|
|
|
|
G. AL-GHAZALI
1. Biografi
Nama lengkapnya Abu Hamid ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali,
digelar Hujjah al-Islam. Ia lahir di Thus, bagian dari kota Khurasan, Iran pada
450H (1056M). Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana sebagai
pemintal benang, tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti
terlihat pada simpatiknya kepada ulama, dan mengharapkan anaknya menjadi
ulama yang selalu memberi nasehat kepada umat. Itulah sebabnya, ayahnya
sebelum wafat menitipkan anaknya, Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad yang
ketika itu masih kecil, kepada sebrang ahli tasawuf untuk mendapatkan didikan
dan bimbingan.®5 Diperkirakan Al-Ghazali, hidup dalam suasana kesederha-
naan sufi tersebut sampai usia 15 tahun (450-465 H).
83 Usman Amin, Syakhslyyah wa Madgahib al-Falsafah, (Kairo; Isa al-Babi al-Halabi, tt),
him, 71.
84° Madkur, Fi Falsafah, I, him. $2.
85° B, Lewis, (ed,), The Encyclopaedia of Islam, Vol. Il (Leiden: B,J, Brill, 1983), him. 1038.
Karena pekerjaan orangtuanya itulah Ia disebut "al-Ghazali",
7Ketika sufi yang mengasuh Al-Ghazali dan saudaranya tidak mampu lagi
memenuhi kebutuban keduanya, ia menganjurkan agar mereka dimasukkan ke
sekolah untuk memperoleh, selain ilmu pengetahuan, ae kehidupan
sebagaimana lazimnya waktu itu. Antara tahun 465-470 H, Al hazali belajar
fikih dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari Ahmad al-Radzkani di Thus, dan day
Abu Nashr al-Isma‘ili di Jurjan, Setelah itu Al-Ghazali kpmbali ke Thus, dan
selama tiga tahun di tempat kelahirannya ini ia mengkaji ulang pelajarannya qj
Jurjan sambil belajar tasawuf kepada Yusuf al-Nassaj (w. 487 H). Pada tahun
473 H, ia pergi ke Naisabur untuk belajar di madrasah Al-Nizhamiyah. Dj
sinilah Al-Ghazali berkenalan dengan Al-Juwaini (w. 478 H/1085 M) sebagai
tenaga pengajar. Dari Al-Juwaini ia memperoleh ilmu kalam dan mantig,
Menurut Abd Ghaffar ibn Ismail al-Farisi, Al-Ghazali menjadi pembahas yang
paling pintar di zamannya, dan menimbulkan rasa iri hati Imam al-Haramain
kepadanya, tetapi hal itu disembunyikannya. Namun di sisi lain, gurunya inj
juga. merasa bangga dengan prestasi muridnya itu. Walaupun kemasyhuran
telah diraih Al-Ghazali, ia tetap setia kepada gurunya dan tidak meninggalkan-
nya sampai wafat pada tahun 478 H. Sebelum Al-Juwaini wafat, ia
memperkenalkan Al-Ghazali kepada Nizham al-Mulk, perdana menteri Sultan
Saljuk Maliksyah. Nizham al-Mulk adalah pendiri madrasah-madrasah al-
Nizhamiyah. Di Naisabur ini, Al-Ghazali sempat belajar Tasawuf kepada Abu
“Ali al-Fadh! ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Farmadzi (w. 477 H/ 1084 M).
