Professional Documents
Culture Documents
Kelompok 4 - 5C - Studi Kasus TM 13 - Laporan
Kelompok 4 - 5C - Studi Kasus TM 13 - Laporan
Kelompok 4
Anggota Kelompok:
1. Nabilah Zahra 25000121140299
2. Gneiss Puspita Rachma 25000121130104
3. Alea Widyadhana Rahima 25000121140173
4. Aida Shofiyya Muyassari 25000121140233
5. Aura Dinda Rizqika 25000121120050
6. Nasywa ‘Isyna A’izza 25000121120071
7. Mayla Anas Tasya 25000121130106
8. Safira Rahma Meidianti 25000121120042
9. Fadhiilah Nuur Atiiqah 25000121140185
10. Roudhotun Nur Wahab 25000121130098
3. Dampak
A. Jangka Pendek
a. Malnutrisi
Karena sering mengalami diare dan infeksi perut lainnya, bayi
dan anak-anak yang tinggal di lingkungan dengan sanitasi buruk
mungkin mengalami penurunan nafsu makan, muntah, dan penurunan
berat badan. Ini bisa menyebabkan malnutrisi akut dan defisiensi gizi
yang berdampak negatif pada pertumbuhan dan perkembangan
mereka.
b. Dehidrasi
Diare yang disebabkan oleh sanitasi buruk dapat
menyebabkan dehidrasi, terutama jika akses terhadap air bersih
terbatas. Dehidrasi dapat mengancam nyawa, terutama pada bayi
atau usia anak rentan.
c. Gangguan Penyerapan Nutrisi
Infeksi saluran pencernaan seperti cacingan dan parasit dapat
mengganggu penyerapan nutrisi dalam usus, yang dapat berdampak
pada penyerapan zat-zat penting yang diperlukan untuk pertumbuhan
dan perkembangan bayi.
d. Daya Tahan Tubuh Menurun
Imunitas tubuh balita yang menurun akan meningkatkan risiko
terserang penyakit kronis.
B. Jangka Panjang
a. Keterlambatan Kemampuan Motorik
Kemampuan motorik sangat berkaitan dengan perkembangan
afektif, bahasa, sosial, dan perkembangan metabolisme tubuh yang
mendasari anak, jika gizi kurang mempengaruhi perkembangan
motorik anak, perkembangan yang lain juga bisa terpengaruh (Yan et
al., 2018).
b. Pertumbuhan & Perkembangan Otak Terhambat
Hal ini akan mengakibatkan balita mengalami keterbelakangan
mental sehingga fungsi kerja otak tidak akan berjalan dengan optimal.
c. Stres Psikologis
Kondisi sanitasi yang buruk dapat menciptakan stres
psikologis pada anak-anak dan orang tua mereka, yang juga dapat
berdampak negatif pada status gizi bayi.
d. Pertumbuhan Fisik Anak Terhambat
Akibat masalah gizi yang kian tidak ditanggulangi sangat
berdampak pada keadaan fisik balita. Hal ini membuat balita tidak
tumbuh dengan optimal sehingga akan mempunyai kondisi fisik yang
berbeda dengan balita sehat seusianya, atau biasa disebut stunting
jika dilihat dari tinggi badan balita.
4. Upaya Intervensi Pencegahan/Penanggulangan
a. Penyediaan Jamban Sehat
Jamban yang tidak memenuhi standar akan memicu timbulnya
penyakit infeksi fecal-oral yang menyebabkan zat gizi dari makanan yang
dikonsumsi oleh anak tidak dapat diserap oleh tubuh. Bahkan, dalam kondisi
tertentu, tubuh harus memecah cadangan makanan untuk melawan infeksi
sehingga membuat anak menjadi kurus. Bangunan jamban harus memenuhi
standar dan persyaratan kesehatan yakni bangunan atas jamban harus
berfungsi untuk melindungi pemakai dari gangguan cuaca dan gangguan
lainnya; bangunan tengah jamban terdiri dari lubang tempat pembuangan
kotoran dan lantai jamban harus memenuhi syarat; serta dilengkapi dengan
septic tank dan cubluk.
b. Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran Ibu Balita Terkait Sanitasi
yang Baik
Pengetahuan dan kesadaran ibu terkait sanitasi berpengaruh pada
kondisi status gizi sang anak, sehingga diperlukan adanya upaya melalui
edukasi agar permasalahan gizi balita dapat berkurang. Edukasi dilakukan
dengan memberikan pengetahuan tentang pentingnya sanitasi, dampak yang
ditimbulkan dari sanitasi yang buruk, praktik sanitasi yang tepat seperti
dijelaskan cara memasak dan menyimpan makanan dengan aman, menjaga
kebersihan peralatan, penggunaan toilet yang benar, pengelolaan sampah
yang baik, menjaga kebersihan air minum, dan pentingnya menjaga
kebersihan lingkungan sekitar rumah. Dengan demikian diharapkan dapat
mencegah terjadinya gizi buruk pada balita.
