You are on page 1of 21

BAB II

PRINSIP PRINSIP MUAMALAH DALAM ISLAM

1. Prinsip-prinsip Muamalah Dalam Islam


Agar kegiatan muamalah seseorang sejalan dengan ketentuan
agama maka dia harus menyelaraskan dengan prinsip-prinsip muamalah
yang digariskan dalam ajaran Islam. Prinsip-prinsip muamalah adalah
hal-hal pokok yang harus dipenuhi dalam melakukan aktifitas yang
berkaitan dengan hak hak kebendaan dengan sesama manusia. Hal-hal
yang menjadi prinsip dalam bermuamalah adalah:
1.1 Mubah
Prinsip dasar dalam setiap bentuk muamalah dalam Islam
adalah mubah atau boleh. Setiap akad muamalah yang dilakukan
manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya adalah boleh
selama tidak ada dalil yang menyatakan keharamannya. Hal ini
didasarkan pada kaedah fiqih.


Artinya: Pada prinsipnya segala sesuatu itu hukumnya mubah sampai
ada dalil yang menyatakan keharamannya” (Rozalinda
2005,4)

Kaidah ini berlaku dalam bidang muamalah dan transaksi. Dari


kaidah ini dapat dipahami bahwa segala macam cara untuk
bermu’amalah atau segala macam pekerjan dibolehkan kecuali yang
tegas-tegas diharamkan dalam dalil yang menunjukkan keharaman
suatu pekerjaan tersebut. Adapun kaidah lain yang menerangkannya
adalah :

Artinya: ”Tidak ada hukum terhadap suatu perbuatan sebelum


datangnya syari’ah”. (Djazuli 2006, 52)

18
19

Maksud kaidah ini adalah tidak ada pelarangan terhadap


suatu perbuatan sebelum adanya dalil syari’ah yang menjelaskannya.
seperti berjudi, minum khamar. maka perbuatan berjudi dan minum
khamar ini boleh saja. Karena tidak ada dalil yang meng-
haramkannya.
Kaidah ini sejalan dengan kaidah lain yang berbunyi:

“Pada dasarnya dalam ibadah, semuanya batal, sehingga ada dalil


yang memerintahkannya”(Muslich 2010, 4 )

Dan hadis Rasulullah SAW yang menyatakan:

Artinya: “Dari Abi Tsa’labah Al Khutsani berkata dia. Rasulullah SAW


telah bersabda: sesungguhnya Allah ‘Azza wa jalla telah
memfardukan beberapa ketentuan, jangan kamu sia-siakan
(hilangkan), dia mengharamkan beberapa yang diharamkan
jangan kamu langgar, dia telah menetapkan hudud(batasan-
batasan)jagan kamu melampauinya, dan dia mendiamkan
(tidak menetukan hukum) pada banyak hal bukan karena
kelupaan, jangan kamu membahasnya “(HR. Ad-Daruqutni).
(Haroen 2007, x)

Yang dimaksud dengan dalil pada kaedah ini adalah dalil yang
bersumber dari nash dan dalil dalam pengertian Qorinah (tanda atau
indikasi) yang ada pada akad sebagai firman Allah SWT dalam surat
Al-Baqarah ayat 275:
20

ũ -   oh   \\  \ \
 . . . . .

   \ Q     \ ľ o  


 

Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan


riba”.Maka seluruh bentuk jual beli yang memenuhi rukun
dan syarat dibolehkan dalam Islam. Namun bila ada qarinah
atau indikasi yang mengarah kepada bentuk yang terlarang
misalnya ada unsur tipuan dalam jual beli maka jual beli
menjadi terlarang (QS. Al-Baqarah: 275)”.

1.2 Halal
Dalam melakukan Muamalah, benda yang akan ditransaksikan
harus suci zatnya sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-
Maidah ayat 88:

  ß \   \


Z
Artinya: “Makanlah olehmu sesuatu yang ada di bumi yang halal lagi
baik (QS. Al-Maidah: 88)”.