Setalah gurunya wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naisabur menuju
negeri Askar untuk berjumpa dengan Nizham al-Mulk. Di daerah ini, ia men-
dapat kehormatan untuk berdebat dengan para ulama. Dari perdebatan yang
dimenangkannya ini, namanya semakin populer dan disegani karena keluasan
ilmunya. Pada tahun 484 H (1091 M) Al-Ghazali diangkat menjadi guru besat
di madrasah Nizhamiyah, Baghdad selama Kurang lebih empat tahun. Pengala-
man hidup Al-Ghazali di sekolah Nizhamiyah ini dijelaskan dalam bukunya
Al-Mungiz min al-Dhalal, Selama mengajar di madrasah ini dengan tekunnya
‘Al-Ghazali mendalami filsafat secara otodidak, terutama pemikiran Al-Farabi,
Ton Sina, Ibn Miskawaih, dan Ikhwan
, al-Shafa’ . Penguasaannya terhadap
filsafat terbukti dalam karyanya, seperti Al-Magashid al-Falsafah dan Tahafut
al-Falasifah. lov. aeimidewact a
Pada tahun 488 H (1095 M) Al-Ghazali dilanda keragu-raguan, skeptis,
terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum, teologi, dan filsafat), kegunaan
pekerjaannya, dan karya-karya yang dihasilkannya, schingga ia menderita
penyakit selama dua bulan, dan sulit diobati, Karena itu, Al-Ghazali tidak dapat
menjalankan tugasnya sebagai guru besar di madrasah Nizhamiyah, Akhimiya
ia meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus, Selama kira-kire dua taht
Al-Ghazali di kota ini, ia melakukan uziah, riyadhah, dan mujahadah. Ke-
mudian ia pindah ke Bait al-Magdis, Palestina untuk melaksankan ibadah
Bserupa, setelah itu tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan
menziarahi maqam Rasulullah.®6 Sepulang dari tanah suci, Al-Ghazali men-
gunjungi kota kelahirannya, Thus; di sini pun ia tetap ber-khalwat. Keadaan
skeptis Al-Ghazali berlangsung selama 10 tahun.8? Pada priode itulah ia
menulis karyanya yang terbesar Ihya’ ‘Ulum al-Din (The Revival of the Reli-
gious Sciences --menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama).
Karena desakan penguasa Saljuk. Al-Ghazali mengajar kembali pada
madrasah Nizhamiyah di Naisabur, tetapi hanya berlangsung selama dua tahun,
kemudian ia kembali ke Thus untuk mendirikan madrasah bagi para fuqaha,
dan sebuah zawiyah atau khanagah untuk para mutasawwifin. Di kota inilah ia
wafat pada 505 H (1111M),88
2. Karyanya
Karya Al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, di antaranya adalah:
a. Magashid al-Falasifah (Tujuan-tujuan Para Filsuf), sebagai karangan-
nya yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafat;
b. Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pikiran Para Filsuf), buku ini dikarang
sewaktu ia berada di Baghdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan.
Dalam buku ini, Al-Ghazali mengecam filsafat dan para filsuf dengan
keras;
c. Mi'yar al-‘Iim (Kriteria Imu-ilmu);
d. Ihya ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), buku
ini merupakan karyanya yang terbesar yang dikarangannya selama be-
berapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Damaskus, Yerus-
salem, Hijaz, dan Thus yang berisi paduan antara fikih, tasawuf, dan
filsafat;
. Al-Mungidz min al-Dhalal (Penyelamat Dari Kesesatan), buku ini meru-
pakan sejarah perkembangan alam pikiran Al-Ghazali sendiri dan mere-
fleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai
Tuhan;
._Al-Ma‘arif al-‘Aqliah (Pengetahuan Yang Rasional),
&. Misykat al-Anwar (Lampu Yang Bersinar Banyak), buku ini berisi pem-
bahasanm tentanmg akhlak dan tasawuf;
h. — Minhaj al-‘Abidin (Jalan Mengabdikan Diri Kepada Tuhan).
i. ~” Ab-igtishad fi al-‘Itigad (Moderasi Dalam Akidah;)
85 Al-Ghazali, Al-Mungidz min al-Dhalal (Kaito: Al-Matba‘ah al-lstamiyah, 1977), him,
21-22,
87 Abu Rayyan, him, 664,
88° Lewis, (ed.), him, 1038,
79Ayyuha al-Walad;
je
k.— Al-Mustashfa; 3
L Iljam al-‘Awwam ‘an ‘Im al-Kalam;
m. —-Mizan al- ‘Amal.
