You are on page 1of 24

REFERAT

Trauma Laring

Pembimbing :
dr. Rini Febrianti Sp.THT-KL

Disusun Oleh :
Pasca Rindi Nurdiyanti Putri (2013730083)

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT UMUM DAREH KOTA BANJAR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma laring adalah kejadian yang relatif tidak biasa yang membutuhkan ketepatan
waktu, manajemen yang tepat diperlukan untuk mempertahankan hidup pasien, saluran
napas, dan suara. Kasus trauma laring eksternal menimbulkan masalah yang unik, tetapi
meskipun terdapat keragaman cedera, pedoman manajemen khusus dapat diterapkan. Dengan
mengikuti pedoman manajemen khusus membantu mencapai hasil terbaik pada trauma laring
eksternal akibat trauma tumpul atau tajam. Tingkat keparahan trauma dan penundaan dalam
penanganan dapat berkorelasi dengan hasil yang buruk.1

Trauma laring merupakan kasus yang langka ditemukan perkiraan insiden bervariasi
antara 1:5.000 dan 1:137.000 dari pasien trauma. Mortalitas lebih dari 80% pada trauma
laring terkait dalam mempertahankan kapasitas jalan napas pasien dengan menjaga tulang
belakang cervikal sebelum masuk rumah sakit. Namun, dengan mempertahankan jalan napas
dan penanganan yang tepat dapat menurunkan angka mortalitas kurang dari 5 %.2

Pada trauma laring dibagi menjadi 2 kelompok yaitu trauma tumpul dan trauma tajam.
Trauma tumpul biasa terjadi akibat dari kecelakaan bermotor, kekerasan dan trauma akibat
olahraga. Sedangkan pisau, dan shotsgun penyebabab tersering dari trauma tajam. Dari kedua
kelompok trauma tersebut baik trauma tumpul maupun trauma tajam dapat memperlihatkan
tingkat keparahan dari yang sedang hingga fatal.3

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PATOFISIOLOGI TRAUMA LARING

Trauma Tumpul

Trauma tumpul pada laring terutama disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor
termasuk segala jenis kendaraan, kekerasan atau cedera olahraga. 1,3 Meskipun mandibula dan
sternum melindungi laring. leher dapat mengalami hyperextensi selama trauma, yang
memungkinkan kerangka laring hancur di antara benda yang menimpa dan column cervical
vertebral. Pukulan sedang pada laring, menyebabkan efek geser antara otot vokalis dan
perichondrium internal. Ini menyebabkan trauma mukosa endolaringeal, edema, atau
hematoma. Lebih parah trauma dapat menyebabkan fraktur kartilago laring dan gangguan
ligamen laring.1

Subluksasi atau dislokasi kartilago arytenoid dapat menyebabkan immobile vokal fold.
Trauma unilateral saraf laring yang berulang sering dikaitkan dengan trauma sendi
cricoarytenoid karena kedekatan antara saraf laring ke kartilago cricoid. Fraktur kartilago
cricoid dapat terjadi sendiri atau dengan trauma lain, terutama setelah trauma servikal bawah.
Sebagai satu - satunya struktur lengkap cincin jalan nafas, integritas struktural kartilago
krikoid sangat penting dalam pemeliharaan saluran napas.1

Clothesline injury terjadi dikaitkan dengan trauma tumpul laring yang mendapat perhatian
khusus karena keparahannya. Trauma ini biasanya terjadi ketika leher seorang individu
(biasanya seorang remaja atau dewasa muda) mengendarai sepeda motor, kendaraan segala
jenis, atau snowmobile yang menabrak objek seperti pagar kawat atau dahan pohon.
Akibatnya dapat meremukkan kartilago laring dan umumnya menyebabkan pemisahan
cricotracheal.1

Fraktur tulang hyoid dan trauma epiglotis dapat menyebabkan obstruksi saluran pernapasan.
Jenis kelamin dan perbedaan usia di antara orang dewasa dihipotesiskan sebagai penyebab
timbulnya berbagai ragam trauma yang terjadi setelah trauma tumpul. Perempuan dianggap
lebih mungkin mengalami trauma supraglotis daripada laki-laki karena mereka punya leher
panjang dan tipis. Orang yang lebih tua memiliki risiko yang lebih tinggi terkena faktur laring

3
daripada dewasa muda karena orang yang lebih tua memiliki osifikasi tinggi pada kartilago
laring. Tak satu pun dari hipotesis ini telah diverifikasi dengan observasi klinis.1

Trauma tumpul cenderung mempengaruhi laring anak secara berbeda dari orang dewasa.
Laring pada anak-anak terletak lebih tinggi pada leher dan dilindungi oleh mandibula lebih
baik daripada pada orang dewasa. Sedangkan fraktur laring kurang umum terjadi pada anak-
anak, kejadiannya meningkat sejajar insiden tabrakan kendaraan bermotor. Trauma pada anak
cenderung lebih ringan daripada orang dewasa karena elastisitas tulang rawan anak; namun,
kurangnya dukungan jaringan fibrosa yang luas dan tampilan yang relatif longgar dari
membran mukosa meningkatkan kemungkinan kerusakan jaringan lunak pada anak, dan
dapat menjelaskan prognosis yang lebih buruk dengan trauma lebih parah. Selain itu, trauma
yang relatif tidak berbahaya dapat memicu gangguan jalan napas sekunder karena diameter
laringotrakeal yang kecil pada anak-anak. Beberapa kasus ruptur membran trakea anak untuk
trauma tumpul minor cervical tampaknya juga dilaporkan.1

