You are on page 1of 6

Kecerdasan

A. Definisi Kecerdasan

Kecerdasan adalah kemampuan mental atau kognitif individu untuk memahami, belajar,
menyesuaikan diri, memecahkan masalah, berpikir abstrak, berkomunikasi, dan menghadapi
situasi baru atau kompleks dengan cara yang efektif. Ini mencakup berbagai aspek seperti
pemahaman verbal, kemampuan matematika, pemecahan masalah, kreativitas, dan kemampuan
sosial. Kecerdasan dapat dilihat sebagai kapasitas intelektual individu untuk berfungsi dengan
baik dalam berbagai konteks kehidupan mereka.

Kecerdasan bisa juga disebut sebagai intelegensi. Beberapa pengertian kecerdasan/intelegensi


menurut beberapa ahli, yaitu:

1. Alferd Binet (1857-1911) dan Theodeore Simon


Intelegensi adalah kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan
kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan dan
kemampuan untuk mengkritik diri sendiri.
2. George D. Stoddard (1941)
Intelegensi sebagai bentuk kemampuan untuk memahami masalah-masalah yang bercirikan:
- Mengandung kesukaran
-Kompleks, yang mengandung bermacam jenis tugas yang harus diatasi dengan baik dalam
arti bahwa individu yang inteligen mampu menyerap kemampuan baru dan memadukannya
dengan kemampuan yang sudah dimiliki untuk kemudian digunakan dalam menghadapi
masalah.
- Abstrak, mengandung simbol-simbol yang memerlukan analisis dan interpretasi.
Ekonomis, yang dapat diselesaikan dengan menggunakan proses mental yang efisien dari
segi penggunaan waktu.
- Diarahkan pada satu tujuan, yaitu bukan dilakukan tanpa maksud melainkan mengikuti
suatu arah atau target yang jelas.
- Mempunyai nilai sosial, yaitu cara dan hasil pemecahan masalah yang dapat diterima oleh
nilai dan norma sosial.
- Berasal dari sumbernya, yaitu pola fikir yang membangkitkan kreativitas untuk menciptakan
sesuatu yang baru.

3. Wechlsler (1965)

Intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak dengan mencapai suatu tujuan, secara untuk
berpikir secara rasional dan untuk berhubungan dengan lingkungan se efektif.

4. Walters dan Gardner (1986)


Intelegensi adalah serangkaian kemampuan yang memungkinkan individu
memecahkanmasalah atau produk sebagai konsekuensi eksistensi suatu budaya tertentu.
5. Flynn (1987)
Intelegensi adalah kemampuan untuk berfikir secara abstrak dan kesiapan belajar dari
pengalaman.

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Intelegensi adalah kemampuan yang
dibawa sejak lahir yang dapat digunakan untuk menyesuaikan diri terhadap kebutuhan baru dengan
menggunakan alat-alat berpikir yang sesuai dengan tujuannya.
B. Faktor yang mempengaruhi intelegensi

Menurut M. Ngalim Purwanto (2004: 55-56), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
intelegensi yang mengakibatkan terjadinya perbedaan antara intelegensi seseorang dengan yang lain.
Adapun faktor yang dapat mempengaruhi tingkat intelegensi seseorang, yaitu:

a) Pembawaan
Pembawaan ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri yang dibawa sejak lahir sesuai dengan
batas kesanggupan kita, yakni dapat tidaknya seseorang memecahkan suatu soal, hal
tersebut ditentukan oleh pembawaan kita.
b) Kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan, tiap organ
(fisik dan psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan dalam
menjalankan fungsinya masing-masing.
c) Pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan diluar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan
intelegensi.
d) Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan pembuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi
pembawaan itu. Dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk
berinteraksi dengan dunia luar.
e) Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam
memecahkan masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode juga bebas dalam
memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi
intelegensi seseorang. Maka sebagai seorang pendidik, seorang guru harus mampu mempengaruhi
kemampuan intelektual siswa agar dapat berfungsi secara maksimal dan mencoba melengkapi
program pengajaran yang ditujukan bagi mereka yang lambat dalam belajar.

Kepribadian

Kepribadian adalah pola perilaku dan cara berpikir yang khas, yang menentukan penyesuaian diri
seseorang terhadap lingkungan (Atkinson, dkk, 1996). Definisi tersebut menyiratkan adanya
konsistensi perilaku, bahwa orang cenderung untuk bertindak atau berpikir dengan cara tertentu
dalam berbagai situasi. Kepribadian juga menyiratkan adanya karakteristik yang membedakan satu
individu dengan individu yang lain.

