You are on page 1of 12

MAKALAH

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Di Susun Oleh:

Ananda Rizki Pramudia 2105902020118

Safrida Fitriya Ufa 2005902020062

Depi Salvia 2005902020014

Sayyida Wanda Aishah 2105902020002

Yunda fanisha 2105902020174

PROGRAM STUDI GIZI


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Swt yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“REAKSI HIPESENSITIVITAS"

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang di berikan dosen mata
kuliah Gizi dan Imunitas semester VII sebagai bahan dan pembelajaran, serta penilaian. Kami
menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
materi maupun cara penulisannya. Namun dengan demikian, kami telah berupaya dengan
segala kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki sehingga dapat menyelesaikannya
dengan baik.

Oleh karena itu, masukan, saran, kritik, dan usul yang sifatnya untuk perbaikan dari
berbagai pihak khususnya dosen dan teman-teman sangat di harapkan untuk
menyempurnakan makalah ini

Meulaboh, 08 Oktober 2023

Penu
lis

i
DAFTAR ISI

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi abnormal dari sistem imun yang terjadi sebagai
respon akibat terpapar dengan substansi yang membahayakan sehingga tingkat respon
reaksinya bervariasi dari ringan sampai mematikan. Reaksi hipersensitivitas dapat
mencakup kelainan autoimun dan alergi, seperti yang diketahui kondisi autoimun
merupakan suatu respon imunologis abnormal yang menyerang bagian tubuhnya sendiri
sedangkan alergi adalah respon imunologis abnormal yang timbul karena adanya stimulus
dari lingkungan di luar tubuh (substansi eksogen).
Reaksi hipersensitivitas terdiri dari beberapa tipe yaitu tipe 1 yang dimediasi oleh IgE
(reaksi anafilaktik), tipe 2 yang dimediasi oleh antibodi, tipe 3 yang dimediasi oleh
kompleks imun, dan tipe 4 yang dimediasi oleh sel (delayed hypersensitivity). Reaksi
hipersensitivitas tipe 1 bersifat cepat dan akut seperti alergi terhadap penisilin, latex,
kacang dan lainnya. Reaksi alergi ini dapat berdampak baik secara sistemik maupun lokal,
dan reaksinya merupakan hasil ikatan silang antara antigen dan antibodi IgE yang berasal
dari sel mast atau basofil. Mediator yang berperan pada saat reaksi anafilaktik antara lain
histamin, serotonin, bradikinin, dan lipid sehingga berpotensi merusak jaringan. Reaksi
hipersentivitas tipe 2 merupakan suatu reaksi sitotoksik, yang dimediasi oleh
Immunoglobulin G (IgG) dan Immunoglobulin (IgM), antibodi bereaksi secara langsung
terhadap antigen yang melekat pada membran sel sehingga menginduksi lisis pada sel,
antigen ini dapat berasal dari instrinsik maupun ekstrinsik. Reaksi hipersensitivitas tipe 3
merupakan suatu reaksi kompleks imun contohnya seperti dapat terlihat pada infeksi virus
herpes simpleks tipe 1 yang dapat berkembang menjadi eritema multiform. Pada reaksi
hipersentivitias tipe 3, IgG dan IgM yang berikatan dengan antigen akan membentuk
kompleks antigen-antobodi sehingga akan menghasilkan polymorphonuclear neutrophilic
leukocyte (PMN) yang akan mengeluarkan enzim perusak jaringan. Reaksi
hipersensitivitas tipe 4 atau delayed hypersensitivity dimediasi sel atau kontak alergi,
sering terjadi ketika berkontak dengan bahan di kedokteran gigi dan ditemukan pada
rongga mulut dengan restorasi amalgam atau logam mulia yang berkontak dengan mukosa
mulut. Reaksi dimediasi oleh sel T dan diinisiasi oleh sel T-limfosit. Respon ini akan
membentuk interaksi dari antigen pada permukaan limfosit, sehingga limfosit akan
memproduksi sitokin yang akan mempengaruhi fungsi dari sel lainnya. Reaksi ini terjadi
48-72 jam setelah kontak dengan antigen.1,3,4 Reaksi hipersensitivitas umumnya akan
3
menimbulkan manifestasi pada tubuh sehingga sebagai praktisi wajib untuk mengetahui
tanda dan gejala klinisnya dan mampu memberikan penanganan yang benar.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, rumusan masalah penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Definisi reaksi hipesensitivitas?
2. Faktor dan etiologi reaksi hipesensitivitas ?
3. Klasifikasi reaksi hipesensitivitas ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui defenisi dari reaksi hipersensitivitas
2. Untuk mengetahui faktor dan etiologi reaksi hipersensitivitas
3. Untuk mengetahui klasifikasi reaksi hipersensitivitas

