Jurusan Bahasa dan Sagtra
Belanda, 1949-1952
Kees Groeneboer
Universitas Indonesia, Jakarta
Pendidikan tinggi dan universitas di Hindia-Belanda relatif.
sangat terlambat berdiri. Di daerah-daerah jajahan Barat lain
di Asia pendidikan seperti itu telah lama ada. Universitas
negeri Filipina terpenting di Manila mengklaim dirinya dengan
mengacu pada Universidad de Santo Tomas yang didirikan pada
tahun 1611. Namun, pada tahun dua puluhan abad kedua puluh Fa-
kultas Sastra dan Filsafat baru dibuka secara terpisah pada
universitas Filipina itu. Di India faku]tas-fakultas sastra
telah ada sejak tahun enam puluhan abad kesembilan belas, an-
tara lain ij Universitas Kalkuta, Bombay, dan Madras (Van
Geuns 1917).
oi Mindie-Belindy, baru pada tahun 1940 dibuka Fakultas
Sastra dan Filsafat.° Setelah Perang Dunia Kedua fakultas ini
akhirnya digabung dengan Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshage-
school) yang telah berdiri di Jakarta/Batavia sejak tahun
1924, dan Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoge-
school), didirikan pada tahun 1927. Dengan bergabungnya Faku1-
tas Sastra sebagai fakultas ketiga ini, pada bulan Januari
1946 terbentuklah Universiteit van Indonesié, sekarang Univer-
sitas Indonesia.
Rencana pendirian Fakultas Sastra di Hindia-Belanda seperti
itu telah lebih lama ada. Pada Kongres Pendidikan Kolonial
Kedua dan Ketiga yang diselenggarakan di Den Haag pada tahun
1919 dan 1924, sudah dipikirkan dengan rinci manfaat mendiri-
kan Fakultas Sastra di Batavia, yang terutama ditujukan pada
‘gejala-gejala budaya Pribumi dalam sejarahnya’ (Prae-adviezen
1919, 1924). Rencana pendirian fakultas semacam itu, yang te-
lah dirancang dengan rinci pada tahun 1930 disajikan oleh
suatu komisi dari Departemen Pendidikan, Pimpinan komisi ite
adalah guru besar Sekolah Tinggi Hukum B.J.0. Schrieke (Wani¢ Sejarah Program Studi Belanda
der Wal 1963:421-36). Rencana Schrieke bertolak dari pendapat
bahwa dengan didirikannya Fakultas Sastra ‘pandangan tidak ha-
nya akan diarahkan ke masa lalu, tetapi juga pada masa kini
yang hidup: Dengan demikian, dengan sendirinya harus ada guru
besar dalam bahasa Belanda’ (Schrieke 1930:86). Schrieke tidak
mengusulkan pendidikan universiter yang lengkap untuk ahli ba-
hasa dan kesusastraan Belanda, tetapi lembaga dengan guru be-
sar bahasa Belanda ini harus diarahkan untuk mendidik M.0-akte
(akte Middelbaar Onderwijs) bahasa Belanda dan dengan demikian
bisa menghasilkan guru-guru bahasa Belanda untuk sekolah Jan-
jutan di Hindia-Belanda. Ada pemikiran tentang dua macam akte-
4.0,; akte-A bagi mereka yang bahasa Belanda merupakan bahasa
asing dan di dalam studinya tekanan diberikan pada penguasaan
bahasa, dan akte-B bagi penutur bahasa Belanda sebagai bahasa-
ibu yang tekanannya diletakkan pada bahasa, sastra, dan seja-
rah Belanda. Yang sangat menarik adalah pembelaan Schrieke da-
Tam hubungan ini, agar studi Belanda di Hindia-Belanda diberi
perhatian lebih banyak daripada di negeri Belanda sendiri ke-
pada sastra Belanda yang justru berasal dari luar negeri Be-
Janda: yaitu dari Hindia-Belanda, Afrika Selatan, dan Flan-
dria. Di samping manfaat praktis, seorang guru besar bahasa
Belanda juga akan berguna untuk budaya yang lebih umum: ‘Sebu-
ah Fakultas Sastra di Hindia-Belanda tanpa guru besar bahasa
Belanda tidaklah mungkin’. Seharusnya tujuannya sama dengan
seorang guru besar bahasa Belanda yang sudah ada, seperti di
London, New York, dan Afrika Selatan: ‘penyebaran pengetahuan
dan perhatian pada sastra Belanda dan sejarahnya [...]. Juga
dengan memberikan sastra Belanda di luar negeri Belanda, guru
besar akan memberi sumbangan besar dalam memperkuat pemik iran
tentang Belanda Raya, yaitu memperkuat hubungan antara negeri
Belanda dan koloninya (Schrieke 1930:94).