Halal Al-thayyiban pada ayat ini mengandung pengertian zat


pada benda yang ditransaksikan harus halal dan cara memperoleh
benda tersebut harus dengan cara yang halal pula. Dengan demikian
tidak dibenarkan melakukan muamalah terhadap benda yang haram
secara zat seperti bangkai dan tidak dibenarkan melakukan muamalah
terhadap benda yang diperoleh dengan cara yang tidak sah seperti
jual beli barang hasil curian dan sebagainya. Pada dasarnya semua
yang baik dihalalkan. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam
surat Al-Maidah ayat 5:

 \   \


21

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik (QS. Al


Maidah: 5)”.

1.3 Sesuai Dengan Ketentuan Syari’at dan Aturan Pemerintah


Dalam Islam prinsip yang berlaku adalah melakukan transaksi
harus sesuai dengan apa yang diatur dalam syari’at dan peraturan
pemerintah. Maka transaksi yang dilakukan dengan cara melawan
hukum atau bertentangan dengan ketentuan syari’at dipandang tidak
sah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al
Maidah ayat 59:

 ľ Jj   \  ľ    \
 

  ZZ    Jj


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya (QS.Al Maidah: 59)”

Maksud dari ayat di atas adalah setiap muamalah yang


dilakukan harus mematuhi dan mentaati ketentuan yang ada dalam
Al-qur’an dan Hadits serta ijma’ ulama serta peraturan pemerintah.
Sebagai prinsip dari syari’at adalah menentangkan sikap amal ma’ruf
nahi mungkar. Dengan dasar prinsip ini segala transaksi yang
membawa arah positif atau kebaikan dapat dibenarkan selama tidak
bertentangan dengan ketentuan syari’at. Sebaliknya setiap transaksi
yang membawa ke arah negatif atau merugikan para pihak dilarang
oleh syari’at. Begitu juga dengan mua’malah yang dilakukan harus
dapat merealisasikan tujuan syari’at yaitu mewujudkan kemaslahatan
dan menghindarkan kemudharatan dalam kehidupan manusia.
(Rozalinda 2005, 6)
22

Maksudnya setiap transaksi yang akan dilakukan harus sesuai


dengan ketentuan syari’at Islam. Artinya tidak boleh melakukan
transaksi yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti larangan
jual beli gharar karena dikhawatirkan terjadi unsur penipuan
disebabkan tidak jelasnya unsur-unsur yang diperjual belikan.
Sebagaimana hadits Nabi saw:

Artinya: “Dari Abdullah bin Umar ra ia berkata seseorang laki-laki


bercerita kepada Nabi saw bahwa ia ditipu orang dalam jual
beli maka Nabi bersabda:”apabila engkau berjual beli maka
katakanlah, tidak boleh adanya tipuan”. (HR.Al-Bukhari). (Al
Ja’fi 1987, 745)

Jadi jelaslah bahwa setiap muamalah dilakukan harus sesuai


dengan ketentuan yang telah ada dalam nash (Al-Qur’an dan Hadits)
serta Ijma’ Ulama.

1.4 Azas manfaat


Benda yang akan ditransaksikan harus mempunyai manfaat.
Baik manfaat yang dirasakan secara langsung seperti buah-buahan
atau tidak langsung seperti bibit tanaman. Jadi tidak dibenarkan
melakukan transaksi terhadap benda yang akan mendatangkan kesia-
sian pada para pihak. Karena mu’amalah dalam Islam harus
mengandung manfaat dan menghindari bentuk kesia-sian, karena
kesia-sian itu termasuk saudara setan sesuai dengan firman Allah
SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 27 yang berbunyi :

 \Z - \ hZ  \ ľ \hZ


\ ľ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menyia-nyiakan harta itu
adalah saudara syetan (QS. Al Isra’: 27)”.
23

Pengertian benda yang dimanfaatkan tentunya sangat relatif,


sebab pada hakikatnya seluruh barang yang dijadikan sebagai objek
jual beli adalah merupakan barang yang dapat dimanfaatkan.
Jadi yang dimaksud dengan benda yang bermanfaat itu adalah
sesuatu yang bernilai guna untuk sesuatu yang tidak bertentangan
dengan agama, misalnya suatu barang dibeli untuk berberbuat yang
bertentangan dengan syari’at Islam, maka dapat dikatakan bahwa
benda itu tidak bermanfaat. Oleh sebab itu sesuatu yang tidak
bermanfaat bahkan sesuatu yang bisa mengancam kehidupan manusia
tidak boleh diperjual belikan. Ini sesuai dengan kaidah ushul fiqih
yang berbunyi:

Artinya: “Segala sesuatu yang menuju terciptanya sesuatu yang haram,


maka itu haram”. (Haroen 1996, 172)

Kaidah Mu’amalah yang menerangkan tentang manfaat ini

adalah :

Artinya :“Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti


kerugian.”(Djazuli 2006, 133)

Maksud kata Al-Kharaja dalam kaidah adalah suatu yang


dikeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan seperti buah yang
keluar dari pohon. Maksudnya adalah buah yang keluar dari
pohonnya merupakan suatu manfaat yang dapat diambil dari
pohonnya. Jika seseorang membeli satu pohon manggis, maka ia
berhak mendapatkan buah manggis dari pohon tersebut Karena buah
adalah manfaat yang keluar dari pohon manggis dan tidak bisa
dipisahkan dari pohonnya.
24

Sedangkan arti dhamani adalah pengganti kerugian.


Maksudnya seseorang yang membeli pohon manggis tadi belum bisa
dikatakan membeli dan berhak memanfaatkan pohon manggis dan
buahnya bila ia belum meyerahkan uang. Fungsi uang adalah sebagai
harga yang telah disepakati antara penjual dan dirinya selaku pembeli
sebagai ganti rugi dari pembeli kepada penjual yang telah
menyerahkan pohon manggisnya.
Prinsip dasar dalam persoalan muamalah adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan umat manusia, dengan memperhatikan
dan menpertimbangkan berbagai situasi dan kondisi di sekitar
manusia itu sendiri. Hukum Islam sangat memperhatikan terhadap
keadaan khusus, yang kesukarannya perlu dikurangi guna memberi
kemudahan bagi orang-orang yang terpaksa. Firman Allah SWT dalam
surat Al-Baqarah: 185:

\ k   \ k


\ 
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran (QS. Al Baqarah: 185)”.

Ibnu Qayyim mengatakan bahwa basis syariat Islam adalah


hikmah dan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Kemaslahatan ini terletak pada keadilan sempurna, rahmat,
kebahagiaan, dan kebijaksanaan. Pada kenyataannya dalam praktek
muamalah yang Islami di Indonesia pada Lembaga Keuangan Syariah
(LKS) baik perbankan syariah , asuransi syariah, reksadana syariah,
leasing dan sebagainya. Masih baru dan lingkungan atau negara yang
tidak (belum) menerapkan sistem syariah maka sering menghadapi
situasi yang sulit. Dalam situasi seperti itu Dewan Pengawas Syariah
(DPS) sering mengeluarkan fatwa dengan latar belakang dharurah,
yang isinya dalam rangka kemaslahatan. (Sula 2004, 744)
Kaedah fiqih mengatakan :
25

Artinya: “Pada dasarnya semua untuk muamalah boleh dilakukan


kecuali kalau ada dalil yang mengharamkannya”. (Djazuli
2006, 130)

Para ulama mendasarkan ketetapan bahwa segala sesuatu


mubah seperti tersebut di atas dengan dalil-dalil Al-Qur’an dalam
firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 29:

… ġ\     \ …


Artinya: “Dialah yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada
dibumi ini semuanya. (QS. Al Baqarah: 29)”.(Departemen
Agama 2009, 5)

