You are on page 1of 5

Mengindonesiakan Indonesia dari Ujung Negeri

Pada dasarnya, peran seorang guru adalah mengajar dan mendidik siswa sebagaimana
yang diamanatkan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Mengajar ialah
membuat siswa mengetahui sesuatu dan mampu melakukan sesuatu. Sementara itu, mendidik
dapat membentuk karakter siswa. Guru yang hebat ialah guru yang mampu menerapkan
keduanya, yakni mampu mengajar dengan baik dan mampu mendidik dengan hati.
Perihal peran guru, setiap masing-masing guru mata pelajaran punya peranan masing-
masing. Termasuk seorang guru Bahasa Indonesia. Ia punya peranan dan tanggung jawab dalam
membiasakan siswa dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa Indonesia
dikatakan baik bila sesuai dengan konteks penggunaannya, bahasa formal atau nonformal.
Bahasa Indonesia yang benar ialah bila penggunaan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah,
mengacu pada tata bahasa baku, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), dan EBI (Ejaan Bahasa
Indonesia). Begitulah peran guru Bahasa Indonesia. Terpenting ialah ia harus mampu
membangun kesadaran siswa dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Relevansi antara peran guru Bahasa Indonesia dengan kondisi faktual di lapangan
semakin mengonkretkan betapa pentingnya wacana keindonesiaan. Yang di dalamnya meliputi
kesadaran berbahasa Indonesia. Terlebih di ujung negeri atau di daerah-daerah 3T (terdepan,
terluar, dan tertinggal) wacana keindonesiaan amat penting untuk digaungkan dan
diimplementasikan. Kondisi riil di lapangan, khususnya di sekolah-sekolah yang ada di 3T,
kemampuan para siswa berbahasa Indonesia amat memprihatinkan, ditambah tidak ada
kesadaran dan rasa ingin mencintai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Hal yang lebih miris lagi, mengacu pada data LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintahan) Kemendikbud 2016, khusus di daerah 3T misalnya provinsi NTT
(terdapat 10, 92% penduduk yang masih buta aksara) dan Papua (terdapat 30,93%) penduduk
yang masih buta aksara). Begitupun di provinsi Sumatera Utara terdapat 1,76% penduduk masih
buta aksara dan provinsi-provinsi lainnya yang terdapat daerah terkategori 3T. Dengan demikian,
ini menjadi tamparan tidak hanya bagi pemerintah. Namun juga, untuk para guru Bahasa
Indonesia. Berarti pula peran para guru Bahasa Indonesia, khususnya di 3T masih belum
maksimal.
Adapun salah satu program afirmasi dari pemerintah untuk percepatan akses pendidikan
di daerah 3T ialah SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) yang
telah berakhir tahun 2016-2017 lalu pada angkatan VI. Dalam program tersebut terlibat berbagai
bidang studi keguruan, termasuk prodi Pendidikan Bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, ini menjadi
ajang bagi para guru Bahasa Indonesia untuk melaksanakan sebuah pengabdian mulia,
“Mengindonesiakan Indonesia dari Ujung Negeri”. Artinya, para guru Bahasa Indonesia
mempunyai kesempatan berharga mengimplementasikan wacana keindonesian (meliputi
kecintaan terhadap Indonesia, kesadaran berbahasa Indonesia yang baik dan benar, dan
kebanggan menggunakan bahasa Indonesia sebagai nasional) di daerah 3T.
Pada SM-3T Angkatan VI tahun 2016-2017 jumlah guru Bahasa Indonesia yang bertugas
ke daerah 3T selama setahun ialah 195 orang dari 12 LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan) dan ditempatkan di 56 kabupaten se-Indonesia. Merekalah yang akan menjadi
garda terdepan yang akan memperjuangkan wacana keindonesiaan. Harapan besar tertumpu pada
mereka, mereka bagian dari 2996 orang guru dari semua prodi yang dikirim ke daerah 3T.
Pengabdian, sebuah kata yang mudah diucapkan dan sulit untuk dilaksanakan. Namun,
