You are on page 1of 16

SISTEM PERS DIINDONESIA

Dosen Pengampu:

Dr. Muhammad Zainuddin Nawi, Lc., M.A

Kelompok 3, Disusun Oleh :

❖ Novia Olin Fimala (2170233033)


❖ Fathul Khorib (2170233002)
❖ M. Wildan Dwiyan S (2170233004)
❖ Anis
❖ Yusuf
❖ Robiatun

PROGAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2023 M/1445 H
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan pertolongan-Nya,sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “SISTEM PERS DIINDONESIA”. shalawat serta
salam tidak lupa kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa
refolusioner sejati, beserta keluarga, para sahabat, dan umatnya sampai hari kiamat, aamiin.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah ETIKA DAN HUKUM MEDIA
MASSA. Dan tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada bapak “Dr. Muhammad Zainuddin Nawi,
Lc., M.A.” selaku dosen pengajar mata kuliah ini. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah
ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan sehingga kami membutuhkan kritik dan
saran dari teman-teman yang membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat
untuk penulis dan untuk kita semuanya yang membaca, aamiin.

Palembang, 19 Oktober 2023 M

Penyusun

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………….……………………………………………...…...…....1

Daftar Isi ………………………………………………………………………….….2

BAB I Pendahuluan ……………………………………………………………....3

A. Latar Belakang Masalah …………………………………………….…....3


B. Rumusan Masalah ………………………………………………....….….3
C. Tujuan ……………………………………………………………….........3

BAB II Pembahasan …………………………………….…………………….......5

A. Penertian dan Arti Penting Pers diIndonesia ……………..…………..…..5


B. Kebebasan Pers diIndonesia ………………………………………….......5
C. Pers Dalam Sistem Hukum …………………………………………...….6
D. Fenomena Kebebasan Dalam Orde Baru Dan Era Reformasi ..……..……7
E. Sistem Pers diIndonesia…………………………………….. ..……..……8

BAB III Penutup …………………………………………………………..……...13

A. Kesimpulan ……………………………………………………………...13
B. Saran …………………………………………………………………….13

Daftar Pustaka ……………………………………………………………………..15

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sistem pers di Indonesia adalah sistem pers Pancasila, yang mengandung arti bahwa
informasi yang disampaikan pers harus bertanggung jawab. Sistem pers di Indonesia memiliki sejarah
panjang dengan pergantian bentuk dan fungsi, dan telah terjadi beberapa kali pergantian sistem pers
mengikuti kondisi politik dan sosial masyarakat pada saat tersebut. Berikut adalah beberapa sejarah
sistem pers di Indonesia yang patut diketahui:

- Sistem Pers Merdeka: Sistem ini berawal di Oktober 1945 seiring komitmen pemerintah
untuk membangun pers yang merdeka. Pada saat itu, Anwar Arifin memeperkenalkan sistem
pers merdeka sebagai sistem pers yang berlaku di Indonesia yang saat itu baru menjadi negara
merdeka.
- Sistem Pers Otoritarian: Sistem ini muncul pada masa Orde Baru dimana pers Indonesia
hanya menjadi corong pemerintah.
- Era Reformasi: Runtuhnya Orde Baru menjadi angin segar bagi pers di Indonesia, terjadi
banyak reformasi di bidang pers. Era Habibie, Gusdur, dan Megawati merupakan awal dari
perkembangan kebebasan pers di Indonesia.

Sistem pers di Indonesia menganut sistem pers Tanggung Jawab Sosial. Kebebasan pers
dalam sistem pers di Indonesia adalah kebebasan yang bertanggung jawab dengan berdasarkan nilai-
nilai Pancasila. Pers di Indonesia telah didominasi segelintir pemilik modal dalam industri pers
Indonesia.Namun, sistem demokrasi identik dengan kebebasan untuk menyuarakan pendapat,
termasuk kebebasan bagi pihak pers.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa arti penting pers diIndonesia?


2. Bagaimana kebebasan pers diIndonesia?
3. Bagaimana pers dalam sistem hukum?
4. Bagaimana fenomena kebebasan dalam orde baru dan era reformasi?
5. Bagaimana sistem pers diIndonesia?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui arti penting pers diIndonesia?
2. Untuk mengetahui agaimana kebebasan pers diIndonesia?
3. Untuk menegetahui pers dalam sistem hukum?