3. Filsafatnya
a. _ Episttmologi 3
Sebagaimana dijelaskan Al-Ghazali dalam bukunya ee min
al-Dhalal, ia ingin mencari kebenaran yang sejatl, yaitu Kel enh oh
diyakininya betul-betul merupakan kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih
banyak dari tiga. "Sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa tiga itu lebih
banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa tongkat dapat ia jadikan ular, dan
hal itu memang betul ia laksnakan, saya akan kagum melihat kemampuannya,
sungguhpun demikian keyakinan saya bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga
tidak akan goyah". Seperti inilah menurut Al-Ghazali pengetahuan yang se-
benamya.
Pada mulanya Al-Ghazali beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah
hal-hal yang dapat’ditangkap oleh panca indera. Tetapi, kemudian ternyata
baginya bahwa pancaindera juga berdusta. Seumpama bayangan --rumah,
kelihatannya tak bergerak, padahal terbukti kemudian, bayangan itu berpindah
tempat. Demikian pula bintang-bintang di langit, kelihatnnnya kecil, tetapi
perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi.®?
Karena tidak percaya kepada panca indera, Al-Ghazali kemudian mele-
takkan kepercayaannya kepada akal. Tetapi, akal juga tak dapat dipercaya
Sewaktu bermimpi, demikian menurut Al-Ghazali, orang melihat hal-hal yang
kebenarannya betul-betul, namun setelah bangun ia sadar bahwa apa yang ia
lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar, Alasan lain yang membuat keper-
cayaan Al-Ghazali terhadap akal goncang, karenaia melihat bahwa aliran-aliran
yang menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan, termyata menghasilkan
pandangan-pandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan dengan akal.
Artinya, akal pada dirinya membenarkan pandangan-pandangan berten-
i j ‘ . yang
tangan itu. Dengan akal saja takafu' al-adillah (antinomi) bisa terjadi, Sepett
disebut di atas, yang dicati oleh Al-Ghazali adalah “iim al-yagie vane dak
mengandung pertentangan pada dirinya, Pada akal ia Te ee nays
Namun, Al-Ghazali tidak konsekwen dalam menguji .
huan itu, Ketika menguji pengetahuan inderawi nguji kedua sumber pengeta-
'awi, ia menggunakan argumentasi
89 Al-Ghazali, Al-Mungldz, him. 4-5, Lihat juga Nasution,
35-36, Falsafat dan Misticisme, bis.
80faktual atas kelemahannya, Tetapi, ketika membuktikan adanya sumb:
pengetahuan yang lebih tinggi daripada akal, ia hanya dapat mien
kesimpulan hipotesis (fardhi) saja, Ia, ketika itu tidak berhasil membuktikan
adanya sumber pengetahuan yang lebih tinggi daripada akal secara faktual.
Akhimnya Al-Ghazali mengalami puncak kesangsian, karena ia tidak mene-
mukan sumber pengetahuan yang dapat dipercaya. Tetapi dua bulan kemudian,
dengan cara tiba-tiba Tuhan memberikan nur --yang disebut juga oleh Al-
Ghazali sebagai kunci ma‘rifat-- ke dalam hatinya, sehingga ia merasa sehat
dan dapat menerima kebenaran pengetahuan a priori yang bersifat aksiomatis.
Dengan demikian, bagi Al-Ghazali bahwa al-dzawg (intuisi) lebih tinggi dan
lebih dipercaya darpada akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul
diyakini kebenarannya. Sumber pengetahuan tertinggi tersebut dinamakan juga
al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa
berbentuk itham.
Memperhatikan titik tolak Al-Ghazali dalam proses pencariannya, ada
kesan inkoherensi. Ia ingin mencari hakikat kebenaran universal melalui al-‘ilm
al-yagini, tapi yang tercapai adalah kebenaran individual melalui al-dzawg.