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Reaksi Hipersensitivitas

Hipersensitivitas merupakan peningkatan aktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang


pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik
biasanya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan
kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh seperti
reaksi hipersensitivitas tersebut. Komponen–komponen sistem imun yang berperan pada
fungsi proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas.
2.2 Faktor dan Etiologi Reaksi Hipesensitivitas
Reaksi hipersensitivitas dapat bersifat idiopatik atau diakibatkan oleh berbagai zat dan
keadaan. Ada yang berupa antigen seperti protein (serum, hormon, enzim, bisa binatang,
makanan, dan sebagainya) atau polisakarida, juga ada yang berupa hapten yang nanti
bertindak sebagai antigen apabila berikatan dengan protein (antibiotik, anastesi lokal,
analgetik, zat kontras, dan lain-lain). Antigen tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui
oral, suntikan/sengatan, inhalasi, atau topikal.

Adapun beberapa obat – obatan yang biasa menimbulkan reaksi hipersensitivitas


adalah antibiotik seperti golongan penisilin, streptomisin, klorampenikol, sulfonamide,
kanamisin, obat – obatan kemoterapeutik dan vaksin. Makanan seperti ikan, udang, kacang –
kacangan, telur dan lain – lain. Bisa/cairan binatang, getah tumbuhan dan kosmetik juga
dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas.

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya reaksi


hipersensitivitas adalah:

a. Riwayat keluarga. Suatu studi epidemiologi menyatakan bahwa faktor genetik


berpengaruh pada keluarga atopi. Bila salah satu orang tua memiliki penyakit alergi, maka 25
– 40% anak akan menderita alergi. Bila kedua orang tua memiliki alergi maka risiko pada
anak adalah 50 – 70%.

b. Riwayat atopi. Atopi merupakan kecenderungan genetik untuk memproduksi IgE antibodi
terpapar alergen. Adanya riwayat atopi meningkatkan risiko terjadinya reaksi
hipersensitivitas. Sebagian besar penderita anafilaksis idiopatik memiliki riwayat atopi.

c. Sifat alergen. Beberapa zat tertentu lebih sering menyebabkan reaksi hipersensitivitas
(obat golongan Penisilin, pelemas otot, media kontras radiografis, aspirin, lateks, kacang-
5
kacangan, kerang).

d. Alur pemberian obat. Pemberian obat secara parenteral lebih cenderung menimbulkan
reaksi hipersensitivitas dibandingkan pemberian peroral, namun reaksi hipersensitivitas dapat
terjadi melalui berbagai jalur pemberian.

e. Kesinambungan (constancy) paparan allergen. Pemakaian obat yang sering terputus dapat
meningkatkan risiko terjadinya reaksi hipersensitivitas.

f. Pemberian imunoterapi berupa injeksi ekstrak alergen pada penderita yang penyakit
alerginya sedang tidak terkendali (misalnya injeksi ekstrak alergen pada penderita asma yang
belum terkendali akan meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis).
2.3 Klasifikasi Reaksi Hipersensitivitas
Terdapat beberapa klasifikasi reaksi hipersensitivitas yaitu menurut waktu timbulnya
dan menurut Gell dan Coombs.

