You are on page 1of 14

BIOTEKNOLOGI FARMASI l UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL -WASHLIYAH

(TA 2022/2023)

[Review Artikel | Ulasan Artikel]

Diagnosis Molekular :
Pengobatan Penyakit (COVID 19)
Oleh :
Roihanah Rohmah* | NPM. 202114089

*Bachelor of Pharmacy Student


Department of Pharmacy, University of Muslim Nusantara Al Washliyah

Mata Kuliah: Bioteknologi Farmasi


Dosen Pengampu: Yayuk Putri Rahayu, S.Si., M.Si.

ABSTRAK
Severe acute respiratory syndrome coronavirus-2 (SARS-nCoV-2) the cause of Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19) was first discovered in Wuhan in December 2019, has spread
throughout the world. Each country tries to develop treatment protocol guidelines following the
latest research developments to increase the cure rate due to the absence of standard guidelines.
The purpose of this research is to know the profile of prescribing COVID-19 drug therapy in
patients at Jakarta haji hospital the period September 2020-February 2021. This research is non-
experimental with quantitative descriptive study design was taken retrospectively using secondary
data in the form of prescription data history of COVID-19 patient visits recorded on the system
with sampling techniques that is total sampling. The results showed that in total 387 COVID-19
patients the most were 46-65 years old with 198 patients and the mostly male with 212 patients.
The longest duration of treatment was 3-10 days as many as 246 patients and the highest degree
of disease was mild to moderate as many as 363 patients. The most widely prescribed drugs were
paracetamol (84.37%), dexamethasone (78.4%), oseltamivir (74.1%), heparin (67.81%),
alprazolam (60.27%), acetylcysteine (58.12%), insulin (54.93%), CTM (53.13%), amlodipine
50.43%, vitamin C (48.04%), levofloxacin (35.48%), and omeprazole (31.98 %). COVID-19
patients at the Jakarta Haji Hospital receive the main therapies, namely vitamins, antibiotics,
antivirals, respiratory drugs, gastrointestinal drugs. The suitability of prescribing drug therapy
classes based on the guidelines for the management of COVID-19 is 83% and those that are not in
accordance with the guidelines are 27%.
Daftar Isi
1. Pendahuluan………………………………………………………………………….2
2. Definisi Diagnosis Molekular ……………………………………………………….2
BIOTEKNOLOGI FARMASI l UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL -WASHLIYAH
(TA 2022/2023)

3. Morfologi dan Struktur Genom SARS-CoV-2 ……………………………..….…..3


4. Metode Deteksi Diagnosis Molekular ………………………………………………4
5. Pemilihan Metode yang Tepat pada Diagnosis Molekular COVID 19 …………..6
6. Pengobatan Penyakit COVID 19 …………………………………………………...7
7. Kesimpulan …………………………………………………………………………..8
8. Referensi ……………………………………………………………………………..9

1. Pengantar

Perkembangan diagnostik molekuler menjadi banyak perhatian dengan semakin


meningkatnya dukungan riset ke arah precision medicine. Penerapan prinsip tersebut bermaksud
menghasilkan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan variabilitas indvidu. Berbagai metode dan
teknologi terbaru mulai dikembangkan untuk mendapatkan informasi kesehatan secara akurat dan
presisi seperti metode berbasis Polymerase Chain Reaction (PCR), sekuensing dan microarray.
Pengembangan ini juga sedang dimulai di Indonesia dalam mendukung era revolusi industri 4.0
sebagai penerapan precision medicine. Pengembangan ini berupa metode deteksi baru dan
instrumentasinya dalam menghasilkan diagnostik yang akurat. Metode deteksi baru atau hasil
modifikasi ini, agar dapat diterima sebagai pertimbangan untuk diagnosis, harus memenuhi prinsip
statistika yaitu akurasi diagnostik. Akurasi diagnostik digunakan untuk membuktikan metode
mampu dalam mendeterminasi hasil diagnostik sehingga didapatkan kondisi penyakit yang akurat.
Pengaturan hal tersebut diperlukan peran standar dan penilaian kesesuaian terkait reprodusibilitas
hasil dan ketertelusurannya secara internasional. Perkembangan ini merupakan hal yang akan
berkembang pesat di masa depan, sehingga diagnostik molekuler sangat diperlukan
pengembangannya di Indonesia (Dewantoro, 2020).

Corona Virus Disease pertama kali merebak di kota Wuhan di China pada akhir Desember
2019 dan masih berlangsung sampai dengan saat ini. Awalnya, gejala penyakit COVID-19 ini
menyerupai flu dan dicurigai penyebabnya virus influenza, virus pernapasan lainnya, Pneumoniae
chlamydia dan Mycoplasma pneumoniae namun terbukti tidak satupun dari mikroorganisme
tersebut ditemukan dalam pemeriksaan laboratorium. Hasil riset yang dilakukan dari sampel
pasien memperlihatkan data sekuensing genom virus merupakan virus RNA baru yang memiliki
hubungan dekat dengan famili Coronaviridae. Virus ini kemudian ditetapkan sebagai SARS-CoV-
2 pada 11 Februari 2020. Temuan lainnya mengungkapkan bahwa virus ini memiliki 89%
kesamaan genomik dengan virus corona pada kelelawar dan mirip virus SARS yang termasuk
dalam subgenus Sarbecovirus dan Betacoronavirus. Virus Corona adalah sekelompok virus RNA
berukuran besar (100–160 nm), berbentuk bulat, tidak tersegmentasi, berantai tunggal dengan
genom berukuran 26–32 kb (yang terbesar di antara virus RNA yang diketahui), dan diketahui
dapat menginfeksi hewan atau manusia. Virus Corona diklasifikasikan menjadi empat genera (a-
alfa, b-beta, c-gamma dan d-delta), dan hanya dua genera yang ditemukan pada manusia yaitu
BIOTEKNOLOGI FARMASI l UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL -WASHLIYAH
(TA 2022/2023)

