You are on page 1of 90
Bagian Pertama KB dan Pendekatan VARIABEL ———> FERTILITAS SOSIAL BUDAYA. ANTARA Kesebelas variabel antara tersebut digolongkan atas tiga kelompok, yakni variabel hubungan seks (no. 1-6), variabel konsepsi (no. 7-9) dan variabel gestasi (no. 10-11). Jadi, kalau orang mengatakan bahwa agama, kepercaya- an, adat istiadat, status wanita, urbanisasi, industrialisasi atau pendidikan mempengaruhi fertilitas maka hubungannya de- ngan fertilitas perlu diterangkan, yakni melalui variabel an- tara yang mana fertilitas dipengaruhi. 6 Penduduk dan Perubahan Davis dan Blake membedakan variabel-variabel yang nilainya tinggi, rendah atau tidak menentu untuk negara-ne- gara yang sedang berkembang. Variabel yang nilainya ting- gi adalah variabel yang mempunyai pengaruh plus terhadap fertilitas (membuat fertilitas tinggi), sebaliknya yang bernilai rendah mempunyai pengaruh minus atau membuat fertilitas rendah. Perlu dicatat bahwa apabila semua variabel antara itu ber- nilai tinggi pada masyarakat tertentu maka dapat tercipta situasi seperti pada masyarakat Hutterite di Canada. Hutte- rite tercatat sebagai masyarakat dengan tingkat fertilitas ter- tinggi di dunia. Mereka memegang tradisi yang kuat, menge- nyam tingkat kemakmuran dan kesehatan yang baik dan tidak melakukan usaha-usaha untuk menjarangkan kehamilan. Pada akhir masa suburnya, wanita-wanita Hutterite mempunyai rata-rata 9 anak (tahun 1950). Supaya lebih mudah untuk difahami, dibuat pengelom- pokan variabel tersebut sebagai berikut. Nilai-nilai yang biasanya tinggi. 1. Umur memulai hubungan kelamin (rendahnya usia kawin). 2. Selibat permanen (jarang dilakukan). 8. Kontrasepsi (tidak dipakai secara meluas). 9. Sterilisasi (tidak dipraktekkan secara meluas). Nilai-nilai tinggi atau rendah: 3a. Keretakan perkawinan. 3b. Tidak kawin lagi sesudah menjanda. 11. Mortalitas janin dengan sengaja (mempraktekkan atau tidak mempraktekkan pengguguran). Nilai-nilai yang biasanya rendah. 4. Abstinensi dengan sengaja. 10. Keguguran Berbagai Aspek Kéluarga Berencana . 7 Jadi, rendahnya usia kawin rata-rata, perkawinan yang universal yakni hampir semua wanita kawin sebelum men- capai usia 35 atau 40 tahun, lalu tidak menggunakan kontra- sepsi, merupakan faktor-faktor penyumbang yang penting terhadap tingginya tingkat fertilitas pada negara-negara yang sedang berkembang. Sampai batas tertentu fertilitas dapat dikurangi apabila pada masyarakat tersebut terdapat tingkat perceraian yang tinggi, terdapat kebiasaan tidak kawin lagi sesudah menjanda dan sering dipraktekkan pengguguran dengan sengaja. Sehubungan dengan variabel no.4, Davis dan Blake mem- punyai asumsi bahwa abstinensi dengan sengaja mungkin di- praktekkan secara meluas. Variabel no. 7 yakni kesuburan biologis, dalam hubungan- nya dengan keadaan gizi, sudah banyak diperdebatkan. Pe- nelitian Frisch (1978) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa gadis-gadis yang mempunyai gizi yang baik mengalami me- narche (haid pertama) lebih cepat kira-kira dua tahun, diban- dingkan dengan gadis-gadis yang status gizinya kurang baik. Status ekonomi yang buruk, melalui keadaan gizi yang kurang baik, menekan fertilitas melalui: masa reproduksi yang lebih singkat karena menarche diperlambat dan menopause (mati haid) dipercepat, lebih banyak siklus tanpa ovulasi, lebih besar risiko keguguran tak disengaja dan lebih singkat ame- norea postpartum atau masa tak haid sesudah melahirkan (Frisch, 1978). Bongaarts dan Potter (1983: 14) menyangsikan besarnya pengaruh kekurangan gizi ini terhadap fertilitas, ke- cuali dalam situasi di mana terdapat bahaya kelaparan yang dapat berpengaruh terhadap fertilitas. Pengaruh keguguran. yang tidak disengaja (variabel No. 10) cukup jelas, yakni bahwa keguguran yang tidak disengaja mempunyai hubungan yang negatif dengan fertilitas. Selan- jutnya lebih jelas lagi pengaruh pengguguran yang disengaja terhadap tingkat kelahfran. Seperti yang telah dibuktikan ’ Penduduk dan Perubaban oleh berbagai negara, seperti Jepang dan Korea, cara tersebut dapat memegang peranan penting pada masa-masa peralih- an. Pengalaman Korea dan Jepang menunjukkan bahwa mo- dernisasi dan mudahnya diperoleh kontrasepsi moderen be- lum merupakan jaminan bahwa orang tidak akan berpaling kepada pen ran. i este Hongaria dan Chekoslowakia sering diambil sebagai contoh betapa meledaknya tingkat penggu- guran setelah dilonggarkannya undang-undang pengguguran sesudah Perang Dunia II. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa dengan demikian banyak kehamilan yang tidak diingin- kan diakhiri dengan jalan menggugurkan kandungan. Tingkat pengguguran di Chekoslowakia (yang diukur de- ngan jumlah pengguguran per 1000 wanita usia 15-44) adalah 0,8 pada 1955; 1,1 pada 1956; 2,7 pada 1957; lalu melonjak menjadi 22,8 pada 1958; mencapai 34,1 pada 1961 dan masih di atas 30 pada 1981. Tingkat pengguguran di Hongaria mempunyai persama- an dengan Chekoslowakia di atas tetapi tingkat penggugur- an di negeri tersebut mencapai puncak yang jauh lebih tinggi. Di Hongaria tingkat pengguguran (per 1000 wanita usia 15- 44) 0,8 pada 1952; 7,5 pada 1954; 38,3 pada 1955; 68,7 pada 1958; mencapai puncaknya 90,6 pada 1969, lalu terus menurun hingga mencapai 35,3 pada 1981 (Tietze, 1983). Jepang adalah negara yang pernah mengalami tingkat peng- guguran yang paling tinggi, yakni bertahun-tahun di atas 100. Mencapai puncaknya sebesar 138,1 pada tahun 1960 dan tahun 1975 sudah dibawah 100, yakni sebesar 84,2. Lee-Jay Cho et al melukiskan peranan pengguguran dalam penurunan fertilitas di Korea sebagai berikut (1982:6). Peng- guguran menyumbang kepada Penurunan angka kelahiran dengan dua cara. Pertama, sebagai cara yang langsung diguna- kan untuk menghindarkan kelahiran yang tidak diinginkan. Kedua, sebagai cara terakhir setelah mengalami kegagalan kon- Berbagai Aspek Keluarga Berencana 9 trasepsi. Kesuksesan program keluarga berencana Korea amat berkaitan dengan pengguguran yang dengan mudah dapat di- lakukan dan tidak adanya rintangan sosial budaya terhadap praktek pengguguran. Berbeda dengan Jepang dan Korea yang disebutkan di atas, pengguguran tidak