You are on page 1of 24

ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN ELIMINASI

PADA PASIEN DENGAN PASCABEDAH BENIGN PROSTATIC


HYPERPLASIA (BPH) DIRUANG PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG

Oleh :
Nama : Jhon Saiya
Nim : 1490123024

INSTITUT KESEHATAN IMMANUEL BANDUNG


PROGRAM PROFESI NERS XXX
BANDUNG
2023
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Eliminasi merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus di
penuhi oleh setiap manusia. Kebutuhan dasar manusia terbagi menjadi 14
kebutuhan dasar, menyatakan bahwa kebutuhan eliminasi terdapat pada
urutan ke tiga. Apabila sistem perkemihan tidak dapat berfungsi dengan
baik, sebenarnya semua organ akhirnya akan terpengaruh. Secara umum
gangguan pada ginjal mempengaruhi eliminasi. Sehingga mengakibatkan
masalah kebutuhan eliminasi urine, antara lain : retensi urine,
inkontinensia urine, enuresis, dan ureterotomi. Masalah kebutuhan
eliminasi urine sering terjadi pada pasien – pasien rumah sakit yang
terpasang kateter tetap (Hidayat, 2010)
Benign Prostatic Hyperplasia adalah pertumbuhan kelenjar
epitelprostat yang menyebabkan pembesaran kelenjar prostat. Pada kasus
yangparah, kelenjar ini tumbuh perlahan selama beberapa dekade, yang
semula berukuran 20 gram untuk ukuran normal orang dewasa dan
akhirnya dapat mencapai ukuran 10 kali lipatnya (Lestari et al., 2019).
BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis yaitu terdapat
hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat (Amadea et
al,2019).

B. Pengertian
Benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi di
manaprostat membesar dan meluas ke dalam kandung kemih,
menghalangialiran urine dengan menutup orifisium uretra (Az).izah, 2018
Dengan demikian menurut beberapa ahli dapat disimpulkan bahwaBPH
adalah suatu keadaan dimana sistem perkemihan terganggu
akibatpembesaran prostat dan umumnya terjadi pada laki-laki yang
mengenai uretra sehingga menyebabkan terhambatnya aliran urine pada
orifisiumuretra. yang menyebabkan gangguan dalam proses berkemih.
C. Anatomi
Kelenjar Prostat Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia
pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra
posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini menyumbat uretra
posterior dan bila pembesaran terjadi pada uretra pars prostatika dapat
mengakibatkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli. Secara
anatomis bentuk kelenjar prostat sebesar buah kenari dengan berat normal
pada orang dewasa kurang lebih 20 gram.
Menurut beberapa ahli, kelenjar prostat dibagi dalam beberapa
zona antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona
fibromuskuler anterior dan zona periuretra. Gambar 1 Anatomi Kelenjar
Prostat Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
testosteron. Dalam sel-sel kelenjar prostat, hormone akan tumbuh menjadi
Dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim αreduktase. DHT inilah
yang secara langsung memacu mRNA dalam sel-sel kelenjar prostat yaitu
sejenis hormon yang memacu sintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat. Pada usia lanjut beberapa pria mengalami
BPH, keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang
lebih 80% pria yang berusia 7 80 tahun. Pembesaran kelenjar prostat
mengakibatkan terganggunya aliran urine sehingga menimbulkan
gangguan miksi.
Kelenjar prostat berfungsi menambah cairan seminalis untuk
melindungi spermatozoa terhadap tekanan yang terdapat pada uretra dan
vagina. Kelenjar bulbo uretralis, terletak sebelah bawah dari kelenjar
prostat panjangnya 2-5 cm, fungsinya sama dengan fungsi kelenjar prostat
.
D. Etiologi
Menurut Duarsa (2020), penyebab BPH belum diketahui secara
pasti, namun beberapa hipotesis menyatakan bahwa hiperplasia prostat
berkaitan erat dengan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan.
Selain faktor-faktor tersebut, ada beberapa hipotesis yang dikemukakan
sebagai penyebab hiperplasia, antara lain:
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT) DHT merupakan metabolit
androgen yang sangat penting untuk pertumbuhan sel kelenjar
prostat. Dalam berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT
pada BPH tidak berbeda nyata dengan kadar pada prostat normal,
hanya pada BPH aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor
androgen lebih tinggi pada BPH. Hal ini menyebabkan sel prostat
pada BPH lebih sensitif terhadap DHT, sehingga terjadi replikasi
sel lebih sering dibandingkan pada sel prostat normal.
2. Teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Seiring bertambahnya usia, kadar testosteron menurun, yang
menghambat perkembangan sel prostat, sementara hormon
estrogen tetap relatif konstan, menyebabkan ketidakseimbangan
hormon estrogen dan testosteron. Hormon estrogen pada prostat
berperan dalam proliferasi sel kelenjar prostat dengan
meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan laju
kematian sel prostat (apoptosis). Karena ketidakseimbangan
estrogen dan testosteron, pertumbuhan sel baru terus meningkat
dan umur sel prostat dewasa menjadi lebih lama karena penurunan
apoptosis, sehingga massa prostat lebih besar.

