You are on page 1of 11

Pada dasarnya penegak hukum di tuntut untuk menjalankan tugas sesuai

dengan amanat undang-undang yang berujung pada pemberian putusan


dengan substansi berupa keadilan bagi para pihak, akan tetapi di sisi lain
dijumpai penegak hukum yang justru melakukan kejahatan dan ini
menyebabkan citra lembaga penegak hukum dan penegakan hukum Indonesia
terpuruk di tengah-tengah arus perubahan jaman. Salah satu penegak hukum
yang seringkali mendapat sorotan adalah polisi, karena polisi merupakan
garda terdepan dalam penegakan hukum pidana, sehingga polisi dikatakan
sebagai hukum pidana yang hidup yang menterjemahkan dan menafsirkan law
in the book menjadi law in action. Or so Satjipto Raharadjo, said in his book
“Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia”.
Menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 : “Kepolisian Negara Republik
Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam negeri”
Polisi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum, bukan hanya harus
tunduk pada hukum yang berlaku sebagai aspek luar, mereka dibekali pula dengan
etika kepolisian sebagai aspek dalam kepolisian. Etika kepolisian adalah norma
tentang perilaku polisi untuk dijadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan
tugas yang baik bagi penegakan hukum, ketertiban umum dan keamanan
masyarakat. Polisi yang tidak beretika dan tak berintegritas dalam menjalankan
tugas, dalam pandangan masyarakat akan menjadi parasit keadilan. Karena mereka
sudah seharusnya menjadi contoh tegak nya hukum, jika polisi melakukan suatu
pelanggaran, citra yang tertanam di Masyarakat menjadi enggan berhubungan
dengan polisi atau lembaga kepolisian karena dianggap menjadi mesin terror dan
horror.
Lembaga kepolisian adalah bagian menurut sistem pemerintahan negara, yg
menjalankan fungsi pemerintahan pada menjaga ketertiban dan penegakan aturan
yg sebagaimana sudah dirumuskan pada Pasal 2 Undang-Undang No. dua Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa : ”Fungsi Kepolisian
adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat”.6 Visi dan misi memelihara dan menjaga keamanan
dan ketertiban tanpa menimbulkan gangguan sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri) bahwa: Tugas pokok Kepolisian Negara Indonesia adalah: a.
Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. b. Menegakkan hukum, dan c.
Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Sebagai sebuah institusi yang memiliki tugas dalam memberikan perlindungan
dan menegakkan hukum, maka tentu hal ini memiliki tantangan tersendiri bagi
Polri untuk menjaga profesionalisme dan integritas mereka terhadap masyarakat
serta tanggung jawab kepada negara. Badai yang menimpa Polri melalui beberapa
kasus yang menimpa anggota mereka menjadi sebuah pecutan keras bahwa Polri
harus membenahi diri dan memperbaiki kualitas institusi mereka,
salah satunya adalah penembakan yang terjadi antara anggota Polri yang
dilakukan oleh salah satu petinggi Polri, Irjen Pol. Ferdy Sambo kepada anak
buahnya yaitu Brigadir Nofriansyah Josua Hutabarat dengan memerintahkan
salah satu anak buah dari Ferdy Sambo yaitu Bharada Richard Eliezer sedang
menjadi pembicaraan dan perhatian segenap masyarakat Indonesia, sejak tulisan ini
dibuat kasus ini pun sedang dalam proses persidangan.

KRONOLOGI SINGKAT KASUS BRIGADIR J

Ferdy Sambo, S.H., S.I.K., M.H. adalah seorang mantan perwira tinggi polri. Ia
terakhir kali menjabat sebagai Kadiv Propam Polri yang dimutasikan sebagai Pati
(Pejabat Tinggi) Yanma Polri dengan pangkat Inspektur Jendral Polisi. Ferdy Sambo
merupakan lulusan Akademik Kepolisian pada tahun 1994. Kemudian Putri
Candrawathi adalah seorang istri dari Irjen Pol Ferdy Sambo mantan Kadiv Propam
Polri. Putri Candrawathi berprofesi sebagai Dokter Gigi. Novriansyah Yosua
Hutabarat atau nama panggilan Prian (Brigadir J) adalah seorang ajudan Irjen Ferdy
Sambo. Seorang anggota polisi berpangkat Brigadir Polri, lulusan pada tahun 2012.
Richard Eliezer Pudihang Lumiu, Bharada E lahir di Manado. Richard merupakan
anggota polisi berpangkat Bhayangkara Dua (Bharada E) atau golongan Tamtama.
Selanjutnya, ada Kuat Ma’ruf adalah seorang warga sipil yang bekerja sebagai
Asisten Rumah Tangga (ART) Ferdy Sambo dan sebagai sopir pribadi Putri
Candrawathi.

