You are on page 1of 8

Kanker

Imunitas
Eliminasi

Sel T, Sel B, Sel NK, Sel


NKT, Sel T CD8+, Sel T 𝛾𝛿

Kanker Imunitas Ekuilibrium

Sel kanker
Kanker
Ekspresi MHC yang mengalami
Menetap penurunan regulasi; ekspresi PD-L1
yang mengalami peningkatan

Imunitas Lolos/Lepas Metastasis

Kanker

GAMBAR 2: Proses imunoediting (pembentukan kekebalan terhadap kanker). Ada tiga fase
dalam proses imunoediting kanker: eliminasi, ekuilibrium, dan pelepasan. Fase eliminasi
melibatkan fungsi efektor dari sel-sel kekebalan tubuh yang menyerang dan melawan kanker.
Pada fase ekuilibrium, terdapat keseimbangan antara progresivitas kanker dan eliminasi
kanker oleh sistem imun. Jika kanker terus berlanjut, maka kanker akan mengalahkan sistem
kekebalan tubuh dan lolos/lepas untuk terus berkembang dan bermetastasis ke organ-organ
lain.

Pada fase ekuilibrium, respons imun masih aktif melawan tumor; sel-sel imun membantu
mengatur dan mengendalikan pertumbuhan atau metastasis kanker sambil menjaganya
tetap dalam kondisi dorman laten. Fase ekuilibrium dianggap sebagai fase terpanjang dalam
proses imunoediting. Terlepas dari sejumlah titik kontrol yang dimediasi oleh sistem
kekebalan tubuh, heterogenitas dan variasi genetik pada kanker memungkinkan sel kanker
memperoleh kemampuan untuk menghindari kekebalan tubuh dan lolos dari fase
ekuilibrium sehingga dapat berkembang dan berdampak buruk bagi tubuh pasien. Fase
escape/lolos ini dimediasi melalui beberapa mekanisme imunosupresif, salah satunya
termasuk penurunan regulasi atau ekspresi MHC kelas I yang abnormal pada permukaan sel
kanker yang melindunginya dari fungsi efektor sitotoksik sel imun dari kekebalan bawaan
dan adaptif (Gambar 2). Berbagai mekanisme seperti penekanan ekspresi antigen tumor,
induksi jalur antiapoptosis untuk mencegah sitotoksisitas, dan imunosupresi yang diinduksi
kanker membantu lolosnya sel kanker dari fase eliminasi dan keseimbangan imunitas. Secara
khusus, lolosnya sel kanker dari imunitas dan mekanisme yang terlibat dalam proses lolosnya
sel kanker inilah yang menjadi penggerak utama penelitian yang berfokus pada paradigma
onkologi imun. Memperoleh pemahaman rinci tentang proses imunoediting pada kanker
akan sangat bermanfaat bagi pengembangan imunoterapi untuk pengobatan kanker
kedepannya.

7. Pengobatan Akurat

Pengobatan yang akurat, sebuah pendekatan baru dalam terapi yang spesifik bagi pasien,
merevolusi keluaran klinis dan standar perawatan. Oleh karena itu, dalam upaya untuk
mengobati berbagai jenis kanker, kemajuan ilmiah telah dibuat untuk mengembangkan
terapi yang memanfaatkan sistem kekebalan tubuh. Jenis pengobatan kanker spesifik yang
berfokus pada pemanfaatan imunitas bawaan dan adaptif ini disebut sebagai imunoterapi
kanker. Karena pergeseran paradigma dalam layanan kesehatan yang berfokus pada
pengobatan yang akurat, lebih banyak upaya dilakukan untuk mengembangkan pengobatan
yang disesuaikan dengan imunoterapi terhadap pasien kanker secara individual. Imunoterapi
kanker ini dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori yang berbeda: vaksin, antibodi
monoklonal, sitokin rekombinan, molekul kecil, dan sel T autologus. Lokasi, jenis, dan
stadium kanker tertentu menentukan jenis terapi yang paling sesuai untuk pasien.

