You are on page 1of 16

Global: Jurnal Politik Internasional

Volume 10 Number 2 Article 3

September 2010

DINAMIKA DEMOKRASI LOKAL DI ASIA TENGGARA:


DESENTRALISASI, PILKADA, DAN KONFLIK KEKERASAN DI
INDONESIA DAN FILIPINA
Nurul Rochayati
United Nations High Commissioner for Refugees, Jakarta, Indonesia, nurul_rochayati@yahoo.com

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/global

Recommended Citation
Rochayati, Nurul (2010) "DINAMIKA DEMOKRASI LOKAL DI ASIA TENGGARA: DESENTRALISASI, PILKADA,
DAN KONFLIK KEKERASAN DI INDONESIA DAN FILIPINA," Global: Jurnal Politik Internasional: Vol. 10 : No.
2 , Article 3.
DOI: 10.7454/global.v10i2.277
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/global/vol10/iss2/3

This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Social and Political Sciences at UI Scholars
Hub. It has been accepted for inclusion in Global: Jurnal Politik Internasional by an authorized editor of UI Scholars
Hub.
negara-negara yang dilanda konflik.2

Fakta di lapangan mcnunjukkan bahwa nilai ideal pemilihan umum seperti yang
tersebut di atas tidak serta merta terwuj ud dalara setiap pelaksanaannya. Distorsi dalam
pemilihan umum baik di tingkat nasional maupun lokal bisa muncul dalam berbagai bentuk,
semisal kecurangan dalam penghitungan suara, politik uang, kampanye terselubung, black
campaign, pemilih memilih lebih dari satu kali, ketidakberesan dalam daftar pemilih,
pengrusakan atribut kampanye, dan kekerasan terbuka yang mengakibatkan baik kerusakan
infrastruktur maupun korban jiwa.3 Distorsi dalam pemilihan umum terjadi di hampir semua
negara di belahan dunia manapun, termasuk di Asia Tenggara yang terseret arus
demokratisasi dan desentralisasi pada dekade 90-an. Distorsi pun dapat terjadi baik dalam
pemilihan untuk memilih wakil rakyat baik di badan legislatif maupun eksekutif.4 Di antara
negara-negara dalam kawasan ini, adalah pemilihan umum di Indonesia dan Filipina yang
paling mendapat sorotan karena tingginya frekuensi dan skala konflik-konflik kekerasaan,
khususnya dalam pemilihan umum di tingkat lokal.''
Di Indonesia, pemilihan umum unPjk memilih kepala daerah secara langsung
(pilkada) mulai dilaksanakan pada tahun 2005. Sejak itu, tidak kurang dari 600 pilkada telah
diselenggarakan di 33 provinsi. Seolah menafikan harapan positif yang muncul di awal
penyelenggaraannya, sejumlah pilkada berakhir dengan kekerasan atau kericuhan sosial.
Setengah dari 486 pilkada yang diselenggarakan pada fase 2004-2008 diwamai dengan
tuntutar, hokum atas pelaksanaan pilkada yang ditujukan baik ke Mahkamah Konstifusi
(MK)6 maupun sebelumnya Mahkamah Agung.7 Kekerasan kembali mewamai pilkada pada
fase kedua yang dimulai pada tahun 2010. Aksi kekerasan di Mojokcrto, Toli Toll, dan Tauah
Toraja yang menelan satu korban jiwa menjadi cerminan buruknya pelaksanaan pilkada di
Indonesia (ICG, 2010). Kenyataan ini berkebalikan dengan argumen Vedi Hadiz yang
menyatakan bahwa konflik elektoral dan kekerasan bukan merupakan potret besar dari proses
desentralisasi di Indonesia.8
Di Filipina, kekerasan dalam pemilihan umum terjadi baik di tingkat nasional maupun
lokal. Di tingkat nasional, kekerasan itu muncul dari persaingan antarkandidat dan
pendukung mereka. Salah satu persaingan paling sengit yang diwamai gerakan people power
adalah persaingan politik antara Marcos dan Aquino pada tahun 1986. Meski persaingan
serupa tidak lagi muncul di ranah nasional, Patino dan Velasco mencatat bahwa kekerasan
dalam pemilhan umum lokal tctap berlangsung dan seolah sudaii menjadi bagian tidak
terpisahkan dari dinamika pemilihan umum lokal di Filipina.9