general alfa yang terdiri dari CoVNL CoV-229E, dan genera-beta yang terdiri dari CoV-OC,
CoVHKU, MERS-CoV dan SARS-CoV. Genom virus COVID-19 sangat mirip dengan SLCoVZC
yaitu strain kelelawar yang sudah dikenal dan SARS-CoV. Kelompok virus ini sangat mudah
mengalami mutasi dan rekombinasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan bertahan
hidup melalui cara mengubah jangkauan target hospes yang lebih luas sehingga dapat
menyebabkan ancaman terjadinya wabah. Oleh karena itu, dengan dasar pemahaman virologi dan
cara mendeteksi yang tepat maka diupayakan pencegahan penyebaran penyakit COVID-19
(Gunardi, 2021).

Pendekatan klinis COVID-19 didasarkan pada anamnesis riwayat perjalanan seseorang dari
daerah pandemik, gejala klinis dan untuk diagnosis didasarkan pada anamnesis dan beberapa
pemeriksaan laboratorium serta pencitraan. Pemeriksaan diagnosis laboratorium COVID-19 yang
cepat dan sensitif masih terus dikembangkan, meskipun saat ini telah tersedia beberapa metode
untuk mendeteksi virus, materi genetik virus dan antibodi namun masing-masing metode tersebut
memiliki keterbatasannya. Metode-metode yang selama ini dilakukan adalah melalui pendekatan
deteksi virus atau materi genetiknya dan deteksi reaksi imunitas tubuh yaitu antibodi yang
ditimbulkan sebagai respon imun terhadap antigen patogen penyebab. Untuk mendeteksi satu atau
lebih materi genetik virus menggunakan metode Reversed Transcriptase-Polymerase Chain
Reaction (RT-PCR), atau dengan Next Generation Sequencing yang mengurutkan genom utuh
virus. Deteksi antibodi hasil respon imun pasien dilakukan atas dasar metode reaksi
antigenantibodi seperti Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Metode-metode ini
masingmasing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Saat ini, World Health Organization
(WHO) sudah menetapkan metode RT-PCR sebagai baku emas untuk mendeteksi materi genetik
SARS-CoV-2 dan metode lainnya terus dikembangkan dan dievaluasi (Gunardi, 2021).

Karena urgensi situasi, penyelidikan lain termasuk kemungkinan penggunaan kembali obat
antivirus yang sudah ada seperti Favipiravir, Ribavirin, Chloroquine dan eksplorasi berbagai
alternatif dan obat tradisional untuk mencegah dan mengobati COVID-19. Obat yang digunakan
kembali seperti hydroxychloroquine, yang awalnya dianggap sebagai obat prospektif COVID-19,
telah terbukti tidak memiliki manfaat klinis dalam laporan terbaru, meskipun laporan tersebut
diklaim sebagai cacat dan dalam pencabutan artikel. Laporan terbaru tentang uji coba samar ganda,
acak, terkontrol placebo dari Remdesivir, analog nukleotida protida, menunjukkan adanya waktu
pemulihan yang lebih singkat pada pasien COVID-19 di rumah sakit (Syamsu, 2021).

2. Definisi Diagnosis Molekular

Diagnostik molekuler merupakan pengujian untuk menganalisa penanda biologi secara


genomik atau proteomik untuk mendapatkan informasi kesehatan atau penyakit pasien dalam
diagnostik klinis. Diagnostik molekuler memiliki kelebihan diantaranya sensitivitas yang tinggi
dan dapat mendeterminasi jenis patogen dan kekebalan antibiotiknya. Walaupun memiliki banyak
kelebihan, masih terdapat hambatan terhadap pengaplikasian dalam diagnostik klinis dalam hal
biaya yang efektif (Dewantoro, 2020).
BIOTEKNOLOGI FARMASI l UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL -WASHLIYAH
(TA 2022/2023)

Pemeriksaan genetik dengan pendekatan berbasis diagnosis molekuler mempengaruhi


akurasi hasil diagnosis dan penilaian tingkat keparahan penyakit. Pendekatan diagnosis berbasis
molekuler juga dapat melihat defek atau gangguan genetik. Hal ini dapat menjadi acuan terhadap
pemberian terapi pasien talasemia sesuai dengan manifestasi klinik dan tingkat keparahan pasien.
Pada era sebelum pemeriksaan DNA dilakukan pemeriksaan genetik dalam pendekatan diagnosis
berbasis molekuler sudah mulai digunakan yaitu dengan menganalisis sintesis rantai globin untuk
mengetahui tingkat keparahan pasien. Diagnosis molekuler telah diterapkan untuk kasus berbagai
penyakit dan mendapatkan hasil yang akurat (Pratama, 2019).