Al-Qardhawi dalam bukunya Halal dan Haram dalam Islam,


mengatakan bahwa kaedah asal segala sesuatu adalah halal, ini tidak
terbatas dalam masalah benda, tapi meliputi masalah-masalah
perbuatan lain dan pekerjaan yang tidak termasuk kepada urusan
ibadah, yaitu yang biasa disebut dengan muamalah. Pokok dalam
masalah tidak halal, tidak haram, dan tidak terikat kecuali yang
memang telah diharamkan oleh syariat. Adapun dalam soal ibadah,
tidak boleh dikerjakan kecuali dengan syarat yang telah ditetapkan
oleh Allah dan hukum atau muamalah tidak boleh diharamkan kecuali
dengan ketentuan yang diharamkan Allah. (Al-Qardawi 1997, 16)
Ini adalah suatu kaedah yang besar sekali manfaatnya, dengan
dasar itulah manusia dapat melakukan jual beli, sewa menyewa
sesuka hati selama hal itu tidak diharamkan oleh syara’. Sesuatu yang
oleh syara’ tidak diberi pembatasan, mereka dapat menetapkan
menurut kemutlakan hukum asal.
26

1.5 Azas Kerelaan


Asas kerelaan ini mengandung makna bahwa setiap hubungan
perdata harus dilakukan secara bebas dan sukarela. Kebebasan
kehendak para pihak yang melahirkan kerelaan dalam persetujuan
harus senantiasa diperhatikan. Asas ini juga mengandung arti bahwa
selama teks Al-qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad tidak mengatur
suatu hubungan perdata, selama itu pula para pihak bebas
mengaturnya atas dasar kerelaan masing-masing.
Dalam muamalah, setiap akad atau transaksi yang dilakukan
dengan sesama manusia harus dilakukan atas dasar suka sama suka
atau kerelaan. Hal ini dimaksud agar dalam setiap transaksi tidak
terjadi karena paksaan dan intimidasi pada salah satu pihak atau
pihak lain, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat An-
Nisa Ayat 29 yang berbunyi :


  ak  \  \ \ 
ľ  \

 hZ
    \    ġ\  õS 
\ ľ ũ

 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu, (An-Nisa’: 29)”.

Ayat di atas menjelaskan ada dua perkara sebagai syarat bagi


syahnya perdagangan. Pertama, hendaknya perdagangan itu
dilakukan dengan dasar suka sama suka di antara kedua belah pihak.
Kedua, hendaklah keuntungan satu pihak tidak berdiri di atas dasar
kerugian pihak lain. Tanpa dilandasi dengan keridhaan, maka seluruh
akad dalam muamalah menjadi batal, demikian kedudukan prinsip
27

muamalah menjadi sangat fatal dalam akad-akad yang dibuat dalam


muamalah yang dilandasi hukum syariah. Wahbah Az-Zuhaili
mengatakan bahwa berdasarkan ayat di atas, “maka dimana ada
kerelaan berarti ia akan mensyahkan adanya kontrak atau akad
muamalah dan tanggungannya tanpa perlu syarat-syarat tertentu”.
(Zuhaili 2011, 391)
An taradin dalam prinsip di atas dimaksudkan bahwa transaksi
muamalah harus dilakukan atas kemauan dan pemikiran sendiri,
bukan atas dasar terpaksa atau dipaksa orang lain. Secara hukum
kerelaan hukum dan tidak bisa dibuktikan karena sulit untuk
mengukur sejauh mana seseorang rela terhadap transaksi yang
dilakukannya. Maka prinsip An taradin ini harus dimanifestikan
melalui akad (transaksi) yaitu ijab kabul, atau dalam bentuk mu’athah
yaitu saling memberi antara para pihak yang melakukan transaksi
tanpa lafaz ijab dan qabul seperti yang berlaku di pasar swalayan pada
saat ini. (Rozalinda 2005, 7)
Berdasarkan ayat di atas dapat diambil suatu kesimpulan yang
mirip suatu kaidah yang berlaku dalam bidang muamalat yang
berbunyi :

“Kerelaan merupakan dasar semua hukum (muamalah)”.