memegang peranan yang berarti dalam penurunan fertilitas di Indonesia. Untuk analisis fertilitas pada masyarakat Maguwoharjo di Daerah Istimewa Yogyakarta, Dr. Valerie Hull menggunakan kerangka Davis & Blake di atas dan menemukan hal-hal berikut. Terdapat 4 faktor yang mempengaruhi fertilitas di Maguwoharjo, yakni: pertama, re- taknya perkawinan; kedua, sterilisasi sekunder; banyak wani- ta yang menjadi tidak mampu hamil atau kurang mampu ha- mil (sub-fecund) setelah mendapat satu atau beberapa anak, jauh sebelum mengalami mati haid (variabel no.7); ketiga, masa tidak kumpul yang relatif lama setelah melahirkan; ke- empat, pemakaian kontrasepsi (V.J. Hull, 1976:vii-viii). Namun perlu dicatat bahwa penelitian tersebut dilakukan pada waktu cakupan program keluarga berencana masih ren- dah. Sekarang tentunya faktor yang dominan adalah pemakai- an kontrasepsi modern. Di dalam analisisnya yang terkenal berjudul_A Framework for Analyzing the Proximate Determinants of Fertility, John Bongaarts (1978) menyederhanakan variabel Davis dan Blake yang berjumlah 11 tersebut. Dia menyimpulkan bahwa empat variabel antara terpenting yang mempengaruhi penurunan fer- tilitas adalah: perkawinan, penggunaan kontrasepsi, laktasi (menyusui) dan pengguguran yang disengaja. Variabel no.6 di dalam kerangka Davis dan Blake, yakni frekuensi sanggama dianggap lemah. Mudah difahami bah- wa banyaknya anak di dalam keluarga tidak langsung berhu- bungan dengan banyaknya sanggama walaupun diakui bahwa lamanya perpisahan antara suami dan isteri, karena sengaja atau terpaksa, dapat mempengaruhi fertilitas. Hal yang me- . Penduduk dan Perubahan dalam variabel antara Bongaarts adalah dimasuk- nonjol di sui bayi), yang tidak masuk dalam ke- kannya laktasi (menyu: rangka analisis Davis dan Blake. i : Meatrat Bongaarts, untuk berbagai masyarakat kebiasaan menyusui berlama-lama dapat berfungsi untuk menunda ke- hamilan sampai setahun atau satu setengah tahun. (Tabel 1) Tabel 1. : Lamanya Kemandulan Karena Menyusui Rata-rata lamanya kemandulan karena Negara : menyusui Bangladesh 18,9 | Indonesia 18,7 Senegal 17,3 Guatemala 14,3 India (Punyab) 10,9 Sumber: Bongaarts, 1978:116 Keluarga Berencana Sejak akhir abad ke-19 sudah banyak orang yang meng- hawatirkan tekanan penduduk dan pertambahan penduduk Pulau Jawa. Pertambahan penduduk yang terus menerus mengakibatkan pemilikan tanah bertambah kecil dan ber- tambah banyak buruh tani yang tidak memiliki tanah garapan agi. Berkaitan dengan itu timbullah masalah kemiskinan. Terangsang oleh masalah kemiskinan penduduk ini, yang dianggap disebabkan oleh kebijaksanaan Pemerintah dan pertumbuhan penduduk Pulau Jawa, keluarlah karang-an van Deventer yang terkenal, Een Eereschuld (Hutang Budi) pada Berbagai Aspek Keluarga Berencana tahun 1899. Atas dasar itu Pemerintah Belanda mengem- bangkan apa yang dinamakan Kebijaksanaan Etik yang ber- tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk Pulau Jawa melalui perbaikan pendidikan, irigasi dan emigrasi atau transmigrasi. Program transmigrasi, yang telah dimulai peme- rintah kolonial sejak awal abad ini, merupakan upaya untuk memperbaiki nasib petani miskin di Jawa dan juga memper- baiki ketimpangan distribusi penduduk. Rombongan pertama transmigran diberangkatkan dari Pulau Jawa pada bulan November 1905. Mereka ditempatkan di Gedong Tataan, 25 km sebelah Barat Tanjungkarang. Se- sudah kemerdekaan, program transmigrasi dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia dan mengalami banyak kemajuan pada zaman Orde Baru. Namun daya serapnya secara demografis tidaklah sangat besar sehingga pertambahan penduduk Jawa tidak dapat dibendung. Sejarah keluarga berencana di Indonesia dimulai dengan berdirinya Perkumpulan Keluarga Berencana pada tahun 1957. Perjalanannya cukup tersendat-sendat tetapi tetap bertahan karena kegigihan pendukung-pendukungnya. Cara-cara yang dipakai juga masih sangat sederhana. Menurut Dr. Kun Martiono (1988), seorang ahli kan- dungan yang merupakan salah seorang pelopor KB di Indo- nesia, pada mulanya sebagai alat KB diperkenalkan cara In- dia. Caranya sebagai berikut: Sebelum mengadakan “hu- bungan”, ambillah sepotong kain kasa, atau kain apa saja dan pada ujungnya dijahitkan sehelai benang. Kain ini dicelup- kan ke dalam minyak kelapa dan kemudian dimasukkan ke dalam vagina sedalam-dalamnya. Pada pagi hari keesokan hari- nya, kain kasa tersebut dikeluarkan lagi dengan cara menarik benangnya. Pada perkembangan selanjutnya diperkenalkan spons berbentuk lonjong yang pada ujungnya dijahitkan be- nang wol. Spons ini direndam dalam air garam lebih dahulu, lalu diperas sedikit sebelum dimasukkan ke dalam vagina, Penduduk dan Perubaban 12 ; hari spons tersebut dikeluarkan dengan cara menarik be. re ene a Kemudian baru berkembang Cara Cara’ kon. trasepsi mutakhir seperti diafrahma, pil, spiral dan lain-lain, Presiden Soekarno tidak menghalangi penyebarluasan ga- gasan KB untuk maksud kesehatan ibu dan anak, sejauh tidak dimaksudkan untuk mengurangi laju pertambahan pendu- duk. Menurut beliau Indonesia kaya dengan sumber alamnya yang mampu menghidupi 250 juta penduduk. Beliau tidak mengetahui bahwa penduduk Indonesia akhirnya jauh me. lampaui jumlah 250 juta tersebut walaupun program keluar- ga berencana berjalan dengan sukses. : Rangkaian peristiwa penting dalam kelahiran program resmi keluarga berencana adalah sebagai berikut. Pada Tang- gal 22 Februari 1967 Perkumpulan Keluarga Berencana In- donesia mengadakan kongres nasional pertama, yang menda- pat sambutan yang hangat dari masyarakat, termasuk golong- an agama dan pemerintah. Pada prinsipnya semua golongan agama dapat menerima keluarga berencana dan keluarlah him- bauan agar pemerintah melaksanakan program resmi keluarga berencana. Pada tanggal 23 April 1967 resmi berdiri Proyek Keluarga Berencana DKI Jaya, yang merupakan proyek per- tama yang dilaksanakan oleh pemerintah. Pada bulan No- vember 1968 pemerintah mendirikan Lembaga Keluarga Be- rencana Nasional (LKBN), yang dalam menjalankan tugasnya diawasi dan dibimbing oleh Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat. Pada tahun 1969 program keluarga