3
4. Untuk mengetahui bagaimana fenomena kebebasan dalam orde baru dan era reformasi?
5. Untuk menegtahui bagaimana sistem pers diIndonesia?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Arti Penting Pers diIndonesia

Pers memiliki peran yang sangat penting di Indonesia, terutama dalam menjaga kebebasan
bersuara dan kebebasan pers. Berikut adalah beberapa fungsi penting pers di Indonesia yang dapat
dijelaskan berdasarkan hasil pencarian:

1. Memberikan informasi: Pers berperan penting dalam menyebarkan informasi kepada


masyarakat. Pers harus menerapkan kode etik jurnalistik dan menulis berita secara objektif
dan jujur serta mengacu pada fakta yang ada.
2. Alat kontrol sosial: Pers memiliki peran besar sebagai alat kontrol sosial, baik untuk
pemerintah atau masyarakat. Pers bebas mengkritik berbagai kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah maupun lembaga legislatif dan yudikatif. Pers berperan mengawasi jika ada
pelanggaran dan memberikan koreksi atas kesalahan itu. Pers juga melakukan pengawasan
terhadap masyarakat, misalnya terhadap adanya pelanggaran HAM.
3. Penyambung lidah masyarakat: Pers berperan sebagai perantara untuk masyarakat dalam
menyampaikan aspirasi, kritik, dan saran kepada pemerintah.
4. Membentuk opini: Pers menjadi wahana komunikasi massa, penyebar informasi sekaligus
pembentuk opini. Oleh karena itu, pers harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak,
kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang
profesional.
5. Mencerdaskan kehidupan bangsa: Pers berperan dalam mencerdaskan dan kemajuan
bangsa.

Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, pers menjadi tolak ukur kebebasan bersuara demi
majunya negara. Pers juga memiliki peran penting dalam menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi,
mendorong terwujudnya supremasi hokum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebinekaan.
Oleh karena itu, peran pers sangat diperlukan dalam menjaga kebebasan pers dan kebebasan bersuara
di Indonesia.

B. Kebebasan Pers diIndonesia

Kebebasan pers di Indonesia telah dijamin oleh undang-undang, yaitu Undang-Undang


Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Kebebasan pers pada dasarnya bertujuan
untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Dengan kebebasan pers, media massa dimungkinkan untuk

5
menyampaikan beragam informasi, sehingga memperkuat dan mendukung warga negara untuk
berperan di dalam demokrasi atau disebut civic empowerment.

Berikut adalah beberapa hal yang perlu diketahui tentang kebebasan pers di Indonesia:

- Landasan Hukum: Kebebasan pers di Indonesia dilandasi oleh Pasal 28F Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang melindungi kebebasan
penggunaan. Selain itu, UU Pers juga mengatur tentang kemerdekaan pers sebagai salah
satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan
supremasi hukum.
- Pilar Demokrasi: Kebebasan pers merupakan pilar demokrasi[3][4]. Sebagai mata dan
telinga masyarakat, jurnalis harus mampu menyuarakan kepentingan publik dengan berani
tanpa khawatir ditahan atau digugat.
- Batasan: Kebebasan pers juga tidak absolut. Selalu ada batasan yang menyertai kebebasan
pers baik secara prinsip maupun praktis. Batasan atau peringatan tersebut berbentuk kode
etik yang harus dipatuhi oleh awak media untuk mencegah penyalahgunaan kebebasan pers.
- Jaminan: Kebebasan pers di Indonesia dijamin dan dilindungi secara tegas dalam Undang-
Undang Pers (UU No. 40/1999). Sejumlah pasal penting dalam UU tersebut yaitu:
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-
prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
- Perkembangan: Kendati Indonesia menyatakan negara demokrasi, kenyataannya selama
rezim Orde Baru, kebebasan pers sebagai salah satu ciri demokrasi justru mengalami
kekangan. Pascareformasi, pemerintah mencabut sejumlah peraturan yang dianggap
mengekang kehidupan pers. Walau undang-undang menjamin kebebasan pers, tapi bukan
berarti kebebasan pers di Indonesia menempati peringkat tinggi dibanding negara lain. Pada
2017, misalnya indeks kebebasan pers di Indonesia berada pada urutan 124 dari 180 negara.

