ENGLISH FOR PHYSICS EDUCATION

“Translate Readings”

Name : Mutiara Puspita

Student ID : 21033099

Lecturer:

Putri Dwi Sundari, S.Pd., M.Pd

DEPARTEMENT OF PHYSICS

FAKULTY MATHEMATIC AND NATURAL SCIENCES

PADANG STATE UNIVERSITY

2023
 TRANSLATE READINGS
EXERCISE 1

1. Read the article published by livescience.com about coronavirus as written

below.Write down essential vocabulary in te box. Then, translate the article
into Bahasa! (Baca artikel terbitan livescience.com tentang virus corona
seperti tertulis di bawah ini.Tuliskan kosakata penting di kotak te. Kemudian,
terjemahkan artikel tersebut ke dalamBahasa Indonesia!)

How does the new coronavirus compare with the flu?

By Rachel Rettner-Senior Writer May 14, 2020

Research so far indicates that COVID-19 spreads more easily and has a higher
death rate than the flu. Research so far indicates that COVID-19 spreads more
easily and has a higher death rate than the flu.

The Coronavirus Particle Has a Crown of Spikes on its Surface

Many of these comparisons pointed to the perhaps underappreciated toll of

the flu, which causes millions of illnesses and tens of thousands of deaths
every year in the US alone (During the current flu season, the Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) estimates that there have been 39
million to 56 million flu illnesses and 24,000 to 62,000 flu deaths in the U.S.,
although that number is an estimate based on hospitalizations with flu
symptoms, not based on actually counting up every personwho has died of
flu.
The new coronavirus disease, COVID-19, has caused more than 1.4 million
illnesses and 85,000 deaths in the U.S. as of May 14, according to data from
Johns Hopkins University. Both COVID-19 and the flu are respiratory
illnesses. But COVID-19 is not the flu. Research so far indicates that COVID-
19 spreads more easily and hasa higher death rate than the flu. Scientists are
racing to find out more about COVID-19,and our understanding may change
as new information becomes available. Based on what we know so far, here's
how it compares with the flu.
Virus Transmission

The measure scientists use to determine how easily a virus spreads is known
as the "basic reproduction number," or R0 (pronounced R-nought). This is an
estimate of theaverage number of people who catch the virus from a single
infected person, Live science previously reported. The flu has an R0 value of
about 1.3, according to The New York Times.

Researchers are still working to determine the R0 for COVID-19. Preliminary

studies estimated an R0 value for the new coronavirus to be between 2 and 3,
according to a review study published Feb. 28 in the journal JAMA. This
means each infected person has spread the virus to an average of 2 to 3
people.

Some studies suggest COVID-19 has an even higher R0 value. For example, a
study published April 7 in the journal Emerging Infectious Disease used
mathematicalmodeling to calculate an R0 of nearly 6 in China. It's important
to note that R0 is not a constant number. Estimates can vary by location,
depending on such factors as how often people come into contact with each
other and the efforts taken to reduce viral spread, Live Science previously
reported.

Pandemics

Seasonal flu, which causes outbreaks every year, should not be confused with
pandemicflu, or a global outbreak of a new flu virus that is very different
from the strains that typically circulate. This happened in 2009 with the swine
flu pandemic, which is estimated to have infected up to 1.4 billion people and
killed between 151,000 and 575,000 people worldwide, according to the CDC.
There is no flu pandemic happening currently. On March 11, the WHO
officially declared the outbreak of COVID-19 a pandemic. This is the first time
the WHO has declared a pandemic for a coronavirus.