berencana masuk dalam Pelita I dan merupakan bagian dari program pem- bangunan nasional. Pada tahun 1970 didirikan BKKBN, meng- gantikan LKBN. BKKBN yang dalam menjalankan tugasnya merupakan badan kordinasi mempunyai struktur yang menguntungkan. Dengan demikian badan tersebut akan mengkordinasikan berbagai kegiatan yang menyangkut berbagai departemen, seperti Departemen-departemen Kesehatan, Dalam Negeri, Berbagai Aspek Keluarga Berencana 13 Penerangan, Agama, Transmigrasi, Pertanian dan lain-lain. Struktur tersebut memungkinkan BKKBN melepaskan diri dari pendekatan klinis yang kaku dan lebih menekankan pendekatan kemasyarakatan. Jelas bahwa perkembangan keluarga berencana di Indonesia akan lain sekali sekiranya dari mula program tersebut merupakan bagian dari Depar- temen Kesehatan. Pada Pelita I yang dimulai pada tahun 1969, program KB dilaksanakan di Pulau Jawa dan Bali yang padat pen- duduknya, meliputi 6 propinsi. Targetnya sebesar tiga juta akseptor dengan harapan dapat dicegah antara 600.000 sam- pai 700.000 kelahiran. Karena mengalami kesuksesan dalam pelaksanaannya, pada Pelita II program KB diperluas sehing- ga mencakup 16 propinsi. Propinsi-propinsi baru yang ter- cakup disebut Luar Jawa Bali I (LJB 1). Selanjutnya pada Pelita Ill diperluas ke Luar Jawa Bali II dan seluruh propinsi Indo- nesia tercakup kedalam program. Sekarang program tersebut sudah menjangkau lebih dari 18 juta aksepstor di seluruh pe- losok tanah air. Untuk mensukseskan program, dalam pengertian secara efektif mencegah kehamilan, dari mula diadakan penekanan pada kontrasepsi yang mempunyai kemanjuran yang tinggi, yakni IUD. Ini dapat dimaklumi karena alat-alat KB mem- punyai tingkat kemanjuran yang berbeda-beda dan juga ting- kat kelangsungan pemakaiannya beragam. Kecuali tingkat kemanjurannya yang tinggi, IUD sekali terpasang dapat ber- fungsi mencegah kehamilan selama bertahun-tahun dan sup- lai baru tidak diperlukan. Jadi berbeda dengan pil dan kon- dom yang senantiasa memerlukan suplai baru. Kecuali itu diperlukan motivasi yang berkelanjutan dari akseptor. Tingkat kemanjuran dari berbagai kontrasepsi tercantum pada Tabel 2. Dibedakan antara dua macam kemanjuran, yaitu keman- juran teoretis (theoretical effectiveness) dan kemanjuran pe- 4 Penduduk dan Perubahan makai aktual (actual user effectiveness). Apabila dipakai dengan tepat dan teratur maka tercapai kemanjuran maksimum atau kemanjuran teoretis. Untuk berbagai kontrasepsi, di antara para pemakai terdapat variasi yang besar dalam kemanjuran. nya karena variasi dalam ketepatan dan keteraturan pemakai- an tersebut. Umpamanya pil mempunyai kemanjuran yang sangat tinggi, hampir 100%. Namun kalau tidak dimakan secara teratur tingkat kemanjurannya menurun yang disebut kemanjuran pemakai aktual. Ini berkaitan dengan motivasi dan pengetahuan para pemakai dan juga mutu pelayanan. Pa- da Tabel 2 dapat dilihat perbedaan antara kemanjuran teo- retis dan kemanjuran pemakai aktual. Ke dalam tabel tersebut Tabel 2. Angka Kegagalan Berbagai Kontrasepsi pada Tahun Pertama Metoda Angka Kegagalan Angka Kegagalan Terendah (%) Rata-rata (%) 01. Tubektomi 0,04 0,04 02. Vasektomi 0,15 0,15 03. Injeksi (progestin) 0,25 0,25 04. Pil (kombinasi) 0:5 2 05. Pil (hanya progestin) 1 2,5 06. IUD 1,5 5 07. Kondom 2 10 08. Diafrahma dengan spermisida 2 19 09. Tablet busa, jelly 3-5 18 10. Sanggama terputus 16 23 11. Pantang berkala (sistem kalender, metoda lendir, metoda suhu badan basal) 2-20 24 12. Tanpa kontrasepsi 90 90 Sumber: Hatcher et al, 1984:3 Berbagai Aspek Keluarga Berencana 15 belum termasuk berbagai jenis IUD yang berkembang bela- kangan ini dan juga suntikan dan Implant (susuk). Walaupun pemakaian IUD senantiasa sangat dianjurkan dalam program, dalam kenyataannya pilihan akseptor secara umum tidak mengarah kepada cara tersebut. Seperti terlihat dalam Tabel 3, pada tahun 1994 IUD menempati urutan ke- tiga. Sebanyak 52,1% dari wanita subur berstatus kawin meng- gunakan kontrasepsi modern, yakni pil 17,1 %, injeksi 15,2%, IUD 10,3 %, susuk (Norplant) 4,9 %, tubektomi 3,1 %, vasek- tomi 0,7 % dan kondom 0,9%. Variasi pemakaian jenis-jenis kontrasepsi cukup besar dari propinsi ke propinsi. Menurut hasil Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 1994 (Tabel 3), pemakai IUD yang tertinggi adalah di Bali (41,1 %), disusul oleh DI Yogya- karta dan Sulawesi Utara. Pemakai pil yang tinggi adalah Kali- mantan Selatan (33,9 %). Proporsi pemakai suntikan adalah tinggi di Jawa Barat (21,0) dan Sulawesi Tengah (20,9 %). Mengenai cara-cara tradisional, praktek pantang berkala relatif tinggi pemakaiannya di Sumatera Utara (3,6 %), DI Yogyakarta (3,1 %) dan Jakarta (2, 8%). Menarik perhatian bahwa pantang berkala lebih banyak digunakan di propinsi- propinsi tersebut daripada di Nusa Tenggara Barat (0,6 %), yang mayoritas penduduknya menganut agama Katolik. Mungkin juga ini dipengaruhi oleh jumlah sampel yang kecil. Secara nasional penggunaan kondom relatif rendah (0,9 %). Pemakai kondom tertinggi adalah DI Yogyakarta (3,7 %), disusul oleh Jakarta (1,9 %). Proporsi yang mempraktek- kan sanggama terputus yang tertinggi adalah juga di DI Yogyakarta (3,8 %). Cara-cara keluarga berencana mempunyai tingkat ke- langsungan pemakaian yang berbeda-beda. Data dari BKKBN menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan pemakaian IUD lebih tinggi dari pil dan kondom. Seperti tercantum dalam Tabel 3, setelah dua tahun, di Jawa-Bali hanya 47,1 % yang i Penduduke dan. Perubahan i sebanyak 52,9% menjadi “drop erus menggunakan kondom te. ap menggunakan IUD. masih menggunakan pil, jad out”. Sebanyak 52,1% masih t tapi sebanyak 79,7% masih tet Tabel 3. : Distribusi Pemakaian Kontrasepsi, 1994. Mere Moder Meco eine ponnt Senn He F WUD ts Ha on Tabs Va Coy Fog Sn DH Ti Tel Jn wate maser UN Mer font oni tod: Beas pine Ber Repay ieee rr ee a jah Sy Si tus aso ty 12 87 0 $0 2807 1S 3 HOMO Ay PRibees i tn 72 20 07 48 14 te 87 04 Of 2 89 Mae sim Pw AT foe ug as 0 1) 100 3612 AS O60 08 HAO am Jur uae 5 no Sho) Bs wk 4 a9 97 S138 2H SHO) PIYeoatie Me mE HS thi Ge 42 46 OF 23° 6 09 OF HA MOD 52m tal eee ad imo 09 ce as of 19 13 02 OH MS