Strangulasi manual atau hanging-type injuries menghasilkan pola trauma laring yang berbeda
karena diterapkannya gaya statis dan kecepatan rendah. Yang dapat menyebabkan beberapa
fraktur kartilago tanpa laserasi mukosa segera, hematom submukosa, atau yang ditandai
perpindahan fraktur.1

Trauma Tajam

Luka tusuk dan luka tembak yang terutama bertanggung jawab atas trauma tajam. 1,3 Cedera
bervariasi dari luka kecil hingga gangguan berat kartilago, mukosa, jaringan lunak, saraf, dan
struktur yang berdekatan. Trauma luka tembak kemungkinan lebih banyak daripada luka
tusuk terkait dengan kerusakan jaringan yang parah, dan proyektil kecepatan yang tinggi
menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih besar dan kontaminasi luka dari proyektil
kecepatan rendah. Luka tusuk menyebabkan kurangnya kerusakan pada jaringan lunak perifer
daripada luka tembak dan lebih bersih, namun lebih sulit untuk menentukan kedalamanya.
Cedera untuk struktur dalam, seperti saluran toraks, saraf servikal, pembuluh darah besar, dan
visceral, dapat terjadi jauh dari luka masuk. Kematian karena trauma tajam mungkin
disebabkan oleh gangguan lengkap pada laring, edema jaringan lunak masif, atau trauma
terkait neurovaskular. Trauma tajam yang paling banyak terjadi pada warga sipil diakibatkan
rudal oleh peluru dengan kecepatan rendah atau tikaman.1

4
2.2 DIAGNOSIS DAN EVALUASI

History

Setiap pasien dengan trauma leher anterior dianggap memiliki trauma saluran pernapasan
bagian atas. Gejala klasik trauma laring meliputi suara serak, nyeri laring, dyspnea, dan
disfagia (Tabel 2.1). Sangat mengejutkan bahwa tidak ada gejala tunggal yang tampaknya
berkorelasi baik dengan tingkat keparahan trauma. Ketika lumen laryngeal sangat terganggu,
aphonia dan terjadi apnea, menandakan kebutuhan akan pembentukan jalan napas alternatif
segera.1

Pemeriksaan fisik

Setelah trauma, pemeriksaan fisik leher secara menyeluruh diperlukan untuk mengidentifikasi
trauma neurovaskular terkait. Cedera tulang belakang servikal harus dikesampingkan untuk
semua pasien dengan trauma leher. Pendarahan aktif, hematom yang meluas, bruit, dan
hilangnya nadi adalah tanda-tanda trauma vaskular. Tanda-tanda umum trauma laring
termasuk stridor, hemoptisis, emfisema subkutan, dan nyeri tekan atau deformitas kerangka
laring. Kehadiran nyeri saat palpasi membantu membedakan fraktur laring akut dari
deformitas lama. Tipe stridor dapat menyarankan lokasi lesi. Stridor saat inspirasi biasanya
menunjukkan obstruksi jalan napas supraglotis parsial, seperti yang mungkin terjadi dari
edema, hematoma, benda asing, trauma jaringan lunak, atau fraktur kartilago. Stridor saat
ekspirasi mungkin menandakan kelainan saluran napas lebih rendah yang disebabkan oleh
trauma trakea. Gabungan stridor inspirasi dan ekspirasi menunjukkan obstruksi parsial pada
tingkat glotis.1

Emfisema subkutaneous servikal berhubungan dengan hilangnya integritas saluran


aerodigestive atas dan diduga terjadi akibat kekuatan geser kartilago laring terhadap
vertebral. Jumlah udara dapat berasal dari emfisema jaringan lunak ringan hingga
pneumomediastinum masif. Terkait kekacauan jaringan lunak laring dapat menghasilkan efek
bola-katup yang memaksa sejumlah besar udara ke leher dan juga dada. Dari saluran napas
dapat disebabkan oleh perpindahan trakea atau ketegangan pneumotoraks. Hindari
penggunaan ventilasi masker yang berlebihan pada pasien dengan trauma laring karena hal
ini dapat memperburuk subkutan emfisema dan berpotensi menyebabkan pneumotoraks.1

Laringoskopi direct fiberoptic merupakan komponen integral untuk mengevaluasi pasien


dengan trauma tumpul laring. Laring diperiksa untuk melihat mobilitas vokal folds, posisi

5
kartilago arytenoid, hematoma,. laserasi, dan patensi saluran napas. Esofagoskopi kaku
merupakan cara terbaik untuk memeriksa indikasi pada hipofaring dan esofagus. tetapi
sebaiknya hanya dilakukan setelah trauma servikal tulang belakang telah teratasi. Pada pasien
dengan trauma laring minor, lryngoscopy strobovideolar seharusnya lebih baik dilakukan
untuk menilai fungsi vocal folds.1

Evaluasi Radiologi

Computed Tomography (CT) (Gambar 2.1 A dan B) telah jelas menjadi pemeriksaan
radiologis yang paling berguna untuk mengevaluasi Trauma laring. Hasil CT sangat berguna
untuk menentukan perawatan yang tepat. Dua kelompok pasien yang mungkin tidak
mendapat manfaat pemeriksaan CT: (a) Pasien dengan trauma leher anterior minimal dan
pemeriksaan fisik normal dan (b) Pasien dengan fraktur yang jelas, laserasi endolaryngeal
yang besar, atau luka tusuk yang parah. Pasien yang terakhir akan paling sering
membutuhkan tracheostomy, laringoskopi direct, dan eksplorasi terbuka, namun banyak
penulis sekarang setuju bahwa CT bisa manfaat bahkan pada kelompok ini dalam
perencanaan perbaikan struktural. CT membantu untuk mengkonfirmasi temuan laringoskopi
indirect atau flexible, untuk mendeteksi fraktur kartilago yang tidak terlihat secara klinis.
Untuk menilai area yang kurang divisualisasikan, seperti subglotis dan wilayah komisura
anterior, dan untuk mengidentifikasi terkait trauma cervical.1,2

