You are on page 1of 3

OTORITAS AGAMA DI ERA COVID-19

Covid-19 membawa dampak buruk di seluruh dunia. Covid-19 merupakan


wabah yang pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China dan pada saat itu
sangat menggemparkan dunia. Covid-19 merupakan penyakit menular yang
ditimbulkan oleh virus SARS-CoV-2. Kebanyakan orang dapat dengan mudah
tertular virus ini dari kontak langsung dengan pasien Covid-19, dan mereka juga
dapat tertular ketika kita menyentuh mulut, mata, atau mulut kita setelah
menyentuh benda yang terkontaminasi. Virus ini menyerang sistem pernapasan
manusia yang mengakibatkan seseorang akan merasa sesak, batuk, dan flu. . Virus
ini biasanya dapat menyerang bayi, anak-anak, remaja, dewasa, lansia, ibu
menyusui bahkan ibu hamil. WHO menyatakan Covid-19 sebagai pandemi global
karena penyakit ini diderita hampir oleh seluruh manusia di dunia. Banyak korban
meninggal dalam pandemi tersebut. Dalam pandemi ini umat beragama di seluruh
dunia harus melalukan ibadah dari tempat tinggalnya masing-masing.
Pandemi Covid-19 sangat jelas membawa risiko keamanan fisik yang amat
berbahaya karena berdampak negatif bagi kesehatan. Oleh karena itu, tokoh
agama mengambil jalan tengah yaitu dengan mematuhi protokol kesehatan untuk
mencegah dan memutus mata rantai penularan Covid-19. Dengan melakukan
langkah 3M yaitu menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak
merupakan salah satu cara untuk meminimalisir seseorang tertular Covid-19.
Agama sangat berperan penting baik sebagai kekuatan konstruktif positif yang
membantu menahan wabah maupun sebagai kekuatan reaktif yang membantu
penyebaran virus di tengah pandemi global akibat penyebaran Covid-19. Sebagai
kekuatan positif, agama yang diwujudkan dalam bentuk otoritas keagamaan,
lembaga keagamaan, dan tokoh agama terlibat dalam implementasi pencegahan
dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari sosialisasi edukasi hingga pencegahan
penyebaran wabah di komunitas keagamaan.
Tokoh agama berperan penting sebagai kekuatan konstruktif,
mengeluarkan fatwa untuk menggantikan ibadah ritual keagamaan secara daring
atau di rumah, dan membatasi kegiatan keagamaan yang dilakukan secara
langsung. Dengan kebijakan melaksanakan ibadah di rumah masing-masing pada
saat pandemi Covid-19 menuai banyak pro dan kontra dari masyarakat. Hal
tersebut tidak bisa untuk dielak karena dengan melaksanakan ibadah di rumah
masing-masing dan membatasi ibadah yang dilakukan secara langsung adalah
salah satu cara yang paling efektif agar mengurangi penyebaran virus Covid-19.
Masyarakat berpikiran dengan adanya pembatasan ibadah kita akan dipersulit oleh
Allah untuk melewati pandemi ini tapi dalam hal yang sangat genting ini kita
harus bisa membaca situasi dan kondisinya. Para Imam dan Ustadz telah
meniadakan salat berjamaah dan salat jum’at di masjid dan menggantinya dengan
salat berjamaah di rumah, bahkan kegiatan salat tarawih dan ramadhan dilakukan
dari rumah, umat kristiani menggelar salat jum’at agung dan paskah dari rumah
Umat Hindu memiliki dari Bali yang menghilangkan hari raya Nyepi. Demi untuk
kebaikan bersama tokoh-tokoh agama melakukan hal tersebut.
Di sisi lain, agama juga bisa sebagai kekuatan reaktif dan berbahaya,
membantu penyebaran wabah ini melalui ritual keagamaan yang melibatkan
banyak orang. Fenomena ini terjadi di berbagai negara. Di Korea Selatan, pusat
penularan terbesar jemaat Kristen ada di Gereja Shincheonji, setengah dari korban
virus corona berasal dari jemaat gereja ini. Bersamaan dengan itu, acara tahunan
Jamaah Tabligh di Malaysia yang dihadiri oleh ribuan orang dari berbagai negara
menjadi pusat penyebaran virus ini di Malaysia, bahkan hingga Singapura dan
Indonesia. Di India, ketegangan antara umat Hindu dan Muslim belakangan ini
semakin meningkat akibat propaganda dan hasutan kebencian terkait masalah
Covid-19. "Sisi gelap" dari agama ini mencakup sikap menghina, meremehkan,
bahkan anti-ilmiah yang berkembang di kalangan beberapa pemuka agama dalam