Pada tanggal 11 Juli 2022, maraknya berita kasus tembak-menembak di duren 3


Jakarta Selatan, dirumah dinas Ferdy Sambo. Awal mula, ketika Ferdy Sambo yang
sebelumnya menjabat Kadiv Propam Polri membuat laporan ke Polres Metro Jakarta
Selatan. Ferdy Saambo melaporkan adanya kontak tembak-menembak antara
Brigadir J dengan Bharada E. Tembak-menembak ini terjadi disebut karena Brigadir
J melakukan pelecehan terhadap Putri Candrawati yaitu istri dari Ferdy Sambo.8
Peristiwa ini dilakukan oleh oknum kepolisian yang telah mencoreng instansi
Kepolisian Republik Indonesia. Peristiwa kasus ini tentunya menjadi sorotan publik
terutama bagi masyarakat indonesia, berita ini tidak hanya tersebar dalam negeri
bahkan sudah tersebar luas sampai ke luar negeri. Pada kasus ini melibatkan
Brigadir J dan Bharada E, keduanya adalah ajudan Ferdy Sambo.

Pada hari Jum’at, tanggal 8 Juli 2022. Brigadir J tewas. Peristiwa ini berawal dengan
diduga karena kasus pelecehan yang dilakukan oleh Brigadir J kepada istri Ferdy
Sambo, yang pada saat itu Ferdy Sambo sedang tidak ada dirumahnya. Dalam
tahap penyelidikan kematian Brigadir J, dengan adanya desakan publik yang curiga
adanya rekayasa pada kasus tewasnya Brigadir J. Kapolri Jendral L.Sigit
membentuk Tim Khusus, yang dipimpin oleh Wakapolri Komjen Gatot. Berdasarkan
SPRIN Nomor SPRIN/5647/VII/HUK.12.1/2022.

Pada tanggal 18 Juli 2022. Irjen Pol Ferdy Sambo dinonaktifkan sebagai Kadiv
Propam Polri. Kemudian, pada tanggal 27 Juli 2022, Jenazah Brigadir J diautopsi
ulang, dengan autopsi ulang demi keterbukaan dan diharapkan terungkap penyebab
kematian Brigadir J. Jenazah Brigadir J, dimakamkan secara kedinasan.

Pada tanggal 03 Agustus 2022. Timsus menetapkan Bharada E sebagai tersangka.


Bharada E dijeratkan Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Sehari
setelah ditetapkan Bharada E sebagai tersangka. Pada tanggal 04 Agustus 2022,
Kapolri mencopot Ferdy Sambo dan 14 perwira tinggi serta perwira menengah
lainnya. Ferdy Sambo dimutasi menjadi Pati dimarkas Pelayanan (Yanma) Polri.
Selanjutnya, pada hari sabtu tanggal 06 Agustus 2022. Ferdy Sambo ditempatkan di
Mako Brimob Kelapa Dua Depok selama 30 hari. Diduga melanggar kode etik
karena ketidakprofesionalan dalam olah tempat kejadian perkara (TKP)
penembakkan Brigadir J.

Kemudian, pada tanggal 07 Agustus 2022, Timsus menetapkan tersangka baru yaitu
Brigadir Ricky yang merupakan ajudan dari istri Irjen Ferdy Sambo. Pada tanggal 08
Agutus 2022, Bharada E mengaku tidak adanya baku tembak. Tentunya pernyataan
ini bertolak belakang dengan narasi awal yang menyebut Brigadir J tewas karena
baku tembak dengan Bharada E. Pada tanggal 09 Agustus 2022, Ferdy Sambo
ditetapkan sebagai tersangka karena disebut memberikan perintah kepada Bharada
E untuk membunuh Brigadir J. KaBareskim Komjen Agus menyatakan, Ferdy
Sambo memiliki peran yang besar terhadap kasus Brigadir J. Insiden ini dibuat
seolah-olah adanya terjadi tembak-menembak yang diatur skenarionya oleh Ferdy
Sambo.