136 GLOBAL Vol.10 No.2 Desember 2010 - Mei 2011


Tulisan ini akan mencoba untuk memotret dinamika demokrasi lokal di dua negara
Asia Tenggara, Indonesia dan Filipina, melalui pcmilihan umum di tingkat lokal yang mereka
laksanakan Dalam pembahasan tersebut, tulisan ini akan memokuskan pada konflik
kekerasan yang muncul dalam proses pemilihan di dua negara dan membuat perbandingan
dari keduanya. Bagian pertama dari tulisan ini akan memberikan penjelasan mengenai
dinamika desentralisasi yang berlangsung di kawasan Asia Tenggara dan sebab-akibat yang
ditimbulkannya pada pelaksanaan pemilihan umum lokal. Dua bagian selanjutnya akan
membahas secara terperinci pemilihan umum lokal dan konflik kekerasan yang terjadi di
Indonesia dan Filipina. Tulisan ini akan ditutup dengan analisis perbandingan antarkedua
negara.

Desentralisasi dan Pemilihan Umum Kepala Daerah di Asia Tenggara

Dinamika sosial politik di akhir abad 20 diwamai dengan munculnya tren


desentralisasi kekuasaan politik dari pusat ke daeiuii. Tien ini muncul seiiing dengan
menguatnya tuntutan uemokratisasi yang menegaskan bahwa daerah juga layak diberi
kev/enangan untuk mengatur diri mereka dan dengan demikian mampu menciptakan
kemakmuran yang sama di tingkat daerah. Di antara negara-negara di Asia Tenggara,
Indonesia dan Filipina adalah dua negara dengan pengalaman desentralisasi yang menonjol
dan patut untuk dikaji lebih jauh.

Autoritarianisme diniiai sebagai ciri khas pemerintahan di banyak negara Asia


Tenggara. Sebutlah pemerintahan Soeharto di Indonesia yang mengendalikan kuasa negara
selama kurang lebih 32 tahun (1965-1998). Pemerintahan Ferdinand Marcos yang
memerintah Filipina dari 1975 hingga 1986 juga diniiai otoriter dan sangat scntralistis.
Sementara itu, junta militer di Myanmar di bawah Jenderal Than Swe din'lai sebagai bentuk
nyata pemerintahan otoriter yang sepertinya hidup subur di Asia Tenggara.

Demokrasi, oieh karena itu, diharapkan mampu menjadi alat untuk mengatasi
masalah-masalah ketimpangan baik ekonomi maupun politik yang ditimbulkan dari
kebijakan-kebijakan yang tidak seimbang pada masa otoritarianisme. Agenda demokratisasi
tersebut kemudian diejawantahkan dalam bentuk reformasi institutional negara yang antara
lain bisa dalam bentuk desentralisasi, penguatan pemerintahan daerah, pemilihan umum, dan
penguatan partisipasi publik. Jika dilihat lebih dekat, tiga kebijakan di belakang merupakan
bagian dart proses desentralisasi itu sendirt. Sebagai akibatnya, desentralisasi menjadi tren

-
GLOBAL Vol.10 No.2 Desember 2010 Mei 2011 137
agenda demokratisasi di decade 90-an. Tidak kurang dari badan-badan dunia seperti GTZ,
JICA, USAID, IMF, dan Bank Dunia ikut aktif mendorong berlangsungnya proses
desentralisasi di wilayah Asia Tenggara.