Dalam rangka menjaga kebebasan pers, pers harus menyajikan dalam pemberitaan yang
benar, komprehensif dan cerdas, pers dituntut untuk selalu akurat, dan tidak berbohong. Fakta harus
disajikan sebagai fakta, dan pendapat harus dikemukakan sebagai murni merupakan sebagai pendapat.

C. Pers dalam Sistem Hukum

Hukum pers merujuk pada aturan dan peraturan yang mengatur kebebasan pers, tanggung
jawab media massa, dan hubungan antara media dan masyarakat. Hukum pers bervariasi di setiap
negara, tergantung pada sistem hukum dan nilai-nilai yang berlaku di masing-masing negara. Hukum
pers umumnya melindungi kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi yang penting. Berikut
adalah beberapa prinsip hukum pers:

6
- Kebebasan Pers: Hukum pers melindungi kebebasan pers sebagai hak fundamental
individu dan sebagai penjaga demokrasi. Kebebasan pers mencakup hak wartawan dan
media massa untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi tanpa campur tangan
atau tekanan dari pemerintah atau pihak lain. Kebebasan pers juga melibatkan hak
masyarakat untuk menerima informasi yang akurat dan beragam.
- Tanggung Jawab: Hukum pers juga melindungi hak dan kepentingan individu dari
pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, atau penyebaran informasi yang merugikan.
Hak untuk memperoleh perlindungan dari media massa terhadap dampak negatif adalah
salah satu fungsi penting hukum pers.
- Integritas Jurnalistik: Hukum pers juga memberikan mekanisme penyelesaian sengketa
yang adil dan transparan. Jika ada perselisihan atau pelanggaran, baik oleh media atau
individu yang terkena dampak, hukum pers memberikan perlindungan hukum terhadap
campur tangan pemerintah atau pihak lain yang dapat menghalangi atau membatasi
kebebasan pers.

Hukum pers di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
UU Pers merupakan perwujudan dari hukum pers di Indonesia dan melindungi kebebasan pers
sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan
supremasi hukum. Selain itu, UU Pers juga memberikan beberapa hak dan kewajiban bagi wartawan
dan media massa, seperti hak tolak, hak jawab, dan hak koreksi. Hukum pers juga mengatur
kewajiban pers dalam melaksanakan kontrol sosial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan.

D. Fenomena Kebebasan dalam Orde Baru dan Era Reformasi

Di era Orde Baru, pemerintah menjanjikan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat,
dan kondisi tersebut disambut baik oleh pers. Namun, kebebasan pers dibatasi dengan pengawasan
pemerintah melalui Departemen Penerangan, dan keamanan dan ketertiban media massa dilakukan
dengan mengeluarkan gagasan dan pemikiran yang sesuai dengan keinginan pemerintah Orde Baru.
Pers masa Orde Baru dalam mengungkapkan realitas dengan bahasa eufimistik, kini dengan bahasa
apa adanya.
Gerakan reformasi terjadi atas tuntutan rakyat kepada pemerintah karena ketidakadilan terjadi
di berbagai bidang, seperti politik, hukum, dan lainnya. Setelah Undang-Undang Pers diberlakukan
pada masa reformasi, kewenangan pengawasan dan pengendalian atas kebebasan pers di Indonesia
diberikan kepada Dewan Pers. Pada periode ini juga bermunculan berbagai macam media cetak dan
elektronik, dan era reformasi pun menjadi masa keterbukaan pers di Indonesia.Pers mulai
menyampaikan kritik atas kinerja pemerintah Indonesia.
Jatuhnya Orde Baru dan dimulainya era reformasi adalah tonggak penting bagi kehidupan
kebebasan beragama hingga sekarang ini. Pada era reformasi, prinsip kebebasan pers mengutamakan

7
demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.Keterbukaan pers di Indonesia setelah era reformasi juga
mengalami kondisi yang berubah-ubah berkaitan dengan fungsi pengendalian sosial pers atas
pemerintahan.
Dapat disimpulkan bahwa dalam era Orde Baru, kebebasan pers dibatasi dengan pengawasan
pemerintah, sedangkan pada era reformasi, prinsip kebebasan pers mengutamakan demokrasi,
keadilan, dan supremasi hukum.

