menit
2. Anak-anak: 20 – 30 kali/menit
3. Remaja: 15 – 24 kali/menit
4. Dewasa: 16 – 20 kali/menit.
d) Suhu tubuh
Pemeriksaan suhu tubuh akan memberikan tanda/hasil suhu inti yang
secara ketat dikontrol karena dapat dipengaruhi oleh reaksi kimiawi.
Pemeriksaan suhu tubuh dapat dilakukan di beberapa tempat, yaitu:
a. Aksila/Ketiak, dilakukan selama 5-10 menit (Eoff dan Joyce, 1981)
b. Oral/mulut, dilakukan selama 2 menit (Baker et.al, 1984)
c. Rectal/Anus, dilakukan selama 2 menit (Kucha, 1972)
d. Timpanik/Telinga, dilakukan selama 2 detik (Erickson et.al,1991)
Nilai standar untuk mengetahui batas normal suhu tubuh manusia dibagi
menjadi empat yaitu :
a. Hipotermi, bila suhu tubuh kurang dari 36°C. Untuk mengukur suhu
hipotermi diperlukan termometer ukuran rendah (low reading
thermometer) yang dapat mengukur sampai 25 derajat Celcius.
b. Normal, bila suhu tubuh berkisar antara 36,5 - 37,5°C
c. Febris / pireksia / panas, bila suhu tubuh diatas 37,5 - 40°C
d. Hipertermi, bila suhu tubuh lebih dari 40°C
Vital sign pada klien dengan Hemorrhage Post Partum (HPP) umumnya
tekanan darah menurun (90-100 mmHg (sistolik)) ,nadi lemah tapi cepat (>
100x/menit), pernafasan meningkat akibat pengurangan kekurangan oksigen
(28-30x/menit), suhu tubuh menurun.
Sumber : Asmadi (2009)
4) Skala Nyeri
Terlampir
5) Skala Dekubitus
Terlampir
6) Skala Risiko Jatuh
Terlampir
7) Early Warning Sign (EWS)
Terlampir
b. Pemeriksaan Fisik Head To Toe
1) Kepala dan Leher
a) Kepala : kebersihan rambut, adanya lesi, benjolan, dan nyeri tekan.
b) Mata : simetris, kondisi sklera, konjungtiva, pupil, nyeri tekan,
ada/tidaknya lesi, dan penggunaan alat bantu indra.
c) Hidung : simetris, ada atau tidaknya polip, epitaksis, kebersihan,
ada atau tidaknya nyeri tekan, pernafasan cuping hidung, dan sekret.
d) Mulut : kondisi mukosa, ada atau tidaknya lesi/stomatitis, kering/lembab,
penggunaan gigi palsu, dan ada/tidaknya luka pada gusi.
e) Telinga : simetris, ada/tidaknya lesi, nyeri tekan, dan serumen.
f) Leher : ada/tidaknya pembesaran kelenjar, dan peningkatan JVP.
2) Dada
a) Jantung : ada atau tidaknya kelainan jantung, ictus cordis, suara jantung
tambahan, dan pembesaran jantung.
b) Paru-paru : ada/tidaknya kelainan paru, retraksi dinding dada, dan suara
nafas tambahan.
c) Payudara : kondisi kebersihan, ada/tidaknya lesi, benjolan, nyeri tekan,
kondisi putting, dan pengeluaran ASI lancar/tidak.
3) Abdomen
Involusi uterus, kandung kemih, dan fungsi pencernaan (bising usus).
4) Perineum dan Genetalia
a) Vagina : kondisi integritas kulit, ada/tidaknya odema, memar, dan
hematoma
b) Perineum : apakah utuh, episiotomi atau rupture
c) Tanda Reeda : Red (Merah), Eudema (Bengkak), Echimosis (Bercak
perdarahan yang kecil), Discharge (ekskresi/pengeluaran dari perineum),
Aproximate (kedekatan jaringan yang dijahit).
d) Kebersihan lokea : kaji jumlah, warna, bau, dan konsistensi
e) Hemoroid : derajat, berapa lama, lokasi, dan nyeri/tidak.
5) Ekstremitas
a) Ekstremitas atas : ada/tidaknya eudema, varises, dan kekuatan otot
b) Ekstremitas bawah : ada/tidaknya eudema, varises, dan kekuatan otot
Sumber : Rustam Mukthar (1995).
10. Analisa Data Keperawatan (SDKI, 2016)
No. Diagnosa Keperawatan Pengelompokan Data Penyebab Kondisi Klinis Terkait
1. (D.0009) Gejala Dan Tanda Mayor Post partum/nifas 1. Tromboflebitis
Perfusi Perifer Tidak Efektif Subjektif :  2. Diabetes mellitus
Definisi : Tidak tersedia Involusi uterus 3. Anemia
Penurunan sirkulasi darah pada level Objektif :  4. Gagal jantung kongestif
kapiler yang dapat mengganggu 1. Pengisian kapiler > detik Atonia uteri 5. Trombosis arteri
metabolisme tubuh. 2. Nadi perifer menurun/tidak teraba  6. Varises
Penyebab : 3. Akral teraba dingin Robekan jalan lahir 7. Trombosis vena dalam
1. Hiperglikemia 4. Warna kulit pucat  8. Sindrom kompartemen
2. Penurunan konsentrasi hemoglobin 5. Turgor kulit menurun Perdarahan
3. Peningkatan tekanan darah 
4. Kekurangan volume cairan Gejala Dan Tanda Minor Volume cairan turun
5. Penurunan aliran arteri dan/atau vena Subjektif : 
6. Kurang terpapar informasi tentang 1. Parastesia Perfusi perifer tidak efektif
faktor pemberat (mis. Merokok, gaya 2. Nyeri ekstremitas (klaudikasi (Nurarif & Kusuma, 2015)
hidup monoton, trauma, obesitas, intermiten)
asupan garam, imobilitas) Objektif :
7. Kurang terpapar informasi tentang 1. Edema
proses penyakit (mis. Diabetes mellitus, 2. Penyembuhan luka lambat
hiperlipidemia) 3. Indeks ankle-brachial >0,90
8. Kurang aktivitas fisik 4. Bruit femoral

2. (D.0023) Gejala Dan Tanda Mayor Post partum/nifas 1. Penyakit Addison


Hipovolemia Subjektif :  2. Trauma/perdarahan
Definisi : Tidak tersedia Involusi uterus 3. Luka bakar
Penurunan volume cairan intravaskular, Objektif :  4. AIDS
interstisial, dan/atau intraselular. 1. Frekuensi nadi meningkat Atonia uteri 5. Penyakit Crohn
Penyebab : 2. Nadi teraba lemah  6. Muntah
1. Kehilangan cairan aktif 3. Tekanan darah menurun Robekan jalan lahir 7. Diare
2. Kegagalan mekanisme regulasi 4. Tekanan nadi menyempit  8. Kolitis ulseratif
3. Peningkatan permeabilitas kapiler 5. Turgor kulit menurun Perdarahan 9. Hipoalbuminemia
4. Kekurangan intake cairan 6. Membran mukosa kering 
5. Evaporasi 7. Volume urin menurun Volume cairan turun
8. Hematokrit menurun 
Anemia akut
Gejala Dan Tanda Minor 
Subjektif : Hemoglobin dan oksigen turun
1. Merasa lemah 
2. Mengeluh haus Hipoksia
Objektif : 
1. Pengisian vena menurun Penurunan nadi dan tekanan darah
2. Status mental berubah 
3. Suhu tubuh meningkat Hipovolemia
4. Konsentrasi urin meningkat (Nurarif & Kusuma, 2015)
5. Berat badan turun tiba-tiba

3. (D.0077) Gejala Dan Tanda Mayor Post partum/nifas 1. Kondisi pembedahan


Nyeri Akut Subjektif :  2. Cedera traumatis
Definisi : 1. Mengeluh nyeri Involusi uterus 3. Infeksi
Pengalaman sensorik ata emosional yang Objektif :  4. Sinrom koroner akut
berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual 1. Tampak meringis Atonia uteri 5. Glaukoma
atau fungsional, dengan onset mendadak 2. Bersikap protektif (mis. Waspada, 
atau lambat dan berintensitas ringan posisi menghindar nyeri) Robekan jalan lahir
hingga berat yang berlangsung krang dari 3. Gelisah 
tiga bulan. 4. Frekuensi nadi meningkat Nyeri akut
Penyebab : 5. Sulit tidur (Nurarif & Kusuma, 2015)
1. Agen pencedera fisiologis (mis.
inflamasi iskemia, neoplasma) Gejala Dan Tanda Minor
2. Agen pendera kimiawi (mis. terbakar Subjektif :
bahan kimia iritan) Tidak tersedia
3. Agen pencedera fisik (mis. Abses, Objektif :
amputasi, terbakar, terpotong, 1. Tekanan darah meningkat
mengangkat berat, prosedur operasi, 2. Pola nafas berubah
trauma, latihan fisik berlebihan. 3. Nafsu makan berubah
4. Proses berpikir terganggu
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7. Diaphoresis
4. (D.0080) Gejala Dan Tanda Mayor Post partum/nifas 1. Penyakit kronis progresif (mis.

Ansietas Subjektif : Kehadiran anggota baru kanker, penyakit autoimun)
Definisi : 1. Merasa bingung  2. Penyakit akut
Kondisi emosi dan pengalaman subyektif 2. Merasa khaatir dengan akibat dari Ansietas 3. Hospitalisasi
individu terhadap objek yang tidak jelas kondisi yang dihadapi (Nurarif & Kusuma, 2015) 4. Rencana operasi
dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang 3. Sulit berkonsentrasi 5. Kondisi diagnosis penyakit
memungkinkan individu melakukan Objektif : belum jelas
tindakan untuk menghadapi ancaman. 1. Tampak gelisah 6. Penyakit neurologis
Penyebab : 2. Tampak tegang 7. Tahap tumbuh kembang
1. Krisis situasional 3. Sulit tidur
2. Kebutuhan tidak terpenuhi
3. Krisis maturasional Gejala Dan Tanda Minor
4. Ancaman terhadap konsep diri Subjektif :
5. Ancaman terhadap kematian 1. Mengeluh pusing
6. Kekhawatiran mengalami kegagalan 2. Anoreksia
7. Disfungsi 43ystem keluarga 3. Palpitasi
8. Hubungan orang tua anak tidak 4. Merasa tidak berdaya
memuaskan Objektif :
9. Faktor keturunan (temperamen mudah 1. Frekuensi napas meningkat
teragitasi sejak lahir) 2. Frekuensi nadi meningkat
10. Penyalahgunaan zat 3. Tekanan darah meningkat
11. Terpapar bahaya lingkungan (mis. 4. Diaphoresis
Toksin, polutan, dll) 5. Tremor
12. Kurang terpapar informasi 6. Muka tampak pucat
7. Suara bergetar
8. Kontak mata buruk
9. Sering berkemih
10. Berorientasi pada masa lalu
5. (D.0056) Gejala Dan Tanda Mayor Post partum/nifas 1. Anemia
Intoleransi Aktivitas Subjektif :  2. Gagal jantung kongestif
Definisi : 1. Mengeluh lelah Involusi uterus 3. Penyakit jantung koroner
Ketidakcukupan energi untuk melakukan Objektif :  4. Penyakit katup jantung
aktivitas sehari-hari. 1. Frekuensi jantung meningkat >20% Atonia uteri 5. Aritmia
Penyebab : dari kondisi istirahat  6. Penyakit paru obstruktif kronis
1. Ketidakseimbangan antara suplai dan Robekan jalan lahir (PPOK)
kebutuhan oksigen Gejala Dan Tanda Minor  7. Gangguan metabolik
Perdarahan
2. Tirah baring Subjektif :  8. Gangguan muskuloskeletal
3. Kelemahan 1. Dispnea saat/setelah aktivitas Volume cairan turun
4. Imobilitas 2. Merasa tidak nyaman setelah 
5. Gaya hidup monoton beraktivitas Anemia akut
3. Merasa lemah 
Objektif : Hemoglobin dan oksigen turun
1. Tekanan darah berubah >20% dari 
kondisi istirahat Hipoksia
2. Gambaran EKG menunjukkan 
aritmia saat/setelah aktivitas Kelemahan umum
3. Gambaran EKG menunjukkan 
iskemia Intoleransi aktivitas
4. Sianosis (Nurarif & Kusuma, 2015)
6. (D.0109) Gejala Dan Tanda Mayor Post partum/nifas 1. Stroke
Defisit Perawatan Diri Subjektif :  2. Ceera medula spinalis
Definisi : 1. Menolak melakukan perawatan diri Involusi uterus 3. Depresi
Tidak mampu melakukan atau Objektif :  4. Arthritis reumatoid
menyelesaikan aktivitas perawatan diri. 1. Tidak mampu mandi/mengenakan Atonia uteri 5. Retardasi mental
Penyebab : pakaian/makan/ke toilet/berhias  6. Delirium
1. Gangguan muskuloskeletal secara mandiri Robekan jalan lahir 7. Demensia
2. Gangguan neuromuskuler 2. Minat melakukan perawatan diri  8. Gangguan amnestik
3. Kelemahan kurang Perdarahan 9. Skizofrenia dan gangguan
4. Gangguan psikologis dan/atau psikotik  psikotik lain
5. Penurunan motivasi/minat Gejala Dan Tanda Minor Volume cairan turun 10. Fungsi penilaian terganggu
Subjektif : 
Tidak tersedia Anemia akut
Objektif : 
Tidak tersedia Hemoglobin dan oksigen turun

Hipoksia

Kelemahan umum

Defisit perawatan diri
(Nurarif & Kusuma, 2015)
7. (D.0039) Post partum/nifas 1. Perdarahan
Risiko Syok  2. Trauma multipel
Definisi : Involusi uterus 3. Pneumothoraks
Berisiko mengalami ketidakcukupan aliran  4. Infark miokard
darah ke jaringan tubuh, yang dapat Atonia uteri 5. Kardiomiopati
mengakibatkan disfungsi seluler yang  6. Cedera medula spinalis
mengancam jiwa. Robekan jalan lahir 7. Anafilaksis
Faktor Risiko :  8. Sepsis
1. Hipoksemia Perdarahan 9. Koagulasi intravaskuler
2. Hipoksia  diseminata
3. Hipotensi Volume cairan turun 10. Sindrom respons inflamasi
4. Kekurangan volume cairan  sistematik (Systemic
5. Sepsis Anemia akut inflamatory response [SIRS])
6. Sindrom respons inflamasi sistematik 
(Systemic inflamatory response [SIRS]) Hemoglobin dan oksigen turun

