Professional Documents
Culture Documents
3664 8757 1 SM
3664 8757 1 SM
PROSIDING SEMINAR
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (SENASBASA)
http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA
Syamsul Arifin2
syamsul.frahman67@gmail.com; syamsarifin@umm.ac.id
Wabah Covid-19 telah mendatangkan akibat buruk, nyaris pada semua sendi kehidupan
dengan tingkat kerugian yang besar pula. Semula hanya dalam hitungan jari orang yang
dinyatakan terpapar Covid-19, awal Maret lalu. Pada hari-hari berikutnya terjadi
kenaikan secara signifikan. Diperkirakan tren penyebaran Covid-19 masih akan tetap
meninggi, setidaknya jika mempertimbangkan tiga hal. Pertama Covid-19 memiliki daya
sebar dan penularan antarmanusia yang begitu cepat. Kedua, tingkat kedisiplinan dalam
menegakkan protokol pencegahan Covid-19 di masyarakat terutama yang terkait dengan
pembatasan mobilitas orang dan menjaga jarak fisik (physical distancing) serta
penggunaan masker secara benar. Ketiga, belum ditemukan vaksin yang terbukti ampuh
untuk menguatkan daya tahan tubuh dari terpaan Covid-19.
Karena penyebaran wabah Covid-19 sedemikian cepat dengan tingkat fatalitas
kasus (case fatality rate) yang tidak bisa dianggap enteng, maka di samping ada himbauan
juga terbit ketentuan yang mengatur mobilitas orang secara ketat agar tidak terjadi
pertemuan dan kerumunan. Maka dalam dua bulan terakhir ini setelah Indonesia pada
gilirannya terpapar pandemi Covid-19, publik diminta melakukan social distancing dan
physical distancing.
Pengaturan mobilitas orang tak pelak berdampak pada perekonomian yang
menjadi penggerak utama aktivitas manusia dalam memenuhi hajat yang paling
mendasar. Padahal manusia seperti diulas filsuf dan tokoh psikoanalisis, Erich Fromm
(1968), senantiasa dihadapkan pada persoalan survival, bahkan hingga ke tahapan trans-
survival jika kebutuhan yang paling pokok berupa pangan, sandang, dan papan bisa
diraih. Jika hal yang paling pokok (survival) tidak bisa diraih, masih menurut Erich
1 Sebagai pengantar dialog pada Seminar Nasional: Bahasa, Sastera, dan Pembelajarannya di Masa
Pandemi”, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Malang Bekerja
Sama dengan Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (HISKI) Pusat, Rabu, 28 Oktober 2020. Paper
ini—kecuali bagian Wajah Kemanusiaan—dikompilasi dari artikel penulis yang dimuat di beberapa media
massa seperti Republika, Jawa Pos, dan Suara Muhammadiyah.
2 Syamsul Arifin, Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Pengembangan al-Islam-Kemuhammadiyahan
(AIK)&Guru Besar Sosiologi Agama Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Malang.
3 Belum dipublikasi.
1
Fromm (1973), manusia bisa bertindak secara agresif yang cenderung merusak tidak
hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain.
Aktivitas perekonomian yang sebagian besar meniscayakan interaksi secara fisik
yang melibatkan banyak orang, tentu berpotensi mempercepat penyebaran Covid-19 jika
tidak diatur dengan menerapkan physical distancing. Masalahnya penerapan ketentuan
yang membatasi mobilitas manusia ini mulai menghempaskan dunia usaha yang
mengancam jutaan pekerja. Bila pekerjaan hilang, berarti menganggu pencapaian
survival yang bisa mendorong munculnya tindakan agresif.
Masalah Kemanusiaan
Pada kenyataannya, hanya dalam waktu yang tidak terlalu lama, setidaknya
terhitung sejak awal Maret, efek ganda (multiplier effect) menyusul munculnya wabah
Covid-19 tidak hanya menyasar bidang kesehatan dan ekonomi, tetapi juga lainnya yang
menuntut kita memikirkan mitigasi risiko supaya tidak menimbulkan kerugian yang
lebih besar.
Salah satu efek ganda setelah merebaknya wabah Covid-19 adalah munculnya
ketakutan secara berlebihan terhadap orang yang dikaikan dengan wabah Covid-19, baik
karena sebagai petugas medis, pasien yang positif terpapar, bahkan hingga kepada pasien
yang pada akhirnya tidak tertolong jiwanya yang kemudian terkadang menimbulkan
penolakan dari sekelompok warga yang khawatir tertular wabah Covid-19 dari jenazah.
Karena itu boleh dikatakan, penyebaran wabah Covid-19 telah menghadirkan
persoalan kemanusiaan. Kecemasan (anxiety) dan ketakutan secara berlebihan, lalu pada
gilirannya menggerus aspek etis kita dalam menghargai dan memuliakan manusia,
adalah persoalan kemanusiaan yang mulai tampak begitu nyata di era wabah Covid-19
saat ini.
Dimensi Teologis
Manusia dalam kondisi apa pun ingin memeroleh penghargaan dan kemuliaan.
Kesadaran eksistensial yang paling primitif ini terutama karena mempertimbangkan
muasal manusia yang dalam telaah filsafat disebut dengan ultimate cause, alih-alih
proximate cause. Manusia ada dalam kosmos ini bukan semata karena penyebab terdekat
(proximate cause), hanya melalui proses biologis semata dari orang tua, tetapi perlu kita
tarik lebih ke belakang yang menjadi muasal semua ciptaan (ultimate cause) atau yang
disebut juga penyebab tertinggi (supreme cause), yaitu Tuhan, setidaknya begitu yang
menjadi keyakinan kalangan teistik.
Dalam ajaran Kristiani terdapat konsep imago dei yang ingin memberikan
penekanan kemuliaan manusia karena keterciptaan manusia pada dasarnya merupakan
gambaran dan rupa Tuhan. Islam juga memberikan apresiasi yang sama kepada manusia
antara lain melalui konsep ahsanu taqwin, bahwa kualitas penciptaan manusia lebih
unggul apabila dibandingkan dengan kualitas penciptaan makhluk lainnya. Maka sebagai
kelanjutan dari konsep ini, manusia dalam pandangan Islam merupakan khalifah yang
berarti antara lain sebagai wakil Tuhan di muka bumi.
Kemuliaan manusia bisa terwujud karena dua hal. Pertama karena dilakukan oleh
individu sendiri dengan menjalankan aktivitas yang memiliki implikasi kebaikan
terhadap dirinya dan pihak lain. Bekerja merupakan cara yang ditempuh oleh manusia
untuk memuliakan dirinya. Salah seorang filsuf dan teoritikus sosial klasik, Karl Marx,
menaruh perhatian terhadap makna kerja ini yang dipandangnya sebagai cara yang
dilakukan manusia dalam mewujudkan hakikat kemanusiaannya.
2
Dengan mengambil contoh bekerja sebagai salah satu cara yang ditempuh
manusia untuk memeroleh kemulian dirinya, lalu yang menjadi pertanyaan: Bagaimana
jika manusia secara tiba-tiba kehilangan pekerjaan sebagaimana yang dialami banyak
orang saat ini menyusul badai wabah Covid-19? Maka di sinilah pentingnya hal yang
kedua, pihak di luar individu harus tetap menjamin kemulian tersebut.
Kehadiran Negara
Tentu pihak yang paling bertanggung jawab menjamin kemuliaan tersebut adalah
negara. Dalam keadaan warga kehilangan pekerjaan, negara dituntut memenuhi hak
asasi warganya untuk mendapatkan jaminan/perlindungan sosial dengan cara
menyediakan kebutuhan dasar atau pokok mereka. Pemenuhan ini juga harus dipastikan
terwujud ketika di beberapa wilayah diterapkan Pembatasan Sosial Bersakala Besar
(PSBB).
Penting dipertegas pula, yang harus hadir untuk mewujudkan pemenuhan
tersebut adalah negara sebagai istitusi, bukan secara perorangan yang dilakukan secara
sporadis sebagian bagian dari praktik populisme dengan maksud sekedar mendapatkan
citra sebagai pemimpin yang populis di tengah badai wabah Covid-19.
Negara juga harus menjamin keterwujudan kemerdekaan dari rasa takut (freedom
from fear). Konteks kebebasan dari rasa takut yang dikemukakan oleh Franklin D.
Rossevelt di hahadapan parlemen Amerika Serikat pada 6 Januari 1941 sebagai salah satu
bagian dari tiga kebebesan esensial lainnya, yaitu kebebasan berpendapat (freedom of
speech), kebebasan beribadah (freedom of worship), kebebasan dari kekurangan dan
kemiskinan (freedom of want), memang memiliki perbedaan, tetapi tetap relevan dirujuk
karena warga sedang berada dalam ketakutan menghadapi badai wabah Covid-19.
Ketakutan tersebut terlihat antara lain pada merebaknya stigmatisasi terhadap
mereka yang terkait dengan wabah Covid-19 baik karena sebagai tenaga medis, pasien
yang dinyatakan positif terkena wabah Covid-19, bahkan kepada pasien yang meninggal
dunia. Munculnya ketakutan menjadi petunjuk penting agar negara harus terus hadir
memberikan edukasi kepada warga disertai jaminan pelaksanaan protokol penanganan
wabah Covid-19 agar yang lain tidak terpapar.
3
Naisbitt dengan high tech. Tetapi sebagaimana judul bukunya yang pertama kali terbit
pada 1983, High Tech/High Touch: Technology and Our Search for Meaning, maka
“sentuhan yang tinggi” terhadap smartphone, masih menurut peserta dari Iceland itu,
harus lebih dioptimalkan kemaslahatannya di ruang kelas.
Ketiga, inilah target yang disasar dalam pertemuan The First MOCAT Project
Meeting itu, bagaimana tim yang bergabung proyek MOCAT yang terdiri dari 8 perguruan
tinggi dari Kenya, Turki, Iceland, Georgia, Itali, Polandia, dan Indonesia (Universitas
Muhammadiyah Malang), mampu mengembangkan suatu produk yang mampu
mendongkrak kompetensi dosen dalam menggunakan teknologi informasi yang turut
mendongkrak pula kualitas mahasiswa.
Keniscayaan Perubahan
Seturut dengan makna denotatif pada kata revolusi, yakni perubahan yang
mendadak dan radikal (abrupt and radical change) seperti diulas Klaus Schwab dalam
The Fourth Industrial Revolution (2017), internet yang sudah berkembang, pada revolusi
era sekarang, masih merujuk pada Schwab, bisa dimanfaatkan lagi lebih mudah di
berbagai tempat karena sudah berkembang menjadi mobile internet dengan harga yang
lebih murah, dan dengannya pula, berkembang kecerdasan buatan atau artificial
intelligent. Karena karakteristiknya yang demikian, Schwab dalam buku terbarunya,
Shaping the Future of the Fourth Industrial Revolution (2018) revolusi industri 4.0
merupakan bab baru (a new chapter) dalam perkembangan kehidupan manusia.
Bermula sejak 1760 hingga 1840 yang disebut dengan revolusi industri 1.0, terus
berkembang ke fase berikutnya, revolusi industri 2.0 yang dimulai pada akhir abad ke-
19 sampai awal abad ke-20, lalu muncul revolusi industri 3.0 pada 1960-an hingga
puncaknya pada 1990-an yang ditandai dengan kemajuan internet, dan tahap selanjutnya
yang sedang terjadi sekarang yang disebut revolusi industri 4.0.
Lazimnya perubahan yang radikal di bidang teknologi, akan terjadi pula
perubahan dalam bidang lainnya. Revolusi industri pertama antara lain mengundang
terjadinya urbanisasi di bidang sosial dan sekularisasi yang menimpa agama. Revolusi
industri 4.0 telah mengubah cara masyarakat bertransportasi setelah perusahan rintisan
(startup) seperti Uber, Grap, dan Go-Jek mendisrupsi teknologi lama. Pelan-pelan
disrupsi ini akan mengubah gaya hidup masyarakat, dari yang semula mementingkan
kepemilikan alat transportasi, lalu lebih mementingkan keteraksesan dan kecepatan.