E. Sistem Pers diIndonesia

Sebagaimana telah dijelaskan pada awal, sistem pers senantiasa tunduk dan mengikuti sistem
politik dimana ia berada, maka perkembangan sistem pers di Indonesia dapat dilihat dari masa
perjuangan hingga era reformasi saat ini.

1. Masa Perjuangan
Pers di Indonesia mulai berkembang jauh hari sebelum negara Indonesia diproklamasikan.
Perstelah dipergunakan oleh para pendiri bangsa sebagai alat perjuangan untuk memperoleh
kemerdekaan. Sejak pertengahan abad ke 18, orang-orang Belanda mulai memperkenalkan penerbitan
surat kabar di Indonesia. Penguasa kolonial mengekang pertumbuhan pers (sistem pers otoriter),
meskipun penerbitnya terdiri dari orang-orang Belanda sendiri. Tetapi surat kabar yang tumbuh pada
akhir abad ke 19 hingga awal abad berikutnya, juga merupakan sarana pendidikan dan latihan bagi
orang-orang Indonesia yang memperoleh pekerjaan di dalamnya (Said, 1988).

Surat kabar pertama di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles (Agustus 1744-Juni 1746),
disusul kemudian Bataviasche Courant (1817), Bataviasche Advertentieblad (1827). Pada tahun 1855
di Surakarta terbit surat kabar pertama dalam bahasa Jawa, bernama Bromartani. Surat kabar
berbahasa Melayu yang pertama adalah Soerat Kabar Bahasa Melajoe, terbit di Surabaya pada tahun
1956. kemudian lahir surat kabar Soerat Chabar Betawie (1958), Selompret Melajoe (Semarang,
1860), Bintang Timoer (Surabaya, 1862), Djoeroe Martani (Surakarta 1864), dan Biang Lala (Jakarta,
1867). Perkembangan pers di masa penjajahan sejak pertengahan abad ke 19 ternyata telah dapat
menggugah cendekiawan Indonesia untuk menyerap budaya pers dan memanfaatkan media cetak
sebagai sarana membangkitkan dan menggerakkan kesadaran bangsa (Surjomihardjo, 2002:25-31).

Dalam proses selanjutnya, terjadilah pembauran antara pengasuh pers dan masyarakat yang
mulai terorganisasi dalam klub-klub studi, lembaga-lembaga sosial, badan-badan kebudayaan, bahkan
gerakangerakan politik. Wartawan menjadi tokoh pergerakan, atau sebaliknya tokoh pergerakan
menerbitkan pers. Sejak lahirnya Budi Utomo pada bulan Mei 1908, pers merupakan sarana

8
komunikasi yang utama untuk menumbuhkan kesadaran nasional dan meluaskan kebangkitan bangsa
Indonesia.

Pada gilirannya proses tersebut mengukuhkan gerakan mencapai kemerdekaan. Lahirlah


surat-su rat kabar dan majalah seperti Benih Merdeka, Sora Ra’jat Merdika, Fikiran Ra’jat, Daulat
Ra’jat, Soeara Oemoem, dan sebagainya, serta organisasi Persatoean Djoernalis Indonesia (1933)
adalah tanda-tanda meningkatnya perjuangan kemerdekaan di lingkungan wartawan dan pers nasional
sebagai bagian dari perjuangan nasional secara keseluruhan (Smith, 1983:74, Surjomihardjo, 2002:
76-102).

2. Masa Kemerdekaan
Antara awal kemerdekaan dan sepanjang masa Demokrasi Terpimpin, hingga menjelang Orde
Baru tahun 1966, kehidupan politik, terutama dunia kepartaian, sangat berpengaruh terhadap
perkembangan pers nasional. Pola pertentangan antara kelompok pemerintah dan kelompok oposisi
dalam dunia kepartaian juga ditumbuhkan dalam dunia pers, sehingga timbul di satu pihak pers
pendukung pemerintah (tepatnya prokabinet) dan di lain pihak pers oposisi.