3. Morfologi dan Struktur Genom SARS-CoV-2

SARS-CoV-2 merupakan virus RNA baru dari famili Coronaviridae genus


Betacoronavirus yang berukuran kurang lebih 70-90 nm. Struktur virus ini berbentuk sperikal dan
terdiri dari 4 protein struktural seperti protein spike (S), protein membran (M), selaput protein (E),
dan protein nucleocapsid (N). Virus ini memiliki kekhasan berupa tonjolan-tonjolan pada
permukaan virion yang menyerupai bentuk mahkota sehingga diberi nama virus Corona. Protein
S virus berfungsi untuk melekat pada Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE 2) yaitu reseptor
dari sel inang (hospes) dan memediasi terjadinya infeksi. Protein M berukuran 25-30 kDa
merupakan protein struktural yang terbanyak dalam virion dan berfungsi memberi bentuk virus.
Protein E merupakan protein yang kecil dengan ukuran 8-12 kDa dan terdapat dalam jumlah kecil
pada partikel virus. Protein E ini berfungsi dalam fasilitasi proses pembentukan dan pelepasan
virus. Protein N merupakan satu-satunya protein yang berada dalam nukleokapsid heliks. SARS-
CoV-2 memiliki protein permukaan/surface viral proteins, yang bernama glikoprotein spike atau
protein S, glikoprotein membrane atau protein M, glikoprotein E atau selubung (envelope), dan
glikoprotein N yaitu nukleokapsid helikal yang melindungi materi genetik (RNA) virus. Genom
virus corona berukuran antara 26 hingga 32 kb dan terdiri dari 6–11 Open Reading Frame (ORF)
yang menyandi 9680 poliprotein asam amino.12 ORF pertama terdiri dari sekitar 67% genom yang
mengkode 16 protein nonstruktural (nsps), sedangkan ORF yang tersisa mengkodekan protein
aksesoris dan struktural. Genom SARS-CoV-2 tidak memiliki gen hemaglutinin-esterase dan
variasi urutan antara SARS-CoV-2 dan SARS-CoV tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
pada ORFs dan nsps (Gunardi, 2021).

SARS-CoV-2 dapat ditularkan antar manusia melalui batuk atau bersin, aerosol, udara,
atau muntahan. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa batuk, pilek, demam, konjungtivitis, sakit
tenggorokan dan diare. Ginjal, hati, sistem saraf pusat, kardiovaskular, dan sistem pencernaan
merupakan organ target utama infeksi virus corona dalam tubuh manusia, sehingga perlu
pemantauan yang tepat (Cartika, 2022).

4. Metode Deteksi Diagnosis Molekular


OTEKNOLOGI FARMASI l UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL -WASHLIYAH
(TA 2022/2023)

a. Metode Molekuler

Next generation sequencing (NGS) juga disebut sebagai High throughput sequencing
(HTS). Metode ini dipakai untuk menentukan urutan genomik, digunakan lebih dari 1 juta pasang
basa dalam satu kali pemeriksaan. Teknik ini, mampu mendiagnosis penyakit herediter, kanker,
dan penyakit infeksi serta untuk melacak wabah Methicillin Resistant Staphylococcus
aureus(MRSA) di rumah sakit. Metode ini memiliki akurasi yang tinggi dan pelacakan yang baik
untuk menelusuri sumber penularan. Namun, penggunaan metode tersebut membutuhkan keahlian
khusus dan biaya yang cukup mahal. Saat ini, quantitative RT-PCR (qRT-PCR) merupakan
pemeriksaan yang umum digunakan untuk diagnosis COVID-19 dan merupakan baku emas untuk
diagnostik molekuler dari berbagai jenis virus atau bakteri patogen yang fastidious. Kuantitatif
RT-PCR memiliki beberapa kelebihan yaitu lebih spesifik, konsisten, dapat digunakan dengan
mudah, hanya memerlukan primer-probe tertentu yang dirancang dan disintesis sesuai gen
target.15,16 Setelah hasil primer virus SARSCoV-2 dari China dipublikasikan, alat tes diagnostik
selain rRT-PCR dirancang dan dikembangkan para peneliti lainnya. Berbagai lembaga atau
produsen telah memilih paduan gen target yang berbeda dari banyak gen SARS-CoV-2 (gen ORF
1a, gen ORF-1b, gen RdRp, gen N, gen E dan lainnya), sehingga setiap alat tes memiliki variasi
tingkat sensitivitas. Selain masalah sensitivitas yang bervariasi, qRT-PCR memiliki beberapa
kelemahan seperti bahaya biosafety dan biosecurity yang mungkin terjadi selama pemrosesan
sampel, transportasi, proses ekstraksi asam nukleat, dan kebutuhan peralatan laboratorium yang
mumpuni untuk melakukan pemeriksaan qRT-PCR seperti kabinet biosafety, ruangan yang
memiliki tekanan negatif dan peralatan pendukung lainnya. Peralatan dan standar ruangan harus
dipenuhi, agar keamanan dan keselamatan petugas terjaga demikian juga kualitas mutu hasil
pemeriksaan. Semua kelemahan tersebut harus dapat diatasi pada keadaan darurat kesehatan atau
situasi wabah global seperti saat ini. Selain itu, alat PCR dapat digunakan untuk mendeteksi tidak
hanya target virus, tetapi juga dapat melakukan deteksi beberapa virus pernapasan secara
bersamaan yang menyebabkan peningkatan adanya risiko positif palsu atau negatif palsu. Loop-
mediated isothermal amplification (LAMP) merupakan salah satu teknik molekuler yang relatif
baru untuk diagnosis COVID-19. Metode ini juga menggunakan teknik amplifikasi molekuler
yang dapat mendeteksi materi genomik dengan tingkat efisiensi tinggi dan waktu yang lebih
singkat. Perbedaan LAMP dengan RT-PCR terletak pada suhu reaksi dan jumlah primernya. Pada
LAMP sintesis DNA target dilakukan pada suhu konstan 60–65oC menggunakan enzim DNA
polimerase dan empat primer yang dirancang khusus untuk mengenal sekuens DNA target.
Penggunaan suhu konstan ini memperpendek durasi proses amplifikasi, sehingga durasi hasil tes
dapat keluar lebih cepat dibandingkan metode PCR. Metode ini sangat spesifik dan memiliki
sensitivitas yang tinggi, cepat dan lebih ekonomis (Gunardi, 2021).