Tetapi sementara itu Fakultas Sastra belum didirikan. Peng-
hematan-penghematan di awal tahun tiga puluhan sebagai akibat
dari krisis ekonomi dunia, menyebabkan ditangquhkannya rencana
itu. Baru ada tindakan lagi setelah pada tanggal 17 Agustus
1938 Dewan Perwakilan Rakyat (Volksraad) menerima mosi dari
pihak nasionalis M.H. Thamrin, R.P. Soeroso, dan R. Soekardjo
Wirjopranoto yang mendesak Fakultas Sastra didirikan paling
Jambat pada tahun 1940. Direktur Departemen Pendidikan P.J.A.
Idenburg (1937-40) pada bulan Maret 1939 memberikan tugas ke-
pada seorang ahli sejarah yang pada waktu itu menjadi Sekreta-
ris Departemen Pendidikan I.J. Srugmans untuk menyusun rencana
mendirikan Fakultas Sastra (Van der Wal 1963:629-49).Sejarah Program Studi Belanda is
Walaupun Dewan Hindia-Belanda (Raad van Wederlands-Indié)
pada tanggal 10 November 1939 dalam pendapatnya menyatakan
dengan tegas bahwa justru adanya guru besar untuk menga jar “e-
budayaan Belanda (bahasa, sastra, sejarah) akan merupakan alat
yang paling baik untuk menghindari kesan bahwa fakultas itu
merupakan fakultas ketimuran murni (Van der Wal 1963:647), da-
Tam rencana yang disusun Brugmans tahun 1940, hal itu tidak
dilaksanakan. Brugmans tidak melihat banyak manfaat dengan
adanya guru besar seperti yang digambarkan dalam rencana
Schrieke tahun 1930, karena hal itu tidak akan mempunyai hu-
bungam organis dengan guru besar lainnya yang direncanakan.
Karena itu diusulkannya untuk mewajibkan kuliah penguasaan ba-
hasa Belanda pada semua mahasiswa tingkat satu dan dua, juga
pada mahasiswa keturunan Belanda, karena bahasa Belanda dari
kebanyakan pemuda Belanda yang dibesarkan di Hindia-Belanda,
dianggap sangat buruk. Lagi pula perang terhadap kesalahan-
kesalahan dalam bahasa Belanda-Indo masih harus dijalankan.
Umpamanya Brugmans mengusulkan kuliah-kuliah membaca dan me-
nerangkan teks-teks (sastra maupun umum), membahas analisis-
analisis yang dibuat mahasiswa, melatih pemakaian bahasa’se-
cara lisan dengan improvisasi-improvisasi, diskusi-diskusi,
dan lain-lain. Yang menarik perhatian adalah usulnya untuk ju-
ga memperhatikan retorika: 'Retorika, dahulu merupakan ilmu
pengetahuan yang terkenal pada universitas-universitas kita,
sekarang sama sekali dilupakan: guru besar bahasa dan sastra
Belanda [di Batavia] dapat mengangkatnya kenbali dari keadaan
dilupakan dan dengan demikian dapat memberi sumbangan baru da-
lam pembentukan karakter para mahasiswa’ (Brugmans 1940325).
Karena di dalam kuliah-kuliah, aspek-aspek bahasa maupun sas-
tra diberikan, di Hindia-Belanda tidak diperlukan pemisahan
yang biasa diadakan antara ilmu bahasa dan kesusastraan.