Konfigurasi sikap dan kedudukan pers berubah seiring dengan terjadinya perubahan
konfigurasi politik kepartaian dan pemerintahan. Bahkan sebagian pers memilih pola pers bebas
seperti di negara liberal, dengan kadar kebebasan dan persepsi tanggung jawab yang banyak
ditentukan oleh wartawan secara individualis. Muncul nama seperti Rosihan Anwar, Mochtar Lubis,
B.M Diah, yang ikut berjuang dengan pena dan tulisan untuk ’membakar’ semangat juang bangsa
Indonesia dalam meraih dan mengisi kemerdekaan. Buat Mochtar Lubis dan kawan2 saat itu, berjuang
bukan hanya mengangkat senjata ataupun aktif dalam kepartaian, namun memberikan wawasan,
pencerahan, informasi mengenai Indonesia Merdeka adalah juga bagian dari perjuangan kemerdekaan
bangsa. Kondisi pers nasional ini berlaku dalam masa perjuangan mempertahan kemerdekaan antara
tahun 1945-1949, dan dalam masa pemerintahan parlementer antara tahun 1950-1959. Ekses dari
kondisi ini adalah penodaan terhadap kebebasan pers (Hamad, 2004:62-63).
Meskipun sistem parlementer telah terkubur, sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
yang memberlakukan kembali UUD 1945, pola pertentangan partai masih bertahan. Pada masa
Demokrasi Terpimpin tersebut, wartawan Indonesia umumnya, dan Persatuan Wartawan Indonesia
(didirikan pada tanggal 9 Pebruari 1946) khususnya, tetap berpegang teguh pada dasar negara
Pancasila dan UUD 1945 (Surjomihardjo, 2002:181-183).

3. Masa Orde Baru Orde


Baru bangkit sebagai puncak kemenangan atas rezim Demokrasi Terpimpin yang pada
hakikatnya telah dimulai sejak tahun 1964 tatkala kekuatan Pancasila, termasuk pers, mengadakan

9
perlawanan terbuka terhadap ofensif golongan PKI melalui jalur Manipolisasi dan Nasakomisasi.
Kehancuran G30S/ PKI merupakan awal ’pembenahan’ kehidupan nasional, pembinaan di bidang
pers dilakukan secara sistematis dan terarah.

Pada masa ini produk perundangan pertama tentang pers adalah UU no 11 tahun 1966.
Pengembangan pers nasional lebih lanjut diwujudkan dengan mengundangkan UU no 21 tahun 1982
sebagai penyempurnaan UU no 11/1966. Penciptaan lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP) mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan kebebasan pers yang dikendalikan oleh
pemerintah atau kebebasan pers yang bertanggung jawab pada pemerintah, suatu bentuk
pengadopsian terhadap teori pers otoriter (Hamad, 2004:63).

Pada era Soeharto, pers dinyatakan sebagai salah satu media pendukung keberhasilan
pembangunan. Bentuk dan isi pers Indonesia perlu mencerminkan bentuk dan isi pembangunan.
Kepentingan pers nasional perlu mencerminkan kepentingan pembangunan nasional. Hingga timbul
istilah: pers pembangunan. Dari kenyataan ini terlihat bahwa pers Indonesia tidak mempunyai
kebebasan karena pers harus mendukung program pemerintah Orde Baru. Pers sangat tidak
diharapkan memuat pemberitaan yang dapat ditafsirkan bertentangan dengan program pemerintah
Orde baru. Tanggung jawab pers bukan pada masyarakat melainkan pada penguasa Orde Baru.

Lebih lanjut, pers tidak hanya dijadikan sebagai saluran propaganda untuk mempertahankan
hegemoni kekuasaan dan kepentingan status quo. Pers juga berfungsi sebagai alat represi. Salah satu
contoh kasus adalah yang dialami oleh Partai Rakyat Demokratik, pada sekitar peristiwa penyerbuan
kantor DPP PDI tanggal 27 Juli 1996, dimana pihak pemerintah/ militer menggunakan momentum
tersebut untuk memukul gerakan pro-demokrasi. Terkait peristiwa ini, hampir semua media massa
harus memuat berita dan statemen petinggi militer untuk meneror kesadaran para aktivis dan
simpatisan PRD – melalui isu makar, isu komunis, dan lainnya. Pemberitaan tersebut mempunyai efek
yang bisa jadi lebih buruk dibandingkan pengejaran, penangkapan, dan pemenjaraan. Akibatnya,
sebagian anggota PRD menjadi patah semangat, ketakutan, trauma, tertekan, dan lainnya – para
keluarga melarang anak-anaknya untuk terus aktif, dan para kerabat menjadi takut berhubungan.
Teror media mempunyai akibat lebih luas karena penyebarannya yang begitu masif, dan bisa
berakibat buruk karena langsung menghantam kesadaran (Budiman Sudjatmiko dalam Pers Dalam
Revolusi Mei, 2000:250).