b. Metode Deteksi Berbasis Reaksi Antigen Antibodi/Imunoserologi

Metode pengujian berbasis serologis biasanya mendeteksi virus sebagai antigen atau
mendeteksi antibodinya dari sampel darah. Sampel darah mengandung konsentrasi antibodi atau
antigen spesifik virus yang signifikan dan terukur. Dua jenis antibodi utama dalam darah yang
dimaksud adalah imunoglobin G (IgG) dan imunoglobulin M (IgM). IgM muncul dalam beberapa
BIOTEKNOLOGI FARMASI l UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL -WASHLIYAH
(TA 2022/2023)

hari dan bertindak sebagai sistim imun aktif yang pertama kali timbul, lalu diikuti oleh produksi
IgG yang bekerja mengeliminasi infeksi. Tes darah untuk COVID-19 bertujuan mendeteksi protein
(antigen/biomarker khas) atau antibodi khusus terhadap virus SARS-CoV-2 yang bersifat spesifik.
Rapid Antigen SARS-COV2 merupakan metode pemeriksaan imunoserologi dengan format tes
alur lateral yang mudah digunakan dan umum dipakai untuk tes HIV, malaria, dan influenza.
Antigen-Rapid Detection Test (Ag-RDT) biasanya terdiri dari kaset plastik dengan rongga sampel
dan penyangga serta strip matriks nitroselulosa disertai penanda berupa garis uji. Target antigen
akan terikat menjadi kompleks antigen-antibodi terkonjugasi. Target dari Ag-RDT biasanya
berupa protein nukleokapsid virus yang berjumlah lebih banyak dari target antigen lainnya. Sampel
yang dipakai untuk Ag—RDT adalah sampel usapan nasal atau nasofaringeal. Para peneliti terus
melakukan penelitian agar dapat menggunakan jenis sampel alternatif seperti air liur, cairan oral,
agar memudahkan pengambilan sampel sehingga mudah mendeteksi pelacakan kasus secara
efisien dan efektif tanpa mengesampingkan kualitas mutu pemeriksaan. Salah satu kelebihan
metode Rapid Antigen SARS-COV2 yaitu tes lebih sederhana, mudah dilakukan, serta waktu
pemeriksaan yang cepat sekitar 10-30 menit. Akan tetapi rapid antigen memiliki sensitivitas yang
lebih rendah daripada metode molekuler. Sejumlah Point of Care Testing (POCT) berdasarkan
IgM atau IgG yang didesain dengan prinsip imunokromatografi berbasis ELISA telah
dikembangkan secara komersil. Uji ini mudah dilakukan, dan tidak memerlukan keahlian khusus
untuk melaksanakannya serta dapat dengan mudah digunakan di lingkungan rumah sakit, di
laboratorium atau di sisi tempat tidur pasien. Kit deteksi berbasis ELISA ini umumnya
menggunakan antigen dari protein N dan protein S dan menunjukkan sensitivitas yang baik untuk
SARS-CoV yaitu masing-masing 94,7% dan 58,9%. Akan tetapi, diagnosis berdasarkan antibodi
kurang tepat bila digunakan pada saat awal infeksi COVID-19, karena antibodi baru terbentuk 7
hari atau lebih setelah infeksi virus atau setelah timbul gejala dan tidak dapat digunakan untuk
memonitor pengobatan karena antibodi IgG akan terus bertahan setelah pasien sembuh. Metode
POCT atau yang sering kita sebut uji cepat ini masih lazim digunakan karena uji ini dapat
memberikan hasil dalam waktu 10-30 menit (Gunardi, 2021).

c. Radiografi/CT-Scan

CT Scan juga merupakan salah satu teknik diagnosis yang sensitivitasnya tinggi karena
banyak peneliti merekomendasikan penggunaannya sebagai salah satu metode diagnostik
tambahan yang diperlukan untuk mendiagnosis COVID-19. Hasilnya pun sudah dapat diketahui
sebelum gejala klinis muncul. Gambaran umum CT dari pasien COVID-19 menunjukkan
gambaran opak multi-lobar bilateral dengan distribusi yang berbeda di posterior dan juga di
pinggiran, sub-pleura, septa lobular menebal dengan pengisian alveolar yang bervariasi, dan efusi.
CT dada resolusi tinggi terbukti sebagai alat penting untuk mendeteksi SARS-CoV-2, pada tahap
awal dan untuk mengambil tatalaksana intervensi yang cepat dan diperlukan.27 Oleh karena itu,
berbagai penelitian baru-baru ini menggunakan gambar CT dada untuk menunjang diagnosis
COVID-19. Sesuai temuan ini, CT scan ditemukan sebagai alat diagnostik yang bagus untuk
skrining pasien COVID-19 terutama di daerah prevalensi atau pandemi yang tinggi. Akan tetapi
CT scan hanyalah alat indikatif dan tidak dapat digunakan untuk mengonfirmasi patogen penyebab
penyakit dalam diagnosis COVID-19. Terlebih lagi, CT scan juga memiliki beberapa kekurangan
BIOTEKNOLOGI FARMASI l UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL -WASHLIYAH
(TA 2022/2023)

seperti ketidakmampuan untuk memisahkan kasus pneumonia lain (virus atau non-virus) dan
histeresis pencitraan CT abnormal (Gunardi, 2021).