Dalam peristiwa kasus ini, ditetapkan 5 tersangka kasus pembunuhan Brigadir J


yaitu : Ferdy Sambo, Putri candrawathi, Bharada Eliezer, Bripka Ricky Rizal dan
Kuat Ma’ruf (supir dari Istri Ferdy Sambo). Pasal yang dijatuhkan yaitu Pasal 340
KUHP tentang Pembunuhan Berencana dan Pasal 49 UU ITE terkait Obstruction Of
Justice atau menghalangi proses hukum. Jaksa menilai Ferdy Sambo terbukti
melakukan tindak pidana pembunuhan berencana Brigadir J sesuai dengan Pasal
340 Junto Pasal 55 ayat ke-1 KUHP. Jaksa juga menilai unsur pembunuhan
berencana, merampas nyawa orang lain dan unsur lain dalam Pasal 340, terpenuhi.
Secara hukum, delik komisionis berlaku kepada seluruh orang yang ada di tempat
kejadian tersebut. Termasuk peran masingmasing dan perbuatannya serta
pembuktian dengan dua alat bukti. Delik komisionis, yakni pelanggaran terhadap
sesuatu yang diatur dalam undang-undang.

Kelimanya diduga melakukan pembunuhan berencana dan dijerat Pasal 340 KUHP
Subsider Pasal 338 Juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman
minimal/selama-lamanya 20 tahun penjara. Seiring berjalannya waktu, fakta-fakta
mulai terungkap. Dimulai dengan adanya hambatan penyidikan seperti intimidasi,
tekanan, intervensi, hingga menghilangkan barang bukti yang dilakukan oleh
beberapa anak buah Ferdy Sambo. Termasuk fakta CCTV yang ada di pos satpam,
diambil oleh Oknum Personel Divisi Propam Polri dan Bareskim Polri. Diduga yang
rekaman CCTV pada kasus ini adalah Kompol Chuck Putranto. Bharada E
mengungkapkan semua fakta, termasuk pembunuhan berencana yang didalangi
oleh Ferdy Sambo. Dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J, Ferdy
Sambo sudah menjalani sidang Komisi Kode Etik pada Kamis, 25 Agustus 2022.
Rekontruksi ulang Brigadir J pun sudah dilaksanakan pada selasa, 30 Agustus 2022.

Dugaan Motif Pembunuhan Brigadir J: Perselingkuhan atau Pelecehan Seksual.


Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebutkan motif pembunuhan berencana
terhadap Brigadir J. Ada dua motif yang sedang didalami, pelecehan seksual dan
perselingkuhan. “Ferdy Sambo mengatakan dirinya marah dan emosi setelah
mendapat laporan dari istrinya Putri Candrawathi yang telah mengalami tindakan
yang melukai harkat dan martabat keluarga yang terjadi di Magelang oleh Brigadir
J.” Ujar Ferdy Sambo di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, Kamis 11 Agustus 2022.

FAKTOR NON-YURIDIS
Irjen Pol Ferdy Sambo adalah salah satu terdakwa yang banyak disorot publik
karena dianggap otak dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Dari beberapa
terdakwa, Ferdy Sambo merupakan terdakwa pertama yang dijatuhi vonis oleh
Majelis Hakim. Dari tuntutan pidana seumur hidup, Majelis Hakim menjatuhkan vonis
lebih tinggi yakni pidana mati. Menilai vonis yang dijatuhkan tersebut, tidak semata-
mata didasarkan pada faktor yuridis. Namun juga faktor non-yuridis seperti kedaan
terdakwa, cara terdakwa melakukan tindak pidana, keadaan korban tindak pidana,
dan lainnya.

Menurut Majelis Hakim, ada banyak alasan yang memperberat pidana Ferdy
Sambo, antara lain kedudukan Ferdy Sambo sebagai Kadiv Propam Polri, korban
adalah ajudan yang telah mengabdi selama 3 tahun, perbuatan Ferdy Sambo
mengakibatkan duka yang mendalam bagi keluarga korban, dan perbuatan Ferdy
Sambo menimbulkan keresahan bagi masyarakat luas. Penjatuhan pidana mati
menunjukkan bahwa hakim cenderung menggunakan teori tujuan pemidanaan
retributif atau pembalasan (quia peccatum) dengan berpandangan bahwa perbuatan
Ferdy Sambo yang sangat keji dan tidak manusiawi patut diganjar dengan pidana
yang setimpal (talio beginsel)