Beberapa imunoterapi yang disetujui FDA dan uji klinis telah dikembangkan untuk
mengobati berbagai bentuk kanker. Meskipun tingkat keberhasilan awal terapi ini cukup
menjanjikan, sebagian besar pasien mengalami kekambuhan. Hal ini dapat dikaitkan dengan
berbagai faktor yang membedakan setiap pasien seperti usia, jenis kelamin, rejimen
kemoterapi, dan lokasi/jenis kanker, yang semuanya memainkan peran fungsional dalam
genomik kanker dan menjadi dasar bagi pengobatan yang akurat. Kanker-kanker ini memiliki
subset mutasi genetik yang dapat menghasilkan karakteristik molekuler yang berbeda,
sehingga memunculkan kemungkinan biomarker prediktif sebagai terapi yang potensial.
Menariknya, dalam bidang genomik kanker, istilah "mutasi genetik" tidak hanya terbatas
pada tumor/kanker primer. Sebaliknya, "mutasi genetik" mencakup mutasi gen yang
mungkin berbeda antara kanker primer dan kanker relaps, kanker primer dan kanker
metastasis, serta mutasi genetik yang diinduksi oleh terapi pada pasien kanker. Semua faktor
ini dapat berkontribusi terhadap resistensi pasien terhadap pengobatan antikanker dan/atau
kekambuhannya.

Mengidentifikasi mutasi genetik semacam itu dapat menghasilkan identifikasi tanda-tanda


molekuler imun prediktif atau biomarker imun (neoantigen spesifik kanker) di antara
masing-masing pasien kanker yang merupakan langkah penting dalam mengembangkan
imunoterapi spesifik bagi pasien. Menariknya, dengan mengevaluasi mutasi genetik spesifik,
faktor penentu penyebab kanker yang spesifik pada pasien dapat diidentifikasi dan diobati
dengan tepat.

Hingga saat ini, beberapa imunoterapi telah dikembangkan untuk mengobati kanker.
Meskipun beberapa pengobatan sudah ada di pasaran atau telah disetujui untuk uji coba
fase klinis, melalui penggunaan teknologi sekuensing beruntun, beberapa mutasi genetik
dapat diidentifikasi untuk mengembangkan pengobatan yang bersifat khusus, hal ini
menyoroti pentingnya memaksimalkan terapi agen tunggal versus terapi kombinasi dalam
rencana pengobatan kanker yang bersifat spesifik.

Bagian selanjutnya dalam ulasan ini berfokus pada imunoterapi yang tersedia untuk
berbagai jenis kanker. Namun, penting untuk dicatat bahwa melalui pengobatan secara
akurat (precision medicine), kemanjuran imunoterapi dan hasil klinis terkait kanker dapat
ditingkatkan dengan mengidentifikasi dan menargetkan antigen tumor yang spesifik untuk
pasien.

8. Imunoterapi

Berbagai jenis kanker memiliki pencetus unik yang menyebabkan mereka lolos dari respons
imun sehingga membuat mereka lebih resisten terhadap kekebalan tubuh. Oleh karena itu,
dalam upaya untuk mengobati berbagai bentuk kanker, kemajuan ilmiah telah dibuat untuk
mengembangkan terapi yang memanfaatkan sistem kekebalan tubuh. Jenis pengobatan
spesifik yang berfokus pada pemanfaatan imunitas bawaan dan adaptif dalam onkologi
disebut sebagai imunoterapi kanker. Imunoterapi kanker dapat dikelompokkan ke dalam
beberapa kategori yang berbeda: vaksin, antibodi monoklonal, sitokin rekombinan, molekul
kecil, dan sel T autologus. Tergantung pada lokasi, jenis kanker, dan stadium kanker tertentu,
jenis terapi yang paling sesuai untuk pasien akan disesuaikan.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) telah menyetujui pemberian
Provenge pada bulan April 2010 sebagai vaksinasi kanker terapeutik untuk kanker prostat
stadium lanjut. Ini merupakan bentuk imunoterapi seluler autologus yang terdiri dari sel
mononuklear darah tepi, faktor perangsang koloni makrofag granulosit sitokin (GM-CSF),
dan imunosurveilans antigen tumor-prostatic acid phosphatase (PAP). Mekanisme kerjanya
melibatkan pengambilan PAP oleh APC yang dihantarkan ke sel T untuk aktivasi, diferensiasi,
dan inisiasi fungsi efektornya. GM-CSF digunakan untuk membantu menstimulasi
pertumbuhan APC seperti makrofag. Beberapa jenis kanker, seperti kanker serviks, muncul
dari onkovirus seperti human papilloma virus (HPV); oleh karena itu, vaksinasi terhadap
onkovirus ini tidak dapat diklasifikasikan secara tepat sebagai vaksin untuk mengobati
kanker.

