You are on page 1of 4

BAB V

PRODUKSI UJARAN

PENGANTAR

Bahwa produksi kalimat tidak hanya memerlukan proses psikogis untuk meramu unsur-
unsur yang akan kita katakan dalam urutan yang wajar tetapi juga koordinasi yang tepat
dengan neurobiologi kita. Aspek pertama berkaitan dengan asumsi kita tentang pengetahuan
interlokutor – orang yang kaya kita ajak bicara. Suatu kalimat tidak akan mempunyai makna
apa-apa bagi pendengar bila semua informasi yang ada di dalamnya adalah informasi baru.
Aspek kedua adalah bahwa dalam berkomunikasi tiap peserta mematuhi prinsipel kooperatif.
Peserta pastilah akan memberikan informasi yang pas, yang jelas, yang benar, yang tidak
ambigu, dsb. Di samping itu, kita juga harus memperhatikan aspek pragmatik dari ujaran-
ujaran kita.

1. Langkah Umum dalam Memproduksi Ujaran


Proses dalam memproduksi ujaran dapat dibagi menjadi empat tingkat: (1)
tingkat pesan (message), dimana pesan yang akan disampaikan diproses (2) tingkat
fungsional, dimana bentuk leksikal dipilih lalu diberi peran dan fungsi sintaktik, (3)
tingkat posisional, dimana konstituen dibentuk dan afiksasi dilakukan, dan (4) tingkat
fonologi, dimana struktur fonologi ujaran itu diwujudkan.
Pada tingkat pesan, pembicara mengumpulkan nosi-nosi dari makna yang
ingin disampaikan. Pada tingkat fungsional, yang diproses ada dua hal. Pertama,
memilih bentuk leksikal yang sesuai dengan pesan yang akan disampaikan dan
informasi gramatikal untuk masing-masing bentuk leksikal tersebut. Proses kedua
pada tingkat fungsional adalah memberikan fungsi pada kata-kata yang telah dipilih
ini. Pada tingkat pemprosesan posisional, diururkan bentuk leksikal untuk ujaran yang
akan dikeluarkan. Hasil pemprosesan posisional ini “dikirim” ke tingkat fonologi
untuk diwujudkan dalam bentuk bunyi.

2. Rincian Produksi Ujaran


Dalam proses memproduksi ujaran orang mulai dari perencanaan mengenai topik
yang akan diujarkan, kemudian turun ke kalimat yang akan dipakai, dan turun lagi ke
konstituen yang akan dipilih.

2.1 Perencanaan Produksi Wacana


Wacana dibagi menjadi dua macam: (a) dialog dan (b) monolog. Perbedaan
utama antara dua macam ini terutama terletak pada dialog terdapat paling tidak
dua pelaku, yakni, yang berbicara dan yang diajak biacara, interlokutornya. Pada
wacana monologhanya ada satu pelaku; kalau wacana itu lisan, hanya ada satu
pembicara; kalau wacana itu tulis, hanya penulis sebgai pelakunya.

2.1.1 Wacana Dialog


Dalam wacana dialog yang oleh H. Clark dianggapnya sebagai joint
activity (1994: 994) ada empat unsur yang terlibat: (1) personalia
(personnel), (2) latar bersama (common ground), (3) perbuatan bersama
(joint action), dan (4) kontribusi.

2.1.1.1 Unsur Personalia


Pada unsur personalia, minimal harus ada dua partisipan, yakni
pembicara dan interlokutor (orang yang diajak bicara). Tidak mustahil
pula adanya pendengar (side partisipants), yakni orang lain yang bisa
juga ikut serta dalam pembicaraan itu. Di samping itu, personalia juga
dapat mencakup bystanders, yakni partisipan yang mempunyai akses
terhadap apa yang dibicarakan oleh pembicara dan interlokutor dan
kehadirannya diakui. Terakhir adalah penguping (eavesdroppers),
yakni pertisipan yang juga mempunyai akses terhadap percakapan itu
tetapi kehadirannya tidak diakui – artinya, bisa saja dia ada di kamar
sebelah tetapi mendengar percakapan tersebut.

2.1.1.2 Unsur Latar Bersama


Konsep “latar bersama” merujuk pada anggapan bahwa baik
pembicara maupun interlokutornya sama-sama memiliki prasuposisi
dan pengetahuan yang sama. Kesamaan dalam pengetahuan inilah
yang dinamakan latar bersama (common ground).

2.1.1.3 Unsur Perbuatan Bersama


Yang dimaksud dengan perbuatan bersama (joint action) adalah
bahwa baik pembicara maupun interlekutornya melakukan perbuatan
yang pada dasarnya mempunyai aturan yang mereka ketahui bersama.