Kaidah Muamalah yang mengatakannya adalah :

Artinya: “Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah


pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang
diakadkan”. (Djazuli 2006, 130)

Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip, oleh


karena itu transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan
kedua belah pihak. Artinya tidak sah suatu akad apabila salah satu
28

pihak dalam keadaan terpaksa atau juga merasa tertipu. Bisa jadi pada
waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak
merasa tertipu dan hilanglah keridhaannya, maka akad tersebut bisa
dibatalkan.
Untuk menunjukkan adanya kerelaan dalam setiap akad atau
transaksi dilakukan ijab dan kabul atau serah terima antara kedua
belah pihak yang melakukan transaksi. (Muslich 2010, 8)
Kerelaan dalam jual beli merupakan prinsip yang sulit diukur
dengan kualitasnya. Namun kerelaan ini dapat dilihat dari ijab dan
qabul yang diucapkan yaitu dengan saling menerima dan memberi
antara penjual dan pembeli. Dengan adanya saling menerima dan
memberi antara penjual dan pembeli itu artinya secara tidak langsung
ada kerelaan dari penjual untuk memberikan barangnya (menjual),
serta ada kerelaan dari pembeli untuk memberikan uang sebagai ganti
dari barang yang ingin dibelinya.

1.6 Azas niat


Niat merupakan sesuatu yang sangat menentukan nilai suatu
perbuatan, karena hasil dari suatu perbuatan tergantung pada niat.
Bahkan dalam setiap perbuatan yang baik dan benar (ibadah)
menghadirkan niat hukumnya fardhu bagi setiap pelaksanaannya.
Banyak Hadits yang mencantumkan seberapa penting arti
menghadirkan niat dalam setiap perbuatan. Niat juga mengandung
makna keikhlasan terhadap apa yang akan kita lakukan. Jadi pada
intinya setiap niat yang baik pasti menghasilkan perbuatan yang baik
pula dan sebaliknya, setiap niat yang buruk akan menghasilkan
perbuatan yang buruk pula. (Baits 2016 ) Hal ini sesuai dengan hadis
Nabi SAW:
29

Artinya: “Dari Umar bin Khattab dia berkata: aku mendengar


Rasulullah saw berkata: sesungguhnya setiap perbuatan itu
tergantung kepada niatnya”. (HR.Al- Bukhari). (Al Ju’fi 1987,
1)

Baik dan buruknya hasil dan transaksi tergantung pada niat


seseorang, karena niat merupakan tolak ukur untuk membedakan
ikhlas atau tidaknya seseorang. Kalau seseorang melakukan jual beli
atau transaksi lainnya dengan niat karena Allah maka perbuatan yang
dilakukannya itu akan bernilai ibadah di sisinya. Tapi jual beli atau
transaksi bisnis lainnya dilakukan hanya untuk mendapatkan
keuntungan semata, maka yang akan diperoleh hanyalah nilai
materinya saja tanpa ada nilai ibadah didalamnya. Karena niat
disyariatkan dalam Islam adalah untuk membedakan antara
perbuatan yang bernilai ibadah dengan perbuatan yang hanya semata
kebiasaan atau rutinitas. (Rozalinda 2005, 7)

1.7 Azas tolong menolong


Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa
membutuhkan manusia lain dalam rangka memenuhi segala
kebutuhan hidupnya. Karena manusia juga makhluk yang lemah, dia
tidak mampu memenuhi segala kebutuhan hidupnya sendiri, dengan
demikian manusia akan saling membutuhkan satu sama lainnya.
Untuk itu perlu dikembangkan sikap hidup tolong-menolong dengan
sesama manusia dalam setiap aspek kehidupan, sesuai dengan firman
Allah SWT surat Al-Maidah ayat 2:

i\
 \  \   \  .......
 \

 \  \ ľ  \ \\ 


\
Artinya : “Saling tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa
dan janganlah kamu saling tolong-menolong dalam dosa dan
permusuhan (QS. Al Maidah: 2)”.
30

Berdasarkan ayat Al-Qur’an di atas dapat diketahui bahwa


orang yang melakukan suatu transaksi itu hendaklah memiliki sifat
tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Seperti saling
memberi kebaikan, misalnya dalam jual beli penjual melebihkan
sedikit timbangan barangnya kepada pembeli. Pembelipun juga harus
suka menolong.
Sifat dasar usaha muslim itu adalah :
1.7.1 Jangan bersikap curang. (Qardawhi 1996, 538) Dalil Al-Qur’an
yang melarang sikap curang ini adalah surat al- Mutaffifin ayat 1-
3:

\ľ
 \  \Z\ \ľ \  

   Z


Artinya :”Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.
(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran
dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain,
mereka mengurangi.”(QS. Al-Mutaffifin : 1-3)

1.7.2 Bersifat inovatif. Al-Qur’an menempatkan manusia sebagai


khalifah dengan tugas memakmurkan bumi, melakukan
perubahan dan perbaikan.
1.7.3 Membuat manajemen dan administrasi yang baik. (Tim
Multitama Comunication 1996,13-15) Allah menetapkan
manajemen yang baik itu semenjak dari dulu. Salah satu contoh
ayat nya adalah surat al-Baqarah 282 :

oũ   ľ  ẽ\ \ľ \\ \ 
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ”.(QS. al-
Baqarah : 282)
31

1.7.4 Disamping itu sebuah karya usaha haruslah berkelanjutan,


bukan hanya untuk kepentingan individu.. Tapi untuk generasi
ke generasi selanjutnya. (Ibrahim 2003, 50) adalah surat an-
Nisa’ ayat 9 :


\h     \Z  \ 


9) : ‫(النساء‬
\  \ \ \
Artinya: ”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-
anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar”. (QS. An-Nisa’: 9)

Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa


membutuhkan manusia lain dalam rangka memenuhi semua
kebutuhan hidupnya, karena manusia juga makhluk yang lemah
yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri,
dengan demikian manusia akan saling membutuhkan satu sama
lainnya. Untuk itu perlu dikembangkan sikap hidup tolong
menolong dengan sesama manusia dalam setiap aspek
kehidupan.
Setiap transaksi yang dilakukan harus ada unsur tolong
menolong didalamnya. Misalnya pada transaksi jula beli, pada
dasarnya jika akad dilakukan dengan sebaik-baiknya maka di
dalamnya sudah ada bentuk aplikasi tolong menolong dengan
sesama manusia. Seorang penjual membutuhkan uang dari
pembeli, demikian juga seorang pembeli membutuhkan barang
dari penjual, secara tidak langsung masing-masing pihak telah
menolong satu sama lainnya melalui akad jual beli ini. Penjual
mendapatkan uang yang dibutuhkannya sedangkan pembeli
mendapatkan barang yang dibutuhkannya pula. Inilah bentuk
32

ta’awun yang disyari’atkan dalam transaksi muamalah.


(Rozalinda 2007, 7-8)

1.8 Azas Keadilan


Prinsip dalam muamalah adalah Al-Adl. Al-Quran telah
menjadikan tujuan semua risalah langit adalah melaksanakan
keadilan. Al-Qardhawi mengatakan bahwa sesungguhnya pilar
penyangga yang lain adalah “keadilan”. Keadilan dalam Islam
bukanlah prinsip yang sekuler, ia adalah cikal bakal dan pondasi
kokoh yang memasuki semua ajaran dan hukum Islam berupa akidah,
akhlak, dan syari’ah.(Sula 2004, 725)

Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua


hukum. Dalam hukum Islam, keadilan langsung merupakan perintah
Allh SWT dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 8 yang berbunyi:

 
 \  \Z \\ \ 
 


   \  \     k
\ 


    \ ľ  \ \\


Artinya : “Hai orang-orang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. Dan jangalah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adil la, karena adil itu lebih dekat kepada
taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, seseungguhnya Allah
maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al Maidah:
8)”.

Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian dibuat oleh para


pihak. Seringkali di zaman modern akad ditutup oleh satu pihak
dengan pihak lain tanpa ia memiliki kesempatan untuk melakukan
negosiasi mengenai klausul akad itu telah dibekukan oleh pihak lain.
Tidak mustahil bahwa dalam pelaksanaanya akan timbul kerugian
33

