Professional Documents
Culture Documents
Ahmad Suriadi UIN Antasari Banjarmasin: Akulturasi Budaya Dalam Tradisi Maulid Nabi Muhammad Di Nusantara
Ahmad Suriadi UIN Antasari Banjarmasin: Akulturasi Budaya Dalam Tradisi Maulid Nabi Muhammad Di Nusantara
Ahmad Suriadi
UIN Antasari Banjarmasin
ahmadsuriadi@uin-antasari.ac.id
Abstract: Islam came to this archipelago, not in an empty culture of society. Cultural
practices are actually accommodated and adopted and then Islamized. Islam does not
displace the culture that lives in a society where Islam comes to enlighten the faith of
the people. Islam straightens, gives value, meaning and reinforcement of a culture that
has lived a long time in a preached society. There are three patterns of the spread of
Islam in Nusantara, namely; integrative, dialogic, and integrated dialogic-integrative.
These three patterns can be witnessed in religious traditions and rituals that are still
practiced by the society until today. This research is a literature research (library
research) that discusses the concepts around cultural acculturation in relation to the
tradition of the maulid of the prophet. In the prophet's maulid there are various
traditions such as in Yogyakarta as commemorated by the tradition of grebek mulud.
In South Kalimantan there is a Baayun Mulud tradition. Maudu Lompoa around
Cikoang Takalar, South Sulawesi. Then Babaca Maulid Nabi combined with the
tambourine strains in Ternate. While in West Sumatra, known as Malamang and
Mulud Badikia.
Keywords: Acculturation; Culture; Tradition; Maulid of the Prophet;
Nusantara
budaya kaitannya dengan tradisi maulid nabi. Pada maulid nabi ada banyak yang
tradisi yang bervariatif seperti di Yogyakarta ada tradisi grebek mulud. Di
Kalimantan Selatan terdapat tradisi Baayun Maulid. Maudu Lompoa di sekitar
Cikoang Takalar, Sulawesi Selatan. Kemudian Babaca Maulid Nabi dipadu
dengan alunan rebana di Ternate. Sementara di Sumatera Barat dikenal dengan
Malamang dan Mulud Badikia.
Kata kunci: Akulturasi; Budaya; Tradisi; Maulid; Nusantara
Pendahuluan
Islam sebagai salah satu agama monoteis mengajarkan kehidupan
yang lebih melihat kenyataan sosial, tidak hanya sebagai agama yang
turun dari langit. Islam sangat memahami lokalitas budaya setempat dan
historitas pergumulan antara teks dan realitas. 1 Peradaban arab Islam
adalah peradaban teks, karena teks menjadi rujukan penting dalam
menghadapi dan memahami keduanya, dan Al-qur’an sendiri merupakan
kumpulan teks menjadi acuan keberagaman bagi umat manusia
khususnya Islam. Di dalamnya terkandung pergolakan ilmiah dalam
memahami pesan Tuhan yang kemudian dihubungkan dengan realitas
yang terjadi pada saat pembentukan teks.2
Islam hadir di Nusantara bukan dalam masyarakat hampa budaya.
Praktik budaya justru diakomodir dan diadopsi kemudian diislamisasi.
Islam tidak menggusur budaya yang hidup dalam masyarakat di mana
Islam datang untuk mencerahkan akidah umat. 3 Islam meluruskan,
memberi nilai, makna dan penguatan terhadap budaya yang sudah hidup
lama dalam satu masyarakat yang didakwahinya. Abdul Hadi
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 12, no. 2 (July 22, 2011): 367–84,
https://doi.org/10.14421/esensia.v12i2.718.
6Zulfa Jamalie, “Akulturasi Dan Kearifan Lokal Dalam Tradisi Baayun Maulid
Metode
Artikel ini merupakan hasil penelitian literatur (library research)
yang melihat fenomena perayaan maulid di Nusantara sebagai buah dari
sebuah akulturasi budaya. Sumber data yang dipergunakan yaitu
Agama Masyarakat Pamekasan, Madura,” Dalam Jurnal ISTIQRO’, Jurnal Penelitian Islam
Indonesia Edisi 6, no. 01 (2007): 1428.