Hipoksia

Risiko syok
(Nurarif & Kusuma, 2015)
8. (D.0142) Post partum/nifas 1. AIDS
Resiko Infeksi  2. Luka bakar
Definisi : Involusi uterus 3. Penyakit paru obstruktif kronis
Berisiko mengalami peningkatan terserang  4. Diabetes mellitus
organisme patogenik. Atonia uteri 5. Tindakan invasif
Faktor Risiko :  6. Kondisi penggunaan terapi
1. Penyakit kronis (mis. diabetes melitus) Robekan jalan lahir steroid
2. Efek prosedur invasive  7. Penyalahgunaan obat
3. Malnutrisi Perdarahan 8. Ketuban pecah sebelum
4. Peningkatan paparan organisme  waktunya (KPSW)
patogen lingkungan Volume cairan turun 9. Kanker
5. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh  10. Gagal ginjal
primer : Anemia akut 11. Imunosupresi
1) Gangguan peristaltik  12. Lymphedema
2) Kerusakan integritas kulit Hemoglobin dan oksigen turun 13. Leukositopenia
3) Perubahan sekresi pH  14. Gangguan fungsi hati
4) Penurunan kerja siliaris Daya tahan tubuh menurun
5) Ketuban pecah lama 
6) Ketuban pecah sebelum waktunya Kuman mudah masuk
7) Merokok 
8) Statis cairan tubuh Risiko infeksi
6. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh (Nurarif & Kusuma, 2015)
sekunder :
1) Penurunan hemoglobin
2) Imunosupresi
3) Leukopenia
4) Supresi respon inflamasi
5) Vaksinani tidak adekuat
B. Diagnosa Keperawatan (SDKI, 2016)
1. (D.0009) Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan hipovolemia.
2. (D.0023) Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan vaskular yang
berlebihan.
3. (D.0077) Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya inkontuinitas jaringan.
4. (D.0080) Ansietas berhubungan dengan perubahan keadaan atau ancaman
kematian.
5. (D.0056) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan anemia akut.
6. (D.0109) Defisit perawatan diri berhubungan dengan anemia akut.
7. (D.0039) Risiko syok berhubungan dengan hipovolemia.
8. (D.0142) Risiko infeksi berhubungan dengan adanya perdarahan.
C. Intervensi Keperawatan (SLKI 2019 & SIKI 2018)
Standar Diagnosa
Standar Luaran
No. Keperawatan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Rasionalisai
Keperawatan Indonesia
Indonesia
1. (D.0009) Perfusi Perifer (L.02001) Perawatan Sirkulasi (1.02079)
Perfusi perifer tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Observasi Observasi
berhubungan dengan keperawatan selama 1 x 30 menit, 1. Periksa sirkulasi perifer (nadi perifer, edema, 1. Memastikan sirkulasi perifer masih baik
hipovolemia. diharapkan perfusi perifer pengisian kapiler, warna, suhu)
meningkat dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi 2. Mengetahui faktor penyebab sirkulasi
1. Denyut nadi perifer meningkat (diabetes mellitus, perokok, orang tua, perifer
2. Warna kulit pucat menurun hipertensi)
3. Edema perifer menurun 3. Monitor panas, kemerahan, nyeri atau 3. Gejala klinis dapat memberikan tindakan
4. Pengisian kapiler membaik bengkak pada ekstremitas awal
5. Akral membaik Terapeutik Terapeutik
6. Turgor kulit membaik 4. Hindari pemasangan infus atau pengambilan 4. Menghindari hipoksia
darah di area keterbatasan perfusi
5. Hindari pengukuran tekanan darah pada 5. Menghindari hipoksia
ekstremitas dengan keterbatasan perfusi
6. Hindari penekanan dan pemasangan 6. Menghindari hipoksia
tourniquet pada area yang cedera
7. Lakukan hidrasi 7. Pemenuhan kebutuhan cairan dalam tubuh
Edukasi Edukasi
8. Informasikan tanda dan gejala darurat yang 8. Gejala klinis dapat memberikan tindakan
harus dilaporkan (rasa sakit yang tidak hilang awal
saat istirahat, luka tidak sembuh, hilangnya
rasa)
2. (D.0023) Status Cairan (L.03028) Manajemen Hipovolemia (1.03116)
Hipovolemia berhubungan Setelah dilakukan tindakan Observasi Observasi
dengan kehilangan cairan keperawatan 1 x 30 menit, 1. Periksa tanda dan gejala hipovolemia 1. Mengidentifikasi defisit volume cairan.
vaskular yang berlebihan. diharapkan status cairan membaik 2. Monitoring input dan output cairan. 2. Untuk mengetahui output dan input cairan
dengan kriteria hasil : klien agar seimbang
1. Tekanan nadi meningkat Terapeutik Terapeutik
2. Frekuensi nadi membaik 3. Hitung kebutuhan cairan. 3. Membantu memenuhi kebutuhan nutrisi
3. Tekanan darah membaik tubuh.
4. Perasaan lemah menurun 4. Berikan asupan cairan oral 4. Cairan oral membantu memenuhi
5. Turgor kulit meningkat kebutuhan nuitrisi tubuh.
6. Intake cairan membaik Edukasi Edukasi
5. Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral 5. Cairan oral membantu memenuhi
kebutuhan nutrisi tubuh
Kolaborasi Kolaborasi
6. Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis 6. Cairan parenteral membantu memenuhi
(NaCl, RL) kebutuhan nutrisi tubuh.
7. Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis 7. Cairan parenteral membantu memenuhi
(NaCl 0,4%, Dextrose 2,5%) kebutuhan nuitrisi tubuh.
8. Kolaborasi pemberian cairan koloid (albumin, 8. Cairan koloid membantu memenuhi
plasmanate) kebutuhan nuitrisi tubuh.
9. Kolaborasi emberian tranfusi darah. 9. Menggantikan darah yang keluar.
3. (D.0077) Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri (1.08238)
Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan Observasi Observasi
dengan terputusnya keperawatan 1 x 30 menit, 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, 1. Memantau tingkat nyeri klien.
inkontuinitas jaringan. diharapkan tingkat nyeri menurun frekuensi dan intensitas nyeri.
dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi skala nyeri 2. Memantau tingkat nyeri klien.
1. Skala nyeri 1 – 0 3. Observasi TTV 3. Untuk mengetahui keadaan umum klien
2. Keluhan nyeri menurun Terapeutik Terapeutik
3. Ketegangan otot menurun 4. Berikan teknik nonfarmakologis untuk 4. Untuk mengurangi rasa nyeri
4. Ekspresi meringis menurun mengurangi rasa nyeri (misalnya terapi
5. Ekspresi gelisah menurun musik)
6. Pola napas membaik 5. Berikan klien posisi nyaman 5. Posisi nyaman mempengaruhi kondisi
7. Tekanan darah membaik nyeri klien
Edukasi Edukasi
6. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk 6. Untuk mengurangi rasa nyeri
mengurangi rasa nyeri (misalnya teknik
distraksi dan relaksasi).
7. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri 7. Dapat mengurangi nyeri klien
Kolaborasi Kolaborasi
8. Kolaborasi pemberian analgetik. 8. Untuk mengurangi nyeri secara
farmakologis.
4. (D.0080) Tingkat Ansietas (L.09093) Reduksi Ansietas (1.09314)
Ansietas berhubungan Setelah dilakukan tindakan Observasi Observasi
dengan perubahan keperawatan 1 x 8 jam, diharapkan 1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah 1. Mengetahui keadaan klien ketika ansietas
keadaan atau ancaman tingkat ansietas menurun dengan (mis. kondisi, waktu, stresor)
kematian. kriteria hasil : 2. Identifikasi kemampuan mengambil 2. Mengetahui tingkat ansietas klien
1. Verbalisasi kebingungan keputusan
menurun 3. Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan 3. Mengetahui tingkat ansietas klien
2. Verbalisasi khawatir akibat nonverbal)
kondisi yang dihadapi menurun Terapeutik Terapeutik
3. Perilaku gelisah menurun 4. Ciptakan suasana terapeutik untuk 4. Komunikasi dapat menurunkan ansietas
4. Perilaku tegang menurun menumbuhkan kepercayaan klien
5. Pola tidur membaik 5. Gunakan pendekatan yang tenang dan 5. Komunikasi yang efektif meningkatkan
6. Kontak mata membaik meyakinkan kepercayaan klien
7. Orientasi membaik 6. Diskusikan perencanaan realistis tentang 6. Membantu klien mengurangi ansietas
peristiwa yang akan datang
Edukasi Edukasi
7. Informasikan secara faktual mengenai 7. Informasi yang tepat dapat mengurangi
diagnosis, pengobatan, dan prognosis ansietas klien
8. Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi 8. Kegiatan pengalihan dapat menurunkan
ketegangan ansietas
9. Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri 9. Mekanisme pertahanan diri yang tepat dapat
yang tepat mengurangi ansietas
10. Latih teknik relaksasi 10. Merupakan terapi non farmakologis dalam
mengurangi ansietas
Kolaborasi Kolaborasi
11. Kolaborasi pemberian obat antlansietas, jika 11. Merupakan terapi farmakologis dalam
perlu mengurangi ansietas
5. (D.0056) Toleransi Aktivitas (L.05047) Terapi Aktivitas (1.05186)
Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan Observasi Observasi
berhubungan dengan keperawatan 1 x 24 jam, 1. Identifikasi defisit tingkat aktivitas 1. Mengetahui kemampuan aktivitas klien
anemia akut. diharapkan toleransi aktivitas 2. Identifikasi kemampuan berpartisipasi dalam 2. Mengetahui kemampuan aktivitas klien
meningkat dengan kriteria hasil : aktivitas tertentu
1. Keluhan lelah menurun Terapeutik Terapeutik
2. Perasaan lemah menurun 3. Rencanakan periode istirahat yang cukup. 3. Menghindari rasa lelah.
3. Frekuensi nadi meningkat 4. Berikan latihan aktivitas secara bertahap. 4. Mengembalikan ADL klien
4. Saturasi oksigen meningkat 5. Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan sesuai 5. Membantu klien dalam ADL
Kemudahan dalam kebutuhan.
melakukan aktivitas sehari- 6. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons 6. Mengetahui keadaan klien setelah dilakukan
hari meningkat pasien. tindakan
Edukasi Edukasi
7. Jelaskan metode aktivitas fisik sehari-hari 7. Menambah pengetahuan klien
8. Anjurkan melakukan aktivitas fisik, sosial, 8. Meningkatkan kesehatan klien
spiritual, dan kognitif dalam menjaga fungsi
dan kesehatan
Kolaborasi Kolaborasi
9. Kolaborasi dengan terapis okupasi dalam 9. Membantu klien dalam meningkatkan
merencanakan dan memonitor program aktivitas
aktivitas
6. (D.0109) Perawatan Diri (L.11103) Dukungan Perawatan Diri (1.11348)
Defisit perawatan diri Setelah dilakukan tindakan Observasi Observasi
berhubungan dengan anemia keperawatan 1 x 24 jam, 1. Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan 1. Untuk mengetahui kebiasaan klien dalam
akut. diharapkan perawatan diri diri sesuai usia perawatan diri
meningkat dengan kriteria hasil : 2. Monitor tingkat kemandirian 2. Untuk mengetahui tingkat ketergantungan
Kriteria Hasil : klien
1. Kemampuan mandi meningkat 3. Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan 3. Untuk mengetahui kebutuhan perawatan
2. Kemampuan mengenakan diri, berpakaian, berhias, dan makan diri klien
pakaian meningkat Terapeutik Terapeutik
3. Kemampuan makan meningkat 4. Sediakan lingkungan yang terapeutik 4. Untuk menjaga privasi klien dan
4. Kemampuan ke toilet meningkatkan kenyamanan
(BAB/BAK) meningkat 5. Siapkan keperluan pribadi (misal : parfum, 5. Menyiapkan kebutuhan untuk perawatan
5. Minat melakukan perawatan diri sikat gigi, dan sabun mandi) diri
meningkat 6. Dampingi dalam melakukan perawatan diri 6. Memberikan dukungan kepada klien untuk
6. Mempertahankan kebersihan sampai mandiri mandiri
diri meningkat 7. Fasilitasi untuk menerima keadaan 7. Memberi keyakinan pada klien tentang
7. Mempertahankan kebersihan ketergantungan kondisi dan keadaanya
mulut meningkat 8. Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak 8. Untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
mampu melakukan perawatan diri klien
9. Jadwalkan rutinitas perawatan diri 9. Untuk melatih klien mandiri dalam
perawatan diri
Edukasi Edukasi
10. Anjurkan melakukan perawatan diri secara 10.Untuk melatih klien dalam perawatan diri
konsisten sesuai kemampuan menuju kemandirian
7. (D.0039) Tingkat Syok (L.03032) Pencegahan Syok (1.02068)
Risiko syok berhubungan Setelah dilakukan tindakan Observasi Observasi
dengan hipovolemia. keperawatan 1 x 24 jam, 1. Monitor status kardiopulmonal (frekuensi 1. Mengidentifikasi tanda dan gejala syok
diharapkan tingkat syok menurun dan kekuatan nadi, frekuensi napas,
dengan kriteria hasil : tekananh darah, MAP)
Kriteria Hasil : 2. Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, 2. Membantu memenuhi kebutuhan oksigen
1. Kekuatan nadi meningkat AGD) klien
2. Output urine meningkat 3. Monitor status cairan (masukan dan 3. Membanu terpenuhinya kebutuhan cairan
3. Tingkat kesadaran meningkat haluaran, turgor kulit, CRT) klien
4. Saturasi oksigen meningkat 4. Monitor tingkat kesadaran dan respon 4. Mencegah terjadinya syok
5. Akral dingin menurun pupil
6. Pucat menurun 5. Periksa riwayat alergi 5. Mengetahui faktor penyebab risiko
7. Pengisian kapiler membaik terjadinya syok
8. Frekuensi nadi membaik Terapeutik Terapeutik
6. Berikan oksigen untuk mempertahankan 6. Membantu memenuhi kebutuhan oksigen
saturasi oksigen >94% klien
7. Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, 7. Menyiapkan tindakan segera jika terjadi
jika perlu syok
8. Pasang jalur IV, jika perlu 8. Membanu terpenuhinya kebutuhan cairan
klien
9. Pasang kateter urine untuk menilai 9. Mengetahui output dan input cairan klien
produksi urine, jika perlu agar seimbang
10. Lakukan skin test untuk mencegah reaksi 10. Memastikan penyebab syok bukan
alergi karena alergi
Edukasi Edukasi
11. Jelaskan penyebab/faktor risiko syok 11. Mengetahui penyebab/ faktor risiko
terjadinya syok
12. Jelaskan tanda dan gejala awal syok 12. Mencegah tidak tertolongnya kejadian
syok
13. Anjurkan melapor jika 13. Gejala klinis dapat memberikan tindakan
menemukan/merasakan tanda dan gejala awal
awal syok
14. Anjurkan memperbanyak asupan oral 14. Membantu terpenuhinya kebutuhan
cairan klien
15. Anjurkan menghindari alergen 15. Mencegah terjadinya syok
Kolaborasi Kolaborasi
16. Kolaborasi pemberian IV, jika perlu 16. Cairan parenteral membantu memenuhi
kebutuhan nuitrisi tubuh.
17. Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika 17. Menggantikan darah yang keluar
perlu
18. Kolaborasi pemberian antiinflamasi, jika 18. Dapat memperbaiki fungsi
perlu kardiovaskuler
8. (D.0142) Tingkat Infeksi (L.14137) Pencegahan Infeksi (1.14539)
Risiko infeksi berhubungan Setelah dilakukan tindakan Observasi Observasi
dengan adanya perdarahan. keperawatan 1 x 24 jam, 1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan 1. Mengidentifikasi adanya resiko infeksi
diharapkan tingkat infeksi sistemik lebih dini.
menurun dengan kriteria hasil : Terapeutik Terapeutik
1. Tanda-tanda infeksi menurun 2. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak 2. Mengurangi risiko infeksi pada klien
2. Kebersihan luka meningkat dengan pasien dan lingkungan pasien
3. Kebersihan tangan meningkat 3. Pertahankan teknik aseptik pada pasien 3. Teknik aseptik mencegah terjadinya infeksi
4. Kultur area luka meningkat berisiko tinggi pada klien
Edukasi Edukasi
4. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar 4. Megurangi risiko infeksi pada klien
dan memeriksa kondisi luka
5. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi 5. Nutrisi yang adekuat dapat mengurangi
risiko infeksi
Kolaborasi Kolaborasi
6. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu 6. Imunisasi membantu mencegah risiko
infeksi
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana tindakan
keperawatan. Dibagi menjadi 3 yaitu :
a. Mandiri
Aktivitas perawat yang didasarkan pada kemampuan sendiri dan bukan merupakan
petunjuk / perintah dari petugas kesehatan.
b. Delegatif
Tindakan keperawatan atas instruksi yang diberikan oleh petugas kesehatan yang
berwenang.
c. Kolaboratif
Tindakan keperawatan dan petugas kesehatan yang lain dimana didasarkan atas
keputusan bersama.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan rencana keperawatan,
diantaranya :
a. Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah di validasi.
b. Ketrampilan interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat dan
efisien pada saturasi yang tepat.
c. Keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi.
d. Dokumentasi intervensi dari respon klien.
Pada tahap implementasi merupakan aplikasi secara kongkrit dari rencana intervensi yang
telah dibuat untuk mengetahui masalah kesehatan dan perawatan yang muncul pada klien
(Tarwoto & Wartonah, 2010).

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan sebagai keputusan dari efektivitas asuhan keperawatan, yang
diberikan perawat kepada klien sesuai respon yang diberikan klien. Evaluasi ada 2
macam, yaitu :
1. Evaluasi Formatif
Dilakukan segera pada saat atau setelah dilakukan tindakan keperawatan berpatokan
pada respon klien.
2. Evaluasi Sumatif
Adalah rekapitulasi dari kesimpulan melalui observasi dan analisa status kesehatan
berdasarkan jumlah waktu yang ditentukan pada tujuan intervensi.
Tujuan dari evaluasi adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan
tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang, sehingga
perawat dapat mengambil keputusan :
a. Mengakhiri rencana tindakan keperawatan, jika klien telah mencapai tujuan yang di
tetapkan.
b. Memodifikasi rencana tindakan keperawatan, jika klien mengalami kesulitan dalam
mencapai tujuan.
c. Meneruskan rencana tindakan keperawatan, jika klien memerlukan waktu yang lebih
lama untuk mencapai tujuan.
Evaluasi keperawatan disusun menggunakan format SOAP yaitu :
S : Ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subyektif oleh keluarga
setelah diberikan implementasi keperawatan.
O : Keadaan obyektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan pengamatan
yang obyektif.
A : Analisis perawat setelah mengetahui respon subyektif dan obyektif.
P : Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisa.
(Tarwoto & Wartonah, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Bari Saifuddin. 2010. Ilmu Kebidanan Edisi 4. Jakarta : Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Abdul Bari Saifuddin. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : YBP-SP.
Amin Huda Nurarif & Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Medt Action Publishing.
Anggraini, Yetti. 2010. Asuhan Kebidanan Masa Nifas. Yogyakarta : Pustaka Rihama.
Ari Sulistyawati. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas. Yogyakarta : ANDI.
Asmadi. 2009. Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : Salemba Medika.
Astikawati, R., & Dewi, E. K. 2017. Kasus Penyakit Kritis, Komplikasi & Kedaruratan. Jakarta :
Erlangga.
Depkes RI. 2002. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta : Dinas Kesehatan.
Doenges, Marilyn, E. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
Hacker, Neville F dan George Moore. 2001. Essensial Obstetri dan Ginekologi. Jakarta :
Salemba Medika.
Hamilton, P. M. 1995. Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Kurniawati, Desi, dkk. 2009. Obynacea: Obstetri dan Ginekologi. Yogykarta : Tosca Enterprise.
Mansjoer, Arif. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius.
Mansyur, N. 2014. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Masa Nifas. Malang : Selaksa Medika.
Maritalia, Dewi. 2012. Asuhan Kebidanan Nifas dan Menyusui. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Masriroh, Siti. 2013. Keperawatan Obstetri. Jakarta : EGC.
Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. 2015. APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction
Oxorn, H. 2003. Ilmu Kebidanan : Patologi Dan Fisiologi Persalinan. Yogyakarta : Yayasan
Essentia Medica.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Indikator Diagnostik Edisi 1 Cetakan I. Jakarta : DPP PPNI.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan Edisi 1 Cetakan II. Jakarta : DPP PPNI.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Tindakan Keperawatan Edisi 1 Cetakan II. Jakarta : DPP PPNI.
Prawirohardjo Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Prawirohardjo Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: PT. Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Prawirohardjo Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Cetakan Keempat. Jakarta : PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Ramadhani, N.P. & Sukarya, W.S. 2011. Hubungan Antara Karakteristik Pasien Dengan
Kejadian Retensio Plasenta Pada Pasien Yang Dirawat Di Rumah Sakit Al-Ihsan
Bandung Periode 1 Januari 2010-31 Desember 2010. Prosiding SnaPP Sains,
Teknologi, dan Kesehatan, 2 (1).
Reeder, S.J., Martin, L.L. & Koniak-Griffin, D. 2014. Keperawatan Maternitas : Kesehatan
Wanita, Bayi, & Keluarga Volume 2 Edisi 18. Jakarta : EGC.
Rohani. Saswita. dan Marisah. 2011. Asuhan Kebidanan Pada Masa Persalinan. Jakarta :
Salemba Medika.
Rueda RT, Beltran M MC, Marti D OA, Rodriguez GM, Molina P MP. 2013. Short
Communication: Goat Colostrum Qualit: Litter Size And Lactation Number Effects.
Journal of Dairy Science. 96(12):7526-7531.
Rukiyah, Y.A., dan Yulianti, L. 2010. Asuhan Keperawatan IV (Patologi). Jakarta : Trans Info
Medika.
Rustam Mochtar. 1995. Sinopsis Obstetri I. Jakarta : EGC.
Sastrawinata, Sulaiman. 2005. Obstetri Patologi. Jakarta : EGC.
Tarwoto & Wartonah. 2010. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika.
Trisnawati F. 2012. Asuhan Kebidanan. Jilid I. Jakarta : PT. Prestasi Pustakarya.
Varney, Helen. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4. Jakarta : EGC.
Wiknjosastro, H. 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta : EGC.
ASUHAN KEPERAWATAN MATERNITAS
PADA IBU NIFAS DENGAN HEMORRHAGE POST PARTUM (HPP)
DI RUANG MERPATI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

