You are on page 1of 4

Muhammad Rakha Aqiliyan

20137043

IPTEK DALAM ISLAM

Asesment

1. Jelaskan pengertian, IPTEKNI dalam Islam!


2. Jelaskan tujuan IPTEKNI dalam Islam
3. Jelaskan tentang Islam dan Kebudayaan!
4. Jelaskan tentang Etos kerja dalam Islam!

Jawab:

1. Ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKNI) adalah tiga ranah yang berbeda tapi tidak
dapat dipisahkan. Secara sederhana, ilmu adalah pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh
melalui pengematan dengan menggunakan metode berfikir ilmiah (scientific metode) dan disusun
secara sistematis. Ilmu bukan pengetahuan biasa yang mencakup segenap bentuk yang diketahui
dalam istilah Inggris disebut knowledge.

Secara garis besar objek ilmu itu tebagi dua yakni objek material dan objek forma. Objek
material ilmu adalah yang membedakan antara satu bidang ilmu dengan yang lainnya. Sedangkan
objek forma adalah proses yang dilalui untuk mendapatkan sebuah ilmu. Berkaitan dengan ini
seorang ilmuan biasanya menggunakan tiga landasan pokok yaitu: “pertama, Antologi yakni yang
berkaitan dengan pertanyaan apa. Kedua, Epistemology yakni yang berkaitan dengan pertanyaan
bagaimana. Ketiga, Aksiologi yakni berkaitan dengan pertanyaan untuk apa”.

Seorang ilmuwan yang beriman perlu melakukan reorientasi tentang tujuan hidup. Hidup
harus diisi dengan ilmu pengetahuan dan berkarya (amal). Ilmu dan karya adalah penting, namun
lebih penting menyadari untuk apa ilmu dan karya itu. Kerja bukan semata untuk kerja tetapi
bekerja untuk memelihara eksistensi dan meningkatkan martabat manusia bukan malah
sebaliknya. Hal itu hanya dapat dicapai bila semua itu dilandasi pada kesadaran iman. Kemudian
dengan memelihara hubungan vertikal dengan yang maha kuasa (habmminallah) dan memelihara
hubungan horizontal dengan sesama manusia (hablumminannas) agar tidak dilanda pada
sebahagian masyarakat modern saat ini.

2. Teknologi dibuat atas dasar ilmu pengetahuan dengan tujuan untuk mempermudah pekerjaan
manusia.
Belajar dan mengembangkan iptek merupakan bentuk keimanan seseorang dan menjadi daya
penggerak untuk menggali ilmu. Memandang betapa pentingnya mempelajari ilmu-ilmu lain
(selain ilmu syariat, yakni iptek) dalam perspektif Alquran, Mehdi Golshani dalam bukunya, The
Holy Qur’an and The Science Of Nature (2003), mengajukan beberapa alasan.
Pertama, jika pengetahuan dari suatu ilmu merupakan persyaratan pencapaian tujuan Islam
sebagaimana dipandang oleh syariat, mencarinya merupakan sebuah kewajiban karena ia
merupakan kondisi awal untuk memenuhi kewajiban syariat. Contohnya, kesehatan badan bagi
seseorang dalam satu masyarakat adalah penting. Oleh sebab itu, sebagian kaum muslim harus
ada yang mempelajari ilmu mengenai pengobatan.
Kedua, masyarakat yang dikehendaki Alquran adalah masyarakat yang agung dan mulia, bukan
masyarakat yang takluk dan bergantung pada nonmuslim (QS An-Nisa’: 141). Agar dapat
merealisasikan tujuan yang dibahas Alquran itu, masyarakat Islam benar-benar harus menemukan
kemerdekaan kultural, politik, dan ekonomi.
Pada gilirannya, hal itu membutuhkan pelatihan para spesialis spesifikasi tinggi di dalam segala
lapangan dan penciptaan fasilitas ilmiah dan teknik dalam masyarakat Islam. Sebab, pada abad
modern, kehidupan manusia tidak dapat dipecahkan kecuali dengan upaya pengembangan ilmiah
dan kunci sukses seluruh urusan bersandar pada ilmu.
Ketiga, Alquran menyuruh manusia mempelajari sistem dan skema penciptaan, keajaiban-
keajaiban alam, sebab-sebab, akibat-akibat seluruh benda, dan organisme hidup. Pendek kata,
seluruh tanda kekuasaan Tuhan di alam eksternal dan kedalaman batin jiwa manusia, seperti
tersirat dalam Alquran, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya
malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan
apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati
(kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (QS Al-Baqarah: 164).
Keempat, alasan lain untuk mempelajari fenomena-fenomena alam dan skema penciptaan adalah
bahwa ilmu tentang hukum-hukum alam dan karakteristik benda serta organisme dapat berguna
untuk perbaikan kondisi manusia. Ini misalnya yang tersirat dalam Alquran, “Dan Dia
menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai
rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir”. (QS Al-Jatsiyah: 13)
Di antara ayat-ayat Alquran yang menjadi landasan iptek, antara lain QS Ar-Rum: 22, QS Al-An’am:
97, dan QS Yunus: 5. Ayat-ayat itu secara jelas menggambarkan fenomena alam yang selalu
dihadapi dan mengiringi perjalanan hidup umat manusia untuk dipahami, diteliti, sehingga lahirlah
pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, seperti diisyaratkan dalam ayat-ayat di atas, yang
mengetahui hakikat alam ini hanyalah orang-orang yang mengetahui, yakni mereka yang intens
bergerak untuk mencari dan mencari karena kuriositasnya yang tinggi dengan memaksimalkan
kerja pikiran.
Allah tidak menciptakan alam ini dengan sia-sia. Dia menciptakan alam ini mempunyai maksud
dan hikmah. Muhammad Imaduddin Abdulrahim dalam tulisannya, Sains dalam Perspektif
Alquran, mengatakan bahwa sunatullah sebagai ketetapan Allah terhadap alam ciptaan-Nya ini
dimaksudkan untuk kelestarian, keharmonisan, dan kesejahteraan manusia di dunia ini.
Tujuan itu tidak akan terealisasi tanpa pengungkapan terhadap alam. Oleh karena itu, usaha-
usaha manusia untuk mengungkapkan rahasia alam ini juga harus diselaraskan dengan tujuan
penciptaan sebenarnya. Jangan sampai sains itu digunakan untuk hal-hal yang merusak
keharmonisan alam dan menimbulkan bencana bagi kehidupan manusia.