Seakan-akan dalam menceritakan pengalaman dan proses pencariannya, ia
mengajak semua orang untuk meragukan ‘aglid, indera, dan akal untuk mencari
sumber pengetahuan baru yang dapat digunakan—untuk mencapai hakikat
kebenaran universal, tetapi akhimnya jalan keluar yang diperolehnya dengan
menemukan intuisi (a/-dzawq), memperlihatkan bahwa yang dapat diselamat-
kan dari keraguan yang telah diciptakannya itu adalah orang-orang tertentu saja.
Sebab, intuisi dan segala yang diperoleh daripadanya.bersifat individual dan
hanya dicapai oleh orang-orang khusus.°°
Menurut Al-Ghazali, lapangan filsafat ada enam, yaitu matematika,
logika, fisika, politik, etika, dan metafisika. Hubungan lapangan-lapangan
filsafat tersebut dengan agama tidak sama, ada yang tidak berlawanan, tetapi
ada pula yang bertentangan. Al-Ghazali berpendapat bahwa agama tidak
melarang ataupun memerintahkan mempelajari matematika, karena ilmu ini
adalah hasil pembuktian pikiran yang tidak bisa diingkari, sesudah dipahami
dan diketahui. Tetapi ilmu tersebut menimbulkan dua keberatan. Pertama,
Karena kebenaran dan ketelitian matematika, maka boleh jadi ada orang yang
mengira bahwa semua lapangan filsafat demikian pula keadaannya, termasuk
dalam bidang ketuhanan. Kedua, sikap yang timbul dari pemeluk Islam yang
bodoh, yaitu menduga bahwa ani menegakkan agama harus mengingkari
semua ilmu yang berasal dari filsuf.
90-— Muhammad Yasie Nesution; Manusia MenurutAl-Ghazatt (Jakarta: Rajawali Pres, 1988),
him, 42. —
81ia i, juga tidak ada sangkut pautnya dengan
agama Lapka ber! peneldan tentang dali-dallpembuktan,sylogiee
syarat-syarat pembuktian, definisi-definisi, dsb. Semua ae, ini on Perlu
diingkari, sebab masih sejenis dengan yang dipergunal aban, allimin,
meskipun kadang-kadang berbeda istilah. Bahaya yang ditiml uk oleh lo.
gika, karena syarat-syarat pembuktian bisa menimbulkan keyakinan, maka
syarat-syarat pembuktian tersebut juga menjadi pendahuluan dalam persoalan
ketuhanan (metafisika), sedangkan sebenamya tidak demikian.
Imu fisika menurut Al-Ghazali, membicarakan tentang planet-planet,
unsur-unsur tunggal, seperti air, udara, tanah, dan api, kemudian benda-benda
tersusun, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, logam, sébab-sebab perubahan dan
pelarutannya. Pembahasan tersebut sejenis dengan pembahasan lapangan ke-
dokteran, yaitu menyelidiki tubuh orang, anggota-anggota badannya dan
raksi-reaksi kimia yang terjadi di dalamnya. Sebagaimana untuk agama tidak
disyaratkan mengingkari ilmu kedokteran, maka demikian pula ilmu fisika juga
tidak perlu diingkari, kecuali dalam empat persoalan, yang dapat disimpulkan
bahwa alam semesta ini dikuasai oleh Tuhan, tidak bekerja dengan dirinya
sendiri, tetapi bekerja karena Tuhan, Zat penciptanya.
Lebih lanjut Al-Ghazali membagi filsuf kepada tiga golongan, yaitu
materialis (dahriyyun), nanuralis(thabi'iyvun), dan theis (ilah; iyyun). Kelompok
Pertama terdiri dari para filsuf awal, seperti Empedokles (490-430 SM) dan
Demokritus (460-360 SM), mereka menyangkal Pencipta dan Pengatur dunia,
dan yakin bahwa dunia ini telah ada dengan sendirinya sejak dulu, Peristiwa.