Implikasi intervensi kepentingan pemerintah juga berakibat buruk pada independensi media.
Saat itu, tidak ada satupun pers yang mempunyai sikap independen dan kritis terhadap pemerintah,
karena dengan berbagai cara pemerintah selalu berupaya mengontrol pers secara represif. Pemerintah
tidak hanya mempraktekkan ’budaya telepon’ untuk menteror kebebasan, tetapi juga melakukan
pembreidelan penerbitan, pemberhentian pasokan kertas koran hingga menghilangkan nyawa
wartawan - merupakan konsekuensi yang harus ditanggung manakala pers menulis pemberitaan yang
mengkritik ataupun bertentangan dengan kebijakan pemerintahan. Pembreidelan dianggap sangat
riskan dan berbahaya oleh pihak pengelola pers mengingat investasi industri media memiliki tingkat
kapitalisasi modal yang besar (Hamad, 2004:64).

Selama Orde Baru disamping media pemerintah, TVRI dan RRI, semua media yang ada
diupayakan agar tidak hanya menjadi ‘patner’ pemerintah dalam pembangunan, tetapi juga sebagai
instrumen hegemoni. Pers oleh penguasa diposisikan sebagai apparatus persuasif atau ideological
state apparatus untuk kepentingan pemeliharaan dan reproduksi struktur politik otoritarian yang telah

10
dibangun. Instrumen ini diharapkan mampu membuat setiap warga negara menempatkan diri dalam
horizon pemikiran rezim Orde Baru. (Hidayat, 2000:149).

Tidak adanya kebebasan berpendapat dan kebebesan pers membuat media di Indonesia pada
rezim Orde Baru tidak pernah berhasil mengangkat dirinya sebagai pilar keempat demokrasi. Satu hal
lainnya adalah struktur organisasi media itu sendiri sebagai corong bagi kepentingan pemilik modal
dan kelompok usahanya mau tidak mau membuat media harus tunduk kepada aturan main di dalam
perusahaan yang kerap mencerminkan ketergantungan antara pemiliknya dan pemerintah.

Pemerintah Orde Baru menganggap pers yang bebas akan dapat mengganggu stabilitas
negara, keamanan dan kepentingan umum, sehingga laju kebebasannya harus dikontrol dengan ketat.
Maka lahirlah perlakuan represif Negara terhadap pers sepanjang sejarah Orde Baru. Media tidak
mungkin bisa mengatakan sesuatu sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Media harus mengutip
keterangan resmi pemerintah dalam mengangkat suatu peliputan yang sangat politis, atau sama sekali
tidak mengangkatnya. Pencabutan SIUPP dan “budaya telepon” oleh pejabat membuat media ciut
nyali dan akhirnya percaya bahwa iklim keterbukaan seperti yang dijanjikan Soeharto melalui pidato
kenegaraan Agustus 1990 hanya sekedar jargon pemerintah.

Sungguh ironis, ditengah cengkraman kuatrezim Soeharto dalam gerak pers di Indonesia,
tanpa disadari – Soeharto telah menanam benih yang dituainya bulan Mei 1998, dengan melakukan
pencabutan izin terbit (SIUPP) tiga terbitan yaitu TEMPO, EDITOR dan DETIK pada tahun 1994.
Tanpa diprediksi sebelumnya, dengan membungkamkan tiga terbitan legal tersebut, muncullah
terbitan bawah tanah yang kapasitasnya untuk mengkritik pemerintah jauh lebih besar daripada
terbitan ‘jalur tengah’ yang dihilangkan. Juga dengan membreidel ketiga terbitan yang disegani ini,
telah menciptakan solidaritas kalangan menengah, buruh, intelektual, serta kaum pemodal yang
kesemuanya bersatu padu, dan pada akhirnya menolak kelangsungan pemerintahan Orde Baru.