Ime ae weBiil 95 GS WE TH ng ak 37-25 OS 40 B12 a9 SOS MDD Gay been) wm as 22 129 a9 Qe OX 22 1S 90 G7 7 ID oo | Sue Go ar inst 97 13 21 Si 02 GF 3424 OF SO tonO aH see, Maa de a 7M 2b ao Ita 13 0 588 ton0 Seer Ss at ass as toy 13 0 30 a4 2H 24 02 Ot td eee 03-99 S98 -BS OS 27 LE LTS 02 Oe OS 407 Imo wt Ne gk 9 ta 08 97 01 Be LY 0 19 06 OL 12 S02 Ima Rie $06 95 2 30 BO 1S 16 Lo Oo 1h OS 00 ae 4 imo Rael S239 3D 76 G7 kM OT Se 12 OL 22 5S tm Ses wr 2s ba 7 ao 47 de ao 1S 2H ad tS as tena Sit e248 M21 UY ao 7a 204747 a ton 8 Jowell 457 418184 06 40 18 3 39 14 07 1B S43 19290 1218 17 a) 26 1S 06 02 590 1000 50 Rin Mo se 18D Jab Sat St 4S 07 4&5 06 01 19 06 09 04 M9 1m0 He Bengkuls 616 G02 195 4G 120 10 102 27 Ol 14 02 05 06 M4 1000 17 NIT y3 M6 32 80 Be Oo 10 28 11 47 24 16 OF @7 Imo TimTim 26: OF_ 20 «DMA 0230-1 OD 10 774 1000 TIS Kaleng 4S ALI 2641S 104 00-24 04 G34 O00 34 SSS 1000 BT Kale! 0s 47 BI 90 WO 15 20 36 02 Sh 09 18 21 395 1900 3 Sulterg 52517 GF 29 OF 40 12a «4213-1 1S «AS 1000 BS Sales “3 29 60 166 O1 42 19 at 45 31 1D 04 537 1000 Maluku M9 89°49 42 03 33 13 03 15 dod od ost tend in a3 75 2€ 20 09 35 26 a01 21 16 031 02 S87 100 BF Indonesian, $47 S21 7A 1031520946 3.17 27 1d Ok OR 453 100 26INE Sumber : Central Buren cf Statistic, 1953, Kecuali terdapat variasi berdasarkan jenis kontrasepsi te! dapat pula perbedaan berdasarkan daerah. Di dalam studi in! tingkat kelangsungan pemakaian kondom lebih tinggi di Jaw" Bali daripada di Luar Jawa Bali I. Angka-angka di atas mem” Berbagai.Aspek Keluarga Berencana 17 berikan gambaran secara umum karena perbaikan-perbaikan dalam pelayanan kontrasepsi dan meningkatnya pengetahuan akseptor mempengaruhi tingkat kelangsungan pemakaian kontrasepsi. Selanjutnya perlu dicatat bahwa pergantian kon- trasepsi bagi pemakai adalah sesuatu yang wajar. Karena itu sangatlah perlu bahwa yang bersangkutan mempunyai pe- ngetahuan yang baik tentang tiap-tiap cara kontrasepsi, dan dia dapat memilih dengan bebas, sehingga dia dapat membuat pilihan yang bijaksana. Pada Tabel 4 dapat dilihat besarnya proporsi pemakai- an kontrasepsi yang efektif dan kemandirian. Berhubung ada overreporting, cakupan kontrasepsi di sini lebih tinggi (59,9% pada tahun 1990) daripada yang tercantum dalam Tabel 3 (52,1% tahun 1994). Atas dasar tingkat kemanjuran kontra- sepsi dan tingkat kelangsungan pemakaiannya, maka dibuat klasifikasi kontrasepsi yang dinamakan Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih (MKET). Kedalamnya termasuk IUD, susuk (Impant) dan sterilisasi (vasektomi dan tubektomi). Sebanyak 35,5% dari akseptor menggunakan MKET. Selanjutnya se- besar 11,7% dari akseptor adalah peserta KB mandiri. Mereka menggunakan keluarga berencana dengan beaya ditanggung sendiri: menggunakan saluran swasta atau alatnya dibeli sen- diri. Dari sudut penggunaan MKET terdapat keragaman yang cukup besar. D.I. Aceh dan Kalimantan Selatan termasuk ren- dah sedangkan yang tergolong tinggi (di atas 40%) adalah Bali, D.I. Yogyakarta, Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Utara. Selanjutnya tingkat kemandirian yang rendah terdapat di NTT, Sulawesi Tenggara, Irian Jaya dan lain-lain. Sebaliknya urutan tingkat kemandirian yang tinggi adalah DKI Jakarta, D.I. Yogyakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Jambi dan ali. P Fe Penduduk dar: Perubahay, Tabel 4. Pencapaian Kontrasepsi Efektif (Maret 1990). CU MKET CU Mandisi %o % jnsi PUS cu O% Propinsi a 484.607 328.133 67,7 68 65 2 eet ‘Utara 1.238824 902.695 728 = 364116 3 Sumatera Barat. 451471 307.195 68,0 49,2. 10,1 4. Riau 387780 © 301.459«-77,7— 20,210 5, Jambi 262.736 202.190 76,9 40 13.4 6. Sumatera Selatan 705.976 526.155 74,5 246 1d 7, Bengkulu 165.343 125.949 76,1 32,4 40 8. Lampung 837.077 666.0% 79,5 «32,7 106 9. DKI Jakarta 964.183 758.079 786 © 387 44.2 10. Jawa Barat 4.987.707 3.367.122 67,5 27,1 11,3 11. Jawa Tengah 4.117.035 3.282.357 79,7 41,2 14,7 12. DI. Yogyakarta 373.961 327.637 87,6 61,3 29,2 13. Jawa Timur 5.221.143 4.260.240 81,5 44,0 8,1 14. Bali 402.369 341.111 84,7 82,1 13,0 15. NTB 465.581 337.455 72,4 35,9 24 16. NIT 343.411 202.996 59,1 411 03 17. Kalimantan Barat 464.835 337.505 72,6 12,5 54 | 18. Kalimantan Tengah 183.753 127.678 69,4 15,7 a7 19. Kalimantan Selatan 412.318 299.310 72,5 10,4 8,3 20. Kalimantan Timur 287.961 192.272 66,7 23,3 14,6 21. Sulawesi Utara 317.516 266.020 83,7 40,5 108 22, Sulawesi Tengah 233.298 144.439 61.9. 26.6 24 23. Sulawesi Selatan 848.404 572.940 67.5 15,4 29 24. Sulawesi Tenggara 177.935 102.818 57.7 18,6 03 25. Maluku 219.174 150.079 68,7 27,6 67 | 26. Irian Jaya 185.074 71.720 38,7 36,9 25 27, Timor Timur 87.228 23.023 26,3 18,2 34 Indonesia 30.898.749 18.525.304 59,9 35,5 17 Sumber: BKKBN, 1990, Keterangan: MKET ~ Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih , Apabila dipakai ketiga kriteria tersebut — pan, penggunaan MKET dan kemandirian — maka empat propinsi menempati tempat yang tinggi, yakni DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bali dan Jawa Tengite i. tingginya caku- Berbagai Aspek Keluarga Berencana 19 Apakah yang merupakan faktor dari kesuksesan pro- gram keluarga berencana di Indonesia? Satu hal yang penting adalah prioritas yang tinggi dan keterlibatan pemerintah yang besar untuk kesuksesan program tersebut. Program keluarga berencana secara formal merupakan salah satu dari delapan Kunci Sukses Dalam Pembangunan. Kedelapan Kunci Sukses tersebut adalah: . 1. Sukses dalam program peningkatan produksi pangan menuju swasembada. 2. Sukses dalam pembinaan koperasi khususnya KUD yang memenuhi 3 sehat, yakni: a. sehat pangan; 2. se- hat rohani dan 3. sehat mental. 3. Sukses dalam pelaksanaan Proyek-proyek Inpres. 4. Sukses dalam pelaksanaan program kependudukan tentang KB dan transmigrasi. Sukses dalam usaha memasyarakatkan P4. 6. Sukses dalam pelaksanaan kebijaksanaan pembang- unan di bidang ekonomi dan pelaksanaan pembang- unan sejak dari Knop 15 sampai dengan Keppres 14/ 79, Keppres 14a/80 dan Keppres 18/81. 7. Sukses dalam menyelesaikan masalah pertanahan yakni peningkatan penertiban status tanah dan peng- gunaan tanah. 