3. Agama dan budaya di Indonesia, jika dilihat dari konteks Islam yang berkembang dan hidup di
Nusantara ini telah menjadi hubungan simbiosis. Agama butuh alat atau pun metode untuk
disampaikan kepada masyarakat. Agar orang paham terhadap agama, maka dibutuhkan metode
ataupun alat supaya agama itu bisa dipahami orang.
Dijelaskan, beberapa hal yang perlu dicatat mengapa di Nusantara ini agama dan budaya atau
budaya dan tradisi menjadi alat atau metode dalam penyampaian agama. “Pertama, supaya
agama lebih mudah dipahami. Karena kalau pesan-pesan agama disampaikan dengan cara-cara
Timur Tengah tentunya akan ada kesenjangan budaya. Sehingga akan kesulitan untuk memahami
dan menerima pesan-pesan agama itu kalau metode Arab itu yang dipakai,”
Oleh karena itu, sejak jaman Walisongo digunakanlah metode atau tradisi nilai-nilai kultur orang
lokal Nusantara ini sebagai alat untuk menyampaikan. Dan itu terbukti ampuh, sehingga dalam
waktu kurang dari 50 tahun, Walisongo mampu meng-Islamkan masyarakat Nusantara dari yang
semula 90% Hindu-Budha berbalik menjadi 90% Islam.

4. Etos Kerja menurut Islam didefenisikan sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan yang
sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan
kemanusiaannya, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari amal saleh. Sehingga bekerja
yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim,
melainkan sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah yang didera kerinduan
untuk menjadikan dirinya sebagai sosok yang dapat dipercaya, menampilkan dirinya sebagai
manusia yang amanah, Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam ‘Syu’bul Iman’ ada empat prinsip etos
kerja yang diajarkan Rasulullah. Keempat prinsip itu harus dimiliki kaum beriman jika ingin
menghadap Allah dengan wajah berseri bak bulan purnama.
Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan). Halal dari segi jenis pekerjaan sekaligus
cara menjalankannya. Antitesa dari halal adalah haram, yang dalam terminologi fiqih terbagi
menjadi ‘haram lighairihi’ dan ‘haram lidzatihi’.

Analoginya, menjadi anggota DPR adalah halal. Tetapi jika jabatan DPR digunakan mengkorupsi
uang rakyat, status hukumnya jelas menjadi haram. Jabatan yang semula halal menjadi haram
karena ada faktor penyebabnya. Itulah ‘haram lighairihi’. Berbeda dengan preman. Dimodifikasi
bagaimanapun ia tetap haram. Keharamannya bukan karena faktor dari luar, melainkan jenis
pekerjaan itu memang ‘haram lidzatihi’.

Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan an al-
mas’alah). Kaum beriman dilarang menjadi benalu bagi orang lain. Rasulullah pernah menegur
seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian bersabda,
“Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan
memikulnya di atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi atau
ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, setiap pekerjaan asal halal adalah mulia dan terhormat dalam Islam. Lucu jika
masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu karena dipandang remeh dan hina.
Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia dan terhormat di mata Allah ketimbang meminta-
minta.

Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi). Mencukupi kebutuhan
keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat diwakilkan, dan menunaikannya termasuk kategori
jihad. Hadis Rasulullah yang cukup populer, “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik
melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada
diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah).

Tegasnya, seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi keluarga akan dicintai
Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin Jabal, Rasulullah bertanya soal
tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab bahwa itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk
keluarga, Rasulullah memuji tangan Muadz seraya bersabda, “Tangan seperti inilah yang dicintai
Allah dan Rasul-Nya”.
Keempat, bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi). Penting
dicatat, Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi Islam melarang
kaum beriman bersikap egois. Islam menganjurkan solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap
tutup mata dan telinga dari jerit tangis lingkungan sekitar. “Hendaklah kamu beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah telah menjadikanmu berkuasa
atasnya.” (Qs Al-Hadid: 7).

Lebih tegas, Allah bahkan menyebut orang yang rajin beribadah tetapi mengabaikan nasib kaum
miskin dan yatim sebagai pendusta-pendusta agama (Qs Al-Ma’un: 1-3). Itu karena tidak dikenal
istilah kepemilikan harta secara mutlak dalam Islam. Dari setiap harta yang Allah titipkan kepada
manusia, selalu menyisakan hak kaum lemah dan papa.

Demikianlah, dan sekali lagi, kemuliaan pekerjaan sungguh tidak bisa dilihat dari jenisnya. Setelah
memenuhi empat prinsip di atas, nilai sebuah pekerjaan akan diukur dari kualitas niat (shahihatun
fi an-niyat) dan pelaksanaannya (shahihatun fi at-tahshil). Itulah pekerjaan yang bernilai ibadah
dan kelak akan mengantarkan pelakunya ke pintu surga.

You might also like