Antibodi monoklonal juga digunakan sebagai imunoterapi kanker. Pada bulan Maret 2011,
Ipilimumab disetujui FDA sebagai obat untuk menangani melanoma metastasis (kanker kulit
ganas). Ini adalah antibodi monoklonal yang menargetkan CTLA4 pada sel T; dengan
demikian menghambat efek penekanan CTLA4 pada sel T dan memungkinkan aktivasi sel T
untuk respons imun terhadap kanker tertentu (Gambar 3). Khususnya, Ipilimumab juga
diketahui menghambat fungsi imunosupresif Treg. Demikian pula, antibodi monoklonal IgG4
terhadap PD-1 (Keytruda) telah tersedia di pasaran untuk pengobatan pasien melanoma
(Gambar 3). PD-1 diekspresikan pada sel T dan berperan dalam supresi imun dengan
menekan aktivasi sel T. Namun, pengobatan dengan Keytruda mencegah efek
penghambatan PD-1 pada sel T, sehingga memungkinkan aktivasi sel T dan respons imun
terhadap melanoma. Begitu pula, Nivolumab adalah antibodi monoklonal IgG4 yang
disetujui FDA yang menargetkan anti-PD1 pada pasien melanoma dan kanker paru-paru
skuamosa non-small cell.

Antibodi ini berfungsi dengan cara yang sama seperti Keytruda. Kedua imunoterapi anti-PD1
ini juga dapat mendorong terjadinya ADCC dan mengakibatkan kematian sel kanker. Dalam
beberapa tahun terakhir, perusahaan bioteknologi seperti Genentech telah berupaya
mengembangkan antibodi monoklonal potensial terhadap ligan untuk PD-1, PD-L1, sebagai
mekanisme lain untuk mengaktifkan respons imun yang diperantarai oleh sel T dan
menghambat mekanisme penekan imun PD-1 pada kanker tertentu. Ada juga antibodi
monoklonal yang terkonjugasi dengan obat kemoterapi atau partikel radioaktif. Zevalin®
adalah antibodi monoklonal radiolabeled Yttirum-90 yang terdiri dari Rituximab yang
menargetkan CD20 untuk aktivasi sel B dan digunakan dalam pengobatan untuk Limfoma
non-Hodgkin (Gambar 3). Menariknya, imunoterapi antibodi monoklonal yang menargetkan
dua protein berbeda secara bersamaan juga telah dikembangkan dan disetujui oleh FDA.
Obat ini dikenal sebagai Blincyto dan merupakan antibodi monoklonal di mana satu bagian
menempel pada CD19 pada sel B dan bagian lain dari antibodi menempel pada CD3 pada sel
T untuk aktivasi sel T. Penanda permukaan sel CD19 berkumpul menjadi satu kompleks
dengan penanda lain seperti CD81 dan CD21 (reseptor komplemen) untuk menurunkan
ambang batas aktivasi sel B. Dengan cara ini, sel T normal dapat mengenali dan memediasi
sitotoksisitas pada sel B kanker dalam upaya untuk menghancurkannya. Imunoterapi
menggunakan antibodi monoklonal yang menargetkan modulator imun spesifik atau antigen
spesifik tumor membantu mengeksploitasi sistem kekebalan tubuh individu untuk
mengobati kanker tertentu.

Pendekatan imunoterapi lain untuk pengobatan kanker melibatkan penggunaan sitokin