PUTUSAN AKHIR

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membacakan hasil akhir dari putusan kasus
Ferdy Sambo pada Senin tanggal 13 Februari 2023. Hasilnya, memvonis Ferdy
Sambo hukuman pidana mati dan memvonis Putri Chandrawathi dengan 20 tahun
penjara. Setelah adanya hasil putusan tersebut, Ferdy Sambo mengajukan
permohonan banding atas putusan hakim. Pejabat Humas PT DKI Jakarta Binsar
Pamopo Pakpahan menjelaskan perkara banding Sambo Cs telah diterima,
diregister, dan ditangani oleh majelis hakim yang ditunjuk. Namun, Majelis Hakim
banding memutuskan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang
menjatuhkan tetap memvonis hukuman pidana mati.

Keberhasilan pelaksanaan tugas kepolisian negara republik indonesai dalam


memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan
melindungi mengayomi masyarakat serta melayani masyarakat selain ditentukan
oleh kualitas pengetahuan dan keterampilan teknis kepolisian yang tinggi sangat
ditentukan oleh etika perilaku terpuji setiap anggota Kepolisian negara Republik
Indonesia ditengah masyarakat sangat ditentukan oleh pengetahuan dan
keterampilan teknis. Guna mewujudkan sifat kepribadian tersebut setiap anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugasnya dan
wewenangnya senantiasa terpanggil untuk menghayati dan menjiwai etika profesi
kepolisian yang tercermin pada sikap perilakunya sehingga terhindar dari perbuatan
dan penyalahgunaan wewenang. Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai
tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh pancasila serta mencerminkan jati diri setiap
anggota kepolisian negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang
meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan.
Merujuk pada Peraturan kepala Kepolisian Republik Indonsia Nomor 7 Tahun 2002
Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia , kode etik profesi Polri
adalah norma norma atau aturan aturan yang merupakan kesatuan landasan etik
atau filosofis dengan peraturan perilaku maupun ucapan mengani hal hal yang
diwajibkan, dilarang, atau tidak patut dilakukan Polri.

Dari kasus ini telah dilakukan sidang etik terhadap eks Kadiv Propam Polri Ferdy
Sambo, tersangka pembunuhan Brigadir J. Tercatat sudah 24 anggota polisi terbukti
melakukan pelanggaran etik di kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah
Yosua Hutabarat alias di rumah Irjen Ferdy Sambo. Hal ini resmi tertuang dalam
Surat Telegram Kapolri dengan nomor ST/1751/VIII/KEP./2022 tertanggal 22
Agustus 2022 yang ditandatangani AS SDM Polri Irjen Pol Wahyu Widada.
Pelanggaran tersebut diketahui disebabkan karena telah membantu tersangka Irjen
Pol Ferdy Sambo untuk menghalangi penyidikan kematian Brigadir J. Dengan
demikian, anggota tersebut dianggap tidak profesional dalam menjalankan tugas.
Aturan kode etik tertuang dalam Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Negara
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian.
Merujuk Perkap tersebut, ada empat kode etik yang perlu diketahui di antaranya
etika kenegaraan, etika kelembagaan, etika kemasyarakatan, etika kemasyarakatan.

Dari hasil sidang kode etik, ada tujuh kode etik yang dilanggar Sambo dalam perkara
kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua (Brigadir J). Ketujuh kode
etik itu merujuk pada aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian RI dan Peraturan
Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik
Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Tujuh pelanggaran etik Sambo itu adalah sebagai berikut:

1. Pasal 13 ayat 1 PP 1/2003 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf B Perpol 7/2022

Anggota Kepolisian RI dapat diberhentikan tidak hormat dari dinas Polri karena
melanggar sumpah atau janji anggota Polri, sumpah atau janji jabatan, dan atau
kode etik Polri juncto setiap pejabat Polri dalam etika kelembagaan wajib menjaga
dan meningkatkan citra, soliditas, kredibilitas, reputasi, dan kehormatan.