Tetapi keahlian pendidik bahasa Belanda (akte-W.0.), seper-
ti direncanakan Schrieke, tidak akan mungkin dicapai di fakul-
tas ini> ‘Persyaratan pendidikan bahasa Belanda di Hindia-
Belanda, memang jauh lebih tinggi daripada yang dituntut untuk
bahasa-bahasa “asing" di negeri Belanda sendiri’ (Brugmans
1940:59). Bukankah unsur utama dalam pendidikan semacam itu di
Hindia-Belanda haruslah penquasaan bahasa aktif dan pasif, se-
hingga latihan ilmiah dari bahasa dan sastra Belanda terpaksa
tergeser ke belakang. Karena itu, diploma yang didapat di
Hindia-Belanda, dalam praktek akan dihargai hanya sebagai kua-
litas nomor dua. Dengan demikian, Brugmans juga berpendapat:
bila ada satu mata kuliah yang disyaratkan untuk meneruskan16 Sejarah Program Studi Belanda
studi di negeri Belanda, itu adalah studi bahasa dan sastra
Belanda.
Sebelum Brugmans sempat mengajukan laporannya, pada bulan
Mei 1940 hubungan dengan negeri Belanda terputus karena perang
dengan Jerman. Dalam keadaan demikian tiba-tiba keberadaan Fa-
kultas Sastra dianggap mendesak, dengan alasan bahwa tenaga-
tenaga kerja Belanda - ‘ahli-ahli sosial-ekonomi, ahli-ahli
dalam bahasa-bahasa daerah Indonesia, para ahli sejarah, dan
para etnolog’ - tidak bisa datang lagi, sehingga Hindia-
Belanda di masa depan harus mengisi kekosongan-kekosongan yang
ada. Selain itu, juga ‘karena Hindia-Belanda berada dalam per-
ubahan masa yang baru, Hindia-Belanda merupakan satu-satunya
negara, yang dapat mempertahankan budaya Belanda; suatu fakul-
tas sastra, yang merangkum berbagai mata kuliah budaya yang
spesifik, merupakan kepentingan negara yang utama‘’ (Brugmans
1940:76). Kemudian secara terburu-buru diputuskan oleh Depar-
temen Pendidikan - yang sejak bulan Mei 1940 di bawah pimpinan
guru besar Sekolah Tinggi Hukum Prof.Or. Pangeran Aria Hoesein
Ojajadiningrat - untuk mendirikan Fakultas Sastra. Setelah la-
poran Brugmans diajukan pada 18 Aqustus dan Dewan Hindia-
Belanda pada tanggal 17 September dan Gubernur-Jenderal pada
19 September memberi tanggapan yang positif, pada tanggal 11
Oktober dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu pertim-
bangan di dalam Penjelasan Rancangan Undang-undang ditekankan
bahwa pemerintah sangat menginginkan ‘di Hindia-Belanda dicip-
takan satu pusat budaya Belanda, di mana mata kuliah seperti
bahasa dan sastra Belanda diajarkan’ (Lelyveld 1977:103). Pada
tanggal 4 Desember 1940 - pada tanggal 14 Oktober 1940 kuliah-
kuliah pertama sudah diberikan - Fakultas Sastra dan Filsafat
secara resmi dibuka oleh Gubernur-Jenderal Jhr. A.W.L. Tjarda
wan Starkenborgh Stachouwer (1936-42), dengan empat jurusan
pada awalnya: ilmu-ilmu sosial, bahasa dan sastra Indonesia,
sejarah, dan etnologi.2 Jabatan guru besar bahasa Jawa dan Me-
layu diadakan, sedangkan untuk Sementary waktu jabatan guru
besar bahasa dan budaya Belanda ditunda.” Jabatan dosen bahasa
Belanda sudah dianggap memadai. Rupa-rupanya karena para kan-
didat yang diajukan sebagai guru besar tidak dapat: datang dari
negeri Belanda, berhubung dengan adanya perang.? Sebagai dosen
bahasa Belanda diangkat dua orang guru Sekolah Menengah Atas
(H.8.S.), J.1.M, van der Kun dan R, Nieuwenhuys, untuk ‘me-
nyebarkan peradaban Belanda’ di Hindia-Belanda sesuai tujuan
fakultas, seperti dikatakan oleh dekan pertama Brugmans pada
pembukaan fakultas: ‘bahasa Belanda, sastra Belanda, sejarahSejarah Program Studi Belanda uv
Belanda dan Eropa, dan filsafat Barat diajarkan, bukan agar
Peradaban Barat ditiru oleh Hindia-Belanda, tetapi agar timbul
impuls-impuls untuk peradaban sendiri’ (Opening Faculteit
1941:11).