c. Peningkatan Program Rumah Sehat
Higiene sanitasi lingkungan yang baik dilihat berdasarkan komponen
rumah, fasilitas sanitasi, serta perilaku penghuni rumah. Beberapa faktor
seperti ketersediaan air bersih, penyiapan makanan yang higienis, serta
pengelolaan pembuangan limbah yang tepat menjadi faktor penting untuk
mencegah stunting pada anak. Kriteria rumah sehat meliputi tersedianya air
bersih, tersedia kamar mandi dan jamban, tersedia saluran pembuangan
sampah, septic tank, ventilasi dan pencahayaan yang cukup, dan bangunan
kokok. Program ini dapat ditingkatkan melalui berbagai kerjasama antara
puskesmas dari bidang kesehatan lingkungan dan gizi serta kader kesehatan
guna mencegah terjadinya permasalahan gizi pada balita.
5. Faktor Keberhasilan Upaya Intervensi
a. Tingkat Pengetahuan Masyarakat
Pengetahuan merupakan tingkat tahu seseorang terhadap suatu
objek. Pengetahuan dapat timbul dari pendidikan maupun pengalaman
seseorang. Selain itu, pengetahuan sebenarnya dapat muncul dari
penginderaan manusia mengenai suatu objek.
Sanitasi merupakan hal mendasar bagi manusia. Secara naluriah
manusia tentunya menginginkan lingkungan sekitarnya bersih, nyaman, dan
sehat. Adanya program terkait peningkatan sanitasi, didukung dengan
pengetahuan masyarakat yang baik, tentunya akan memudahkan masyarakat
untuk merubah perilakunya. Maka dari itu diperlukan sosialisasi yang baik
kepada masyarakat agar terbentuk pengetahuan dan komitmen mereka
dalam memanfaatkan program yang dibuat.
b. Ketersediaan Air Bersih
Menurut Permenkes RI Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990, pasal 1 (c)
menyatakan bahwa air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan
sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum
apabila dimasak. Air bersih sangat berkaitan dengan higiene dan sanitasi
sehingga kesediaan air akan sangat mempengaruhi berjalannya program.
Misalnya program jamban sehat tentunya membutuhkan air untuk
membersihkannya. Bila air bersih yang tersedia di masyarakat kurang, maka
pemanfaatan jamban juga kurang.
c. Adanya Dukungan dari Tokoh Masyarakat dan Tenaga Kesehatan
Dukungan diperlukan untuk membentuk komitmen masyarakat dalam
menyukseskan program. Tokoh masyarakat dapat menjadi role model yang
memberikan contoh kepada masyarakat mengenai perilaku yang tepat terkait
sanitasi di rumah tangga. Sementara tenaga kesehatan berperan dalam
membina peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan kemampuan
untuk hidup sehat. Dalam hal penggunaan jamban, kegiatan yang dilakukan
oleh petugas kesehatan antara lain adalah memberikan penyuluhan secara
berkala tentang manfaat dan syarat-syarat jamban sehat, juga melakukan
pembinaan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan kemauan
masyarakat memiliki dan menggunakan jamban keluarga
d. Perubahan Perilaku/Sikap Partisipasi Masyarakat
Perubahan perilaku/sikap partisipasi masyarakat sangat penting
dalam mendukung program ini, setelah mendapatkan bekal pengetahuan
maka salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan upaya intervensi
yakni perubahan sikap/perilaku masyarakat. Perubahan sikap/ perilaku
masyarakat memiliki arti berupa rendah atau tingginya tingkat partisipasi
masyarakat terhadap program tersebut. Rendahnya partisipasi masyarakat
lebih disebabkan karena kurang tahunya mereka pada program yang ada dan
ketidaktahuan masyarakat dikarenakan selama ini dalam penyampaian
sosialisasi program cenderung hanya bersifat satu arah. Maka untuk
meningkatkan partisipasi, masyarakat perlu dilibatkan dalam setiap program
dan aksi dalam upaya intervensi program tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Basyariyah, Q., Diyanah, K. C., & Pawitra, A. S. (2022). Hubungan ketersediaan sanitasi
dasar terhadap status gizi baduta di Desa Pelem, Bojonegoro. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, 21(1), 18-26.
Kemenkes. Permenkes No. 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
Syarifah AN. Kualitas, Kuantitas dan Usia Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu
(mp-asi) Kaitannya dengan Status Gizi Balita. 2019;
Irianti B. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Status Gizi Kurang Pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Sail Pekanbaru Tahun 2016. Midwifery J 2018; 3: 95–98.
https://doi.org/10.31764/mj.v3i2.478
Wantina M, Rahayu LS, Yuliana I. Keragaman Konsumsi Pangan Sebagai Faktor Risiko
Stunting pada Balita Usia 6-24 Bulan. J ARGIPA. 2017;2(2):89–96.