You are on page 1of 35
orang-orang mukmin (ajaran yang disepakati oleh kaum muslimin), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Q'S. an-Nisa' : 115) yat ini menunjukkan bahwa orang yang menginginkan keselamatan di akhirat, maka ia harus konsisten mengikuti Sabil al Mukminin; jalan kaum muslimin, yakni ajaran-ajaran dan hal-hal yang disepakati oleh para ulama Islam dan bahwa orang yang mengabaikan dan berpaling dari kesepakatan para ulama, maka balasannya adalah neraka Jahannam; tempat kembali yang terburuk. MUQADDIMAH ee Allah Ta’ala berfirman: SRE H0 SY I GS) Maknanya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan Mugaddimah Di antara prinsip keyakinan kaum muslimin, yang ditunjukkan oleh dalil-dalil dan bukti-bukti yang qath'i dar} al Qur'an, Hadits, akal dan Ijma' adalah mensucikan Allah ta'ala dari berada di suatu tempat atau menyebar di semua tempat. Allah ta’ala adalah pencipta tempat, Allah ada sebelum semua tempat ada, tanpa membutuhkan kepada semua tempat, kemudian Allah menciptakan semua tempat. Dan setelah Allah menciptakan semua tempat, Allah tetap ada seperti sedia kala tanpa tempat, karena Allah subhanahu wa ta'ala merubah (keadaan-keadaan makhluk) tanpa Ia berubah -sebagaimana kalimat ini populer di kalangan kaum muslimin yang awam dan terpelajar-, karena seandainya boleh berlaku bagi Allah perubahan (sifat berubah) niscaya Ja membutuhkan kepada yang merubahnya, sedangkan yang membutuhkan kepada selainnya tidak sah (tidak mungkin) menjadi tuhan Tempat adalah ruang kosong yang diisi oleh benda, atau bisa dikatakan: tempat adalah ruang kosong yang diisi oleh sesuatu yang memiliki ukuran. Seandainya Allah berada di sebuah tempat niscaya Allah adalah benda yang memiliki panjang, lebar dan kedalaman, sebagaimana matahari memiliki panjang, lebar, kedalaman, ukuran dan bentuk Sesuatu yang seperti ini -tidak diragukan lagi- pastilah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dengan panjang, lebar dan kedalaman tersebut, dan sifat membutuhkan bertolak belakang dengan sifat ketuhanan Dengan demikian, secara akal wajib mensucikan Allah dari tempat. Inilah dalil dari aka] Mugaddimah DALIL-DALIL BAHWA ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN ARAH EE els Dalil dari al Qur'an yang mensucikan Allah dari tempat adalah beberapa ayat al Qur'an, di antaranya firman Allah ta‘ala: OY ssh) GN Att as Loot ES oD Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makluk-Nya (baik dari satu segi maupun semiua segi) dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (QS.asy-Syura: 11) Karena seandainya Allah bertempat niscaya akan ada banyak serupa bagi Allah, yang tidak terhitung jumlahnya. Ini jelas bertentangan dan bertolak belakang dengan ayat tersebut. Jadi ayat Muhkamat ini sudah cukup sebagai dalil untuk mensucikan Allah dari tempat, ruang kosong dan arah, bahkan dari semua sifat-sifat makhluk. i dari Hadits Nabi Dalil dari hadits yang mensucikan Allah dari tempat, di antaranya adalah hadits riwayat al Bukhari, al Bayhaqi dan lainnya dengan sanad yang sahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: (sh Sly Abela Lat alg) 9k gb G8 lg ab GS Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan tidak ada sesuatu-pun Mugaddimah selain-Nya bersama-Nya; pada azal tidak ada air, udara, bumi, langit, kursi (yang ada di atas langit ke tujuh), 'Arsy, manusia, Jin, para Malaikat, waktu, tempat dan arah. Jadi Allah ta'ala ada sebelum adanya tempat tanpa tempat, karena tempat -tidak diragukan lagi- adalah selain Allah. Dan hadits ini menunjukkan bahwa Allah ada pada azal dan tidak ada sesuatu-pun