Tidak hanya transportasi, masyarakat di negara maju di era revolusi industri 4.0
seperti dituturkan Richard Susskind dan Daniel Susskind dalam The Future of the
Professions (2015), banyak beralih ke pendidikan dalam jaringan (daring) atau online
dengan durasi yang terbatas daripada berlama-lama di perguruan tinggi. Masih menurut
Susskind dan Susskind, masyarakat mulai banyak yang memanfaatkan the WebMD untuk
konsultasi kesehatan daripada datang ke dokter. Disrupsi ini akan berakibat positif pada
munculnya jenis pekerjaan baru, kendati yang mengkhawatirkan banyak jenis pekerjaan
lama yang terdisrupsi.
4
Sebab menyusul revolusi industri 4.0, masyarakat mulai mengalami pergeseran
pula menjadi masyarakat atau society 5.0 yang ditandai dengan masyarakat dengan
kecerdasan super (super smart society). Di perguruan tinggi, representasi dari
masyarakat ini adalah mahasiswa yang sedang studi. Mereka adalah kaum pribumi digital
(digital native) yang telah akrab dengan berbagai properti yang terkoneksi dengan
internet bahkan kala mereka masih balita. Ketika menjadi mahasiswa, mereka tak
tampak gagap pada saat mengakses berbagai informasi dan ilmu pengetahuan yang
disediakan internet.
Maka kalau pembelajaran hanya sekedar memindahkan ilmu pengetahuan, kaum
pribumi digital akan lebih siap. Gaya literasi mereka juga berubah dibandingkan dengan
generasi sebelumnya yang lahir pada 1960-an yang disebut sebagai kaum digital
immigrant yang menjadi dosen mereka. Mereka lebih menyukai sumber ilmu
pengetahuan yang terkoneksi secara daring, sementara dosennya masih menyukai
sumber yang disajikan secara luring. Apa jadinya jika ada mahasiswa yang mengambil
kuliah secara daring di Coursera, atau melalui IndonesiaX.co.id, sementara dosennya
lebih memilih melakukan iterasi?
Harus dipikirkan juga beberapa jenis pekerjaan yang terdisrupsi dan hilang, lalu
inovasi apa yang perlu dirancang oleh pendidikan? Sebab kalau rancangan kurikulum
pendidikan masih berkutat di society 4.0 (information society), apalagi lebih ke belakang
lagi, society 3.0 (industrial society) dan society 2.0 (agrarian society), pendidikan hanya
menjadi tempat untuk menunda pengangguran. Dan kelak jika sudah lulus, sulit
mendapatkan pekerjaan. Dengan begitu terjadi mismatch antara pendidikan dengan
dunia usaha dan dunia industri (DUDI).
Namun ada peran pendidikan yang sulit digantikan oleh teknologi yang super
canggih sekalipun. Lagi pula, menurut Schwab (2018), revolusi industri 4.0 harus tetap
di bawah kendali dan berpusat pada manusia (human-led and human-centered), maka
kendati tetap perlu melakukan adaptasi terhadap teknologi baru, pendidikan tidak boleh
melupakan peran abadinya dalam memanusiakan manusia. Pendidikan harus
memastikan manusia tetap sebagai khalifah dan hamba Tuhan (abdullah) yang mampu
mengendalikan ciptaannya sendiri untuk kemaslahatan manusia, bukan malah
sebaliknya.
5
pengamatannya. Dari tradisi Aristoteles inilah kemudian dikenal empirisme dalam
pencarian kebenaran.
Pelajaran berharga (lesson learned) yang dapat kita ambil dari hubungan antara
Plato dengan Aristoteles, demikian juga antara Socrates dengan Plato adalah kedekatan
antara guru dan murid. Dalam hubungan yang begitu akrab, Plato tidak hanya mudah
melakukan transmisi ilmu pengetahuan, tetapi juga melakukan karakterisasi atau
pembentukan karakter kepada murid-muridnya antara lain kepada Aristoteles.
Bagi yang akrab dengan literatur ilmu pendidikan, segera bisa dipahami bahwa
karakterisasi merupakan level tertinggi pada ranah pembentukan sikap (afektif)
sebagaimana teori Benjamin S. Bloom. Tidak gampang melakukan karakterisasi karena
lebih menekankan pada internalisasi nilai yang pada akhirnya muncul suatu sikap dan
tindakan yang pada gilirannya menjadi kepribadian seseorang. Pada kasus murid yang
melakukan kekerasan terhadap guru seperti yang dilakukan oleh seorang murid di salah
SMP di Gresik beberapa waktu yang lalu, jika misalnya ditanyakan kepada pelakunya,
apakah tindakan itu baik atau buruk, pasti akan menjawab buruk.
Jawaban buruk di sini adalah jawaban di level pengetahuan atau moral knowing.
Lalu mengapa murid berani merokok di kelas, di hadapan gurunya, kemudian justru
melakukan kekerasan ketika guru menegurnya? Faktor yang mengondisikan tindakan
murid yang demikian, atau sebaliknya guru yang juga dengan mudah melakukan
kekerasan kepada murid-muridnya, tidak cukup hanya menyertakan satu atau beberapa
faktor saja. Tetapi harus ditelusuri hingga kepada sesuatu yang mendasar dan sistemik.
Sebab kalau menelusuri pendidikan nilai atau pendidikan karakter, bahkan lebih
spesifik lagi pendidikan agama, semua sekolah dan lembaga pendidikan mulai dari
jenjang paling bawah hingga ke jenjang paling tinggi telah menjadikan sebagai materi
yang wajib diberikan sebagai kelanjutan belaka dari regulasi pemerintah di bidang
pendidikan. Penting juga ditambahkan, pada 2011 pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan pengembangan pendidikan karakter yang memuat 18 nilai karakter (religius,
jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikastif,
cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab).
Semua nilai karakter tersebut gampang diketahui dan dihafal. Tetapi proses ini
tidak menjamin guru dan murid melakukan karakterisasi semua nilai karakter tersebut
jika tidak dibarengi oleh suatu penciptaan lingkungan apa yang disebut dalam literatur
dan program Pendidikan Menghidupkan Nilai (Living Values Education/LVE) dengan
pembentukan lingkungan berbasis nilai (value base atmosphere).
Dalam LVE terdapat filosofi, nilai dilihat, bukan diajarkan (value are caught, not
taught). Melihat nilai, berarti lingkungan, entah itu berapa benda maupun tindakan harus
menghadirkan nilai-nilai tertentu yang bisa ditangkap, dirasakan, dan berikutnya
dilakukan oleh siapa pun yang ada di dalamnya. Pendidikan karakter dengan demikian
meniscayakan suasana keterhubungan (koneksitas) secara intim dan pribadi (personal)
antara orang-orang misalnya yang terdapat di lembaga pendidikan.
Aristoteles menyebut Plato sebagai sahabat. Pada zaman kenabian dalam Islam, Nabi
Muhammad memiliki markas pendidikan yang dikenal dengan Baitul Arqam. Di tempat
ini, di rumah Arqam, dari kalangan kaum belia yang pertama kali menyatakan
keislamannya, Nabi melakukan karakterisasi kepada para sahabat sehingga mereka
menjadi peribadi yang loyal dan militan, baik kepada Nabi maupun kepada Islam.
Karakterisasi tidak mungkin dilakukan jika ada keberjarakan atau impersonalitas antara
murid dengan guru.
6
Keberjarakan atau impersonalitas inilah yang kini mulai dikahawatirkan kian
tumbuh menyusul terjadinya revolusi industri yang pada gilirannya berpengaruh juga ke
dunia pendidikan seperti terlihat dari berkembangnya gairah mengembangkan apa yang
disebut dengan digitalisasi pendidikan. Gairah ini sepertinya telah menjadi mondial atau
global.
Saya menagkap kesan seperti ini sewaktu mengikuti The First MOCAT (Modern
Competence of Academic Teachers) Project Meeting di University of Salerno, Itali.
Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 menjadi salah satu pembicaraan penting dalam
pertemuan yang digagas oleh Wyzsza Szkola Bankowa, Polandia dan disponsori The
Polish National Agency for Academic Exchange (NAWA). Projek MOCAT (The MOCAT
Project) yang melibatkan perguruan tinggi dari 8 negara, Polandia, Kenya, Romania,
Iceland, Georgia, Itali, Turki, dan Indonesia (Universitas Muhammadiyah Malang)
berkomitmen untuk meningkatkan kompetensi dosen dalam penggunaan teknologi
informasi sehingga dosen memiliki kompetensi mengajar secara online (daring).
Kompetensi ini tidak bisa dihindari dan ditunda karena di masa-masa yang akan
datang input pendidikan adalah mereka yang yang disebut kaum milenial dan pribumi
digital (digital native) yang sudah akrab dengan dunia digital. Suka atau atau tidak suka,
pendidikan termasuk pendidikan tinggi kudu melakukan digitilisasi. Kendati begitu, tidak
semua aktivitas dalam pendidikan yang bisa digitalkan. Salah satunya adalah
karakterisasi. Karakterisasi membutuhkan ketidakberjarakan (personalitas), sementara
digitilisasi lebih menekankan pada keberjarakan (impersonalitas).
6Versi asli artikel penulis yang dimuat di Republika pada Selasa, 12 Maret 2019 dengan judul Milenial dan
Literasi Digital.
7
Toilet sekedar secuil contoh sisi kehidupan yang tersentuh oleh kecanggihan
teknologi dalam era yang disebut dengan revolusi industri 4.0. Bermula sejak 1760
hingga 1840 yang disebut dengan revolusi industri 1.0, terus berkembang ke fase
berikutnya, revolusi industri 2.0 yang dimulai pada akhir abad ke-19 sampai awal abad
ke-20, lalu muncul revolusi industri 3.0 pada 1960-an hingga puncaknya pada 1990-an
yang ditandai dengan kemajuan internet, dan tahap selanjutnya yang sedang terjadi
sekarang yang disebut revolusi industri 4.0.
Seturut dengan makna denotatif pada kata revolusi, yakni perubahan yang
mendadak dan radikal (abrupt and radical change) seperti diulas Klaus Schwab dalam
The Fourth Industrial Revolution (2017), internet yang sudah berkembang, pada revolusi
era sekarang, masih merujuk pada Schwab, bisa dimanfaatkan lagi lebih mudah di
berbagai tempat karena sudah berkembang menjadi mobile internet dengan harga yang
lebih murah, dan dengannya pula, berkembang kecerdasan buatan atau artificial
intelligent. Karena karakteristiknya yang demikian, Schwab dalam buku terbarunya,
Shaping the Future of the Fourth Industrial Revolution (2018) revolusi industri 4.0
merupakan bab baru (a new chapter) dalam perkembangan kehidupan manusia.
Lazimnya perubahan yang radikal di bidang teknologi, akan terjadi pula
perubahan dalam bidang lainnya. Revolusi industri pertama antara lain mengundang
terjadinya urbanisasi di bidang sosial dan sekularisasi yang menimpa agama. Revolusi
industri 4.0 telah mengubah cara masyarakat bertransportasi setelah perusahan rintisan
(startup) seperti Uber, Grap, dan Go-Jek mendisrupsi teknologi lama. Pelan-pelan
disrupsi ini akan mengubah gaya hidup masyarakat, dari yang semula mementingkan
kepemilikan alat transportasi, lalu lebih mementingkan keteraksesan dan kecepatan.