Disusun Oleh :
FITRI SOLICHAH
P27820820019

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHUN 2021
ASUHAN KEPERAWATAN MATERNITAS
PADA IBU NIFAS DENGAN HEMORRHAGE POST PARTUM (HPP)

Nama Mahasiswa : Fitri Solichah


NIM : P27820820019
Ruangan : Ruang Merpati RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Waktu Pengkajian : 13 Desember 2019 (Pukul 14.30 WIB)

I. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
a. Identitas Klien
Nama : Ny. R
Umur : 24 thn
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/Bangsa : Jawa/ Indonesia
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : Tamat SMA
Alamat : Lamongan, Jawa Timur
Waktu MRS : 08 Desember 2019 (Pukul 14.05 WIB)
Diagnosa Medis : P1102 + Post SC Sumpuc H+2 + Jahitan Kompresi Uterus
Metode SBY H-2 Atas Indikasi Plasenta Akreta + DM Gestasional
+ Ileus Obstruktif + HPP + Anemia
Nomor Register : 12.79.XX.XX
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn. M
Umur : 28 thn
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Jawa/ Indonesia
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Pendidikan : Tamat SMA
Alamat : Lamongan, Jawa Timur
Hubungan dengan klien : Suami

2. Riwayat Penyakit Sekarang


a. Keluhan Utama Saat MRS
Klien mengeluh perdarahan di jalan lahir sehari sebelum MRS.
b. Keluhan Utama Saat Pengkajian
Klien mengeluh pusing dan nyeri pada daerah perut setelah operasi dengan skala nyeri 5
P : Nyeri karena adanya luka insisi post SC
Q : Nyeri seperti disayat-sayat
R : Abdomen bagian tengah
S : Skala nyeri 5
T : Nyeri terasa hilang timbul selama 2 menit
c.Riwayat Penyakit Sekarang
Klien datang sendiri dengan perdarahan di jalan lahir sejak tanggal 07 desember 2019
malam, klien datang ke IGD RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tanggal 08 Desember
2019 Pukul 12.30 WIB. Setelah dilakukan pemeriksaan, klien MRS ke ruang VK
Bersalin tanggal 08 Desember 2019 pukul 14.30 WIB dengan GIIP1001 32/33 minggu
THIU + LetLi Kepala Kiri + BSC 1 X + APB e.c PPT + HbsAg ( +) + kecurigaan sedang
placenta akreta + Obesitas Kelas 1 + TBJ 2100 gram dilakukan tindakan cek lab
(FH,GDP 2 JPP) diberi injeksi transamin, pemeriksaan NST, kemudian direncanakan
terminasi kehamilan usia 34 minggu, sebelum terminasi kehamilan klien di pindahkan ke
ruang merpati untuk konservatif (10 Desember 2019 Pukul 14.30 WIB). Pada tanggal 11
Desember 2019 pukul 17.00 WIB klien ke kamar mandi dibantu keluarga kemudian
terjadi fluksuf aktif dan dilakukan tindakan pemasangan infus, dower kateter dan
pengambilan sampel darah untuk tranfusi sebelum operasi CITO dikarenakan fluksus tak
kunjung berhenti. Pukul 20.30 WIB klien diberangkatkan guna melakukan tindakan
operasi Sectio Caesarea di OK IGD LT.5 RSUD Dr. Soetomo Surabaya dengan indikasi
plasenta akreta. Pukul 01.00 WIB klien pulih pasca operasi SC dan dipindahkan ke
ruang ROI RSUD Dr. Soetomo Surabaya dengan P1102 + Post SC atas indikasi plasenta
akreta dan berat bayi saat lahir 2700 gram berjenis kelamin laki-laki. Kemudian
dipindahkan ke Unit Perawatan Intensif (UPI) Merpati Pukul 16.30 WIB. Namun, bayi
tidak dilakukan rawat gabung dengan klien. Pada tanggal 13 Desember 2019 pukul 09.00
WIB klien mengalami perdarahan ± 800 ml.
d. Upaya Yang Telah Dilakukan :
Klien sejak mengalami kelemahan keempat anggota gerak oleh suaminya dibawa ke RS
PHC Surabaya kemudian di rujuk ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya untuk mendapatkan
penanganan lebih lanjut.
e.Terapi / Operasi Yang Pernah Dilakukan
Klien mengatakan pernah operasi SC saat melahirkan anak pertama pada tahun 2015.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a.Riwayat Penyakit Sebelumnyaa
Klien mengatakan sebelumnya pernah dilakukan tindakan operasi sectio caesarea pada
tahun 2015 di RS Arsy di lamongan, karena sudah 39 minggu tapi bayi nya belum lahir-
lahir dan kata dokternya bayi yang dikandungnya memiliki berat yang besar, dan waktu
hamil mengalami kenaikan berat badan ±8 kg dari 75 kg menjadi 83 kg.
b. Alergi
Kllien mengatakan tidak memiliki alergi terhadap makanan, minuman, obat, debu
maupun keadaan dingin.
c.Riwayat Kesehatan Keluarga
Klien mengatakan mempunyai diabetes mellitus yang baru diketahui pada waktu cek
kehamilan, dan ibu klien juga mempunyai diabetes mellitus. Klien mengatakan keluarga
tidak mempunyai riwayat hipertensi, penyakit jantung, atau penyakit ginekologi.
Genogram :

Keterangan:
= Laki-laki X = Laki-laki meninggal

= Perempuan X = Perempuan meninggal

= Klien perempuan = Garis keturunan

d. Riwayat Kesehatan Lingkungan


Klien mengatakan tinggal di rumah milik pribadi, dengan ventilasi yang cukup memadai
dan tinggal di daerah perkampungan.
e.Riwayat Psikososial
Klien terlihat cemas karena kelahiran anak ke 2 ini tidak seperti kelahiran pada kemilan
sebelumnya, pada kehamilan ini proses persalinan dilakukan secara SC namun belum
cukup usia karena terjadi perdarahan. Dan klien juga merasa cemas karena setelah
melahirkan terjadi perdarahan kembali dan tidak bisa rawat gabung dengan anaknya.
f. Riwayat Latar Belakang Budaya
Klien mengatakan tidak memiliki pantangan yang berkaitan dengan latar belakang
budaya apapun terhadap kehamilan dan persalinannya saat ini.
g. Dukungan Keluarga
Klien mengatakan bahwasannya mendapatkan dukungan penuh dari keluarga terhadap
kondisinya saat ini, terutama suami yang selalu mendampingi dan memberi semangat
selama klien di rumah sakit .
4. Riwayat Obstetri
a. Riwayat Haid
- Menarche : 14 tahun
- Siklus haid : 28 hari, teratur
- Lama haid : 5-7 hari
- Konsistensi haid : banyak, cair
- Nyeri saat haid : tidak ada
b. Riwayat Perkawinan
Klien mengatakan menikah satu kali selama 5 tahun dan sudah melahirkan 2 kali.
5. Riwayat Ginekologi
a. Masalah Ginekologi
Klien mengatakan tidak ada masalah ginekologi seperti Penyakit Menular Seksual
(PMS) dan infeksi reproduksi.
b. Riwayat KB
Klien mangatakan pernah melakukan KB suntik 1 bulan dengan pemakaian selama 3
bulan dan juga pernah menggunakan pil KB dengan pemakaian selama 8 bulan.
6. Riwayat Hamil, Persalinan dan Nifas Yang Lalu
Anak Tipe
Usia Keadaan Kompli
No Dari Tahu Pers Penolo Jenis Keadaan Menyus
Keham BBL Anak kasi
. Suam n alin ng Kelamin Saat Lahir ui
ilan Sekarang Nifas
i Ke- an
2015 Aterm SC Dokter Laki- 4200 Langsung Sejak Hidup Tidak
laki gr menangis lahir- normal ada
1. 1
usia 2
tahun

7. Riwayat Hamil, Persalinan dan Nifas Saat Ini


a. Riwayat hamil meliputi :
1) Hamil muda, klien mengatakan mual muntah pada trimester awal tepatnya usia
kehamilan 1-2 bulan.
2) Hamil tua, klien mengatakan perdarahan jalan lahir pada usia kehamilan 32/33
minggu.
3) Antenatal care, klien mengatakan rutin dalam melaksanakan pemeriksaan kehamilan
baik di dokter kandungan maupun di bidan setiap bulan sekali. Klien mengatakan
tidak memiliki riwayat alergi dan tidak pernah melakukan imunisasi TT.
b. Riwayat persalinan meliputi :
1) Jenis persalinan, secara sectio caesarea atas indikasi plasenta akreta dan fluksus aktif
(APB) dengan kelahiran tunggal pada tanggal 11 Desember 2019 pukul 20.30 WIB
di OK IGD LT.5 RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
2) Jenis kelamin, laki-laki
3) Berat badan, 2700 gram
4) Keadaan bayi saat lahir, langsung menangis
5) APGAR skor, 3-5-7
6) Plasenta, tidak terkaji
7) Perdarahan, kurang lebih 1000 ml
8) Masalah dalam persalinan, tidak ada
9) Tanda REEDA : R :kemerahan : tidak ada
E : bengkak : tidak ada
E : echimosis : tidak ada
D : discharge : ada,berwarna merah segar jumlahnya sedikit
A : approximate :tertutup
c. Riwayat nifas meliputi :
1) Keadaan lochea, tampak lokea rubra post SC hari ke-2 atas indikasi plasenta akreta
dengan bau khas dan konsistensi cair disertai dengan gumpalan
2) Perdarahan, kurang lebih 800 ml terjadi setelah post SC hari ke-2
3) Involusi uterus, kontraksi uterus teraba lembek, fluxus aktif, TFU 2 jari dibawah
pusat
4) Kemampuan menyusui, mampu untuk menyusui dikarenakan ASI sudah mulai
keluar meskipun sedikit. Karena klien tidak rawat gabung dengan bayinya, sehingga
klien harus melakukan pompa ASI untuk bisa tetap memberikan ASI pada bayinya.
8. Pola – Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Persepsi dan Manajemen Kesehatan
Sebelum Melahirkan : Klien mengatakan rutin periksa kehamilan di bidan dan dokter
kandungan sebulan sekali. Klien selalu menjaga kebersihan diri.
Sesudah Melahirkan : Klien mengatakan melahirkan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
dengan operasi SC karena perdarahan sebelum usia kehamilan 9
bulan. Klien berusaha bertanya kepada Dokter/Bidan tentang
kondisinya. Kebersihan diri klien dibantu keluarga dan petugas
kesehatan.
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Sebelum Melahirkan : Klien mengatakan biasanya makan 3x sehari dengan porsi
sedang, frekuensi minum ±600cc/hari atau minimal 1 botol
tanggung aqua sewaktu hamil.
Sesudah Melahirkan : Klien mengatakan pasca operasi klien dipuasakan karena perut
kembung dan merasa begah, klien hanya boleh minum seteguk
saja.
c. Pola Eliminasi
Sebelum Melahirkan : Klien mengatakan BAK minimal 4x sehari dengan volume 800
cc/hari, dengan warna jernih dan berbau khas. BAB minimal 1-
2x sehari dengan warna dan bau yang khas, konsistensi lembek
dan tidak menggunakan obat pencahar.
Sesudah Melahirkan : Klien mengatakan kencing terpasang dower kateter dengan
produksi 700 cc/hari, dan masih belum BAB dari setelah
operasi.
d. Pola Aktivitas dan Latihan
Sebelum Melahirkan : Klien mengatakan selama hamil klien sering membatasi
aktivitasnya seperti melakukan pekerjaan sehari-hari. Namun
klien aktif di kegiatan lingkungan rumah seperti posyandu ibu
hamil dan pengajian.
Setelah Melahirkan : Klien mengatakan lemah dan pergerakan terbatas, hanya bisa
melakukan miring kanan kiri pasca operasi. Segala
kebutuhannya harus dibantu oleh keluarga maupun tenaga
kesehatan yang berjaga atau dinas.
e. Pola Tidur dan Istirahat
Sebelum Melahirkan : Klien mengatakan memiliki kebiasaan tidur selama 8 jam sehari
saat malam, dan siang hari sekitar 2 jam. Klien dapat tidur
dengan keadaan tenang dan tidak gelisah.
Setelah Melahirkan : Klien mengatakan sulit tidur dikarenakan banyak nyamuk
diruangan dan merasa gerah akibat AC yang tidak begitu dingin.
Klien tidak nyaman, dikarenakan merasakan nyeri hilang timbul
akibat luka bekas operasi dan rasa kembung pada daerah
abdomen
f. Pola Hubungan dan Peran
Sebelum Melahirkan : Klien mengatakan bahwa hubungan klien dengan keluargan dan
masyarakat sekitar baik. Klien juga mampu beradaptasi dengan
masyarakat sekitar rumahnya. Klien sadar akan status dan
perannya sebagai seorang istri dan ibu.
Setelah Melahirkan : Klien mengatakan bahwa hubungan klien dengan keluarga,
petugas kesehatan, dan sesama klien baik. Klien juga mampu
beradaptasi dengan lingkungan RS.
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Sebelum Melahirkan : Klien selalu memeriksakan kehamilannya secara rutin. Klien
mengatakan semangat untuk melahirkan anak ke-2 nya ini.
Klien tidak mengalami gangguan citra tubuh.
Setelah Melahirkan : Klien mengatakan bahwa ia sedih karena harus terpisah dengan
anaknya. Klien juga terlihat gelisah karena belum bisa menyusui
anaknya secara langsung melainkan dengan dipompa.
h. Pola Sensori dan Kognitif
Sebelum Melahirkan : Klien mengatakan tidak ada keluhan untuk pengecapan dan
penciuman. Tidak pula mengeluh dengan pendengarannya
maupun penglihatannya. Panca indera berfungsi dengan
normal. Klien mampu mempersepsikan sesuatu dengan baik.
Setelah Melahirkan : Klien mengatakan tidak ada gangguan dengan panca indra, dan
klien mampu mempersepsikan sesuatu dengan baik.
i. Pola Reproduksi Seksual
Sebelum Melahirkan : Klien mengatakan bahwa hubungan seksual terganggu karena
sedang hamil, klien hamil anak ke-2 dari perkawinannya yang
ke 5 tahun.
Sesudah Melahirkan : Klien mengatakan hubungan seksual terganggu karena klien
harus istirahat total dan bedrest.
j. Pola Penanggulangan Stress
Sebelum Melahirkan : Klien mengatakan jika stress, klien menonton acara televisi dan
menghabiskan waktu di rumah bahkan refreshing liburan
bersama suami atau keluarga. Jika ada masalah selalu
mendiskusikan dengan suami dan keluarga.
Sesudah Melahirkan : Klien mengatakan cemas dikarenakan terpisah dengan bayinya
yang sedang dirawat di NICU RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Klien sangat menerima dengan baik terhadap bayi yang
dilahirkannya. Klien tetap bercerita pada suami, keluarga, dan
petugas kesehatan.
k. Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Sebelum Melahirkan : Klien mengatakan menjalankan ibadah sesuai dengan syariat
yang ada di agamanya. Dan klien selalu berdoa untuk
keselamatan bayi dan dirinya sampai melahirkan nanti
Sesudah Melahirkan : Klien mengatakan tidak bisa menjalankan ibadah sesuai dengan
syariat karena kondisinya yang harus bedrest. Klien hanya bisa
berdoa agar segera bisa sembuh dan merawat bayinya
penyakitnya segera diberi kesembuhan.
9. Pemeriksaan Fisik
a. Status Obstetri : P1102
Bayi tidak dilakukan rawat gabung di ruang Merpati RSUD Dr. Soteomo Surabaya
dikarenakan keadaan bayi lahir prematur pada usia kehamilan 32/33 minggu. berat
badan bayi lahir 2700 gram, bayi dirawat di NICU IGD RSUD Dr. Soetomo Surabaya
b. Keadaan umum : lemas
1) Kesadaran : compos mentis
2) GCS : E:4, V:5, M:6
3) Berat badan sebelum hamil : 65 kg
4) Berat badan saat hamil : 71 kg
5) Tinggi badan : 161 cm
6) IMT : 27,41 kg/m2
7) Vital Sign
a) Tekanan darah : 120/80 mmHg.
b) Nadi : 89 x/menit
c) Pernapasan : 20 x/menit
d) Suhu tubuh : 370 C
c. Pemeriksaan Fisik Head To Toe
1) Kepala Leher
a) Kepala : simeteris, tidak ada lesi, warna rambut hitam, bersih namun terlihat
kusut
b) Mata : simeteris, konjungtiva pucat, anemis, sklera tidak ikterik, refleks cahaya
positif, mata cowong dan sedikit lingkar hitam
c) Hidung : simeteris, tidak ada sekret, keadaan septum normal, pernafasan tidak
cuping hidung dan tidak menggunakan alat bantu nafas.
d) Wajah : simeteris, tidak ada edema, tidak terdapat chloasma gravidarum, pucat.
e) Gigi dan mulut : mukosa bibir kering, tidak terdapat caries gigi, tidak ada
perdarahan pada gusi, tidak sianosis dan tidak ada lesi
f) Telinga : simetris, lubang telinga bersih, tidak mengeluaran cairan serumen
dan nanah. Tidak menggunakan alat bantu pendengaran
g) Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, limfe, dan vrna jugularis
2) Dada
a) Jantung : S1 – S2 terdengar tunggal, tidak ada murmur dan gallop, ictus cordis
teraba, tidak ada pembesaran jantung.
b) Paru-paru : tidak ada retraksi tulang dada, suara nafas bersih dan vesikuler,
vocal fremitus teraba, tidak ada suara nafas tambahan seperti ronchi maupun
wheezing
c) Payudara : simetris, teraba sedikit keras dan tidak ada massa
d) Putting susu : tampak menonjol kedua-duanya
e) Pengeluaran ASI : keluar ASI dengan bantuan awal diambil menggunakan spuit
20cc dan mendapatkan sebanyak 3 cc untuk kedua payudara.
3) Abdomen
a) Abdomen : distensi dan bising usus tak terdengar
b) Involusi uterus : kontraksi uterus teraba lembek, fluxus aktif, TFU 2 jari
dibawah pusat
c) Tampak adanya bekas jahitan post operasi dengan arah vertical, dan klien
mengatakan nyeri skala 5
P : Nyeri karena adanya luka insisi post SC
Q : Nyeri seperti disayat-sayat
R : Abdomen bagian tengah
S : Skala nyeri 5
T : Nyeri terasa hilang timbul selama 2 menit
d) Fungsi pencernaan : Klien mengeluh kembung dan klien dipuasakan dari selesai
operasi hingga saat ini (13 Desember 2019)
4) Perinium dan Genital
a) Vagina : tidak ada kerusakan integritas kulit, tidak ada edema, tidak memer dan
tidak hematom. Dikarenakan klien tidak melakukan persalinan pervaginam.
b) Perineum : masih utuh, tidak rupture dan tidak dilakukan episiotomi
c) Lokhea : tampak lokea rubra post SC hari ke-2 atas indikasi plasenta akreta
dengan bau khas dan konsistensi cair disertai dengan gumpalan ± 800 ml.
d) Hemoroid : tidak ada
5) Kulit dan Ekstremitas
a) Kulit : warna sawo matang, tidak ada kelainan, tidak sianosis, turgor kulit tidak
elatis.
b) Ektremitas atas : simeteris, normal, gerakan masih dibantu, jumlah jari masing-
masing 5, kuku bersih, CRT 2 detik, tidak didapatkan edema, akral hangat
kering merah, terpasang infus RL tangan kanan (80 ml/jam).
c) Ektremitas bawah: simeteris, gerakan masih dibantu, jumlah jari masing-masing
5, kuku bersih, CRT 2 detik, tidak didapatkan edema, tidak didapatkan varises,
akral hangat kering merah.
10. Pemeriksaan Penunjang
a. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Kimia Klinik Tanggal 08 Desember 2019 Pukul
16.35 WIB Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
No. Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan
1. SGOT 28,0 u/L L : 0 – 50 P : 0 - 35
2. SGPT 15,0 u/L L : 0 – 50 P : 0 – 35
3. BUN 5,0 mg/dL 7 - 18
4. Serum Kreatinin 0,47 g/dL 0,6 – 1,3
5. Kalium 3,1 mmol/L 3,5 – 5,1
6. Natrium 142 mmol/L 136 – 145
7. Klorida 105 mmol/L 98 – 107
8. Kalsium 8,5 mg/dL 8,5 – 10,1
9. Albumin 4,0 g/dL 3,4 – 5,0
10. GDA 158 mg/dL 100 - 126
b. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 08 Desember 2019 Pukul
16.35 WIB Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
No. Parameter Hasil Satuan Nilai Normal
1. HGB 9,9 g/dL 13,3 – 16,6
2. WBC 10,20 10^3/ul 3,37 – 10
3. RBC 3,59 10^6/ul 3,69 – 5,46
4. HCT 30,2 % 41,3 – 52,1
5. PLT 249 10^3/ul 150 – 450
6. MCV 89,2 fL 86,7 – 102,3
7. MCH 29,8 pg 27,1 – 32,4
8. MCHC 33,4 g/dl 29,7 – 33,1
9. MPV 9,6 fL 9,2 – 12,0
10. NEUT% 75,2 % 39,8 – 70,5
11. LYMPH% 17,7 % 23,1 – 49,9
12. MONO% 6,6 %
13. EOS% 0,4 % 0,6 – 5,4
14. BASO% 0,1 % 0,3 – 1,4
c. Hasil Pemeriksaan Faal Koagulasi Tanggal 08 Desember 2019 Pukul 16.35 WIB Di
RSUD Dr. Soetomo Surabaya
No. Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan
1. PTT 10,6 detik 9 - 12
2. APTT 19,9 detik 23 - 33
d. Hasil Pemeriksaan Urine Tanggal 08 Desember 2019 Pukul 16.35 WIB Di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya
No. Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan
1. Warna Kuning - Kuning
2. pH 6,5 - 4,8 – 7,4
3. Protein Negatif - Negatif
4. Keton +3 - Negatif
5. Nitrit Negatif - Negatif
6. Urobilin Negatif - Negatif
7. Bilirubin Negatif - Negatif
8. Glukose Negatif - Negatif
e. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Kimia Klinik Tanggal 13 Desember 2019 Pukul
10.05 WIB Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
No. Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan
1. SGOT 14,0 u/L L : 0 – 50 P : 0 - 35
2. SGPT 10,0 u/L L : 0 – 50 P : 0 – 35
3. BUN 6,0 mg/dL 7 - 18
4. Serum Kreatinin 0,64 g/dL 0,6 – 1,3
5. Kalium 2,9 mmol/L 3,5 – 5,1
6. Natrium 133 mmol/L 136 – 145
7. Klorida 103 mmol/L 98 – 107
8. Kalsium 7,8 mg/dL 8,5 – 10,1
9. Albumin 2,8 g/dL 3,4 – 5,0
10. GDA 137 mg/dL 100 - 126
f. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 13 Desember 2019 Pukul
10.05 WIB Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
No. Parameter Hasil Satuan Nilai Normal
1. HGB 6,5 g/dL 13,3 – 16,6
2. WBC 12,10 10^3/ul 3,37 – 10
3. RBC 1,64 10^6/ul 3,69 – 5,46
4. HCT 15,6 % 41,3 – 52,1
5. PLT 306 10^3/ul 150 – 450
6. MCV 95,5 fL 86,7 – 102,3
7. MCH 30,1 pg 27,1 – 32,4
8. MCHC 31,8 g/dl 29,7 – 33,1
9. MPV 9,3 fL 9,2 – 12,0
10. NEUT% 71,8 % 39,8 – 70,5
11. LYMPH% 14,3 % 23,1 – 49,9
12. MONO% 5,7 %
13. EOS% 0,3 % 0,6 – 5,4
14. BASO% 0,2 % 0,3 – 1,4