E. Patofisiologi
Purnomo (2016) menyebutkan ada 5 teori penyebab BPH, salah
satunya adalah teori dihidrotestosteron (DHT). Prabowo (2014)
mengatakan bahwa hormon DHT adalah hormon yang merangsang
pertumbuhan prostat sebagai kelenjar ejakulasi, yang mengoptimalkan
fungsinya. Hormon ini disintesis di prostat dari hormon testosteron
darah alami. Proses sintesis ini didukung oleh enzim 5α-reduktase tipe
2. Dalam berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH
tidak berbeda nyata dengan kadar pada prostat normal, hanya saja pada
BPH aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih
tinggi pada BPH. Hal ini menyebabkan sel prostat pada BPH lebih
sensitif terhadap DHT, sehingga replikasi sel lebih sering terjadi
dibandingkan pada prostat normal (Purnomo, 2016). Selain DHT,
estrogen juga berpengaruh pada pembesaran prostat. Dengan
bertambahnya usia, prostat menjadi lebih sensitif terhadap stimulasi
androgen, sedangkan estrogen dapat memberikan perlindungan
terhadap BPH. Jika menjadi lebih besar dari biasanya, memberi
tekanan pada saluran kemih (Purnomo, 2016). Pembesaran prostat
dapat diobati dengan operasi TURP, yang dapat menyebabkan retensi
urine, yang sering terjadi karena adanya cloth yang menghalangi
saluran kemih.

Pathway
F. Pemeriksaan Diagnostik
Prabowo dan Pranata (2014) mengatakan bahwa pemeriksaan
diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan BPH meliputi:
1. Urinealisis dan Kultur Urine Pemeriksaan ini untuk menganalisa
ada tidaknya infeksi dan Red Blood Cell (RBC) dalam urine yang
memanifestasikan adanya perdarahan/hematuria.
2. Deep Peritoneal Lavage (DPL) Pemeriksaan pendukung ini untuk
melihat ada tidaknya perdarahan internal dalam abdomen. Sampel
yang diambil adalah cairan abdomen dan diperiksa jumlah sel darah
merahnya.
3. Ureum, Elektrolit dan Serum Kreatinin Pemeriksaan ini untuk
mengetahui status fungsi ginjal. Hal ini sebagai data pendukung
untuk mengetahui komplikasi dari BPH, karena obstruksi kronis
sering menyebabkan hidronefrosis yang lambat laun akan
memperburuk fungsi ginjal dan akhirnya menyebabkan gagal ginjal.
4. Patologi Anatomi (PA) Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel
jaringan pascaoperasi. Sampel jaringan tersebut akan dilakukan
pemeriksaan mikroskopis untuk menentukan apakah hanya jinak
atau ganas, sehingga akan menjadi dasar untuk penanganan lebih
lanjut.
5. Catatan harian berkemih Setiap hari perlu dilakukan evaluasi urine
output, sehingga akan terlihat bagaimana siklus rutin buang air kecil
pasien. Data ini untuk perbandingan dengan pola eliminasi urine
normal
6. Uroflometri Menggunakan alat pengukur, output urine akan diukur.
Pada obstruksi awal, pancaran sering melemah atau bahkan
meningkat. Hal ini disebabkan oleh penyumbatan kelenjar prostat di
saluran kemih. Selain itu, volume residu urine juga harus diukur.
Biasanya sisa urine < 100 ml. Namun, residu yang tinggi
menunjukkan bahwa kandung kemih tidak dapat mengeluarkan
urine dengan benar karena obstruksi
7. USG Ginjal dan Vesika Urinaria 14 USG ginjal bertujuan untuk
melihat adanya komplikasi penyerta dari BPH, misalnya
hidronefrosis. Sedangkan USG pada vesika urinaria akan
memperlihatkan gambaran pembesaran kelenjar prostat.