Tidak hanya transportasi, masyarakat di negara maju di era revolusi industri 4.0
seperti dituturkan Richard Susskind dan Daniel Susskind dalam The Future of the
Professions (2015), banyak beralih ke pendidikan dalam jaringan (daring) atau online
dengan durasi yang terbatas daripada berlama-lama di perguruan tinggi. Masih menurut
Susskind dan Susskind, masyarakat mulai banyak yang memanfaatkan the WebMD untuk
konsultasi kesehatan daripada datang ke dokter. Disrupsi ini akan berakibat positif pada
munculnya jenis pekerjaan baru, kendati yang mengkhawatirkan banyak jenis pekerjaan
lama yang terdisrupsi.
Pendidikan tak pelak rentan juga dengan disrupsi. Disrupsi seperti ditulis Rhenald
Kasali dalam Disruption (2017) adalah membuat hal yang baru sehingga yang lama
ketinggalan zaman (doing thing diferently—so others will be obsolote), pendidikan akan
tertinggal jika hanya mengulang hal yang lama dengan sedikit perbaikan (iterasi), dan
tidak mau melakukan disruptive innovation.
Sebab menyusul revolusi industri 4.0, masyarakat mulai mengalami pergeseran
pula menjadi masyarakat atau society 5.0 yang ditandai dengan masyarakat dengan
kecerdasan super (super smart society). Di perguruan tinggi, representasi dari
masyarakat ini adalah mahasiswa yang sedang studi. Mereka adalah kaum pribumi digital
(digital native) yang telah akrab dengan berbagai properti yang terkoneksi dengan
internet bahkan kala mereka masih balita. Ketika menjadi mahasiswa, mereka tak
tampak gagap pada saat mengakses berbagai informasi dan ilmu pengetahuan yang
disediakan internet.
Maka kalau pembelajaran hanya sekedar memindahkan ilmu pengetahuan, kaum
pribumi digital akan lebih siap. Gaya literasi mereka juga berubah dibandingkan dengan
generasi sebelumnya yang lahir pada 1960-an yang disebut sebagai kaum digital
immigrant yang menjadi dosen mereka. Mereka lebih menyukai sumber ilmu
pengetahuan yang terkoneksi secara daring, sementara dosennya masih menyukai
8
sumber yang disajikan secara luring. Apa jadinya jika ada mahasiswa yang mengambil
kuliah secara daring di Coursera, atau melalui IndonesiaX.co.id, sementara dosennya
lebih memilih melakukan iterasi?
Harus dipikirkan juga beberapa jenis pekerjaan yang terdisrupsi dan hilang, lalu
inovasi apa yang perlu dirancang oleh pendidikan? Sebab kalau rancangan kurikulum
pendidikan masih berkutat di society 4.0 (information society), apalagi lebih ke belakang
lagi, society 3.0 (industrial society) dan society 2.0 (agrarian society), pendidikan hanya
menjadi tempat untuk menunda pengangguran. Dan kelak jika sudah lulus, sulit
mendapatkan pekerjaan. Dengan begitu terjadi mismatch antara pendidikan dengan
dunia usaha dan dunia industri (DUDI).
Namun ada peran pendidikan yang sulit digantikan oleh teknologi yang super
canggih sekalipun. Lagi pula, menurut Schwab (2018), revolusi industri 4.0 harus tetap
di bawah kendali dan berpusat pada manusia (human-led and human-centered), maka
kendati tetap perlu melakukan adaptasi terhadap teknologi baru, pendidikan tidak boleh
melupakan peran abadinya dalam memanusiakan manusia. Pendidikan harus
memastikan manusia tetap sebagai khalifah dan hamba Tuhan (abdullah) yang mampu
mengendalikan ciptaannya sendiri untuk kemaslahatan manusia, bukan malah
sebaliknya.
9
Mengapa keniscayaan? Pertama, karena pendidikan bukan semata-mata sebagai
transfer pengetahuan. Dalam diskursus klasik pendidikan Islam, terdapat kritik terhadap
konsep tarbiyah yang telah lama digunakan sebagai padanan dari pendidikan. Bahkan di
beberapa lembaga pendidikan Islam terdapat fakultas atas setidaknya jurusan tarbiyah
seperti pengalaman penulis sewaktu studi sarjana di IAIN Sunan Ampel Fakultas
Tarbiyah di Malang mulai 1986-1991.
Istilah itu, menurut filsuf asal Malaysia yang lahir di Indonesia, Syed Muhammad
Naquib al Attas, bukan istilah yang tepat dan benar, sebagaimana juga istilah ta’lim, dan
karena itu perlu digantikan dengan ta’dib, istilah yang lebih tepat. Tarbiyah menurutnya
lebih menekankan pengembangan pada aspek fisik sebagaimana istilah education yang
biasa digunakan di Barat.
Al Attas juga mengkritik ta’lim karena lebih menekan pada transfer ilmu
pengetahuan. Sebagai alternatif dari dua istilah itu, al Attas menawarkan ta’dib yang
menekankan pada pembentukan karakter.
Pembelajaran daring, apalagi dirancang sedemikian rupa sesuai dengan
ketentuan yang terkait dengan Learning Management System (LMS), memang bisa
mengarahkan subyek didik (siswa dan mahasiswa) berselancar ke berbagai tautan
mendalami berbagai materi yang mengait dengan suatu materi yang di dalaminya.
Namun pembelajaran daring kesulitan dalam membentuk karakter subyek didik.
Alasan kedua yang meniscayakan perjumpaan fisik dalam pendidikan adalah
keterbatasan kapasitas keluarga sebagai tempat belajar secara daring selama masa
pandemi. Keterbatasan kapasitas tidak saja karena adanya disparitas yang disebabkan
faktor ekonomi yang berakibat pada kemampuan dalam menyediakan jaringan internet
di rumah, tetapi juga kemampuan orangtua yang akan menggantikan peran guru
terutama bagi siswa dalam usia pendidikan dasar-menengah (SD-SMP).
Ketika pembelajaran dialihkan ke rumah, muncul ungkapan bernada retorik,
misalnya, “Pandemi memberi momentum penguatan peran orangtua sebagai guru yang
sesungguhnya.” Tidak ada yang nembantah terhadap keberadaan dan peran orangtua
bahkan sebagai kurikulum yang sesungguhnya (real curriculum) dan kurikulum yang
hidup (living curriculum) bagi anak-anaknya. “Parents are the primary models for and
agents of socialiczation,” jelas Robert dan Yamane dalam Teligion in Sociological
Perspective.
Karena itu semua tokoh pendidikan selalu menekankan posisi keluarga dalam
pendidikan seperti yang digagas Ki Hadjar Dewantara dengan konsep Tri pusat
Pendidikan, yakni keluarga pertama-tama sebagai pusat pendidikan, lalu berikutnya
sekolah dan masyarakat. keluarga sebagai pusat pendidikan dapat menjalankan fungsi
konsentris jika menggunakan konsep trikon yang juga dikembangkan Ki Hadjar
Dewantara yakni kontinyu, konvergen, dan konsentris. Konsentris bisa dipahami sebagai
azas pendidikan yang lebih menekankan pada kebudayaan sendiri yang antara lain
terdapat dalam keluarga sebagai pembentuk karakter.
Namun demikian, pembelajaran secara daring dalam rentang waktu yang lama
akan memberikan dampak yang tidak ringan terutama secara psikologis kepada anak-
anak. Pada awalnya mungkin hanya bosan yang muncul. Dampak berikutnya yang harus
diperhatikan adalah perasaan kesepian atau feeling of loneliness sebagaima juga menjadi
kekhawatiran Mendikbud Nadiem Makarim. Sebelum diterpa pandemi Covid-19,
masyarakat sebenarnya telah mengalami apa yang disebut dengan alone together justru
terjadi pada era yang selalu terhubung tetapi secara daring (always online) dan budaya
berbagi-komentar (share-comment culture). Begitu diterpa pandemi yang
mengharuskan masyarakat menghindari Tiga Cs (Three CsThe) sebagaimana
10
rekomendasi WHO, yakni menghindari tempat ramai dengan banyak orang (crowded
places), menghindari berkontak atau berbicara dengan orang dalam jarak dekat (Close-
contact settings), dan menghindari ruang terbatas dan tertutup dengan ventilasi udara
yang buruk (Confined and enclosed spaces), pendidikan mau tidak mau
terdomestikasikan di rumah yang bisa berakibat pada munculnya perasaan kesepian.
Alasan berikutnya (ketiga) yang perlu dikemukakan bahwa pembelajaran daring
harus dipandang sebagai kedaruratan dan kesementaraan belaka adalah terkait dengan
dampaknya terhadap ketahanan finansial utamanya yang dihadapi lembaga pendidikan
swasta seperti dialami perguruan tinggi swasta (PTS). Pembelajaran daring di beberapa
kalangan telah memunculkan sikap transaksional.
Karena dialihkan ke pembelajaran daring, maka mahasiswa tidak lagi
menggunakan fasilitas kampus, maka pihak kampus diminta mengembalikan biaya
pendidikan yang telah terbayarkan. Selain beralasan demikian, tidak bisa dipungkiri juga
kalangan orang tua mahasiswa ada yang terdampak secara ekonomi setelah Covid-19
menjadi pandemi. Akibatnya, tidak sedikit PTS yang dihadapkan pada masalah ketahanan
dan kerentanan finansial. Beberapa PTS mulai menerapkan pengetatan pengalokasian
pendanaan yang lebih mengutamakan survival. Yang terpenting gaji dosen dan staf masih
tetap terbayarkan, sementara pembiayaan kegiatan akademik di luar pengajaran untuk
sementara dikurangi bahkan dihentikan.
Pembelajaran daring di masa pandemi adalah bagian dari fenomena
ketidaknormalan atau anomali. Jika berlangsung lebih lama lagi, pendidikan akan
dihadapkan pada fase krisis, sebagaimana dialami bidang lainnya. Pembelajaran daring
merupakan solusi darurat selama pandemi. Terutama pihak sekolah dan pengambil
kebijakan perlu mencari solusi yang bisa mengatasi kelemahan dan dampak yang
ditimbulkan pembelajaran daring. Misalnya dengan menerapkan pembelajaran berbasis
komunitas. Pada waktu tertentu, guru melakukan kegiatan kunjungan dan sekaligus
mengajar ke tempat tertentu yang dekat dengan tempat tinggal siswa. Tempat mengajar
bisa dilakukan di tempat-tempat ibadah atau fasilitas publik lainnya. Tentu kegiatan ini
harus dibarengi dengan penerapan protokol penanganan Covid-19.
11
Masih terkait dengan dampak ekonomi itu, beberapa lembaga pendidikan
terutama pendidikan tinggi mulai rentan dengan tuntutan mahasiswa yang mendesakkan
pengurangan pembayaran karena kegiatan pembelajaran dialihkan ke daring. Padahal
pihak pengelola kampus memiliki pemikiran jangka panjang, bahwa pemasukan dari
mahasiswa tidak hanya diperuntukkan pada pembiayaan rutin dan berjangka pendek,
tetapi sebagai suatu investasi untuk keberlangsungan kampus hingga pada rentang
waktu yang panjang.
Kemudian dampak yang kedua adalah pada keberlanjutan kegiatan pembelajaran
secara luring atau tatap muka (offline). Kegiatan pembelajaran memang masih bisa
dilaksanakan tetapi tentu saja disertai penurunan atau setidaknya relaksasi pada semua
standar yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan. Kegiatan pembelajaran tetap bisa
dilanjutkan dilaksanakan dengan cara mengalihkan dari pembelajaran secara luring ke
moda daring atau online, namun dilakukan secara tiba-tiba, by accident, bukan by design.
Karena berlangsung secara tiba-tiba dan serba cepat beberapa risiko yang timbul
terlupakan. Risiko itu misalnya tidak semua siswa atau mahasiswa bisa terlibat secara
aktif dengan pembelajaran daring karena terbatasnya kuota internet serta persoalan
jaringan terutama bagi mereka yang tinggal di pedesaan.