11. Terapi Yang Diberikan Pada Tanggal 13 Desember 2019


a. Terapi Cairan Parenteral
Inf. Ringer Laktat 80 ml/jam
b. Terapi Obat Enteral
1. Sulfate Ferous Tablet 325 mg/12 jam (08.00, 20.00)
2. Asam Mefenamat Tablet 500 mg/8 jam (08.00, 16.00, 24.00)
c. Terapi Obat Parenteral
1. Inj. Methergin 0,2 mg/8 jam (08.00, 16.00, 24.00)
2. Inj. Metamizole 1 g/8 jam (08.00, 16.00, 24.00)
3. Inj. Tramadol 100 mg/8 jam (08.00, 16.00, 24.00)
4. Inj. Metoclopramide 10 mg/12 jam (08.00, 20.00)
5. Inj. Furamin 10 ml/8 jam (08.00, 16.00, 24.00)
6. Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam (08.00, 16.00, 24.00)
7. Inj. Ceftriaxone 500 mg/8 jam (08.00, 16.00, 24.00)
8. Inj. Gentamicin 40 mg/24 jam (08.00)
9. Inj. Levemir 10 unit/24 jam (20.00)
10. Inf. Albumin 100 ml drip
11. Transfusi TC 2 bag

Mahasiswa Yang Mengkaji,

(Fitri Solichah)
NIM. P27820820019
ANALISA DATA
Nama Klien : Ny. R
No. RM : 12.79.XX.XX
Diagnosa Medis : P1102 + HPP + Anemia
Masalah TT
Hari/
No. Pengelompokkan Data Penyebab Keperawatan Nama
Tanggal/Jam
Jelas
1. Jum’at, Data Subyektif : Plasenta akreta Hipovolemia
13 Desember 1. Klien mengatakan  (D.0023)
2019 lemah Lahir spontan
14.30 WIB (pemotongan episiotomy)
Data Obyektif : 
1. Membran mukosa bibir Perdarahan setelah melahirkan
kering 
2. Turgor kulit tidak Kehilangan cairan vaskular
elastis yang berlebih
3. CRT 2 detik 
4. Konjungtiva anemis Gangguan sirkulasi
5. Klien terjadi 
perdarahan ± 1000 ml. Hipovolemia
6. Hasil Laboratorium
Albumin menurun (2,8
g/dL)
Hemoglobin menurun
(6,5 g/dL)
Hematokrit menurun
(15,6 %)
2. Jum’at, Data Subyektif : Plasenta akreta Nyeri akut
13 Desember Klien mengeluh nyeri  (D.0077)
2019 pada daerah perineum 
14.35 WIB Terputusnya inkontinuitas
Data Obyektif : jaringan
1. Adanya bekas luka 
episiotomy sepanjang Luka episiotomi
-/+ 5 cm 
2. Observasi tanda vital Merangsang area sensorik dan
Tekanan darah : motorik
100/70 mmHg 
Suhu : 37 C0 Persepsi nyeri
Nadi : 89 x/menit 
Pernapasan : 20 Nyeri akut
x/menit
3. Jum’at, Data Subyektif : Plasenta akreta Gangguan pola
13 Desember 1. Klien mengatakan sulit  tidur
2019 tidur dikarenakan Luka episiotomi (D.0055)
14.45 WIB banyak nyamuk 
diruangan dan merasa Terputusnya inkontinuitas
gerah akibat AC yang jaringan
tidak begitu dingin 
2. Klien mengatakan Merangsang area sensorik dan
tidak bisa tidur nyaman motorik
dikarenakan merasakan 
nyeri hilang timbul Persepsi nyeri
akibat luka bekas 
operasi dan rasa Nyeri akut
kembung pada daerah 
abdomen Gangguan pola tidur
Data Obyektif :
1. Klien gelisah
2. Klien kurang tidur
3. Terdapat sedikit
lingkar hitam di sekitar
mata klien
4. Terdapat cowong mata
5. Observasi tanda vital
Tekanan darah :
100/70 mmHg
Suhu : 37 0C
Nadi : 89 x/menit
Pernapasan : 20
x/menit
4. Jum’at, Data Subyektif : Plasenta akreta Risiko infeksi
13 Desember 1. Klien mengatakan  (D.0142)
2019 nyeri bagian perineum Pemotongan episiotomi
15.05 WIB 
Data Obyektif : Terputusnya inkontinuitas
1. Terdapat bekas luka l jaringan
jahitan episiotomy 
pada perineum 
2. Terpasang infus Invasi bakteri patogen
ditangan kanan dengan 
cairan RL Penurunan hemoglobin
3. Tanda REEDA : 
R : kemerahan : tidak Risiko infeksi
ada
E : Bengkak : tidak ada
E : echimosis : tidak
ada
D : discharge : darah
A : approximate :
tertutup
4. Hasil Laboratorium
Tanggal 13 Desember
2019 :
Albumin menurun (2,8
g/dL)
Hemoglobin menurun
(6,5 g/dL)
WBC meningkat
(12,10 10^3/ul)
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Nama Klien : Ny. R
No. RM : 12.79.XX.XX
Diagnosa Medis : P1102 + Post SC Sumpuc H+2 + Jahitan Kompresi Uterus Metode SBY
H-2 Atas Indikasi Plasenta Akreta + DM Gestasional + Ileus Obstruktif
+ HPP + Anemia
Ditemukan Masalah Ditemukan Masalah
Diagnosa Hari/ TT Hari/ TT
No.
Keperawatan Tanggal/Jam Nama Tanggal/Jam Nama
Jelas Jelas
1. (D.0023) Jum’at,
Hipovolemia berhubungan dengan 13 Desember
perdarahan yang aktif dibuktikan 2019
Fitri
dengan : 14.30 WIB
a. Membran mukosa bibir kering
b. Turgor kulit tidak elastis
c. CRT 2 detik
d. Konjungtiva anemis
e. Klien hari ke-2 post op sectio
caesarea indikasi plasenta akreta
terjadi perdarahan ± 800 ml.
f. Hasil Laboratorium Tanggal 13
Desember 2019 :
Albumin menurun (2,8 g/dL)
Hemoglobin menurun (6,5 g/dL
Hematokrit menurun (15,6 %)
Klien mengatakan lemah
Klien mengatakan sering merasa
haus namun harus puasa
2. (D.0077) Jum’at,
Nyeri akut berhubungan dengan 13 Desember
terputusnya inkontuinitas jaringan 2019
Fitri
dibuktikan dengan : 14.35 WIB
a. Klien hari ke-2 post op sectio
caesarea indikasi plasenta akreta
b. Adanya bekas luka vertikal jahitan
sectio caesarea pada abdomen
c. Klien mengeluh nyeri pada daerah
perut setelah operasi dengan skala
5
4. (D.0055) Jum’at,
Gangguan pola tidur berhubungan 13 Desember
dengan nyeri akut dibuktikan dengan : 2019
Fitri
a. Klien gelisah 14.45 WIB
b. Klien kurang tidur
c. Terdapat sedikit lingkar hitam di
sekitar mata klien
d. Terdapat cowong mata
e. Klien mengatakan sulit tidur
dikarenakan banyak nyamuk
diruangan dan merasa gerah akibat
AC yang tidak begitu dingin
f. Klien mengatakan tidak bisa tidur
nyaman dikarenakan merasakan
nyeri hilang timbul akibat luka
bekas operasi dan rasa kembung
pada daerah abdomen
8. (D.0142) Jum’at,
Risiko infeksi berhubungan dengan 13 Desember
tindakan post SC dibuktikan dengan : 2019
Fitri
a. Terdapat bekas luka vertikal jahitan 15.05 WIB
sectio caesarea pada abdomen
b. Terpasang kateter
c. Terpasang infus ditangan kanan
dengan cairan RL
d. Tanda REEDA :
R : kemerahan : tidak ada
E : Bengkak : tidak ada
E : echimosis : tidak ada
D : discharge : darah
A : approximate : tertutup
e. Hasil Laboratorium Tanggal 13
Desember 2019 :
Albumin menurun (2,8 g/dL)
Hemoglobin menurun (6,5 g/dL)
WBC meningkat (12,10 10^3/ul)
INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama Klien : Ny. R
No. RM : 12.79.XX.XX
Diagnosa Medis : P1102 + Post SC Sumpuc H+2 + Jahitan Kompresi Uterus Metode SBY H-2 Atas Indikasi Plasenta Akreta + DM Gestasional + Ileus
Obstruktif + HPP + Anemia
Standar Luaran TT
Hari/ Standar Diagnosa Standar Intervensi Keperawatan
No. Keperawatan Rasionalisasi Nama
Tanggal/Jam Keperawatan Indonesia Indonesia
Indonesia Jelas
1. Jum’at, (D.0023) Status Cairan Manajemen Hipovolemia (1.03116)
13 Desember Hipovolemia (L.03028) Observasi Observasi
2019 berhubungan dengan Setelah dilakukan 1. Periksa tanda dan gejala hipovolemia 1. Mengidentifikasi defisit volume
Fitri
14.30 WIB perdarahan yang aktif tindakan keperawatan cairan.
dibuktikan dengan : 1 x 30 menit, 2. Monitoring input dan output cairan. 2. Untuk mengetahui output dan input
a. Membran mukosa diharapkan status cairan klien agar seimbang
bibir kering cairan membaik Terapeutik Terapeutik
b. Turgor kulit tidak dengan kriteria hasil : 3. Hitung kebutuhan cairan. 3. Membantu memenuhi kebutuhan
elastis 1. Tekanan nadi nutrisi tubuh.
c. CRT 2 detik meningkat 4. Berikan asupan cairan oral 4. Cairan oral membantu memenuhi
d. Konjungtiva anemis 2. Frekuensi nadi kebutuhan nuitrisi tubuh.
e. Klien hari ke-2 post membaik Edukasi Edukasi
op sectio caesarea 3. Tekanan darah 5. Anjurkan memperbanyak asupan cairan 5. Cairan oral membantu memenuhi
indikasi plasenta membaik oral kebutuhan nutrisi tubuh
akreta terjadi 4. Perasaan lemah Kolaborasi Kolaborasi
perdarahan ± 800 ml. menurun 6. Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis 6. Cairan parenteral membantu
f. Hasil Laboratorium 5. Keluhan haus (NaCl, RL) memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh.
Tanggal 13 Desember menurun 7. Kolaborasi pemberian cairan IV 7. Cairan parenteral membantu
2019 : 6. Turgor kulit hipotonis (NaCl 0,4%, Dextrose 2,5%) memenuhi kebutuhan nuitrisi tubuh.
Albumin menurun meningkat 8. Kolaborasi pemberian cairan koloid 8. Cairan koloid membantu memenuhi
(2,8 g/dL) 7. Membran mukosa (albumin, plasmanate) kebutuhan nuitrisi tubuh.
Hemoglobin menurun membaik 9. Kolaborasi emberian tranfusi darah. 9. Menggantikan darah yang keluar.
(6,5 g/dL 8. Intake cairan
Hematokrit menurun membaik
(15,6 %) 9. Kadar hemoglobin
g. Klien mengatakan membaik
lemah 10. Kadar hematokrit
h. Klien mengatakan membaik
sering merasa haus
namun harus puasa
2. Jum’at, (D.0077) Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri (1.08238)
13 Desember Nyeri akut berhubungan (L.08066) Observasi Observasi
2019 dengan terputusnya Setelah dilakukan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, 1. Memantau tingkat nyeri klien.
Fitri
14.35 WIB inkontuinitas jaringan tindakan frekuensi dan intensitas nyeri.
dibuktikan dengan : keperawatan 1 x 30 2. Identifikasi skala nyeri 2. Memantau tingkat nyeri klien.
a. Klien hari ke-2 post menit, diharapkan 3. Observasi TTV 3. Untuk mengetahui keadaan umum klien
op sectio caesarea tingkat nyeri Terapeutik Terapeutik
indikasi plasenta menurun dengan 4. Berikan teknik nonfarmakologis untuk 4. Untuk mengurangi rasa nyeri
akreta kriteria hasil : mengurangi rasa nyeri (misalnya terapi
b. Adanya bekas luka 1. Skala nyeri 1 – 0 musik)
vertikal jahitan sectio 2. Keluhan nyeri 5. Berikan klien posisi nyaman 5. Posisi nyaman mempengaruhi kondisi
caesarea pada menurun nyeri klien
abdomen 3. Ekspresi gelisah Edukasi Edukasi
c. Klien mengeluh nyeri menurun 6. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk 6. Untuk mengurangi rasa nyeri
pada daerah perut 4. Kesulitan tidur mengurangi rasa nyeri (misalnya teknik
setelah operasi menurun distraksi dan relaksasi).
dengan skala 5 5. Pola tidur 7. Anjurkan memonitor nyeri secara 7. Dapat mengurangi nyeri klien
membaik mandiri
6. Pola napas Kolaborasi Kolaborasi
membaik 8. Kolaborasi pemberian analgetik. 8. Untuk mengurangi nyeri secara
7. Tekanan darah farmakologis.
membaik
8. Frekuensi nadi
membaik
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Nama Klien : Ny. R


No. RM : 12.79.XX.XX
Diagnosa Medis : P1102 + Post SC Sumpuc H+2 + Jahitan Kompresi Uterus Metode SBY
H-2 Atas Indikasi Plasenta Akreta + DM Gestasional + Ileus Obstruktif
+ HPP + Anemia
TT
Hari/ Diagnosa Tindakan
No. Nama
Tanggal/Jam Keperawatan Keperawatan
Jelas
1. Jum’at, (D.0023)
13 Desember Hipovolemia
2019 berhubungan
Fitri
14.00 WIB dengan perdarahan Melakukan timbang terima antara perawat
yang aktif shift pagi dengan perawat shift sore.
dibuktikan dengan : R/H : Timbang terima berjalan dengan
a. Membran lancar
mukosa bibir
15.15 WIB kering Memeriksa tanda dan gejala hipovolemia
b. Turgor kulit R/H : Mukosa bibir kering, ekspresi wajah
tidak elastis klien lemas dan pucat, konjungtiva
c. CRT 2 detik anemis, turgor kulit tidak elastis,
d. Konjungtiva dan CRT 2 detik
anemis
15.20 WIB e. Klien hari ke-2 Memonitor intake output cairan dan
post op sectio balance cairan
caesarea R/H : Intake : cairan infus RL + albumin
indikasi drip + transfusi 1 bag = 320 + 100 +
plasenta akreta 280 = 700 ml/4 jam.
terjadi Output : IWL + urin + perdarahan =
perdarahan ± 118 + 120 + 400 = 638 ml/4 jam.
800 ml. Balance cairan : intake – output =
f. Hasil 700-638 = 62 ml/4 jam
Laboratorium
15.30 WIB Tanggal 13 Menghitung kebutuhan cairan
Desember 2019 R/H : Kebutuhan cairan klien dengan BB
: 71 kg : 10 kg pertama = 1000 ml +
Albumin 10 kg kedua = 500 ml + (20 ml x 51
menurun (2,8 kg = 1020 ml) = 2520/24 jam = 420
g/dL) ml/4 jam
Hemoglobin
15.35 WIB menurun (6,5 Memberikan asupan cairan oral
g/dL R/H : Klien dipuasakan dari setelah
Hematokrit operasi SC
menurun (15,6
15.40 WIB %) Menganjurkan memperbanyak asupan
g. Klien cairan oral
mengatakan R/H : Klien dipuasakan dari setelah
lemah operasi SC
h. Klien
15.45 WIB mengatakan Melakukan kolaborasi pemberian cairan
sering merasa IV hipotonis.
haus namun R/H : Klien mendapat terapi cairan RL 80
harus puasa ml/jam

15.50 WIB Melakukan kolaborasi pemberian cairan


koloid (albumin, plasmanate)
R/H : Klien mendapat terapi cairan Albumin
100 ml drip dan Inj. Methergin 0,2 mg
per intravena.