G. Penatalaksanan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan menurut Haryono (2013) adalah
sebagai berikut:
a. Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat
uretra menggunakan resektroskop , dimana resektroskop
merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan
uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang
disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan 15
pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan invasive
yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.
b. Pembedahan Prostatektomi
1) Prostatektomi Suprapubis Adalah salah satu metode
mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen, yaitu suatu insisi
yang dibuat ke dalam kandung kemih dan kelenjar prostat
diangkat dari atas. Pendekatan ini dilakukan untuk kelenjar
dengan berbagai ukuran dan beberapa komplikasi dapat terjadi
seperti kehilangan darah lebih banyak disbanding dengan
metode yang lain.
2) Prostatektomi Perineal Adalah mengangkat kelenjar melalui
dalam perineum. Cara ini lebih praktis disbanding cara yang
lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Pada pasca
operasi, luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi
dilakukan dekat dengan rektal. Lebih jauh lagi inkontensia,
impotensi, atau cedera rektal dapat terjadi dengan cara ini.
3) Prostatektomi Retropubik Adalah suatu teknik yang lebih
umum disbanding pendekatan prapubik dimana insisi abdomen
lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus
pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi
dalam pubis.

H. Asuhan keperawatan
I. Pengkajian
a. Data biografi, meliputi: Identitas pasien yaitu nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku atau bangsa, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, alamat, tanggal masuk Rumah Sakit,
tanggal pengkajian dan catatan kedatangan.
b. Riwayat kesehatan, meliputi:
1) Keluhan utama atau alasan masuk Rumah Sakit Klien
mengeluh nyeri ada saat berkemih, terbangun untuk
berkemih pada malam hari, perasaan ingin berkemih yang
sangat mendesak, kalau ingin miksi harus menunggu lama,
harus mengedan, kencing terputus-putus dan penurunan
kemampuan untuk berkemih.
2) Riwayat kesehatan sekarang Keluhan yang sering dialami
pada penderita BPH disebut LUTS (Lower Urineary Tract
Symtoms). Ini termasuk: hesistency, aliran urine lemah,
intermiten, sisa urine setelah buang air kecil, frekuensi dan
disuria (dengan peningkatan obstruksi).
3) Riwayat penyakit dahulu: Tanyakan kepada klien tentang
riwayat kesehatan yang pernah diderita, karena individu
yang sebelumnya pernah mengalami ISK dan fisiologi
darah berisiko mengalami komplikasi pascaoperasi
(Prabowo & Pranata, 2014)
4) Riwayat kesehatan keluarga Mungkin diantara keluarga
pasien sebelumnya ada yang menderita penyakit yang sama
dengan penyakit pasien sekarang.
c. Pola fungsi kesehatan, meliputi: Pola persepsi dan pemeliharaan
kesehatan, pola nutrisi dan metabolisme, pola eliminasi, pola