d. GeNose

GeNose merupakan salah satu metode terbaru dalam mendeteksi infesi COVID-19 yang
dikembangkan oleh peneliti dari salah satu universitas di Indonesia. Metode ini mendeteksi
Volatile Organic Compound (VOC) yang terbentuk karena adanya infeksi COVID-19. VOC
dikeluarkan bersama hembusan nafas ke dalam kantong khusus. Selanjutnya hembusan udara yang
tertampung dalam kantong plastik akan diidentifikasi melalui sensor-sensor dan diolah datanya
dengan bantuan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence). Alat ini mampu mendeteksi dalam
waktu kurang dari 2 menit. Sebelum diedarkan, alat ini dilakukan uji validasi untuk memetakan
pola yang jelas dari COVID-19, dan pola dari orang-orang yang sakit non COVID-19. Sampel uji
validasi menggunakan 685 sampel napas dan di antaranya terdapat 382 sampel napas berpola
COVID-19. Data 382 sampel napas berpola COVID-19 ini dijadikan sebagai data atau otak dari
alat deteksi GeNose. Hasil uji validasi dilanjutkan dengan uji klinik dan komparasi langsung
dengan uji RT-PCR yang menjadi pemeriksaan baku emas untuk COVID-19 (Gunardi, 2021).

e. Metode Lain Dalam Pengembangan

Saat ini beberapa pendekatan diagnosis berbasis biosensor canggih telah banyak digunakan.
Metode ini dapat mengatasi kelemahan deteksi PCR yang panjang. Salah satu biosensor yang
paling banyak digunakan yaitu nano biosensor. Nano-biosensor merupakan biosensor yang
menggunakan aptamer, suatu alat analitik yang ampuh untuk diagnosis penyakit yang cepat dengan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan cara yang efektif dan mudah penggunaannya
dibandingkan dengan metode konvensional. Sensor nano semacam itu akan memiliki potensi besar
untuk mendeteksi SARS CoV2 bahkan bagi yang tanpa gejala dengan sensitivitas, spesifisitas, dan
selektivitas tinggi hanya untuk COVID-19. Perangkat berbasis kertas merupakan metode lain yang
juga sedang dikembangkan untuk diagnosis COVID-19. Metode ini merupakan integrasi dari
berbagai fungsi yang berbeda seperti untuk ekstraksi, elusi, pemurnian, amplifikasi dan deteksi,
semua diproses dalam suatu jenis kertas, sekali pakai dan dicetak dengan lilin di permukaannya
dalam bentuk zona. Perangkat tersebut diharapkan dapat menyelesaikan seluruh proses pengujian
dengan sumber daya yang minimal, sehingga lebih bermanfaat daripada teknik lainnya yang mahal
dan rumit. Perangkat analitik ini menggunakan metode microfluidisc berkualitas tinggi, cepat, dan
tepat untuk deteksi, serta biaya produksi yang rendah dan mudah digunakan. Feses dan urin dari
penderita COVID-19, juga merupakan limbah yang dapat mengandung virus, dan virus ini dapat
tetap aktif di lingkungan yang sesuai selama beberapa hari. Hasil penelitian menunjukkan potensi
kuat dari perangkat berbasis kertas ini untuk melacak penularan COVID-19 melalui air limbah di
masyarakat melalui analisis SARS-CoV-2 dalam feses, urin dan ekskreta manusia lainnya. Metode
lainnya yang sedang dikembangkan untuk mendiagnosis COVID-19 secara cepat ialah
menggunakan CRISPR (Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats). Sistem ini
bekerja berdasarkan sistem imun yang adaptif dari bakteri terhadap genetik benda asing seperti
BIOTEKNOLOGI FARMASI l UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL -WASHLIYAH
(TA 2022/2023)

faga. Prinsip yang digunakan adalah protein yang telah disiapkan khusus akan melekat pada target
pilihan melalui RNA untuk pembelahan target sekuens. Beberapa protein yang dibuat seperti
protein Cas13a yang bekerja pada RNA diharapkan akan lebih mudah untuk mendeteksi SARS-
CoV2 Metode ini masih dalam proses pengembangan untuk dapat digunakan secara luas (Gunardi,
2021).

5. Pemilihan Metode Yang Tepat Pada Diagnosis Molekular COVID 19

Pemilihan Metode yang Tepat Pemilihan metode yang tepat saat melakukan pemeriksaan
laboratorium COVID-19 sangat perlu diperhatikan untuk menjamin ketepatan diagnostik dan
pengobatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan saat melakukan pemilihan metode yaitu: tujuan dari
dilakukannya pemeriksaan menjadi pertimbangan dalam melakukan pemilihan metode
pemeriksaan. Pemeriksaan yang dilakukan apakah bertujuan untuk skrining, diagnostik atau
monitoring pengobatan. Jenis metode yang digunakan dapat berbeda sesuai dengan tujuannya.
Munculnya gejala (0 hari) biasanya muncul 5 hari setelah infeksi (0 – 5 hari). Pada fase awal
cenderung tidak timbul gejala, viral load berada di bawah batas threshold dari RT-PCR dan hasil
tes kemungkinan bernilai negatif palsu. Hal yang sama juga terjadi pada fase akhir penyakit, ketika
pasien pulih. Serokonversi biasanya terdeteksi 5-7 hari dan 14 hari setelah muncul gejala, sehingga
pada fase pertama penyakit, tes serologi lebih sering memberikan hasil negatif palsu. Garis
titiktitik warna hitam pada grafik mengilustrasikan sensitivitas dari chemiluminescent assay
sebagai turunan dari data tes komersial (Abbot Diagnostics, USA) Hal penting lainnya yang harus
diperrhatikan saat memilih suatu metode ialah metode tersebut sudah disetujui atau dianjurkan
oleh organisasi nasional seperti Kemenkes RI maupun organisasi internasional seperti FDA atau
WHO serta sebaiknya memenuhi standar ISO 13485. Selanjutnya, harus dilakukan evaluasi untuk
meninjau performa pemeriksaan pada saat kondisi normal seperti melakukan proses penjaminan
mutu internal sebelum alat tes digunakan untuk pemeriksaan rutin. Beberapa penelitian telah
dilakukan untuk mengetahui akurasi sejumlah metode pemeriksaan baik tes serologi maupun
molekuler. Semakin tinggi tingkat akurasi suatu metode makin baik (Gunardi, 2021).