Desentralisasi sendiri dapat diartikan sebagai proses pelimpahan kekuasaan dan


kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kewenangan yang didapat
oleh pemerintah daerah melalui proses desentralisasi dikenal dengan sebutan otonomi
daerah.10 Melalui desentralisasi, tujuan demokratisasi berupa pemerintah dengan legitimasi
tinggi, good governance, dan peningkatan partisipasi publik dapat tercipta.

Di Indonesia, proses desentralisasi dimulai pada tahun 1999 setelah Soeharto mundur
dari kursi presiden. Masyarakat kala itu menuntut adanya perubahan sistem politik yang
memungkinkan ada pemerataan demokrasi dan ekonomi hingga ke daerah. Menanggapi
tuntutan ini, DPR meloloskan dua set undang-undang yang memungkinkan terjadinya
desentralisasi kekuasaan dari Jakarta ke daerah. Undang-undang yang dimaksud adalah UU
No. 22 Tahun 1999 tentana Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Penerapan desentralisasi di Indonesia
diharapkan mampu memperkuat kemampuan daerah untuk memajukan wilayah sekaligus
memperkuat demokrasi daerah. Sejak penerapan dua undang-undang tersebut, bola
desentralisasi di Indonesia bergulir relatif cepat dengan daerah mulai mengambil alih tugas-
tugas pemerintahan di beberapa sektor penting seperti kesehatan, pendidikan. dan yang
terpenting pengelolaan keuangan daerah.

Proses desentralisasi di Filipina sendiri dimulai 13 tahun lebih awal dari Indonesia
setelah kejatuhan Presiden Marcos pada tahun 1986 melalui Gerakan EDSA atau lebih
11
dikenal dengan sebutan people power. Namun, proses desentralisasi tidak serta merta
bergulir karena '.he Local Government Code (LGC) sebagai undang-undang yang mengatur
hal tersebut baru disahkan pada tahun 1991 dan beriaku rcsmi setahun kemudian.
Pemberlakuan undang-undang tersebut diharapkan mampu meningkatkan partisipasi publik
di tingkat lokal dan tentu saja untuk proses transfer kekuasaan ke daerah setelah proses
sentralisasi yang dilakukan Marcos di masa pemerintahannya.

Sejarah di kedua negara di atas menunjukkan bahwa proses desentralisasi dimulai


segera setelah kejatuhan rezim pemerintahan yang dinilai otoriter dan sentralistik.
Desentralisasi dipandang sebagai cara yang sudah sewajamya diambil untuk mencegah
munculnya pemimpn, yang otoriter sekaligus untuk mengatasi dampak-dampak negatif

138 GLOBAL Vol.10 No.2 Desember 2010 - Mei 2011


berupa ketimpangan politik dan ekonomi yang ada karena muncul sebagai akibat dari
pemerintahan yang otoriter.

Seiring dengan proses desentralisasi ini, pemilihan umum untuk kepala daerah secara
langsung dinilai sebagai bagian tidak terpisahkan dalam upaya integral untuk meningkatkan
baik partisipasi publik maupun akuntabilitas pemerintah di mata masyarakatnya. Tidak
mengherankan jikalau pelaksanaan pemilihan umum untuk kepala daerah ini mendapatkan
dukungan yang luas baik dari akademisi maupun lembaga intemasional, khususnya di
Indonesia.12 Berkebalikan dengan ekspektasi luas mengenai prospek positif dari pelaksanaan
pemilihan umum kepala daerah (pilkada) baik di Indonesia dan Filipina, kenyataan lapangan
menunjukkan bahwa konflik kekerasan banyak mewamai proses pilkada dan telah
mengakibatkan kerugian baik fisik maupun jiwa.