Dengan sedikit pengabaian terhadap setidaknya dua dampak tersebut, kegiatan di
bidang pendidikan memang relatif lebih mudah dipindahkan ke rumah dengan difasilitasi
moda pembelajaran secara daring karena adanya dukungan perkembangan internet yang
bahkan sudah lama terkoneksi di telepon seluler. Perkembangan yang baru pada tahapan
seperti itu, telah memudahkan banyak orang berinteraksi secara virtual. Begitu Covid-19
mendera masyarakat kita, pendidikan relatif mudah beralih dari yang semula di sekolah
atau perguruan tinggi, dan lebih menekankan interaksi antara guru/dosen-
murid/mahasiswa secara tatap muka (face to face), ke interaksi secara daring (online)
dengan menggunakan platform pembelajaran yang lebih beragam.
12
work from home (WFH), rumah seperti mendapatkan lagi momentum klasiknya sebagai
sentra utama pendidikan sebelum pada gilirannya lebih banyak beralih ke sekolah dan
masyarakat seiring terjadinya modernisasi.
Ketika rumah menjadi sekolah, setidaknya selama berlangsungnya pandemi
Covid-19, orangtua lebih-lebih di hadapan pelajar di jenjang pendidikan dasar dan
menengah seharusnya dapat menjalankan peran apa yang dalam literatur sosiologi
agama disebut dengan the primary models bagi pembentukan karakter.
Di rumah pula, orangtua sejatinya sebagai living curriculum. Tanpa memberikan
penjelasan secara konseptual, filosofis, dan teoritik tentang suatu nilai yang akan
membentuk karakter, anak cukup melihat dan selanjutnya menginternalisasikan apa
yang dilakukan orangtua. Maka di rumah pula, prinsip pendidikan nilai bahwa, values are
caught not taught, seharusnya terwujud.
“Home schooling” di era Covid-19 memberi kesempatan kepada orangtua
mengekternalisasikan dan mengobjektivasikan suatu nilai yang selanjutnya
diinternalisasi oleh anak. Dengan interaksi yang lebih intens dan intim selama Covid-19,
sikap seperti peduli terhadap kesehatan dan dampak yang ditimbulkan oleh Covid-19
bisa terbentuk. Dan dengan demikian, anak akan memiliki karakter peduli dan welas asih
(compassion) kepada sesama.
Namun demikian, rumah tetap memiliki keterbatasan sebagai ruang pendidikan
karakter. Kendati bagi keluarga yang tergolong kelas menengah koneksi internet tidak
ada masalah, pembelajaran dengan moda daring selama pandemi Covid-19 akan
menghadapi titik jenuh jika berlangsung dalam durasi yang lama. Penyebabnya adalah
rasa bosan atau jenuh yang menimpa semua pihak yang terlibat dalam pembelajaran
daring. Kendati pembelajaran daring dirancang sedemikian canggih, manusia tetap
membutuhkan perjumpaan secara fisik.
Dengan demikian, pendidikan, lebih-lebih pendidikan yang berorientasi pada
pembentukan karakter, membutuhkan ruang yang lebih alamiah, bukan sekedar ruang
virtual, dalam mana nilai bisa disaksikan secara langsung melalui perilaku tiap orang
dalam ruang alamiah pendidikan. Dalam ruang alamiah yang dirancang berbasis nilai,
karakter akan mudah terbentuk.
Pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 hanyalah sementara. Mudah-
mudahan pandemi Covid-19 segera berakhir. Dan dengan demikian, pendidikan bisa
segera kembali ke ruang dan aktivitasnya yang lebih alamiah.
13
Etis di bidang pendidikan memberi peluang kepada kaum bumiputera mengakses
pendidikan kendati hanya di level pendidikan dasar. Kendati begitu, kebijakan Politik Etis
tetap mengidap diskriminasi, dan karena itu, tentu sulit mengubah nasib bangsa
Indonesia yang digambarkan oleh Robert van Niel dalam The Emergence of the Modern
Indonesian Elite (1960), sebanyak 98% tergolong jelata yang mendiami Jawa.
Kelahiran Muhammadiyah disemangati oleh kondisi struktural yang demikian, di
samping karena adanya spirit keagamaan sebagaimana lazimnya kelahiran berbagai
organisasi berbasis keagamaan lainnya. Ahman Dahlan, pendiri Muhammadiyah,
rupanya sangat sadar terhadap fungsi sosiologis pendidikan sebagai sarana mobilitas
vertikal, di samping kesadaran terhadap fungsi ideologis pendidikan. Dalam disertasi
Deliar Noer yang terbit untuk pertama kalinya dalam bahasa Indonesia pada 1980,
Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, dinyatakan secara lugas maksud
pendirian Muhammadiyah dengan salah satu pilarnya di bidang pendidikan, yakni,
“menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w kepada penduduk bumiputera
dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.”
Kita perhatikan ungkapan “memajukan hal agama Islam” yang belakangan kian
dipertegas dengan frase “Islam berkemajuan”, yang menandakan spirit kehadiran
Muhammadiyah adalah memajukan kehidupan bangsa antara lain melalui jalur
pendidikan yang berkemajuan dalam konteks waktu itu. Perubahan yang dirancang oleh
Ahmad Dahlan, “walaupun bagi kita sekarang mungkin sangat kecil artinya,” tulis Deliar
Noer dalam disertasinya, pada kenyatannya memberikan dampak yang begitu besar.
Pendidikan yang dirintis oleh Muhammadiyah menjadi penanda penting
pelembagaan misi pembaharuan Muhammadiyah yang kemudian menginspirasi
organisasi keagamaan di kalangan Islam untuk melakukan hal yang sama. Perlu juga
ditambahkan, pendidikan yang dirintis oleh Muhammadiyah juga menjadi saluran
mobilitas vertikal yang dibuktikan dengan banyaknya tokoh bangsa yang berasal dari
lembaga pendidikan Muhammadiyah.
Setelah melewati usia lebih satu abad, perkembangan pendidikan Muhammadiyah
mengalami peluasan secara masif baik jenis dan jenjang pendidikan, yang pada gilirannya
lembaga pendidikan Muhammadiyah juga merambah ke berbagai sudut tanah air,
bahkan di wilayah di mana Islam bukan sebagai fenomena mayoritas. Perkembangan ini
membuktikan tingkat keberterimaan terhadap Muhammadiyah kian tinggi dan meluas
karena kalangan lintas agama juga menerima manfaat dari Muhammadiyah di bidang
pendidikan.
Di kawasan Indonesia timur, misalnya, input lembaga pendidikan Muhammadiyah
(siswa dan mahasiswa) didominasi oleh kalangan non-Muslim. Fakta inilah yang
menginspirasi Abdul Mu’ti dan Fajar Riza Ul Haq memunculkan varian unik di
Muhammadiyah yang disebutnya “Kris-Muha” (Kristen-Muhammadiyah) lewat bukunya,
Kristen Muhammadiyah: Konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan (2009).
Temuan ini seperti ingin membantah adanya ketegangan antara dua komunitas agama di
Indonesia, Islam dan Kristen, sebagaimana diungkap oleh Mujiburrahman dalam
disertasinya, Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order
(2006).
14
di garda terdepan, di antaranya Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY),
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) di Jakarta, Universitas Ahmad
Dahlan (UAD) di Yogyakarta, dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).
Tidak mudah menjaga kesinambungan perkembangan pendidikan
Muhammadiyah di era sekarang, setidaknya jika mempertimbangkan dua hal. Pertama,
bagaimana menjaga eksistensi pendidikan di Muhammadiyah dari segi kualitas sejak di
bagian input, proses, output dan outcome? Mengapa? Sebagaimana yang tergambar pada
kualitas di jenjang perguruan tingginya, pada jenjang pendidikan di bawahnya juga
sangat beragam kualitasnya.
Bagi kalangan tertentu, memilih lembaga pendidikan bukan sekedar
pertimbangan keteraksesan yang biasa dijadikan sasaran oleh strategi pemerataan
pendidikan, tetapi karena pertimbangan kualitas. Bagi kalangan ini, pendidikan dimaknai
sebagai suatu investasi berjangka panjang. Sebagai investasi, maka rate of return selalu
menjadi pemikiran untuk menentukan keberlanjutan pada jenjang pendidikan
berikutnya yang berkualitas, dan juga dari sisi employability, yakni apakah suatu lembaga
pendidikan memberikan jaminan terkait kecepatan keterserapan alumni oleh dunia
usaha dan industri (DUDI).
Lembaga pendidikan Islam, termasuk yang dikelola oleh Muhammadiyah,
sebenarnya memiliki peluang menyasar kalangan yang berpikiran seperti itu, bahkan
dengan segmen yang lebih terbatas lagi, yaitu Muslim terutama mereka yang tergolong
sebagai kelas menengah Muslim (middle class Muslim), lebih-lebih kelas menengah
tengah (middle middle class) dan kelas menengah atas (upper middle class). Kalangan ini
memiliki perilaku yang berbeda dalam memilih lembaga pendidikan, bahkan “sekedar”
memilih pendidikan untuk belajar ngaji al Qur’an.
Di beberapa kota besar bermunculan tempat-tempat ngaji untuk anak-anak yang
di antaranya disebut griya tilawah, kendati hanya menawarkan pendidikan akhir pekan,
tetapi mematok SPP dalam jumlah lumayan besar, namun tetap digandrungi oleh
kalangan menengah muslim di perkotaan, atau yang disebut juga dengan “urban Muslim”.
Berkembang juga sekolah-sekolah beridentitas keagamaan yang juga mematok biaya
mahal yang dipilih oleh kalangan tersebut. Jadi kendati mahal, asalkan memenuhi dua
orientasi dasar kalangan menengah Muslim dalam perilaku konsumsi mereka, yaitu
quality oriented dalam arti sesuatu yang ingin diraih berkualitas dan value oriented
memberi jaminan dan manfaat secara spiritual (spiritual value), mereka tetap
membelanjakan uangnya.
Realitas itu yang ditangkap oleh entrepeneur pendidikan Islam yang kemudian
menjadi kompetitor pendidikan yang dimiliki oleh Muhammadiyah yang pada gilirannya
menggeser secara signifikan posisi Muhammadiyah. Dengan kata lain, Muhammadiyah
sebagai petahana, terdisrupsi oleh inovasi yang ditawarkan oleh entrepeneur pendidikan
Islam yang menawarkan infrastruktur dan konsep pendidikan yang mencerminkan
aspirasi kalangan kelas menengah Muslim.
Itu tantangan yang pertama. Kemudian tantangan yang kedua, Muhammadiyah
kini menghadapi realitas baru yang sama sekali berbeda dengan realitas ketika
Muhammadiyah masih berada di awal-awal kelahirannya, yakni pada saat Indonesia
dalam transisi dari revolusi industri 1.0 ke revolusi industri 2.0, sementara sekarang kita
sudah diterpa Revolusi Industri Keempat (The Fourth Industrial Revolution/4IR). Telah
banyak literatur yang memaparkan secara historis serta beragam dampak sosilogis
terkait munculnya revolusi industri keempat atau revolusi industri 4.0 di antaranya
ditulis Klaus Schwab. Kedua bukunya, The Fourth Industrial Revolution dan Shaping the
15
Future of the Fourth Industrial, sering dijadikan rujukan di tanah air. Buku lainnya adalah
yang disunting oleh Nancy W. Gleason, Higher Education in the Era of the Fourth Industrial
Revolution.