6. Pengobatan Penyakit SARS-CoV2

Penggunaan obat pasien COVID-19 harus dipantau secara ketat karena penelitian obat uji
COVID-19 terbaru terus mengubah informasi tentang khasiat dan keamanan obat yang digunakan
untuk mengobati COVID-19. Protokol pengobatan yang dapat digunakan sebagai dasar
pengobatan untuk meningkatkan angka kesembuhan sedang dikembangkan di Negara- negara di
dunia, namun belum seragam.(11) Informasi obat COVID-19 dari Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia dapat dijadikan standar penanganan pengobatan COVID-19 bagi
tenaga kesehatan di seluruh rumah sakit rujukan dan fasilitas lainnya di Indonesia. Rumah Sakit
Haji Jakarta merupakan rumah sakit swasta besar yang terletak di Jakarta Timur, dan daerah
tersebut memiliki pasien terkonfirmasi positif COVID-19 terbanyak di DKI Jakarta per 15
Februari 2021, sehingga pola peresepan yang digunakan harus disesuaikan dengan Informatorium
Pedoman Penanganan COVID-19 untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Berdasarkan uraian
BIOTEKNOLOGI FARMASI l UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL -WASHLIYAH
(TA 2022/2023)

tersebut, peneliti tertarik untuk mempelajari Pola peresepan COVID-19 untuk Pasien Rawat Inap
di Rumah Sakit Haji Jakarta dari September 2020 hingga Februari 2021 (Cartika, 2022).

Berikut hasil pendataan dan pengolahan 387 pasien COVID-19 di Rumah Sakit Haji
Jakarta antara September 2020 hingga Februari 2021 yang ditunjukkan pada tabel 1.

Berdasarkan hasil penelitian dari jurnal rujukan yang saya ambil, diketahui sebanyak 212
pasien (54,78%) adalah laki-laki, dan usia rata-rata berkisar antara 46 hingga 65 tahun. Akibat
faktor biologis dan gaya hidup, pria lebih rentan terkena penyakit saluran pernapasan dibandingkan
wanita menurut beberapa pakar kesehatan. Ini karena tingkat kekebalan pria lebih rendah daripada
wanita dan pria lebih sering merokok. Sistem kekebalan tubuh mulai menurun dengan
bertambahnya usia, kelompok usia 46-65 tahun memiliki persentase pasien yang positif COVID-
19 lebih tinggi. Sistem kekebalan yang melemah ditambah dengan penyakit kronis dapat
meningkatkan risiko COVID-19. Hal ini sejalan dengan penelitian Tiodora (2020) yang
menunjukkan kelompok usia 45-65 tahun memiliki risiko lebih tinggi terinfeksi Virus Corona.
Rentang hari lama perawatan selama 3-10 hari sebanyak 246 pasien (63,57%) dan derajat
keparahan penyakit terbanyak adalah derajat penyakit ringan-sedang sebanyak 363 pasien
(93,80%). Derajat penyakit menunjukkan suatu tingkatan atau keparahan gejala penyakit yang
dialami pasien berbedabeda tergantung dari kondisi tubuhnya atau adanya penyakit bawaan yang
dapat memperburuk keadaan. Mengetahui berapa lama pasien dirawat di rumah sakit sangat
penting untuk perencanaan dan memprediksi ketersediaan hunian tempat tidur, petugas. dan
kebutuhan peralatan (Cartika, 2022).
BIOTEKNOLOGI FARMASI l UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL -WASHLIYAH
(TA 2022/2023)

Pada tabel 2 jumlah dan persentase peresepan obat berdasarkan kelas terapi yang banyak
diresepkan adalah kelas terapi antibiotik 1023 R/ (20,53%). Pada penelitian menunjukkan bahwa
antibiotik lebih sering diresepkan pada pasien lanjut usia yang sebelumnya memiliki penyakit
bawaan dan pasien yang mengalami demam, sesak serta kebutuhan oksigen yang tinggi. Hal ini
berkaitan dengan jumlah dan persentase berdasarkan usia di Rumah Sakit Haji Jakarta, dimana
pada kelompok usia lansia merupakan jumlah pasien COVID-19 terbanyak. Jika pasien dengan
COVID-19 mengalami infeksi bakteri sekunder, antibiotik akan diberikan untuk mencegah
pertumbuhan bakteri patogen. Antibiotik Levofloksasin adalah fluoroquinolone yang efektif
melawan berbagai bakteri patogen yang dapat menyebabkan pneumonia. Sebuah studi in silico
menunjukkan bahwa fluoroquinolon dapat menghambat SARS-CoV-2, bersama dengan sifat
immunomodulator mengusulkan penggunaan sebagai tambahan dalam merawat pasien COVID-
19. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Marie Chedid bahwa antibiotik yang sering digunakan
untuk pengobatan pasien COVID-19 adalah Levofloksasin dan diikuti oleh Seftriaksone dan
Azitromisin (Cartika, 2022).
Vitamin C diresepkan untuk pasien COVID-19 pada tingkat tertinggi (hingga 477 R/)
(48,04 %). Sifat antioksidan vitamin C mencegah kerusakan sel yang disebabkan oleh ROS dan
nitrogen. Pasien COVID-19 yang diobati dengan vitamin C meningkatkan kesehatan daripada
pasien yang tidak diberikan. Vitamin C mengurangi lama tinggal di ICU sebesar 8% dalam meta-
analisis dari 12 uji coba terkontrol yang melibatkan 1.766 pasien. Obat oseltamivir, hanya dapat
BIOTEKNOLOGI FARMASI l UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL -WASHLIYAH
(TA 2022/2023)

