You are on page 1of 32
“SANTET DALAM PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA INDONESIA” Disampaikan dalam diskusi publik "PASAL SANTET DALAM NASKAH REVISI UU KUHP” yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai Gerindra DPR Rl, Selasa, 2 April 2013 Disampaikan oleh Prof. Dr. T. Ronny Nitibaskara SANTET DALAM PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA INDONESIA Tb. Ronny Nitibaskara Latar Belakang Kita mengetahui bahwa kepercayaan kepada perdukunan pada umumnya dan ilmu hitam (black magic) pada khususnya yang tercakup dalam praktik ilmu gaib, atau praktek metafisis menjadi bahan studi di kalangan sarjana antropologi ataupun sosiologi. Frazer (1913) misalnya, telah menulis “The Golden Bough” sebagai kajian tentang iimu gaib dan religi. Buku tersebut antara lain membahas bermacam-macam teknik-‘Imu gaib dan berbagai jenis tabu di seluruh dunia. Hutton (1948)-menulis pula ilmu gaib sebagai kajian sosiologi, yang isinya antara lain menggambarkan peranan dan kedudukan dukun di berbaga: tempat di dunia ini. Perhatian sarjana antropologi terhadap kehidupan kepercayaan terhadap dukun ilmu hitam kalangan masyarakat cukup besar, seperti pernah ditulis Pritchard (1937), yang membahas bermacam- macam praktik dukun sihir pada masyarakat Zande Afrika dan Mayer (1954) yang menguraikan ciri-ciri dukun sihir pada umumnya, Sementara itu beberapa teori mengenai perdukunan juga pernah ditulis Malinowsky (1929), yang mengaitkan ilmu gaib dengan agama dan ilmu pengetahuan. Sedangkan Wilson (1951) menghubungkan sihir dengan struktur sosial yang diambilnya dari studi perbancingan dua penduduk Afrika, yaitu suku Nyakyusa Tanganjika dan suku Pondo di Afrika Selatan, sementara Mac Farlane (1970) menghubungkan sihir dengan konflik sosial yang pada intinya tuduhan sihir dapat dianggap sebagai alat perubahan sosial. Dalam dua dekade terakhir timbul pula tulisan mengenai etnografi tentang sihir-tenung, karangan Baroja (1964); serta Roper (1967) yang menulis tentang praktik tenung dan sihir di kalangan masyarakat Eropa Sihir, Tenung di Indonesia Tulisan mengenai sihir dan tenung (witchcraft and sorcery) khususnya di Indonesia dirasakan masih sangat kurang dan tidak memadai, lebih-lebih yang bersifat menyeluruh. Padahal ilmu sihir-tenung (witchcraft-sorcery) banyak dipraktikkan di Indonesia. Hampir di seluruh daerah mulai dari pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa tenggara, Maluku, Papua dan sebagainya orang mengenal sihir — tenung. Namun, sangat disayangkan bahwa penelitian dalam bidang ini, secara khusus dan mendalam belum banyak dilakukan. Oleh karena itu perbendaharaan literatur mengenai praktik sihir-tenung di Indonesia dapat dikatakan sangat miskin. Akibatnya, seringkali pengertian sihir-tenung dicampur-adukkan dengan pengertian dukun pada umumnya, ‘Sebuah buku mengenai sihir-tenung di Indonesia, pemah disusun oleh G.J. Held berjudul Magie Heksenjj en Toverij (1950) yang isinya antara lain membahas dukum sihir dan suangi (Heksen en Soeangi’s). Juga seorang ahli antropologi yang paling banyak menganalisis agama dan gejala ilmu gaib, yaitu J. Frazer (1976), telah mempelajari beratus-ratus kebucayaan di seluruh dunia, namun ia tidak banyak menonjolkan dan menguraikan praktek sihir-tenung di Indonesia secara khusus. Dalam kenyataannya di kepulauan Maluku dan Papua terdapat pelaku ilmu sihir yang disebut suangi, sementara di Bali terdapat pula semacam suangi yang katanya dapat merubah dirinya menjadi binatang buas kemudian mengganggu penduduk. Makhluk yang berupa separuh binatang dan separuh manusia itu, disebut Leak. Leak berasal dari orang yang memiliki kesaktian mengubah dirinya menjadi binatang seperti kera, ular atau harimau. Yang paling popular adalah raksasa yang berlidah panjang. Leak dipercaya bisa menyebarkan penyakit dan guna-guna kepada orang lain, Hampir sama dengan leak, di Sumatera Utara ditemukan Begu Ganjang yang juga ditakuti Penduduk. Di Sumatera Barat, yaitu di kalangan masyarakat Minangkabau, terdapat kepercayaan terhadap puntianak yakni orang perempuan yang suka menghisap darah bayi dengan jalan menghirup ubun-ubun bayi dari jauh. Di kalangan masyarakat Minangkabau masih banyak orang yang percaya tentang adanya orang yang dapat dimintai untuk mencelakakan orang lain dengan jalan gaib, yaitu dengan menggangsing (mengantarkan racun melalui udara dan sebagainya), (Yunus, 1975: 254). Sementara itu di Minahasa ada orang yang melakukan ilmu sihir-tenung yang sifatnya merugikan orang lain, yakni yang disebut pandoti (Kalangi, 1975: 162), Di pulau Timor misalnya pada orang Roti, orang Helon, dan sebagainya Suparlan (1975), mencatat adanya kepercayaan terhadap dukun. Dijelaskan bahwa jika ada malapetaka maka seorang dukun dipanggil untuk mencoba menemukan sumber dari malapetaka tersebut dan kemudian berusaha untuk menolaknya dengan menggunakan obat-obatan dan mantera yang dianggap dapat mengalahkan makhlluk halus yang menyebabkannya. Disamping itu, ada juga makhluk halus yang dapat disuruh oleh para dukun sihir tenung tertentu yang merugikan orang lain. Hanya dukun- dukunlah yang dapat dan sanggup untuk melawan kekuatan sihir-tenung yang berasal dari dukun lain. Suparlan menambahkan bahwa orang di Timor masih perghi ke dukun karena pendeta dan guru-guru agama Kristen dianggap tidak dapat memberikan pertolongan langsung dalam soal mengatasi malapetaka yang disebabkan oleh makhluk halus atau sihir-tenung. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa di dalam bukunya Javanese Dukun (1978), Suparlan membagi dukun di dalam kategori sosial yang terwujud di dalam masyarakatnya karena keahlian dan yekerjaannya dalam hal yang khusus berhubungan dengan sihir-tenung dan pengobatan Disimpulkan oleti Suparlan bahwa para dukun sangat dinargai dan diharapkan kehadirannya dalam masyarakat, tetapi kadangkala ditakuti dan dihindari oleh warga masyarakat. Dengan demikian, uraian diatas dapat memperjelas kedudukan dan peranan dukun yang sebenamya, khususnya di Indonesia, Dalam batasan ini, selain sebagai tenaga penyembuh dukun juga berperan sebagai orang yang dipercayai bisa mencelakakan orang lain Sementara Lieban (1976: 38) membedakan dua jenis dukun yaitu dukun sebagai healer (penyembuh) dan dukun sebagai sorcerer (tukang tenung). Praktik dukun sebagai sorcerer inilah yang dianggap merugikan dan menggoncangkan masyarakat. Dalam kenyataannya praktik ilmu tenung (sorcery) di Indonesia seringkali terjadi dan menimbulkan akibat-akibat sampingan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang merugikan dan sekaligus mengancam setiap warga masyarakat lain. Reaksi sosial yang timbul terhadap praktik ilmu sihir-tenung di Indonesia, antara lain berupa Penganiayaan ringan, penganiayaan berat, pengeroyokan, penyembunyian mayat, ataupun pembunuhan, yang ditujukan terhadap orang yang dituduh sebagai dukun tenung Dalam sejarah pembunuhan orang yang dituduh sebagai dukun santet di Indonesia, kasus yang terjadi di Banyuwangi khususnya dan Jawa Timur umumnya terbilang luar biasa bila dilihat dari segi jumlah yang meninggal. Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mendata di tujuh kota di propins! itu tidak kurang dari 155 orang menjadi korban pembunuhan. Sebelumnya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pembunuhan terhadap mereka yang dituduh sebagai dukun santet terjadi sporadis di berbagai daerah, seperti Banten, Garut, Bogor, Cianjur, Tasikmalaya, Singaraja, Labuhanbatu (Sumatera Utara), dan sebagainya. Jumlah korban yang jatuh di daerah-daerah itu masih bisa dihitung dengan jari, berbeda dengan yang terjadi di Jawa Timur. Kalaupun ada persamaan menonjol dalam kasus-kasus pembunuhan diatas adalah korban dibunuh secara sadistis dan mengerikan. Fungsi Santet . Brendt (1970) seorang antropolog yang meneliti santet di Oceanea menyatakan: “sebagai seorang ilmuwan kita tidak berkepentingan dengan realitas empirik apakah sorcerer itu benar-benar ada atau sungguh-sungguh terjadi, akan tetapi adanya kepercayaan yang dihayati oleh masyarakat setempat, merupakan tingkat realitas yang diperlukan bagi penelitian sosial” Nyatanya fakta sosial menunjukkan bahwa santet di desa-desa di Indonesia bukan saja melembaga (institusionalized) akan tetapi juga sudah mendarah daging (internalized). Nampaknya santet telah menjadi mekanisme untuk menyelesaikan sengketa antar warga. Hal ini tercermin dalam kasus-kasus sengketa diantara warga desa. Sengketa mulai dari persoalan kecil seperti: batas pagar rumah dan sawah, kasus utang piutang, penolakan cinta dan sebagainya. Sengketa tersebut menimbulkan dendam yang berkepanjangan yang diakhiri dengan penggunaan santet untuk menindak lawan. Walaupun keampuhan dan kebenaran santet tidak pernah dapat dibuktikan namun hal itu telah menjadi bagian dalam kehidupan penduduk sehari-hari Di sisi lain santet menimbulkan reaksi sosial berupa tuduhan, gunjingan, pengucilan, Penganiayaan, pengeroyokan, pembunuhan dan sebagainya terhadap si tersangka tukang santet. Mereka dituduh melakukan berbagai perbuatan seperti mehgirim santet atau teluh yang merugikan orang lain. Anehnya sekalipun tukang santet terancam hidupnya, kehadiran mereka didalam masyarakat sampai batas tertentu nampaknya dibiarkan karena mempunyai fungsi tertentu. Di desa-desa yang terkenal santetnya orang sering kali takut melakukan kejahatan atau mencelakakan orang lain karena menduga jangar-jangan orang lain tadi memiliki imu santet yang lebih tinggi. Dengan cara mengembangkan unsur rasa takut kepada setiap pelaku penyimpangan inilah maka santet memiliki fungsi sosial kontrol. Di lain pihak santet merupakan sarana integritas komunitas antar sesama anggota dalam hubungan saling ouriga mencurigai. Dalam situasi demikian, perlu sasaran untuk mengurangi konflik antar sesama, Yang menjadi korban jelas tukang santet si kambing hitam. Maka, dapat disimpulkan santet mempunyai fungsi menjaga ketahanan kelompok dan menunjang keseimbangan sosial Pandangan Kriminologis Dari sudut kriminologi, santet