Pilkada dan Konflik Kekerasan di Indonesia

Penyelenggaraan pilkada di Indonesia dimulai pada tahun 2005 dengan Kutai


Kartanegara mendapat kehormatan memilih kepala daerah mereka secara langsung untuk
pertama kalinya. Semenjak itu, pilkada secara bergilir dilakukan di 11 provinsi, 178
kabupaten, and 35 kota di seluruh Indonesia. Menurut catatan Kementrian Dalam Negeri,
jumlah pilkada yang dilaksanakan pada putaran pertama sepanjang tahun 2005 hingga 2008
13
adalah 486. Tidak mengherankan bila kemudian Muhammad Qodari (2005) menyebut
tahun 2005 sebagai awal bagi bangsa Indonesia untuk lebih sering lagi memberikan suara
dalam pemilihan umum.14

Pada awalnya, pelaksanaan pilkada mendapat respons positif dari berbagai


kalangan. Pilkada diharapkan mampu berfungsi sebagai media untuk pendidikan politik
masyarakat dan kalangan politisi sekaligus. Bagi masyarakat, pilkada dapat difungsikan
sebagai jalan mereka untuk mendapatkan sebuah iaminan bahwa pemimpin yang mereka
pilih akan bertanggung jawab dan berkomitmen atas janji mereka terhadap masyarakat.
Sedangkan bagi para politisi, pilkada adalah wadah untuk mampu memimpin masyarakat
dengan tingkat dukungan dan legitimasi politik yang tinggi. Selain itu. pilkada dipandang
tepat untuk menggantikan mekanisme pemilihan kepala daerah lewat DPRD yang dinilai
korup dan penuh kolusi.16

Pada pelaksanaannva sepanjang periods pertama (2005-2008) dan periode kedua yang
sedang berjalan saat ini (2010-2013), beberapa pilkada di Indonesia diwarnai dengan konflik

GLOBAL Vol.10 No.2 Desember 2010 - Mei 2011 139


kekerasan. Sebutlah di antaranya pilkada di Maluku Utara, Tuban, Kaur, Riau, dan Buleleng
pada periode pertama serta Tanah Toraja, Mojokerto, dan Toli Toli pada periode kedua. Yang
lebih memprihatinkan, satu orang telah tewas mcnjadi korban dari kekerasan pilkada yang
terjadi di Tanah Toraja. Angka pilkada bermasalah akan meroket bila menghitung jumlah
pilkada yang diselesaikan atau diselingi dengan adanya pengaduan pada Mahkamah
Konstitusi atau Mahkamah Agung (dan Pengadilan Tinggi). Pada periode pertama,
Kemendagri mencatat bahwa 208 dari total 486 pilkada pada periode pertama dan 35 dari 45
pilkada di tahun 2010 memiliki catatan pengaduan hukum.17

Menurut Syamsudin Haris, ada 5 hal yang bisa menyebabkan konflik dan kekerasan
Pertama, adanya mobilisasi massa atas nama etnisitas, agama, regionalisme, dan keturunan.
Kedua, kampanye negatif yang ditebar oleh para pasangan calon. Ketiga, premanisme dan
represi politik yang dilakukan kepada calon pemilih. Keempat, manipulasi dan tindakan-
tindakan yang tidak taat hukum. Dan kelima, adanya pemahaman atau interpretasi yang
berbeda terhadap dasar hukum yang digunakan dalam pelaksanaan pilkada.18

Yang kemudian menarik untuk disimak adalah pola yang terbentuL dari konflik
kekerasan pada pilkada itu sendiri. Berdasarkan penelitian penulis pada empat pilkada
bermasalah di Jawa Timur, Buleleng, Tuban, dan Depok, konflik yang terjadi adalah konflik
vang sifatnya vertika!.1" Yang dimaksudkan dengan konflik vertikal dalam pilkada adalah
bahwasanya pihak-pi'nak yang bertikai tidak memiliki level pengaruh politik yang sama, yaitu
elite dan non-elite politik. Di keempat pilkada yang tersebut di atas, konflik kekerasan yang
muncul pada umumnya adalah pembakaran ataupun pengrusakan terhadap fasilitas publik
dan bangunan milik pemerintah seperti gedung DPRD, gedung KPU, ataupun mobil dinas
pejabat. Adapun pengrusakan terhadap atribut kampanye dari salah satu pasangan calon
terhadap yang lain umumnya tidak terjadi. Yang lebih sering adalah pencopotan atribut oleh
KPUD atau Panwaslu karena menilai pemasar.gan tidak sesuai dengan aturan kampanye yang
berlaku. semisal atribut dipasang di luar waktu kampanye.