digunakan pada pasien yang menunjukkan gejala infeksi antara COVID-19 dan flu. Pasien dengan
influenza yang positif virus corona (tidak termasuk SARS-CoV-2) yang menerima oseltamivir
selain pengobatan standar, pulih lebih cepat daripada mereka yang menerima pengobatan standar
saja. Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) merekomendasikan oseltamivir untuk pengobatan
COVID-19 karena ketersediaannya dan produksi dalam negeri (Cartika, 2022).
Parasetamol atau asetaminofen merupakan terapi suportif pilihan untuk mengatasi demam
pada penderita COVID-19. Selain itu NSAID dapat digunakan dengan pertimbangan komorbiditas
dan faktor risiko setiap pasien. Namun, beberapa laporan penelitian dan Otoritas Nasional
mempermasalahkan keamanan NSAID karena dugaan adanya induksi tingkat enzim pengubah
angiotensin 2 (ACE2) (reseptor yang digunakan oleh SARS-CoV-2 untuk memasuki sel saluran
udara inang), peningkatan risiko superinfeksi bakteri, dan penyamaran dari gejala penyakit.
Sebagai akibatnya, penggunaan NSAID masih tidak dianjurkan sementara parasetamol masih
lebih disukai (Cartika, 2022).
Pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit yang diobati dengan Deksametason
memiliki tingkat kematian yang lebih rendah daripada mereka yang menerima perawatan biasa
dalam uji coba label terbuka, multicenter, dan acak. WHO (World Health Organization) dan EMA
(European Medicines Agency) merekomendasikan penggunaan sistemik kortikosteroid untuk
pasien COVID-19 dengan gejala parah hingga kritis, tidak merekomendasikan untuk gejala ringan
sampai sedang, kecuali pasien tersebut sudah menggunakan obat ini untuk kondisi lain (Cartika,
2022).
Pasien dengan COVID-19 terkonfirmasi parah hingga kritis diberi resep terapi
antikoagulan dengan heparin Na 5000 IU/mL (67,81% R/) untuk mengobati pembekuan darah
yang tidak terkontrol dan mengurangi pembentukan mikrotrombus, yang merupakan penyebab
mendasar. Heparin, selain sebagai antikoagulan, telah terbukti memiliki sifat antiinflamasi
tambahan (Cartika, 2022).
Asetilsistein 200mg (58,12%) mengatasi ketidakseimbangan oksidan yang dapat
menyebabkan peradangan dan kerusakan jaringan, sehingga N-acetylcysteine dapat digunakan
sebagai antioksidan, Asetilsistein memiliki potensi sebagai terapi tambahan untuk penyakit
COVID-19 (Cartika, 2022).
Peresepan obat saluran cerna pada pasien COVID-19 yaitu Omeprazole sebanyak 245
peresepan (31,98%). Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa omeprazole dapat
menghambat replikasi virus dengan mengganggu pengasaman lisosom. Sebuah penelitian obat
baru-baru ini di Jerman telah menunjukkan bahwa Omeprazole mengganggu pembentukan virus
SARS-CoV-2 di luar konsentrasi plasma terapeutik pada 8 µM. Skrining in-vitro dari 60 obat yang
disetujui FDA mengungkapkan potensi antivirus omeprazole, mendukung penggunaan ulangnya
terhadap COVID-19 (Cartika, 2022).
CTM atau Chlorpheniramine maleat 4 mg sebanyak 17 peresepan (53,13%) merupakan
antihistamin yang banyak diresepkan. CTM antihistamin efektif dengan aktivitas antivirus yang
kuat terhadap berbagai jenis influenza A / B. Pada penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
CTM tidak hanya efektif dalam mengobati anafilaksis tetapi juga memiliki aktivitas antivirus dan
anti-inflamasi yang kuat. Pada penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa penggunaan CTM pada
pasien COVID-19 dapat menurunkan tingkat mortalitas pasien (Cartika, 2022).
BIOTEKNOLOGI FARMASI l UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL -WASHLIYAH
(TA 2022/2023)

Peresepan obat Psikofarmaka pada pasien COVID-19 paling banyak adalah Alprazolam
sebanyak 44 peresepan (60,27%). Pada Buku Pedoman Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial
pada Pandemik COVID-19, penatalaksanaan pemilihan obat untuk memperbaiki kecemasan dan
kualitas tidur yaitu benzodiazepin seperti estazolam, alprazolam, dll. Ketakutan pasien dan
kekhawatiran dapat mengganggu pola tidur pasien yang akan memicu serangkaian peristiwa
fisiologis sehingga menyebabkan turunnya tingkat kekebalan (Cartika, 2022).
Obat antihipertensi Amlodipin yang diresepkan sebanyak 117 R/ (50,43%). Amlodipine
merupakan obat antihipertensi Calcium Channel Blockers (CCB) yang secara signifikan dapat
menghambat kejadian replikasi SARS-CoV-2 pasca-masuk secara in vitro dibandingkan
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI) dan Angiotensin Receptor Blocker (ARB).
Investigasi klinis retrospektif pasien COVID-19 mengungkapkan bahwa pemberian CCB
amlodipine besylate dikaitkan dengan penurunan tingkat kematian pasien dengan hipertensi
(Cartika, 2022).
Diabetes mellitus tipe 1 dapat diobati pada pasien COVID-19 dengan menggunakan pompa
insulin atau bolus insulin basal, yang merupakan regimen terbaik. Menurut temuan, 39 resep ditulis
untuk insulin (54,93 persen). Obat antidiabetes non-insulin dapat digunakan untuk mengobati
diabetes mellitus tipe 2 pada pasien COVID-19 ringan hingga sedang dengan kadar glukosa
ringan-sedang, tetapi analog insulin adalah pengobatan lini pertama dan terapi insulin harus
disesuaikan untuk setiap pasien. Jika pasien mengalami demam atau sedang menjalani terapi
glukokortikoid, insulin harus menjadi pengobatan lini pertama. Untuk pasien yang sakit kritis,
insulin diberikan secara intravena, sebagai pilihan pertama untuk strategi pengelolaan kadar
glukosa jika diabetes disertai dengan infeksi berat (Cartika, 2022).