Peristiwa alam adalah perubahan yangterus-menerus. Al-Ghazali menganggap
mereka tidak beragama. Naturalis terpesona oleh keajaiban penciptaan dan
sadar akan maksud yang berkelanjutan dan kebijaksanaan dalam rencana. segala
sesuatunya, mengakui eksisitensi suatu pencipta bijaksana tetapi menyangkal
kerohanian dan dan sifat immateriality jiwa manusia. Mereka menjelaskan
perihal jiwa dalam istilah naturalis sebagai suatu epifenomena jasad dan yakin
bahwa kematian jasad menyebabkan jiwa tak berwujud sama sekali. Keper-
mencakup Socrates, Plato, dan Aristoteles, Meski mereka menyerang golongan
materialisdan naturalis, serta menelanjangi cacat-cacat mereka dengan efektif
sekali, Al-Ghazali berpendapat, kaum theis ini masih menyim, an sisa ke iran
dan paham bid’ nilai mereka mang slim
Fang mengikutinya, sebagai kaum kafi ire
ir. Menurut Pendapatnya, di antara
lalah penerus terbaij Aris-
agian dari yang mereka teruskan
pengikut mereka, AJ-Farabi dan Ibn Si
toteles ke dalam dunia Islam, Beberapa b
82dinilainya sebagai kekafiran belaka, bebe1 . oo
i i » beberapa lagi seb: .
yang lain sebagai hal yang tak dapat diin, P. ae ecbepal bi ‘ah besar dan
b. Metafisika
ean in fainya dengan lgpangan metfisika(ketubanan), ALGhzali mem-
berikan reaksi keras terhadap Neo-Platonisme Islam, menurutnya banyak sekali
terdapat kesalahan filsuf, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam
lapangan logika dan matematika. Untuk itu Al-Ghazali mengecam secara
Jangsung dua tokoh Neo-Platonisme Muslim (Al-Farabi dan Ibn Sina), dan
secara tidak langsung kepada Aristoteles, guru mereka. Menurut Al-Ghazali
sebagai dikemukakannya dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, para pemikir
bebas tersebut ingin menanggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabai-
kan dasat-dasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai tidak berguna
bagi pencapaian intelektual mereka. Kekeliruan filsuf tersebut ada sebanyak 20
persoalan (16 dalam bidang metafisika dan 4 dalam bidang fisika). Dalam 17
soal mereka harus dinyatakan sebagai ahi al-bida‘, sedangkan dalam tiga soal
lainnya, mereka dinyatakan sebagai kafir, karena pikiran-pikiran mereka dalam
tiga soal tersebut berlawanan sama sekali dengan pendirian semua kaum
muslimin.9? 20 persoalan dimasksud adalah:
1. Alam qgadim (tidak bermula);
2. Keabadian (abadiah) alam, masa, dan gerak;
3. Konsep Tuhan sebagai Pencipta alam dan bahwa alam adalah produk
ciptaan-Nya; ungkapan ini bersifat_metaforis;
4. Demonstrasi/pembuktian eksistensi Pemciptaan alam;
5. Argumen rasional bahwa Tuhan itu satu dan tidak mung kinnya pengan-
daian dua wajib al-wujud;
6. Penolakan akan sifat-sifat Tuhan;
7. Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan
8, Wujud Tuhan adalah wujud yang sedethana, wujud muri, tanpa kuiditas
atau esensi;
9. Argumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jis);
10. Argumen rasional tentang Sebab dan Pencipta alam [hukum alam tak
dapat berubah]; ou. '
11. Pengetahuan Tuhan tentang selain diri-Nya, dan Tuhan mengetahui
species dan secara universal;
12, Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri;
91 Al-Ghazali, A-Mungide, him. 30-32.F
92 Pakhry, op. cit, him, 250.13, "Than tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainka,
secara umum; :
14. Langit adalah makhluk hidup dan mematuhi Tuhan dengan gerak pu.
tarnya;
15. Tujuan yang menggerakkan langit; :
16. _Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula (al-jyg,
iyyat al-haditsah); lk ate
17. Kemnstahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa;
18. Jiwa manusia adalah substansi spiritual yang ada dengan sendirinya,
tidak menempati ruang, tidak ter pateri pada tubuh, dan bukan tubuh;
19. Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadian.