2.3.1 Klasifikasi Menurut Waktu Timbulnya Reaksi Hipersensitifitas


a. Reaksi cepat
Terjadi dalam hitungan detik, serta hilang dalam waktu 2 jam. Antigen yang diikat IgE
pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasinya dapat
berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal seperti pilek, bersin, asma, urtikaria, dan
eksema.

b. Reaksi intermediet

Terjadi setelah beberapa jam dan hilang dalam 24 jam. Reakis ini melibatkan pembentukan
kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen. Reaksi intermediet
diawali oleh IgG yang disertai kerusakan jaringan pejamu oleh sel netrofil atau sel NK. 4
Manifestasinya berupa reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik
autoimun dan reaksi arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis
nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid, dan LES.

c. Reaksi lambat

Terlihat sampai sekitar 48 jam setelah pajanan dengan antigen. Terjadi akibat aktivasi sel
Th. Pada delayed type of hypersensitivity yang berperan adalah sitokin yang dilepas sel T
yang mengaktifkan makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan. Manifestasi klinisnya
yaitu dermatitis kontak, reaksi mikobakterium tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.

6
2.3.2 Klasifikasi Menurut Gell dan Coombs

a. Hipersensitivitas Tipe I

Disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi. Reaksi ini timbul
segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas
tipe I mulanya antigen masuk ke tubuh dan merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan
bantuan sel Th. IgE diikat oleh sel mast atau basofil melalui reseptor Fcɛ. Apabila tubuh
terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang
sudah ada pada permukaan sel mast atau basofil. Akibat ikatan tersebut, sel mast atau basofil
mengalami degranulasi dan melepas mediator. Senyawa vasoaktif yang dilepaskan oleh sel
mast atau basofil, yaitu histamin dan faktor kemotaktik eosinofilik. Senyawa lain yang juga
dilepaskan yaitu substansi reaksi lambat anafilaksis yang disintesis oleh sel. Substansi
tersebut terdiri atas prostaglandin, leukotrin, tromboksan dan aktor pengaktif trombosit. Efek
kombinasi dari senyawa-senyawa ini menimbulkan pelebaran pembuluh darah, peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, edem (pembengkakan yang disebabkan oleh masuknya serum
ke dalam jaringan), dan masuknya eosinofil yang khas pada respons atopik 5 lokal. Pada
kasus asma, menyebabkan sekresi berlebihan dan kelenjar mukus bronkus dan spasme
bronkus.

Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:

1. Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan sel mast atau basofil.

2. Fase aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

3. Fase efektor, yaitu waktu terjadi respon yang kompleks sebagai efek mediator-mediator
yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.

Manifestasi hipersensitivitas tipe I dapat bervariasi dari lokal, ringan sampai berat dan
keadaan yang mengancam nyawa seperti anafilaksis dan asma berat. Diagnosis
hipersensitivitas tipe I biasanya dibuat dengan memperlihatkan adanya hubungan antara
pemaparan antigen dalam lingkungan tertentu dan timbulnya gejala pada waktu anamnesis.

b. Hipersensitivitas Tipe II

Disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG
atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Antibodi tersebut dapat
7
mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R. Sel NK dapat berperan sebagai sel efektor
dan menimbulkan kerusakan melalui Antibody Dependent Cell (mediated) Cytotoxicity.
Karakteristik hipersensitivitas tipe II ialah pengerusakan sel dengan mengikat antibodi yang
spesifik pada permukaan sel. Kerusakan sel yang terjadi utamanya bukan merupakan hassil
pengikatan antibodi, ini tergantung pada bantuan limfosit lainnya atau makrofag atau pada
sistem komplemen.

Manifestasi yang sering dari reaksi hipersensitivitas reaksi ini melibatkan sel-sel darah,
sel jaringan lainnya dapat juga 6 diikutsertakan. Misalnya saja pada anemia hemolitik
autoimun dan trombositopenia.

c. Hipersensitivitas Tipe III

Disebut juga reaksi kompleks imun. Terjadi bila kompleks antigenantibodi ditemukan
dalam sirkulasi atau dinding pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen.
Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Kompleks imun akan mengaktifkan
sejumlah komponen sistem imun. Komplemen yang diaktifkan melepas anafilaktosis yang
memacu sel mast dan basofil melepas histamin. Mediator lainnya dan Macropaghe
Chemotactic Factor mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan protein
polikationik. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk
mikrotombi dan melepas amin vasoaktif, selain itu komplemen mengaktifkan makrofag yang
melepas IL-1 dan produk lainnya.