rekombinan atau molekul kecil. Sebagai contoh, Proleukin adalah sitokin IL-2 rekombinan
yang disetujui FDA untuk pengobatan kanker ginjal dan pasien melanoma (Gambar 3).
Mekanisme kerja ini berpusat pada kemampuan IL-2 untuk mendorong aktivasi sel T dan
aktivasi sel kekebalan lainnya (limfosit) yang mengekspresikan reseptor IL-2. Melalui
pengobatan Proleukin, sistem kekebalan tubuh diaktifkan dan membantu
mengendalikan/membunuh sel kanker. Salah satu anggota dari keluarga sitokin IFN, IFN-𝛼2b,
dan IFN-𝛼2b yang terpigilasi (Sylatron) telah disetujui oleh FDA untuk pengobatan sebagai
bahan tambahan terapi pada pasien melanoma yang direseksi. Sylatron terdiri dari IFN-𝛼2b
yang dikonjugasikan ke polietilen glikol. Polietilen glikol mengurangi imunogenisitas IFN-𝛼2b
dengan cara menyembunyikannya dari sistem kekebalan tubuh hingga mencapai target.
Sitokin IFN-𝛼 dilaporkan sebagai anti inflamasi pada kanker dengan menekan proliferasi sel,
melalui induksi gen penekan tumor dan penurunan regulasi onkogen, serta dengan
meningkatkan ekspresi MHC kelas I sebagai respon imun. G-CSF rekombinan, yang dikenal
sebagai Filgrastim, juga telah disetujui dan dipasarkan untuk mengobati neutropenia pada
pasien dengan bentuk leukemia tertentu (Gambar 3). G-CSF rekombinan manusia dapat
berikatan dengan reseptor yang sesuai pada sel progenitor neutrofil untuk menstimulasi
diferensiasi dan pematangan neutrofil. Peningkatan produksi neutrofil dapat membantu
dalam pengobatan kanker dengan memediasi efek sitotoksik pada sel kanker,
memfagositosis sel kanker, dan dengan mengeluarkan sitokin yang menarik sel imun lain ke
situs peradangan. Namun, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, neutrofil memiliki
fungsi ganda dalam patogenesis kanker dan dapat berperan dalam metastasis kanker. Oleh
karena itu, Filgrastim harus digunakan bersama dengan imunoterapi antikanker lainnya.
Leukine, GM-CSF rekombinan, disetujui oleh FDA (Gambar 3) dan fungsinya mirip dengan
Filgrastim. Namun, karena ini juga berfungsi sebagai faktor perangsang koloni makrofag, ini
membantu meningkatkan sel mieloid (leukosit apa pun yang bukan sel B atau T) pada pasien
leukemia, serta pada individu dengan transplantasi sumsum tulang.

Penggunaan molekul kecil dalam pengobatan kanker sebagai imunoterapi juga telah
meningkat. Plerixafor adalah antagonis molekul kecil yang menghambat interaksi pengikatan
faktor turunan sel stroma-1 (SDF-1) dengan reseptor kemokin, CXCR4. Hal ini dapat
mencegah metastasis kanker dan meningkatkan mobilisasi sel punca hematopoietik pada
pasien kanker, terutama pada pasien adenokarsinoma duktus pankreas. Interaksi SDF-1
dengan CXCR4 memediasi fungsi-fungsi seperti menarik limfosit dalam kondisi tertentu dan
memiliki fungsi penting untuk mengarahkan sel punca hematopoietik ke sumsum tulang.
Untuk pengobatan karsinoma sel basal, Imiquimod, agonis molekul kecil untuk TLR7 pada sel
dendritik dan makrofag, telah digunakan (Gambar 3). Aktivasi TLR7 yang dimediasi oleh
Imiquimod menginduksi sekresi sitokin proinflamasi, menekan Treg, dan menginduksi
aktivasi sel NK yang dimediasi oleh sel Th1 untuk membasmi sel kanker.

Imiquimod
Berefek pada aktivasi Aktivasi Sel B
sistem imun

Ipilimumab
Berefek pada aktivasi Keytruda
sistem imun Berefek pada aktivasi
sistem imun

Proleukin
Berefek pada aktivasi
sel T

Leukin (GM-CSF)
Menstimulasi pematangan/diferensiasi
sel neutrofil/myeloid

Filgrastim (G-CSF)
Menstimulasi pematangan/diferensiasi sel
neutrofil
GAMBAR 3: Imunoterapi pada kanker. Beberapa imunoterapi yang disetujui FDA telah
tersedia di pasaran untuk mencegah atau mengendalikan perkembangan kanker. Pada APC
(seperti sel B), antibodi monoklonal yang menargetkan CD20 (Rituximab) menghasilkan
penurunan regulasi aktivitas sel B. Sel penyaji antigen lainnya (makrofag dan sel dendritik)
juga diaktifkan oleh Imiquimod, agonis molekul kecil untuk TLR7. Untuk aktivasi sel T,
Keytruda (antibodi monoklonal yang menargetkan interaksi PD-L1- PD-1) dan Ipilimumab
(antibodi terhadap CTLA4) telah disetujui dan digunakan secara klinis. Sitokin rekombinan
seperti Proleukin (IL-2), Leukine (GM-CSF), dan Filgrastim (G-CSF) disetujui untuk
stimulasi/aktivasi sel T, sel mieloid, dan neutrofil.