Realitas revolusi industri 4.0 di bidang pendidikan rupanya mulai diterima oleh
stakeholders seperti tampak pada munculnya endorsement untuk mengembangkan apa
yang disebut dengan pendidikan atau edukasi 4.0. Revolusi industri 4.0, jelas Klaus
Schwab (2016), ditandai dengan teknologi digital yang kian canggih. Ditambahkan oleh
Schwab, pada revolusi industri 3.0 sebenarnya ditandai juga dengan kemajuan di bidang
teknologi digital, tetapi yang membedakan dengan revolusi industri 4.0, “the are
becoming more sophisticated and integrated and are, as a result, transforming societies and
the global economy.” Lanjut Schwab, “...that technology and digitization will revolutionaze
everything.”
Bagaimana gambaran edukasi 4? Di bidang pendidikan, sebagaimana
dikemukakan oleh Schwab tentang digitization, di berbagai ruang muncul pembicaraan
bahkan sudah dilakukan apa yang disebut dengan digitilisasi pendidikan. Edukasi 4.0
antara lain memang identik dengan digitalisasi sebagai wujud keberhadiran teknologi di
bidang pendidikan (edutech). Tentu bukan karena semata-mata pertimbangan teknologi
yang memudahkan penyediakan infrastruktur edukasi 4.0, tetapi karena juga
mempertimbangkan keberadaan generasi langgas atau kaum milenial yang akan menjadi
input utama pendidikan.
Mereka adalah yang terlahir pada saat ekosistem digital terbentuk, dan secara
alamiah pula literasi digital mereka terbentuk sehingga layak disebut sebagai kaum
pribumi digital (digital native). Ekosistem digital yang bahkan tidak saja dinikmati oleh
kaum milenial, melainkan sebagian dari mereka adalah pelakunya, di antaranya big data,
mobile apps, virtual and augnmented reality, web komunitas, internet of thing, dan game
forward (Ali Akbar, Digital Ekosistem, 2018).
Kendati ekosistem digital ini terkadang memberikan efek negatif seperti ditandai
dengan munculnya compulsive gaming yang harus diwaspadai, tetapi juga memberikan
efek positif terhadap cara kaum milenial dan juga mereka yang tergolong sebagai kaum
imigran digital (digital immigrant) dalam belajar. Ekosistem digital memudahkan siapa
saja mewujudkan suatu konsep klasik yang disebut dengan pendidikan atau
pembelajaran sepanjang hayat (lifelong education; lifelong learning).
Sebelum ekosistem digital tidak masif seperti pada saat ini, tahapan belajar
dibatasi secara formal dengan jenjang tertentu, serta cenderung formalistik dengan
batasan usia pada tiap jenjangnya. Tetapi pada saat ini, siapa pun bisa menambah ilmu
pengetahuan hanya dengan “talaqqi” (bertatap wajah) dengan internet yang
menginformasikan berbagai tautan dan sumber ilmu pengetahuan dalam ukuran
gigantik. Mereka yang disebut kaum pribumi digital, yakni generasi lenggas atau kaum
milenial, tentu lebih siap. Nah, lembaga pendidikan termasuk yang dimiliki
Muhammadiyah seharusnya menyediakan ekosistem digital yang dibutuhkan mereka.
Pada saat informasi pengetahuan tersedia dalam internet di segala tempat,
bahkan tersedia di smartphone yang hanya seukuran genggaman tangan, transmisi
pengetahuan di lembaga pendidikan tidak bisa dilakukan dengan cara konvensional yang
menempatkan guru dan dosen sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan yang
paling otoritatif. Sadar terhadap perkembangan ini, belakangan banyak lembaga
pendidikan yang merancang ulang ruang belajar untuk mendukung lingkungan belajar
yang sudah mengarah pada blended active learning.
Ruang belajar sekedar contoh untuk mendapat perhatian bagi pengelola
pendidikan menghadapi era revolusi industri 4.0. Dengan bertolak dari berpikir
16
pendidikan sebagai suatu sistem, maka ada empat hal mendasar yang harus menjadi
perhatian, yaitu: input, proses, output, dan outcome. Dari keempat hal tersebut, muara
pendidikan adalah pada outcome. Maka lembaga pendidikan yang akan dipilih oleh
masyarakat adalah yang memberikan jaminan dari sisi employability terhadap peserta
didik (siswa dan mahasiswa).
17
Dengan demikian, filsafat pendidikan untuk edukasi 4.0 harus memberikan
gambaran manusia secara mendasar dan utuh yang akan dituju oleh aktivitas pendidikan,
termasuk oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah.
18
tulisan Cak Nur—sapaan akrab Nurcholish Madjid. Hampir semua publikasi mereka, saya
koleksi.
Di kelas Pak Malik, Filsafat Pendidikan Islam, Perencanaan Pendidikan, dan
Administrasi Pendidikan yang saya ambil tentu berdasarkan sekuensinya yang diatur
oleh program studi, buku-buku yang saya baca menemukan medan dialektikanya. Jika
saya menyebut beberapa judul buku, disertai penulisnya, bahkan terkadamg saya kutip
secara verbatim dengan penyebutan halaman yang akurat, alih-alih Pak Malik menyebut
saya text book oriented, justru sering terlihat manggut-manggut dan terkadang pula
mengangkat jempol kanannya. “Mahasiswa itu harus baca buku,” kata Pak Malik. Sambil
berkata demikian, Pak Malik menyebut nama saya sebagai contoh. Senang, tetapi tersipu
malu pula disebut Pak Malik sebagai contoh di hadapan mahasiswa yang menyesaki
kelas.
Pada tahun-tahun saya kuliah itu ketika kata literasi bahkan tidak pernah disebut,
berbeda dengan pada saat ini yang diperdengarkan di mana-mana, termasuk menjadi
kompetensi utama dalam pendidikan hingga ke level paling tinggi, Pak Malik telah
menggerakkan literasi setidaknya di kalangan mahasiswa yang diajarnya. Literasi dalam
pandangan Pak Malik, di antaranya dipertandai dengan bacaan yang banyak.
Kalau dirunut cara Pak Malik mengajar, kira-kira begini urutannya. Pertama-tama
Pak Malik menyampaikan pokok-pokok materi perkuliahan secara reflektif. Saya
menyukai catatannya yang ditulis rapi di atas kertas folio bergaris. Hingga kemudian saya
mengikuti kuliah Pak Malik di pascasarjana, kebiasaan itu masih terpelihara, termasuk
merk ballpoinnya.
Selesai di tahapan itu, kelas lalu hidup dengan sesi pertanyaan dan diskusi. Saya
paling menyukai bagian kedua dari perluliahan Pak Malik itu karena saya menemukan
medan dialektika atau ruang diskursus bacaan-bacaan saya. Pak Malik punya
kemampuan menciptakan ruang kelas secara demikian. “Mahasiswa tidak boleh
menggunakan kaca mata kuda,” tegas Pak Malik beberapa kali dalam perkuliahan sambil
memeragakan gerakan kedua tangannya di sisi kanan-kiri pelipisnya. Supaya lebih
menggugah, Pak Malik meninggkan lagi kedua tanggannya hingga ke atas kepala.
Mahasiswa baru maksud dari gerakan simboliknya itu ketika Pak Malik berujar begini,
“Pasang parabola tinggi-tinggi supaya menangkap semua informasi.”
Setelahnya, mahasiswa dihinggapi gelisah, lalu bermunculan beberapa pertanyaan dan
tanggapan terhadap materi perkuliahan Pak Malik.
Tidak sekedar bertanya. Pak Malik menginginkan mahasiswa mempertanyakan
ulang. Sebagai pengajar Filsafat Pendidikan Islam, Pak Malik pasti memahami muasal dan
latar belakang filsafat yang darinya bermunculan beragam ilmu pengetahuan hingga
kemudian seperti terlepas dari ibu yang melahirkannya. Filsafat lahir karena
mempertanyakan mitos. Dari mitos lahir logos. Epistem filsafat yang demikian pasti
dipahami oleh Pak Malik. Karena itu, apalagi di kelas Filsafat Pendidikan Islam, Pak Malik
antara lain menggugah mahasiswa mempertanyakan ulang eksistensi dan peran
pendidikan Islam yang telah berkembang sedemikian rupa dalam berbagai bentuk.
Pada tahun-tahun mengikuti perkuliahan Pak Malik di kampus yang sekarang
bermetamorfosis menjadi salah satu universitas negeri, UIN Maulana Malik Ibrahim, Pak
Malik menjadi rektor di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sejak 1983. Seturut
dengan tahapan-tahapan lembaga pendidikan yang dikonstruks oleh Pak Malik: growth,
change, dan reform, UMM jelang 1990-an memasuki dua tahapan pertama yang
mengundang pengakuan dan apresiasi publik. Dengan menyertakan kepemimpinan
publik sebagai rektor di UMM, di samping sebagai dosen, terkandung maksud ingin
mengungkap kelebihan lainnya kala Pak Malik ada di kelas.
19
Perkuliahan filsafat yang terlanjut terstigma melangit, jauh dari bumi, di kelas Pak
Malik, filsafat menemukan konteks. UMM beberapa kali disebut sebagai contoh dari
jawaban terhadap pertanyaan atas eksistensi pendidikan Islam. “Didiklah anak-anakmu
sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu,” Pak Malik sering
mengutip ungkapan ini yang menurutnya berasal dari Ali bin Abi Thalib. Dengan
mengutip pendapat Ali bin Abi Thalib, bahkan diulangnya di berbagai forum, Pak Malik
ingin menyadarkan apa yang disebut dengan visi pendidikan. Pak Malik tidak menampik
terhadap peran konservasi pendidikan. Tetapi masa depan harus menjadi perhatian yang
lebih utama karena terutama subyek didik—murid, santri, mahasiswa—akan
menghadapi realitas yang berbeda bila dibandingkan dengan realitas yang dihadapi
ketika masih studi.
UMM yang lahir pada hampir enam dekade lalu, bila mengingat ungkapan Pak
Malik antara lain di kelas Filsafat Pendidikan Islam, harus memberikan optimisme
terhadap masa depan. Masa depan yang dimaksud Pak Malik harus direncanakan dan
terukur. Pandangan ini eklektik dengan mata kuliah Administrasi Pendidikan yang juga
diampunya.
Belakangan saya menjumpai tulisan pendek Pak Malik yang terkompilasi dalam
buku Visi Pembaharuan Pendidikan Islam (1998) yang memperjelas keterukuran efek
pendidikan terhadap masa depan mahasiswa. Dalam buku itu, Pak Malik mempertegas
tolok ukur keberhasilan pendidikan, alih-alih sekedar dari sisi output, misalnya tingkat
kelulusan yang bahkan presisi dengan jumlah enrollment, tetapi perlu diukur dengan
kesesuaianya dengan pasar (user), baik dalam jumlah, mutu, jenjang, maupun jenisnya.
Masih terkait dengan tolok ukur yang disebut Pak Malik dari sisi impact, Pak Malik, dalam
buku itu, mengungkapkan keprihatinannya terhadap sekolah kejuruan yang ternyata
hampir sama dengan sekolah non-kejuruan.
Injeksi etos berpikir kritis (critical thinking) dari Pak Malik di kelas, memberi
bekas yang kuat tidak hanya dalam perjalanan studi saya, tetapi dalam kehidupan
keberagamaan saya. Kalau ada suatu definisi pendidikan yang mengatakan pendidikan
merupakan upaya sadar untuk mengubah seseorang, perubahan yang saya alami di
antaranya karena perjumpaan intelektual saya dengan Pak Malik terutama di kelas pada
semua mata kuliah yang diampunya.
Pak Malik bukan sekedat mengajar (teaching), tetapi juga memberikan sentuhan
(touching) yang menggugah dan berimplikasi pada perubahan. Lontaran Pak Malik
tentang metafora kaca mata kuda, menggugah saya, dan pada gilirannya mengubah
terhadap orientasi keberagamaan saya. Saya ingin menggunakan konsep konversi untuk
menjelaskan perubahan pada diri saya. Bagi yang akrab dengan literatur sosiologi agama,
tentu tidak terkejut terhadap penggunaan technical term itu. Sebab konversi tidak melulu
berarti pindah atau mengganti agama (replacement), tetapi juga ada bentuk konversi
yang disebut preference, yakni perpindahan dari sub-tradisi yang satu ke sub-tradisi yang
lain, namun tetap dalam satu tradisi besar agama (Islam).