nya membuatnya mustahil bagi kita membayangkan kehancurannya:
20. Penolakan terhadap kebangkitan jasmani.93
Tiga persoalan yang menyebabkan para filsuf dipandang kafir adalah:
1. Alam kekal (gadim) atau abadi dalam arti tidak berawal;
2. Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal yang partikular (juziyyat)
yang terjadi di alam;
3. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasyr al-ajsad) di akhi-
rat.94
Adapun pendapat mereka yang lain, kata Al-Gazali adalah dekat dengan
pendapat Mu‘tazilah, dan Mu‘tazilah dengan pendapat yang demikian tidak
mesti dikafirkan.°5
Pendapat bahwa alam qadim dalam arti tidak bermula atau tidak pemah
tidak ada di masa lampau, tidak dapat diterima dalam teologi Islam. Sebab,
menurut konsep teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud dengan
“Pencipta" adalah yang menciptakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio).
Kalau alam (dalam arti segala yang ada selain Tuhan) dikatakan qadim, tidak
bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dan dengan demikian Tuhan bukan-
lah Pencipta, sedangkan dalam al-Qur’an disebut ‘bahwa Tuhan adalah Pencipta
segala sesuatu. Menurut Al-Ghazali tidak ada oranmg Islam yang menganut
paham bahwa alam ini tidak bermula, alam haruslah hadits (bermula).96 Karena
itu tidak mengherankan kalau dalam teologi Islam, syahadat la ilaha illallah
bergeser menjad la qadiima illallah. Jadi paham adanya yang qadim selain dari
Tuhan, bisa membawa kepada: (1) banyaknya yang gadim, banyaknya Tuhan,
93 Al-Ghazali, Tahafu al-Falasifah, Sulaiman Dunya, (ed.), (Kaito: Dar al-Ma‘arif, tt), hi.
85.
94 Abu Rayyan, him, 674,
95 Al-Ghazali, Al-Mungidz, him. 26,
96 —Nasution, Falsafat dan Misticisme, him, 38,
84aitu paham syirik, sedangkan syiri are tude di .
Tuan: atau @) paham ateisme lam yang cee, aka Same
ea kedua paham ini bertentangan dengan ajaran dasar dan mutlak
Tentang ilmu Tuhan, golongan filsuf berpendirian bahwa Tuhan tidak
mengetahui hal-hal dan peristiwa-peristiwa kecil kecuali dengan cara yang
umum (kulliyat, universal)? Pengetahuan universal tidaklah tunduk, seperti
pengetahuan "partikular", kepada pembatasan-pembatasan ruang dan waktu.
Karena itu Tuhan mengetahui suatu peristiwa (katakanlah gerhana matahari)
sebelum atau sesudah kejadiannya, secara serentak. Karena Ja mengetahui
secara a priori rangkaian sebab-sebab dari mana ia pada akhimnya akan berhenti
Dikehendaki oleh para filsuf dengan pemahaman bahwa Tuhan mengetahui
segala sesuatu secara umum (kulliyat) adalah bahwa ilmu-Nya yang juga adalah
zat-Nya bersifat kekal (qadim), tetap, dan tidak berubah dengan perubahan yang
terjadi pada obyek-obyek di lar zat Tuhan. Hal-ini dimaksudkan untuk
menyucikan Tuhan dari segala sesuatu yang dapat merongrong keesaan-Nya.