Imunoterapi kanker terbaru melibatkan pemanfaatan sel imun pasien kanker (seperti sel T)
yang dikumpulkan, diubah secara genetik, diperbanyak untuk meningkatkan jumlah sel, dan
ditransfer kembali ke pasien. Bentuk imunoterapi kanker yang inovatif ini dikenal sebagai
transfer sel T adopsi. Perubahan (melalui transfer gen retroviral) sel T autologus sebelum
ditransfer kembali ke pasien berasal dari konsep reseptor antigen chimeric (CAR) pada sel T
(sel CAR-T). Sel CAR-T terdiri dari sejumlah bagian yang bervariasi untuk mengidentifikasi
berbagai antigen dan memiliki berbagai komponen pensinyalan sel T hilir (intraseluler).
Meskipun belum ada imunoterapi sel CAR-T yang disetujui FDA yang ada di pasaran, uji klinis
telah menguji terapi sel CAR-T di mana CAR mengenali CD19 pada sel B pada pasien limfoma
sel B. Perawatan lainnya yang umum dilakukan untuk pasien kanker adalah dengan
menggunakan kemoterapi dan/atau terapi radiasi. Kemoterapi menggunakan agen yang
bersifat sitotoksik terhadap sel kanker yang berproliferasi dengan cepat, tetapi tergantung
pada rejimen yang digunakan, dapat juga bersifat toksik terhadap sel hematopoietik dalam
sumsum tulang, sedangkan terapi radiasi mengeksploitasi radiasi pengion untuk membunuh
sel kanker dengan cara merusak DNA-nya. Namun, hal ini juga merusak sel-sel sehat normal
di sekitarnya. Pada keganasan kanker hematologi seperti leukemia atau kerusakan yang
terjadi pada sumsum tulang akibat terapi kemoterapi/radiasi, transplantasi sumsum tulang
juga umumnya dilakukan. Meskipun bagian ini berfokus pada berbagai bentuk imunoterapi
kanker sebagai terapi individual, faktanya, imunoterapi kanker ini dapat bekerja lebih efektif
jika digunakan secara kombinasi. Saat ini, pasien kanker dirawat dengan rejimen terapi yang
mencakup kemoterapi/terapi radiasi bersama dengan obat spesifik yang dapat
memengaruhi berbagai faktor dalam perkembangan kanker seperti respons imun, kerusakan
DNA, atau faktor pertumbuhan. Yang menarik, ada juga ketertarikan untuk mencoba
menggabungkan imunoterapi, karena konsep kanker yang " melepaskan diri" dari respons
imun selama proses imunoediting. Wolchok melakukan uji coba fase I di mana imunoterapi
Ipilimumab (anti-CTLA4) ditambah Nivolumab (anti-PD1) digunakan bersama untuk pasien
melanoma stadium lanjut. Ipilimumab mendorong aktivasi dan priming sel T dan Nivolumab
mencegah interaksi PD-L1 dengan PD-1 pada sel kanker. Melalui penelitian ini, Wolchok dan
rekannya mengkonfirmasi bahwa efek, kemanjuran, dan luaran target Ipilimumab lebih baik
bila diberikan secara bersamaan dengan Nivolumab. Penelitian-penelitian ini telah
memberikan dasar untuk menilai kombinasi imunoterapi potensial lainnya yang digunakan
bersamaan dengan kemoterapi/terapi radiasi untuk meningkatkan angka survival pasien
kanker.