selain-Nya, artinya, pada azal tempat belum ada. Tempat adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah, maka tentunya Allah tidak membutuhkan kepadanya. Dari sini-lah para ulama meriwayatkan dari Sayyidina Ali bahwaia berkata: agate gil ola) "OWS ale be LE OMI 585 IK Vg aU! G5" (Sill oe BAI d golaayl “Allah ada pada azal dan tempat belum ada, dan setelah menciptakan tempat, Allah tetap ada seperti sedia kala, tanpa tempat". Yakni Allah ada tanpa tempat, ini sebetulnya bisa dipahami dengan jelas dari hadits yang telah disebutkan. Al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya al Asma' Wa ash- Shifaat mengatakan: "Sebagian ulama besar Asy'ariyyah Syafi'iyyah dalam menafikan tempat dari Allah, mengambil dalil dari sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam: "Seb ESS Gull GUI CTs 28 E38 Gua pollu CAT "Engkau azh-Zhahir, tidak ada sesuatu-pun di atas-Mu dan engkau al Bathin, tidak ada sesuatu-pun di bawah-Mu". Al Bayhaqi melanjutkan: "Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya, berarti ia tidak bertempat". i —— nn ay v NE Mugaddimah 202 Paw. ae we Dalil dari lima’ (kesepakatan) Ulama Mensucikan Allah dari tempat ditunjukkan oleh al Qur'an dan Sunnah Nabi seperti telah kita sebutkan. Juga telah ; maklum bagi kita semua bahwa ini adalah salah satu prinsip keyakinan kaum muslimin, bahkan disepakati oleh para ulama dari generasi Salaf dan Khalaf. Kesepakatan (Ijma’) ini telah dikutip oleh banyak para ulama, seperti Abu Manshur al Baghdadi, Imam al Haramain al Juwayni, ar- Razi dan lainnya. Penegasan pakar figh, ushul fiqh dan sejarah, al Imam Abu Manshur al Baghdadi dalam kitabnya al Farq bayna al Firag adalah: Mla ate (5555 V5 Ue dagen 9 SI a JAI Gi igecsis® "Ahlussunnah menyepakati bahwa Allah tidak diliputi oleh tempat dan tidak dilalui oleh peredaran masa". Memahami masalah ini dengan baik, dengan menguasai dalil-dalilnya secara sempurna adalah termasuk salah satu perkara yang penting. Oleh karenanya, berusahalah untuk memahami prinsip akidah ini dengan baik, menghafalnya, menjelaskannya dan mengajarkannya kepada orang lain. Sungguh agama Allah ini amat berharga, sangat bernilai, dan perlu diingat bahwa menyempal dalam akidah akan membahayakan dan membinasakan seseorang. wee ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN ARAH. a nS Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah a ey en Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al Bantani Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al Bantani dalam Tafsirnya, “at-Tafsir al Munir li Ma'alim at-Tanzil", jilid 1, hal. 282 ketika menafsirkan ayat 54 suratal A'raf (7): se way ati 4 yiall Ze shal i > menyatakan: Sells Sa ys WS J GS bs Si Ge Coli “Dan kita wajib meyakini secara pasti bahwa Allah ta'ala maha suci dari tempat dan arah....” Mufti Betawi Sayyid Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya al ‘Alawi Mufti Betawi Sayyid Utsman bin Abdullah bin 'Aqil bin Yahya al 'Alawi dalam karyanya “az-Zahr al Basim fi Athwar Abi al Qasim,” hal. 30, mengatakan: “...Tuhan yang maha suci dari pada jihah (arah)...” Syekh Muhammad Shaleh ibnu Umar as-Samaraniy Syekh Muhammad Shaleh ibnu Umar as-Samaraniy yang dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat Semarang dalam terjemah kitab al Hikam (dalam bahasa jawa), hal. 105, mengatakan: Maknanya: “...dan (Allah Maha Suci) dari arah, tempat, masa dan warna.” Oem Eurema ees Sl K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari, Jombang, Jawa Timur, pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama’ dalam Muqaddimah Risalahnya nbihat al We