16.00 WIB Melakukan kolaborasi pemberian tranfusi


darah.
R/H : Klien mendapat terapi tranfusi TC 1
bag 280 ml
2. Jum’at, (D.0077)
13 Desember Nyeri akut
2019 berhubungan
Fitri
15.18 WIB dengan terputusnya Mengkaji karakterisik nyeri
inkontuinitas R/H : P : Nyeri karena post SC hari ke-
jaringan dibuktikan 2
dengan : Q: Nyeri dirasakan seperti nyeri
a. Klien hari ke-2 bekas adanya luka
post op sectio R: Abdomen bagian tengah
caesarea S: Skala nyeri 5
indikasi T: Nyeri terasa sewaktu-waktu
plasenta akreta atau hilang timbul dan
b. Adanya bekas semakin dirasakan apabila
luka vertikal melakukan banyak gerak
jahitan sectio Skal nyeri 5 (sedang) = Observasi
caesarea pada tiap 4 jam
abdomen
15.22 WIB c. Klien mengeluh Memonitor tanda-tanda vital
nyeri pada R/H : Klien kooperatif, kesadaran
daerah perut composmentis, GCS: E:4, V:5, M:6.
setelah operasi Tanda-tanda vital:
dengan skala 5 Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 89 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,7˚C

15.25 WIB Memberikan teknik nonfarmakologis untuk


mengurangi rasa nyeri.
R/H : Klien merasa teralihkan nyerinya
dengan terapi murottal

15.28 WIB Memberikan klien posisi yang nyaman


R/H : Klien nyaman dengan posisi
setengah duduk (semi fowler).

15.33 WIB Mengajarkan teknik nonfarmakologis


distraksi dan relaksasi nafas dalam untuk
mengurangi rasa nyeri.
R/H : Klien kooperatif dan merasa nyeri
berkurang

15.48 WIB Menganjurkan monitor nyeri secara


mandiri
R/H : Klien memahami anjuran perawat

16.00 WIB Memberikan obat analgesik sesuai hasil


kolaborasi dengan dokter
R/H : Asam Mefenamat Tablet 1 x 500
mg/8 jam per oral
Inj. Metamizole 1 x 1 g/8 jam per
intravena
Inj. Tramadol 1 x 100 mg/8 jam per
intravena
4. Sabtu, (D.0023)
14 Desember Hipovolemia
2019 berhubungan
Fitri
07.00 WIB dengan perdarahan Melakukan timbang terima antara perawat
yang aktif shift malam dengan perawat shift pagi..
dibuktikan dengan : R/H : Timbang terima berjalan dengan
a. Membran lancar
mukosa bibir
07.30 WIB kering Memeriksa tanda dan gejala hipovolemia
b. Turgor kulit R/H : Mukosa bibir kering, ekspresi wajah
tidak elastis klien lemas dan pucat, konjungtiva
c. CRT 2 detik anemis, turgor kulit kurang elastis,
d. Konjungtiva dan CRT 2 detik
anemis
07.33 WIB e. Klien hari ke-2 Memonitor intake output cairan dan
post op sectio balance cairan
caesarea R/H : Intake : cairan oral + cairan infus RL
indikasi + transfusi 1 bag = 50 + 320 + 310
plasenta akreta = 680 ml/4 jam.
terjadi Output : IWL + urin + perdarahan =
perdarahan ± 118 + 130 + 300 = 548 ml/4 jam.
800 ml. Balance cairan : intake – output =
f. Hasil 680-538 = 132 ml/4 jam
Laboratorium
07.38 WIB Tanggal 13 Menghitung kebutuhan cairan
Desember 2019 R/H : Kebutuhan cairan klien dengan BB
: 71 kg : 10 kg pertama = 1000 ml +
Albumin 10 kg kedua = 500 ml + (20 ml x 51
menurun (2,8 kg = 1020 ml) = 2520/24 jam = 420
g/dL) ml/4 jam
Hemoglobin
07.40 WIB menurun (6,5 Memberikan asupan cairan oral
g/dL R/H : Klien hanya boleh minum 50 ml/4
Hematokrit jam
menurun (15,6
07.42 WIB %) Menganjurkan memperbanyak asupan
g. Klien cairan oral
mengatakan R/H : Klien dibatasi untuk minum secara
lemah oral
h. Klien
07.45 WIB mengatakan Melakukan kolaborasi pemberian cairan
sering merasa IV hipotonis.
haus namun R/H : Klien mendapat terapi cairan RL 80
harus puasa ml/jam

07.58 WIB Melakukan kolaborasi pemberian cairan


koloid (albumin, plasmanate)
R/H : Klien belum mendapat terapi cairan
Albumin
Klien mendapat terapi Inj. Methergin
0,2 mg per intravena.

08.00 WIB Melakukan kolaborasi pemberian tranfusi


darah.
R/H : Klien mendapat terapi tranfusi TC 1
bag 310 ml
5. Sabtu, (D.0077)
14 Desember Nyeri akut
2019 berhubungan
Fitri
07.31 WIB dengan terputusnya Mengkaji karakterisik nyeri
inkontuinitas R/H : P : Nyeri karena post SC hari ke-
jaringan dibuktikan 3
dengan : Q: Nyeri dirasakan seperti nyeri
a. Klien hari ke-2 bekas adanya luka
post op sectio R: Abdomen bagian bawah
caesarea S: Skala nyeri 4
indikasi T: Nyeri terasa sewaktu-waktu
plasenta akreta atau hilang timbul dan
b. Adanya bekas semakin dirasakan apabila
luka vertikal melakukan banyak gerak
jahitan sectio Skal nyeri 4 (sedang) = Observasi
caesarea pada tiap 4 jam
abdomen
07.35 WIB c. Klien mengeluh Memonitor tanda-tanda vital
nyeri pada R/H : Klien kooperatif, kesadaran
daerah perut composmentis, GCS: E:4, V:5, M:6.
setelah operasi Tanda-tanda vital:
dengan skala 5 Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,6˚C

07.48 WIB Memberikan teknik nonfarmakologis untuk


mengurangi rasa nyeri.
R/H : Klien merasa teralihkan nyerinya
dengan terapi murottal

07.52 WIB Memberikan klien posisi yang nyaman


R/H : Klien nyaman dengan posisi
setengah duduk (semi fowler).

07.54 WIB Mengajarkan teknik nonfarmakologis


distraksi dan relaksasi nafas dalam untuk
mengurangi rasa nyeri.
R/H : Klien kooperatif dan merasa nyeri
berkurang

07.56 WIB Menganjurkan monitor nyeri secara


mandiri
R/H : Klien memahami anjuran perawat

08.00 WIB Memberikan obat analgesik sesuai hasil


kolaborasi dengan dokter
R/H : Asam Mefenamat Tablet 1 x 500
mg/8 jam per oral
Inj. Metamizole 1 x 1 g/8 jam per
intravena
Inj. Tramadol 1 x 100 mg/8 jam per
intravena
7. Minggu, (D.0023)
15 Desember Hipovolemia
2019 berhubungan
Fitri
07.00 WIB dengan perdarahan Melakukan timbang terima antara perawat
yang aktif shift malam dengan perawat shift pagi..
dibuktikan dengan : R/H : Timbang terima berjalan dengan
a. Membran lancar
mukosa bibir
07.30 WIB kering Memeriksa tanda dan gejala hipovolemia
b. Turgor kulit R/H : Mukosa bibir lembab, ekspresi
tidak elastis wajah klien lemas, konjungtiva
c. CRT 2 detik anemis, turgor kulit elastis, dan CRT
d. Konjungtiva < 2 detik
anemis
07.33 WIB e. Klien hari ke-2 Memonitor intake output cairan dan
post op sectio balance cairan
caesarea R/H : Intake : cairan oral + cairan infus RL
indikasi = 100 + 320 = 420 ml/4 jam.
plasenta akreta Output : IWL + urin + perdarahan =
terjadi 118 + 140 + 100 = 358 ml/4 jam.
perdarahan ± Balance cairan : intake – output =
800 ml. 420-358 = 62 ml/4 jam
f. Hasil
07.38 WIB Laboratorium Menghitung kebutuhan cairan
Tanggal 13 R/H : Kebutuhan cairan klien dengan BB
Desember 2019 71 kg : 10 kg pertama = 1000 ml +
: 10 kg kedua = 500 ml + (20 ml x 51
Albumin kg = 1020 ml) = 2520/24 jam = 420
menurun (2,8 ml/4 jam
g/dL)
07.40 WIB Hemoglobin Memberikan asupan cairan oral
menurun (6,5 R/H : Klien hanya boleh minum 100
g/dL ml/4 jam
Hematokrit
07.42 WIB menurun (15,6 Menganjurkan memperbanyak asupan
%) cairan oral
g. Klien R/H : Klien dibatasi untuk minum secara
mengatakan oral
lemah
07.45 WIB h. Klien Melakukan kolaborasi pemberian cairan
mengatakan IV hipotonis.
sering merasa R/H : Klien mendapat terapi cairan RL 80
haus namun ml/jam
harus puasa
07.58 WIB Melakukan kolaborasi pemberian cairan
koloid (albumin, plasmanate)
R/H : Klien belum mendapat terapi cairan
Albumin
Klien mendapat terapi Inj. Methergin
0,2 mg per intravena.

08.00 WIB Melakukan kolaborasi pemberian tranfusi


darah.
R/H : Klien belum mendapat terapi tranfusi
darah
8. Minggu, (D.0077)
15 Desember Nyeri akut
2019 berhubungan
07.31 WIB dengan terputusnya Mengkaji karakterisik nyeri
inkontuinitas R/H : P : Nyeri karena post SC hari ke-
jaringan dibuktikan 4
dengan : Q: Nyeri dirasakan seperti nyeri
a. Klien hari ke-2 bekas adanya luka
post op sectio R: Abdomen bagian tengah
caesarea S: Skala nyeri 3
indikasi T: Nyeri terasa sewaktu-waktu
plasenta akreta atau hilang timbul
b. Adanya bekas Skal nyeri 3 (ringan) = Observasi
luka vertikal tiap 8 jam
jahitan sectio
07.35 WIB caesarea pada Memonitor tanda-tanda vital
abdomen R/H : Klien kooperatif, kesadaran
c. Klien mengeluh composmentis, GCS: E:4, V:5, M:6.
nyeri pada Tanda-tanda vital:
daerah perut Tekanan darah : 110/80 mmHg
setelah operasi Nadi : 83 x/menit
dengan skala 5 Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 37,2˚C

07.48 WIB Memberikan teknik nonfarmakologis untuk


mengurangi rasa nyeri.
R/H : Klien merasa teralihkan nyerinya
dengan terapi murottal

07.52 WIB Memberikan klien posisi yang nyaman


R/H : Klien nyaman dengan posisi
setengah duduk (semi fowler).

07.54 WIB Mengajarkan teknik nonfarmakologis


distraksi dan relaksasi nafas dalam untuk
mengurangi rasa nyeri.
R/H : Klien kooperatif dan merasa nyeri
berkurang

07.56 WIB Menganjurkan monitor nyeri secara


mandiri
R/H : Klien memahami anjuran perawat

08.00 WIB Memberikan obat analgesik sesuai hasil


kolaborasi dengan dokter
R/H : Asam Mefenamat Tablet 1 x 500
mg/8 jam per oral
Inj. Metamizole 1 x 1 g/8 jam per
intravena
Inj. Tramadol 1 x 100 mg/8 jam per
intravena
EVALUASI KEPERAWATAN

Nama Klien : Ny. R


No. RM : 12.79.XX.XX
Diagnosa Medis : P1102 + HPP + Anemia
TT
Hari/ Evaluasi Keperawatan dan
No. Diagnosa Keperawatan Nama
Tanggal/Jam Catatan Perkembangan
Jelas
1. Jum’at, (D.0023) S : Klien mengatakan lemah dan
13 Desember Hipovolemia berhubungan sering merasa haus, namun harus
2019 dengan perdarahan yang aktif puasa.
Fitri
21.35 WIB dibuktikan dengan : O: - Membran mukosa bibir kering
a. Membran mukosa bibir - Turgor kulit tidak elastis
kering - CRT 2 detik
b. Turgor kulit tidak elastis - Terjadi perdarahan 400 ml
c. CRT 2 detik selama 4 jam
d. Konjungtiva anemis A : Masalah hipovolemia belum
e. Klien hari ke-2 post op teratasi
sectio caesarea indikasi - Klien masih mengatakan lemah
plasenta akreta terjadi - Klien masih merasakan haus
perdarahan ± 800 ml. namun harus puasa
f. Hasil Laboratorium - Klien masih mengalami
Tanggal 13 Desember 2019 perdarahan
: P : Intervensi 1,2,3,4,5,6,7,8,9, 10
Albumin menurun (2,8 dipertahankan.
g/dL)
Hemoglobin menurun (6,5
g/dL
Hematokrit menurun (15,6
%)
g. Klien mengatakan lemah
h. Klien mengatakan sering
merasa haus namun harus
puasa
2. Jum’at, (D.0077) S : Klien mengatakan nyeri pada
13 Desember Nyeri akut berhubungan daerah abdomen luka bekas
2019 dengan terputusnya operasi sedikit berkurang
Fitri
21.40 WIB inkontuinitas jaringan O : - Klien kooperatif, kesadaran
dibuktikan dengan : composmentis, GCS: E:4, V:5,
a. Klien hari ke-2 post op M:6.
sectio caesarea indikasi - Pengkajian nyeri
plasenta akreta P : Nyeri karena post SC hari
b. Adanya bekas luka vertikal ke-2
jahitan sectio caesarea pada Q : Nyeri dirasakan seperti
abdomen nyeri bekas adanya luka
c. Klien mengeluh nyeri pada R : Abdomen bagian tengah
daerah perut setelah operasi S : Skala nyeri 5
dengan skala 5 T : Nyeri terasa sewaktu-waktu
atau hilang timbul dan semakin
dirasakan apabila melakukan
banyak gerak
Skal nyeri 5 (sedang) =
Observasi tiap 4 jam
- Vital sign
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Suhu : 36,7 0C
Nadi : 89 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
A : Masalah nyeri akut belum
teratasi.
- Keluhan nyeri post op SC
sedikit berkurang namun
masih dapat dirasakan
- Klien gelisah
- Kesulitan tidur
P : Intervensi 1,2,3,4,5,6,7,8
dipertahankan.
4. Sabtu, (D.0023) S : Klien mengatakan masih lemah
14 Desember Hipovolemia berhubungan dan masih merasa haus, karena
2019 dengan perdarahan yang aktif minum dibatasi.
Fitri
14.35 WIB dibuktikan dengan : O: - Membran mukosa bibir sedikit
a. Membran mukosa bibir lembab
kering - Turgor kulit kurang elastis
b. Turgor kulit tidak elastis - CRT 2 detik
c. CRT 2 detik - Terjadi perdarahan 300 ml
d. Konjungtiva anemis selama 4 jam
e. Klien hari ke-2 post op A : Masalah hipovolemia belum
sectio caesarea indikasi teratasi
plasenta akreta terjadi - Klien masih mengatakan lemah
perdarahan ± 800 ml. - Klien masih merasakan haus,
f. Hasil Laboratorium karena minum dibatasi
Tanggal 13 Desember 2019 - Klien masih mengalami
: perdarahan
Albumin menurun (2,8 P : Intervensi 1,2,3,4,5,6,7,8,9, 10
g/dL) dipertahankan.
Hemoglobin menurun (6,5
g/dL
Hematokrit menurun (15,6
%)
g. Klien mengatakan lemah
h. Klien mengatakan sering
merasa haus namun harus
puasa
5. Sabtu, (D.0077) S : Klien mengatakan nyeri pada
14 Desember Nyeri akut berhubungan daerah abdomen luka bekas
2019 dengan terputusnya operasi sedikit berkurang
Fitri
14.40 WIB inkontuinitas jaringan O : - Klien kooperatif, kesadaran
dibuktikan dengan : composmentis, GCS: E:4, V:5,
d. Klien hari ke-2 post op M:6.
sectio caesarea indikasi - Pengkajian nyeri
plasenta akreta P : Nyeri karena post SC hari
e. Adanya bekas luka vertikal ke-3
jahitan sectio caesarea pada Q : Nyeri dirasakan seperti
abdomen nyeri bekas adanya luka
f. Klien mengeluh nyeri pada R : Abdomen bagian bawah
daerah perut setelah operasi S : Skala nyeri 4
dengan skala 5 T : Nyeri terasa sewaktu-waktu
atau hilang timbul dan semakin
dirasakan apabila melakukan
banyak gerak
Skal nyeri 4 (sedang) =
Observasi tiap 4 jam
- Vital sign
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Suhu : 36,6 0C
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
A : Masalah nyeri akut belum
teratasi.
- Keluhan nyeri post op SC
berkurang namun masih dapat
dirasakan
- Klien masih gelisah
- Kesulitan tidur
P : Intervensi 1,2,3,4,5,6,7,8
dipertahankan.
7. Minggu, (D.0023) S : Klien mengatakan kondisinya
15 Desember Hipovolemia berhubungan sedikit membaik dan sedikit
2019 dengan perdarahan yang aktif merasa haus.
Fitri
14.35 WIB dibuktikan dengan : O: - Membran mukosa bibir lembab
a. Membran mukosa bibir - Turgor kulit elastis
kering - CRT <2 detik
b. Turgor kulit tidak elastis - Terjadi perdarahan 100 ml
c. CRT 2 detik selama 4 jam
d. Konjungtiva anemis A : Masalah hipovolemia belum
e. Klien hari ke-2 post op teratasi
sectio caesarea indikasi - Klien mengatakan kondisinya
plasenta akreta terjadi sedikit membaik
perdarahan ± 800 ml. - Klien sedikit merasakan haus
f. Hasil Laboratorium - Klien masih mengalami
Tanggal 13 Desember 2019 perdarahan
: P : Intervensi 1,2,3,4,5,6,7,8,9, 10
Albumin menurun (2,8 dipertahankan.
g/dL)
Hemoglobin menurun (6,5
g/dL
Hematokrit menurun (15,6
%)
g. Klien mengatakan lemah
h. Klien mengatakan sering
merasa haus namun harus
puasa
8. Minggu, (D.0077) S : Klien mengatakan nyeri pada
15 Desember Nyeri akut berhubungan daerah abdomen luka bekas
2019 dengan terputusnya operasi masih terasa
Fitri
14.40 WIB inkontuinitas jaringan O : - Klien kooperatif, kesadaran
dibuktikan dengan : composmentis, GCS: E:4, V:5,
a. Klien hari ke-2 post op M:6.
sectio caesarea indikasi - Pengkajian nyeri
plasenta akreta P : Nyeri karena post SC hari
b. Adanya bekas luka vertikal ke-4
jahitan sectio caesarea pada Q : Nyeri dirasakan seperti
abdomen nyeri bekas adanya luka
c. Klien mengeluh nyeri pada R : Abdomen bagian tengah
daerah perut setelah operasi S : Skala nyeri 3
dengan skala 5 T : Nyeri terasa sewaktu-waktu
atau hilang timbul
Skal nyeri 3 (ringan) =
Observasi tiap 8 jam
- Vital sign
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Suhu : 37,2 0C
Nadi : 83 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
A : Masalah nyeri akut belum
teratasi.
- Keluhan nyeri post op SC
masih dapat dirasakan
- Klien kadang gelisah
- Klien masih kesulitan tidur
P : Intervensi 1,2,3,4,5,6,7,8
dipertahankan.
PEMBAHASAN