2. Pasal 13 ayat 1 PP 1/2003 juncto Pasal 8 huruf C Perpol 7/2022


Anggota Kepolisian RI dapat diberhentikan tidak hormat dari dinas Polri karena
melanggar sumpah atau janji anggota Polri, sumpah atau janji jabatan, dan atau
kode etik Polri juncto setiap pejabat Oolri dalam etika kepbribadian wajib jujur,
bertanggung jawab, disiplin, adil, peduli, tegas, dan humanis.
3. Pasal 13 ayat 1 PP 1/2003 juncto Pasal 8 huruf C angka 1 Perpol 7/2002 Bunyi:
Anggota Kepolisian RI dapat diberhentikan tidak hormat dari dinas Polri karena
melanggar sumpah atau janji anggota Polri, sumpah atau janji jabatan, dan atau
kode etik Polri juncto setiap pejabat Polri dalam etika kepribadian wajib mentaati dan
menghormati norma hukum.

4. Pasal 13 ayat 1 PP 1/2003 juncto Pasal 10 ayat 1 huruf F Perpol 7/2022 Bunyi:
Anggota Kepolisian RI dapat diberhentikan tidak hormat dari dinas Polri karena
melanggar sumpah atau janji anggota Polri, sumpah atau janji jabatan, dan atau
kode etik Polri juncto setiap pejabat Polri dalam etika kelembagaan dilarang
melakukan permufakatan pelanggaran kepp, atau disiplin atau tindak pidana.

5. Pasal 13 ayat 1 PP 1/2003 juncto Pasal 11 ayat 1 huruf A Perpol 7/2022 Bunyi:
Anggota Kepolisian RI dapat diberhentikan tidak hormat dari dinas Polri karena
melanggar sumpah atau janji anggota Polri, sumpah atau janji jabatan, dan atau
kode etik Polri juncto setiap pejabat polri sebagai atasan dilarang berikan perintah yg
bertentangan dgn norma hukum, agamam dan kesusilaan.

6. Pasal 13 ayat 1 PP 1/2003 juncto Pasal 11 ayat 1 huruf B Perpol 7/2022 Bunyi:
Anggota Kepolisian RI dapat diberhentikan tidak hormat dari dinas Polri karena
melanggar sumpah atau janji anggota Polri, sumpah atau janji jabatan, dan atau
kode etik Polri juncto setiap pejabat Polri yang berkekedudukan sebagai atasan
dilarang menggunakan wewenangnya secara tidak bertanggung jawab.

7. Pasal 13 ayat 1 PP 1/2003 juncto Pasal 13 huruf M Perpol 7/2022 Bunyi: Anggota
Kepolisian RI dapat diberhentikan tidak hormat dari dinas Polri karena melanggar
sumpah atau janji anggota Polri, sumpah atau janji jabatan, dan atau kode etik Polri
juncto setiap pejabat Polri, dalam etika kepribadian dilarang melakukan tindakan
kekerasan, berperilaku kasar, dan tidak patut.

Wajah Polri Presisi yang telah berhasil dicapai harus ternodai tatkala
munculnya kasus penembakan tersebut, menurunnya tingkat kepercayaan
masyarakat menjadi sebuah catatan penting bagi Polri bahwa hal ini harus menjadi
batu loncatan mereka agar segera melakukan evaluasi dan perubahan dalam
rangka merebut kembali kepercayaan masyarakat.

Namun, dari yang penulis lihat, selain dari putusan hakim yang memberikan ferdy
sambo hukuman mati membuat masyarakat puas, meski belum tentu
mengembalikan kepercayaan msyarakat terhadap instansi kepolisian sepenuhnya,
salah satu upaya yang dilakukan kepolisian republik indonesia dalam membuat
situasi dari kasus ini kondusif dalam artian tidak ada yang ditutup-tutupi dan keadilan
berlaku bagi setiap orang bahkan untuk penegak hukum itu sendiri, kepolisian
republik indonesia setidaknya trasnparan dalam memeberikan pengawalan terhadap
perkembangan kasus ini. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa terlepas dari kasus
tersebut diatas, kejahatan yang dilakukan oleh seorang penegak hukum tidak hanya
polisi, kode etik menjadi penyeimbang segi negatif profesi disetiap institusi. Dengan
adanya kode etik kepercayaan masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat,
karena setiap kliem mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin.
Kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan
sekaligus juga menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat. Supaya kode
etik berfungsi dengan baik, kode etik harus menjadi self-regulation (pengaturan diri)
dari profesi. Dengan membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan hitas atas
putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya hakiki, yang
tidak pernah dipaksakan dari luar.