VOCABULARY (KOSA KATA)

No Vocabulary(inggris)

1. Spreads

2. Coronavirus

3. Illnesses

4. Crown
5. Underappreciated

6. Deaths

7. Flu season

8. Estimates

9. Hospitalizations

10. Symptoms

11. Scientists

12. Understanding

13. Information

14. Virus Transmission

15. Infected

16. Science

17. Researchers

18. Preliminary studies

19. Review study

20. Published

21. Contact

22. Viral spread

23. Outbreaks

24. Pandemics

25. Strains

26. Worldwide

27. easily
Translation ( Terjemahan )

Penelitian sejauh ini menunjukkan bahwa COVID-19 menyebar lebih mudah

dan memiliki tingkat kematian lebih tinggi dibandingkan flu. Penelitian
sejauh ini menunjukkan bahwa COVID-19 menyebar lebih mudah dan
memiliki tingkat kematianlebih tinggi dibandingkan flu.

Partikel Virus Corona Memiliki Mahkota Paku di Permukaannya

Banyak dari perbandingan ini menunjukkan kemungkinan besar
dampak burukdari flu, yang menyebabkan jutaan penyakit dan puluhan ribu
kematian setiap tahunnya di U.S saja. (Selama musim flu saat ini, Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) memperkirakan terdapat 39
juta hingga 56 juta penyakit flu dan 24.000 hingga 62.000 kematian akibat flu
di U.S, meskipun jumlah tersebut merupakan perkiraan berdasarkan rawat
inap karena flu. gejalanya, tidak berdasarkan penghitungan sebenarnya dari
setiap orang yang meninggal karena flu.

Penyakit virus corona baru, COVID-19, telah menyebabkan lebih dari

1,4 juta penyakit dan 85.000 kematian di U.S pada 14 Mei, menurut data dari
Universitas Johns Hopkins. Baik COVID-19 maupun flu adalah penyakit
pernapasan. Namun COVID-19 bukanlah flu. Penelitian sejauh ini
menunjukkan bahwa COVID-19 menyebar lebih mudah dan memiliki
tingkat kematian lebih tinggi dibandingkan flu. Para ilmuwan berlomba
untuk mencari tahu lebih banyak tentang COVID-19, dan pemahaman kita
mungkin berubah seiring dengan tersedianya informasi baru. Berdasarkan
apa yang kitaketahui selama ini, berikut perbandingannya dengan flu.

Penularan Virus

Ukuran yang digunakan para ilmuwan untuk menentukan seberapa

mudah suatu virus menyebar dikenal sebagai “angka reproduksi dasar,” atau
R0 (diucapkan R-nought). Iniadalah perkiraan jumlah rata-rata orang yang
 tertular virus dari satu orang yangterinfeksi, menurut laporan Live Science
sebelumnya. Flu memiliki nilai R0 sekitar 1,3,menurut The New York Times.

Para peneliti masih berupaya menentukan R0 untuk COVID-19. Studi

awal memperkirakan nilai R0 untuk virus corona baru berada di antara 2 dan
3, menurut studitinjauan yang diterbitkan pada 28 Februari di jurnal JAMA.
Artinya setiap orang yangterinfeksi telah menyebarkan virus ke rata-rata 2
hingga 3 orang.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa COVID-19 memiliki nilai R0

yang lebih tinggi. Misalnya, sebuah penelitian yang diterbitkan pada tanggal
7 April di jurnal Emerging Infectious Disease menggunakan pemodelan
matematika untuk menghitung R0 hampir 6 di Tiongkok. Penting untuk
diperhatikan bahwa R0 bukanlah bilangan konstan. Perkiraan tersebut dapat
bervariasi berdasarkan lokasi, tergantung pada faktor-faktor seperti seberapa
sering orang melakukan kontak satu sama lain dan upaya yang dilakukan
untuk mengurangi penyebaran virus, menurut laporan Live Science
sebelumnya.

Pandemi

Flu musiman, yang menyebabkan wabah setiap tahun, tidak sama

dengan flu pandemi,atau wabah global virus flu baru yang sangat berbeda
dari jenis virus yang biasanya beredar. Hal ini terjadi pada tahun 2009 ketika
terjadi pandemi flu babi, yang diperkirakan telah menginfeksi hingga 1,4
miliar orang dan membunuh antara 151.000hingga 575.000 orang di seluruh
dunia, menurut CDC. Tidak ada pandemi flu yang terjadi saat ini. Pada 11
Maret, WHO secara resmi menyatakan wabah COVID-19 sebagai pandemi.
Ini adalah pertama kalinya WHO menyatakan pandemi virus corona.