yang berjudul: “at-T¢ mengatakan: “Dan aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia maha suct dari berbentuk (berjisim), arah,zaman atau masa dan tempat...” —— Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah 2 Ea Ve, K.H. Muhammad Hasan al Genggongi al Kraksani K.H. Muhammad Hasan al Genggongi al Kraksani (W. 1955), Pendiri Pondok pesantren Zainul Hasan, Probolinggo, Jawa Timur dalam risalahnya (Agidalh | at-Tauhid), hal.3 mengatakan: Elfes gag oleh Stat JSF au 5 3555 FSA 63 Sled! $lo5 ae MI £8 OLS 33 58 “Adanya Tuhanku Allah adalah sifat-Nya yang pertama, (ada) tanpa masa, tempat dan (enam) arah. Karena Allah ada sebelum semua masa, semua arah dan semua tempat.” K.H. Raden nawi, Kampung Bandan Kudus K.H. Raden Asnawi, Kampung Bandan Kudus dalam risalahnya dalam bahasa Jawa “Jawab Soalipun Mu'taqad seket,” hal. 18, menyatakan: “..Jadi amat jelas sekali, bahwa Allah bukanlah (berupa) sifat benda (yakni sesuatu yang mengikut pada benda atau 'aradl), Karenanya Dia tidak membutuh- kan tempat (yakni Dia ada tanpa tempat), sehingga dengan demikian tetap bagi-Nya sifat Qiyamuhu bi nafsihi.” (ter jemahan dari bahasa jawa). a ie Agidah Ulama Ahlussunnah Wal dama‘ah 4 K.H. Siradjuddin Abbas dalam bukunya “Kumpulan Soal-Jawab Keagamaan,” hal. 25 mengatakan: ...karena Tuhan itu tidak bertempat di akhirat dan juga tidak di langit, maha suci Tuhan akan mempunyai tempat duduk, serupa manusia.” eee Me Ele CEM Guru Abdul Hadi Isma'il Cipinang | Kebembem, Jatinegara, Jakarta Timur | dalam bukunya “Tukilan Ushuluddin Bagi Orang yang Baharu Belajar Pokok-pokok Agama,” hal. 6 mengatakan: “Bermula jalan tiada bersamaan-nya Allah ta'ala pada Dzat-Nya ialah karena Dzat Allah ta'ala itu qadim bukan jirm yang mengambil lapang, dan bukan jism yang dapat dibagi, dan bukan jawhar fard yang menerima bandingan.” Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah an © ee ae Ce OEE ME ae Le i Guru Muhammad Thahir Jam‘an, Muara, Jatinegara, Jakarta Timur dalam bukunya “Tashfiyatul Janan fi Tahqiq Mas-alah 'Aqa-id al Iman- Mensucikan Hati di dalam Menyatakan masalah 'Aqa-id al Iman,” hal. 15 mengatakan: “(Soal) Apa sebab Allah ta'ala tiada bersamaan bagi segala yang baharu pada dzat-Nya? (Jawab) Sebab Dzat Allah ta'ala itu bukan jirm, dan bukan jism dan bukan Jawhar Fard.” GAN M Oia E) K.H. Sa'id bin Armia, Giren, Kaligayem, Talang, Tegal, Jawa Tengah dalam bukunya “Ta'lim al Mubtadiin fi 'Aqa-id ad-Din,” ad-Dars al Awwal, hal. 9 dan ad-Dars ats-Tsani, hal. 28 mengatakan: “Utawi artine sulaya Allah ing ndalem dzat-e tegese dzat-e Allah iku dudu Jirim, dzat-e hawa-dits iku jirim.” Artinya: “Adapun arti Allah berbeda dari semua perkara yang hadits (makhluk) pada dzat-Nya artinya Dzat Allah bukan jirm (benda) sedangkan dzat makhluk adalah jirm.” CD 7S DD ED Da me oe Me ora Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah EEL iLL K.H. Djauhari Zawawi, Kencong, Jember dalam risalahnya yang berbahasa Jawa, mengatakan: “... ai mboten dipun wengku dining panggenan...,” maknanya: “...Dan (Allah) tidak diliputi oleh tempat...” (Lihat Risalah: Tauhid al-'Arif fi Imi at-Tauhid, hal. 3). Lg bah Zaenal Mushthafa K.H. Misbah Zaenal Mushthafa, Bangilan, Tuban, Jawa Timur dalam bukunya “al Fushul al Arba'iniyyah fi Muhimmat al Masa-il ad-Diniyyah,” hal. 11 mengatakan: 2522 5 BF a iy A Ab GI Ws Gls A a Sei Vo pals J B ju Ola aile 25 Vg Oe SSH Y sl lgs JIS oly "Sole § Jes § ie age § 5 Vg Cdl Sled Ge a> “Tidak ada sesuatu-pun yang menyerupai Allah, Allah bukan jism, ‘aradl, bukan sesuatu yang memiliki gambar, bukan sesuatu yang menempati ruang, tidak makan, tidak minum, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada satu-pun yang membandingi-Nya, Allah tidak bertempat di suatu tempat dan tidak dilalui oleh masa, Allah tidak menempati salah satu arah yang enam dan Allah bukan bertempat di salah satu arah, Allah tidak menenipati sesuatu yang baharu (makhluk).” 