Setelah satu setengah tahun, pada bulan Maret 1942 Fakultas
Sastra atas perintah Jepang ditutup lagi. Dengan demikian pen-
dirian Universiteit van Indonesié, yang telah diputuskan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat sehari sebo lum Jepang masuk Indonesia
(Loekman Djajadiningrat 1942:12), di mana Fakultas Sastra dan
Filsafat justru akan menjadi pusat ilmiah budaya yang sentral,
untuk sementara waktu tidak dapat dilaksanakan.
Pada tanggal 21 Januari 1946, Fakultas Sastra bersama Uni-
avs ity Darurat dibuka kembali (Opening Nood-Universiteit
1946).° Kuliah-kuliah bahasa Belanda diberikan eleh guru
H.B.S. J, Notermans, akhir tahun 1947 diganti oleh E.M. Hart
dan pada permulaan tahun akademik 1948-49 oleh L.J. de Wit.
Pada tangga] 1 Februari 1949 pada Fakultas Sastra sebagai
djurusan keenam” dibuka jurusan khusus untuk Bahasa dan Kesu-
Sastraan Belanda, tiga hari setelah Dewan Keamanan PBB meme-
rintahkan Belanda menyerahkan kedaulatan sebelum ] Januari
1950. Jurusan itu seharusnya menjadi mahkota kebijakan bahasa
dan kebudayaan Belanda yang baru: untuk pertama kalinya di
dalam sejarah kolonial sungguh-sungguh dipikirkan penyebaran
bahasa Belanda untuk penduduk Indonesia? Akhirnya memang ini-
Tah mahkota dari satu kebijakan yang gagal, yang tidak pernah
cukup mendukung permintaan Indonesia akan bahasa Belanda. Ke~
butuhan obyektif (ekonomi dan pemerintahan) akan bahasa Belan-
da tidak pernah sesuai dan disesuaikan dengan kebutuhan sub-
yektif (sosial-psikologis) akan bahasa Belanda dari pihak In-
donesia. Politik bahasa, bertalian dengan bahasa Belanda, ka-
renanya bisa dikatakan selalu terlalu sedikit dan terlalu ter-
Jambat (Salverda 1989:35). Tetapi jika ada sesuatu yang datang
terlambat, itu adalah jurusan Belanda ini,
Untuk jurusan Bahasa dan Kesusastraan Belanda
~ dimaksudkan bagi pendidikan guru pendidikan Ta
donesia -, diangkat sebagai guru besar untuk sastra S.P.. Uri
dan untuk jlmu bahasa K. Heeroma,!9 pada tanggal 25 Februari
1949 Uri mengucapkan pidato Pengukuhannya sebagai guru besar
Sastra Belanda dan pada tanggal 6 Mei diikuti oleh pidate
Pengukuhan Heeroma sebagai guru besar ilmu bahasa |
dalam kedua pidato itu, sama sekali tidak di i
yang berhubungan dengan negara di mana bahasa dan
Janda itu akan diajarkan. Di dalam ‘seruannya’ :18 Sejarah Program Studi Belande
hasiswa, diberikan sedikit perhatian kepada pentingnya jurusan
Belanda bagi Indonesia. Uri mengakhiri. ceramahnya. tentang
aliran romantis dalam sastra Belanda (De romantische Jijn in
het beeld van de Nederlandsche letteren) dengan pertanyaan:
"Mengapa saya pada waktu ini, justru di negara ini, begitu
menekankan segi romantis dari sastra Belanda yang kaya
[..-]. Saya menghadapi tugas yang bagus tetapi berat untuk
mengajarkan sastra Belanda di negara yang dulu mamanya
Hindia-Belanda, tetapi sekarang sedang berubah nama menjadi
Republik Indonesia Serikat. Jadi saya sebagai orang Belanda
ada di negara yang bersahabat tetapi asing.
Sebagai orang Belanda saya akan berusaha membawa ke negara
ini sesuatu dari budaya Belanda. Waktu Indonesia masih me-
yupakan koloni, ini sering diabaikan. [,..]. Di sini, orang
mengenal negeri Belanda sebagai negara para saudagar, mili-
ter, dan amtenar yang membawa banyak barang dagangan dan
teknik, pemerintahan dan pendidikan, tetapi sama sekali ti-
dak membawa sesuatu dari peradaban Belanda yang terbaik.