Pada pembahasan ini, penulis melaporkan pembahasan asuhan keperawatan pada Ny. N
dengan GBS Post Trakeostomi + G1P0000 31 - 32 Minggu + Obesitas Grade I (BMI 32,9 kg/m 2)
yang dilaksanakan selama 3 hari, mulai tanggal 14 Februari 2020 sampai dengan 16 Februari
2020 di Ruang ICU GBPT Lantai 2 RSUD Dr.Soetomo Surabaya sesuai tiap fase dalam proses
keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnose keperawatan, perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi, serta dilengkapi pembahasan dokuentasi keperawatan.

A. Pembahasan Pengkajian
Pada tahap pembahasan pengkajian ini penulis membandingkan antara teori
pengkajian menurut Doengoes (2002) dengan data hasil pengkajian pada Ny. N dengan GBS
Post Trakeostomi + G1P0000 31 - 32 Minggu + Obesitas Grade I (BMI 32,9 kg/m 2). Untuk
memperoleh data tersebut, penulis melakukan pengkajian kepada klien, keluarga, melakukan
pemeriksaan fisik observasi serta dari mempelajari status klien.
Didapatkan klien dengan diagnosa GBS Post Trakeostomi + G1P0000 31 - 32
Minggu + Obesitas Grade I (BMI 32,9 kg/m 2) dengan identitas Ny. N, 27 tahun MRS pada
tanggal 13 Januari 2020 pukul 16.36 WIB dengan keluhan keempat anggota geraknya
mengalami kelemahan sejak 2 hari sebelum MRS. Klien rujukan dari RS PHC Surabaya
dengan keluhan kelemahan keempat anggota gerak sejak 2 hari sebelum MRS, masuk IGD
RSUD Dr. Soetomo dengan label kuning. Karena klien semakin sesak, akhirnya di pindahkan
ke Ruang Resusitasi untuk dilakukan pemasangan ventilator. Setelah di Ruang Resusitasi
rawat inap selama semalam, akhirnya klien di pindahkan di Ruang ICU GBPT Lantai 2 untuk
mendapatkan perawatan intensif. Karena kondisi klien semakin sesak, akhirnya klien di
lakukan pemasangan trakeostomi pada 12 Januari 2020 di Ruang OK GBPT Lantai 6. Setelah
pemasangan trakestomi klien dirawat kembali di Ruang ICU GBPT Lantai 2. Klien memberi
isyarat keluhan sesak napas dan nyeri pada leher dengan skala 3. Klien terpasang trakeostomi
ukuran 7 dengan volume balon 20 ml dan ventilator dengan mode CPAP ASB 12, MV/EMV
10,3, TV/ETV 389, Total Rate 27 x/menit, PEEP 6, FiO2 40 %, SpO2 98 %. Klien terpasang
dower kateter ukuran 16 volume balon 20 ml, terpasang infus ukuran 20 dengan sisa cairan
aminofluid 300 ml di eskstremitas atas dextra, terpasang CVC ukuran 7 di subklavicula
dextra. Pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, GCS 4X6, tekanan darah
135/57 mmHg, MAP 90, suhu 38,7ºC, nadi 128x/menit, pernapasan 27 x/menit, SpO2 98%,
CRT <2 detik, akral hangat kering merah.

B. Diagnosa Keperawatan
Dalam penyusunan diagnosa keperawatan penulis mengacu pada rumusan diagnosa
SDKI 2016. Penulis menemukan 12 diagnosa keperawatan yang muncul pada klien Ny. N
yaitu :
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi kanula dalam dibuktikan
dengan : a. Tedapat suara tambahan ronkhi kasar di lapang paru atas dextra dan sinistra
(sputum kuning kental), b. Tidak dapat batuk efektif, c. Terpasang trakeostomi dengan
bantuan alat ventilator, d. Parese : ektremitas atas dan bawah (paralisis), dan e. Klien
memberi isyarat keluhan sesak napas.
Menurut SDKI 2016, bersihan jalan napas tidak efektif adalah ketidakmampuan
membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan napas tetap
paten. Diagnosa ini muncul karena pada saat pengkajian Ny. N memberi isyarat keluhan
sesak napas. Disisi lain klien tidak dapat batuk efektif.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan paralisis otot pernapasan dibuktikan dengan :
a. Terpasang trakeostomi dengan bantuan alat ventilator, b. Parese : ektremitas atas dan
bawah (paralisis), dan c. Klien memberi isyarat keluhan sesak napas.
Menurut SDKI 2016, pola napas tidak efektif adalah inspirasi dan/atau ekspirasi yang
tidak memberikan ventilasi adekuat. Diagnosa ini muncul karena pada saat pengkajian Ny.
N memberi isyarat keluhan sesak napas. Disisi lain klien terpasang trakeostomi dengan
bantuan alat ventilator.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan paralisis otot pernapasan dibuktikan dengan
: a. Terpasang trakeostomi dengan bantuan alat ventilator, b. Parese : ektremitas atas dan
bawah (paralisis, c. Hasil BGA Tanggal 11 Februari 2020 : PH : 7,46, PCO2 : 46 mmHg,
PO2 : 74 mmHg, dan d. Klien memberi isyarat keluhan sesak napas
Menurut SDKI 2016, gangguan pertukaran gas adalah kelebihan atau kekurangan
oksigenasi dan/atau eleminasi karbondioksida pada membran alveolus-kapiler. Diagnosa
ini muncul karena pada saat pengkajian Ny. N memberi isyarat keluhan sesak napas. Disisi
lain didapatkan data hasil BGA klien tanggal 11 Februari 2020 : PH : 7,46, PCO2 : 46
mmHg, PO2 : 74 mmHg.
4. Nyeri akut berhubungan dengan adanya insisi pada kulit leher dibuktikan dengan : a.
Terdapat luka pada kulit leher klien, b. Skala nyeri 3, dan c. Klien memberi isyarat nyeri
pada leher.
Menurut SDKI 2016, nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan. Diagnosa ini muncul
karena pada saat pengkajian Ny. N memberi isyarat nyeri pada leher. Disisi lain terdapat luka
post trakeostomi pada kulit leher klien.
5. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidakmampuan untuk menghasilkan
bicara sekunder terhadap trakeostomi dibuktikan dengan : a. Klien komunikasi dengan
gerakan bibir dan isyarat, dan b. Klien terpasang trakeostomi.
Menurut SDKI 2016, gangguan komunikasi verbal adalah penurunan, perlambatan, atau
ketiadaan kemamampuan untuk menerima, memproses, mengirim, dan/atau menggunakan sistem
simbol. Diagnosa ini muncul karena pada saat pengkajian di dapatkan data klien komunikasi
dengan gerakan bibir dan isyarat, dan klien terpasang trakeostomi.
6. Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus dibuktikan dengan : a. Parese :
ektremitas atas dan bawah (paralisis), b. Bising usus menurun (4x/menit), c. IMT normal
18,5-25,0. IMT klien = BB (kg)/TB (m)2 = 79 kg/(1,58 m) 2 = 79 kg/2,2464 m = 35,16,
berarti status nutrisi klien lebih, d. Status gizi obesitas grade I, dan e. Suami klien
mengatakan klien mengalami kesulitan untuk BAB.
Menurut SDKI 2016, konstipasi adalah penurunan defekasi normal yang disertai
pengeluaran feses sulit dan tidak tuntas serta feses kering dan banyak. Diagnosa ini muncul karena
pada saat pengkajian suami klien mengatakan klien mengalami kesulitan untuk BAB. Disisi lain
didapatkan data frekuensi bising usus menurun (4x/menit).
7. Obesitas berhubungan dengan status nutrisi lebih dibuktikan dengan : a. Terpasang NGT
nasal dextra, b. IMT normal 18,5-25,0. IMT klien = BB (kg)/TB (m) 2 = 79 kg/(1,58 m) 2 =
79 kg/2,2464 m = 35,16, berarti status nutrisi klien lebih, c. Status gizi obesitas grade I, d.
Hasil Laboratorium Tanggal 11 Februari 2020 : Albumin menurun : 2,8 g/dL dan
Hemoglobin menurun : 11,1 g/dL.
Menurut SDKI 2016, obesitas adalah akumulasi lemak berlebih atau abnormal yang tidak
sesuai dengan usia dan jenis kelamin, serta melampaui kondisi berat badan lebih. Diagnosa ini
muncul karena pada saat pengkajian di dapatkan data IMT klien 35,15, yang berarti status nutrisi
klien lebih, dan status gizi obesitas grade I.
8. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan parase ekstremitas atas dan bawah
dibuktikan dengan : a. Keadaan klien lemah, b. Klien bedrest total, c. Terpasang
trakeostomi dengan bantuan alat ventilator, d. Total care, e. Parese : ektremitas atas dan
bawah (paralisis), dan f. Tidak dapat mobilisasi sendiri.
Menurut SDKI 2016, gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisi dari
satu atau lebih ekstremitas secara mandiri. Diagnosa ini muncul karena pada saat pengkajian
didapatkan data keadaan klien lemah, klien bedrest total, dan parase : ekstremitas atas dan bawah
(paralisis).
9. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan mobilitas fisik dibuktikan dengan : a.
Keadaan klien lemah, b. Klien bedrest total, c. Terpasang trakeostomi dengan bantuan alat
ventilator, d. Total care, e. Parese : ektremitas atas dan bawah (paralisis), dan f. Tidak
dapat mobilisasi sendiri.
Menurut SDKI 2016, defisit perawatan diri adalah tidak mampu melakukan atau
menyelesaikan aktivitas perawatan diri. Diagnosa ini muncul karena pada saat pengkajian
didapatkan data keadaan klien lemah, klien bedrest total, total care, dan parase : ekstremitas atas
dan bawah (paralisis).
10. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya insisi pada kulit leher dibuktikan
dengan : a. Terdapat luka pada kulit leher klien, b. Terpasang trakeostomi dengan bantuan
alat ventilator, dan c. Parese : ektremitas atas dan bawah (paralisis).
Menurut SDKI 2016, gangguan integritas kulit adalah kerusakan kulit (dermis dan/atau
epidermis) atay jaringan (membran mukosa, korena, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul
sendi dan/atau ligamen). Diagnosa ini muncul karena pada saat pengkajian di dapatkan data
terdapat luka pada kulit leher klien, dan terpasang trakeostomi dengan bantuan alat
ventilator.
11. Risiko infeski berhubungan dengan adanya insisi pada kulit leher dibuktikan dengan : a.
Terdapat luka pada kulit leher klien, b. Kerusakan integritas kulit leher, c. Terpasang
trakeostomi dengan bantuan alat ventilator, d. Parese : ektremitas atas dan bawah
(paralisis), e. Konjungtiva anemis, dan f. Hasil Laboratorium Tanggal 11 Februari 2020 :
Hemoglobin menurun : 11,1 g/dL.
Menurut SDKI 2016, risiko infeksi yaitu resiko mengalami peningkatan terserang
organisme patogenik. Pada pengkajian dibuktikan dengan adanya luka pada kulit leher
klien post trakeostomi, adanya kerusakan integritas kulit leher, konjungtiva anemis, dan
hasil laboratorium tanggal 11 Februari 2020 : hemoglobin menurun (11,1 g/dL).
12. Risiko luka tekan berhubungan dengan adanya bedrest total dibuktikan dengan : a.
Keadaan klien lemah, b. Klien bedrest total, c. Terpasang trakeostomi dengan bantuan alat
ventilator, d. Total care, e. Parese : ektremitas atas dan bawah (paralisis), dan f. Tidak dapat
mobilisasi sendiri
Menurut SDKI 2016, risiko luka tekan adalah berisiko mengalami cedera lokal pada kulit
dan/atau jaringan, biasanya pada tonjolan tulang akibat tekanan dan/atau gesekan. Diagnosa ini
muncul karena pada saat pengkajian di dapatkan data keadaan klien lemah, klien bedrest total,
total care, dan tidak dapat mobilisasi sendiri.