8. Sukses dalam meningkatkan ekspor Indonesia yakni bahan-bahan komoditi di luar minyak. Dengan demikian berbagai departemen terkait, termasuk angkatan bersenjata, mempunyai keterlibatan yang penting dalam mensukseskan program KB. Departemen Dalam Ne- geri malah juga membuat target akseptor untuk unit-unit administrasinya sehingga dari gubernur sampai kepala desa turut terlibat. Keterlibatan pamong adalah sangat besar demi kesuksesan program KB. Pendekatan kemasyarakatan sangat menonjol dalam pro- wn - Pendudul dan Peruban gram KB Indonesia, yang dianggap lebih maju daripada berbagai negara lainnya, umpamanya. Thailand, Korea Selatan dan Taiwan. Pada tahun 1974/75 tercatat sebanyak 11.937 Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (PPKBD) untuk penyaluran beberapa jenis kontrasepsi. Jumlah tersebut me. lonjak menjadi 54.100 pada tahun 1983/84 dan 123.009 paguyuban KB atau Sub-PPKBD. Pada akhir Pelita III seba. nyak 70 % dari pil dan kondom disalurkan melalui PPKBD dan Sub-PPKBD tersebut, jadi proporsi terbesar jenis kon. trasepsi tersebut tersalur melalui saluran diluar klinik. Penurunan Angka Kelahiran Seperti telah diuraikan di muka dalam pembahasan mengenai variabel antara Davis dan Blake, terdapat 11 varia- bel antara yang mempengaruhi fertilitas, satu diantaranya keluarga berencana dan satu lagi sterilisasi. Dalam konteks Indonesia, salah satu variabel yang sering diperhatikan adalah perubahan usia kawin. Pada tahun 1971 rata-rata usia kawin pertama bagi wanita adalah 19,6 tahun, pada tahun 1980 naik menjadi 20,2 tahun dan menjadi 21,9 tahun pada tahun 1990. Kenaikan usia kawin, berarti kenaik- an usia berhubungan seks, secara langsung mempengaruhi fertilitas. Namun demikian, menurut ahli kependudukan, di dalam analisis mengenai penurunan angka kelahiran di In- donesia, pengaruh kenaikan usia kawin tersebut hanya sedi- kit (Adioetomo, 1988). Pengaruh penggunaan kontrasepsi jauh lebih besar. Pada tahun 1967 - 1970 diperkirakan CBR (Crude Birth Rate atau Angka Kelahiran Kasar atau jumlah kelahiran hidup per tahun per 1000 penduduk) sebesar 44 untuk Indonesia. Pada mulanya BEKBN membuat target penurunan CBR se- besar 50%, yakni CBR sebesar 22 pada tahun 2000, terhitung mulai tahun 1970. Mengingat kesuksesan program, kemudi- Berbagai Aspek Keluarga Berencana 21 an target tersebut dipercepat untuk tahun 1990. Kiranya tar- get tersebut tidak dicapai karena CBR untuk tahun 1990 ma- sih di atas 25. Namun itu tidak mengurangi kesuksesan pro- gram dalam menurunkan angka kelahiran sebagai kese- luruhan. Memang ada juga cara perhitungan kasar, yang secara langsung menghubungkan CU (Current User) atau proporsi akseptor terhadap PUS dengan CBR, seperti yang tercantum pada Tabel 5. Besarnya prevalensi (cakupan) kontrasepsi, atau prosentase PUS ber-KB, berkorelalsi negatif dengan CBR. Apabila dalam program KB tertentu prevalensi KB sebesar 20 diperkirakan CBR sebesar 40,5; kalau prevalensi 60 ditak- sir CBR sebesar 23,3. Ini dapat dijadikan sebagai pedoman kasar namun perlu diingat bahwa dampak prevalensi KB terhadap CBR dapat bervariasi karena perbedaan kombinasi kontrasepsi (contraceptive mix) yang dipakai. Tabel 5. Hubungan Antara Besarnya Cakupan Kontrasepsi dan Angka Kelahiran Kasar. Tingkat Taksiran Prevalensi CBR 0 49,1 10 44,8 20 40,5 30 36,2 40 31,9 | 50 27,6 60 23,3 70 19,0 Sumber: Mauldin & Segal, 1986:14; lihat juga Nortman dan Hofstatter, 1978:90. 22 Tabel 6. ee Perkiraan Angka Kelahiran Total (TFR Menurut Propinsi, Metode Anak Kandung (1971-1990), Penduduk dan Perubahan Penurunan Fertilitas 1967-70 dan 1986-89 Provinsi 1967-70 1986-89 (ersen) 1. DL. Aceh 6,265 4,367 30,3 2, Sumatra Utara 7,195 4,289 49,4 3. Sumatra Barat 6,180 3,890 37,1 4. Riau 5,940 4,088 31,2 5. Jambi 6,390 3,759 41,2 6. Sumatra Selatan 6,325 4,223 33,2 7. Bengkulu 6,175 4,054 343 i 8. Lampung 6,355 3,969 37,5 9. D.K.I. Jakarta 5,175 2,326 55,1 10. Jawa Barat 6,335 3,468 45,3 11. Jawa Tengah 5,330 3,049 46,4 12.D.. Yogyakarta 4,755 2,082 56,2 | 13. Jawa Timur 4,720 2,456 48,0 14. Bali 5,955 2,274 61,8 15. NTB 6,655 4,975 25,2 16. NTT 5,960 4,608 22,7 17. Timor-Timur 7 5,729 3 18, Kalimantan Barat 6,265 4.437 29,2 | 19. Kalimantan Tengah 6,825 4,029 41,0 20. Kalimantan Selatan 5,425 3,238 40,3 21. Kalimantan Timur 5,405 3,275 39,4 22. Sulawesi Utara 6,790 2,687 60,4 23. Sulawesi Tengah 6,530 3,853 41,0 24. Sulawesi Selatan 5,705 3,538 38,0 25. Sulawesi Tenggara 6,445 4,908 23,8 26. Maluku 6,885 4,593 33,3 27. Irian Jaya 7,195 4,704 31,7 INDONESIA 5,605 3,326 40,7 Sumber: BPS, 1994:23 Berbagai Aspek Keluarga Berencaria = © 23 Perubahan angka kelahiran sangat lazim dihitung de- ngan perubahan Angka Kelahiran Total atau Total Fertility Rate (TFR), yakni jumlah anak lahir hidup pada seorang wa- nita selama masa reproduksinya. Analisis data tiga Sensus Pen- duduk menunjukkan perubahan TFR antara sekitar 1970, 1980 dan 1990. Namun untuk Tabel 6 tidak digunakan hasil Sensus 1980. Perkiraan Angka Kelahiran Total (ITFR) pada tahun 1967-1970 adalah 5,605, turun menjadi 3,326 pada ta- hun 1986-1989. Jadi dalam kurun waktu dua dekade, dari tahun 1970 ter- jadi penurunan angka kelahiran dari 5,6 menjadi 3,3, yakni penurunan sebesar 40,7%. Terdapat variasi antar propinsi yang cukup besar dalam hal penurunan angka kelahiran ini. Dalam dua dekade telah terjadi penurunan angka kelahiran yang drastis, yakni di Bali penurunan sebesar 61,8%, di Sulawesi Utara 60,4%, di D.I. Yogyakarta 56,2% dan di Jakarta sebesar 55,1%. Dengan demikian Bali telah menunjukkan bahwa di dalam konteks tradisi dan agama yang kuat program keluar- ga berencana dapat mencapai hasil yang spektakuler. Untuk mencapai tujuan itu lembaga tradisional seperti banjar ma- lah dapat dimanfaatkan. Angka kelahiran semakin beragam. Angka kelahiran to- tal yang cukup rendah terdapat di D.I. Yogyakarta (2,1), Ja- karta (2,3), Bali (2,3) dan Sulawesi Utara (2,7). Sebaliknya ber- bagai propinsi mempunyai angka kelahiran di atas 4. Angka kelahiran di D.1. Aceh, Sumatera Utara Sulawesi Tenggara dan Maluku lebih dua kali lipat angka kelahiran di D.L Yogya- karta. Perbedaan angka fertilitas tersebut berkaitan dengan la- manya program dimulai, yakni paling awal di Jawa dan Bali, kemudian di Luar Jawa Bali I dan akhirnya di Luar Jawa Bali IL. Namun nilai-nilai dan kebudayaan lokal juga cukup mem- berikan pengaruh. Penduduk dan Perubahay 24 Aspek Sosial Budaya Persoalan keluarga berencana menyangkut sesuatu yang sekitar aktivitas seks dan cara-cara yang dipakaj dari kehamilan. Masalahnya adalah sesuaty at pribadi, lalu pelan-pelan, melalui penang. anan yang cukup bijaksana dibuat menjadi terbuka dan per. soalannya diperbincangkan dan dikomunikasikan secara ter- buka. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa di berbagai negara sedang berkembang persoalan keluarga berencana ma- sih sensitif dan tidak dapat dimasukkan kedalam program pe- merintah. Keterlibatan pemerintah dan masyarakat sangat besar dan komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) mendapat tem- pat yang penting. Para pejabat, dari presiden sampai kepala dusun menunjukkan keterlibatannya dengan caranya sen- diri-sendiri, begitu juga alim ulama, seniman dan tokoh-tokoh lainnya. Ada akseptor teladan, ada pertanyaan-pertanyaan menyangkut KB dalam acara cerdas tangkas, ada film berte- makan KB, dll. Itu semuanya memegang peranan yang penting dalam mengikis rintangan sosial budaya dan meningkatkan motivasi melaksanakan keluarga berencana. Pengenalan kontrasepsi moderen seperti IUD, pil, sun- tik, Implant, kondom dan lain-lain berarti memperkenalkan teknologi baru untuk sesuatu yang bersifat pribadi. Di da- lam sejarah kontrasepsi, baik pada tingkat nasional, maupun internasional terdapat kecenderungan-kecenderungan yang berbeda dalam mengadopsi jenis-jenis kontrasepsi. Dimensi waktu juga penting karena penerimaan masyarakat terhadap kontrasepsi tertentu dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu. Terdapat norma-norma mengenai kontrasepsi dan juga terdapat perubahan norma. Pelaksana program perlu peka terhadap persoalan itu. Untuk Indonesia jelas kelihatan bah- wa masyarakat Bali yang paling reseptif terhadap JUD. sensitif, yakni s untuk menghin yang bersifat sang: Berbagai Aspek Keluarga Berencana : 25 Penerimaan IUD paling tinggi di sana. Di dalam salah satit seminar ada yang menanyakan: apakah pemeluk Islam yang taat cenderung kurang dapat menerima IUD? Tidak ada yang dapat menjawab pertanyaan itu. Belakangan ini penerimaan kontrasepsi suntik sangat melonjak. Berbagai Propinsi yang tadinya mempunyai ak- septor pil yang tinggi mengalami pergesaran karena banyak akseptor beralih ke suntik. Untuk jangka waktu yang cukup lama akseptor pil sekitar 50 % sehingga merupakan metode yang utama, tetapi pada tahun 1994 menyusut menjadi 17,1%. Pil didesak oleh suntik yang kemudian menempati nomor dua pada tingkat nasional. Apakah ada faktor kultural yang mempengaruhi di sini, umpamanya. suntik diasosiasikan de- ngan kemanjuran yang tinggi? Pemakaian susuk juga sudah meningkat. Kondom, yang di dalam sejarah kontrasepsi sering di- hubungkan dengan pelacuran, tidak begitu populer dalam program. Juga tidak begitu dianjurkan oleh program dan me- mang tidak termasuk dalam MKET. Dari dahulu proporsi akseptor kondom terbesar adalah di DI Yogyakarta. BKKBN menangani persoalan sterilisasi dengan hati-hati karena Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak dapat menerima cara tersebut. Sterilisasi atau kontrasepsi mantap (kontap) secara resmi tidak masuk ke dalam program KB Indonesia. Menarik perhatian bahwa alim ulama Islam di Bangladesh, Pakistan dan Tunisia dapat menerima sterilisasi, tetapi di In- donesia cara tersebut tidak dapat diterima. Namun demikian, akseptor sterilisasi terus meningkat, berkat kegiatan Perkum- pulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI) dan dukungan berbagai fihak, termasuk BKKBN. Penerimaan sterilisasi (tu- bektomi) cukup tinggi di Bali, Jakarta dan Sumatera Utara. Upaya keluarga berencana hanya dapat berhasil jika ada perubahan nilai mengenai anak, yakni perubahan dari norma- norma keluarga besar menjadi norma-norma keluarga kecil. 26 Penduduk dan Perubahan Sikap yang menunjukkan “ada anak ada rejeki” harus diru- bah. Di dalam penelitian-penelitian tentang nilai anak terung. kap keuntungan dan beban ekonomi anak, keuntungan dan beban psikologis serta keuntungan dan beban sosial anak. Preferensi yang kuat terhadap anak laki-laki relatif tidak- lah kuat bagi berbagai masyarakat Indonesia, umpamanya pada masyarakat Sunda dan Jawa. Semboyan “anak laki-laki dan perempuan sama saja” lebih dapat diterima daripada di India umpamanya yang mempunyai preferensi anak laki- laki yang kuat. Jelas hal tersebut menguntungkan bagi per- kembangan program di Indonesia. Pada masyarakat yang belum maju anak membawa ke- untungan ekonomi karena pada usia yang dini dapat mem- bantu orang tua dan ongkos untuk pendidikan tidak ada atau kecil. Sebaliknya pada masyarakat maju anak merupakan be- ban ekonomi karena beaya hidup dan beaya pendidikan cu- kup tinggi. Dalam hubungan itu J.C. Caldwell mengeluarkan teori mengenai arus kekayaan antara orang tua dan anak (flow of wealth theory). Menurut teori tersebut, di negara maju keka- yaan mengalir dari orang tua ke anak dan sebaliknya di negara berkembang kekayaan mengalir dari anak ke orang tua (lihat Lucas et al, 1984:158). Terdapat dua macam beban ekonomi anak, yakni: 1, Biaya pemeliharaan langsung atau biaya finansial berupa biaya yang dikeluarkan oleh orang tua untuk makanan, pakaian, perawatan kesehatan dan pendi- dikan anak. 2. Biaya alternatif (opportunity costs), yakni penghasil- an yang hilang atau biaya yang dikeluarkan karena mengasuh anak. Apabila seorang isteri berhenti be- kerja ketika anak-anak masih kecil maka dia ‘kehilang- an’ gaji yang akan dia terima seandainya dia bekerja. Jika dia terus bekerja maka dia harus mengeluarkan Berbagai Aspek Keluarga Berencana 7 biaya untuk pengasuhan anak; ini juga dianggap biaya alternatif. Jadi norma-norma keluarga kecil hanya dapat berjalan de- ngan mantap apabila program KB dibarengi oleh kemajuan- kemajuan sosial ekonomi. Dengan demikian, kemajuan-ke- majuan program KB di Indonesia dan penurunan angka ke- lahiran yang berkelanjutan, jelas berkaitan pula dengan ke- majuan