Menurut pendapat saya sendiri, yang terbaik itu terutama
bukan merupakan pandangan bijaksana kita dan juga bukan
ketaatan pada agama kita [...]. Literatur kita juga sering
fantastis dan humoristis, penuh somangat dan idealistis,
pendeknya: romantis. Di samping bersifat Belanda, juga
bersifat Eropa, bahkan bersifat universal [...]. Ikatan de-
ngan Belanda untuk negara ini, terutama berarti kontak de-
ngan budaya Barat Eropa dan seluruh dunia.” (Uri 1949;22-3)
Ahli bahasa Heeroma di dalam ceramahnya (Taalnatuur en taal-
cultuur) tentang studi Belanda di Indonesia, berkata kepada
para mahasiswa:
‘Saya berpendapat bahwa dengan studi bahasa Belanda, Anda
juga mengabdi kepada perkembangan bahasa-bahasa daerah Anda
sendiri. Bahasa-bahasa itu tidak berkembang dengan sendiri-
nya. [...]. Berabad-abad lamanya, bahasa Latin [...] menja-
di guru di Eropa Barat, bahkan setelah bahasa-bahasa itu
menjadi bahasa-bahasa mandiri, bahasa-ibu klasik dari bu-
daya kami, itu tetap berfungsi, walaupun sering tanpa disa-
dari, dan masih sering berfungsi sebagai faktor pengatur
kesadaran bahasa kami di belakang layar. [..-]- Dengan
mengajarkan bahasa Belanda, juga budaya dan spirit Belanda
yang dalam, saya berharap, secara tidak Jangsung dapat me-
nolong Anda untuk dapat menyadari lebih dalam akan hakikat
bahasa Anda dan semangat Anda sendiri.’ (Heeroma 1949:25-
6.)Sejarah Program Studi Belanda ity
Tentu saja jurusan Bahasa dan Kesusastraan Belanda ini tidak
mempunyai pengaruh pada posisi bahasa Belanda di Indonesia
lagi. Karena itu pasti pendirian jurusan ini terlambat seper-
empat abad, demikian pendapat Heeroma (1957:65). Jurusam ini
hanya mampu berdiri tiga tahun dan pada awal tahun akademik
1952-53 ditutup.
Dengan demikian jurusan bahasa Belanda ini tidak menghasil-
kan lebih dari beberapa orang saja dan tidak seorang pun orang
Indonesia, !¢ Hanya sejumlah besar buku di bidang bahasa dan
sastra Belanda mengingatkan kita pada periode itu. Se jumlah
besar buku di bidang dialektologi Belanda merupakan warisan
dari Heeroma. Berkat dia, Fakultas Sastra Universitas Indone-
Sia yang sekarang ini masih memiliki maskah-naskah seperti De
Nederlandsche benamingen van de vier (K. Heeroma, 1936) dan De
namen van het Onze-Lieve-Heersbeestje in de Zuidnederiandsche
dialecten (J.L. Pauwels dan L. Grootaers, 1930).
Pada tanggal 27 Desember 1949 penyerahan kedaulatan akhir-
nya dilangsungkan. Sekarang tidak ada tempat lagi untuk bahasa
kolonial sebagai bahasa pemerintahan maupun sebagai bahasa
pendidikan. Dengan dimulainya tahun ajaran baru pada bulan
Agustus 1950, bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dihapus-
kan di pendidikan dasar umum, dengan masa peralihan satu ta-
hun. Setahun kemudian, hal serupa terjadi di pendidikan mene-
ngah. Hanya di pendidikan tinggi, bahasa Belanda sebagai ba-
hasa pengantar masih dipakai oleh para dosen Belanda, tetapi
Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Belanda pada tahun 1952 ditu-
tup. Sejak tahun 1950 bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar
masih diberikan hanya di sekolah-sekolah swasta dari Yayasan
Pendidikan Belanda di Indonesia, yang terutama d\aksudkan
untuk anak-anak Belanda yang tinggal di Indonesia. Sebagai
akibat dari masalah Irian Barat, pada tahun 1957 sekolah-
sekolah ini ditutup atas perintah Presiden Soekarno. Pada wak-
tu yang Sama penyebaran buku-buku berbahasa Belanda melalui
toko-toke buku juga dilarang. Selanjutnya pengajaran berbahasa
Belanda selama bertahun-tahun juga tidak mungkin.