Yang menarik tentu adalah bahwa konflik pilkada tidak terjadi antarpendukung dari
kandidat yang bersaing seperti yang dikira oleh banyak pihak.20 Ketegangan yang muncul
antarpendukung memang terjadi, namun hal itu tidak menjelma menjadi bentuk kekerasan
yang lebih besar seperti intimidasi, pemerkosaan, penculikan, atau pembunuhan terhadap
pendukung satu kandidat tertentu.31 Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi absennya
konflik kekerasan yang liurLounta!'2 di dalam piikada. Pertama, tidak kuatnya ikatan ideoiogi
yang mengikat kandidat dan pengikutnya. Pilkada adalah cerminan paling nyata dari

140 GLOBAL Vol.10 No.2 Desember 2010 - Mei 2011


Tingginya jumlah pilkada bermasalah dari tahun 2005 hingga 2010 di Indonesia
memunculkan pertanyaan mengenai efektivitas mekanisme penyelesaian pilkada yang
berlaku. Kurang lebih setengah dari keseluruhan pilkada yang telah diselenggarakan dari
tahun 2005 diwamai dengan tuntutan hukura yang diajukan baik ke Mahkamah Agung (dan
pengadilan tinggi) ataupun Mahkamah Konstitusi. Sejak mulai bertugas tahun 2009 hingga
November 2010, MK telah memutus 198 perkara perselisihan hasil pilkada dengan rincian:
138 perkara ditolak: 35 perkara tidak diterima; 6 perkara gugur; dan 19 perkara dikabulkan
seluruhnva/dikabulkan sebagian/ putusan sela.26

Faktor utama dari tingginya pilkada bermasalah adalah kinerja pemangku kepentingan
dalam pilkada dan efektivitas dari mekanisme penyelesaian masalah. Lembaga lain di luar
MK dan MA dinilai tidak efektif dalam menjalankan nigas mereka sehingga MA dan MK
seolah terlihat sebagai lembaga tunggal dalam mekanisme penyelesaian perkara dalam
pilkada. Sayangnya, isu mafia peradilan kerap kali membayangi keputusan hukum yang
dibuat oleh MA maupun MK. Dan meski citra MK terbilang lebih bersih dari MA dalam hal
pemutusan sengketa pilkada, tidak urung banyak pihak yang merasa tidak puas. Semisal,
putusan MK dalam pemilu Kotawaringin Barat yang mendiskualifikasi pemenang dan
menetapkan calon yang kalah sebagai pemenang baru.

Wewenang MK juga diauggap mdampaui 'oatas karcna semenjak MK bertugas,


semua perkara dalam pilkada, baik itu sengketa hasil pemilu ataupun pelanggaran pidana
seolah ditangani semua dalam satu kesatuan oleh MK. Seperti dalam kasus pilkada Provinsi
Jawa Timur. MK kala itu membatalkan hasil pilkada dan meminta penghitungan suara ulang
di dua kecamatan karena disir.yalir adanya tindakan politik uang. Padahal, putusan atas
tindakan politik uang ini ada di bawah wewenang pengadilan tinggi. Meski demikian, tidak
dapat disangkal bahwa krcdibilitas MK dinilai masih lebih kuat dari MA. Hal ini bisa dilihat
kembali dari kasus Provinsi Jawa Timur di mana MK tidak mengabulkan tuntutan kedua
mengenai pemilihar. ulang dan keputusan tersebut dinilai tepat dan tidak menghasilkan
pergolakan di tingkat grassroot. Yang kemudian harus tetap disorot adalah bahwa munculnya
berbagai tuntutan hukum selama berlangsungnya pilkada adalah catatan sendiri atas kinerja
segenap pemangku kepentingan dalam pilkada.