Kepribadian adalah ciri dalam diri seseorang yang diekspresikan melalui prilaku dan tingkah laku
keseharian dalam situasi sosial tertentu.

Pengertian kepribadian itu sendiri berbeda dengan perilaku. Kepribadian memengaruhi atau
membentuk perilaku, namun bukan perilaku. Kepribadian bersifat abstrak dan berada dalam diri
individu. Kepribadian seseorang tidak bisa diketahui secara pasti. Kita hanya bisa menilai berdasarkan
tanda-tanda yang tampak saja. Suatu hari, misalnya, kita ditilang polisi karena nggak pake helm. Tiba-
tiba polisi tersebut meminta uang damai. Dalam hati kita membatin bahwa polisi tersebut korup.
Korup merupakan tingkah laku polisi itu. Kita menilai demikian karena ia minta uang damai. Tapi
bagaimana kepribadian sebenarnya polisi itu tidak kita ketahui.
Kepribadian seseorang yang kita nilai dari perilaku yang tampak tidak muncul begitu saja, melainkan
melalui proses yang panjang. Proses pembentukan kepribadian terjadi melalui sosialisasi yang
dimulai sejak kita lahir. Bahkan ada yang meyakini, sejak dalam kandungan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian, yaitu:

1. Faktor biologis
Faktor biologis sebagai pembentuk kepribadian selalu diragukan dalam sudut
pandang sosiologi. Namun pada kenyataanya, dalam masyarakat beredar opini
bahwa karakter fisik tertentu membentuk kepribadian tertentu. Misal, orang yang
kepalanya besar dianggap cerdas, orang yang rambutnya keriting calon orang sukses,
orang yang kepalanya kotak kriminal. Tak perlu tersinggung dengan contoh tersebut
karena semua itu mitos. Faktor biologis dianggap memiliki kontribusi pada
pembentukan kepribadian khususnya berhubungan dengan keturunan. Seringkali
kita mendengar ungkapan bahwa “buah tak jatuh jauh dari pohonnya”. Seorang anak
tentara yang tegas. keras dan disiplin membuat para tetangga tak heran. Mereka
langsung berpikir itu karena pengaruh orang tuanya. Singkatnya, anak dilihat sebagai
cerminan orang tua. Kepribadian anak diturunkan dari orang tua. Lagi-lagi kita tidak
bisa semerta- merta percaya pada pandangan ini. Faktor biologis sebagai pembentuk
kepribadian sangat problematis.

2. Faktor geografis
Satu level diatas faktor biologis adalah faktor geografis. Penjelasan faktor geografis
lebih masuk akal meskipun biasanya pembelajar sosiologi tidak tertarik mendalami
faktor ini. Pengaruh faktor geografis bisa dilihat dari perbedaan kepribadian antara
individu atau kelompok masyarakat yang tinggal di lokasi dengan karakteristik yang
berlainan. Misal, kita menemukan bahwa orang pantai cenderung lebih bersikap
terbuka pada orang asing, ketimbang orang gunung. Iklim, temperatur, kondisi
topografis tanah seringkali dianggap memiliki pengaruh besar pada pembentukan
kepribadian. Orang yang tinggal di kutub memiliki kepribadian yang berbeda dengan
orang yang tinggal di daerah tropis. Perbedaannya seperti apa terbuka untuk
diperdebatkan. Sekali lagi perbedaan kepribadian tersebut merupakan
kecenderungan umum. Kita tidak bisa melakukan over generalisasi dan menganggap
bahwa semua orang gunung tidak terbuka pada orang asing, misalnya.

3. Faktor psikologis
Faktor ini sedikit menarik perhatian para sosiolog. Faktor psikologis sebagai
pembentuk kepribadian berhubungan dengan pengalaman unik yang dialami oleh
individu. Pengalaman unik tersebut memengaruhi kondisi emosional dan mental
individu sehingga membentuk suatu kepribadian tertentu. Pengalaman unik bisa
positif, bisa pula negatif.

Contoh faktor psikologis yang bisa saya paparkan disini adalah trauma karena
peristiwa tertentu. Misalnya, korban begal mengalami trauma naik motor sendirian
pada malam hari. Ia menjadi pribadi yang lebih pendiam karena diselimuti rasa takut
setelah peristiwa yang dialaminya. Kondisi psikologis korban begal membentuk
kepribadian korban menjadi lebih pendiam.