Code of Ethics of the Indonesian National Police


The police must adhere to the Code of Ethics of the Indonesian National Police in
carrying out their duties. Violations of the Code of Ethics can result in punishment.
The Code of Ethics of the Indonesian National Police is outlined in the Chief of the
National Police Regulation of the Republic of Indonesia Number 14 Year 2011
concerning the Code of Ethics of the Indonesian National Police.
The regulation consists of four scopes of the police code of ethics. The first scope is
national ethics, which refers to the moral attitude of police officers towards the
Unitary State of the Republic of Indonesia, Pancasila, the 1945 Constitution of the
Republic of Indonesia, and national cultural diversity.
The second scope is societal ethics, which refers to the moral attitude of police
officers in maintaining public security and order, enforcing the law, and protecting,
nurturing, and serving the community while respecting local wisdom in Indonesian
culture.
The third scope is institutional ethics, which refers to the moral attitude of police
officers towards the institution that serves as a vessel for their dedication and should
be respected as the physical and spiritual bond of all Bhayangkara individuals, in
accordance with the values contained in the Tribrata (three principles of policing) and
Catur Prasetya (four principles of policing).
The fourth scope is personal ethics, which refers to the individual behavior and
attitude of police officers in religious life, obedience, compliance, and politeness in
family, community, nation, and state affairs.
Code of Ethics of the Indonesian National Police - National Scope
According to Chief of the National Police Regulation No. 14 Year 2011, the Code of
Ethics of the Indonesian National Police in the national scope requires:
a. Loyalty to the Unitary State of the Republic of Indonesia based on Pancasila and
the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia;
b. Safeguarding domestic security, including maintaining public security and order,
upholding the law, providing protection, guidance, and service to the community, and
ensuring community peace while upholding human rights;
c. Safeguarding the integrity of the territory of the Unitary State of the Republic of
Indonesia;
d. Safeguarding the unity of the nation in cultural diversity by upholding popular
sovereignty;
e. Prioritizing the interests of the nation and the Unitary State of the Republic of
Indonesia over personal, individual, or group interests;
f. Preserving and respecting the honor of the national flag (red and white), the
Indonesian language, the national symbol of Garuda Pancasila, and the national
anthem of Indonesia Raya in accordance with the provisions of the legislation;
g. Building cooperation with fellow state officials and state officials in carrying out
duties; and
h. Maintaining neutrality in political life.
Code of Ethics of the Indonesian National Police - Institutional Scope
According to Chief of the National Police Regulation No. 14 Year 2011, the Code of
Ethics of the Indonesian National Police in the institutional scope consists of:
1. Every police officer must:
a. Be loyal to the Indonesian National Police as a field of dedication to the
community, nation, and state, following and upholding the principles of Tribrata and
Catur Prasetya;
b. Preserve and enhance the image, solidarity, credibility, reputation, and honor of
the Indonesian National Police;
c. Carry out duties professionally, proportionally, and procedurally;
d. Follow duty orders to participate in education and training for career development
and improvement of police professionalism;
e. Follow duty orders for transfers related to personnel development, profession,
career, and enforcement of police discipline and code of ethics;
f. Comply with the hierarchy in carrying out duties;
g. Complete tasks diligently and responsibly;
h. Holding firmly to secrets that, by nature or by official order, must be kept
confidential.
i. Demonstrating leadership through exemplary behavior, obedience to the law,
honesty, fairness, and respecting and upholding human rights in carrying out duties.
j. Carrying out official orders in the context of disciplinary enforcement and internal
control based on reports/complaints from the public regarding alleged disciplinary
violations and/or violations of internal regulations, in accordance with their authority.
k. Carrying out official orders related to internal supervision within the Indonesian
National Police (Polri) in order to strengthen the Government Internal Control System
(SPIP).