istirahat dan tidur, pola kognitif dan persepsi, pola peran
hubungan, pola seksual dan reprosuksi, keyakinan dan
kepercayaan.
1) Pola eliminasi
a) Penurunan kekuatan/dorongan aliran urine tetesan
b) Keragu-raguan dalam berkemih awal
c) Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih
d) Nokturia, disuria, hematuria
e) Riwayat saluran berkemih berulang
f) Konstipasi
2) Makanan/cairan Anoreksia, mual, muntah dan penurunan
berat badan.
3) Nyeri kenyamanan Nyeri suprapubik, panggul atau
punggung.
4) Seksualitas
a) Takut inkontinensia
b) Penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi
5) Aktivitas/istirahat
a) Riwayat pekerjaan
b) Lamanya istirahat
c) Aktivitas sehari-hari
d) Pengaruh penyakit terhadap aktivitas
6) Hygiene: Penampilan umum, aktivitas sehari-hari,
kebersihan tubuh dan frekuensi mandi.
7) Integritas ego
a) Pengaruh penyakit terhadap stress
b) Gaya hidup c) Masalah finansial
8) Pernafasan Apakah ada sesak nafas, riwayat merokok dan
bentuk dada.
9) Interaksi sosial Status perkawinan, hubungan dalam
masyarakat.
d. Pemeriksaan fisik, meliputi:
1) Pemeriksaan tekanan darah, nadi, suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urine akut.
2) Pemeriksaan fisik sistem perkemihan
a) Inspeksi Inspeksi pada abdomen, kesimetrisan, warna
kulit, tekstur, turgor kulit, adanya massa atau
pembengkakan, distensi, dan luka. Kulit dan membran
mukosa yang pucat, indikasi gangguan ginjal yang
menyebabkan anemia. Penurunan turgor kulit
merupakan indikasi dehidrasi. Edema, indikasi retensi
dan penumpukan cairan.
b) Auskultasi Mengauskultasi bagian atas sudut
kostovertebral dan kuadran atas abdomen. Jika
terdengar bunyi bruit (bising) pada aorta abdomen dan
arteri renalis, maka indikasi adanya gangguan aliran
darah ke ginjal (stenosis arteri ginjal).
c) Perkusi Perkusi dilakukan di sudut kostovertebra di
garis skapular untuk menilai nyeri tekan pada Costo
Vertebral Angulus (CVA) ginjal. Perkusi juga
dilakukan kira-kira 5 cm di atas simpisis pubis untuk
menilai adanya urine dalam kandung kemih.
d) Palpasi Palpasi dilakukan di abdomen bawah/kandung
kemih serta ginjal untuk mengetahui ada tidaknya
abnormalitas, misalnya pembesaran pada organ atau
adanya massa yang dapat teraba. Pada pasien
pascabedah TURP biasanya terdapat distensi kandung
kemih di abdomen bawah saat dipalpasi.
3) Pemeriksaan Genetalia Pria
a) Inspeksi Kaji kebersihan area genetalia, lihat bagian luar
untuk simetris/tidak, dan kaji adanya lesi, menginspeksi
lubang uretra apakah ada keluaran nanah, bau, kemerahan,
bengkak, dan kaji terpasang katater atau tidak.
b) Palpasi Palpasi skrotum berisi 2 buah kelenjar testis dan
apakah ada pembesaran pada salah satu testis.
4) Urine Kaji karakteristik urine pasien dan bandingkan dengan
karakteristik urine normal sesuai karakteristik urine normal
menurut Purnomo (2016).
Tabel ,Karakteristik Urine Normal

Warna Bau pH Jumlah


Kekuningan atau Berbau khas 4. 6-8. 0 1200-1500
bening ml/24 jam
(Purnomo, 2016)