9 “, Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama‘ah “an. © en ae K.H. Choer Affandi dalam risalahnya dengan bahasa Sunda yang berjudul “Pengajaran 'Aqaid al Iman”, hal. 6-7 menyatakan: “(Sifat wajib) yang kelima bagi Allah adalah Qiyamuhu binafsthi Allah ada dengan Dzat-Nya, Tidak membutuhkan tempat - Dai juga tidak membutuhkan kepada yang menciptakan Nya, Dalil yang menunjuk-kan atas sifat Qiyamuhu binafsihi, seandainya Allah membutuh-kan tempat -Niscaya Allah merupakan sifat benda (‘aradl), Padahal yang demikian itu merupakan hal yang mustahil -Dan seandainya Allah membutuhkan kepada yang menciptakan-Nya, niscaya Allah ta'ala (bersifat) baru - Padahal yang demikian itu adalah sesuatu yang mustahil (bagi Allah).” K.H. Achmad Masduqi K.H. Achmad Masduqi dalam bukunya al Qawa'id al Asasiyyah Li Ahlissunnah Wal Jama'ah (Konsep Dasar Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah), hal. 100 mengatakan: “Menurut golongan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Tuhan Allah itu tidak bertubuh, tidak berjihat dan tidak memerlukan tempat.” Agidah Ulama Ahlussunnah Wal dama'ah aE K.H. Abdullah bin Nuh dalam bukunya “Menuju Mukmin Sejati” terjemahan kitab Minhaj al ‘Abidin karya Imam al Ghazali, hal. 24 mengatakan: “Oleh karena ilu i'tigad , bid'ah di dalam hati sangat berbahaya, 4. seperti mengi'tikadkan apa-apa yang nantinya dapat menyesatkan dia kepada kepercayaan balwa Allah seperti makhluk, misalnya betul betul duduk di dalam ‘Arasy, padahal Allah itu Laisa Kamitslihi Syaiun (Tidak ada satu-pun yang menyerupal- Nya).” Beliau juga menegaskan: “Kemudian sebagai kesimpulan, jika engkau benar-benar memikirkan tentang dalil-dalil perbuatan Allah, engkau akan yakin bahwa kita mempunyai Tuhan yang maha kuasa, maha mengetahui, hidup, berkehendak, maha mendengar, maha melihat, berfirman dengan firman-Nya yang qadim yang tidak ada awalnya dan tidak ada akhirnya. Maha suci Ia dari segala perkataan yang baru dan iradah yang baru. Maha suci dari segala kekurangan dan kecelaan. Tidak bersifat dengan sifat yang baharu, dan tiada harus bagi-Nya apa-apa yang diharuskan bagi makhluk. Tiada menyerupai sesuatu dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya. Tidak diliputi oleh tempat dan jihat (arah). Dan tidak kena robah dan cacat.” (hal. 50) Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama‘ah Syekh Ihsan bin Muhammad Dahlan Syekh Ihsan bin Muhammad Dahlan al Jampesi, Kediri, Jawa Timur dalam bukunya “Siraj ath-Thalibin ‘ala Minhaj al 'Abidin,” hal. 104 mengatakan: al oy Lass obs 45958 ol oF Les soe § Jun 3 0855s 9 Gldess Jat Ss *Rg5 babs ORE. Geka SS ASIN “Dan Allah maha suci dari diliputi oleh tempat sehingga bisa ditunjuk, Allah juga maha suci dari diliputi arah. Sedangkan tangan yang diangkat dan diarahkan ke langit ketika berdoa dikarenakan langit dijadikan sebagai kiblat doa sebagaimana Ka'bah dijadikan kiblat bagi orang yang sholat, ia menghadap kepadanya di dalam sholat, dan tidak dikatakan bahwa Allah ta'ala ada di arah Ka' bah, sebagaimana Allah maha suci dari dibatasi oleh waktu.” MES 2 ee Agidah Ulama Ahlussunnah Wal dama‘ah aM doc tae Lue Lec KH. Muhammad Muhajirin Amsar ad-Dari, Bekasi, dalam bukunya “Ta'liqat ‘ala Matn al Jawharah,” hal. —— 3! abe Grab él (ghielt 53) 2538 DS 425 they 