2. Read the article published by Nasa Science about Black Holes

(https://science.nasa.gov/astrophysics/focus-areas/black-holes) below.
Then,translate the article into Bahasa!
Baca artikel terbitan NASA Science tentang Lubang Hitam
(https://science.nasa.gov/astrophysics/focus-areas/black-holes) di bawah.
Kemudian,terjemahkan artikel tersebut ke dalam Bahasa Indonesia!

Black Holes
Don't let the name fool you: a black hole is anything but empty space.
Rather, itis a great amount of matter packed into a very small area - think of a
star ten times more massive than the Sun squeezed into a sphere
approximately the diameter of New York City. The result is a gravitational
field so strong that nothing, not even light, can escape.In recent years, NASA
instruments have painted a new picture of these strange objectsthat are, to
many, the most fascinating objects in space.

Intense X-Ray Flares Thought to be Caused

by a Black Hole Devouring a Star

The idea of an object in space so massive and dense that light could not
escape it has been around for centuries. Most famously, black holes were
predicted byEinstein's theory of general relativity, which showed that when
a massive star dies, it leaves behind a small, dense remnant core. If the core's
mass is more than about three times the mass of the Sun, the equations
showed, the force of gravity overwhelms all other forces and produces a black
hole.
Scientists can't directly observe black holes with telescopes that detect
x-rays, light, or other forms of electromagnetic radiation. We can, however,
infer the presenceof black holes and study them by detecting their effect on
other matter nearby. If a black hole passes through a cloud of interstellar
matter, for example, it will draw matter inward in a process known as
accretion. A similar process can occur if a normal star passes close to a black
hole. In this case, the black hole can tear the star apart as it pullsit toward itself.
As the attracted matter accelerates and heats up, it emits x-rays that radiate
into space. Recent discoveries offer some tantalizing evidence that black holes
have a dramatic influence on the neighborhoods around them - emitting
powerful gamma ray bursts, devouring nearby stars, and spurring the growth
of new stars in someareas while stalling it in others.

One Star's End is a Black Hole's Beginning

Most black holes form from the remnants of a large star that dies in a
supernova explosion. (Smaller stars become dense neutron stars, which are
not massive enough totrap light.) If the total mass of the star is large enough
(about three times the mass of the Sun), it can be proven theoretically that no
force can keep the star from collapsing under the influence of gravity.
However, as the star collapses, a strange thing occurs. As the surface of the
star nears an imaginary surface called the "event horizon," time on the star
slows relative to the time kept by observers far away. When the surface
reaches the event horizon, time stands still, and the star can collapse no more
- it is a frozen collapsing object.
Even bigger black holes can result from stellar collisions. Soon after its
launch in December 2004, NASA's Swift telescope observed the powerful,
fleeting flashes oflight known as gamma ray bursts. Chandra and NASA's
Hubble Space Telescope latercollected data from the event's "afterglow," and
together the observations led astronomers to conclude that the powerful
explosions can result when a black hole anda neutron star collide, producing
another black hole.