Baru pada akhir tahun enam puluhan hubungan Indonesia dan
Belanda kembali membaik, sehingga dekan Fakultas Sastra Uni-
versitas Indonesia, guru besar linguistik Indonesia Prof.Or.
Slametmuljana mengambil inisiatif dengan dukungan Belanda un-
‘tuk membuka jurusan Bahasa dan Kesusastraan Belanda yang baru.
Dengan Persetujuan Kebudayaan Indonesia-Belanda yang ditanda-
tangani pada tahun 1968, dua orang ahli Belanda di atk di
fakultas: Drs. J.W. de Vries dan Ors. G. Termorshuizen. 520 Sejarah Program Studi Belanda
ma dengan dua orang staf pengajar Indonesia, yaitu Dra. Afiah
Thamrin dan Dra. Fuad Hassan, dan di bawah pimpinan Or. Harsja
W. Bachtiar, pada bulan Oktober 1969 Jurusan Bahasa dan Kesu-
sastraan Belanda yang baru ini dibuka secara resmi; awal 1970
kuliah-kuliah pertama dengan 35 mahasiswa mulai berjalan. Dari
35 mahasiswa itu hanya delapan yang menyelesaikan kuliah
hingga akhir, Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Belanda yang ke-
dua ini sekarang telah berusia 25 tahun dan berkembang dengan
baik, dengan sedikitnya dua puluh dosen yang mengajar sembi-
lan puluh mahasiswa program S-1 dan seratus lima puluh maha-
siswa program 0-3.
Catatan
*. Diterjemahkan oleh Dra. Jessy Augusdin.
1, Angka-angka berikut memberikan gambaran untuk tahun 1911:
di Universitas Kalkuta saja sebanyak 3.391 mahasiswa
mengikuti ujian tingkat intermediate dalam bidang Arts
(Sastra dan Filsafath setelah dua tahun studi, 633 maha-
siswa mengikuti ujian bachelor setelah empat tahun studi,
dan 136 mahasiswa mengikuti ujian tingkat master dalam
bidang ini setelah enam tahun studi. Di Kalkuta, jurusan-
jurusan yang ada di Faculty of Arts itu adalah: Bahasa
Inggris, Yunani, Latin, Perancis, Jerman, Armenia, Sans-
kerta, Ibrani, Arab, Persia, Urdu, Sejarah, [lmu Ketatane-
garaan, dan Filsafat (Van Geuns 1917:158-67),
2. Makalah ini terutama didasarkan pada Groeneboer (1993;
edisi bahasa Indonesia 1995, terjemahan Ora. Jessy Augus-
din, paragraf 4.6 dan 6.3).
3. Fakultas ini memiliki tujuh orang guru besar pada saat
itu, yakni J.J. Brugmans (Sejarah Umum), J.Ph. Ouyvendak
(Etnologi), C.C. Berg (Bahasa Jawa dan Melayu), A.J. Ber-
net Kempers (Arkealogi, Sejarah Kuno Kepulauan Nusantara,
Sejarah Budaya Hindia-Depan), G.H. van der Kolff (Tlmu
Perekonomian Negara), G.F. Pijper (Bahasa Arab dan Islam-
ologi), W.F. Wertheim ena Timu Hukum). Sebagai do-
sen ditunjuk A.F.P. Huls (Sejarah Budaya Asia Timur),
Soenario (Ilmu Perekonomian Negara), Soetan Moehamad Zain
(Bahasa Melayu), dan untuk bahasa Belanda: J.1.M. van de
Kun dan R. Nievwenhuys (Opening Faculteit 1941:21).
4. Abli sastra S.P. Uri yang sebelum diumumkannya laporan
Brugmans, sudah memprotes keras kenyataan bahwa tidak
akan dibuka Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Gelanda yang
Jengkap, Dilihat dari paptdabangan Politik saja, budaya
Belanda tidak boleh dikebelakangkan dari budaya Jawa,