C. Intervensi Keperawatan
Dalam kegiatan tahap perencanaan ini adalah penentuan prioritas masalah. Penetuan
prioritas dilakukan karenan tidak semua masalah dapat diatasi dalam waktu yang bersamaan.
Perencanaan pada masing-masing diagnosa untuk tujuan disesuaikan dengan teori yang ada,
dan lebih banyak melihat dari kondisi klien, keadaan tempat/ruangan dan sumberdaya dari tim
kesehatan. Pada penetuan kriterian waktu, penulis juga menetapkan berdasarkan kondisi klien,
ruangan sehingga penulis berharap tujuan yang sudah disusun dan telah ditetapkan dapat
tercapai. Adapaun pembahasan perencanaan kepada klien Ny. N dengan GBS Post
Trakeostomi + G1P0000 31 - 32 Minggu + Obesitas Grade I (BMI 32,9 kg/m 2), sesuai
prioritas diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi kanula dalam dibuktikan
dengan : a. Tedapat suara tambahan ronkhi kasar di lapang paru atas dextra dan sinistra
(sputum kuning kental), b. Tidak dapat batuk efektif, c. Terpasang trakeostomi dengan
bantuan alat ventilator, d. Parese : ektremitas atas dan bawah (paralisis), dan e. Klien
memberi isyarat keluhan sesak napas.
Tujuan utama setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan jalan napas
klien meningkat, dengan kriteria hasil : batuk efektif meningkat, produksi sputum menurun,
dispnea menurun, sianosis menurun, frekuensi napas membaik, dan pola napas membaik
(SLKI, 2019).
2. Nyeri akut berhubungan dengan adanya insisi pada kulit leher dibuktikan dengan : a.
Terdapat luka pada kulit leher klien, b. Skala nyeri 3, dan c. Klien memberi isyarat nyeri
pada leher.
Tujuan utama setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tingkat nyeri menurun,
dengan kriteria hasil : skala nyeri 1-0, keluhan nyeri menurun, ketegangan otot menurun, ekspresi
meringis menurun, ekspresi gelisah menurun, pola napas membaik, dan tekanan darah membaik
(SLKI, 2019).
D. Implementasi Keperawatan
Pada tahap pelaksanaan ini, pada dasarnya disesuaikan dengan susunan perencanaan,
dengan maksud agar semua kebutuhan klien dapat terpenuhi secara optimal. Dalam
melaksanakan asuhan keperawatan ini, penulis melibatkan klien, keluarga dan tim kesehatan
lain sehingga dapat bekerja sama dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien. Dalam
pelaksanaan penulis juga melakukan tindakan secara mandiri, melakukan kolaborasi dengan
dokter dan tim kesehatan lainya. Dalam hal hubungan baik antara klien, keluarga dan tim
kesehatan lain mempermudah untuk penyembuhan klien. Adapun pembahasan pelaksanaan
dari masing-masing diagnosa yang telah tersusun adalah sebagi berikut :
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi kanula dalam dibuktikan
dengan : a. Tedapat suara tambahan ronkhi kasar di lapang paru atas dextra dan sinistra
(sputum kuning kental), b. Tidak dapat batuk efektif, c. Terpasang trakeostomi dengan
bantuan alat ventilator, d. Parese : ektremitas atas dan bawah (paralisis), dan e. Klien
memberi isyarat keluhan sesak napas.
Implementasi yang diberikan pada klien sesuai dengan SIKI 2018 pada intervensi
keperawatan observasi yaitu : 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas),
2. Monitor bunyi napas tambahan (misal : gurgling, mengi, wheezing, ronkhi), dan 3.
Monitor sputum (jumlah, warna, aroma). Intervensi keperawatan terapeutik yaitu : 1.
Posisikan posisi semi fowler (30 – 450), 2. Lakukan fisioterapi dada, 3. Lakukan
penghisapan sekret kurang dari 15 detik, dan 4. Berikan oksigen. Intervensi keperawatan
edukasi yaitu : 1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, dan 2. Ajarkan teknik batuk
efektif. Intervensi keperawatan kolaborasi yaitu : Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, dan mukolitik.
Melakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik merupakan hal yang tepat
dilakukan pada klien yang mengalami bersihan jalan napas tidak efektif. Implementasi ini
sesuai dengan penelitian yang berjudul “The Effect Of Endotracheal Tube (ETT) Suction
Measures On Our Saturation Levels In Failed Patients In ICU Grandmed Hospital” yang di
teliti oleh : Tati Murni Karokaro dan Lia Hasrawi pada tahun 2019. Dengan hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah dengan hasil
nilai sebelum dilakukan tindakan suction meliputi nilai mean adalah 86,90%, nilai standar
deviation adalah 4.553%. Maka dapat disimpulkan ada pengaruh sebelum dan sesudah
tindakan suction terhadap nilai saturasi oksigen (p < 0.005), sehingga Ha diterima.
Didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh : Widia Astuti AW dan Fajar Adhie
Sulistyo pada tahun 2019 dengan judul “Hubungan Intensitas Tindakan Suction Dengan
Perubahan Kadar Saturasi Oksigen Pada Pasien Yang Terpasang Ventilator Di Ruang ICU
RSUD Kota Bogor”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan intensitas
tindakan suction dengan perubahan kadar saturasi oksigen pada pasien yang terpasang
ventilator di ruang ICU RSUD Kota Bogor tahun 2018, dengan nilai P Value =
0,01(Pvalue <α). Diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh : Zahrah Maulidia
Septimar dan Arki Rosina Novita pada tahun 2018 dengan judul “Pengaruh Tindakan
Penghisapan Lendir (Suction) Terhadap Perubahan Kadar Saturasi Oksigen Pada Pasien
Kritis di ICU”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisa perubahan kadar saturasi
oksigen sebelum dan sesudah dilakukan tindakan suction terdapat pengaruh antara tindakan
suction dengan kadar saturasi oksigen pada pasien kritis yang dirawat di ruang ICU Rumah
Sakit An-Nisa Tangerang. Hal ini terlihat dari adanya perubahan yang signifikan antara
sebelum dan sesudah pasien mendapatkan perlakuan suction. Dari ketiga penelitian diatas
dapat disimpulkan bahwa tindakan suction terbukti mampu mengatasi bersihan jalan napas,
sehingga tindakan ini dapat dijadikan referensi sebagai metode pengobatan farmakologis di
rumah sakit.
2. Nyeri akut berhubungan dengan adanya insisi pada kulit leher dibuktikan dengan : a.
Terdapat luka pada kulit leher klien, b. Skala nyeri 3, dan c. Klien memberi isyarat nyeri
pada leher.
Implementasi yang diberikan pada klien sesuai dengan SIKI 2018 pada intervensi
keperawatan observasi yaitu : 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi dan
intensitas nyeri, 2. Identifikasi skala nyeri, dan 3. Observasi TTV. Intervensi keperawatan
terapeutik yaitu : 1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(misalnya terapi musik), dan 2. Berikan klien posisi nyaman. Intervensi keperawatan
edukasi yaitu : 1. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (misalnya
teknik distraksi dan relaksasi nafas dalam), dan 2. Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri. Intervensi keperawatan kolaborasi yaitu : Pemberian analgetik sesuai hasil
kolaborasi dengan dokter.
Teknik distraksi dan relaksasi benson merupakan hal yang tepat dilakukan pada klien
yang mengalami gangguan nyeri akut. Implementasi ini sesuai dengan penelitian yang
berjudul “Pengaruh Teknik Relaksasi Benson Terhadap Penurunan Skala Nyeri Post
Appendixtomy Di RSUD Porsea” yang di teliti oleh : Melva Manurung, Tumpal
Manurung, dan Perawaty Siagian pada tahun 2019. Dengan hasil penelitian menunjukan
bahwa hasil Analisa uji t pre eksperimen dan post eksperimen kelompok kontrol diperoleh
nilai p=0.000, yang berarti nilai p< 0.05 maka dapat disimpulkan ada perbedaan skala nyeri
post Appendixtomy di RSUD Porsea setelah dilakukan Teknik Relaksasi Benson. Hasil
analisa uji t pre eksperimen dan post eksperimen kelompok intervensi diperoleh nilai
p=0.000, yang berarti nilai p< 0.05 maka dapat disimpulkan ada perbedaan perbedaan skala
nyeri post Appendixtomy di RSUD Porsea setelah dilakukan Teknik Relaksasi Benson.
Didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh : Grece Frida Rasubala, Lucky Tommy
Kumaat, dan Mulyadi pada tahun 2017 dengan judul “Pengaruh Teknik Relaksasi Benson
Terhadap Skala Nyeri Pada Pasien Post Operasi Di RSUP. Prof. Dr. R.D. Kandou Dan RS
Tk.III R.W. Mongisidi Teling Manado”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum
diberikan terapi relaksasi benson, sebagian besar pasien apendiksitis mempunyai skala
nyeri sedang dan berat. Setelah diberikan terapi relaksasi benson, sebagian besar skala
nyeri mengalami perubahan yang signifikan dengan menurunnya skala nyeri menjadi skala
nyeri ringan. Sehingga dapat disimpulkan terdapat pengaruh yang signifikan terhadap skala
nilai sesudah diberikan teknik relaksasi benson sebanyak 3 kali selama 15-30 menit.
Diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh : Rini Fahriani Zees pada tahun 2012
dengan judul “Pengaruh Tehnik Relaksasi Terhadap Respon Adaptasi Nyeri Pada Pasien
Apendektomi Di Ruang G2 Lantai II Kelas III BLUD RSU Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota
Gorontalo”. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada pengaruh tehnik relaksasi terhadap
respon adaptasi nyeri. Dari ketiga penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa teknik
relaksasi benson terbukti mampu menurunkan nyeri, sehingga tindakan ini dapat dijadikan
referensi sebagai metode pengobatan non-farmakologis di rumah sakit.

E. Evaluasi Keperawatan
Pada evaluasi penulis mengukur tindakan yang telah dilaksanakan dalam memenuhi
kebutuhan klien. Evaluasi disesuaikan dengan kriteria penilaian yang telah ditetapkan dan
waktu yang telah ditentukan pada tujuan keperawatan. Evaluasi adalah tindakan intelektual
untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosa
keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaannya. Adapun evaluasi hasil dari masing-
masing diagnosa keperawatan adalah sebagai berikut:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi kanula dalam dibuktikan
dengan : a. Tedapat suara tambahan ronkhi kasar di lapang paru atas dextra dan sinistra
(sputum kuning kental), b. Tidak dapat batuk efektif, c. Terpasang trakeostomi dengan
bantuan alat ventilator, d. Parese : ektremitas atas dan bawah (paralisis), dan e. Klien
memberi isyarat keluhan sesak napas.
Evaluasi terakhir di lakukan pada Minggu, 16 Februari 2020 pukul 15.00 WIB dengan
data subjektif : klien memberi isyarat keluhan sesak napas. Data objektif : tedapat suara
tambahan ronkhi kasar di lapang paru atas dextra dan sinistra, sputum berwarna kuning
kental, tidak dapat batuk efektif , terpasang trakeostomi dengan bantuan alat ventilator
Mode : CPAP ASB 12, MV/EMV : 8,9, ETV/TV : 355, Total rate : 26, Inspirasi Press : 8,
PEEP/ Exp Press : 6, FiO2/O2 : 40%, SPO2 : 98%, vital sign = tekanan darah : 149/82
mmHg, suhu : 36,6 0C, nadi : 120 x/menit, dan parase : ektremitas atas dan bawah
(paralisis). Masalah bersihan jalan napas tidak efektif belum teratasi, intervensi
1,2,3,4,5,6,7,8,9, 10 dilanjutkan.
2. Nyeri akut berhubungan dengan adanya insisi pada kulit leher dibuktikan dengan : a.
Terdapat luka pada kulit leher klien, b. Skala nyeri 3, dan c. Klien memberi isyarat nyeri
pada leher.
Evaluasi terakhir di lakukan pada Minggu, 16 Februari 2020 pukul 15.15 WIB dengan
data subjektif : klien memberi isyarat nyeri pada leher. Data objektif : pengkajian nyeri =
P : nyeri karena adanya luka bekas pemasangan trakeostomi, Q : nyeri terasa cenut-cenut,
R : leher, S : skala nyeri 2, T : nyeri terasa terus menerus selama 2 menit, dan vital sign =
tekanan darah : 149/82 mmHg, suhu : 36,6 0C, nadi : 120 x/menit, pernapasan : 26 x/menit.
Masalah nyeri akut belum teratasi, intervensi 1,2,3,4,5,6,7,8 dilanjutkan.

F. Dokumentasi
Penulis melaksanakan asuhan keperawatan dengan meggunakan pendekatan proses
keperawatan pada klien Ny. N dalam studi kasus ini penulis telah mendokumentasikan secara
lengkap mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyn E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Grece Frida Rasubala dkk. 2017. Pengaruh Teknik Relaksasi Benson Terhadap Skala Nyeri Pada
Pasien Post Operasi Di RSUP. Prof. Dr. R.D. Kandou Dan RS Tk.III R.W. Mongisidi
Teling Manado. (online) (https://doi.org/10.31539/jks.v2i1.303). Diakses pada Rabu,
27 Januari 2021 Pukul 19.15 WIB.
Melva Manurung dkk. 2019. Pengaruh Teknik Relaksasi Benson Terhadap Penurunan Skala
Nyeri Post Appendixtomy Di RSUD Porsea. (online)
(https://doi.org/10.34012/jukep.v2i2.541). Diakses pada Rabu, 27 Januari 2021 Pukul
19.00 WIB.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Indikator Diagnostik Edisi 1 Cetakan I. Jakarta : DPP PPNI.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan Edisi 1 Cetakan II. Jakarta : DPP PPNI.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Tindakan Keperawatan Edisi 1 Cetakan II. Jakarta : DPP PPNI.
Rini Fahriani Zees. 2012. Pengaruh Tehnik Relaksasi Terhadap Respon Adaptasi Nyeri Pada
Pasien Apendektomi Di Ruang G2 Lantai II Kelas III BLUD RSU Prof. Dr. H. Aloei
Saboe Kota Gorontalo. (online) (http://dx.doi.org/10.7454/jki.v12i3.218). Diakses
pada Rabu, 27 Januari 2021 Pukul 19.30 WIB.
Tati Murni Karokaro & Lia Hasrawi. 2019. The Effect Of Endotracheal Tube (ETT) Suction
Measures On Our Saturation Levels In Failed Patients In ICU Grandmed Hospital.
(online) (https://doi.org/10.35451/jkf.v2i1.301). Diakses pada Rabu, 27 Januari 2021
Pukul 18.15 WIB.
Widia Astuti AW & Fajar Adhie Sulistyo. 2019. Hubungan Intensitas Tindakan Suction Dengan
Perubahan Kadar Saturasi Oksigen Pada Pasien Yang Terpasang Ventilator Di
Ruang ICU RSUD Kota Bogor. (online) (https://doi.org/10.46508/jiw.v11i2.64).
Diakses pada Rabu, 27 Januari 2021 Pukul 18.30 WIB.
Zahrah Maulidia Septimar & Arki Rosina Novita. 2018. Pengaruh Tindakan Penghisapan
Lendir (Suction) Terhadap Perubahan Kadar Saturasi Oksigen Pada Pasien Kritis
Di ICU. (online) (https://doi.org/10.33221/jikm.v7i01.47). Diakses pada Rabu, 27
Januari 2021 Pukul 18.45 WIB.
Lampiran 1
Penilaian Skala Nyeri
Penilaian skala nyeri adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kesakitan /
nyeri yang sedang diderita oleh seseorang yang mana hasilnya dapat membantu dalam
membedakan tingkat beratnya suatu penyakit sehingga dapat membantu menegakkan diagnosis
yang akurat, mengintervensikan pengobatan yang tepat dan menilai efektivitas terapi yang telah
diberikan.
1. Penilaian Skala Nyeri Pada Pasien Sadar
1) Wong Baker Faces Pain Rating Scale
Skala nyeri yang satu ini tergolong mudah untuk dilakukan karena hanya dengan melihat
ekspresi wajah pasien pada saat bertatap muka tanpa kita menanyakan keluhannya.
Berikut skala nyeri yang kita nilai berdasarkan ekspresi wajah:

Penilaian skala nyeri dari kiri ke kanan :


1) Wajah Pertama : Sangat senang karena ia tidak merasa sakit sama sekali.
2) Wajah Kedua : Sakit hanya sedikit.
3) Wajah ketiga : Sedikit lebih sakit.
4) Wajah Keempat : Jauh lebih sakit.
5) Wajah Kelima : Jauh lebih sakit banget.
6) Wajah Keenam : Sangat sakit luar biasa sampai-sampai menangis.

2) Skala Nyeri 0-10 (Comparative Pain Scale)

Penilaian Skala nyeri dari kiri ke kanan :


1) 0 = Tidak ada rasa sakit. Merasa normal.
2) 1 nyeri hampir tak terasa (sangat ringan) = Sangat ringan, seperti gigitan nyamuk.
Sebagian besar waktu Anda tidak pernah berpikir tentang rasa sakit.
3) 2 (tidak menyenangkan) = nyeri ringan, seperti cubitan ringan pada kulit.
4) 3 (bisa ditoleransi) = nyeri Sangat terasa, seperti pukulan ke hidung menyebabkan
hidung berdarah, atau suntikan oleh dokter.
5) 4 (menyedihkan) = Kuat, nyeri yang dalam, seperti sakit gigi atau rasa sakit dari
sengatan lebah.
6) 5 (sangat menyedihkan) = Kuat, dalam, nyeri yang menusuk, seperti pergelangan
kaki terkilir
7) 6 (intens) = Kuat, dalam, nyeri yang menusuk begitu kuat sehingga tampaknya
sebagian mempengaruhi sebagian indra Anda, menyebabkan tidak fokus,
komunikasi terganggu.
8) 7 (sangat intens) = Sama seperti 6 kecuali bahwa rasa sakit benar-benar
mendominasi indra Anda menyebabkan tidak dapat berkomunikasi dengan baik
dan tak mampu melakukan perawatan diri.
9) 8 (benar-benar mengerikan) = Nyeri begitu kuat sehingga Anda tidak lagi dapat
berpikir jernih, dan sering mengalami perubahan kepribadian yang parah jika sakit
datang dan berlangsung lama.
10) 9 (menyiksa tak tertahankan) = Nyeri begitu kuat sehingga Anda tidak bisa
mentolerirnya dan sampai-sampai menuntut untuk segera menghilangkan rasa sakit
apapun caranya, tidak peduli apa efek samping atau risikonya.
11) 10 (sakit tak terbayangkan tak dapat diungkapkan) = Nyeri begitu kuat tak
sadarkan diri. Kebanyakan orang tidak pernah mengalami sakala rasa sakit ini.
Karena sudah keburu pingsan seperti mengalami kecelakaan parah, tangan hancur,
dan kesadaran akan hilang sebagai akibat dari rasa sakit yang luar biasa parah.
Pengelompokan :
1) Skala nyeri 1-3 berarti Nyeri Ringan (masih bisa ditahan, aktifitas tak terganggu)
2) Skala nyeri 4-6 berarti Nyeri Sedang (menganggu aktifitas fisik)
3) Skala nyeri 7-10 berarti Nyeri Berat (tidak dapat melakukan aktifitas secara
mandiri).