kepada pihak yang menerima syarat baik itu karena didorong


kebutuhan. Dalam hukum Islam kontemporer telah diterima suatu
asas bahwa demi keadilan syarat baku itu dapat diubah oleh
pengadilan apabila memang ada alasan untuk itu.
Pelaksanaan asas keadilan dalam akad manakala para pihak
yang melakukan akad dituntut untuk berlaku benar dalam
mengungkap kepentingan sesuai dengan keadaan dalam memenuhi
semua kewajiban.
Dapat disimpulkan bahwa Allah dan Rasul membolehkan
seseorang berusaha dan bekerja menggunakan prinsip-prinsip
mu’amalah yaitu: bekerja sesuai dengan syari’at Islam, yang
ditransaksikan bermanfaat, tolong menolong, dan tak kalah
pentingnya suka sama suka atau kerelaan. Kemudian sifat dasar yang
perlu dipakai pekerja adalah : jangan bersifat curang, bersifat inovatif,
membuat manajemen dan administrasi yang baik, usaha haruslah
berkelanjutan, berlaku adil. (Sula 2004, 128)
Penerapan prinsip keadilan dalam ekonomi dapat dilihat dari
cabang-cabang ekonomi sebagai berikut :
1.8.1Penerapan prinsip ekonomi di bidang produksi. Islam melarang
umatnya berbuat zalim terhadap orang lain atau menggunakan
aturan yang tidak adil dalam mencari harta, tapi Islam
melegitimasi cara-cara yang adil yang jujur dalam mendapatkan
harta.
1.8.2Dalam bidang konsumsi, prinsip keadilan berkaitan dengan cara
penggunaan harta. Penggunaan harta yang dibenarkan dalam
Islam adalah pemenuhan kebutuhan hidup dengan cara yang
sederhana untuk keperluan yang wajar dan halal.
1.8.3Prinsip utama yang sangat menentukan dalam pendistribusian
kekayaan adalah keadilan dan kasih sayang yang bertujuan agar
kekayaan tidak menumpuk pada segolongan kecil masyarakat, tapi
34

selalu beredar di tengah masyarakat dan berbagai hasil produksi


dibagi secara adil untuk kemakmuran masyarakat, seperti
dinyatakan dalam al-Qur’an surat adz-Zariyat : 19

 \    


Artinya : Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang
miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak
mendapat bagian (tidak meminta). (Adz-Zariyat: 19)

1.8.4Prinsip keadilan dalam bidang sirkulasi. Rasulullah melegitimasi


semua bentuk perdagangan yang berdimensi keadilan dan
persamaan bagi semua pihak dan melarang semua bentuk
perdagangan yang tidak adil yang memicu pertengkaran dan
keributan.
Implementasi sikap adil dalam bisnis merupakan hal yang
sangat baik dalam industri perbankan, asuransi maupun dalam
muamalah lainnya, mungkin karena itulah maka Allah demikian
sering menekankan sikap adil ini dalam soal muamalah.(Sula 2004,
728)
Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa, jasa atau
imbalan. Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan mu'amalah
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa-menyewa,
kontrak atau menjual jasa kepada orang lain seperti menjadi buruh,
kuli dan lain sebagainya. Secara terminologi ada beberapa pengertian
ijarah yang dikemukakan oleh ulama fiqih yaitu:
a) Menurut Sayyid Sabiq, ijarah yaitu :

Artinya : “Ijarah diambil dari kata “Ajrun” yaitu penggantian maka


dari itu pahala juga dinamakan upah”. ( Sabiq 1987, 7)
35

b) Menurut Abdurrahman Al-Jaziri :

Artinya: “Ijarah menurut bahasa merupakan masdar sima’i bagi


fi’il “ajara” setimbang dengan “dharaba” dan “qatala”,
maka mudhari’nya ya’jiru dan ajir (dengan kasrah jim
dan dhammahnya) dan maknanya adalah imbalan atas
suatu pekerjaan” . ( Jaziri 1972, 94)