dapat dikonstantir sebagai perilaku menyimpang, sebab kriminotogi tidak saja mempunyai sasaran penelitian hal-hal yang oleh Negara atau hukum dinyatakan terlarang, tetapi juga tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap tidak disukai, sekalipun tidak diatur oleh hukum pidana Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat memang tidak menyukai kehadiran santet. Terbukti dengan adanya reaksi sosial yang keras seperti disebutkan sebelumnya. Masyarakat memperlakukan tukang santet seperti penjahat. Hal ini sesuai dengan Teori Labeling dalam kriminologi yang menyatakan bahwa kejahatan bukanlah kualitas yang unik dari suatu tingkah laku, akan tetapi lebih ditentukan oleh reaksi masyarakat yang ditimbulkannya. Teori ini menyebutkan bahwa seseorang yang dicao sebagai penjahat, menyebabkan orangnya diperlakukan sebagai penjahat. Unsur ini dipenuhi juga oleh kasus-kasus tukang santet yang dikeroyok massa, atau ditahan di Polsek untk diinterogasi Hanya karena ketiadaan barang bukti sajalah menyebabkan mereka dibebaskan kembali. Jelas dari sudut kriminologi mereka bisa dikategorikan sebagai penjahat tak tethukum (unpunished criminals). Sementara fungsi kriminologi terhadap hukum pidana adalah meninjau secara kritis hukum pidana yang berlaku dan member rekomendasi guna perbaikan-perbaikan KUHP yang akan datang. Maka masalah legal gaps yang disebutkan Prof. Sutandyo bisa diatasi oleh peran kriminologi. Menurut Prof. Sudarto almarhum, kriminologi dapat menyediakan bahan-bahan untuk politik criminal maupun politik hukum, dan policy maker yang bijak tidak boleh mengabaikannya. Mengabaikan hasil penelitian dari kriminologi membawa resiko terbentuknya undang-undang yang tidak fungsional bahkan mungkin undang-undang yang disfungsional. Hal ini memang sudah terbukti. Lebih dari 15 tahun yang lalu saya mengusulkan kriminalisasisantet berdasarkan hasil penelitian yang menggambarkan santet meresahkan masyarakat (baca Pendekatan kriminologi terhadap masalah guna-guna: Kompas tahun 1974). Sementara itu kriminalisasi mengandung juga pengertian aktualisasi pasal-pasal KUHP yang ada. Nyatanya pasal-pasal yang mengatur praktek ilmu gaib mengalami kemandulan. Konon pasal 545 melarang seseorang berprofesi sebagai tukang ramal atau penafsir mimpi. Nyatanya praktek tukang ramal bertebaran dimana-mana secara tertutup ataupun terbuka. Di pasar dan di pusat keramaian lainnya banyak praktek dukun ramal menggunakan burung gelatik atau meramal kode buntut Dilapisan atas banyak pengusaha pehabat rajin mendatangi peramal kartu menanyakan nasibnya. Belum lagi ramalan berupa astrologi, palmistry, grafologi yang terdapat dalam mass media. Kesemuanya ini dibiarkan sehingga undang-undang menjadi disfungsional. Pasal 546 melarang penjualan benda-benda gaib. Nyatanya sejak lama benda- benda gaib tertentu mulai dari keris, batu mirah delima, batu anti tembak, keong buntet, rotan nunggal., wesi kuning, ramai dicari dan diperjualbelikan dengan harga yang tinggi Pasal 547 melarang sesorang untuk mempengaruhi jalannya sidang pengadilan dengan menggunakan jimat dan mantra. Bagaimana mungkin melacak jimat (bentuknya bermacam-macam) dan mantra? Apakah terlarang bagi seorang terdakwa berkomat- kamit mulutnya di sidang pengadilan membaca doa guna meringankan hukumannya? Menurut hemat saya pasal-pasal tersebut tidak mengatur perilaku santet, Harus ada dekriminalisasi atau penghapusan pasal-pasal ilmu gaib. Biarlah orang meramal, jual beli benda gaib dan sebagainya, toh secara kriminologis tidak meresahkan masyarakat. Sebaliknya, harus tetap ada kriminalisasi santet dalam arti melahirkan delik baru karena dampak sosial yang ditimbulkan merupakan faktor potential kriminogen yang cukup besar. Keresahan masyarakat, main hakim sendiri, pelecehan agama, merupakan produk sampingan yang ditimbulkannya Saya tidak menyarankan penyusunan delik santet yang mengacu kepada perumusan yang bersifat materill karena adanya kendala pembuktian. Yang dipidana bukanlah hakekat penganiayaan atau pembunuhan terselubung yang dilakukan oleh tukang santet, melainkan perbuatan-perbuatan mereka yang mengganggu ketertiban umum. Karena itulah maka tindak pidana santet yang diatur dalam pasal 293 RUU KUHP sekarang tidakiah disusun sebagai delik materiil tetapi delik formil. PERLUKAH SANTET DIATUR DALAM RUU KUHP? Oleh PERMADI, SH Disampaikan dalam Diskusi Publik Fraksi Partai Gerindra DPR RI “Pasal Santet dalam naskah revisi UU KUHP” Selasa, 2 April 2013 Ruang Rapat Fraksi Partai Gerindra DPR RI Gedung Nusantara 1 DPR RI Apakah santet akan diatur dalam undang-undang atau tidak itu terserah kepada DPR dan Pemerintah. Tetapi kalau mau diatur dengan baik sekalipun tidak akan sempurna karena itu harus melibatkan orang ahli santet. Harus melibatkan orang yang mengerti tentang santet sekalipun dia bukan ahli santetnya. Sebab undang-undang tentang Santet merupakan revisi dari pasal-pasal yang sudah ada yang pernah disusun oleh Prof. Muladi bersama profesor ahli hukum lain yang tidak