Babies and Giants

Although the basic formation process is understood, one perennial
mystery in the science of black holes is that they appear to exist on two
radically different size scales.On the one end, there are the countless black
holes that are the remnants of massive stars. Peppered throughout the
Universe, these "stellar mass" black holes are generally 10 to 24 times as
massive as the Sun. Astronomers spot them when another star draws near
enough for some of the matter surrounding it to be snared by the black
hole's
gravity, churning out x-rays in the process. Most stellar black holes, however,
are verydifficult to detect. Judging from the number of stars large enough to
produce such blackholes, however, scientists estimate that there are as many
as ten million to a billion suchblack holes in the Milky Way alone.
On the other end of the size spectrum are the giants known as
"supermassive" black holes, which are millions, if not billions, of times as
massive as the Sun. Astronomers believe that supermassive black holes lie at
the center of virtually all large galaxies, even our own Milky Way.
Astronomers can detect them by watching for theireffects on nearby stars and
gas.
Historically, astronomers have long believed that no mid-sized black
holes exist. However, recent evidence from Chandra, XMM-Newton and
Hubble strengthens the case that mid-size black holes do exist. One possible
mechanism for the formation of supermassive black holes involves a chain
reaction of collisions of stars in compact starclusters that results in the buildup
of extremely massive stars, which then collapse to form intermediate-mass
black holes. The star clusters then sink to the center of the galaxy, where the
intermediate-mass black holes merge to form a supermassive black hole.
Translation (Terjemahan)

Lubang hitam

Jangan terkecoh dengan namanya: lubang hitam sama sekali bukan

ruang kosong. Sebaliknya, ia adalah sejumlah besar materi yang dikemas
dalam area yang sangat kecil—bayangkan sebuah bintang sepuluh kali lebih
besar dari Matahari yang terhimpit dalam sebuah bola yang kira-kira
berdiameter Kota New York. Hasilnya adalah medan gravitasi yang begitu
kuat sehingga tidak ada apa pun, bahkan cahaya sekalipun, yang dapat lolos.
Dalam beberapa tahun terakhir, instrumen NASA telah memberikan gambaran
baru tentang objek-objek aneh yang, bagi banyak orang, merupakan objek
paling menarik di luar angkasa.

Semburan sinar X yang hebat Diduga disebabkan

oleh Lubang Hitam yang Memangsa Bintang

Gagasan tentang suatu objek di ruang angkasa yang begitu masif dan
padat sehingga cahaya tidak dapat lepas darinya telah ada selama berabad-
abad. Yang paling terkenal adalah lubang hitam diprediksi oleh teori relativitas
umum Einstein, yang menunjukkan bahwa ketika sebuah bintang masif mati,
ia akan meninggalkan sisa inti yang kecil dan padat. Jika massa inti lebih dari
tiga kali massa Matahari, persamaan tersebut menunjukkan bahwa gaya
gravitasi mengalahkan semua gaya lainnya dan menghasilkan lubang hitam.

Para ilmuwan tidak dapat mengamati lubang hitam secara langsung

dengan teleskop yang mendeteksi sinar X, cahaya, atau bentuk radiasi
elektromagnetik lainnya. Namun, kita dapat menyimpulkan keberadaan
lubang hitam dan mempelajarinya dengan mendeteksi pengaruhnya terhadap
materi lain di sekitarnya. Misalnya, jika lubang hitam melewati awan materi
antarbintang, maka ia akan menarik materi ke dalam melalui proses yang
disebut akresi. Proses serupa bisa terjadi jika bintang normal melintas di dekat
lubang hitam. Dalam hal ini, lubang hitam dapat merobek bintang saat ia
menariknya ke arah dirinya sendiri. Ketika materi yang tertarik tersebut
berakselerasi dan memanas, ia memancarkan sinar-X yang memancar ke luar
angkasa. Penemuan baru-baru ini memberikan beberapa bukti yang
menggiurkan bahwa lubang hitam mempunyai pengaruh yang dramatis
terhadap lingkungan sekitar mereka – memancarkan semburan sinar gamma
yang kuat, melahap bintang-bintang di dekatnya, dan memacu pertumbuhan
bintang-bintang baru di beberapa daerah dan menghambatnya di daerah lain.