Menurut Al-Ghazali ilmu Tuhan adalah suatu tambahan atau pertalian
dengan zat, artinya lain dari zat, kalau terjadi perubahan pada tambahan atau
sifat tambahan tersebut, zat Tuhan tetap dalam keadaannya, seumpama kalau
ada orang berdiri di sebelah kanan kita lalu berpindah ke sebelah kiri kita,
sebenarnya orang itulah yang berubah dan bukan kita.8 Selanjutnya Al-Ghazali
menyangkal kalau perubahan ilmu dapat menimbulkan suatu perubahan pada
“zat yang mengetahui", apakah berbilangnya ilmu juga menimbulkan bilangan
pada zat Tuhan?.9° Di samping itu Al-Ghazali melandaskan pendapatnya
bahwa Tuhan tidak mengetahu juz’ iat, jelas bertentangan dengan nash ayat-ayat
al-Qur'an, seperti
sige JS ly PIS Bu Stet Bu oi dy
. Eres ele
Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan
Allah Maha Mengetahu segala sesuatu. (QS. al-Hujurat; 49:16).
sian os wish 353 Jue
op Oy oF OR
97 Al-Ghazali, Tahafiut, him, 206,
98 Al-Ghazali, Tahafia, him, 213.
99 Al-Ghazali, Tahafu, him. 215.
85ENN SY aS Ge ely,
i ri in Tuhanmu biarpun sebesar atom di bum;
putt Ve edavang lebih kecil dan tidak (pula) YANg lebip
besar dari itu. (QS. Yunus; 10:61). 4 /
Mengenai kebangkitan di akhirat, para filsuf meman¢ mee bersifay
tohaniah, dan terbebas dari unsur-unsur kebendaan. Hal ini a Masalah
kerohajan adalah lebih tinggi nilainya, demikian pula yang berkaitan dengan
ke-lezatan dan siksaan di akhirat bersifat lebih tinggi atau Jebih dahsyat. Seba
itu, tidak ada keharusan kebangkitan yang bersifat. jasmani.
Inti jawaban Al-Ghazali didasarkan atas sifat kemahakuasaan Tuhan,
bahwa Tuhan mampu menciptakan segala sesuatu dari tiada. Karena itu, la pun
mampu membangkitkan kembali tubuh dan tulang jelulang manusia yang telah
hancur menjadi tai lalam bentuk semula.!! Al-Ghazali juga melandas,
pikirannya pada firman Allah SWT:
Ooi wash
isd oe Faas Ga alll ou 3 a
EVA ey Oh
{a berkata: "Sigpakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang
telah hancur luluh ?" Katakantah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhen yang
‘menciprakannya kali yang pertama,” (QS, Yasin; 36: 78-19),
kit secara mendal dan (3) kaum
Penengkar( Jas) Ja eae
Kaum awam dengan daya akalnya i
m ‘ yang sederhana tidak dapat
menangkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas Percaya dan menv-
—__
100 Al-Ghazali, Tahafut, him, 283,
101 Al-Ghazali, Tahafur, him, 296-305,
86rut. Golongan ini harus dihadapi) dengan sikap memberi nasehat dan petunjuk
de yall). Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam harus
cael genaan ake menjelaskan hikmah-hikmah, sedangkan kaum
penengkar dengan sikap mematahkan argumen-argumen( ial 02
Perhatikan QS. al-Nahl ayat 125, sbb.: a oer
oes Reo abe sable, poe J bi
CF a bt sh Ch 8 So3T (u
4) ¥0 Jul) Jy glef
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang menda-
pat petunjuk. (QS. 16: 125).