4. Faktor budaya
Faktor ini selalu menarik pemerhati ilmu sosial dan budaya. Unsur-unsur kebudayaan
secara langsung memengaruhi pola perilaku individu. Kegiatan sehari-hari yang
membentuk suatu kultur juga dapat memengaruhi kepribadian individu. Contoh,
kebudayaan masyarakat Minangkabau yang suka merantau dan jualan, membentuk
kepribadian orang Minangkabau untuk terbuka pada orang- orang baru yang
ditemuinya.

Contoh lain lagi, kebiasaan seseorang melakukan solo travelling, membentuk


kepribadian orang tersebut untuk berani mengambil resiko dan tidak malu memulai
pembicaraan dengan orang asing. Kultur travelling telah membentuk kepribadian
seorang traveller yang konon katanya mempunyai hasrat besar untuk menjelajah
tempat-tempat baru. Kebiasaan selalu membentuk kultur, lalu kultur itu
memengaruhi atau membentuk kepribadian.

5. Faktor social
Faktor sosial yang dimaksud di sini adalah pengalaman-pengalaman dalam
pergaulan. Pergaulan tidak hanya dengan teman, tetapi bisa juga dengan buku. Film,
website, dan sebagainya. Dalam kehidupan sosial, kita senantiasa menjalani
pergaulan dengan individu atau kelompok tertentu. Lingkungan sosial berupa
pergaulan memiliki pengaruh pada para anggotanya. Teman kita, misalnya, memiliki
nilai atau keyakinan tertentu yang ia anut dalam keseharian. Nilai tersebut
tersosialisasikan, baik sengaja atau pun tidak dalam pergaulan kepada diri kita.
Dalam pergaulan, ada tokoh atau kelompok yang biasanya dijadikan acuan. Ambil
contoh, lingkungan pergaulan yang membentuk kepribadian individu pada mulanya
adalah keluarga. Seiring waktu, seorang anak memiliki teman bergaul, di sekolah, di
rumah, atau di manapun ia bergaul. Lingkungan sosial pertemanan mulai mengambil
alih peran dominan keluarga. Pasca sekolah, ia kuliah atau kerja, maka lingkungan
sosial dan pergaulannya berubah lagi. Masing-masing lingkungan sosial memiliki
nilai-nilai yang kecenderungannya berbeda.

Misalnya, seorang anak dilahirkan dalam keluarga taat agama. Anak tersebut
awalnya dikenal religius. Ketika kuliah, membaca Das Kapital sehingga
kepribadiannya kekiri-kirian. Setelah lulus, ia mendalami filsafat agama sehingga
menjadi juru bicara liberalisme. Lalu, usia paruh bayanya dihabiskan untuk mencari
uang dengan bergaul dengan kaum kapitalis. Ketika tua ia bergaul dengan penjual
parfum biar kecipratian wanginya. Kepribadian orang tersebut berubah-ubah
tergantung seperti apa lingkungan sosialnya.

Pengaruh lingkungan sosial terhadap kepribadian individu

Kepribadian dapat dipengaruhi oleh faktor sosial. Pendapat ini disampaikan oleh Eric Erickson. Dia
berpendapat bahwa kepribadian seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sosial tempat individu
tersebut tumbuh. Sehingga dapat digambarkan bahwa kepribadian yang baik dipengaruhi oleh
lingkungan yang baik pula. Erickson berpendapat bahwa kepribadian seseorang hanya dipengaruhi
oleh genetik saja, namun ada pula faktor sosial didalamnya. Erickson juga menyampaikan bahwa
manusia melewati tahap perkembangan manusia. Tahap perkembangan kepribadian manusia
menurut Erickson sebagai berikut :
Trust VS Mistrust : terjadi pada usia 0 -18 bulan. Pada usia ini bayi akan berusaha untuk menciptakan
kepercayaannya dengan lingkungannya. Kepercayaann ini akan didapat dari ibunya dengan cara
pemenuhan kebutuhannya. Apabila dalam tahap ini, sang ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan
anak, maka dapat dimungkinkan dimasa depan anak menjadi seseorang yang merasa cemas dan
mudah curiga dengan orang lain.

Autonomy VS Shame : Terjadi pada usia 2 – 3 tahun. Pada tahap ini, anak akan belajar untuk
mengontrol tubuhnya sehingga pada tahap ini seharusnya orang tua memberi tuntunan dan
bimbingan tanpa perlakuan yang kasar pada anak. Seorang anak yang berhasil melewati fase ini akan
menjadi seseorang yang mandiri dan percaya diri. Sedangkan anak yang gagal dalam fase ini akan
menjadi bergantung pada orang lain, dan meragukan kemampuannya.