Injeksi dan dorongan Pak Malik untuk memperkuat literasi, pada gilirannya
mempertemukan saya pada buku kontroversial pada waktu itu, namun digandrungi oleh
kawan-kawan aktivis dalam suatu organisasi kemahasiswaan, yaitu Pergolakan
Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Saya betul-betul gemas dengan buku itu,
kecuali karena alasan isinya, Ahmad Wahib berasal dari daerah yang sama dengan saya,
yang bahkan rumahnya di Sampang, Madura, lumayan dekat dengan rumah saya.
Membaca buku catatan harian Ahmad Wahib, saya seperti mendapatkan
pembenaran secara kultural untuk mempertanyakan ulang sebagaimana injeksi dari Pak
Malik terhadap paham dan tradisi keagamaan yang lama saya pegangi, nyaris tanpa
20
kritik. Maka jelang akhir studi saya di tingkat sarjana, saya mengalami transformasi atau
konversi dengan risiko yang harus saya tanggung. Beberapa senior saya bahkan
mengatakan saya murtad. Sementara beberapa famili saya di Madura terkejut dengan
perubahan saya. Ayah saya yang biasa dipanggil abah, berusaha bersikap arif terhadap
saya. Katanya suatu saat, “Syamsul, kamu boleh berubah, tetapi terhadap tradisi di Madura,
cobalah bersikap arif.”
Saya tidak tahu apakah Pak Malik mengetahui perubahan yang saya alami, bahkan
hingga ke wilayah privat keagamaan. Tetapi ketika beberapa minggu setelah wisuda,
pada 1991, saya berjumpa di depan kampus, Pak Malik tetap berada di belakang kemudi
mobil Hijet merah, lalu inilah yang mengejutkan saya, “Syamsul, saya mencari kamu .”
“Saya sebenarnya ingin bertemu dengan Bapak juga,” jawab saya. “Kalau begitu, kamu
datang ke kantor saya nanti malam, selepas Maghrib.” Perjumpaan dan Pak Malik
berlangsung begitu mengalir, tidak berjarak, kasual, kendati sebagai rektor sebuah
perguruan tinggi yang mulai diperbincangkan publik.
Di kantor Pak Malik, tidak ada aturan protokol yang jlimet. Bahkan boleh dibilang,
tidak ada protokol. Setelah terlihat tidak ada orang di dalam kantornya, saya masuk
“begitu saja”. Meja kerja Pak Malik di Kampus II UMM menghadap ke utara. Saya masih
ingat warna baju lengan pendek yang dikenakannya, baju putih. Di meja ada singkong dan
wedang jahe. Kalau saya mengatakan masuk “begitu saja” ke kantor Pak Malik, tidak
berarti saya tidak terbebani perasaan tertentu. Di hadapan saya adalah rektor yang
reputasinya diapresiasi publik. Saya takjub kepada kebersahajaanya dalam menerima
saya. Alih-alih memperlihatkan wajah seorang pejabat puncak, saya justru merasakan
masih berhadapan dengan guru saya. Inilah kalimat yang meluncur dari Pak Malik
sembari menyertakan senyumnya yang khas, “Saya butuh asisten untuk mengajar di IAIN.”
“Dua asisten saya, Pak Tobroni dan Pak Yoto sudah repot di UMM,” sambung Pak Malik.
Mendapat tawaran sebagai asisten Pak Malik merupakan kehormatan yang tidak
pantas ditampik. Tetapi inilah jawaban saya, “Pak, saya ingin mengabdi di kampus ini saja
Pak.” Saya kian takjub dengan jawaban Pak Malik, “Kalau begitu, kamu buat lamaran.”
Saya tidak ingin menunda kesempatan langka itu. Kesempatan yang diberikan Pak
Malik adalah jawaban kegelisahan pasca-kuliah sarjana. Sempat mengajukan studi lanjut
ke abah saya, “Bah, saya ingin lanjut ke pasca, ke IKIP Malang.” Jawab abah saya, “Saya
cukup mengantar kamu hingga sarjana. Di belakangmu masih ada adik-adikmu. Jika kamu
mau studi lanjut, kamu melamar bekerja saja. Siapa tahu kamu dapat beasiswa.” Tawaran
Pak Malik, dengan demikian membukakan harapan abah saya.
Lamaran yang ditulis tangan di atas kertas folio bergaris, saya bawa keesokan
harinya langsung ke Pak Malik, juga pada waktu malam selepas Maghrib. “Ditunggu saja
pemberi tahuan dari kampus,” kata Pak Malik.
Semuanya berlangsung begitu bersahaja dan cepat. Saya hanya menyertakan
portofolio tulisan saya pada lamaran saya. Hanya menunggu sehari atau dua hari, saya
mendapat panggilan wawancara dari bagian personalia. Wawancara berlangsung begitu
bersahaja. Saya masih ingat yang disampaikan Pak Ali Saifullah, sekarang dosen senior di
fakultas teknik, “Tulisanmu banyak. Sudah dapat rekomendasi dari Pak Malik. Kamu
diterima sebagai dosen di UMM.” “Tetapi gaji di UMM tidak banyak,” sambung Pak Ali
Saifullah.Begitulah! Maka hampir di penghujung 1991, saya bermetamorfosis sebagai
dosen tetap di UMM, sembari tetap menjadi asisten Pak Malik di almamater saya. Saya
tetap melakoni peran sebagai dosen di almamater saya hingga kini, sebagai dosen luar
biasa di pascasarjana.
Di UMM, relasi saya dengan Pak Malik seperti tidak mengalami perubahan: guru-
murid. Bukan saja karena saya diajar juga oleh Pak Malik sewaktu menempuh Program
21
Studi Magister Sosiologi Pedesaan di UMM. Kebiasaan saya menulis, terutama yang
bergenre populer, banyak belajar dari Pak Malik. Pak Malik tidak pernah mengajarkan
menulis secara teoritik kepada saya. Pak Malik beberapa kali memberi peran langsung
kepada saya untuk menulis artikel dan makalah.
Dari sesuatu yang pada mulanya lebih banyak di bidang akademik, saya kemudian
mendapatkan pelajaran berharga tentang filosofi hidup. Di antaranya tentang optimisme.
Katanya suatu saat, “Jangan banyak mengeluh. Mengeluh itu membuat mudah capek,
bahkan sebelum memulai pekerjaan. Kalau toh menghasilkan sesuatu, biasanya tidak
maksimal karena dikerjakan oleh orang yang merasa capek.”
Hingga kemudian Pak Malik harus banyak berdiam di rumah karena alasan
kesehatan, karakter Pak Malik tetap terlihat. Sambil berbaring di tempat tidur, atau dari
tempat duduk setelah kesehatannya mulai berangsur pulih, Pak Malik tetap saja
menginjeksikan optimisme, antara lain terhadap UMM, salah satu legacy Pak Malik.
Maka kendati Pak Malik beristirahat panjang di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama
Kalibata sejak Selasa, 8 September yang lalu, kita hanya terpisah secara “jasadi”.
Semangat, cita-cita, dan ideologi Pak Malik akan terus bersama kita.
Bagi saya secara pribadi, Pak Malik adalah guru par excellence. Setelah
mengapresiasi Pak Malik sebagai inspiring teacher sewaktu menyampaikan orasi guru
besar, saya menukil pula John Quincy Adams, presiden keenam Amerika Serikat, “If your
actions inspire others to dream more, learn more, do more and become more, you are
leader.” Kutipan ini saya tujukan juga kepada Pak Malik. Pak Malik memang selayaknya
mendapatkan apresiasi sebagaimana kutipan itu. Pada Pak Malik, terjadi pertautan
sebagau guru dan pemimpin yang menginpirasi.
Terima kasih Pak Malik.
22
yang memiliki amal usaha di bidang pendidikan, tentu Pak Malik bisa memahami dari
jarak yang begitu dekat permasalahan pendidikan Islam.
Salah satu permasalahan yang membekap pendidikan Islam, bahkan hingga kini
adalah lemahnya pendidikan Islam sebagai saluran mobilitas sosial yang ditandai dengan
kemampuan outputnya dalam mengisi posisi-posisi tertentu. Dengan merujuk pada suatu
konstruksi teoritik, Pak Malik menyebut pendidikan, termasuk pendidikan Islam, harus
mampu menjalankan mekanisme alokasi posisional.
Menjadi jelas salah satu bingkai filosofi pendidikan Pak Malik, yaitu pragmatisme.
Kendati Pak Malik tidak pernah menyatakan secara eksplisit mazhab pemikiran (school
of thought) yang dirujuknya dengan pragmatisme, saya menangkap adanya pertautan
pemikiran Pak Malik dengan filosofi pendidikan yang dikembangkan antara lain oleh
John Dewey itu. Dalam tulisannya yang mengulas Paradigma Pendidikan Islam (dalam
Reorientasi Pendidikan Islam, 1999), Pak Malik memberi highlight terhadap pemikiran
John Dewey yang tertuang di Democracy and Education yang menegaskan fungsi
mendasar pendidikan sebagai salah satu kebutuhan hidup (a necessity of life), salah satu
fungsi sosial (a social function), sebagai bimbingan (a direction) dan sarana pertumbuhan
(as growth) yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup.
Sebaiknya dihindari simplifikasi terhadap pragmatisme, misalnya dengan
mengatakan pendidikan hanya diarahkan untuk melahirkan para tukang, jika filosofi ini
menjadi bingkai pendidikan. Sepertinya telah menjadi common sense kalau keberhasilan
pendidikan diukur dari manfaatnya yang bisa dirasakan secara langsung oleh
masyarakat. Kemanfaatan yang paling nyata dan mudah diukur adalah lulusan atau
output pendidikan mudah mendapatkan pekerjaan dengan masa tunggu tidak terlalu
lama.
Pak Malik melihat salah satu titik lemah pendidikan Islam pada apa yang menjadi
perhatian pragmatisme. Karena itu sewaktu berada di posisi strategis, yakni ketika
menjadi Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
kemudian Menteri Agama, lalu berikutnya Menteri Pendidikan Nasional, Pak Malik
membuat kebijakan apa yang disebut Azyumardi Azra demgan mainstreaming atau
pengarusutamaan pendidikan Islam. Munculnya lembaga tinggi keagamaan Islam plat
merah yang berbentuk sekolah tinggi, institut dan universitas di beberapa daerah terjadi
saat Pak Malik menjadi Dirjen dan Menteri Agama.
Sebelum di posisi itu, ada banyak institut yang memiliki cabang di berbagai
daerah.seperti pengalaman Fakultas Tarbiyah di Malang, almamater penulis, yang
merupakan fakultas filial dari IAIN Sunan Ampel Surabaya. Filial yang ada di Malang tidak
hanya lebih independen, bahkan lebih dulu menjadi universitas Islam negeri. Perubahan
kelembagaan pada pendidikan Islam di jenjang paling puncak, pada gilirannya dibarengi
dengan pembukaan program studi umum sebagaimana di perguruan tinggi umum. Maka
terjawablah kegelisahan Pak Malik terhadap permasalahan pendidikan Islam terutama
yang plat merah yang pada mulanya lebih memainkan peran di bidang pengembangan
ilmu-ilmu keagamaan, dengan perubahan kelembagaan itu, pendidikan Islam
memperoleh mandat yang lebih luas (wider mandate).