Studi radiografi khusus dapat berguna dalam mengidentifikasi cedera yang terkait dengan
trauma laring, khususnya dengan trauma tajam. Servikal atau “arch” arteriografi menjadi
yang paling umum digunakan untuk mengidentifikasi trauma vascular. Penetrasi mukosa
faring dan esofagus dapat diidentifikasi dengan penggunaan Gastrografin diikuti oleh
pemeriksaan barium, pemeriksaan ini harus dikerjakan dengan hati-hati karena risiko aspirasi
terkait dengan trauma laring. Radiografi cervical spine diperlukan untuk menyingkirkan
trauma vertebral. Ultrasonografi telah dianggap sebagai alat bantu diagnostik pada trauma
laring akut karena mobilitas dan penanganannya mudah. Namun, tidak banyak digunakan.1

6
Gambar 2.1 A. Minimlly displaced laryngeal fracture. B. Moderately displaced laryngeal
fracture. C. Severely displaced laryngeal fracture. D. Displaced cricoid fracture.

Diagnosis laryngeal trauma


Symptoms
- Hoarseness
- Pain
- Dyspnea
- Dysphagia
Signs
- Stridor
- Hemoptysis
- Subcutaneous emphysema
- Laryngeal tenderness
- Loss of thyroid cartilage prominence
- Vocal fold immobility
- Laryngeal hematoma
- Laryngeal edema
- Laryngeal lacerations
Radiologi
- Computed tomography
- Arteriography
- Cervical spine radiography
- Contrast esophagography

7
Tabel 2.1 Diagnosis Trauma Laring

2.3 TATALAKSANA

Gambar 2.2 menunjukkan protokol manajemen untuk trauma laring akut. Ada dua tujuan
utama dalam manajemen trauma laring akut yaitu menjaga jalan napas dan memulihkan
fungsi laring sebagaimana dinilai oleh kurangnya ketergantungan pada trakeostomi dan
kualitas suara.1

Perawatan Darurat

Evaluasi awal dan perawatan pasien trauma terdiri dari mempertahankan saluran napas,
resusitasi jantung, kontrol perdarahan. stabilisasi trauma saraf dan tulang belakang, dan
investigasi sistematis sistem organ lainnya (Tabel 2.2). Kontroversi mengenai cara terbaik
untuk membentuk saluran udara alternatif pada trauma laring. Jika intubasi orotrakeal
dilakukan dalam trauma laring, harus dilakukan oleh orang yang berpengalaman
menggunakan tabung endotrakeal kecil dengan volume tinggi, manset tekanan rendah dengan
kehadiran otolaryngologist. Dimana persyaratan tidak selalu dapat dipenuhi ketika trauma
laring hadir. Namun, bila intubasi endotrakeal dapat menyebabkan trauma iatrogenik atau
hilangnya saluran napas. Untuk alasan-alasan ini, beberapa penulis sangat merekomendasikan
tracheostomy dengan lokal anestesi daripada intubasi endotrakeal untuk orang yang
mengalami trauma laring dan membutuhkan alternatif saluran napas. Pasien dengan trauma
laring minimal, dengan adanya dokumentasi laringoskopi fleksibel dan CT. Intubasi seperti
itu seharusnya dilakukan oleh dokter yang sangat berpengalaman untuk menghindari cedera
lebih lanjut ke laring. Pada trauma laring anak biasanya sulit melakukan tracheostomy di
bawah anestesi lokal dalam situasi ini. Maka anestesi inhalasi dengan respirasi spontan
digunakan untuk mencapai bronkoskopik intubasi, yang memungkinkan visualisasi langsung
cedera laring dan mencegah cedera iatrogenik tambahan. Beberapa penulis
merekomendasikan cricothyroidotomy jarum dan insuflasi jet untuk pasien usia kurang dari
12 tahun. Namun, mendapatkan krikotiroidotomi jarum mungkin menjadi sulit dengan
hilangnya landmark laring, dan insuflasi jet dapat memperburuk emfisema subkutan atau
pneumomediastinum.1

8
Gambar 2.2 algoritma tatalaksana untuk suspek trauma laring

Emergency Care laryngeal Trauma


Multysystem trauma
- Establish airway
- Cardiac resuscitation
- Control of hemorrhage
- Stabilization of spinal injury
Adult airway
- Tracheotomy under local anesthesia or rigid bronchoscopic
- Intubation
- Alternatively, endotracheal intubation only with: experienced personal
- Small diameter endotracheal tube
Pediatric airway
- Rigid bronchoscopic intubation followed by tracheotomy

Tabel 2.2 Perawatan darurat trauma laring

Pengambilan Keputusan Perawatan

Manajemen dibagi menjadi perawatan medis dan bedah sesuai dengan tingkat cedera
sebagaimana ditentukan pada pemeriksaan fisik dan CT(Tabel 2.3). Keputusannya untuk

9
mengobati pasien secara medis atau pembedahan ditentukan oleh kemungkinan bahwa cedera
akan hilang tanpa operasi intervensi. Kondisi-kondisi berikut kemungkinan akan terpecahkan
spontan tanpa sekuele serius: edema, hematoma kecil dengan cakupan mukosa utuh, glotis
kecil atau laserasi supraglottic tanpa tulang rawan terbuka, dan fraktur kartilago tiroid
nondisplaced tunggal dalam stabil laring. Strobovideolaryngoscopy mungkin berguna dalam
menentukan luka ringan mana saja yang dapat menyebabkan gangguan phonatory. Cedera
cenderung memerlukan eksplorasi laring terbuka dan perbaikan termasuk laserasi yang
melibatkan argin bebas dari vokal fold, laserasi mukosa besar, kartilago yang terbuka, fraktur
kartilago berganda dan bergeser, kartilago arytenoid avulsi atau dislokasi, dan imobilitas
vocal fold.1