II. Analisa Data

N Data Etiologi Maslah


o Keperawatan
1 DS: Sel sistem, penuaan, Retensi urine
- Sensasi penuh perubahan
pada kandung keseimbangan
kemih hormone testosterone
DO: dan estrogen,
imfamasi
- Disuria/anuria
- Distensi kandung
kemih Dehidrotestosteron

proliferasi sel
pembedahan/TURP

pendarahan area
reaksi prostat

kateterisasi dengan
threeway

adanya bekuan darah

Retensi urine
2 DS: Sel sistem, penuaan, Nyeri akut
- Mengeluh nyeri perubahan
keseimbangan
hormone testosterone
DO:
dan estrogen,
- Tampak meringis imfamasi
- Bersikap protektif
- Gelisah Dehidrotestosteron
- Frekuensi nadi
- Meningkat proliferasi sel
- Sulit tidur
pembedahan/TURP

diskontinuitas jarigan

peningkatan
prostaglandin

nyeri akut
III. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang muncul setelah dilakukan analisa masalah
sebagai hasil dari pengkajian. Secara garis besar, diagnosa
keperawatan yang dapat timbul pada pasien pascabedah
Transurethral Resection of the Prostate (Tim Pokja SDKI DPP
PPNI, 2017):
a. Retensi urine
b. Nyeri

IV. Perencanaan/Intervensi Keperawatan


Intervensi Keperawatan yang mengacu pada Standar
Intervensi Keperawatan Indonesia (Tim Pokja SIKI DPP PPNI,
2018) dengan kriteria hasil mengacu pada Standar Luaran
Keperawatan Indonesia (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2019).
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang di atas, intervensi
keperawatan yang dapat dilakukan terdapat pada tabel berikut.
No Diagnosa Tujuan & Kriteria Intervensi Keperawatan (SIKI) Rasional
Hasil (SLKI)
1 Retensi Setelah dilakukan Irigasi Kandung Kemih 1. Mengetahui intake dan output
Urine asuhan keperawatan Observasi cairan pasien
selama 3 x 24 jam, 1. Monitor keseimbangan cairan 2. Memastikan posisi kateter benar
diharapkan retensi 2. Periksa aktivitas dan mobilitas agar memperlancar cairan irigasi
urine pada pasien (mis, posisi kateter, lipatan yang masuk
pascabedah TURP kateter) 3. Memastikan kateter yang sesuai
dapat diatasi dengan 3. Identifikasi kateter yang akan untuk dilakukan irigasi kandung
menunjukkan SLKI: digunakan adalah kateter kemih
Eliminasi Urine: threeways 4. Mengetahui sejauh mana
Membaik Dengan 4. Identifikasi kemampuan pasien kemampuan pasien meraat kateter
kriteria hasil: merawat kateter 5. Memastikan obat irigasi sesuai
- Desakan berkemih 5. Identifikasi order obat irigasi order
menurun kandung kemih kembali 6. Mengetahui cairan irigasi yang
- Distensi kandung 6. Monitor cairan irigasi yang keluar keluar
kemih menurun (bekuan darah atau benda asing 7. Mengetahui respon klien sebelum
- Berkemih tidak lainnya) dan sesudah irigasi kandung
tuntas menurun 7. Monitor respon pasien selama dan kemih
- Volume residu setelah irigasi kandung kemih 8. Mengetahui hasil kadar elektrolot
urine menurun 8. Monitor hasil elektrolit darah dalam tubuh pasien
- Urine menetes 9. Monitor jumlah cairan intake dan 9. Mengetahui jumlah cairan intake
(dribbling) output pada kartu dan output sesuai dengan kartu
menurun Terapeutik cairan irigasi
- Enuresis menurun 1. Gunakan cairan isotonis untuk 10. Cairan isotonis tidak mudah