8 Edi Susanto, “Islam Pribumi Versus Islam Otentik (Dialektika Islam
Universal Dengan Partikularitas Budaya Lokal),” KARSA: Jurnal Sosial Dan Budaya
Keislaman 13, no. 1 (2012): 16–24,
http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/karsa/article/download/128/119.
9 Clifford Geertz, Abangan, santri, priyayi dalam masyarakat Jawa, trans. Harsya W
kepustakaan yang relevan dengan kajian yang meliputi dua buah variabel
utama, yakni akulturasi budaya dan perayaam maulid nabi Muhammad di
Nusantara. Pengumpulan data dilakukan dengan cara penelusuran
referensi yang relevan, baik secara manual menggunakan buku ataupun
sumber dari daring (online), kemudian data yang diperoleh disaring dan
diseleksi sesuai yang diperlukan. Tahapan berikutnya yakni penulisan,
yang dilakukan secara runtut, logis, dan sistematis.
Akulturasi Budaya
Berbicara tentang adat-istiadat (tradisi) bukan lagi sesuatu yang
langka bagi masyarakat Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa istilah adat istiadat mengacu pada
tata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari generasi ke generasi
sebagai warisan, sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku
masyarakat.10 Adapun makna lainnya adat-istiadat disebut sebagai suatu
hal yang dilakukan berulang-ulang secara terus menerus hingga akhirnya
melekat, dipikirkan dan dipahami oleh setiap orang tanpa perlu
penjabaran. Di dalam adat-istiadat itulah ditemukan tiga wujud
kebudayaan sebagaimana dijelaskan oleh pakar kebudayaan
Koentjaraningrat bahwa; pertama wujud kebudayaan sebagai ide,
gagasan, nilai atau norma. Kedua, wujud kebudayaan sebagai aktivitas
atau pola tindakan manusia dalam masyarakat. Ketiga, wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.11
Perkembangan tradisi pasti akan terjadi akulturasi, di mana istilah
ini lebih di gunakan dalam perpaduan antara kebudayaan yang satu
dengan lainnya, dengan tujuan menemukan nilai yang terkandung dalam
budaya tersebut. Dengan perpaduan budaya ini, masyarakat bisa
menerima dan di jadikan sebuah pandangan hidup dari sisi bermasyarakat
untuk menciptakan sebuah interaksi. 12 Sedangkan agama berasal dari
sansekerta dari kata a yang berarti “tidak” dan gama artinya “kacau”.
Kedua kata itu jika digabungkan berarti suatu yang tidak kacau, jadi
fungsi agama dalam pengertian ini adalah memelihara integrasi dari
Indonesia, 1987).
12 M. Zainal Abidin, “Islam Dan Tradisi Lokal Dalam Perspektif
Masyarakat Islam Aceh,” MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman 36, no. 2 (December 2,
2012), https://doi.org/10.30821/miqot.v36i2.119.
2002).
18Lanal Mauludah Zuhrotus Salamah, “Rekonstruksi Islam Jawa Saridin Dalam
Film Saridin; Studi Serial Film Saridin Produksi Cmc (Creative Media Community) Pati,
Jawa Tengah,” Khazanah: Jurnal Studi Islam Dan Humaniora 15, no. 2 (December 29,
2017): 161, https://doi.org/10.18592/khazanah.v15i2.1552.
dengan tradisi setempat namun tidak kehilangan esensi ajaran Islam itu
sendiri.