5555 "JS ale 255 05401 Uxty “Perkataan al-Laqgani (Laakin bila Kayf) yakni tanpa menyifati Allah yang dilihat, dengan sifat-sifat makhluk seperti berhadap-hadapan, menempati ruang, berada di suatu arah dan lain sebagainya. Perkataan al-Laggani (Wala inhishari) yakni Allah bukan terlihat diliputi oleh suatu tempat karena mustahil bagi Allah ukuran (kecil, sedang, besar maupun besar yang diandaikan tidak berpenghabisan) dan mustahil bagi Allah batas akhir (sebagaimana makhluk memiliki batas akhir).” Syekh Abu Muhammad Hakim bin Mashduqi Syekh Abu Muhammad Hakim bin Mashdugi bin Sulaiman al-Lasemi, Jawa Tengah, dalam bukunya “Ad- Dzakha-ir al Mufidah fi Syarh al ‘Agidah”, hal. 17 mengatakan: Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah aww ew 2 ee ew bye Coalgedl SUAS Gye (Ata'S SL) Slag Glee 4) 455 (GN) 53 toh AES Gud] ILS aU JUS WS nb 5 jog Agog ALLae "(uci seul “(Laakin) tetapi penglihatan kita kepada Allah (bila Kayfiyyah) tanpa Allah disifati dengan sifat-sifat makhluk seperti berhadap-hadapan, berada di suatu arah, menempati ruang dan lain sebagainya. Allah ta'ala berfirman yang maknanya: Allah tidak menyerupai sesuatu-pun di antara makhluk-Nya dan tidak ada sesuatu-pun yang menyerupai- Nya, Allah maha mendengar lagi maha melihat.” [— Cee K.H. Abul Fadhol as-Senori, Tuban, Jawa Timur dalam karyanya “ad-Durr al Farid fi Syarh Jawharah at- Tawhid,” hal. 119 mengatakan: ALY ge lata Js 2555 Us bo Ges! Sopa GF Lapis 4585 ad Sally cig le "ESN5 Sled ge dK SNadallg “Diketahui dari keterangan ini bahwa Allah ta'ala maha suci dari menetap atau bersemayam di atas sesuatu dan bertempat di dalamnya, dan bahwa Allah maha suci dari gambar dan ukuran, maha suci dari semua arah, penjuru dan tempat.” Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah ke eee Prof. Dr. H. Mahmud Yunus dalam bukunya “Tafsir Qur'an Karim,” hal. 805 mengatakan: “Allah tidak bertempat, karena yang bertempat itu ialah makhluk-Nya, sedang “Allah itu tidak serupa dengan suatu juapun” (Surat asy-Syura 11).” Syekh Mahmud Mukhtar Syekh Mahmud Mukhtar Cirebon dalam bukunya “al Muqaddimah/al Maba-di' al Mahmudiyyah fi al Masa- il at-Tawhidiyyah”, hal. 4 mengatakan: es 38 acl a Ais 155 eto) 588 SSI SIS 135 “Demikian pula sifat Qiyamuhu Bi Nafsihi tetap bagi-Nya, dan (mustahil) lawannya yaitu iftiqar (membutuhkan kepada makhluk), maka Allah tidaklah menempati tempat -ketahuilah- atau masa, hari, malam, terang maupun ‘kegelapan.” ED. = ALLAH TIDAK DAPAT DIBAYANGKAN SEIT 7 Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah ’ Syekh Muhammad Nawawi bin Umar EEE el Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al Bantani, Banten, Jawa Barat dalam bukunya “Nur azh-Zhalam 'ala '‘Aqidah al 'Awamm”, hal. 7-8 mengatakan: ih Hibs 42 5 Solgel AEA" God Glllb Msg SRL 2 Solgadl § Go EIS JS 545 Li ges Vo Cad Vo Wish V5 bse V5 | Clhe bo ely 5hd & B85 Solgell lke Se tis We | WES jo ELS UI 85 Lady Sslgedl “Sifat al Mukhalafah Li al Hawadits, yaitu tidak menyerupainya sesuatu-pun di antara semua yang baharu (makhluk) terhadap Allah -maha suci Allah-, jadi Allah bukan daging, bukan tulang, bukan tinggi, bukan pendek, | bukan sedang, jadi Allah ta'ala adalah Dzat yang tidak berlaku padanya sesuatu-pun di antara sifat makhluk, dan | semua yang terlintas dalam benakmu di antara sifat-sifat makhluk jangan percaya bahwa terdapat pada Allah salah satu di antara sifat-sifat makhluk tersebut.” Syeikh Haji Muhammad Waly al Khalidy Syekh Haji Muhammad Waly al Khalidy, dari Labuhan Haji, Aceh Selatan. Beliau mengatakan dalam risalahnya “Permata Intan Pada Menyatakan Keputusan I'tiqad