9. Perspektif Mendatang/Kesimpulan

Peran aktif sistem kekebalan tubuh dalam onkogenesis telah diketahui selama lebih dari satu
abad. Namun, karena heterogenitas kanker dan respons imun yang berbeda sehingga dapat
teraktivasi, bidang onkologi imun terus berkembang. Dalam beberapa dekade terakhir,
sejumlah kemajuan ilmiah telah dicapai yang meningkatkan pemahaman kita tentang
berbagai mekanisme kekebalan yang berkontribusi terhadap patogenesis kanker. Selain itu,
identifikasi biomarker imun berpotensi dimanfaatkan sebagai imunoterapi kanker.
Sementara itu, ada beberapa bentuk imunoterapi yang telah disetujui oleh FDA atau telah
memasuki tahap awal uji klinis, namun ada juga bentuk imunoterapi lain yang masih sebatas
konsep. Penelitian yang melibatkan paradigma imunologi telah menunjukkan beberapa
upaya untuk menerapkan beberapa imunoterapi konseptual ini ke dalam pengobatan untuk
pasien. Sebagai contoh, selain CTLA4 dan PD-1, antibodi antagonis lainnya dapat
dikembangkan untuk menargetkan reseptor imunomodulator lain pada permukaan sel T
yang menghambat fungsinya seperti antibodi terhadap LAG-3, VISTA, dan BTLA. Ketiga
reseptor ini bersifat represif terhadap fungsi sel T; oleh karena itu, pengembangan anti-bodi
yang menargetkan dan memblokir reseptor imunosupresif pada sel T akan menghasilkan
aktivasi sel T yang optimal dan respon imun terhadap kanker. Sementara itu, sel T juga
memiliki reseptor pengaktif seperti CD28, OX40, dan GITR yang dapat ditargetkan dengan
antibodi agonis untuk meningkatkan aktivasi sel T. Selain itu, ketertarikan pada inhibitor
molekul kecil untuk mengintervensi secara farmakologis dan memblokir imunosupresi juga
muncul sebagai kekuatan pendorong lain dalam imunoterapi kanker. Saat ini, uji klinis fase II
sedang dilakukan dengan menggunakan inhibitor kecil terhadap IDO pada melanoma
metastatik. IDO adalah dioksigenase yang mengandung heme yang diekspresikan oleh APC
dan diregulasi dalam tumor/sel kanker. IDO memediasi konversi triptofan menjadi
kynurenine dan berperan dalam supresi imun selama patogenesis kanker, dengan
menginduksi diferensiasi Treg. Dengan demikian, dengan menghambat IDO, Tregs tidak
terinduksi, sehingga menghasilkan aktivasi respons imun. Inhibitor molekul kecil yang
menargetkan reseptor kemokin atau jalur adenosin juga sedang diselidiki untuk imunoterapi
kanker karena kemampuannya untuk menarik atau mengaktifkan makrofag yang terkait
dengan jaringan (TAM). TAM ini dapat mendorong perkembangan kanker atau tumor melalui
angiogenesis dan pembentukan neovaskularisasi.

Terlepas dari kemajuan yang telah dicapai di bidang ini, salah satu tantangan besar yang
masih ada adalah memahami bagaimana imuno-onkologi dan imunoterapi kanker berbeda
pada orang dewasa dan anak-anak. Meskipun penelitian yang melibatkan peran sistem
kekebalan tubuh pada kanker anak terus meningkat, pengembangan obat dan imunoterapi
kanker untuk anak-anak yang didiagnosis menderita kanker secara signifikan tertinggal jika
dibandingkan dengan pengobatan kanker pada orang dewasa. Dikarenakan variabilitas yang
terkait dengan jenis kanker, lokasi kanker, dan komposisi sel imun yang agak berbeda pada
orang dewasa dan anak-anak, maka penting untuk menjelaskan perbedaan sel imun agar
dapat memilih imunoterapi kanker yang tepat bagi pasien yang spesifik. Demikian pula,
semakin jelas bahwa meskipun dua orang dari kelompok usia yang sama (dewasa atau anak-
anak) didiagnosis dengan jenis kanker yang sama, jenis respons imun yang
mengendalikan/memicu kanker dan jenis imunoterapi untuk mengobati kanker masih dapat
berbeda di antara kedua orang tersebut. Variabilitas dalam patogenesis dan pengobatan
kanker antar individu ini dapat dikaitkan dengan faktor-faktor seperti polimorfisme genetik
yang berbeda dalam mengatur proses imunoediting yang terlibat dalam patogenesis kanker,
serta berbeda dalam menentukan efikasi berbagai imunoterapi kanker. Oleh karena itu,
batas selanjutnya dalam imunoonkologi akan difokuskan pada pengembangan imunoterapi
kanker yang dipersonalisasi yang disesuaikan dengan masing-masing pasien.

Persaingan Kepentingan

Para penulis menyatakan bahwa tidak ada konflik kepentingan terkait publikasi penelitian ini.

You might also like