2.1.1.4 Unsur Kontribusi


Kontribusi umumnya mempunyai dua tahap: (a) tahap
presentasi dimana pembicara menyampaikan sesuatu untuk difahami
oleh interlokutor, dan (b) tahap pemahaman (acceptance) dimana
interlokutor telah memahami apa yang disampaikan oleh pembicara.

2.1.1.5 Struktur Percakapan


Mengenai giliran bicara itu sendiri juga terdapat aturan yang
umumnya diikuti orang. Bila seseorang mulai bicara dalam suatu
percakapan tiga orang (atau lebih), maka orang yang diajak bicara
itulah yang wajib merespon. Jadi, seandainya ada A, B, dan C, dan A
bertindak sebagai pembicara dan dia mengarahkannya kepada B, maka
B-lah yang wajib memberikan tanggapan.

2.1.2 Wacana Monolog


Wacana monolog umumnya mempunyai satu partisipan, yakni orang
yang berbicara (atau menulis) itu sendiri. Dari segi informasi yang akan
diberikan, orang memilah-milah mana yang layak dimasukkan dan mana
yang tidak. Pertama, jumlah waktu yang tersedia untuknya. Kedua, tingkat
pengetahuan hadirin dalam bidang itu. Faktor lain dalam wacana monolog
adalah urutan penyajian. Kalau kita menarasikan suatu perjalanan ke A, B,
dan C maka akan sulitlah kalau kita loncat dari A ke C, lalu ke B, lalu ke
A, kemudian ke C lagi. Faktor terakhir adalah hubungan antara satu unsur
dengan unsur yang lain. Keempat faktor ini akan mewujudkan suatu
wacana monolog yang koheren, yakni yang serasi dari segi maknanya.

2.2 Perencaan Produksi Kalimat


Menurut Clark dan Clark ada tiga kategori yang perlu diproses: muatan
proposisional (propositional content), muatan ilokusioner, dan struktur tematik
(1977: 237-248).

2.2.1 Muatan Proposisional


Pada kategori muatan proposional, pembicara menentukan proposisi
apa yang ingin dia nyatakan: seorang ibu yangmenyuapi anaknya.

2.2.2 Muatan Ilokuisioner


Setelah muatan proposisional ditentukan, pembicara menentukan muatan
ilokusionernya, yakni makna yang akan disampaikan itu akan diwujudkan
dalam kalimat yang seperti apa.

2.2.3 Struktur Tematik


Struktur tematik berkaitan dengan dengan penentuan berbagai unsur
dalam kaitannya dengan fungsi gramatikal atau semantik dalam kalimat.
Pembicara menentukan mana yang dijadikan subjek dan mana yang objek.

2.3 Perencaan Produksi Konstituen


Setelah perencanaan kalimat selesai dibuat, turunlah si pembicara ke tataran
konstituen yang membentuk kalimat itu. Faktor yang menetukan kata mana yang
dipilih ummnya adalah kedudukan sosial, umur, hubungan kekerabatan, dan
keakraban. Untuk bahasa yang memiliki sistem honorifik seperti bahasa Jawa,
Sunda, atau Bali rasa hormat ini tidak hanya diwujudkan pada kata ganti
pronomina saja, tetapi juga pada verba atau kata-kata lain.

Wujud kalimat dalam bahasa yang berhonorifik seperti bahasa Jawa ini bisa
menjadi lebih rumit lagi karena faktor yang berpengaruh bisa tumpang tindih.
Dapat dibayangkan bahwa pastilah ada proses tambahan yang harus dilakukan
oleh orang Jawa (dan penutur bahasa honofik lain mana pun) sebelum dia
menentukan kata mana yang akan dia pilih. Bahkan dapat dipostulasikan bahwa
unsur honofik ini merupakan unsur pertama yang harus diproses secara mental
terlebih dahulu sebelum retrival kata dapat dilakukan. Orang Jawa, Sunda, Bali,
Mandura, dan Bugis, misalnya, harus tahu terlebih dahulu siapa partisipan yang
terlibat dalam percakapan itu.

3. Hubungan Antara Komprehensi-Produksi


Suatu kata dapat diproduksi hanya bila telah ada komprehensi sebelumnya.
Karena itu, masalah produksi tidak dapat dilepaskan dari komprehensi. Penelitian-
penelitian mutahir, oleh para psikolog dari kelompok koneksionis, (Bock & Levelt
1994; Bock & Griffin 2000) produksi merupakan cermin-balik dari komprehensi
dengan tambahan proses-proses tertentu. Pada komprehensi orang menerima input
untuk kemudian disimpan dalam memori. Pada produksi kata yang tersimpan itu
dicari dalam memori. Pada produksi kata yang tersimpan itu dicari kembali untuk
kemudian diujarkan. Untuk mencari kata itu tentunya diperlukan proses eliminatif
dengan memanfaatkan fitur-fitur yang ada pada kata itu, baik fitur semantik, sintaktik,
maupun fonologis.

You might also like