Memang lalu muncul pertanyaan terkait karakteristik keilmuan umum yang harus
dikembangkan di universitas Islam negeri. Jawaban filosofis Pak Malik tergadap
pertanyaan itu menarik. Lembaga pendidikan termasuk yang di jenjang paling tinggi
acapkali tersandera oleh persoalan identitas, lebih-lebih lembaga yang berafiliasi kepada
ormas keagamaan tertentu. Alih-alih memikirkan secara serius keunggulan di bidang
keilmuan, ada beberapa lembaga pendidikan Islam yang justru mengapitalisasi aspek
tertentu dari primordialisme keagamaan. Jika bukan tersandera oleh primordialisme
23
keagamaan, tidak sedikit pula lembaga pendidikan yang menyibukkan mencari justifikasi
keilmuan tertentu dengan dalil-dalil keagamaan seperti ingin meniru begitu saja cara
berfikir Maurice Bucaille yang dikritik oleh Pervez Hoodbhoy dalam Islam and Science
(1992) sebagai cara berpikir atau metode sederhana.
Pak Malik memiliki pandangan berbeda. Bagi Pak Malik, ilmu pengetahuan
sejatinya bersifat komunal dan universal yang seharusnya dimiliki secara bersama ,
sehingga setiap orang berhak memanfaatkannya. Dengan berpendapat demikian, Pak
Malik secara implisit tidak setuju dengan proyek Islamisasi karena memberi kesan ilmu
yang sudah berkembang secara revolutif bertentangan dengan Islam, karena itu perlu
Islamisasi ilmu pengetahuan.
Bagi Pak Malik, daripada energi umat Islam lebih tercurahkan untuk sekedar
mencari justifikasi, lembaga pendidikan tinggi Islam lebih baik kalau diarahkan pada
pengembangan riset baik untuk mengembangkan ilmu pengetahuan maupun lembaga
pendidikan Islam itu sendiri. Hanya dengan cara demikian, pendidikan Islam bisa berada
di orbit, bukan di pinggiran.
Untuk berperan ke arah itu, pendidikan Islam, tegas Pak Malik, harus dipimpin
oleh orang yang memiliki visi yang kuat dan tajam. Sebab dengan visi, perubahan besar
sedang dimulai. Sebaliknya, tanpa visi, masyarakat beserta kelembagannya akan binasa.
Seperti ungkapan kaum bijak, “Without vision people shall perish.”
24
argumen yang dipaksakan terkait ketidakseimbangan antara permintaan (demand) dan
pasokan (supply). Sikap menyangkal terhadap penyebaran Covid-19 ke Indonesia, dan
toh kalau pada akhirnya bisa tertembus juga, masih juga menyepelekan terkait tingkat
fatalitas kasus atau case fatality rate (CFR), juga memiliki sandaran argumen yang antara
lain terambilkan dari agama.
Ketika Covid-19 memakan korban dengan jumlah dalam hitungan jari, seorang
pejabat publik yang sejatinya memiliki modal saintifik terkait deteksi secara dini (early
warning system) dan mitigasi risiko dampak penyebaran Covid-19, tetapi justru
mempertontonkan sikap yang cenderung menyepelekan yang diperkuat pula dengan
sikap keagmaan tertentu yang mengarah pada fatalisme.
Konstruksi Agama
Selain menimbulkan masalah besar terhadap kesehatan, ekonomi, sosial, dan
politik, yang tidak kalah menariknya lagi, implikasi Covid-19 juga telah memasuki ranah
keagamaan. Di antara aspek keagamaan yang terdampak secara kasat mata di tengah
badai Covid-19 adalah pengaturan praktik ritual keagamaan terutama yang dilakukan
secara bersama-sama (jamaah) dan dilakukan di tempat khusus seperti masjid dan
gereja.
Tetapi pelaksanaan terhadap salah satu dimensi penting dalam agama tersebut
sangat tergantung pula pada dimensi keyakinan (belief), yang di samping berpengaruh
terhadap kedisiplinan dalam mengatur praktik ritual, berpengaruh pula dalam
menyikapi Covid-19. Dengan mempertimbangkan cara penyebaran Covid-19 melalui
kontak antar-manusia terutama dalam jarak dekat, maka terdapat aturan pembatasan
interaksi melalui penerapan physical distancing. Lebih ketat dari sekedar mengatur jarak
secara fisik tersebut, beberapa wilayah di tanah air telah menerapkan karantina
(lockdown) secara sporadis untuk membatasi penyebaran Covid-19.
Dengan modus penyebaran secara demikian, ritual keagamaan tidak bisa lagi
dilakukan sebagaimana lazimnya ketika situasi normal-normal saja. Maka banyak tempat
ibadah, masjid misalnya, yang tidak saja menghentikan penyelenggaraan shalat Jumat,
bahkan shalat wajib lainnya tidak lagi dilakukan secara berjamaah di masjid. Kalau toh
ada yang menyelenggarakannya, physical distancing diterapkan serta protokol lainnya
terkait pencegahan Covid-19. Covid-19 dengan demikian memiliki implikasi sosiologis
terhadap praktik agama, yang semula secara leluasa bisa dilakukan di ruang publik, kini
mengalami proses “privatisasi”—agama dipraktikkan di ruang privat, yakni keluarga.
Tetapi efektifitas pelaksanaan protokol pencegahan Covid-19 di kalangan
komunitas keagamaan sangat tergantung pada keyakinan (belief) yang dianutnya. Oleh
karena itu, kendati terkesan absurd, wajar jika ada komunitas keagamaan tertentu yang
justru tetap menyelenggarakan kegiatan yang melibatkan banyak orang dengan
bersandar pada suatu keyakinan terhadap kuasa absolut Tuhan. Keyakinan terhadap
kuasa absolut Tuhan misalnya terlontar dengan narasi berikut ini, “Jangan takut kepada
korona, tetapi hanya takutlah kepada Tuhan.”
Suatu keyakinan seperti dicontohkan pada narasi di atas, tetap diperantarai oleh
pengetahuan (logos) yang disebut dengan teologi. Inti teologi adalah pemahaman akan
kuasa Tuhan terhadap berbagai aspek selain-Nya. Yang menjadi persoalan, apakah kuasa
Tuhan tetap memberi ruang kepada manusia menggunakan nalar dan ikhtiar yang
berlanjut pada suatu praksis untuk mengubah suatu keadaan, atau kuasa Tuhan
dipahami sebagaimana kritik dari Asghar Ali Engineer, pemikir teologi pembebasan
dalam Islam, secara irasional dan buta. Padahal, tegas Engineer dalam Islam and
25
Liberation Theology (1990), “Keyakinan yang Qur’ani tidak bersifat irasional dan buta. Al
Qur’an menekankan kesedarajatan akal, intelek dan proses berpikir.”
Salah satu akibat mendasar dari praktik keyakinan yang irasional dan buta adalah
pengingkaran terhadap hukum kausalitas (sebab-akibat) yang sejatinya merupakan
manifestasi dari kuasa Tuhan. Kemunculan dan penyebaran Covid-19 bisa dijelaskan
dengan menggunakan hukum kausalitas. Demikian juga dengan penanganannya. Jika
terdapat suatu hadist yang dikenal secara luas oleh umat Islam, “Tidaklah Allah
menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah turunkan juga obatnya,” maka untuk
mendapatkan obat pada setiap penyakit diperlukan suatu rasionalitas atau nalar dan
ikhtiar karena tidak terberikan (given) begitu saja.
Menghadapi badai Covid-19 dengan demikian meniscayakan suatu dialektika
antara rasionalitas dan agama, keduanya tidak boleh diletakkan dalam posisi saling
berlawanan (binary-opposition). Pernyataan Albert Eistein dalam Science and Religion
(1950) bisa dirujuk untuk memahami dialektika antara keduanya, “Science without
religion is lame, religion without science is blind.” Ilmu pengetahuan (science) betatapun
telah berkembang begitu pesatnya berkat kemampuan manusia mengoptimalkan
nalarnya, tetap saja ada banyak peristiwa yang tidak bisa dipahami secara rasional,
setidaknya belum bisa diungkap. Pada kasus Covid-19, misalnya, meskipun bisa diungkap
penyebabnya, tetapi hingga saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat memberi efek
imunitas pada terhadap serangan wabah.
Dalam keadaan demikian, agama perlu dikonstruksi yang dapat memberikan
implikasi secara positif, setidaknya terhadap tiga hal. Pertama, ketenangan dan
optimisme dalam menghadapi Covid-19. Ketika agama bergeser dari “ruang publik” ke
“ruang privat”, sejatinya akan memberikan kesempatan kepada kita untuk lebih intens
dalam melakukan muhasabah dan memeroleh kekuatan secara rohani.
Kedua, memerkuat protokol penanganan Covid-19 dengan merujuk kalau dalam
Islam apa yang disebut tujuan pokok syariat (maqasid syariah) yang di antaranya
memberikan perlindungan terhadap jiwa-raga (hifdzun nafs). Fatwa yang dikeluarkan
oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagaimana juga dikeluarkan oleh Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama (NU) agar umat Islam melaksanakan ibadah di rumah selama
pandemi Covid-19, sejalan dengan prinsip dalam maqasid syariah tersebut.
Lalu yang ketiga, terbentuknya kesalehan sosial, alih-alih sekedar kesalehan ritual
dan individual dengan menggerakan charity atau direct giving dan filantropi untuk
mengatasi dampak ekonomi dan sosial yang pasti muncul selama pandemi Covid-19.
26
Covid-19 atau korona menyadarkan kita, betapa pun kita tetap manusia dalam arti
primitif.
Dalam berbagai literatur, setidaknya di bidang sosial humaniora, seperti antara
lain bisa dibaca dalam serial terbitan Yuval Noah Harari, manusia digambarkan
sedemikian canggih peradabannya hingga mencapai suatu tahapan homo deus, manusia
yang menyetarai Tuhan, sebagaimana dikemukakan Harari dalam Homo Deus: A Brief
History of Tomorrow (2015).
Kendati terjadi sofistikasi setidaknya dalam gambaran Harari, toh manusia tidak
akan pernah bisa menghilangkan salah satu watak paling primitif dalam dirinya, yaitu
takut. Di tengah pandemi Covid-19 yang baru dalam hitungan bulan ini, manusia dilanda
rasa khawatir dan takut, baik terhadap penyebaran Covid-19 yang tidak mengenal kelas
sosial dan berlangsung begitu cepat, maupun terhadap berbagai akibat turunannya jika
tidak bisa ditangani secara cerdas dan cepat seperti terhadap kehidupan ekonomi, sosial,
dan politik.
Dalam kondisi yang diliputi serba khawatir dan takut, maka wajar jika manusia
mencari suatu obyek yang bisa dijadikan sebagai sesuatu yang dapat memerkuat daya
tahan dirinya. Lebih jauh lagi, kondisi kehidupan bisa kembali normal. Obyek yang dicari
bisa berwujud secara bendawi (tangible), dan tidak berwujud (intangible).
Memperbanyak ketersediaan segala fasilitas yang terkait dengan percepatan
penanganan Covid-19, merupakan obyek yang berwujud bendawi. Tetapi ikhitiar ini
belum dipandang cukup, lalu manusia mencari obyek lainnya yang intangible, salah
satunya agama.
Agama sebenarnya memiliki dimensi ganda, bendawi dan non-bendawi yang
saling berkaitan. Tempat-tempat ibadah dan tempat-tempat sakral lainnya merupakan
dimensi bendawi agama yang sekaligus sebagai tempat menjalin dan terpeliharanya
komunitas. Dalam situasi yang normal, umat beragama bebas bepergian ke tempat-
tempat ibadah.
Tetapi dalam situasi yang tidak normal seperti saat ini, yang meniscayakan
keterjarakan secara fisik (physical distancing) agar terhindar dari penularan Covid-19,
maka diharapkan pula terjadi perubahan perilaku dalam beragama. Dalam konteks ini,
apresiasi perlu disampaikan kepada organisasi keagamaan seperti di kalangan Islam
yang telah mengeluarkan fatwa, alih-alih sekedar membatasi praktik-praktik ritual di
masjid, bahkan menutupnya agar tidak dijadikan sebagai tempat ritual secara berjamaah.