Tentang ieeeeeane Menurutal Qur'an f Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah OY ew. wD aw. wD Saw. De w-.wP dan 'Aqidah Ahli Sunnah Wa al Jama'ah”: “Hati-hatilah ' bahawa segala apa yang terlintas di dalam hati kita, apakah | Allah itu berbentuk begini dan begitu? Kesemuanya itu adalah tidak benar dan apa-apa yang terlintas itu adalah batil, sebab Tuhan kita tidak berwarna, tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di muka dan tidak di belakang, kerana kesemuanya itu merupakan ketentuan dan keadaan pada yang baharu, sedangkan Allah ta'ala tidak baharu.” (Lihat buku “AYAH KAMI: Maulana Syeikh Haji Muhammad Waly al-Khalidy (Teungku Syeikh Haji Muda Waly),” hal. 145). i™ Sayyid Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Sayyid Utsman bin Abdullah bin 'Aqil bin Yahya dalam bukunya “Sifat Dua Puluh,” hal. 5 mengatakan: “Adapun yang mustahil pada tuhan jalla wa ‘azza dengan ijmal yaitu yang ada di dalam | perkataan: "JUL she beg gai JS GE 0558" artinya maha suci tuhan dari pada tiap-tiap sifat kekurangan dan maha suci daripada barang yang tercita-cita di dalam hati.” | Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama‘ah Se Arte OU LL K.H. Abdullah bin Nuh dalam bukunya “Menuju Mukmin Sejati” terjemahan kitab Minhaj al 'Abidin karya Imam al Ghazali, hal. 26 mengatakan: “Pokoknya kita jangan menyekutukan Tuhan dengan apapun. a. Pegang saja Laisa Kamitslihi Syaiun. Apa yang terlintas di hati sebetulnya hanya buatan hati saja. Tempo-tempo timbul was-was yang dilakukan oleh syetan, maka tolaklah itu “Bagaimana rupa Allah itu?! Tentang diri kita sendiripun kita tidak tahu, apalagi dzat Allah subhanahu wa ta'ala.” K.H. Muhammad Muhajirin Amsar K.H. Muhammad Muhajirin Amsar ad-Dari, Bekasi, dalam bukunya “Ta'ligat 'ala Matn al Jawharah”, hal. 22 mengatakan: Bias 45 Sis ake Cad be be dads 3 SLE AS Seige au) 9] abl @le3 9 Us 553 Js Js "hal fat 985 258 abs So meen Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah 4 “Yakni di antara yang pasti (wajib) bagi Allah ta'ala bahwa Allah tidak menyerupai semua makhluk, oleh karenanya jika setan melontarkan di benakmu (tentang Allah) sesuatu yang dikhayalkan (dibayangkan), maka katakan untuk membantahnya bahwa tidak ada yang mengetahui (hakekat) Allah kecuali Allah sendiri, Allah tidak menyerupai sesuatu- pun di antara makhluk-Nya dan tidak ada sesuatu-pun yang menyerupai-Nya, Allah maha mendengar lagi maha melihat.” gn ae ! | | | | | e ESD - SIFAT KALAM ALLAH BUKAN HURUF, SUARA DAN BAHASA Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah { ~wPa wan K.H. Raden Asnawi K.H. Raden Asnawi, Kampung Bandan Kudus dalam risalahnya dalam bahasa Jawa “Jawab Soalipun Mu'tagad seket,” hal.7, menyatakan: “Nomer kaleh doso puniko (Muta- kalliman) artosipun pengeran puniko Dzat engkang dawuh ngendiko, nanging mboten mawi huruf utawi suwanten”. Maknanya: “Nomer dua puluh adalah (Mutakalliman) artinya Tuhan itu Dzat yang berbicara, tetapi bukan dengan hurufatau suara.” Syekh Mahmud Mukhtar Syekh Mahmud Mukhtar Cirebon dalam bukunya “T'anah ar-Rafiq ‘ala Nazhm Sullam at-Tawfiq” hal. 4 mengatakan: olka) SLES a8 SRO Gd 8 U slg hey Gg sLaaglls Gal Ld SU aIIg JSG OI OB SLaal Salt 58 eta baatcc easbgdseoe Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah \ “Kalam Allah sebagaimana semua sifat-sifat-Nya adalah | gadim bukan suara-suara, bukan huruf-huruf dan hija’, | bukan dengan i'rab dan bina’, jadi Allah berbeda dengan | sentua makhluk pada dzat, af al dan sifat-sifat-Nya.” Dalam bukunya “al Mugaddimah/al Maba-di' al Mahmudiyyah fi al Masa-il at-Tawhidiyyah,” hal. 6, | Syekh