mengerti santet. Bahkan banyak yang tidak percaya bahwa santet itu ada. Pada tahun 2001 sudah terjadi diskusi dengan saya. Beberapa peryusun RUU waktu itu mengatakan santet itu dalam jaman modern tidak ada, adanya pada jaman jahiliyah. Saya katakan pembunuhan jaman jahiliyah juga ada sekarangpun ada, Perkosaan jaman jahiliyah luar biasa banyaknya sekarangpun luar biasa banyaknya. Jadi santet tetap ada bertambah banyak lebih-lebih di kalangan elit sudah mengenal santet. Akibatnya rumusan-rumusan yang ada dalam KUHP jelas salah semua karena disusun oleh orang-orang yang tidak mengerti tentang santet. Contoh, definisi santet seperti apa. Pasal ini mengatakan antara lain orang yang mengaku bisa menyantet orang dihukum 5 tahun. Padahal saya mau mengaku santet tetapi saya tidak pernah membunuh orang, tidak pernah menyakiti orang saya justru menolong orang yang kena santet. Masak saya mau dihukum. Jadi santet itu ada dua, black magic niat orang yang menyakiti orang lain atau membunuh orang lain dan white magic orang yang menolong, dari santet. Yang kedua, penyantetnya dikejar-kejar tidak karuan dihukum lima tahun sekalipun hanya mengakui. Faktanya pasal itu tidak berlaku, Gendeng Pamungkas sering mengaku saya orang santet, saya telah membunuh sekian orang, nggak ada yang berari menangkap. Artinya pasal itu mandul, pasal itu tidak adil. Katakanlah saya sekarang mengaku saya memperkosa seorang perempuan, apakah saya dihukum, saya diperiksa dulu dibuktikan dulu bahwa saya telah memperkosa baru dihukum. Saya mengaku tadi malam saya membunuh si A, apakah saya dihukum tidak. Saya diperiksa dahulu kalau terbukti baru saya dihukum. Tetapi kalau orang yang mengaku santet tanpa pemeriksaan langsung dihukum lima tahun. Ini tidak adil Yang ketiga, ketidakadilan adalah santet itu cuma pelaksana. Tanyakan kepada Gendeng Pamungkas siapa yang menyuruh dia menyantet orang. Ada menteri, ada anggota DPR, presiden menyuruh lawan-lawan politiknya dihabisi. Tanyakan kepada Ki Joko Bodo, pasti sama Jawabannya, menteri pernah menyuruh saya, anggota DPR pernah menyuruh santet dan lain sebagainya. Tukang santet itu, menyantet orang yang tidak dikenal. Tidak ada kepentingan, pokoknya saya dibayar saya santet dia. Nah, yang menyuruh inilah pelaku utama sebenarnya tetapi malah bebas. Tanya kepada Gendeng Pamungkas siapa yang menyuruh dia menyantet orang, bebas dia berkeliaran. Dimana letak adilnya, karena itu kalau mau membuat undang- undang tentang santet harus melibatkan orang yang mengerti tentang santet. Bapak H. Ahmad Muzani, Sekjen Partai Gerindra mengatakan buktinya sulit, Buktinya paling gampang. Katakanlah, ada orang menembak siapa yang jadi saksi ahli, tentunya ahli balistik. Ahli balistik itu seseorang yang mengerti tentang senjata yang dididik khusus untuk ‘mengerti seluk beluk tentang senjata. Itulah ahli balistik, yang diakui nukum untuk menjadi saksi ahli. Kalau ada orang menggugurkan kandungan, maka saksi ahlinya adalah dokter kandungan. Kalau ada orang forensik, dokter Mu’nim misalnya ada pembunuhan, ya dokter Mu‘nim yang diminta saksi ahlinya. Sekarang kalau ada orang kena santet siapa saksinya, ya ahli santet. Ahli santet nanti bisa dipilih dari sekian ribu ahli santet dan diakui sebagai saksi ahli. limu santet sebenarnya bisa dikategorikan ilmiah. Katakanlah materi seperti telepon selular bisa dibuat energinya dengan mantera, ayat-ayat, bantuan genderuwo dan jin bisa menjadi energi. Kalau sudah menjadi energi bisa dimasukkan ke badan manusia. Semua energi bisa masuk, menembus tembok, menembus manusia. Setelah masuk ke tubuh manusia dimanterai kembali sehingga paku, jarum, cermin, rambut ada di tubuh manusia. Ini sudah dibuktikan secara ilmiah oleh Romo Loegman, seorang romo Negeri Belanda yang mencintai Indonesia, bekerja sama dengan rumah sakit di Yogyakarta. Seorang yang kena santet dirontgen, di otaknya penuh paku, jarum, cermin, rambut dan segala macam. Pembuktiannya Jelas, ilmiah kemudian dicoba white magic mengeluarkan benda-benda tersebut. Dirontgen kembali benda-benda tersebut sudah tidak ada. Kalau tidak mengikutsertakan jelas tidak mungkin. Lalu bagaimana menuduh ahli santet, kalau anda disantet orang dan datang ke dukun santet white magic pasti ditanyakan apakah mau saya kembalikan atau tidak. Kalau saya kembalikan maka penyantetnya akan mati. Berarti orang tersebut itu tahu siapa yang melakukan santet. Bermacam-macam, pernah seorang kehilangan dompet mengadu ke seorang dukun disuruh melihat ke kuku jarinya, di kuku jempol itu ada gambar orang itulah yang mengambil dompet. Tidak percaya ditangkap akhirnya pelaku tersebut mengaku. Hal ini di negeri Belanda sudah masuk dalam pengadilan. Ada pembunuhan, pembununya tidak pernah tertangkap ada seorang paranormal yang menawarkan bantuan, pembunuhnya si X pakai baju kotak-kotak kena darah, pisaunya dibuang di danau. Diselami ternyata ada. Ditemukan pisaunya, ditemukan bajunya. Orangnye ditangkap dengan pemeriksaan yang efektif mengaku. Ini berarti bisa dilakukan. Di Klaten