Trauma cenderung memerlukan penggunaan tambahan stenting endolaring termasuk


gangguan komisura anterior, fraktur kartilago berganda dan bergeser, dan laserasi
endolaringeal ganda dan berat. Secara umum, Stenting dihindari jika mungkin, tetapi dapat
diindikasikan dalam manajemen cedera ini untuk mencegah hilangnya normal bentuk skafoid
komisura anterior, untuk menstabilkan fraktur atau laserasi yang sangat kominuta, dan untuk
mencegah stenosis endolaringeal. Trauma penetrasi lebih cenderung membutuhkan eksplorasi
terbuka daripada trauma tumpul.1

Treatment laryngeal trauma


Medical
- Voice rest
- Systemic steroid
- Elevate head
- Humidified air
- Antibiotics
- Antireflux measures
Surgical
- Tracheatomy
- Endoscopy
- Exploration
- Thyrotomy
- Closure of laceration
- Insertion of stents for disrupted anterior commisure

10
- Grafting for severe mucosal loss only
- Fixation of fracture

Tabel 2.3 tatalaksana trauma laring

Perawatan medis

Tujuan terapi adjuvan adalah untuk menghilangkan trauma lebih lanjut dan mempercepat
penyembuhan. Trauma tumpul pada leher memerlukan rawat inap di lingkungan yang
diawasi setidaknya 24 jam disarankan untuk mengamati tanda-tanda progresif pada saluran
napas dan perburukan edema laring serta membuat persiapan untuk kemungkinan
tracheostomy darurat.1

Istirahat di tempat tidur dengan elevasi kepala pada tempat tidur untuk beberapa hari
membantu menyelesaikan edema laring. Masa istirahat suara dapat meminimalkan edema
lebih lanjut atau mengurangi perkembangan hematoma atau emfisema subkutan. Kelembaban
udara membantu mencegah pembentukan krusta pada mukosa dan kelumpuhan sili transien.
Nebulizer Epinephrine Rasemat dan kortikosteroid sistemik digunakan secara sporadis dalam
pengelolaan trauma laring dalam upaya untuk mengurangi edema dan selanjutnya fibrosis
dalam beberapa jam pertama setelah trauma, tetapi tidak ada eksperimental yang meyakinkan
bukti yang mendukung penggunaan terapi ini. Jika ada bukti adanya robekan mukosa atau
robekan, dapat digunakan antibiotik sebagai profilaksis terhadap infeksi, meskipun ini belum
dibuktikan secara klinis. Seorang pasien dengan cedera laring pada awalnya diberikan diet
cairan jernih dengan suplementasi intravena sesuai kebutuhan. Pemberian nasogastrik
biasanya tidak perlu, dan selang nasogastrik bisa memburuk cederanya. Penggunaan jangka
panjang dari tabung nasogastrik dapat menyebabkan trauma laring posterior dan merangsang
refluks asam lambung. Sehinngga penggunaan H2 agen -blocking dan inhibitor pompa proton
bisa membantu mencegah perkembangan refluks laringitis, yang mungkin penting dalam
mencegah pembentukan bekas luka dan stenosis di hadapan trauma mukosa laring.1

Perawatan Bedah

Waktu evaluasi optimal endoskopi dan pembedahan trauma laring kontroversial. Saat ini,
sebagian besar penulis setuju itu eksplorasi awal menawarkan kesempatan untuk
menyelesaikan penilaian indikasi trauma dan menyebabkan tingkat infeksi pasca operasi yang
lebih rendah, penyembuhan lebih cepat, berkurangnya granulasi jaringan, dan berkurangnya

11
jaringan parut. Hasil beberapa seri kasus trauma laring besar menunjukkan bahwa intervensi
bedah dini dikaitkan dengan hasil yang lebih baik dan lebih efektif dalam memungkinkan
identifikasi yang akurat dari mukosa, otot dan trauma kartilago, yang kemudian dapat
diperbaiki. Beberapa penundaan dalam perawatan mungkin tidak dapat dihindari pada trauma
tulang belakang cervical yang tidak stabil atau cedera otak traumatis.1

Endoskopi digunakan untuk memastikan tingkat cedera pada laring dan saluran aerodigestive
serta untuk mempertimbangkan menejemen lebih lanjut yang diperlukan dengan
memvisualisasikan bagian seluruh laring dan hipofaring. Bronkoskopi juga digunakan untuk
mengevaluasi subglotis dan trakea. Esofagoskopi dilakukan untuk mengesampingkan
perforasi esofagus tak terduga. Saat cedera yang jelas mengharuskan manajemen bedah
diidentifikasi pada endoskopi, eksplorasi terbuka dilakukan segera.1

Tingkat cedera yang ditemukan pada endoskopi atau eksplorasi terbuka menentukan sejauh
mana terapi bedah yang dibutuhkan. Mungkin saja terbatas sebagai tracheostomy untuk
membangun jalan napas atau sebagai ekstensif sebagai reduksi terbuka dan fiksasi internal
dengan stenting. Endoskopi atau CT bukti laserasi lendir selaput. tulang rawan terbuka.
imobilitas pita suara, atau fraktur kartilago yang terlantar atau dikhianati merupakan indikasi
untuk eksplorasi terbuka. Dalam manajemen luka parah, seperti laserasi mukosa besar yang
melibatkan commissure anterior, fraktur tulang rawan kominuta, dan avulsi dari kartilago
arytenoid. eksplorasi terbuka melalui laryngofissure atau tirotomi dengan diindikasikan
stenting.1