Bahan vasoaktif yang dibentuk sel mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi,
peningkatan permeabilitas vaskular, dan inflamasi. Neutrofil ditarik dan mengeliminasi
kompleks. Bila neutrofil terkepung di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks dan akan
melepas granulnya. Kejadian ini menimbulkan banyak kerusakan jaringan. Makrofag yang
dikerahkan ke tempat tersebut melepas berbagai mediator, antara lain enzim-enzim yang
dapat merusak jaringan sekitarnya. Manifestasi klinisnya antara lain lupus eritamatosis
sistemik, penyakit serum, artritis reumatoid, infeksi malaria, virus, dan lepra.

d. Hipersensitivitas Tipe IV

Hypersensitivitas yang terjadi melalui sel CD4 dan T Cell Mediated Cytolysis yang
terjadi melalui sel CD8.

1. Delayed Type Hipersensitivity (DTH)

Pada tipe ini, sel CD4 Th1 mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai sel efektor.

8
CD4 Th1 melepas sitokin yang 7 mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi. Pada
DTH, kerusakan jaringan disebabkan oleh produk makrofag yang diaktifkan seperti enzim
hidrolitik, oksigen reaktif intermediat, oksida nitrat, dan sitokin proinflamasi. DTH dapat juga
terjadi sebagai respon terhadap bahan yang tidak berbahaya dalam lingkungan seperti nikel
yang menimbulkan dermatitis kontak. Pada keadaan yang paling menguntungkan DTH
berakhir dengan hancurnya mikroorganisme oleh enzim lisosom dan produk makrofag lainnya
seperti peroksid radikal dan superoksid. DTH dapat merupakan reaksi fisiologik terhadap
patogen yang sulit disingkirkan misalnya M. Tuberkulosis.

2. T Cell Mediated Cytolysis

Dalam T Cell Mediated Cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel CD8 yang langsung
membunuh sel sasaran. Penyakit yang ditimbulkan hipersensitivitas selular cenderung terbatas
kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik. Manifestasi klinisnya antara lain
dermatitis kontak, diabetes insulin dependen, artritis reumatoid, sklerosis multipel. 1,3,4 8

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hipersensitivitas merupakan peningkatan aktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang
pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas dapat bersifat idiopatik
atau diakibatkan oleh berbagai zat dan keadaan dengan manifestasi klinis yang bervariasi.
Terapi terpenting adalah menghindari faktor pencetus dari reaksi hipersensitivitas itu sendiri
serta penatalaksanaan yang bersifat simptomatis. Pasien, NWS, laki – laki, 50 tahun, didiagnosis
dengan penyakit Infeksi B24 Stadium IV WHO yang baru diketahui saat dirawat di RSUP
Sanglah denqgan Wasting Syndrome, Toxoplasmosis Cerebri, TB Paru dan Reaksi
Hipersensitivitas akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Penanganan reaksi hipersensitivitas
memerlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga dan lingkungan dalam pengelolaan
penyakit ini. Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang
mungkin terjadi akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan serta diharapkan dapat
membantu pasien untuk tahu mengenai pencegahan yang dapat dilakukan terhadap munculnya
penyakit ini.

10
DAFTAR PUTAKA
Baratawidjaja Karnen Garna. Reaksi Hipersensitivitas. 2014. Imunologi dasar
edisi ke 11. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. p 20-24.
Mansjoer Arif, Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan. 2008.
Alergi Imunologi. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p 568-72.
Sudoyo W. Aru, Bambang Setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti
Setiati. 2009. Alergi Imunologi Klinik. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jakarta: Internal Publishing. p 387-391.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi edisi 7. Jakarta: EGC.
2009.
Soegiarto G, Konthen P G, Effendi C, Baskoro A. Anafilaksis. In: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK Unair. Surabaya. 2007.
Alrasbi M, Sheikh A. Comparison of international guidelines for the emergency
medical management of anaphylaxis. Allergy. Aug 2007;62(8):838-41
Webb LM, Lieberman P. Anaphylaxis: a review of 601 cases. Ann Allergy
Asthma Immunol. Jul 2006;97(1):39-43.

11

You might also like