- Disuria menurun irigasi kandung kemih diabsorbsi oleh tubuh

- Frekuensi BAK 2. Kosongkan kantung urine 11. Hasil irigasi terlihat dengan jelas

membaik 3. Gunakan alat pelindung diri 12. Sesuai standar dan mencegah

- Karakteristik urine 4. Lakukan standar operasional terjadinya infeksi

membaik prosedur dengan teknik aseptik 13. Mencegah alat-alat terkontaminasi


5. Persiapkan alat-alat dengan 14. Irigasi kandung kemih sesuai
mempertahankan kesterilan kemutuhan
6. Siapkan cairan irigasi sesuai 15. Menjaga port kateter tetap steril
kebutuhan 16. Irigasi dapat dilakukan dengan
7. Buka dan disinfeksi port kateter cairan yang telah dihubungkan
dengan swab alkohol. 17. Tetesan cairan irigasi yang masuk
8. Hubungkan set cairan irigasi sesuai dengan kebutuhan
dengan kateter urine 18. Cairan irigasi masuk tanpa
9. Atur tetesan cairan irigasi sesuai hambatan dan keluar sesuai
kebutuhan dengan yang diharapkan
10. Pastikan cairan irigasi mengalir 19. Pasien nyaman saat dilakukan
ke kateter, kandung kemih dan irigasi kandung kemih
keluar ke kantung urine 20. Pasien mengetahui tujuan irigasi
11. Berikan posisi nyaman kandung kemih
Edukasi 21. Pasien/keluarga diharapkan
1. Jelaskan tujuan dan prosedur melapor jika ada keluhan BAK
irigasi kandung kemih
2. Anjurkan melapor jika mengalami Rasional Manajemen Eliminasi
keluhan saat BAK, urine merah 1. Mengetahui tanda dan gejala
dan tidak dapat BAK retensi urine
2. Mengetahui faktor penyebab utama
Manajemen Eliminasi Urine retensi urine dan memberikan
Observasi: penanganan yang sesuai
1. Identifikasi tanda dan gejala 3. Mengetahui output urine
retensi atau inkontinensia urine 4. Mengetahui waktu terakhir pasien
2. Identifikasi faktor penyebab berkemih
retensi atau inkontinensia urine 5. Kebutuhan berkemih harus
3. Monitor eliminasi urine (mis. disegerakan apabila ditahan akan
Frekuensi, konsistensi, aroma, menimbulkan komplikasi
volume dan warna) 6. Untuk pemeriksaan laboratorium
Terapeutik 7. Pasien dan keluarga mengerti tanda
1. Catat waktu-waktu dan haluaran dan gejala infeksi saluran kemih
berkemih 8. Pasien dan keluarga mengerti cara
2. Batasi asupan cairan, jika perlu mengukur asupan cairan dan
3. Ambil sampel urine tengah haluaran urine
(midstream) atau kultur 9. Keluarga mengerti cara mengabill
Edukasi specimen urine
1. Ajarkan tanda dan gejala infeksi 10. Pasien mengetahui tandatanda
saluran kemih berkemih
2. Ajarkan cara mengukur asupan 11. Untuk menguatkan otot panggul
cairan dan haluran urine mencegah inkontinensia urine
3. Ajarkan cara mengambil 12. Minum yang berlebihan dapat
spesiemen urine midstream menyebabkan semakin penuh urine
4. Ajarkan mengenali tanda di kandung kemih
berkemih dan waktu yang tepat 13. Mencegah produksi urine lebih
untuk berkemih banyak saat istirahat
5. Ajarkan terapi modalitas 14. Mencegah komplikasi lebih lanjut
penguatan otot-otot panggul/
berkemihan
6. Anjurkan minum yang cukup, jika
tidak ada kontraindikasi
7. Anjurkan mengurangi minum
menjelang tidur
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat
supositoria uretra, jika perlu
2 Nyeri Akut Tupan : Nyeri akut  Manajemen Nyeri - Untuk mengidentifikasi lokasi,
teratasi Observasi : karakteristik,durasi,frekuensi,kual
1. Identifikasi lokasi, itas,intensitas nyeri
Tupen : Setelah karakteristik, durasi, - Untuk mengidentifikasi skala
dilakukan Tindakan frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
keperawatan selama nyeri - Untuk mengidentifikasi respon
3x24 jam diharapkan 2. Identifikasi skala nyeri nyeri non verbal
nyeri berkurang 3. Identifikasi respon nyeri non - Untuk mengidentifikasi factor
dengan kriteria hasil : verbal yang memperberat dan
1. Keluhan nyeri 4. Identifikasi faktor yang memperingan nyeri
menurun memperberat dan - Untuk memberikan Teknik
2. Meringis memperingan nyeri nonfarmakologis untuk
menurun 5. Identifikasi pengetahuan dan mengurangi rasa nyeri
3. Sikap protektif keyakinan tentang nyeri - Untuk memfasilitasi istirahat dan
menurun 6. Identifikasi pengaruh budaya tidur
4. Gelisah menurun terhadap respon nyeri - Untuk menjelaskan penyebab,
5. Kesulitan tidur 7. Identifikasi pengaruh nyeri periode dan pemicu nyeri
menurun pada kualitas hidup - Untuk menjelaskan strategi
6. Frekuensi nadi 8. Monitor keberhasilan terapi meredakan nyeri
membaik komplementer yang sudah - Agara dapat memonitor nyeri
diberikan secara mandiri
9. Monitor efek samping - Agar dapat berkolaborasi
penggunaan analgetik pemberian analgetik, jika perlu
Terapeutik :
1. Berikan Teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri
2. Kontrol lingkungan yang
memperbrat rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode
dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu.
V. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan fase tindakan dimana perawat
melaksanakan rencana keperawatan yang telah disusun
sebelumnya. Implementasi terdiri dari tindakan pelaksanaan dan
pendokumentasian kegiatan yang merupakan tindakan keperawatan
spesifik yang diperlukan untuk melaksanakan intervensi. Perawat
melakukan aktivitas keperawatan yang dikembangkan dari langkah
perencanaan dan kemudian menyimpulkan langkah implementasi
dengan mencatat aktivitas keperawatan serta respon pasien terhadap
tindakan yang telah diberikan (Berman, Snyder, & Frandsen, 2016).