Eksplorasi dilakukan melalui kulit horizontal sayatan di lipatan kulit pada tingkat krikotiroid
selaput. Sayatan dapat diperpanjang untuk menjelajahi dan memperbaiki cedera saraf,
vaskular, atau visceral yang terkait. Otot tali infrahyoid dipisahkan di garis tengah dan
retraksi lateral untuk mengekspos laring dan fraktur. Tulang rawan tiroid diiris di garis
tengah. atau fraktur vertikal yang sudah ada sebelumnya di dekat garis tengah dapat
digunakan sebagai alternatif, dan endolaring masuk melalui membran krikotiroid. Sayatan
diperpanjang melalui komisura anterior ke membran tiroid. Seluruhnya endolaring diperiksa
untuk mengidentifikasi tingkat cedera (Gambar 2.3 dan 2.4). Kartilago arytenoid dipalpasi
untuk menilai posisi dan mobilitas mereka.1

12
Gambar 2.3 fraktur kartilago tiroid

Gambar 2.4 laserasi vocal fold true dan hematoma vocal fold false

Semua selaput lendir. otot. dan kartilago dengan yang layak suplai darah dipertahankan dan
dikembalikan ke aslinya posisi. Karena itu adalah faktor utama yang bertanggung jawab
pembentukan jaringan granulasi dan fibrosis, tulang rawan terbuka harus dilindungi terutama.
Kegagalan untuk melakukannya membutuhkan okulasi dan dengan penyembuhan sekunder.
Laserasi secara cermat dapat diabsorbable dengan 5-0 atau 6-0 (Gambar 2.5). Kemajuan

13
mukosa flaps mungkin diperlukan untuk meredakan ketegangan pada garis jahitan dan
penyembuhan kartilago lengkap.1

Fraktur kartilago dapat diperbaiki dengan kawat, jahitan nonabsorbable, miniplates


resorbable, atau permanen miniplat. Miniplates membuatt meningkatnya peluang untuk
rekonstitusi anatomi tulang dari tiroid atau krikoid tulang rawan dibandingkan dengan cara
fiksasi yang kurang kaku dan menjadi andalan banyak penulis ' armamentarium. Pelat
resorbable umumnya dapat diserap dalam 1 hingga 2 tahun dan sangat menarik untuk
kemudahan adaptasi. Namun, sekrup dari kedua tipe resorbable dan nonresorbable cenderung
mudah tertarik keluar di kartilago. dan mata bor yang belum dimanfaatkan, berukuran kecil
harus digunakan berhati-hati bersama dengan teknik penyisipan untuk menghindari
kegagalan geser. Sekrup tidak lepas jahitan, yang tidak dapat diserap atau jahitan tahan lama:
jahitan absorbable masih bisa digunakan untuk mengamankan kartilago ke piring, sambil
tetap meningkatkan kekakuan dari piring itu sendiri. Fragmen kecil tulang rawan tanpa
perichondrium utuh dibuang untuk mencegah chondritis. Margin anterior setiap vokal fold
sejati dijahit ke kartilago tiroid atau perichondrium eksternalnya di situs thyrotomy untuk
menyusun kembali komisura anterior (Gambar 2.5). Jika komisura anterior adalah tanpa
epitelium, sebuah kedok yang dibentuk sebelumnya atau polimer yang diperkuat Pelapis
silikon dapat ditempatkan untuk mencegah pembentukan web. Tirotomi ditutup dengan
kawat. nonabsorbable jahitan, atau miniplates (Gambar. 2.6). Jika bagian dari aikoid anterior
cincin hilang. Menjahit otot-otot tali infrahyoid yang cacat dapat membantu mempertahankan
jalan napas dan suara1

Gambar 2.5 perbaikan dari laserasi

14
Gambar 2.6 fiksasi resorbable plate fraktur laring. 1. Kartilago tiroid 2. Biomaterial 3. Celah
4. Swollen vocal cords 5. Esofagus 6. Sarung karotid 7. Anterior strap muscles 8. Tempat
sekrup biomaterial dan kartilago tiroid.

Grafting

Prinsip-prinsip konservasi antara anatomi normal dan manajemen bedah segera membuat
kebutuhan akan graft langka. Membran mukosa atau skin graft digunakan untuk menutupi
area kartilago yang terbuka yang tidak dapat menutup. Namun, luka-luka ini harus sembuh
dengan penutupan sekunder, yang menyebabkan formasi bekas luka yang lebih besar
dibandingkan dengan penutupan primer. Dalam situasi yang langka dimana graft dibutuhkan,
selaput lendir, dermis, dan kulit split-thickness adalah membran mukosa yang paling cocok
sangat mirip dengan epitel endolaringeal normal, tetapi penggunaan jaringan ini membawa
morbiditas donor-situs yang tinggi dan mengharuskan memasuki rongga mulut.1

Stents

Laryngeal stent dapat digunakan pada awalnya untuk perangkat fiksasi internal dan
mencegah jaringan parut endolaryngeal dan memelihara konfigurasi internal laring.
Meskipun Kehadiran stent dapat meningkatkan risiko infeksi dan pembentukan jaringan
granulasi. Fraktur tulang rawan multipel yang tidak dapat distabilkan secara memadai dengan
reduksi terbuka dan fiksasi internal dan laserasi extensif yang melibatkan komisura anterior
merupakan indikasi spesifik untuk penggunaan dari stent. Pada kerangka laryngeal yang
stabil dengan komisura anterior utuh sebelum thyrotomy, stenting tidak diperlukan. Pada
trauma mukosa besar mungkin diperlukan stenting untuk mencegah adhesi mukosa (Gambar