para guru SM-3T telah membuktikannya. Terkhusus para guru SM-3T mapel Bahasa Indonesia
yang telah banyak berkontribusi terhadap perkembangan wacana keindonesia di daerah 3T. Bila
didedahkan satu persatu cerita para guru SM-3T, maka akan ada banyak sekali kisah-kisah yang
menghasilkan kebermanfaatan baik bagi sekolah, masyarakat, dan guru SM-3T sendiri.
Misalnya, di daerah Sumatera Utara, terdapat dua kabupaten yang mendapat bantuan guru SM-
3T, yakni Kabupaten Nias Selatan dan Kabupaten Nias Barat. Pada kedua kabupaten tersebut
masih terdapat daerah 3T, sehingga pengiriman guru akan sangat membantu percepatan dan
pemerataan pendidikan. Dalam hal ini, yang akan didedahkan ialah bagaimana peneraparan atau
pengimpementasian wacana keindonesia di Kabuputen Nias Selatan.
Kabupaten Nias Selatan merupakan daerah yang tertinggal dalam hal pendidikan. Oleh
karenanya, dikirimlah para guru SM-3T. Di kabupaten tersebut terdapat 3 orang guru Bahasa
Indonesia. Tersebar di 3 sekolah, yakni di SMP Negeri 2 Mazou, SMP Negeri 2 Umbunasi, dan
SMP Negeri 4 Huruna. Selama masa penugasan para guru Bahasa Indonesia dihadapkan pada
kondisi yang tidak biasa. Kondisi nyata di mana banyak keterbatasan yang ditemui.
Guru SM-3T yang mengajar dan mendidik di sekolah-sekolah di Kabupaten Nias Selatan
mendapatkan banyak tantangan. Realitas sosial masyarakat di pelosok Nias turut menciptakan
kondisi para siswa tidak terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan, tampak sebagian
besar para siswa belum memiliki kebanggan berbahasa Indonesia. Lingkungan masyarakat yang
mayoritas berbahasa ibu, bahasa Nias membuat para siswa cenderung lebih bangga dan merasa
senang berbahasa daerah. Dalam hal ini, bukan berarti siswa tidak boleh berbahasa daerah.
Namun, sayangnya, dalam berkegiatan di sekolah baik itu pembelajaran maupun berkomunikasi
dengan guru, mereka lebih sering menggunakan bahasa Nias.
Adapun hal yang membuat ironis ialah ketika di penempatan banyak guru Bahasa
Indonesia asli di daerah tersebut tidak benar-benar mengajarkan berbahasa Indonesia yang baik
dan benar. Justru cenderung mengajar asal bisa berbahasa Indonesia tapi tidak menanamkan
kecintaan terhadap bahasa Indonesia kepada siswa. Bila diidentifikasi, kelemahan utama
pembelajaran Bahasa Indonesia terletak pada jenjang sekolah dasar. Banyak siswa yang sengaja
diluluskan untuk melanjutkan ke tingkat sekolah menengah pertama, padahal faktanya siswa
tersebut belum lancar membaca atau menulis. Ketuntasan pembelajaran tidak tercapai di jenjang
dasar, dan menjadi beban pada jenjang selanjutnya.
Datangnya para guru SM-3T mapel Bahasa Indonesia, sedikitnya memberikan berbagai
pengaruh positif kepada kondisi pembelajaran berbahasa Indonesia. Mulai ada kesadaran dari
diri para siswa untuk mau mencintai dan menggunakan bahasa Indonesia dengan bimbingan guru
Bahasa Indonesia. Guru SM-3T mapel Bahasa Indonesia juga menjadi pemodelan bagi para
siswa untuk meniru dalam berbahasa Indonesia. Di situlah akan timbul bagaimana guru punya
peran dalam mendidik, melalui mencontohkan agar siswa dapat meniru hal positif dari gurunya.
Di samping itu, untuk mengatasi kemampuan berbahasa Indonesia yang lemah dari para siswa
dengan menerapkan bimbingan belajar. Spesifikasinya pada bimbingan membaca dan menulis
serta keterampilan-keterampilan berbahasa Indonesia lainnya. Kegiatan tersebut dilakukan para
guru SM-3T selama masa pengabdian. Belum lagi, para guru SM-3T menjadi agen literasi. Guru
SM-3T membawa ragam bacaan dan menyalurkan donasi buku-buku ke daerah 3T. Setidaknya,
sepeninggal para guru dari tempat tugas, ada bekal berharga bagi para siswa, mereka dapat
mengenal keindonesiaan yang sesungguhnya.