VI. Evaluasi
Evaluasi adalah fase kelima dari proses keperawatan.
Dalam konteks ini, evaluasi adalah aktivitas terencana,
berkelanjutan yang tujuannya adalah menentukan kemajuan klien
dalam mencapai tujuan/hasil tertentu dan menilai efektivitas
rencana asuhan keperawatan. Evaluasi merupakan aspek penting
dari proses keperawatan karena kesimpulan yang diambil dari
evaluasi menentukan apakah intervensi keperawatan harus
dihentikan, dilanjutkan, atau diubah (Berman, Snyder, & Frandsen,
2016). Metode evaluasi yang akan digunakan pada kasus ini adalah
SOAP (S: Subjektif, O: Objektif, A: Analisis, P: Planning). Melalui
evaluasi, perawat menunjukkan tanggung jawab dan akuntabilitas
atas tindakan mereka, menunjukkan keberhasilan atas kegiatan
keperawatan dan menunjukkan rencana untuk tidak melanjutkan
tindakan yang tidak efektif yang kemudian digantikan dengan
tindakan yang lebih efektif (Berman, Snyder, & Frandsen, 2016)
DAFTAR PUSTAKA

Alimul Hidayat A.A., (2010). Metode Penelitian


KesehatanParadigmaKuantitatif, Jakarta: Heath Books

Andi Eka Pranata, Eko Prabowo, S.Kep,M.Kes. (2014). Asuhan


Keperawatan Sistem Perkemihan Edisi 1 Buku Ajar, Nuha
Medika:Yogyakarta.

Berman, A., Snyder, S.J., Frandsen, G. (2016). Kozier & Erb’s


Fundamentals ofNursing: Concepts, Process, and Practice (Tenth
Edition). New York:Pearson Education, Inc

Duarsa, G. W. K. (2020). Luts, Prostatitis, Bph Dan Kanker Prostat.


Airlangga University Press.

Eko Prabowo. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.


Yogyakarta: Nuha Medika

Lestari Tri Wiji, Ulfiana E, Suparmi. Kesehatan Reproduksi Berbasis


Kompetensi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2013.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan


Indonesia (SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

You might also like