Tradisi Maulid
Maulid Nabi Muhammad SAW adalah peringatan hari lahir, yang
di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam
penanggalan Hijriyah. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang
berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW
wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan
penghormatan kepada Nabi Muhammad. Peringatan Maulid Nabi
pertama kali dilakukan oleh Raja Irbil (wilayah Irak sekarang), bernama
Muzhaffaruddin al-Kukbiri, pada awal abad ke 7 Hijriyah. Dijelaskan
oleh Sibth ibnu al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut, Sultan Al-
Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan ulama dari berbagai
disiplin ilmu, baik fikih, hadis, kalam, usul, tasawuf, dan lainnya. Sejak
tiga hari sebelum hari pelaksanaan Maulid Nabi, berbagai persiapan
dilakukan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para
hadirin yang hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap para
ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh
Sultan Al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua berpandangan dan
menganggap baik perayaan Maulid Nabi yang digelar untuk pertama
kalinya itu. 19
Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat Al-A`yan menceritakan
bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju
Syam dan seterusnya ke Irak. Ketika melintasi daerah Irbil pada tahun
604 Hijriah, dia mendapati Sultan Al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat
besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karena itu, Al-
Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi
yang diberi judul Al-Tanwir Fi Maulid Al-Basyir An-Nadzir. Karya
ini kemudian dia hadiahkan kepada Sultan Al-Muzhaffar. Para ahli
sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn Al-Jauzi, Ibn Katsir, Al-Hafizh
Al-Sakhawi, Al-Hafizh al-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan
bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah
Sultan Al-Muzhaffar. Namun juga terdapat pihak lain yang mengatakan
bahwa Sultan Salahuddin Al-Ayyubi adalah orang yang pertama kali
mengadakan Maulid Nabi. Sultan Salahuddin pada kala itu membuat
20
Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun
memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura,
maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain,
maulid Fatimah az-Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam
pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam
pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Sya’ban, perayaan malam
pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri,
perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas,
perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari
Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat. Asy
Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya mengatakan bahwa yang
pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid
Al Husain radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al
Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.
Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’
(hal. 251) dan ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga
mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun
(Fatimiyyun).
21 Suyuthi, Husn Al Maqshid Fi ’Amal Al Mawlid, 60.
Serta Statusnya Dalam Perkembangan Peradaban Modern,” Jurnal Ilmu Ushuluddin 11,
no. 1 (2012): 21–42.
23 Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles
24Edith Hall, “‘Master of Those Who Know’: Aristotle as Role Model for the
“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik
dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka
beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang
yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya
yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-
orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raf: 157).
"Jika seorang kafir yang memang dijanjikan tempatnya di neraka dan kekal
di dalamnya (surat Al-Lahab ayat 111) diringankan siksa kuburnya tiap
Senin, apalagi dengan hamba Allah yang seluruh hidupnya bergembira dan
bersyukur dengan kehadiran Ahmad dan meninggal dengan menyebut
"Ahad".
"Malam kelahiran Nabi SAW. merupakan malam yang mulia, utama, dan
malam yang diberkahi, malam yang suci, malam yang menggembirakan bagi
kaum mukmin, malam yang bercahaya-cahaya, terang benderang dan
bersinar-sinar dan malam yang tidak ternilai.”
"Itulah hari aku dilahirkan dan itulah juga hari aku diangkat menjadi
Rasul."
Hadis tersebut bisa kita dapat di dalam Sahih Muslim, kitab as-
Siyam (puasa). Namun, orang yang menentang perayaan maulid
berargumentasi bahwa dasar itu belum bisa dijadikan landasan dasar
pensyariatan seremoni Maulid Nabi SAW. Misalnya cerita tentang
diringankannya siksa Abu Lahab itu, mereka mengatakan bahwa Abu
Lahab yang diringankan siksanya itu pun hanya sekali saja
keagamaan dapat dilihat dari dua segi, yakni segi historis dan segi sosial
kebudayaan.