menyikapi Covid-19. Di Indonesia, di mana otoritas dan lembaga keagamaan
masih berperan penting dalam masyarakat beragama, otoritas keagamaan secara
aktif merespons situasi pandemi Covid-19 dengan berbagai cara. Otoritas
keagamaan Islam dapat didefinisikan sebagai “titik acuan” dan identitas dalam
tradisi keagamaan tertentu, yang dikembangkan sebagai pengetahuan, agama,
kepercayaan, dan struktur simbolik yang direpresentasikan dalam pengalaman
ritual dan komunitas keagamaan.
Penyebaran wabah Covid-19 telah memicu reaksi beragam dari otoritas
agama Islam. Di kalangan pemuka agama ada yang sangat aktif dalam
pengurangan risiko tentang penyebaran wabah, tetapi ada juga yang terus
menyelidiki kerumunan bahkan menyebarkan informasi yang salah tentang
Covid-19. Tapi itu juga termasuk meningkatkan kesadaran publik dan pejabat
kesehatan memperingatkan pejabat agama bahwa mereka mulai menemukan titik
temu tentang cara menangani virus mematikan ini. Kita bisa melihat perubahan
sikap beberapa pemimpin agama ini. Misalnya dalam kasus virus, deklarasi UAS
bahwa corona adalah tentara Allah, UAS memberikan penjelasan dalam video
yang diunggah Media Taqwa menyatakan bahwa Deklarasi Corona bukan hanya
tentara Tuhan datang dari dirinya sendiri, tetapi juga pernyataan dari syekh dan
ahli Agama di Timur Tengah. Ada juga perubahan sikap UAS dikarenakan
memperoleh himbauan dari pemerintah pemerintah untuk selalu menjaga jarak
aman, riset berjalan secara online (daring). Para pemuka agama berperan positif
dalam mitigasi Covid-19 dilakukan dengan memindahkan uji coba terbuka ke uji
coba secara daring dan pelatihan daring serta memberikan bantuan bagi tenaga
medis dan masyarakat yang terdampak Covid-19.
Organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dll. juga berusaha
merespon situasi pandemi. Menurut Haedar Nashir (Republik, 17/04/2020),
langkah praktis Muhammadiyah adalah amalan kemanusiaan yang diajarkan KH
Ahmad Dahlan dalam tafsir Al Ma'un dan misi dakwah Nabi Muhammad sebagai
rahmat bagi seluruh umat manusia. . dunia Sebagai sarana edukasi publik,
Muhammadiyah memanfaatkan kanal medianya berupa “TVMu” dan
“Muhammadiyah Channel” yang memberikan informasi terkini tentang apa yang
terjadi di masyarakat. Muhammadiyah juga menawarkan layanan penyuluhan
agama di masa wabah melalui laman covid19.muhammadiyah.id atau bisa
langsung menghubungi Majlis Tarjih Muhammadiyah. Sedangkan terkait dengan
fatwa-fatwa tata cara beribadah di tengah pandemi dari Muhammadiyah dapat
diakses di situs pwmu.co.
NU juga berinisiatif mencegah dan menanggulangi corona. NU telah
membentuk satuan petugas khusus untuk menangani masalah Covid-19. Melalui
NUcare, NU juga memberikan bantuan masker di berbagai lokasi di Indonesia dan
luar negeri. Karena banyaknya informasi bohong tentang Corona, NU
mengembangkan fungsi Covid-19 untuk aplikasi GreenPages melalui Himpunan
Pengusaha (HPN) Nahdliyin. Fungsi ini menginformasikan perkembangan terkini
virus Covid-19 melalui sajian visual yang menarik (Ahmad, nu.or.id, 31/03/2020).
Di masa pandemi, NU aktif menyelenggarakan Bacaan Buku Online, Istighotsah
dan Shalat Bersama, polling online tokoh agama NU melalui channel YouTube-
nya dalam mendukung imbauan pemerintah dan fatwa MUI untuk beribadah di
rumah dan menghindari keramaian. NU juga sedang menggalang penjahit di
berbagai daerah untuk membuatkan masker untuk dibagikan secara gratis
(Yossihara, kompas.id, 19 April 2020).
Covid-19 menjadi polemik dunia yang mengakibatkan banyak korban
jiwa. Covid-19 adalah virus SARS-CoV-2 yang mudah menular. Dalam pandemi
Covid-19 agama menjadi otoritas dan berperan sebagai kekuatan konstruktif
dalam menangani persebaran Covid-19. Tokoh agama di Indonesia
memberlakukan sistem perbatasan ibadah di luar rumah jadi disarankan untuk
semua umat beragama di Indonesia untuk beribadah dari rumah masing-masing.
Hal ini dilakukan untuk meminimalisir persebaran Covid-19. Upaya merespons
situasi pandemi secara responsif juga dilakukan oleh ormas-ormas keagamaan
seperti NU, Muhammadiyah, dll.

You might also like