sosial ekonomi selama Orde Baru. Aspirasi tentang kemajuan anak, pendidikannya, mobilitas penduduk, perbaik- an sarana dan prasarana, pergeseran nilai-nilai mengenai anak, kesempatan bekerja untuk wanita di luar rumah dan pening- katan peranan wanita pada umumnya, semuanya itu turut menunjang berkembangnya norma-norma keluarga kecil. Kesimpulan Indonesia telah mengalami penurunan angka kelahiran yang cukup besar dalam dua dekade terakhir. Walaupun per- ubahan pola perkawinan turut menyumbang kedalamnya tetapi faktor utama dari penurunan tersebut adalah berkat kemajuan yang dicapai oleh progam keluarga berencana. Baik di dalam penurunan angka kelahiran maupun di dalam penerimaan kontrasespsi dan jenis-jenis kontrasepsi, terdapat keragaman yang mencolok antar daerah, namun se- cara keseluruhan hasil yang dicapai adalah memuaskan. Prioritas yang tinggi yang diberikan pemerintah terha- dap program KB dan manajemen program yang baik adalah faktor yang penting dari kesuksesan program. Namun fak- tor sosial budaya yang menguntungkan juga sangat meno- pang. Dari mula tidak ada golongan agama yang menentang, malah tokoh-tokoh agama dan organisasi-organisasi agama turut memberikan sumbangannya. Berbagai lembaga sosial lainnya dan organisasi-organisasi profesi juga turut memberi- kan dukungan. 8 Penduduk dan Perubahan i i penduduk Indonesia, umpamanya. Jawa, Soot eau sistem kekerabatan bilateral dan tidak mempunyai nilai yang amat kuat terhadap preferensi anak laki-laki. Kiranya faktor tersebut juga memberikan sumbang. sih yang tersendiri terhadap pembinaan norma-norma ke. luarga kecil. @ Kepustakaan Adioetomo, Sri Moertiningsih. 1984. “Pola Fertilitas di In- donesia: Analisa Secara Umum”, dalam Sri Harijati Hat- madji dan Sulistinah Irawati Achmad: Analisa Fertili- tas di Indonesia Berdasarkan Data Sensus Penduduk 1980, Buku I. Jakarta, Biro Pusat Statistik, hal. 33-88. ——-——— . 1990."Lembaran Data Keluarga Berencana Nasional”. Jakarta. Bongaarts, John. 1978. “A Framework for Analyzing The Proximate Determinants on Fertility,” Population and Development Review, 4(1): 105-132. Bongaarts, J. and R.G. Potter. 1983. Fertility, Biology and Be- havior; an Analysis of the Proximate Determinants. New York, Academic Press. Central Bureau of Statistics et al. October 1995. Indonesia De- mographic and Health Survey. Jakarta. Cho, Lee-Jay, et al. 1982. The Determinants of Fertility in The Republic of Korea. Washington D.C., National Aca- demy Press. Davis, K. and J. Blake. 1956, “Social Structure and Fertility: An Analytic Framework”, Economic Development and Cultural Change, April, 4: 211-235, Fawcett, James T. 1984. Psikologi dan Kependudukan: Masalal- masalah Penelitian Tingkah Laku dalam Fertilitas dan Berbagai Aspek Keluarga Berencana 2» Keluarga Berencana. Jakarta, Rajawali. Frisch, R.E. 1978. “Population, Food Intake and Fertility”, Science, 199: 22-30, Hatcher, Robert A., et al. 1984. Contraceptive Technology, 1984-1985. 12th edition. New York, Irvington Publish- ers. Hull, VJ. 1976. The Positive Relation between Economic Class and Family Size in Java. Yogyakarta, Lembaga Ke- pendudukan U.G.M. Indonesia. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1986. Laporan Program KB Nasional Selama 3 Pelita, 1969-1984. Jakarta. Indonesia. Biro Pusat Statistik. 1994. Tren Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi, Jakarta. Lucas, David, et al. 1984. Pengantar Kependudukan. Yogya- karta, Gadjah Mada University Press. Martiono, Kun. 1988. “Kenang-kenangan Sebelum Program Nasional”, dalam Abdul Bari Saifuddin et al: Bunga Ram- pai Gerakan KB Nasional (Dasawindu Prof. Dr. H.M. Judono). Jakarta, Panitia Peringatan Dasawindu Prof. Dr. H.M. Judono, hal. 27-34. Mauldin, W.P. and S.J. Segal. 1986. Prevalence of Contracep- tive Use in Developing Countries. New York, The Rockefeller Foundation. Nortman, Dorothy L. 1982. Population and Family Planning Programs; a Compendium of Data Through 1981. New York, The Population Council. Nortman, Dorothy L. and E. Hofstatter. 1978. Population and Family Planning Programs. Ninth edition. New York, The Population Council. Penduduk dan mas 30 Sekretariat Panitya Musyawarah Nasional Ulama. 1983, “Keputusan Musyawarah Nasional Ulama tentan, Kependudukan, Kesehatan dan Pembangunan.” Jakarta, 17 Oktober. Ross, John A., et al. (ed.). 1982. Family Planning and Child Survival: 100 Developing Countries. New York, Center for Population and Family Health, Columbia Univer. sity. Singarimbun, Masri. 1988. “Pencapaian Program Keluarga Be- rencana di Indonesia”, Prisma, 17(3): 3-15. Tietze, Christopher. 1983. Induced Abortion; A World Review, 1983. New York, The Population Council. Peranan Laki-laki dalam KB 31 Peranan Laki-Laki dalam Keluarga Berencana Pendahuluan SECARA umum terdapat praduga bahwa laki-laki tidak be- gitu besar peranannya dalam keluarga berencana. Laki-laki dianggap kurang acuh dan keperduliannya perlu ditingkatkan. Di Amerika Latin sikap tersebut dikaitkan dengan machismo, yakni nilai kejantanan yang amat tinggi dan mempunyai anak banyak merupakan manifestasi dari machismo tersebut. Bahwa perempuan lebih perduli terhadap keluarga beren- cana memang mudah dipahami karena hal-hal berikut. Per- tama, perbedaan biologis yang menyebabkan perempuan le- bih “terjebak” di dalam proses reproduksi; dia yang menjadi hamil dan menanggung segala konsekuensi kehamilan itu se- cara langsung; dia yang menderita dan mati karena melahir- kan; dia yang menyusui bayi dan merawatnya secara intensif. Dialah yang menggugurkan, kalau dianggap sangat perlu. Ke- dua, statusnya yang lebih rendah, komunikasi suami istri yang ku-rang memadai dan suami tidak mudah diajak turut berpar- tisipasi dalam praktek keluarga berencana. Faktor ketiga me- nyangkut teknologi kontrasepsi. Di dalam perkembangannya, metode yang ampuh lebih banyak metoda perempuan - IUD, Pil, Suntik, Norplant - daripada metode laki-laki. Agaknya tuduhan bahwa suami pada umumnya kurang bertanggung jawab dalam keluarga berencana juga kurang adil, karena sebetulnya berbagai survai menunjukkan, bahwa ke- inginan akan jumlah anak berimbang antara suami dan istri. a =~ 32 Penduduk den Perubahan Survai-survai tersebut tidak menunjukkan bahwa sua-mi tidak perduli atau menginginkan jumlah anak yang lebih banyak dari istri. Di dalam tulisan ini dibicarakan keragaman pemakaian kontrasepsi laki-laki di berbagai negara dan dija. jagi faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pengalaman Berbagai Negara Barat Apabila diperhatikan cara-cara kontrasepsi yang di- pakai di Inggris dan Amerika Serikat di masa yang lalu maka jelas bahwa di dalam proses penurunan tingkat kelahiran di negeri-negeri tersebut metode-metode laki-laki memegang peranan yang penting.