pernah terjadi seorang ibu dituduh membunuh bayinya, dengan kejam. Seorang paranormal mengatakan, ibu ini tidak membunuh bayinya, yang membunuh bayinya roh jahat. Ditangkap polisi. Paranormal ini ingin sekedar memberikan pembuktian, disuruh polisi menangkap. Sepuluh orang polisi memegangi si ibu ini, dimasukkan roh jahat ke ibu tersebut, sekali dikibaskan sepuluh orang polisi tersingkir. Tidak bisa menangkap seorang perempuan yang lemah. Itu bukti Tetapi Indonesia yang penuh abli-ahli profesor doktor tidak pernah mau meneliti fenomena semacam ini. Ada fenomena yang setiap hari dilakukan kita misalnya reog Ponorogo, pemain reognya kecil-kecil. Alat reognya beratnya sekitar seratus kilo, tidak pernah diangkat dengan tangan tetapi digigit. Saya pernah naik di kepala reog tersebut, mereka joget-joget tidak merasa keberatan. Nah, inikan sebuah fenomena, apakah fenomena yang bisa dipikir manusia atau tidak. Itu kalau diteliti kenapa seorang reog mampu mengangkat beban sekitar 100 kilo dengan orang berada diatas kepalanya Oleh karena itu, kalau kita tidak melakukan pengakuan bahwa sartet itu ada bagaimana kita bisa melakukan rumusan tentang santet. Kemudian Komisi III DPR RI berniat studi banding ke Eropa, saya bilang silakan untuk KUHP-nya. Tetapi kalau untuk santetnya jangan, sebelum anda mengetahui apa itu santet di Indonesia jangan melakukan studi banding ke luar negeri. Karena apa, studi banding adalah satu untuk membandingkan dengan yang lain. Di Indonesia mulai dari Aceh sampai Papua penuh dengan santet, semua daerah ada santetnya. Nah, apakah orang Komisi ill DPR RI sudah tahu santet di Indonesia kok tiba-tiba mau melakukan studi banding ke Eropa. Harus tahu dulu apa namanya kalau di Sumatera utara itu Beguganjang, teluh, sihir, santet dan sebagainya. Kalau sampai belum tahu santet di Indonesia, menurut saya sia-sia melakukan studi banding. Oleh karena itu menurut saya cukuplah pelajari dulu santet di Indonesia. Saya hormat kepada Prof. Dr. Tb. Ronny Nitibaskara, beliau seorang intelektual, tetapi meyakini tentang hal-hal yang bersifat supranatural. Beliau sekolah di Inggeris, dan mempercayai di Inggeris pun ada hal-hal supranatural. Sampai di Indonesia beliau membuat buku tentang sihir dan santet di Indonesia. Seharusnya seorang profesor doktor seperti inilah yang diminta memperkuat tim tentang santet. Karena kalau yang lalu tahun 2001 memang profesor doktornya sudah sepuh-sepuh, tua-tua, dan belajarnya di luar negeri dan tidak mengakui adanya santet. Karena itu rumusannya tidak benar dan keliru sehingga rumusan- rumusan tentang santet dilanggar oleh para penyantet termasuk oleh Gendeng Pamungkas dan tidak diapa-apakan. Dan terlebih lagi adalah seperti dikatakan Pak Muzani, penyantet- Penyantet belum tentu penyantet tetapi diduga tukang santet, dikeroyok, dibakar, dibunuh, dan pelakunya tidak diapa-apakan oleh aparat dengan alasan yang dikeroyok tukang santet. Inikan tidak adil dalam hukum. Di Banyuwangi, 150 orang dibunuh dengan dibakar, dan tidak ada yang ditangkap dengan alasan tukang santet. Padahal banyak ekses-eksenya, tukang santet itu kaya raya, ingin dimiliki hartanya. Ini persis seperti jaman PKI dahulu, membunuh PKI tidak ada hukumannya. Bahkan pada waktu itu seorang jenderal, ada seorang dokter yang beristri cantik sekali, dokternya ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru, istrinya dinikahi oleh jenderal yang bersangkutan. Inikan ekses, tidak ada hukum yang berlaku. Karena itu masalah santetpun harus ada perlindungan terhadap penyantet, yang dilindungi bukan hanya korban dan calon korban yang kena santet. Tetapi juga penyantetnya. Karena ada dugaan-dugaan santet lalu dihukum dan lain sebagainya. Jadi haruslah seimbang karena hukum melindungi masyarakat. Dapat dikatakan santet itu sepertinya pistol. Pistol itu netral, kalau dipakai oleh polisi untuk melindungi masyarakat. Kalau dipakai oleh penjahat katanya un:uk menembak orang. Santet juga, kalau niatnya buruk dia bisa menyakiti atau membunuh seseorang. Tetapi kalau iatnya baik dia menolong orang yang terkena santet. Hal-hal semacam inilah yang perlu irkan kalau mau diatur dalam kitab undang-undang jangan sampai ada hal yang terlewat. di Tetapi memang sulit untuk memberikan definisi tentang santet. Karena mungkin yang perlu diatur santet yang membunuh yang menggunakan alat-alat dan materi kalau kita melakukan pertandingan Thomas Cup, Indonesia dan Malaysia mengerahkan dukun-dukun, kalau di Malaysia namanya Bomoh. Bisa ditanyakan kepada Lim Swie king dan Rudy Hartono, mau me-smash tiba-tiba jatuh kakinya terkilir, atau raketnya patah. Orang-orang Afrika pun demikian kalau bertanding sepakbola ada yang mengencingi lapangan sepakbola dulu. Boneka untuk ditaruh di gawang. Itu adalah pemahaman orang yang berpikir secara holistik bahwa manusia tidak lahir sendirian tetapi ada yang tidak berwujud dan tidak kelihatan. Oleh Karena itu sekali lagi silakan kalau mau mengatur santet dalam hukum pidana, tetapi keinginan saya pertama, mengikutsertakan