Dari sudut historis, pada cacatan al Sandubi dalam
karyanya Tarikh al-Ikhtilaf fi al-Maulid al-Nabawi, al-Mu’izz li-Dinillah
(341-365/953-975), penguasa dari Fatimiyah yang pertama menetap di
Mesir, adalah orang yang pertama yang menyelenggarakan perayaan
kelahiran Nabi yang tercatat dalam sejarah Islam. Kemudian kurun-
kurun berikutnya tradisi yang semula dirayakan hanya oleh sekelompok
Syi’i ini juga dilaksanakan oleh kaum Sunni, di mana khalifah Nur al-Din,
penguasa Syiria (511-569/1118-1174) adalah penguasa pertama yang
tercatat merayakan Maulid Nabi. Pelaksanaan secara besar-besaran
dilaksanakan untuk pertama kalinya oleh Raja Mudhaffar Abu Said al
Kukburi bin Zaid al-Din Ali bin Baktakin (549-643/1154-1232)
penguasa Irbil 80 km tenggara mosul Iran yakni pada awal abad ke 7/ke
13.31
Adapun karya-karya mengenai maulid tercatat memiliki
keterkaitan tarekat adalah al-Barzanji, yang diadopsi dari tarekat tertua,
Qadiriyyah, sedangkan kitab maulid al-Diba’i tidak memiliki kaitan
dengan tarikat tertentu. Namun hampir terdapat kepastian, bahwa
munculnya kitab-kitab Maulid pada abad ke 15M/ ke 9-10H sebagai
ekspresi penggugah semangat kecintaan dan kerinduan pada rasul
terilhami dari budaya sufisme. Tentu saja antara tasawuf dan tarekat
dengan kitab-kitab Maulid Nabi serta, serta tradisi pembacaannya
memiliki garis hubungan spiritual yang menjadi titik tolak bertemunya
doktrin tasawuf dengan isi atau kandungan kitab Maulid tersebut. Antara
sufisme dan maulid itu, dihubungkan dengan doktrin cinta
(mahabbah dan al-hubb). Maka disini, posisi kitab Maulid dengan segala
tradisinya menghubungkan antara pembaca dengan yang dicintai yakni
Nabi Muhammad. Kecintaan kepada Nabi Muhammad ini dalam tradisi
Maulid menjadi inti, sebagai sarana wushuliyyah menuju kecintaan kepada
31
Lihat kajian Nico Kaptein, Perayaan hari sejarah lahir nabi Muhammad
SAW, Asal usul sampai abad ke 10/16, terj Lillian D. Tedjasudhana, (Jakarta: INIS,
1994), 10/ ke – 16 terjemah lilian D. Tedjasudhana, (Jakarta: INIS, 1994), 10-18, 20-23,
27-29, dan 41. Bandingkan dengan Machasin, “Dibaan / Barjanjen dan
identitas keagamaan umat,” dalam jurnal Theologia, Fak Ushuluddin IAIN Walisongo,
vol 12, no 1 Pebruari, 2001, 24
yang terkait dengan kematian dan sebagainya. Luthfi Hadi Aminuddin, “Respons
Nahdlatul Ulama Ponorogo Terhadap Gerakan Islam Fundamentalis,” Kodifikasia 9, no.
1 (2015): 1–36.
Penutup
Islam tidak seharusnya dilihat pada konteks agama wahyu dan
doktrinal saja. Tetapi Islam harus dilihat juga sebagai fenomena dan
gejala budaya dan sosial. Pada konteks inilah Islam menyerap budaya dan
sejarah, sehingga memunculkan mozaik Islam baru dan bercorak dan
berwatak lokal dalam hal ini Islam dalam warna budaya di mana agama
tersebut tumbuh dan berkembang, Timur Tengah, Afrika, Eropa, Asia
termasuk di Indonesia dan Aceh. Jika mengikuti alur pikir akomodasi
tersebut, maka akan memunculkan setidaknya dua varian Islam yang
disebut dengan menggunakan berbagai istilah. Islam sebagai konsepsi
budaya disebut great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai
realitas budaya disebut little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi
lokal). Dengan kata lain, “Islam” dan “Islamicate” bidang-bidang yang
“Islamik”, yang dipengaruhi Islam. Tradisi besar (Islam) tentu saja adalah
Islam yang dipandang sebagai doktrin yang normatif dan original, yang
Daftar Pustaka