l. Respecting differing opinions expressed in a polite and courteous manner during


meetings, sessions, or official gatherings.
m. Complying with and adhering to the decisions agreed upon in meetings,
sessions, or official gatherings.
n. Prioritizing gender equality and justice in carrying out duties.
o. Prioritizing the submission of objections or complaints to the Ankum (Internal
Affairs) or Superior Ankum regarding decisions that are deemed contrary to legal
regulations before filing a lawsuit with the State Administrative Court (PTUN)
2. Every member of Polri holding a position as a Superior is obliged to:
a. Demonstrate servant leadership, exemplary behavior, being a problem-solving
consultant, and ensuring the quality of subordinates and the unit (quality assurance).
b. Follow up on and resolve task obstacles reported by subordinates within their
authority level.
c. Promptly resolve allegations of misconduct committed by subordinates.
3. Every member of Polri holding a position as a Subordinate is obliged to:
a. Report to superiors if encountering obstacles in carrying out tasks.
b. Carry out orders from superiors related to task execution, functions, and
authority.
c. Refuse orders from superiors that contradict legal norms, religious norms, and
ethical norms.
d. Report to the commanding officer who gave the order about the refusal to obtain
legal protection from the commanding officer.
4. Every member of Polri is obliged to:
a. Respect and honor each other in carrying out duties.
b. Collaborate to improve performance.
c. Report any violations of internal regulations, disciplinary rules, or criminal acts
committed by members of Polri directly to the authorized officials if witnessed or
known.
d. Show solidarity by upholding the principles of mutual respect.
e. Protect and provide assistance to those injured and/or deceased in the line of
duty.

Polri's Code of Ethics within the community scope:


Every member of Polri is obliged to:
a. Respect the dignity and human rights of individuals based on the fundamental
principles of human rights.
b. Uphold the principle of equality for every citizen before the law.
c. Provide services to the public quickly, accurately, easily, comfortably,
transparently, and accountably based on legal regulations.
d. Take the necessary initial police actions as required in police duties, whether on
duty or off duty.
e. Provide public information services to the community in accordance with legal
regulations.
f. Uphold honesty, truth, justice, and maintain honor in dealing with the public.
Polri's Code of Ethics within the personal scope:
Every member of Polri is obliged to:
a. Have faith and devotion to the One Supreme God.
b. Behave honestly, trustworthily, responsibly, disciplined, cooperative, fair, caring,
responsive, firm, and humanistic.
c. Observe and respect moral norms, religious norms, local wisdom values, and
legal norms.
d. Maintain and nurture a civilized family, community, nation, and state life.
e. Carry out national, institutional, and community duties with sincere and correct
intentions as a concrete form of worship.
Polri telah melakukan banyak perubahan dan transformasi dari sejak lahirnya
institusi ini, namun sebagai sebuah perangkat negara yang menjadi garda terdepan
dalam melakukan perlindungan dan penegakkan hukum tentu sudah wajib untuk
tidak pernah melakukan perubahan, evaluasi, dan pengembangan institusi. Tidak
dapat dipungkiri bahwa badai kasus yang menimpa Polri ini seakan membuka sisi
gelap yang menjangkiti Polri, pelanggaran, kejahatan, dan penyimpangan yang
terjadi dalam institusi ini seakan menjadi sel kanker yang terus berkembang, jika
memang seperti itu maka serangkaian kasus di atas dapat menjadi diagnose
penyakit di Kepolisian, dan kini saat yang tepat untuk mulai memberantas penyakit
tersebut.
Meski demikian, Melihat begitu banyaknya tanggung jawab yang diberikan kepada
institusi ini begitu besar membuat kita seringkali lupa bahwa anggota polisi juga
seorang manusia yang tak luput dari kesalahan. Namun memang di sisi lain seorang
anggota kepolisian adalah merupakan anak-anak terbaik bangsa, dan mereka yang
terpanggil untuk mengabdi kepada negara harus melalui banyak tahapan serta tes
yang mencakup fisik, psikologi, dan pengetahuan. Hal ini dilakukan agar para
anggota nantinya dapat memahami betul posisi mereka dan tanggung jawab yang
merekan emban, sehingga harus memperkecil kesalahan serta dapat selalu mampu
menjaga marwah mereka di mata masyarakat
Di sisi lain upaya dan evaluasi yang telah dilakukan Polri sudah terlihat, peneliti
sendiri melihat akan ada perubahan besar dalam pelayanan ke depannya oleh
anggota Polri, namun tentu ini tidak bisa menjadi tolak ukur untuk Polri menjadi
cepat puas, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan satu per satu
oleh institusi ini, penegakkan hukum tidak semudah membalikkan telapak tangan,
dan tidak semudah menarik garis lurus dengan dibuatkannya undang-undang,
penegakkan hukum adalah hal yang kompleks dan oleh karenanya Polri masih
harus bekerja keras yang tentu harus didukung oleh segenap masyarakat dan
seluruh stakeholder yang ada.

You might also like