15
2.7). Stents sendirian, bukan pengganti untuk penutupan primer laserasi mukosa dan
pengurang kehati-hatian dan fiksasi fraktur internal.1

stent tetap harus berada di laring sedemikian rupa bergerak dengan laring selama menelan
dan konsisten. Metode yang bermanfaat adalah jahitan dengan nonabsorbable melalui stent
dan laring di tingkat ventrikel laring dan di membran krikotiroid lainnya. Jahitan ini diikat di
atas kancing di luar kulit. Beberapa kontroversi tentang berapa lama stent digunakan.
Stabilisasi laring yang diinginkan harus dicapai dan pembentukan bekas luka dicegah, tetapi
risiko infeksi dan luka nekrosis terkait dengan stenting yang lama harus dipertimbangkan.
Gambaran analogi pada anak dengan rekonstruksi laringotrakeal tahap tunggal dengan
stenting tabung endotrakeal, stenting lebih lama dari 1 minggu tidak memberi keuntungan
apapun. Stentnya dihilangkan dengan cara laringoskopidirect, dan penilaian hasil operasi.
Jaringan granulasi bisa dihilangkan dengan penggunaan laser karbon dioksida konservatif
atau laring microdebrlder. Terdapat hubungan antara perkembangan jaringan granulasi dan
kolonisasi stent dengan Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa, dan dianjurkan
menggunakan antibiotik profilaksis. Kebutuhan untuk manipulasi endoskopi tambahan
ditentukan dengan pemeriksaan serial laryngeal fleksibel. Dekenulasi paling ditunda sampai
pasien bisa mentoleransi masuknya tabung tracheostomy.1

Gambar 2.7 fiksasi stent endolaringeal menggunakan jahitan nonabsorbable.

Pemisahan Cricotracheal

Pemisahan krikotrakeal adalah salah satu cedera yang lebih berat berhubungan dengan
trauma serviks anterior dan umumnya terjadi dari clothesline injuries. Beberapa faktor unik
untuk cedera ini harus dipertimbangkan termasuk saluran napas, kehilangan dukungan

16
krikoid, cedera berulang saraf laring, dan perkembangan akhir subglotis stenosis. Sementara
transeksi krikotrakeal sering dikaitkan dengan asfiksia pada saat trauma. gangguan
pernapasan mungkin tidak ada jika jaringan prefasdal tetap utuh Oleh karena itu, indeks
kecurigaan yang tinggi diperlukan untuk diagnosis dari jenis cedera ini. Jalan nafas paling
baik dikendalikan dengan cara tracheostomy dimana pasien di bawah lokal anestesi. Ketika
keadaan ini tidak mungkin, tracheostomy dilakukan setelah melewati bronkoskop ventilasi
dengan hati-hati. Intubasi pasien dengan pemisahan laryngotracheal dapat menyebabkan
hilangnya saluran napas karena penempatan tabung endotrakeal melalui laserasi mukosa ke
dalam jaringan lunak leher, dengan konsekuensi bencana. Jika itu pasien telah berhasil
diintubasi sebelum evaluasi, diagnosis tidak dapat ditegakkan sampai ekstubasi. CT dapat
membantu diagnosis pasien yang diintubasi menunjukkan balon overinflasi atau herniasi.1

Jika kartilago krikoid utuh, membran mukosa dapat diperbaiki secara langsung dengan
jahitan yang dapat diserap. Untuk mendistribusikan ketegangan pada luka dari cricotracheal
anastomosis, jahitan nonabsorbable ditempatkan pada aspek superior dari kartilago krikoid ke
aspek inferior cincin trakea kedua. Jika krikoid retak, maka efektivitas perbaikan dibatasi
oleh stabilitas krikoid tulang rawan setelah fiksasi internal. Rekonstitusi dari kartilago krikoid
yang berat, dengan bantuan dari fiksasi internal dan stenting, lebih baik daripada ekstensif
reseksi dari anastomosis krikoid dan thyrotrakeal.1

Berat ulangan pada saraf laring

Terapi saraf laring yang berulang, berlanjut menjadi kontroversial. Bahkan dengan
mikroskopis yang cermat perbaikan saraf yang ditransmisikan, mobilitas pita vokal tidak
kembali dikarenakan campuran abduktor dan adduktor serabut saraf. Selain itu, Sinkronisasi
vokal lipatan dapat berkembang setelah neurorrhaphy. Regenerasi saraf dapat mencegah
atrofi otot. membantu mempertahankan beberapa kekuatan suara. dan menurunkan laju
aspirasi. Karena itu,. tampak bahwa manajemen fase akut terbaik adalah reapproximation
langsung dari saraf di bawah operasi mikroskop.1

2.4 KOMPLIKASI

Pengenalan awal cedera laring dan aplikasinya prinsip manajemen yang konsisten telah
menurunkan morbiditas dan mortalitas dari trauma laring (Tabel 2.4). Keberhasilan diukur
dalam hal pemulihan suara, dan saluran napas. Bent mengusulkan dan memodifikasi
modifikasi sistem penilaian asli Shaefer yang mungkin berguna dalam memprediksi hasil