Kabupaten Asmat ialah salah satu kabupaten di Papua yang hampir setiap tahun
mendapat bantuan guru SM-3T (SM-3T Angkatan I-VI). Khusus guru Bahasa Indonesia,
terdapat 3 orang guru yang dikirim ke kabupaten tersebut. Ditempatkan di sekolah-sekolah di
berbagai distrik yang tergolong pedalaman dengan akses yang sulit. Ada yang ditempatkan di
SMP Negeri 1 Sawaerma, di SMP Negeri 1 Bayun, dan di SD Inpres Pos. Para guru SM-3T
berhadapan dengan para siswa yang rata-rata tingkat keterampilan berbahasanya masih rendah.
Selain itu, bahasa ibu yang mereka gunakan ialah bahasa Asmat. Namun, berbeda dengan di
Nias. Di Asmat terkadang orang tua, jangankan mengajari anaknya, malah mereka tidak
mengerti sama sekali bahasa Indonesia. Mengacu pada data buta aksara yang cukup tinggi, maka
tidak aneh ketika para guru SM-3T, khususnya mapel Bahasa Indonesia, mereka mengajar
membaca dan menulis pada tingkat dasar. Banyak ditemui para siswa pada jenjang SMP, bahkan
SMA yang masih belum bisa membaca kalimat dengan benar.
Kondisi di Asmat diperparah dengan sulitnya akses menuju penempatan dan kurangnya
tenaga pendidik. Hal ini berimplikasi pada kesadaran para siswa untuk menghayati
keindonesiaannya. Dengan hadirnya para guru SM-3T, khususnya mapel Bahasa Indonesia
sedikitnya dapat memberikan perubahan dan perbaikan dalam cara belajar dan pemahaman para
siswa. Pembelajaran di kelas guru dengan ekstra mengajari para siswa, kalau bahasa para
siswanya, “guru mengajar dengan kasih, bukan dengan rotan (dipukul)”. Selain itu, diberikan
juga pendidikan karakter agar mereka bisa memiliki pribadi yang santun dan beretika. Guru SM-
3T mapel Bahasa Indonesia bersama guru setempat menggerakkan kegiatan perpustakaan
sekolah, berbekal buku pribadi, sedikit buku dari bantuan pemerintah pusat, dan buku hasil
donasi dari para relawan. Para guru SM-3T mengadakan kegiatan bimbingan baca tulis dasar,
mengenalkan huruf dan mengeja perlahan sampai para siswa dapat mencapai kemampuan yang
diharapkan.
Dua daerah yang didedahkan tersebut hanyalah sebagian kecil daerah yang benar-benar
membutuhkan adanya peran guru SM-3T. Dalam hal ini, guru Bahasa Indonesia yang bertugas,
benar-benar mempunyai peranan yang amat penting. Di pelosok, hal dasar yang harus dilakukan
ialah mengindonesiakan Indonesia, melalui mengajarkan Bahasa Indonesia yang baik dan benar,
menyadarkan para siswa akan pentingnya mencintai bahasa Indonesia, dan membuat mereka
memiliki rasa bangga terhadap bahasa Indonesia. Apa yang dilakukan tersebut tidak lain adalah
bentuk pengabdian kepada bangsa.
Oleh sebab itu, wacana keindonesiaan dari ujung negeri (daerah 3T) yang berkaitan
dengan kecintaan terhadap Indonesia, kesadaran berbahasa Indonesia yang baik dan benar, dan
kebanggan menggunakan bahasa Indonesia sebagai nasional bisa terimplementasikan dengan
baik. Melalui program afirmasi dari pemerintah, terlebih setelah usainya program SM-3T, lahir
program-program lanjutan seperti GGD (Guru Garis Depan) dan SGD (Sekolah Garis Depan),
besar harapan dan keinginan agar slogan mengindonesiakan Indonesia benar-benar bisa
terealisasi. Bukankah itu bagian dari Nawacita yang digadang-gadang pemerintah selama ini?
Membangun daerah dari pinggiran. Semoga saja.

Bandung, 26 April 2018

Biodata Penulis

Indra Nur Rohimat, S.Pd.


Lahir di Majalengka 14 April 1993 dan dibesarkan di Cirebon. Pernah menempuh pendidikan di
Unswagati Cirebon. Setelah lulus kuliah, penulis mengikuti program SM-3T (Sarjana Mendidik
di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) Angkatan VI dan bertugas menjadi guru bantu
selama setahun di Kabupaten Nias Selatan. Kini penulis sedang menyelesaikan PPG pascaSM-
3T VI, Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

You might also like