Fatwa ini memang menimbulkan benturan dengan kalangan tertentu yang disebabkan
oleh perbedaan cara pandang (mode of though) dan pada gilirannya cara bertindak (mode
of action) dalam beragama.
Fatwa yang tidak saja membatasi, bahkan melarang pergerakan jamaah
mendatangi tempat ibadah dengan alasan kedaruratan yang pada dasarnya pilihan
rasional dengan alasan menghindari bahaya (darwul mafasid), dan juga sejalan dengan
tuntutan thaharah, dalam praktiknya berbenturan dengan pihak yang memiliki modus
berbeda dalam beragama. Masih saja dijumpai lontaran justru dari kalangan agamawan,
lalu diikuti oleh jamaahnya yang bertolak belakang dengan fatwa di atas yang malah
menimbulkan masalah kesehatan baik secara individual maupun kolektif.
Religiusitas Soliter
Meskipun terasa berat, ketika kerumunan dibatasi, bahkan dilarang di berbagai
ruang, maka saatnya mempraktikkan solitariness (kesendirian) dalam beragama.
Keberagamaan secara soliter sejatinya tidak hanya dipraktikkan dalam situasi darurat
27
seperti saat ini, karena historisitas agama hingga kemudian berkembang sedemikian
beragam dimensi dan artikulasinya, bermula dari kesendirian. Lesley Hazleton, di awal
pembahasan bukunya, The First Muslim: The Story of Muhammad (2015), antara lain
mendeskripsikan Muhammad sebagai sosok lelaki yang menghabiskan malam demi
malam dalam perenungan soliter hingga kemudian mendapatkan wahyu pertama yang
menjadi sandaran legitimasi kenabiannya.
Maka ketika kemudian sempurna menjadi suatu agama, di samping berkembang
pula sebagai suatu peradaban (civilization) seperti ulasan Tariq Ramadan dalam Islam:
The Essentials (2017), Islam memberi stimulasi kepada pemeluknya merasakan salah
satu dimensi penting dalam beragama, pengalaman (experience), dengan menjalankan
praktik ritual tidak hanya dilakukan secara sendirian, bahkan waktunya pun ditentukan
di kala hening, yaitu sepertiga malam sebagaimana dinyatakan dalam al Isra ayat ke-17.
Dengan cara begitu, Islam di satu sisi tetap memberi arti penting kepada
kolektivisme atau komunalisme yang dibangun antara lain melalui praktik-praktik ritual
tertentu yang dijalankan secara berjamaah di tempat ibadah (masjid). Namun
kesendirian (solitariness) penting direngkuh pula oleh seorang Muslim. Mengapa?
Momen soliter memberikan ruang secara lebih leluasa untuk membangun suatu relasi
yang lebih intim antara individu dengan Tuhan.
Dalam relasi secara demikian, individu alih-alih menghayati Tuhan sebagai
realitas yang menakutkan (Tuhan Sang Musuh), melainkan Tuhan sebagai sahabat atau
Tuhan Sang Sahabat, yang dalam penghayatan ini, Tuhan menurut filsuf Alfred North
Whitehead, menjadi Sahabat karib kepada siapa seluruh ciptaan mencurahkan hatinya.
Pengalaman semacam ini bisa dicapai justru di ruang privat ketika kita berada dalam
ketersendirian yang memberikan “keleluasan” dalam mengekpresikan gerakan fisik dan
verbal dalam berkomunikasi dengan Tuhan.
Dalam ruang privat yang soliter, gerakan dan ungkapan verbal melampaui
(beyond) gerakan dan ungkapan verbal agama di “ruang publik” yang cenderung
seragam. Di tengah badai Covid-19, ketika agama diarahkan ke rumah secara temporer,
akan memberikan kesempatan kepada kita merasakan pengalaman keberagamaan
secara soliter yang justru memberikan efek ganda sekaligus. Pertama, menghambat
penyebaran Covid-19. Kedua, karena kita merasakan memiliki Sahabat, kita memperoleh
ketenangan dan kekuatan yang dapat meningkatkan imunitas kita. Semoga.
28
Mudik sejatinya bukan bagian dari organ agama dalam arti normatif-teologis,
tetapi tidak lebih sebagai manifestasi budaya di wilayah tertentu Islam. Di antara wilayah
Islam yang identik dengan mudik adalah Indonesia.
Terdapat banyak fitur pada Islam di Indonesia yang saling mengait yang di
antaranya memunculkan budaya mudik. Yang paling mudah terlihat di permukaan tentu
populasi Muslim yang melampaui wilayah-wilayah Islam lainnya bahkan yang disebut
sebagai Islam pusat atau inti (centre), sementara Indonesia sering disebut sebagai
pinggiran atau periferi (peripheral).
Kendati terdapat di pinggiran secara geografis dan proses Islamisasinya agak
belakangan, pertumbuhan populasi Islam di Indonesia paling pesat sehingga
pada www.pewresearch.org Indonesia ditempatkan di urutan teratas dalam daftar
countries with the largest of Muslims. Tingginya populasi ini disebabkan oleh kelenturan
Islam dalam menerima budaya lokal sehingga Islam mudah diterima kendati datang lebih
belakangan jika dibandingkan dengan kepercayaan dan beberapa agama lainnya yang
datang lebih awal.
Dialektika yang saling mengisi antara Islam dengan budaya setempat
mengakibatkan Indonesia—fitur yang kedua-- menjadi wilayah yang membentuk
keragaman (diversity) dan distingsi Islam dari sisi budaya yang membedakan dengan
wilayah-wilayah Islam lainnya. Perbedaan ini jika merujuk pada model teoritik Abdullah
Saeed (Islam in Australia, 2003) lebih banyak berada di wilayah interpretasi dan
manifestasi. Sementara pada aspek common values yang menjadi inti Islam, tidak ada
perbedaan dan menjadi pembentuk kesatuan (unity) dalam Islam.
Interpretasi merupakan penafsiran terhadap teks yang merupakan sumber Islam.
Sedangkan manifestasi merupakan tampilan Islam dengan menggunakan media budaya
setempat. Sebagai contoh, kewajiban puasa Ramadhan telah menjadi common values
semua kelompok dalam Islam. Lalu terjadi perbedaan terkait penentuan awal Ramadhan
karena perbedaan dalam menafsirkan suatu teks.
Perbedaan kian tampak ketika aktivitas pada bulan Ramadhan mendapatkan
sentuhan dari budaya setempat seperti terekam dengan bagus dalam penelitian yang
dilakukan Andre Moller yang bertajuk, Ramadhan in Java: The Joy and Jihad of Ritual
Fasting (2007). Dalam disertasi antropolog berkebangsaan Swedia ini, ditemukan
setidaknya 47 kata mudik yang tersebar di berbagai halaman yang di antara
pembahasannya dikatakan, “As a consequence, Indonesia probabily hosts one of the largest
annual mass mobilization activities in the world in connection with lebaran.”
Mudik di Indonesia rupanya telah menjadi salah satu cara dalam selebrasi pasca-
puasa Ramadhan sehingga karena begitu pentingnya, maka muncul ungkapan seperti
dikemukakan Moller, “For they really are eager: no Lebaran without mudik, is a common
pharase in Indonesia.” Tentu mudik perlu dilihat sebagai satu paket dengan Ramadhan
yang disebut oleh Moller, Ramadhan sebagai ritual complex mengingat banyaknya sub-
ritual di dalamnya, baik karena memang tuntutan normatif Islam, maupun yang
merupakan ciptaan masyarakat Muslim seperti budaya atau ritual mudik.
Inner Journey
Mudik pada hakikatnya kembali ke asal. Secara common sense, mudik lebih
dimengerti sebagai pergerakan atau mobilisasi banyak orang (massal) ke kampung asal
beberapa hari sebelum atau sesudah lebaran. Tetapi dengan munculnya pandemi Covid-
19, kita perlu menggeser ke makna yang lebih esensial. Betapa pun pandemi Covid-19
telah menimbulkan berbagai dampak buruk terhadap manusia, manusia sebagaimana
dikatakan Viktor E. Frankln memiliki suatu kemampuan untuk mencari suatu makna
29
pada setiap peristiwa segetir apa pun sebagaimana pernah dialaminya sendiri seperti
diungkap dalam bukunya, Man’s Search for Meaning.
Seturut dengan pemikiran Frankln, pemaknaan yang lebih esensial perlu
dilakukan terhadap mudik, dan dengan berdasar pada pemaknaan ini pula mudik akan
terwujud secara berbeda apabila dibandingkan ketika kondisi masih normal. Dalam
pemaknaan baru, mudik-mudik alih-alih merupakan pergerakan fisik, perjalanan keluar
kembali ke kampung asal dengan menempuh perjalanan darat, udara, dan laut dalam
jarak tertentu, tetapi sebagai perjalanan spiritual (spiritual journey) ke dalam diri kita
sendiri atau inner journey.
Dalam manifestasinya secara superfisial, mudik yang ditandai dengan pergerakan
massal kembali ke kampung asal, kendati merupakan fenomena budaya, bukan tuntutan
normatif agama, menurut Nurcholish Madjid (2007) tidak mudah dibendung karena
berkaitan dengan dorongan alamiah atau fitri manusia kembali kepada hal-hal yang
berdimensi asal, yang dalam konteks mudik dorongan ini diwujudkan dengan kembali
kepada orang-orang dekat (ibu-bapak dan sanak famili) untuk meminta maaf sebagai
cara kembali ke kondisi asal sebagai manusia yang suci. Dengan demikian, mudik
sebenarnya memiliki makna yang mendasar dan mendalam, yakni merupakan salah satu
cara ingin kembali kesucian manusia sebagaimana kondisi awal ketika baru terlahir ke
muka bumi.
Tidak mudah bertahan dengan kondisi awal itu. Seiring dengan perjalanan life
spans (masa hidup) lebih-lebih setelah memasuki tahapan remaja, manusia mudah
tergoda melakukan sesuatu yang yang sebenarnya bertolak belakang dengan nuraninya.
Agama lalu hadir antara lain berfungsi sebagai kanopi sakral (the sacred canopy) jika
meminjam konsep dari Peter L. Berger. Lazimnya kanopi, agama akan memberikan
proteksi kepada manusia terhindar dari berbagai unsur negatif yang dapat mengotori
kesuciannya. Puasa yang berujung ke Idul Fitri juga berfungsi sebagai kanopi sakral.
Ketika mudik secara fisik tidak bisa dilakukan karena terkendala oleh protokol
penanganan Covid-19, maka mudik perlu dimaknai dalam rangka inner journey, yakni
melakukan refleksi dengan melibatkan hati nurani yang akan memberikan penilaian
secara jujur terhadap kualitas perjalanan hidup mulai dari fase awal hingga kini.
Dengan pelibatan nurani seperti ditegaskan oleh suatu hadist, “mintalah fatwa
pada dirimu, mintalah pada hatimu,” maka segera muncul suasana kebatinan yang
bertolak belakang antara gelisah dan tenang karena terlihat perbuatan dosa yang
menggelisahkan dan kebaikan yang menenangkan, sebagaimana hadist yang merupakan
sambungan dari hadist yang baru dikutip, “kebaikan adalah sesuatu yang membuat jiwa
dan hati tenang. Dosa adalah sesuatu yang (terasa) tidak karuan dalam jiwa dan (terasa)
bimbang dalam jiwa.”
Setelah melakukan refleksi terhadap perjalanan hidup dari awal ke yang kini, lalu
kita “mudik”, merenungkan kondisi awal betapa “putihnya” manusia, dan sejatinya
seperti dalam kondisi awal itulah manusia kembali kepada Tuhan. Semoga, dan selamat
“mudik”. []
30