17
yang datang (Tabel 2.5).1,2,3 Di antara pasien dengan edema, hematoma. atau laserasi minor,
pemulihan yang sangat baik dari suara dan saluran napas biasanya bisa dicapai tanpa operasi
atau dengan intervensi bedahyang minimal, seperti tracheostomy atau endoskopi. Dengan
laserasi berat dan fraktur pada tulang rawan, hasil yang baik dapat dicapai dengan perbaikan
primer awal pada laserasi dan fiksasi fraktur internal. Pada dua terbitan terbesar pada
serangkaian trauma laring. lebih besar dari 97% pasien dapat didekodulasi menggunakan
protokol perawatan ini. Dalam seri yang sama ini, kualitas suara dinilai rendah hanya 1
pasien dari gabungan total 251 pasien. Jika ada, suara suboptimal hasil mungkin terkait
dengan gangguan pemanjangan pita suara sekunder pada jaringan parut atau trauma saraf
laring superior.1

Masalah paling umum dalam periode pasca operasi adalah bertambahnya jaringan granulasi,
yang paling sering terjadi di hadapan kartilago. Ini masalah sering adalah prekursor fibrosis
dan stenosis. Banyak teknik telah digunakan dalam upaya untuk menangkap jaringan
granulasi ,. termasuk penggunaan obat sistemik dan kortikosteroid intralesi, splinting jangka
panjang, dan iradiasi dosis rendah, tetapi metode ini memiliki sedikit keberhasilan. Mungkin,
teknik yang paling efektif adalah meminimalkan pembentukan awal jaringan granulasi
dengan mencoba menutupi semua kartilago yang terpapar, dalam penutupan primer laserasi
laring. Kontrol refluks melalui pasca operasi penggunaan H2 blocker dan inhibitor pompa
proton mungkin bermanfaat dalam menurunkan pembentukan granulasi jaringan.1,3

Meskipun ketaatan pada prinsip-prinsip manajemen yang tepat Trauma laring, fibrosis dan
stenosis dapat terjadi. Ukuran terapeutik tergantung pada tingkat tertentu stenosis. Stenosis
supraglottic sering dapat diperbaiki dengan eksisi sederhana dari jaringan parut dan kemajuan
lokal flap untuk cakupan luka. Perbaikan stenosis mungkin dilakukan melalui operasi terbuka
atau endoskopi. Area stenosis yang luas mungkin memerlukan penghilangan sebagian besar
epiglotis atau lipatan aryepiglottic. Pada kondisi tertentu laringektomi supraglotis mungkin
diperlukan jika tergantung pada derajat stenosis atau kartilago yang trauma. 1

Rehabilitasi dari stenosis glotis tergantung pada luasnya lesi. Jaringan glotis anterior yang
tipis sering bisa dilepaskan dan diperbaiki menggunakan teknik mikroflap. Glotis posterior
atau interaritenoid jaringan parut mungkin memerlukan arytenoidectomy atau prosedur
terkait. Stenosis glotis yang luas sering membutuhkan laringofissure dengan eksisi langsung
dari daerah stenosis diikuti dengan penempatan cangkok tulang rawan tulang rusuk dengan
atau tanpa stent.1

18
Stenosis subglotis lanjutan, sulit untuk dikelola, tidak peduli apa penyebabnya. Lesi yang
kurang luas bisa dikelola dengan dilatasi berulang atau noncircumferential konservatif eksisi
laser jaringan parut. Penggunaan dilatasi balon telah terbukti aman dan efektif sementara
memaksimalkan " pelebaran arah radial " dibandingkan pelebaran bogie standar. Stenosis
yang lebih serius mungkin, membutuhkan pemisahan krikoid anterior atau posterior dengan
kartilago okulasi untuk meningkatkan ukuran lumen subglotis. Stenting biasanya diperlukan
karena banyak prosedur endoskopi untuk memotong jaringan granulasi setelah pengangkatan
stent. Mitomycin C telah menunjukkan sebagai agen topikal untuk membantu mencegah
pembentukan bekas luka berulang. Selagi mekanisme aksi Mitomycin C yang sebenarnya
tidak diketahui, diyakini dapat mengurangi pembentukan bekas luka melalui penghambatan
migrasi fibroblast. Panjang lesi hingga 4 em dapat direseksi dengan teknik rilis laring;
Namun, hasilnya dengan banyak dari teknik ini mengecewakan, dan pencegahan komplikasi
ini terus menjadi pengobatan optimal.1

Setelah trauma tumpul, imobilitas yang persisten dari vokal fold mungkin disebabkan oleh
cedera saraf laring berulang atau oleh fiksasi atau dislokasi sendi cricoarytenoid.
Membedakan penyebab ini sangat penting dalam memilih bentuk terapi yang tepat terapi, dan
paling baik dilakukan dengan mengamati gerak vokal fold dengan laringoskopi fiberoptik dan
videostrobolaryngoscopy diikuti dengan palpasi langsung dari arytenoid untuk menilai
mobilitasnya. Elektromiografi Laring (EMG) mungkin diperlukan untuk membedakan
kelumpuhan pita suara dari dislokasi arytenoid. Jika arytenoid tulang rawan adalah mobile,
pita suara diamati selama 1 tahun untuk menunggu kemungkinan kembalinya fungsi saraf
laring namun, EMG laring dapat mempersingkat masa tunggu dengan memberikan kunci
informasi prognostik mengenai kemungkinan pemulihan spontan. Jika aspirasi atau disfonia
parah, menyuntikkan lipatan vokal dengan bahan tambahan seperti gelfoam, lemak, pasta
hidroksiapatit, asam hyaluronic, atau salah satu dari banyak bahan yang tersedia dapat
menjadi ukuran temporer. Kelumpuhan persisten sering mengakibatkan ketidakcukupan
Suara dapat direhabilitasi dengan operasi rangka laring tepat. Pada unilateral fiksasi kartilago
arytenoid dengan suara yang memadai dan saluran napas, tidak memerlukan perawatan.
Fiksasi arytenoid bilateral atau kelumpuhan laring berulang dapat dikelola dengan
arytenoidectomy dan vokal lipat lateralisasi.1