Initiative VS Guilt : Fase ini terjadi pada 3 – 6 tahun. Pada fase ini, anak akan belajar untuk
merencanakan tindakan dan keputusan yang akan dilakukannya. Anak yang berhasil dalam fase ini
akan percaya diri dan mampu mengambil inisiatif. Sedangkan anak-anak yang gagal dalam fase ini
akan merasa kurang percaya diri dan kurang inisiatif, dan takut mengambil keputusan.

Industry VS Inferiority : Tejadi pada usia 6 – 12 tahun. Pada usia ini, anak akan memiliki
kecenderungan untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang sebesar besarnya. Pada
tahap ini, anak juga aktif mempelajari apapun. Oleh sebab itu, kemampuan bekerja keras dan tidak
rendah diri harus dikembangkan oleh orang tua. Apabila anak tidak berhasil pada tahap ini, maka ia
akan merasa rendah diri.

Identity VS Confusion : Terjadi pada usia 12 – 18 tahun. Fase ini merupakan fase pencarian jati diri,
dimana remaja diharapkan mampu menemukan eksistensi dirinya. Dalam fase ini, orang tua
berperan untuk mengembangkan identitas diri remaja maka perlunya pola asuh orang tua yang
mampu memberikan ruang bagi remaja untuk berkreasi namun tetap diberi pendampingan. Remaja
yang gagal dalam fase ini akan dimungkinkan menjadi seseorang yang gagal memaknai dirinya dan
kurang percaya diri. Sedangkan seseorang yang berhasil dalam fase ini akan mampu mulai
merencanakan kariernya dengan baik dan menyadari identitasnya secara penuh.

Intimacy VS Isolation : Terjadi dalam usia 19 – 40 tahun. Dalam usia ini, seseorang mulai beradaptasi
alam kehidupan bermasyarakat. Individu dalam fase ini akan mulai tampil menjadi seseorang yang
mencintai persahabatan, memelihara pekerjaan dan lain sebagainya. Seseorang yang berhasil dalam
fase ini akan tumbuh menjadi seseorang yang mudah bersosialisasi dengan orang lain. Sedangkan
individu yang gagal dalam tahap ini akan menjadi seseorang yang terisolasi

Generativity VS Stagnation : Terjadi dalam usia 40 – 65 tahun. Individu dalam fase ini akan memiliki
semangat untuk berbagi dalam lingkungan sosialnya. Seseorang yang berhasil dalam fase ini akan
menjadi seseorang yang merasa dirinya berguna dan produktif.

Integrity VS Despair : Fase ini erjadi pada usia 65 tahun ke atas. Pada fase ini, seseorang akan mulai
kehilangan kekuatan fisik mereka, kehilangan pekerjaan bahkan kehilangan orang- orang yang
mereka cintai. Pada fase ini, kebanyakan individu akan lebih berfokus pada evaluasi diri seperti
apakah dirinya sudah menjadi seseorang yang berguna atau tidak dan lain sebagainya. Seseorang
yang berhasil dalam fase ini akan menjadi seseorang yang mampu membangun integritas diri.
Sedangkan seseorang yang gagal akan sering menyesali dirinya dan putus asa.
Kesimpulannya adalah pengaruh lingkungan sangatlah penting bagi perkembangan kepribadian
seseorang maka mari kita ciptakan dan temukan lingkungan yang sehat bagi perkembangan
kepribadian individu, karena ternyata lingkungan yang sehat dan baik akan mampu mempengaruhi
kepribadian seseorang menjadi sehat dan baik pula.

-Hubungan antara kecerdasan dan kepribadian

Hubungan antara kecerdasan dan kepribadian adalah subjek yang kompleks dan telah menjadi fokus
penelitian dalam psikologi. Secara umum, kecerdasan (IQ) adalah kemampuan intelektual seseorang
untuk memecahkan masalah, belajar, dan berpikir abstrak, sementara kepribadian adalah
serangkaian ciri-ciri psikologis yang mencakup perilaku, sikap, dan emosi individu. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara kecerdasan dan beberapa aspek kepribadian.
Misalnya, ada bukti bahwa orang dengan tingkat kecerdasan yang tinggi cenderung memiliki tingkat
kontrol diri yang lebih baik dan lebih mampu mengatasi stres. Selain itu, beberapa teori kepribadian
seperti Teori Lima Besar menyatakan bahwa ada lima dimensi kepribadian yang dapat digunakan
untuk menggambarkan kepribadian seseorang, dan beberapa dari dimensi ini dapat berhubungan
dengan tingkat kecerdasan seseorang.(Chamorro-Premuzic, T. (2011).

You might also like