Akhir dari Satu Bintang adalah Awal dari Lubang Hitam

Kebanyakan lubang hitam terbentuk dari sisa-sisa bintang besar yang

mati akibat ledakan supernova. (Bintang yang lebih kecil menjadi bintang
neutron padat, yang tidak cukup masif untuk memerangkap cahaya). Jika
massa total suatu bintang cukup besar (kira-kira tiga kali massa Matahari),
maka secara teori dapat dibuktikan bahwa tidak ada gaya yang dapat
mencegah keruntuhan bintang akibat pengaruh gravitasi. Namun, saat bintang
tersebut runtuh, terjadi hal aneh. Saat permukaan bintang mendekati
permukaan imajiner yang disebut "cakrawala peristiwa", waktu di bintang
melambat dibandingkan dengan waktu yang disimpan oleh pengamat jauh.
Ketika permukaan mencapai cakrawala peristiwa, waktu terhenti, dan bintang
tidak dapat runtuh lagi—ia adalah benda beku yang runtuh.

Lubang hitam yang lebih besar pun bisa terjadi akibat tabrakan bintang.
Segera setelah peluncurannya pada bulan Desember 2004, teleskop Swift milik
NASA mengamati kilatan cahaya yang kuat dan sekilas yang dikenal sebagai
semburan sinar gamma. Chandra dan Teleskop Luar Angkasa Hubble NASA
kemudian mengumpulkan data dari peristiwa "pijaran sisa" tersebut, dan
bersama-sama pengamatan tersebut mengarahkan para astronom untuk
menyimpulkan bahwa ledakan dahsyat dapat terjadi ketika lubang hitam dan
bintang neutron bertabrakan, menghasilkan lubang hitam lain.

Bayi dan Raksasa

Meskipun proses dasar pembentukannya telah dipahami, salah satu

misteri abadi dalam ilmu lubang hitam adalah bahwa mereka tampak ada pada
dua skala ukuran yang sangat berbeda. Di satu sisi, terdapat lubang hitam yang
tak terhitung jumlahnya yang merupakan sisa-sisa bintang masif. Tersebar di
seluruh alam semesta, lubang hitam bermassa bintang ini umumnya 10 hingga
24 kali lebih besar dari Matahari. Para astronom melihatnya ketika bintang lain
mendekat cukup dekat sehingga beberapa materi di sekitarnya terjerat oleh
gravitasi lubang hitam, sehingga menghasilkan sinar-X dalam prosesnya.
Namun, sebagian besar lubang hitam bintang hidup terisolasi dan tidak
mungkin dideteksi. Namun, jika dilihat dari jumlah bintang yang cukup besar
 untuk menghasilkan lubang hitam, para ilmuwan memperkirakan terdapat
sepuluh juta hingga satu miliar lubang hitam semacam itu di Bima Sakti saja.

Di ujung lain spektrum ukuran adalah lubang hitam raksasa yang

dikenal sebagai lubang hitam "supermasif", yang jutaan, bahkan miliaran kali
lebih besar dari Matahari. Para astronom percaya bahwa lubang hitam
supermasif terletak di pusat hampir semua galaksi besar, bahkan di Bima Sakti
kita. Para astronom dapat mendeteksinya dengan mengamati pengaruhnya
terhadap bintang dan gas di dekatnya.

Bagan Ini Menunjukkan Massa Relatif Benda Kosmik Super Padat

Secara historis, para astronom telah lama percaya bahwa tidak ada
lubang hitam berukuran sedang. Namun, bukti terbaru dari Chandra, XMM-
Newton dan Hubble memperkuat dugaan bahwa lubang hitam berukuran
sedang memang ada. Salah satu kemungkinan mekanisme pembentukan
lubang hitam supermasif melibatkan reaksi berantai tumbukan bintang-
bintang dalam gugus bintang kompak yang menghasilkan penumpukan
bintang-bintang yang sangat masif, yang kemudian runtuh membentuk lubang
hitam bermassa menengah. Gugus bintang kemudian tenggelam ke pusat
galaksi, tempat munculnya lubang hitam bermassa menengah.