Berdasarkan defenisi di atas maka secara etimologi ijarah


adalah imbalan atas pekerjaan atau manfaat sesuatu. Secara
terminologi pengertian ijarah adalah sebagaimana yang dikemukakan
oleh para ulama di bawah ini :

a) Menurut Ulama Hanafiyah

Artinya : “Ijarah adalah akad kepemilikan manfaat yang Diketahui


dan dengan dimaksud dari benda yang disewa dengan
imbalan”. ( Jaziri 1972, 94

b) Menurut Syafi’iyah

Artinya: “Ijarah akad atas manfaat yang diketahui untuk maksud


tertentu serta menerima ganti yang dibolehkan sebagai
imbalan”. (An Nawawi t.t, 339)

c) Menurut Sayyiq Sabiq

Artinya: “Ijarah secara Syara’ ialah suatu jenis akad untuk


mengambil manfaat dengan jalan penggantian”. ( Sabiq
1987, 198)
36

d) Menurut Malikiyah

Artinya: “Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam


waktu tertentu dengan pengganti ( imbalan)”. (suhendi
2000, 29)

e) Menurut Hasbi Ash-Sidiqie

Artinya: “Akad yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa


tertentu yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama
dengan menjual manfaat”. (Suhendi 2000, 29)

f) Menurut Idris Ahmad bahwa upah artinya “ Mengambil manfaat


tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-
syarat tertentu”.
g) Menurut Fatwa Dewan Syari'ah Nasional defenisi ijarah adalah :"
Ijarah adalah akad memindahkan hak guna (manfaat) atas suatu
barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa
atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang
itu sendiri." ( MUI 2001, 55)

Dari beberapa pendapat ulama dan mazhab di atas tidak


ditemukan perbedaan yang mendasar tentang defenisi ijarah, tetapi
dapat dipahami ada yang mempertegas dan memperjelas tentang
pengambilan manfaat terhadap benda atau jasa sesuai dengan jangka
waktu yang ditentukan dan adanya imbalan atau upah serta tanpa
adanya pemindahan kepemilikan.
Kalau diperhatikan secara mendalam defenisi yang
dikemukakan olah para ulama mazhab di atas maka dapat kita pahami
bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam ijarah antara lain :
37

1. Adanya suatu akad persetujuan antara kedua belah pihak yang


ditandai dengan adanya ijab dan kabul
2. Adanya imbalan tertentu, misalnya harga sewa sebuah mobil
3. Mengambil manfaat, misalnya mengupah seorang buruh untuk
bekerja.

Dari beberapa pendapat ulama dan mazhab di atas tentang


pengertian ijarah, maka penulis dapat memahami ijarah menurut
bahasa adalah : jual manfaat atas benda atau jasa dengan adanya
imbalan atau upah, sedangkan menurut istilah dapat dipahami ijarah
adalah akad atau transaksi yang bertujuan mengambil manfaat atas
suatu barang atau jasa tanpa mengurangi materi benda tersebut dan
benda tersebut boleh dimanfaatkan dengan jangka waktu tertentu
(sesuai dengan kesepakatan) dengan adanya uang imbalan atau sewa
tanpa diikuti pemindahan kepemilikan terhadap benda tersebut.
Dari berbagai macam pendapat Ulama di atas maka dapat
disimpulkan bahwa Kontrak sewa merupakan bagian dari ijarah.
Karena kontrak sewa merupakan suatu akad untuk melakukan
sesuatu. Baik secara tertulis maupun lisan, dan mereka yang
mengadakan perjanjian itu masing-masing sepakat untuk mentaati isi
persetujuan yang telah dibuat bersama. Dengan kata lain kontrak
sewa merupakan juga perjanjian kerja. Dan dalam perjanjian kerja ini
apa yang termasuk dalam perjanjian kerja semuanya merupakan
konsep dari ijarah.
Perjanjian kerja ini sangat dibutuhkan karena melalui sebuah
perjanjianlah yang akan mengikat diri antara seseorang dengan orang
lain. Dalam kontrak sewa untuk melakukan jasa-jasa tertentu salah
satu pihak menghendaki agar dari pihak lainnya melakukan suatu
pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dan pihak yang
menghendaki tersebut bersedia memberi upah, biasanya orang yang
melakukan suatu pekerjaan tersebut adalah orang yang ahli misalnya,
38

Notaris. Lazimnya pihak yang melakukan pekerjaan ini sudah


menentukan tarif untuk suatu pekerjaan yang akan dilakukannya
tersebut. Dalam kontrak sewa adanya persetujuan untuk melakukan
sesuatu." Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau
lebih". (Soimin 1994, 1)

You might also like