c Moral
Dalam karya-karya awal Al-Ghazali, persoalan akhlak belum menjadi
masalah pokok. Hanya dalam satu karya masa awalnya, Mizan al- ‘Amal, akhlak
merupakan bahan pemikiran utama. Kebanyakan karya-karya akhimya, bersifat
etis moralitas yang menjamin kebahagiaan sempuma. Adapun teori etika yang
dikembangkannya bersifat religius dan sufi. Hal itu terlihat dengan jelas
penamaan Al-Ghazali terhadap ilmu ini pada karya-karya akhimya, setelah dia
menjadi sufi, tidak lagi mempergunakan ungkapan ‘ilm akhlag, tetapi dengan
“ilmu jalan akhirat" (‘ilm thariq al-akhirat) atau jalan yang dilalui para nabi dan
leluhur saleh (al-salaf al-shalih). Ia juga menamakannya dengan "ilmu agama
~~~Ada tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu (a)
mempelajari akhlak sekedar sebagai studi murni teoretis, yang berusaha mema-
hami ciri kesusilaan (moralitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi perilaku
orang yang mempelajarinya; (b) mempelajari akhlak sehingga akan meningkat-
kan sil i sehari-hari; (c) Karena akhlak terutama merupakan.
sibyek teoretis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran
hal-hal moral, maka dalam penyelidikan okhlak harus terdapat kritik yang
——
102 Nasution, Falsafat dan Misticisme, him, 39,
87H , sehingga akhlak menjadi
teru-meneras mengena sanise morales AL Ghazal eu
suatysubyek pak, sekan i va studi tentang ilm al-mu‘amalah
dengan teori kedua. Dia y os , alah untuk meningkatkan
dimaksudkan guna latihan kebiasaan; "juan res 103 Tanpa kajian ilmy
keadaan jiwa agar kebahagiaan dapat dicapal viopatiditiadaii dengan sem.
ini, kebaikan tak dapat dicari dan keburukan tak vnenesanksii seiaanye
puma. Prinsip-prinsip moral dipelajari dengan maksu arya Dengetaiula yan
dalam kehidupan schari-hari, Al-Ghazali menegaskan ba ons is ia ig
tidak diamalkan tidak lebih baik daripada kebodohan. . jerdasa et
patnya ini, dapat dikatakan bahwa akhlak yang dikem| ace aan
bercorak seleologis (ada tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengacu
kepada akibanya. Corak etika ini mengajarkan, bahwa CT aR
tujuan yang y agung, yaitu kebahagiaan di akhirat, dan bahwa ama itu alau
ia menghasilkan pengaruh pada jiwa yang membuatnya menjurus ke tujuan
tersebut, dan dikatakan amal itu buruk, kalau menghalangi jiwa mencapat tujuan
itu. Bahkan amal ibadat seperti shalat dan zakat adalah baik disebabkan akibat-
nya bagi jiwa. Derejat baik atau buruk berbagai amal berbeda oleh sebab
perbedaan dalam hal pengaruh yang ditimbulkannya dalam jiwa pelakunya.
Adapun masalah kebahagiaan, menurut Al-Ghazali tujuan manusia
adalah kebahagiaan ukhrawi (al-sa ‘adah al-ukhrawiyyah), yang bisa diperoleh
jika persiapan yang perlu untuk itu dilaksanakan dalam hidup ini dengan
me- ngendalikan sifat-sifat manusia dan bukan’ dengan membuangnya.
Kelakukan manusia dianggap baik, jika ita membantu bagi kebahagiaan akhi-
ratnya. Kebahagiaan ukhrawi inilah yang menjadi tema sentral ajaran para rasul
dan demi menggairahkan orang ke arah itulah, maka semua kitab suci diwah-
yukan, Karena itu, ilmu dan amal merupakan syarat pokok memperolah
Kebahagiaan. Kemuliaan dalam penilaian Allah letak pada usaha mencapai
kebahagiaan ukhrawi; barangsiapa yang gagal mendapatkannya lebih hina dati
hewan yang rendah, karena hewan-hewan akan musnah sedangkan orang-orang
yang gagal tersebut akan menderita sengsara. Kebahagiaan ukhrawi tmempu
a ; ’ ~