2. Penilain Nyeri Pada Pasien Tidak Sadar


Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT) merupakan instrumen pengkajian nyeri
pada pasien kritis yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal yang dikembangkan oleh
Gelinas et al pada tahun 2006. Instrumen pengkajian nyeri tersebut terdiri dari 4 item
penilaian, setiap item memiliki kategori yang berbeda, yaitu ekspresi wajah, pergerakan
badan, tegangan otot dan keteraturan dengan ventilator untuk pasien terintubasi dan
pasien yang tidak terintubasi.
Tabel Skala CPOT Menurut Gelinas

Indikator Kondisi Skor Keterangan


Ekspresi wajah Rilek 0 Tidak ada ketegangan otot
Kaku 1 Mengerutkan kening,
mengangkat alis, orbit
menegang (misalnya
membuka mata atau
menangis selama prosefur
nosiseptif)
Meringis 2 Semua gerakan wajah
sebelumnya ditambah
kelopak mata tertutup rapat
(Pasien dapat mengalami
mulut terbuka, mengigit
selang ETT)
Gerakan tubuh Tidak ada 0 Tidak bergerak (tidak
gerakan kesakitan) atau posisi
abnormal normal (tidak ada gerakan
lokalisasi nyeri)
Lokalisasi 1 Gerakan hati-hati,
nyeri menyentuh lokasi nyeri,
mencari perhatian melalui
gerakan
Gelisah 2 Mencabut ETT, mencoba
untuk duduk, tidak
mengikuti perintah,
mencoba keluar dari tempat
tidur
Aktivasi alarm Pasien 0 Alarm tidak berbunyi
ventilator kooperatif
mekanik (Pasien terhadap kerja
diintubasi) ventilator
mekanik
Alarm aktif 1 Batuk, alarm berbunyi
tapi mati tetapi berhenti secara
sendiri spontan
Alarm selalu 2 Alarm sering berbunyi
aktif
Berbicara jika Berbicara 0 Bicara dengan nada pelan
pasien diekstubasi dalam nada
normal atau
tidak ada suara
Mendesah, 1 Mendesah, mengerang
mengeran
Menangis 2 Menangis, berteriak
Ketegangan otot Tidak ada 0 Tidak ada ketegangan otot
ketegangan
otot
Tegang, kaku 1 Gerakan otot pasif
Sangat tegang 2 Gerakan sangat kuat
atau kaku
Total
Catatan :
1. Skor 0 : tidak nyeri
2. Skor 1-2 : nyeri ringan
3. Skor 3-4 : nyeri sedang
4. Skor 5-6 : nyeri berat
5. Skor 7-8 : nyeri sangat berat
Sumber :
Rekam Medis RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2018
Lampiran 2
Pengkajian Dekubitus
SKALA BRADEN
No. Indikator 1 2 3 4
1. Persepsi 1. Terbatas total . 2. Sangat terbatas 3. Terbatas ringan 4. Normal
Sensori : Tidak berespon Berespon hanya terhadap Berespon terhadap perintah Berespon terhadap
Kemampuan terhadap stimulasi stimulus nyeri. Tidak lisan, tetapi tidak selalu dapat perintah lisan. Tidak ada
untuk nyeri, akibat penurunan mampu memberitahukan menginformasikan adanya rasa gangguan sensori.
merasakan tingkat kesadaran atau adanya nyeri kecuali dengan nyeri atau kebutuhan
adanya tekanan adanya sedasi. Atau gerakan-gerakan gelisah. melakukan pergantian posisi
tidak mampu Atau Mengalami tubuh. Atau Memiliki sedikit
merasakan nyeri kelemahan sensori yg gangguan untuk merasakan
hampir di seluruh tubuh menyebabkan gangguan nyeri atau ketidaknyamanan
merasakan nyeri pada pada 1 atau 2 ekstrimitas.
hamper ½ bagian tubuh.
2. Kelembaban : 1. Selalu basah 2. Sangat lembab 3. Kadang lembab 4. Lembab Sangat jarang
Derajad Kulit selalu Kulit sering sekali Kulit kadang kala ditemukan Kulit kering hamper tiap
kelembaban basah/sangat lembab basah/lembab, tapi tidak lembab, linen perlu diganti saat, penggantian linen
kulit yang karena keringat yang selalu. Linen harus selalu setiap hari secara regular saja
terpapar berlebihan, urine, diganti setiap shift
sumber dsb. Linen selalu
kelembaban basah setiap kali
ganti posisi
3. Aktivitas : 1. Bedrest 2. Hanya mampu duduk. 3. Mampu Berjalan Kadang-
4. Mampu berjalan
Kemampuan Tidak mampu berjalan atau kadang saja.
Mampu Berjalan ke luar
melakukan sangat terbatas. Tidak Mampu berjalan di siang hari,
ruang perawatan
aktifitas mampu menyangga beban tapi hanya sebentar saja
sedikitnya dua kali
tubuh sendiri dan atau harus dengan atau tanpa bantuan.
sehari dan di dalam
dibantu untuk berpindah ke Sebagian besar waktu
ruangan sedikitnya
kursi atau kursi roda. dihabiskan di tempat tidur atau
sekali tiap 2 jam.
kursi.
4. Mobilitas : 1. Tidak mampu 2. Sangat terbatas 3. Mengalami keterbatasan 4. Tidak ada gangguan.
Kemampuan bergerak total. Tidak Mampu melakukan ringan. Sering Melakukan Mampu menggerakkan
merubah dan mampu beberapa gerakan ringan gerakan walaupun hanya ekstrimitas dan anggota
mengontroposi menggerakkan ekstrimitas atau anggota gerakan kecil pada ekstrimitas tubuh dengan leluasa
si tubuh ekstimitas atau bagian tubuh lain, tapi tidak atau anggota tubuh lain secara
tubuh lain mampu sering bergerak atau mandiri. tanpa bantuan.
perubahan tubuh yang
berarti secara mandiri
5. Nutrisi : 1. Sangat buruk 2. Kemungkinan tidak 3. Adekuat
Kebiasaan pola Tidak pernah adekuat. Menghabiskan lebih dari ½
asupan nutrisi menghabiskan Jarang mampu porsi makanan yang disajikan.
makanan. Sangat menghabiskan porsi makan Makan setidaknya 4 porsi
4. Sangat baik
jarang mampu yang disediakan, rata-rata protein (daging atau produk
Menghabiskan hampir
menghabiskan 1/3 hanya mampu lain) setiap hari. Kadang
semua makanan yang
porsi makanan yang menghabiskan ½ porsi. menolak makanan tapi
disajikan. Tidak pernah
disiapkan. Makan Intake protein (daging atau menghabiskan supplement
menolak makanan.
kurang dari atau sama produk lain) 3 kali sehari. yang diberikan.
Biasanya mengkonsumsi
dengan 2 kali menu Kadang mengkonsumsi Atau Dalam th/ nutrisi
4 porsi atau lebih protein
protein (daging atau makanan supplement. Atau melalui TPN yang
(daging atau produk
produk lain) dalam Mengkonsumsi makanan komposisinya memenuhi
lain) dalam sehari.
sehari. Minum cair atau melalui NGT hamper seluruh kebutuhan
Kadang mengkonsumsi
sedikit. Tidak mau namun jumlahnya tidak nutrisinya.
makanan extra diantara
mengkonsumsi optimal.
waktu makan. Tidak
supplement diet yang
membutuhkan
berbentuk cair. Atau
suplement
pasien NPO dan atau
hanya mendapat
cairan/IV selama
lebih dari 5 hari.
6. Gesekan Dan 1. Bermasalah 2. Potensial mengalami 3. Tidak ada masalah yang
“SHEAR” Perlu bantuan total masalah. terlihat.
atau sebagian untuk Mampu bergerak tapi Bergerak di kursi dan tempat
bergerak. lemah dan perlu bantuan tidur secara mandiri dan
Mengangkatnya pasti minimal. Selama memiliki cukup kekuatan
akan disertai gesekan pergerakan, kulit mungkin untuk mengangkat tubuhnya
pada linen. Sering menalami gesekan sedikit pada saat bergerak. Mampu
melorot ketika duduk atau banyak pada duduk dengan baik di kursi
di kursi atau di tempat permukaan linen, kursi, dan tempat tidur.
tidur, perlu bantuan ikatan, atau permukaan lain.
maksimum untuk Relative mampu
mengembalikan ke mempertahankan posisi
posisi semula. yang baik pada saat duduk
Mengalami spastic, di kursi atau tempat tidur,
korntraktur atau tapi kadang-kadng juga
kejang yang melorot ke bawah.
menyebabkan kulit
hamper selalu
mengalami gesekan
ke linen atau
permukaan lain.

Total Score Protokol Berdasarkan Tingkat Resiko Skala Braden


BERESIKO (SKORE 15 – 18)* MANAGEMEN KELEMBABAN YANG BERLEBIHAN
 Sering rubah/ganti posisi  Gunakan produk pelindung
 Remobilisasi maksimal  Gunakan popok yang mampu menyerap kelembaban, lembut,
 Tangani adanya masalah kelembaban yang berlebihan, nutrisi dan friksi empuk.
serta “shear”.  Tangani penyebab bila mungkin
 Gunakan tempat tidur/kursi yang tepat jika pasien bedrest atau lama  Berikan cairan, pasang bedpan/urinal pada saat mengganti posisi.
duduk di kursi
RESIKO SEDANG (SKORE 13-14)* MANAGEMEN NUTRISI
 Buatkan jadwal ganti posisi  Tingkatkan intake protein
 Gunakan bantaln busa untuk posisi lateral 30o  Tingkatkan intake kalori untuk menurunkan penggunaan protein
 Gunakan tempat tidur yang baik  Berikan supplement dengan multivitamin (harus termasuk vitamin
 Remobilisasi maksimal. A, C, E)
 Lindungi tumit  Respon segera untuk menghilangkan adanya kekurangan asupan
 Tangani adanya masalah kelembaban yang berlebihan, nutrisi dan friksi  Konsultasi dengan tim gizi
serta “shear”
RESIKO TINGGI (SKORE 10-12) MANAGEMEN GESEKAN DAN “SHEAR”
 Tingkatkan frekuensi perubahan posisi  Tinggikan sandaran tidak lebih dari 30o
 Berikan supplement dg interval yang cepat  Gunakan “trapeze” jika ada indikasi
 Gunakan tempat tidur atau kursi yang baik  Gunakan linen untuk mengangkat pasien
 Gunakan bantaln busa untuk posisi lateral 30o  Lindungi siku dan tumit yang terkena gesekan
 Remobilisasi maksimal
 Lindungi tumit
 Tangani adanya masalah kelembaban yang berlebihan, nutrisi dan friksi
serta “shear”
RESIKO SANGAT TINGI PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP UMUM PERAWATAN
 SEMUA TINDAKAN DIATAS  Tidak melakukan masage jika ada kemerahan pada kulit di tonjolan
DITAMBAH tulang
 Gunakan “pressure-releiving  Tidak menggunakan “DONAT”
Penggunaan kasur “relieving surface” tidak menggantikan jadwal  Pertahankan status cairan yang baik
perrubahan posisi  Hindari kekeringan pada kulit
*) jika ada factor resiko mayor, gunakan pedoman tingkat selanjutnya Factor
resiko mayor diantaranya:
 Lanjut usia
 Demam
 Intake protein yang rendah
 Tekanan diastolic dibawah 60 mmhg

 Ketidakstabilan hemodinamik
Sumber :
Rekam Medis RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2018
Lampiran 3
Pengkajian Resiko Jatuh

1. Morse Fall Sclae (Pasien Dewasa)


Asesmen risiko jatuh pada pasien dewasa menggunakan Morse Fall Scale (Skala jatuh
morse) sebagai berikut:
Faktor risiko Skala Poin Skor
pasien
Riwayat jatuh Ya 25
Tidak 0
Diagnosis sekunder (≥2 Ya 15
diagnosis medis) Tidak 0
Alat bantu Berpegangan pada perabot 30
Berpegangan pada perabot 15
Tidak ada/kursi roda/perawat/tirah 0
baring
Terpasang infuse Ya 20
Tidak 0
Gaya berjalan Terganggu 20
Lemah 10
Normal/tirah baring/imobilisasi 0
Status mental Sering lupa akan keterbatasan yang 15
dimiliki
Sadar akan kemampuan diri sendiri 0
Total

Kategori
Risiko Tinggi = ≥45
Risiko Rendah = 25-44
Tidak ada Risiko = 0-24

2. Humpty Dumpty (Pasien Anak – Anak)


Asesmen risiko jatuh pada pasien anak menggunakan Humpty Dumpty sebagai berikut:
Skor
Faktor Risiko Skala Poin
Pasien
Kurang dari 3 tahun 4
3 tahun – 7 tahun 3
Umur 7 tahun – 13 tahun 2
Lebih 13 tahun 1
Laki – laki 2
Jenis Kelamin Wanita 1
Neurologi 4
Respiratori, dehidrasi, anemia, anorexia,
3
Diagnosa syncope
Perilaku 2
Lain – lain 1
Keterbatasan daya piker 3
Gangguan Kognitif Pelupa, berkurangnya orientasi sekitar 2
Dapat menggunakan daya pikir tanpa
1
hambatan
Riwayat jatuh atau bayi / balita yang
4
ditempatkan di tempat tidur
Faktor Lingkungan Pasien yang menggunakan alat bantu/ bayi
3
balita dalam ayunan
Pasien di tempat tidur standar 2
Area pasien rawat jalan 1
Dalam 24 jam 3
Respon terhadap Dalam 48 jam 2
pembedahan,
Lebih dari 48 jam / tidak ada respon 1
sedasi, dan anestesi
Penggunaan obat- Penggunaan bersamaan sedative,
obatan barbiturate, anti depresan, diuretik, 3
narkotik
Salah satu dari obat di atas 2
Obatan –obatan lainnya / tanpa obat 1
TOTAL

Kategori :
Risiko Rendah (RR) = 7 – 11
Risiko Tinggi (RT) = ≥ 12

Pencegahan risiko jatuh pasien anak-anak dengan Risiko Tinggi yaitu :


 Memastikan tempat tidur/brankard dalam posisi roda terkunci
 Pagar sisi tempat tidur/brankard dalam posisi berdiri/terpasang
 Lingkungan bebas dari peralatan yang tidak digunakan
 Berikan penjelasan kepada orang tua tentang pencegahan jatuh
 Pastikan pasien memiliki stiker penanda risiko tinggi jatuh pada gelang identifikasi dan
tanda kewaspadaan dan panel informasi pasien.

Sumber :
Rekam Medis RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2018
Lampiran 4
Pengkajian Early Warning System (EWS)
A. National Early Warning System
1. NEWS digunakan pada pasien dewasa (berusia 16 tahun atau lebih)
2. NEWS dapat digunakan untuk untuk mengasesmen pengakit akut, mendeteksi penurunan
klinis, dan menginisiasi respon klinis yang tepat waktu dan sesuai.
3. NEWS tidak digunakan pada:
a. Pasien berusia kurang dari 16 tahun
b. Pasien hamil
c. Pasien dengan PPOK
4. NEWS juga dapat diimplementasikan untuk asesmen prehospital pada kondisi akut oleh
first responder seperti pelayanan ambulans, pelayanan kesehatan primer, Puskesmas
untuk mengoptimalkan komunikasi kondisi pasien sebelum diterima rumah sakit tujuan.
5. National Early Warning Score (NEWS)
Parameter 3 2 1 0 1 2 3
Pernafasan ≤8 9-11 12-20 21-24 ≥25
Saturasi ≤91 92-93 94-95 96
Oksigen
Penggunaan Ya Tidak
Alat Bantu
O2
Suhu ≤35 35.1-36.0 36.1-38.0 38.1- ≥39.1
39.0
Tekanan ≤90 91-100 101.110 111-219 ≥220
Darah
Sistolik
Denyut ≤40 41-50 51-90 91-110 111-130 ≥131
Jantung
Tingkat A V,P,
Kesadaran atau U
TOTAL :

6. Skor NEWS Dan Respon Klinis Yang Diberikan


Skor Klasifikasi Respon Klinis Tindakan Frekuensi
Monitoring
0 Sangat Dilakukan monitoring Melanjutkan Min 8 jam
Rendah monitoring
1- 4 Rendah Harus segera Perawat Min 4 jam
dievaluasi oleh mengassesmen
perawat terdaftar yang perawat/
kompeten harus meningkatkan
memutuskan apakah frekuensi
perubahan frekuensi monitoring
pemantauan klinis atau
wajib eskalasi
perawatan klinis.
5-6 Sedang Harus segera Perawat Min 1 jam
melakukan tinjauan berkolaborasi
mendesak oleh klinisi dengan tim/
yang terampil dengan pemberian
kompetensi dalam assesmen
penilaian penyakit kegawatan/
akut di bangsal meningkatkan
biasanya oleh dokter perawatan dengan
atau perawat dengan fasilitas monitor
mempertimbangkan yang lengkap.
apakah eskalasi
perawatan ke tim
perawatan kritis
diperlukan (yaitu tim
penjangkauan
perawatan kritis)
≥7 Tinggi harus segera Berkolaborasi Bad set
memberikan penilaian dengan tim medis/ monitor/
darurat secara klinis pemberian every time
oleh tim assesmen
penjangkauan/ critical kegawatan/ pindah
care outreach dengan ruang ICU
kompetensi
penanganan pasien
kritis dan biasanya
terjadi transfer pasien
ke area perawatan
dengan alat bantu.

B. Pediatric Early Warning System (PEWS)


1. PEWS digunakan pada pasien anak/ pediatrik ( berusia saat lahir-16 tahun)
2. PEWS dapat digunakan untuk untuk mengasesmen pengakit akut, mendeteksi
penurunan klinis, dan menginisiasi respon klinis yang tepat waktu dan sesuai.
3. PEWS tidak digunakan pada:
a. pasien dewasa lebih dari 16 tahun
b. Pasien anak dengan TOF (Tetralogi of Fallot), sindrom VACTERL
4. PEWS juga dapat diimplementasikan untuk asesmen prehospital pada kondisi akut
oleh first responder seperti pelayanan ambulans, pelayanan kesehatan primer,
Puskesmas untuk mengoptimalkan komunikasi kondisi pasien sebelum diterima
rumah sakit tujuan.
a. Tabel Klasifikasi Umur
Grafik Gambar Rentang Usia Insklusi Keterangan
0-3 bulan 12 minggu Digunakan pada
usia 12 minggu
atau koreksi pada
bayi prematur
sampai 28
minggu.
4-11 bulan 12 minggu, 1 hari – 1
tahun

1-4 tahun 1 tahun – 5 tahun

5-12 tahun 5 tahun – 12 tahun

12+ tahun 12 tahun – 16 tahun

b. Tabel Parameter Pediatrik Eearly Warning Score


Parameter 3 2 1 0 1 2 3
Pernafasan ≤10 11-15 16-29 30-39 40-49 ≥50
Retraksi Normal ringan Sedang Parah
dinding dada
Alat bantu No ≤2L >2L
O2
Saturasi ≤85 86-89 90-93 >94
oksigen
Denyut ≤50 50-69 70-110 110-129 130-149 ≥150
jantung
Kapilla reffil ≤2 >2
Tekanan ≤80 80-89 90-119 120-129 130-139 >140
sistolik
Tingkat A V P/ U
kesadaran
Suhu ≤35◦ 36◦-37◦ >38.5◦
TOTAL :
Keterangan :
0-2 : skor normal (hijau), penialain setiap 4 jam.
3 : skor rendah (hijau), penilaian setiap 1-2 jam
4 : skor menengah (orange) penilaian setiap 1 jam
≥ 5 : skor tinggi (merah) penilaian setiap 30 menit.

c. Parameter Tambahan PEWS


Parameter Tambahan
1. Saturasi Oksigen Parameter tambahan dapat digunakan
2. Kapilla reffil (waktu) sebagai penilaian tambahan dan tindaklajut
3. Tekanan sistolik dari tindak klinik yang disesuaikan pada tiap
4. Warna kulit individu anak.
5. Suhu

d. Nilai Normal Tanda-Tanda Vital


Usia Heart Rate Respiratory Rate
Bayi baru lahir (lahir-1 bulan) 100-180 40-60
Infant (1-12 bulan) 100-180 35-40
Tooddler (13 bulan-3 tahun) 70-110 25-30
Preschool (4-6 tahun) 70-110 21-23
Shool Age (7-12 tahu) 70-110 19-21
Dolescent (13-19 tahun) 55-90 16-18

e. Respon Klinis Terhadap Pediatrik Early Warning System (EWS).


Monitoring
Petugas Tindakan
Skor Frekuensi
1 4 jam Perawat jaga Semua perubahan
2 - 4 jam harus dapat
meningkatkan
2 frekuensi monitor
untuk tindakan klinis
yang tepat
Min 1 jam Perawat jaga dan dokter Perawat jaga
3 jaga melakukan
monitoring ulang
30 menit Melapor ke dokter
4-5
jaga
berlanjutan Perawat jaga, dokter jaga, Melapor ke DPJP
6
DPJP
berlanjutan Panggilan darurat Menghubungi Tim
7+
Emergensi jaga

Sumber :
Rekam Medis RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2018

You might also like