orang yang mengerti tentang teori-teori santet atau orang yang mengerti tentang santet seperti Gendeng Pamungkas. Tanpa mengikutsertakan orang-orang seperti itu saya kira apapun yang disusur oleh profesor doktor yang cuma mengerti ilmu tidak akan sempurna bahkan banyak kesalahan-kesalahan, SANTET WARISAN BUDAYA LELUHUR NUSANTARA Ki GENDENG PAMUNGKAS Diskusi Publik Fraksi Partai Gerindra DPR RI “Pasal Santet dalam naskah revisi UU KUHP” Jakarta, 2 April 2013 Ruang Rapat Fraksi Partai Gerindra DPR RI Lantai 1704 Gedung Nusantara I DPR RI Santet merupakan hal gaib yang tidak bisa dibuktikan berdasarkan logika hukum. Hukum itu sifatnya pasti berdasarkan bukti-bukti dan fakta-fakta. Saya secara pribadi tidak setuju dengan adanya santet masuk dalam undang-undang. Bagaimana membuktikan santet bila ini disebut sebagai kejahatan, Menurut saya santet merupakan warisan dari buaya leluhur nusantara. Karena itu, caranya menyikapinya harus dengan arif bijaksana dan tidak arogan dengan memasukkannya pada tindak kriminal. Perlu diketahui santet tidak selalu bermakna negatif. Kita hanya terlalu sering menonton film saja dengan menganggap santet perbuatan jahat untuk menghilangkan nyawa orang lain. Santet sebenarnya bertujuan untuk digunakan hal-hal yang positif. Misalnya, untuk mengobati berbagai macam penyakit seperti penyakit dalam, ginjal sampai dengan mencari orang yang pergi untuk pulang. Dalam kepolisian, santet dapat disamakan dengan intelijen, Keberadaannya tidak terlihat tetapi sesungguhnya ada dan bermanfaat. Oleh karena itu kiranya pemerintah dan DPR bisa mempertimbangkan kembali pasal santet agar tidak dimasukkan dalam KUHP. Ada baiknya DPR mengundang paranormal untuk memberikan masukan untuk pasal tersebut. Termasuk diri saya bila diundang untuk memberikan masukan. Jadi saya sangat tidak setuju RUU santet ini menjadi undang-undang Karena saya pikir ini republik semakin lucu nanti, semakin aneh jadinya. Saya ingin biar saja santet dan tenung atau teluh di republik ini menjadi warisan budaya lokal di negeri ini. Dan saya sangat tidak setuju para anggota dewan buang-buang duit ke luar negeri untuk studi banding, Karena di Indonesia banyak sekali tempat mengenai santet. Saya bisa antarkan dan tunjukkan lokasinya. Juga ada beberapa negara dan mereka bergelar profesor tujuh orang dari tujuh negara mereka sedang meneliti tentang santet. Dan mereka terkagum-kagum karena di satu daerah bukan belajar santet sejak dari jaman Belanda sudah abli santet dimana pada malam Jumat kliwon atau legi terjadi perang bintang. Tapi sehari-harinya mereka ada yang berprofesi sebagai pegawai negeri, polisi, tukang ojek, Jadi mengenai santet ini saya melalui dewan ya ditampung saja para dukun santet, Para dukun santet ini dikumpulkan saja semuanya. SANTET DALAM RANCANGAN KUHP. Disampaikan oleh : MARTIN HUTABARAT Dalam Diskusi Publik yang diselenggarakan Fraksi Partai Gerindra SELASA, 2 APRIL 2013 “Santet dalam Rancangan KUHP ” LATARBELAKANG 1. Setelah melewati masa penantian yang sangat panjang, bahkan hingga berpuluh tahun lamanya,' akhimya naskah revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dapat juga diselesaikan oleh pihak pemerintah. Kini, naskah tersebut telah diserahkan oleh pemerintah kepada DPR RI. Menindaklanjutinya, Komisi II pun berencana segera melakukan proses pembahasan, dengan terlebih dahulu melakukan studi banding ke empat negara yakni Rusia, Perancis, Belanda dan Inggris yang sekarang ini ditolak masyarakat. 2. Memang, keinginan mempunyai sebuah hukum pidana nasioral telah lama menjadi obsesi bangsa ini. Idealnya, revisi UU KUHP yang sudah mulai dilakukan ini tidak bisa diletakkan dalam kesadaran sekadar menggantikan Wetboek van Strafrecht (WvS) atau produk hukum pidana pemerintahan kolorial Hindia Belanda, Seharusnya, revisi UU KUHP dapat mendorong pembangunan sistem hukum pidana yang berorientasi jauh ke masa depan, terbangunnya sebuah masyarakat Indonesia yang memiliki keadaban hukum yang tinggi 3. Sudah diketahui secara luas, dalam naskah revisi UU KUHP yang telah diserahkan Pemerintah kepada DPR RI belum lama ini, ternyata beberapa pasalnya telah menyulut kontroversi di tengah masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah mengakomodasi tindak pidana Santet atau Penyebaran Santet sebagai delik baru, seperti yang tertuang dalam pasal 293 naskah revisi UU KUHP. 4. Akan tetapi, beberapa ahli berpandangan bahwa delik santet dalam draft revisi UU KUHP tersebut bukanlah hal yang baru karena dalam KUHP lama juga sudah ada delik santet.? Memang, dalam beberapa pasal KUHP lama telah menguraikannya hal-hal yang terkait dengan Santet yakni: Pasal 545: Melarang seseorang berprofesi sebagai peramal/ahli nujum ( dukun ); Pasal 546: Melarang menjual belikan benda | Langkah penyusunan konsepnya sudah dimulai dalam upaya pembaharvan hukum pidana sasional yang telah diakekan sejak tahun 1960-an yang ditandal dengan an dkeluarkannya draft Rancangan Kited Undang-undang Hokum Pioana (KUHP) leh Lembaga Pembenanan Hukum Nasional (LPHN) pada tahun 1963, = Antara tain, Guru Besar Hukum Pidana dan Kriminologl Universitas Indonesia Prof Dr Ronny Nitbaskara menyebut “Penerapan passl 351, 338, dan 340 KUHP terhadap pelaku praklek dukun santet atau telun dapat dlakukan dengan mempertimbangkan' beberapa_ unsur_ dan fenomenaosial‘budaya i lapangan’, "dalam htosiwww antaranews comberta364 126/oaker-peredianterhadap-dvkun-santt-san ungkinksn, benda gaib; Pasal 547: Melarang saksi dalam sidang pengadilan menggunakan mantra/jimat. 