3. Read the text below and translate into Bahasa!

The technology of the North American colonies did not differ strikingly
from that of Europe, but in one respect, the colonists enjoyed a great
advantage. Especially by comparison with Britain, Americans had a
wonderfully plentiful supply of wood.
The first colonists did not, as many people imagine, find an entire
continent covered by a climax forest. Even along the Atlantic seaboard, the
forest was broken at many points. Nevertheless, all sorts of fine trees
abounded, and through the early colonial period, those who pushed westward
encountered new forests. By the end of the colonial era, the price of wood had
risen slightly in eastern cities, but wood was stillextremely abundant.
The availability of wood brought advantages that have seldom been
appreciated.Wood was a foundation of the economy. Houses and all manner of
buildings were madeof wood to a degree unknown in Britain. Secondly, wood
was used as fuel for heating and cooking. Thirdly, it was used as the source of
important industrial compounds, suchas potash, an industrial alkali; charcoal,
a component of gunpowder; and tannic acid, used for tanning leather.
The supply of wood conferred advantages but had some negative
aspects as well. Iron at that time was produced by heating iron ore with
charcoal. Because Britainwas so stripped of trees, she was unable to exploit her
rich iron mines. But the Americancolonies had both iron ore and wood; iron
production was encouraged and became successful. However, when Britain
developed coke smelting, the Colonies did not follow suit because they had
plenty of wood and besides, charcoal iron was stronger than coke iron. Coke
smelting led to technologic innovations and was linked to the emergence of
the Industrial Revolution. In the early nineteenth century, the former colonies
lagged behind Britain in industrial development because their supply of wood
led them to cling to charcoal iron.

Translation (Terjemahan)

3. Baca teks di bawah ini dan terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia!

Teknologi koloni-koloni di Amerika Utara tidak jauh berbeda dengan

teknologi di Eropa, namun dalam satu hal, para penjajah menikmati
keuntungan yang besar. Dibandingkan dengan Inggris, Amerika mempunyai
persediaan kayu yang sangat melimpah.

Penjajah pertama, seperti yang dibayangkan banyak orang, tidak

menemukan seluruh benua ditutupi oleh hutan klimaks. Bahkan di sepanjang
pesisir Atlantik, hutan telah rusak di banyak titik. Namun demikian, segala
jenis pohon yang bagus tumbuh subur, dan selama masa awal kolonial, mereka
yang bergerak ke arah barat akan menemukan hutan baru. Pada akhir era
kolonial, harga kayu sedikit meningkat di kota-kota bagian timur, namun
jumlah kayu masih sangat melimpah.

Ketersediaan kayu membawa keuntungan yang jarang dihargai. Kayu

adalah fondasi perekonomian. Rumah dan segala macam bangunan terbuat
dari kayu yang tingkatannya tidak diketahui di Inggris. Kedua, kayu
digunakan sebagai bahan bakar pemanas dan memasak. Ketiga, ia digunakan
sebagai sumber senyawa industri penting, seperti kalium, suatu alkali industri;
arang, salah satu komponen bubuk mesiu; dan asam tanat, digunakan untuk
penyamakan kulit.
 Pasokan kayu memberikan keuntungan namun juga memiliki beberapa
aspek negatif. Besi pada masa itu diproduksi dengan cara memanaskan bijih
besi dengan arang. Karena Inggris sangat kekurangan pohon, Inggris tidak
mampu mengeksploitasi tambang besinya yang kaya. Namun koloni Amerika
memiliki bijih besi dan kayu; produksi besi didorong dan menjadi sukses.
Namun ketika Inggris mengembangkan peleburan kokas, Koloni tidak
mengikutinya karena mereka memiliki banyak kayu dan selain itu, besi arang
lebih kuat dari besi kokas. Peleburan kokas memunculkan inovasi teknologi
dan dikaitkan dengan munculnya Revolusi Industri. Pada awal abad
kesembilan belas, negara-negara bekas jajahan tertinggal dari Inggris dalam
hal industri. pembangunan karena pasokan kayu membuat mereka
bergantung pada besi arang.