4. Era Reformasi

Pada tahun 1998, lahir gerakan reformasi terhadap rezim Orde Baru. Keberhasilan gerakan
ini, melahirkan peraturan perundangan-perundangan sebagai pengganti peraturan perundangan yang
menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, UU no 40 tahun 1999 merupakan salah satu contoh. Sejak
sistem politik Indonesia mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif, pers Indonesia telah
menganut teori pers tanggungjawab sosial (kebebasan pers yang bertanggung jawab pada
masyarakat/kepentingan umum). Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982
yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers, UU no 40 tahun 1999
memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Penanda itu terletak antara lain pada pasal 15 dan
17 UU no 40 tahun 1999 (Hamad, 2004:66).

UU Pokok Pers no 40/1999 sebenarnya telah memberi landasan yang kuat bagi perwujudan
kemerdekaan pers di Indonesia. Pembatasan jumlah Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP),
praktek yang lazim di era Soeharto, praktis sudah tidak ada lagi. Jika dihubungkan dengan teori media
normatif maka keadaan pers Indonesia dimasa era reformasi saat ini adalah gambaran dari a liberal-
pluralis or marked model, dimana isu-isu yang diliput oleh pers semakin beragam. Banyak
bermunculan penerbitan baru baik dalam bentuk tabloid, majalah, surat kabar. Dari politik, ekonomi
sampai yang berbau pornografi. Kualitas penerbitannyapun beragam, dari yang bermutu lumayan
hingga yang berkualitas ’sampah’.

Jika dihubungkan dengan teori media normatif maka keadaan pers Indonesia dimasa era
reformasi saat ini adalah gambaran dari a liberal-pluralis or marked model, dimana isu-isu yang
diliput oleh pers semakin beragam. Banyak bermunculan penerbitan baru baik dalam bentuk tabloid,

11
majalah, surat kabar. Dari politik, ekonomi sampai yang berbau pornografi. Kualitas penerbitannya
pun beragam, dari yang bermutu lumayan hingga yang berkualitas ’sampah’.

Peningkatan kuantitas media belum disertai dengan perbaikan kualitas jurnalismenya. Banyak
media yang hanya menjual gosip alias desas desus dengan warna pemberitaan yang kental
keberpihakan atau penyudutan kepada suatu golongan/partai tertentu maupun individu. Pemberitaan
sering dilakukan tanpa didukung fakta yang kuat, selain hanya potongan-potongan komentar yang
tidak seimbang dari hasil wawancara yang kurang mendalam.

Jika kenyataan ini dikaitkan dengan model teori normatif jelas bahwa rasa tanggung jawab
sosial media belumlah nampak. Karena disadari atau tidak, jurnalisme media yang buruk kualitas
pemberitaannya dapat menjadi sumber penyebab dari penyakit/masalah sosial yang di hadapi oleh
masyarakat, seperti peningkatan masalah kriminal, kekerasaan, penyimpangan sexual (homoseksual,
paedophilia, pelacuran), tumbuhnya sikap individualistik, terbentuknya virtual society, dan lainnya.

Tampaknya media di Indonesia masih terbius dengan eforia kebebasannya, dan lebih memilih
kepentingan komersial yang cenderung mengutamakan keuntungan, dimana aspek kriminalitas, gosip,
dan seks lebih mengandung nilai pasar dibandingkan menjalankan tanggung jawab sosial dalam
penyampaian informasi dan pencerahan publik sebagai konsekuensi hubungan media dengan
masyarakat, walaupun iklim regulasi sudah membaik dan kondusif.