5. Adapun rumusan pasal 293 dalam naskah revisi UU KUHP tersebut terdiri dari dua ayat yakni: Ayat (1) menyatakan, "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV"; Sedangkan Ayat (2), "Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga)”. Seperti diketahui, pasal Santet dalam naskah revisi UU KUHP ini dimasukan dalam delik formil, bukanlah delik materil. Hal itu berarti, jika Santet dimasukan sebagai delik formal, maka pemidanaan seseorang tidak perlu adanya sebuah akibat, seperti meninggalnya seseorang yang disantet. Dalam konteks tersebut, pidana formilnya terletak pada hubungan antara tukang santet dengan orang yang menyewanya sehingga hubungan itulah yang akan dilihat sebagai tindak pidana permufakatan jahat. 6. Sebaiknya, proses revisi UU KUHP, termasuk rencana ditambahkannya beberapa delik pidana baru atau lebih mempertegas delik pidana yang sudah ada dalam sistem hukum di Indonesia, hendaknya dibahas bersama dengan komprehensif dan dilandasi oleh suatu semangat atau keinginan memiliki sebuah hukum pidana yang dapat difungsikan dalam tatanan negara Indonesia yang demokratis. Pertanyaan besamya, apakah pasal Santet atau Penyebaran Santet layak dijadikan delik hukum baru dan relevan dalam konteks perkembangan demokratisasi serta dapat mendorong modernisasi hukum pidana di Indonesia? Ataukah sebaliknya, jika di akomodasi dalam KUHP baru, justru akan berpotensi memunculkan masalah baru yang lebih pelik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara? TUJUAN 1. Tujuan utama dari diskusi ini adalah untuk mengetahui latarbelakang, urgensi dan kelayakan dimasukannya Santet atau Penyebaran Santet sebagai delik pidana baru dalam naskah revisi UU KUHP. 2. Tujuan selanjutnya adalah memahami secara mendalam tentang dimensi atau aspek kriminalisasi yang ada dalam Santet atau Penyebaran Santet. 3. Selain kedua hal diatas, tujuan lainnya adalah melakukan pemetaan komprehensif tentang tradisi Santet dalam konteks kebudayaan dan sosiologi masyarakat Indonesia PERMASALAHAN 1, Apa yang menjadi latarbelakang dimasukannya Santet atau Penyebaran Santet dalam naskah revisi UU KUHP? 2. Sejauhmana urgensi dan kelayakan Santet atau Penyebaran Santet sebagai sebuah delik pidana? 3. Apa saja dimensi atau aspek kriminalisasi dalam Santet atau Penyebaran Santet? 4, Bagaimana memetakan perilaku Santet dalam kenyataen sosial budaya di Indonesia? 5. Sejauhmana kerisauan masyarakat terhadap perkembangan Santet atau Penyebaran Santet di Indonesia? 6. Apa saja implikasi yang berpotensi muncul di masyarakat jka pasal Santet atau Penyebaran Santet menjadi sebuah delik pidana dalam sistem hukum di Indonesia 7. Apakah Santet itu memiliki relevasi dalam proses modemisasi hukum pidana sehingga dapat difungsikan dalam tatanan sebuah negara yang sementara berada pada tahap konsolidasi demokrasi seperti di Indonesia Kriminalisasi “Kekuatan Gaib” Dalam RUU KUHP PENGAYOMAN Dr. Wahiduddin Adams, S.H., M.A. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum & HAM RI Disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai Gerindra Gedung DPR-RI, Selasa, 2 April 2013 Posisi Aktual RUU KUHP e Tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2009-2014 sebagai RUU prakarsa Pemerintah; e Telah disampaikan oleh Presiden kepada Ketua DPR pada tanggal 11 Desember 2012 melalui surat nomor R-88/Pres/12/2012; e Telah dilaksanakan Rapat Kerja pertama pada tanggal 6 Maret 2013 antara Pemerintah dengan Komisi Ill DPR (yang dihadiri pula oleh Prof. Muladi selaku ketua tim penyusun beserta tim penyusun). ° Klarifikasi “Pasal Santet” “Pasal_Santet”_merupakan isitilah_ _yang__ umumnya digunakan oleh media yang tidak sepenuhnya tepat; Hal yang ingin diatur oleh RUU = KUHP adalah kriminalisasi terhadap penawaran untuk melakukan tindak pidana dengan sarana “kekuatan gaib” (black magic); e Pada prinsipnya bukanlah hal baru, mengingat substansi ini sesungguhnya telah diatur dalam Pasal 546- 547 KUHP; Hal ini menunjukkan bahwa praktek black magic memang secara nyata meresahkan masyarakat Indonesia, bahkan sejak zaman sebelum Hindia Belanda, sehingga Pemerintah Hindia Belanda memandang_perlu untuk dikriminalisasi. e Pasal 546-547 KUHP Pasal 546 Diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah): ‘. Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan , membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib. Barangsiapa mengajar ilmu-ilmu atau kesaktian-kesaktian yang menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri. np Pasal 547 Seorang saksi, yang ketika diminta untuk memberi keterangan di bawah sumpah menurut ketentuan undang-undang, dalam sidang pengadilan memakai jimat-jimat atau benda-benda sakti, diancam dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) hari atau pidana denda paling banyak Rp750,- (tujuh ratus lima puluh rupiah). Landasan Filosofis e Konsep_keseimbangan_monodualistik, sehingga RUU KUHP ini diharapkan dapat mengakomodir kepentingan individu — (pelaku/korban) = dan kepentingan umum (masyarakat); e Sihir (kekuatan gaib) diakui eksistensinya dalam Al- Quran sebagai perbuatan yang amat jahat/tercela (Q.S. Al Baqarah: 102) Landasan Sosiologis-Historis e Zaman Perundang-undangan Kerajaan Majapahit: perbuatan “tenung” merupakan salah satu dari tatayi (kejahatan berat yang diancam dengan pidana mati). Nyampok nyawa (usaha membunuh orang lain dengan mistik/guna-guna), nyampok padi (perbuatan mistik sebagai usaha untuk merusak hasil panen/padi di ladang/sawah orang lain Musyawarah Adat (Musdat) Dayak Kanayatn se-Kabupaten Pontianak pada tanggal 25-27 Mei 1985 di Anjungan Kalimantan Barat, TMII (Kodifikasi Hukum Adat Dayak). e (Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Cet. ke-2, Jakarta: 2010. Him. 286) = Landasan Yuridis _ Pasal 18B ayat (2) UUDNRI Tahun 1945: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang: - masih hidup; - sesuai dengan perkembangan masyarakat; - sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; - diatur dalam undang-undang. e e Fenomena Kekuataan Gaib saat ini Kenyataan empiris, masih adanya sebagian masyarakat Indonesia yang mempercayai hal-hal gaib/metafisik untuk keperluan persiapan melakukan kejahatan (ante factum), melakukan kejahatan (factum), dan setelah melakukan kejahatan (post factum); Aparat penegak hukum — seringkali tidak © mampu menindaklanjuti laporan masyarakat mengenai penggunaan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan karena landasan hukum (yuridis)nya tidak memadai. lsu adanya “kekuatan gaib” seringkali digunakan sebagai fitnah guna memicu munculnya konflik horizontal di masyarakat (contoh: kasus Banyuwangi, Pasuruan, Sampang, Singkawang, dsb) Pasal 293 RUU KUHP Setiap orang yang menyatakan_ dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Jika Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari_keuntungan_atau_menjadikan sebagai_mata pencaharian_atau_kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga). Perbandingan Konsep RUU KUHP dengan KUHP terkait “Kekuatan Gaib” RUU KUHP (Pasal 293) Diatur dalam Buku I! (tindak pidana/misdrivjen) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategor IV. menyatakan dirinya mempunyai kekuatan. gai, memberitshukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa Karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, Kematian, penderitaan mental atau fisk seseorang pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga) jika perbuatan tersebut bertujuan untuk mencari keuntungan atau menjadikannya sebagai mata pencaharian atau kebiasaan KUHP (Pasal 546-547) Diatur dalam Buku It! (Pelanggaran/Overtredingen) - pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah; - pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) hari atau pidana denda paling banyak Rp750,-(tujuh ratus ima puluh rupiah). nenival, menawerkan, menyeiahkar, , membagikan atau mempunysi paisediaan untuk dual atau dibagikan jimat jimat atau benda-benda yang dikatekan olehnya mempunyai kekuatan gaib; = mengajar ilmu-iimu atau _‘kesakfian-kesaktian yang menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi di sendiri - Seorang saksi, yang ketka diminta untuk memberi keterangan di bawah sumpah menurut ketentuan undang- undang, dalam sidang pengadilan memakai jimat-jimat atau benda-benda sakti Tujuan Kriminalisasi “kekuatan gaib” Mencegah penipuan terhadap masayarakat secara umum yang dapat dilakukan oleh orang yang mengaku memiliki kekuataan gaib untuk membantu melakukan kejahatan (dukun palsu); Mencegah masyarakat agar tidak mencari pihak yang mengaku memiliki kekuatan gaib untuk membantu melakukan kejahatan; Mencegah masyarakat agar tidak melakukan aksi “main hakim sendiri” (eigenrichting) terhadap orang yang dianggap memiliki kekuataan gaib atau terhadap _ fenomena-fenomena supranatural; Mendorong masyarakat agar selalu berpikir rasional, obyektif, dan ilmiah untuk kemajuan bangsa Indonesia (lihat pula Penjelasan Pasal 293 RUU KUHP) Dengan demikian... e Pasal 293 RUU KUHP ditempatkan dalam BAB V_ TINDAK PIDANA TERHADAP KETERTIBAN UMUM; Bagian Kedua: Penghasutan dan Penawaran Untuk Melakukan Tindak Pidana; paragraf 2: Penawaran untuk Melakukan Tindak Pidana. e Pasal 293 RUU KUHP merupakan delik formil, yakni delik yang dapat dipidana tanpa mensyaratkan pembuktian adanya akibat dari delik/perbuatan pidana tersebut, e Hal yang harus dibuktikan hanyalah adanya pernyataan bahwa dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang Sekian dan Terima Kasih

You might also like