You are on page 1of 4

BAB I

1. Latar Belakang

Gagal ginjal kronik atau chronic kidney disease (CKD) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal
(renal damage) berupa kelainan struktural atau fungsional yang terjadi lebih dari 3 bulan.
Fungsi ginjal pada pasien CKD tidak berfungsi dengan baik atau mengalami penurunan yang
tidak dapat dikembalikan seperti semula atau disebut irreversible sehingga membutuhkan
terapi pengganti ginjal tetap, yaitu dialisis atau bahkan transplantasi ginjal apabila telah
mencapai suatu derajat kerusakan ginjal tertentu.

Penderita penyakit gagal ginjal kronik ini sangat banyak dan cenderung meningkat dari tahun
ketahun berdasarkan hasil systematic review dan metaanalysis mendapatkan prevalensi secara
global gagal ginjal kronik sebesar 13,4% dari seluruh dunia (Hill et al, 2016). Angka kejadian
gagal ginjal kronik terus meningkat di indonesia dari tahun ke tahun. Jumlah pasien baru tahun
2016 gagal ginjal kronik di indonesia sebanyak 25.446 pasien, dan jumlah pasien aktif sebanyak
52.835 pasien, dan proporsi pasien gagal ginjal kronik mayoritas adalah stadium 5 yaitu 22.170
pasien atau 90% (Registry, 2016). Prevalensi gagal ginjal kronik di indonesia sebesar 3,8% atau
naik sebesar 1,8% dibandingkan tahun 2013, sedangkan prevalensi gagal ginjal menurut umur
65-71 tahun sebesar 0,823%, umur >75 tahun sebesar 0,748%, umur 55-64 tahun sebesar
0,564%, umur 34-44 tahun sebesar 0,331%, umur 25-34 sebesar 0,228% dan umur 15-24 tahun
sebesar 0,133% (Rikesdas, 2018).

Pada klien gagal ginjal kronik, salah satu tindakan untuk mempertahankan hidupnya adalah
dengan terapi hemodialisis. Hemodialisis adalah suatu proses yang digunakan pada pasien
dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek atau pasien dengan
penyakit gagal ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang atau
permanen (Smeltzer dan Bare, 2016). Klien harus mendatangi unit hemodialisis secara rutin 2-3
kali seminggu selama paling sedikit 3 atau 4 jam per kali terapi.

Pasien yang menjalani hemodialisis kronis beresiko memiliki banyak masalah, termasuk dalam
retensi garam dan air, retensi fosfat hiperparatiroidisme sekunder, hipertensi, anemia kronik,
hiperlipidemia dan penyakit jantung . Untuk mencapai penggobatan yang efektif maka pasien
hemodialisis harus mematuhi intervensi yang dianjurkan oleh tim medis . Salah satu intervensi
yang diberikan bagi penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis adalah pembatasan
asupan cairan dan Diit.

Pada klien gagal ginjal kronik apabila tidak mengontrol kesimbangan cairan maka cairan akan
menumpuk di dalam tubuh dan akan menimbulkan edema di sekitar tubuh seperti tangan, kaki
dan muka. Penumpukan cairan dapat terjadi di rongga perut disebut ascites (Smaltzer dan Bare,
2016). Kondisi ini akan membuat tekanan darah meningkat dan memperberat kerja jantung.
Penumpukan cairan juga akan masuk ke paru – paru sehingga membuat pasien mengalami
sesak nafas. Secara tidak langsung berat badan klien juga akan mengalami peningkatan berat
badan yang cukup tajam, mencapai lebih dari berat badan normal (0,5 kg /24 jam) yang
dianjurkan bagi klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa. Karena itulah
perlunya klien gagal ginjal kronik mengontrol dan membatasi jumlah asupan cairan yang masuk
dalam tubuh. Pembatasan asupan cairan penting agar klien yang menderita gagal ginjal tetap
merasa nyaman pada saat sebelum, selama dan sesudah terapi hemodialisis (YGDI, 2008).

Besarnya dampak yang ditimbulkan dari adanya overhidrasi terhadap pasien CKD membuat hal
ini harus diatasi dengan baik. Salah satu penatalaksanaan yang sering dilakukan di rumah sakit
untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan program pembatasan intake
cairan (Sulistyaningsih, 2011). Namun, pembatasan cairan seringkali sulit dilakukan oleh klien,
terutama jika mereka mengkonsumsi obat-obatan yang membuat membran mukosa kering
seperti diuretik, sehingga menyebabkan rasa haus dan klien berusaha untuk minum. Hal ini
karena dalam kondisi normal manusia tidak dapat bertahan lebih lama tanpa asupan cairan
dibandingkan dengan makanan (Potter & Perry, 2008). Untuk itu tenaga kesehatan berupaya
membuat berbagai intervensi agar pasien CKD mampu melakukan diit dan pembatasan asupan
cairan dengan mengurangi rasa haus yang berlebihan seperti mengulum es batu, berkumur
dengan air matang, berkumur dengan obat kumur.

2. Tujuan

Melakukan telaah jurnal untuk menelaah bagaimana perbedaan intervensi dalam upaya
pengurangan rasa haus yang berlebihan seperti mengulum es batu, berkumur dengan air
matang, berkumur dengan obat kumur pada pasien yang menjalani hemodialisis di RS Roemani
Muhammadiyah Semarang.

3. Manfaat

Telaah jurnal ini dapat dijadikan informasi untuk melihat efektifitas intervensi ”manajemen
rasa haus” dengan mengulum es batu, berkumur air matang dan berkumur dengan obat kumur
terhadap kemampuan pengendalian intake cairan tubuh melalui pengendalian rasa haus.
Dapus

Yayasan Ginjal Diatras Indonesia. (2008). Program JPK Gakin

Rikesdas. (2018). Riset Kesehatan Dasar 2018. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI

Hill et al. (2016). Global Prevalence of Chronic Kidney Disease – A systematic Review and Meta-
Analysis. Plos One, 11(7) e0158765. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0158765
Registry, T. I. R. (2016). 9th Report Of Indonesian Renal Registry 2016) (p.46). p. 46. Jakarta :
Indonesia Renal Registry

Smeltzer & Bare. (2016). Keperawatan medical-bedah Brunner & Suddarth edisi 12. Jakarta:
EGC

Potter & Perry. (2006). Buku ajar fundamental keperawatan.Jakarta: EGC.

Sulistyaningsih. (2011). Metodologi penelitian kebidanan kuantitatif-kualitatif. Edisi I.


Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.

You might also like