Pada gambar 1 didapatkan hasil dari 12 kelas terapi obat sebanyak 83% peresepan telah
sesuai dengan yang tercantum pada guideline tatalaksana COVID-19. Ini menunjukkan bahwa
profesi kesehatan yang terkait di RS Haji telah menggunakan acuan resmi dalam
mempertimbangkan penatalaksanaan atau manajemen terapi COVID-19 untuk mencapai terapi
BIOTEKNOLOGI FARMASI l UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL -WASHLIYAH
(TA 2022/2023)

pengobatan yang tepat. Peresepan obat sebanyak 27% tidak sesuai dengan yang tercantum pada
guideline, kemungkinan terdapat indikasi lain dari pasien yang membutuhkan obat di luar
guideline, seperti antibiotik Metronidazole yang tidak tercantum pada guideline tetapi digunakan
bagi pasien COVID-19 yang mengalami infeksi bakteri pada lambung dan usus (Cartika, 2022).

7. Kesimpulan

Diagnostik molekuler merupakan pengujian untuk menganalisa penanda biologi secara


genomik atau proteomik untuk mendapatkan informasi kesehatan atau penyakit pasien dalam
diagnostik klinis. Virus Corona adalah sekelompok virus RNA berukuran besar (100–160 nm),
berbentuk bulat, tidak tersegmentasi, berantai tunggal dengan genom berukuran 26–32 kb (yang
terbesar di antara virus RNA yang diketahui), dan diketahui dapat menginfeksi hewan atau
manusia. Kelompok virus ini sangat mudah mengalami mutasi dan rekombinasi untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan bertahan hidup melalui cara mengubah jangkauan target
hospes yang lebih luas sehingga dapat menyebabkan ancaman terjadinya wabah. Oleh karena itu,
dengan dasar pemahaman virologi dan cara mendeteksi yang tepat maka diupayakan pencegahan
penyebaran penyakit COVID-19. Berdasarkan hasil penelitian, dari 387 pasien COVID-19 dengan
usia 46-65 tahun sebanyak 198 pasien (51,16%), jenis kelamin terbanyak laki-laki sebanyak 212
pasien (54,78%). Lamanya perawatan sekitar 3-10 hari sebanyak 246 pasien (63,57%) dan derajat
keparahan penyakit yaitu ringan hingga sedang (93,80%). Peresepan obat berdasarkan kelas terapi
yang banyak diresepkan adalah kelas terapi antibiotik sebanyak 1023 R/ (20,53%) dengan jenis
obat Levofloksasin 363 R/ (35,48%). Semua pasien COVID-19 di RS Haji Jakarta menerima terapi
yang utama yaitu vitamin, antibiotik, antivirus, obat saluran napas, dan obat saluran cerna. Untuk
kelas terapi lainnya diberikan sesuai komorbid pasien. Peresepan berdasarkan kelas terapi obat
sebanyak 83% sesuai dengan yang tercantum pada guideline tatalaksana COVID-19 dan yang
tidak sesuai guideline sebanyak 27%.

8. Daftar Pustaka

Cartika, Harpolia, Yusmaniar, Adin Hakim Kurniawan, Fatwa Hasbi, dan Desi Suryani. 2022.
Profile Of Prescribing Covid-19 Drug Therapy In Inpatients At Jakarta Haji Hospital.
Sanitas: Jurnal Teknologi Dan Seni Kesehatan. Vol. 13 No. 1. Hal. 1-12.

Dewantoro, Auraga, Widia Citra Anggundari, Umi Nuraeni, Bambang Prasetya, dan Yopi. 2020.
Metode Deteksi Molekuler Berbasis Genomik Dan Diagnostik Akurasinya Dalam
Pengembangan Diagnostik Klinik Di Indonesia. Prosiding PPIS 2020 . Hal 208.

Gunardi, Wani Devita. 2021. Pemeriksaan Diagnosis Laboratorium COVID-19: Keterbatasan dan
Tantangannya Saat Ini. Jurnal Kedokteran Meditek. Vol. 27 No. 2. Hal. 174-180.

Pratama, Bagus, dan Intanri Kurniati. 2019. Pendekatan Diagnosis Berbasis Molekuler pada Pasien
Talasemia. Medula.Vol. 9 No. 2. Hal. 342.
BIOTEKNOLOGI FARMASI l UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL -WASHLIYAH
(TA 2022/2023)

Syamsu, Rachmat Faisal, Siska Nuryant, Arafah, dan Muh Farid Jamal. 2021. Herbal Yang
Berpotensi Sebagai Anti Virus Pada Covid-19. Molucca Medica. Vol. 14 No. 1. Hal. 76-
77.

You might also like