Tak kurang Yin pun mengulas dalam artikelnya Beyond The Four Theories Of The Press: A
New Model For The Asian & The World Press (2008), bahwa sistem pers di Indonesia pada era
reformasi termasuk sistem pers bebas dan tidak bertanggung jawab, yaitu bahwa sistem pers di
Indonesia benar-benar telah begitu bebas, sehingga gagal untuk mengedepankan prinsip-prinsip dasar
jurnalistik, dan tidak punya peran positif dalam masyarakat. Banyak media yang melanggar prinsip
dasar jurnalistik, yaitu dalam menyampaikan kebenaran. Sistem pers didikte oleh kekuatan pasar,
isinya cenderung sensasional, kurang penghargaan pada etika, banyak kekerasan dan pornografi,
berita bohong dan provokatif, pembunuhan karakter, wartawan amplop, maupun iklan yang
menyesatkan. Pers kerap dipakai sebagai kepentingan politik pribadi ataupun kelompok tertentu. Hal
ini sebagai dampak pemusatan kepemilikan media pada segelintir orang.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pers atau media massa merupakan sarana atau wadah bagi masyarakat untuk mendapatkan
informasi. Pers pada masa Orde Baru sangat terikat oleh pemerintah, sehingga menimbulkan
terjadinya pengekangan atau tidak adanya kebebasan terhadap media massa. Barulah setelah
reformasi tepatnya tahun 1999 keluarlah Undang-Undang Pers yang memberikan kebebasan
pers.
2. Pers sangat berpengaruh pada situasi politik di Indonesia (1970-1975). Salah satu fungsi pers
sebagai kontrol sosial dapat membongkar kasus korupsi Pertamina.
3. Perkembangan pers di Indonesia sendiri, dilatarbelakangi oleh kondisi sosial, ekonomi, serta
politik yang selalu mengalami dinamika perubahan. Dinamika dalam perkembangan pers di
Indonesia ini terlihat dari berbagai perubahan yang terjadi dalam sejarah pers Indonesia.
4. Pers mengikuti perkembangan masyarakat dengan melihat pertumbuhan sistem pemerintahan
yang terus berkembang, mendorong kebebasan pers ikut mengalami perkembangan.
5. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Terhadap pers nasional tidak
dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan.

Dari kesimpulan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pers di Indonesia memiliki peran penting
sebagai sarana untuk mendapatkan informasi dan kontrol sosial. Selain itu, perkembangan pers di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, serta politik yang selalu mengalami
dinamika perubahan. Terakhir, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan tidak
dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan.

B. Saran

▪ Penguatan Etika Jurnalistik: Media di Indonesia perlu meningkatkan pemahaman dan


kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik serta mendorong pelatihan etika jurnalistik untuk
membina profesionalisme jurnalis.
▪ Transparansi Kepemilikan Media: Pemerintah perlu mendorong transparansi kepemilikan
media sehingga masyarakat dapat mengetahui siapa yang memiliki media dan
mengidentifikasi potensial bias dalam berita.
▪ Reformasi Regulasi Media: Evaluasi ulang regulasi media yang ada untuk memastikan
bahwa undang-undang mendukung kebebasan pers dan menjaga kualitas berita, serta
melibatkan pemangku kepentingan dalam proses perumusan kebijakan.

13
▪ Perlindungan Terhadap Jurnalis: Diperlukan langkah-langkah lebih lanjut untuk
melindungi jurnalis, termasuk penegakan hukum yang tegas terhadap ancaman terhadap
jurnalis.
▪ Pendidikan Jurnalis: Meningkatkan kualitas pendidikan jurnalis adalah kunci untuk
meningkatkan standar berita; universitas dan institusi pendidikan harus memastikan bahwa
lulusan mereka memahami prinsip-prinsip jurnalisme yang kuat.
▪ Peran Masyarakat: Masyarakat juga memiliki peran dalam mendukung kebebasan pers
dengan mendukung media independen, berpartisipasi dalam literasi media, dan memahami
pentingnya kebebasan pers.

Langkah-langkah ini dapat membantu memperkuat sistem pers di Indonesia, yang pada
gilirannya akan berkontribusi pada demokrasi yang sehat, kebebasan informasi, dan akuntabilitas
pemerintah.

14
DAFTAR PUSTAKA

Hamad, Ibnu. (2004). Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa. Jakarta: Granit.

Hidayat, Dedy. N. (2000). Pers Dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Said, Tribuana. (1988). Sejarah Pers Nasional Dan Pembangunan Pers Pancasila. Jakarta: CV Haji
Masagung.

Smith, Edward. C. (1983). Sejarah Pembreidelan Pers Di Indonesia. Jakarta: Grafitipers.

Siebert, Fred S, et.al. (1986). Empat Teori Pers (terj.: Putu Laxman Senjaya Pendit). Jakarta: PT
Intermasa

Surjomihardjo, Abdurachman. (2002). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers Di Indonesia.


Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Yin, Jiafei. (2008). Beyond The Four Theories Of The Press: A New Model For The Asian & The
World Press. Journalism Communication Monographs, Vol. 10, No.1

15

You might also like