Komplikasi Trauma Laring


Jaringan granulasi

19
- Mencegah dengan melindungi semua bagian kartilago yang terkena
- Menghindari stent sebisa mungkin
- Eksisi cermat
Stenosis laring
- Eksisi dengan cakupan mukosa
- Pemilihan kasus stent
- Laringotrakeoplasti
- Reseksi trakea dengan reanastomosis
Imobilitas vocal fold
- Observasi
- Injeksi vocal fold
- Tiroplasti-tipe vocal fold medialisasi
- Aritenoidektomi dan vocal fold lateralisasi hingga bilateral
- Paralisis

Tabel 2.4 Komplikasi Trauma laring

Grup trauma
Grup 1 : endolaringeal hematoma minor/ laserasi fraktur tanpa bisa dideteksi
Grup 2 : edema, hematoma, gangguan mukosa minor tanpa kartilago terbuka, nondisplaced
fraktur pada CT Scan
Grup 3 : edema masif, mucosal tears, kartilago terbuka, imobilitas vocal fold, displaced
fraktur
Grup 4 : grup 3 + 3/lebih fraktur dan kerusakan mukosa masif yang membutuhkan stent
Grup 5 : pemisahan laringotrakheal

Tabel 2.5 Grup Trauma

GRUP 1

1. Evaluasi

Setelah evaluasi trauma lengkap, laringoskopi fiberoptic fleksibel dilakukan untuk


mengevaluasi saluran udara dengan hati-hati.

20
2. Manajemen

Cedera ringan ini umumnya dikelola secara medis dan tidak memerlukan intervensi bedah.
Perawatan medis adjunctive berikut mungkin berguna:

 Steroid.
 Antibiotik.
 Obat anti-refluks.
 Humidifikasi.
 Istirahat suara.

GRUP 2

1. Evaluasi

Laringoskopi direct dan esofagoskopi harus dilakukan, karena trauma mungkin lebih parah
dari yang diperkirakan setelah laringoskopi fiberiptic fleksibel.

2. Manajemen

Pasien dengan kelompok trauma 2 harus diperiksa secara serial, karena cedera dapat
memburuk atau berlanjut seiring berjalannya waktu. Terkadang, cedera ini mungkin
memerlukan tracheostomy. Tambahan medis juga dapat membantu (steroid, obat anti-refluks,
humidifikasi, istirahat suara, antibiotik).

GRUP 3

1. Evaluasi

Laringoskopi atau esofagoskopi direct harus dilakukan di ruang operasi.

2. Manajemen

 Trakeostomi sering diperlukan.


 Eksplorasi dan perbaikan bedah biasanya diperlukan. Luka-luka berikut akan
membutuhkan perbaikan bedah:
 Gangguan pada komisura anterior.
 Laserasi endolaringeal mayor.
 Tears yang melibatkan pita suara.
 Imobilisasi vocal cord.
 Kartilago terbuka.
 Fraktur kartilago displaced.
 Subluksasi atau dislokasi Arytenoid.

21
GRUP 4

1. Evaluasi

Laringoskopi direct dan esofagoskopi harus dilakukan.

2. Manajemen

 Trakeostomi selalu diperlukan.


 Perbaikan bedah cedera ini akan membutuhkan pemasangan stent untuk menjaga integritas
laring.

GRUP 5

1. Evaluasi

Gangguan saluran udara terjadi pada tingkat kartilago krikoid, baik di membran krikotiroid
atau persimpangan krikotrakeal. Pasien akan datang dengan gangguan pernapasan yang
parah, membutuhkan evaluasi dan manajemen jalan napas yang mendesak.

2. Manajemen

Trakeostomi diperlukan untuk mengamankan jalan nafas, tetapi bisa sangat sulit karena
anatomi yang berubah. Perbaikan laringotrakeal kompleks harus dilakukan melalui insisi
serviks rendah setelah jalan nafas terjamin.

22
BAB III
KESIMPULAN

Meskipun setiap trauma laring menyajikan tantangan terapi yang unik. menggunakan
perawatan dasar prinsipnya sangat memudahkan rencana terapi. Bila memungkinkan,
laryngoscopy fleksibel memberikan informasi penting tentang sifat dan keparahan cedera,
yang kemudian menjadi faktor keputusan pengobatan. Penggunaan scan CT Scan dalam
beberapa kasus trauma laring dapat meniadakan kebutuhan untuk eksplorasi terbuka dan
sering membantu dalam diagnosis dan perencanaan perawatan. Daripada intubasi
endotrakeal, trakheostomi lebih sering yang metode paling terkontrol untuk membangun
saluran napas bila perlu. Eksplorasi terbuka untuk cedera serius memungkinkan penutupan
semua laserasi mukosa primer dan mencegah beberapa komplikasi jangka panjang trauma
laring. Stenting tidak diperlukan ketika kerangka tulang rawan stabil setelah fiksasi internal
dan ketika cakupan mukosa anterior komisura dapat dibentuk kembali. Penggunaan protokol
manajemen primer awal untuk menangani trauma laring harus dapat diprediksi untuk
mempertahankan fungsi laring.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Chang, Kay W. 2014. Bailey's head and neck surgery-otolaryngology. Philadelphia:


Lippincott Williams&. WJ.lkins. (page 1141- 1151)
2. Becker, Minerva. 2013. Imaging of Laryngeal Trauma. Switzerland: European
Journal of Radiology
3. Holt, Richard. Dkk. 2012. Resident Manual of Trauma to The Face, Head, and Neck.
First Edition. America : American Academy of Otolaryngology – Head and Neck
Surgery

24

You might also like