-Jadi, sebelum metode modern ditemu- kan, metode kontrasepsi sederhana sudah berhasil menurun- kan angka kelahiran di berbagai negeri. Dengan kata lain, da- lam transisi demografi pada negara-negara Barat di mana ter- jadi penurunan angka kelahiran secara mantap, cara laki-laki - sanggama terputus, kondom dan pantang berkala - memegang peranan yang menentukan. Di Inggris dan Amerika Serikat umpamanya, sampai ta- hun enampuluhan cara laki-laki sangat memegang peranan penting. Walaupun metode laki-laki cukup menonjol di Amerika Serikat menempati nomor 5. Apabila kondom dan sanggama terputus digabungkan untuk Inggris maka kedua metode itu mencakup proporsi yang sangat besar. Sebalik- nya di Amerika Serikat diafrahma, yang merupakan metode perempuan, menempati nomor dua. : Angka-angka dalam Tabel 1 dengan jelas menunjukkan betapa besarnya peranan laki-laki dalam keluarga berencana di Inggris dan Amerika Serikat sampai awal tahun enamp- luhan. Seperti yang tercantum dalam catatan Tabel 1, caf laki-laki, yakni gabungan kondom, sanggama terputus, P® tang berkala dan abstinensi, adalah sebesar 76,7% di Inggr's dan 57,0% di Amerika Serikat. Peranan Laki-laki dalam KB 33 Tabel 1. Prosentase yang Menggunakan Metode Tertentu di Inggris(1959-1960) dan Amerika Serikat (1960). Inggris | Amerika Serikat 1. Kondom 49,1 50 2. Sanggama terputus 43,7 17 3. Pantang berkala 15,6 135 4, Abstinensi 2,6 4 Cara laki-laki 111 106 5. Diafrahma (cap) 10,9 38 | 6. Pessary, gels, dll. 10,3 6 7. Penyemprotan (douche) : P a 8. Jelly, cream a Fi 9. Lain-lain 1447 ae Catatan: Prosentase > 100 karena memakai lebih dari satu jenis kontrasepsi. Sumber Piere dan Rowntree, 1961: 127, untuk Inggris dan Whelpton et al, 1966:278, untuk Amerika Serikat. Cara laki- laki, yakni digabungkan dari kondom, sanggama terputus, pantang berkala dan abstinensi sebesar 76,7% di Ingeris (111:144,7 X 100) dan 57,0% di Amerika Serikat. Penemuan pil dan spiral plastik mengakibatkan terjadi- nya revolusi dalam pemakaian kontrasepsi di dunia pada umumnya. Keampuhan pil mendekati 100% dan pemakaian- nya estetis bila dibandingkan dengan diafrahma, jelly atau kondom. Seperti diketahui, kelebihan IUD, sekali ia terpasang dan serasi dengan si ibu, supply dan dan motivasi lanjutan ti- dak diperlukan lagi. Py Penduduk dan anual Berdasarkan hasil World Fertility Survey yang dilaksang. kan pada tahun 1975, Jerzy Berent mengadakan perbanding. an yang menarik perhatian bahwa terdapat variasi yang cukup besar antara negara yang satu dengan negara yang lainnya da. lam pemakaian cara-cara modern dan cara-cara lama. Tabel 2. Prosentase Pemakai Tiap Cara Kontrasepsi di Berbagai Negara Barat Sekitar 1975. Pil TUD CWL Tub Vas Kon PB ST Abs CP Belgia 38 4 1 6 1 8 15 27 =a Bulgaria 32 = 1 41 33 5 79 7-65 Cekoslowakia 15 19 1 a 9 14 743 1 62 Denmark 35° (14 7 - - 39 1 Zeige 9,142, Finlandia 14 36 1 5 1 40 1 3 - 45 Perancis 3413-25 - BO Oe Inggris 360-«9 63: 10 11 «23 1G Ot Hongaria 9 1 2 2°09 «5 5 ay 43g Trali 18 ie 3 1 - 17 11 46 - 74 Nederland 66 6 1 3 3 14 4 3 - 24 Norwegia AB SoHo On tO y Steg RPE tiger Acme Polandia MO Ae es 9 gh o5 ts 2 aS Rumania dei vee 2 - 3 11 4 - 8 Spanyol 2% 1 41) - 10 12 44 38 USA A A Sele Yugoslavia 9 3 6 - 4 8 6 - 7 Keterangan: CWL= cara Perempuan lainnya; Kon = kondom; PB= pantang berkala; ST= sanggama terputus; Abs= abstinensi; Tub= tubektomi; Vas= vasektomi; CP= cara laki-laki, yakni gabungan Vas, Kon, Pb, ST dan Abs. Seperti dapat dilihat dalam Tabel 2, negara-negara dengad pemakai pil yang tinggi, berturut-turut adalah: Nederland Peranan Laki-laki dalam KB 35 (66%), Hongaria (49%), Belgia (38%), Inggris (36%), Denmark (35%), Amerika Serikat (34%) dan Perancis (34%). Di negara- negara lainnya pemakaian pil di bawah 20% dan malah hanya 9% di Yugoslavia, 3% di Bulgaria dan 1% di Rumania Propinsi pemakai IUD yang tinggi adalah Norwegia (39%) dan Finlandia (36%). Yang juga tergolong relatif ting- gi adalah Cekoslowakia (19%), Denmark (14%), Perancis (13%) dan Hongaria (13%). Di negara-negara lainnya pemakai- an IUD di bawah 10%, termasuk Inggris dan Amreika Serikat. Ternyata pula bahwa cara-cara sederhana seperti kon- dom, sanggama terputus dan pantang berkala masih meme- gang peranan yang amat penting di berbagai negara. Kondom banyak dipakai di Finlandia (40%) Denmark (39%), Inggris (23%) dan Norwegia (23%). Sanggama terputus banyak di- praktekkan di Bulgaria (79%), Itali (46%), Rumania (44%), Spanyol (44%), Cekoslowakia (31%), Perancis (29%), Belgia (27%), Polandia (25%) dan Hongaria (23%). Jadi di negara-ne- gara tersebut kedua metode laki-laki yang konvensional ma- sih kuat bertahan. Selanjutnya pantang berkala banyak pula dipraktekkan di Polandia (41%) dan Rumania (41%). Berbicara mengenai vasektomi maka praktek vasektomi yang paling menonjol pada Tabel 2 adalah di Amerika Serikat (13%) dan Inggris (11%). Pada kedua negara tersebut sterilisasi memegang peranan yang penting karena tubektomi juga relatif sebanyak dipraktekakan, yakni 12% di Amerika Serikat dan 10% di Inggris. Dengan demikian akseptor sterilisasi sebanyak 25% di Amerika Serikat dan 21% di Inggris. Di kedua negara tersebut sterilisasi menempati nomor dua, sesudah pil. Cara laki-laki (CP) dalam Tabel 2, yang merupakan ga- bungan dari vasektomi, kondom, pantang berkala, sangga- ma terputus dan abstinensi menunjukkan bahwa variasinya cukup besar dari negara ke negara. Akseptor cara laki-laki berkisar antara 24% (Nederland) dan 95% (Bulgaria). Mayo- itas atau lebih dari 50% dari akseptor memakai cara laki-laki

You might also like