Mahmud Mukhtar juga mengatakan: | ob Soi Fate S Ga5 Stall Jie Sie dtles LS V5 Bio V5 Sha Vg e951 SIF] 5 el “Dan sifat Allah ‘ilmu lawannya Jahl, al Hayat lawannya maut, sifat Kalam yang bukan dengan mulut, suara, huruf, titik-titik, bina', i'rab atau tulisan.” K.H. Misbah Zaenal Mushthafa K.H. Misbah Zaenal Mushthafa, Bangilan, Tuban, Jawa Timur dalam bukunya “al Fushul al Arba'iniyyah fi Muhimmat al Masa-il ad-Diniyyah,” hal. 11 mengatakan: sin sad zen a SSIGYIg SARIS Gall Slay GE ode Je Gd Sl “Allah memiliki sifat-sifat yang qadim (tidak memilikt permulaan) yang tetap bagi-Nya, yaitu hayat, ilmu, quarah, iradah, sam', bashar dan kalam yang bukan dari jenis huruf | dan suara.” Syekh Ihsan bin Muhammad Dahlan al Jampesi Syekh Ihsan bin Muhammad Dahlan al Jampesi, Kediri, Jawa Timur dalam bukunya “Siraj ath-Thalibin ‘ala Minhaj al 'Abidin”, hal. 101 mengatakan: 2 iY a's Vg Oga@ Guy V5 A555) Sle fe do ABV 10 55 a6 "Ged Gla2g gs! Glao GO dplia “Dan kalam Allah bukan suara dan bukan huruf, kalam Allah tidak menyerupai kalam selain Allah, karena Kalam Allah adalah salah satu sifat ketuhanan dan tidak ada keserupaan sama sekali antara sifat-sifat Allah dan sifat-sifat manusia.” K.H. Muhammad Muhajirin Amsar K.H. Muhammad Muhajirin Amsar ad-Dari, Bekasi, Jawa Barat dalam bukunya “Ta'ligat 'ala Matn al | Jawharah”, hal. 27 mengatakan: Bho 45) Axe loud! ABU Gi S85" | O52 V5 Sire Gd) JIS aly GB 8 "6 V5 es V5 Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah 4 SF 2 a ey a a =n Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama‘ah “Dan sifat Kalam, yakni al Kalam an-Nafsi, dengan makna bahwa kalam adalah sifat yang qadim yang tetap bagi dzat Allah, bukan huruf, bukan suara, tidak berlaku baginya didahulukan dan diakhirkan.” . Guru Abdul Hadi Isma’‘il Cipinang Guru Abdul Hadi Isma‘il Cipinang Kebembem, Jatinegara, Jakarta Timur dalam bukunya “Tukilan Ushuluddin Bagi Orang yang Baharu Belajar Pokok-pokok Agama”, hal. 10 mengatakan: “Sifat Allah yang ke tiga belas ialah (Kalam) artinya berkata-kata Allah dengan firman-Nya yang tiada berhuruf dan tiada bersuara, dan tiada seperti perkataan si baharu.” Guru Muhammad Thahir Jam‘an Guru Muhammad Thahir Jam‘an, Muara, Jatinegara, Jakarta Timur dalam bukunya “Tashfiyatul Janan fi Tahqiq Mas-alah 'Aqa-id al Iman- Mensucikan Hati di dalam Menyatakan masalah ‘Aqa-id al Iman”, hal. 26-27 mengatakan: “(Soal) Apa artinya Kalam ? ee Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah Sa a en ae, dl ena “Yakni sifat yang qadim yang tetap bagi dzat Allah ta'ala yang berta'allug (berkaitan) dengan apa yang ilmu-Nya berta'allug dengannya dan suci dari terdahulu dan terkemudian, suci dari suara dan huruf dan segala sifat baharu (makhluk).” 7a Wn Leal K.H. Sa'id bin Armia, Giren, Kaligayem, Talang, Tegal, Jawa Tengah dalam bukunya “Ta'lim al Mubtadiin fi 'Aqa-id ad-Din”, ad-Dars al Awwal, hal. 10 dan ad-Dars ats- Tsani, hal. 36 mengatakan: “kaping telulas sifat Kalam: Tegese wajib ngendiko Allah ora kelawan huruf suara, muhal Bakam tegese muhal bisu Allah” Artinya: “Yang ketiga belas sifat Kalam artinya pasti (wajib) berfirman Allah bukan dengan huruf suara, mustahil Bakam: artinya mustahil bisu Allah.” Syekh Abdullah Zaini bin Muhammad ‘Uzair Syekh Abdullah Zaini bin Muhammad 'Uzair al Jaththawi, Demak, Jawa Tengah dalam bukunya “Kifayah al Ashhab fi Hall Nazh Qawa-'id al I'rab”, hal. 3 mengatakan: OH 45 SY 055 aul YY Wy Y SI Seis" " Olgas G35 ye L295 Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah “Dan aku bersaksi balwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, yang suci Kalam- Nya dari hurufdan suara. “ Kemudian dalam aay iyat nya, heliaw Eunenjclabkal han 25th aL Jal aoe Ake SIgb5 ep Rraryest lay “Kalam Allah digunakan untuk menyebut al Kalam al-Lafzhi yang kita baca dan kita beribadah dengan membacanya, dan makna penyandaran kalam ini kepada Allah bahwa ia makhluk; diciptakan oleh Allah dan bukan karangan manusia, kalam ini tidak disucikan dari huruf dan suara bahkan ia adalah lafazh-lafazh dan huruf. Kalam Allah juga digunakan untuk menyebut sifat Allah yang gadim yang tetap bagi dzat-Nya yang merupakan salah satu sifat Ma'ani seperti halnya ilmu, iradah dan sifat-sifat Ma'ani lainnya, sifat inilah yang disucikan dari huruf dan suara menurut seluruh Ahlussunnah, faedah ini disampaikan oleh al ‘Aththar.” a ee) Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah a ren 2- Ew Muhammad Shaleh ibnu Umar as-Samaraniy Syekh Muhammad Shaleh ibnu Umar as-Samaraniy yang dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat Semarang, dalam bukunya “Sabil al 'Abid ‘ala Jauharah at-Tauhid” terjemah kitab Jauharah at-Tauhid (dalam bahasa jawa), hal. 132-133, ketika menjelaskan perkataan al-Laqgani: asle! 3515 S534) 35 AAS6 lle‘ o}s5g Beliau mengatakan: “Lan nigodno siro mukallaf ing maha suci-ne Qur'an tegese Kalam-e Allah al Azali maha suci andoh sangking anyar, tegese ora makhluk, lan wediho siro ing siksane Allah lamun kasi neqodaken siro ing anyare Kalam Allah yakni artine wajib ingatase wong mukallaf arep neqodaken setuhune sifat kalam-e ingkang Kalam Nafsi iku ora makhluk ora anyar, balik qadim ora kelawan huruflan ora kelawan suoro, anapun Qur'an ingkang winoco ingkang kelawan lafazh huruf maka iku anyar lan makhluk, lan tetapine ora wenang lamun den ucap aken makhluk atawa anyar, balik wajib arep ngucap iki Qur'an iku gadim supoyo ojo den cipta yen kalamullah iku makhluk atawa anyar.” Maknanya: “Dan yakinilah engkau wahai mukallaf tentang maha sucinya al Qur'an, maksudnya kalam Allah yang azali, maha suci dari kebaharuan, yakni bukan makhluk, dan takutlah engkau dari siksa Allah jika meyakini baharunya kalam Allah, artinya wajib atas seorang mukallaf agar meyakini sesungguhnya sifat kalam yang merupakan al Kalam an-Nafsi itu a cities A) Ta FA) SD) A al A me Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama’‘ah bukan makhluk, bukan baharu, sebaliknya qadim, bukan dengan huruf dan bukan dengan suara, adapun al Qur'an yang terbaca yang dengan lafazh huruf, maka itu baharu dan makhluk, akan tetapi tidak boleh diucapkan makhluk atau baharu, sebaliknya wajib dikatakan ini al Qur'an Qadim supaya tidak dikira bahwa kalamullah itu makhluk atau baharu.” K.H. Abul Fadhol as-Senori K.H. Abul Fadhol as-Senori, Tuban, Jawa Timur dalam karyanya “ad-Durr al Farid fi Syarh Jawharah at- Tawhid”, hal. 164 mengatakan: “one 3565 05555 4.33 YS ond AS MLS 4236 443 9 “Kalam Allah ta'ala adalah sifat yang tetap bagi dzat Allah, azali, bukan huruf, bukan suara, tidak mungkin tiada dan hal semacamnya seperti diam, tidak mungkin memiliki bagian- | bagian, terdahului dan terbelakangi, bahkan kalam Allah ta'ala tidak menyerupai kalam selain-Nya sebagaimana wujud-Nya tidak menyerupai wujud selain-Nya.” Agidah Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah ME Ee L TM Ele I TI Syekh Abu Muhammad Hakim bin Mashdugi bin Sulaiman al-Lasemi, Jawa Tengah, dalam bukunya “Ad- Dzakha-ir al Mufidah fi Syarh al 'Agidah”, hal. 41-42 mengatakan: ! 5 hes 25 0 ss ae tn Ja ste SY SUES i (Lge Une'p Sucka Uy AN I a 9 bbe ag Sp i j Suis 3 tees Spey "B55 —< see be UMe MLCT Cn) YAYASAN SYAHAMAH BURL GLI Pani Se chee htt

You might also like