Buruknya kinerja pilkada tercermin dari perubahan waktu terjadinya konflik


kekerasan. Dalam periode pertama, konflik kekerasan paling sering muncul pada masa
penghimngan suara atau sete'.ahnya. Namun, dalam periode kedua yang berjalan saat ini,
konflik muncul di fase pencalonan kandidat, kampanye dan penghitungan suara26. Konflik di
142 -
GLOBAL Vol.10 No.2 Desember 2010 Mei 2011
Mojokerto, misalnya, pecah setelah salah satu kandidat tidak diijinkan mengikuti tahapan
berikutnya karena tidak lolos verifikasi. Dari sini dapat dilihat bahwa konflik paling rawan
muncul ketika pencalonan atau kemungkinan kemenangan seorang kandidat dihalangi atau
terhambat.

Yang kemudian patut untuk dipikirkan bersama adalah bagaimana mengintegrasikan


mekanisme penyelesaian konflik pilkada ini dalam kerangka besar penyelesaian konflik
sehingga baik jumlah insiden maupun konflik kekerasan dalam pilkada dapat ditekan
sedemikian rupa. Adalah harapan dari semua rakyat bahwa pilkada bisa bcrfungsi baik
sebagai mekanisme untuk menghasilkan pemerintahan dengan kredibilitas dan akuntabilitas
tinggi dan bukan pilkada sebagai ajang konflik baru di negara ini.

Kekerasan Tolitik dan Pemilihan Umum Lokal di Filipina

Pemahaman terhadap baik politik nasional maupun lokal di Filipina tidak akan bisa
dilepaskan dari pembahasan mengenai dinasti dan oligarki politik yang berkuasa. Dinasti dan
oligarki politik di Filipina umumnya berasal dari latar belakang keluarga pemilik tanah
tradisional yang berhasil rnengakumulasikan kekayaan mereka melalui sewa tanah di daerah
masing-masing. Di masa pendudukan Amerika, keluarga-keluarga ini menjadi alat bagi
Amerika untuk tetap berkuasa dan oleh karenanya berhasil mempertahankan kekuasaan
mereka hingga tiba masa kemerdekaan. Pada umumnya, mereka bersifat independen atau
tidak bergantung pada kekuasaan politik birokrasi.27 Namun kondisi ini berubah memasuki
tahun 1960-an ketika mereka mulai mencari sumber baru untuk proses akumulasi kekayaan
dengan melakukan ekspansi bisnis ke sektor lain dan mencaplok sumber daya ekonomi
pemerintah. Untuk melakukan ekspansi ini, mereka bekerjasama dengan kalangan bisnis,
gangster, dan politisi/8 Pada umumnya, ekspansi bisnis mereka mencakup kartel bisnis,
konsesi di sektor pertambangan dan kehutanan, transportasi, dan juga bisnis-bisnis ilegal.

Kekuasaan dinasti politik di Filipina temyata tidak hanya mencakup kekuasaan politik
dan ekonomi semata namun kekuasaan aias sektor keamanan. Ketika Marcos diturunkan pada
1986, mereka berhasil merebut kembali sumber kekuasaan politik dan ekonomi mereka
melalui kebijakan desentralisasi yang diterapkan lewat LGC. Caplokan kekuasaan mereka
makin meluas ke ranah keamanan ketika kekuasaan atas keamanan daerah diserahkan
kembali pada pemerintahan lokal. Pemerintah daerah berkewajiban untuk membiayai
kepolisian dan sebagai gantinya mereka mendapatkan kesetiaan dan dukungan dari aparat

GLOBAL Vol.10 No.2 Desember 2010 - Mei 2011 143


Pemilihan umum di Filipina seperti tidak pemah lepas dari konflik kekerasan. Pada
pemilihan umum nasional dan lokal di tahun 2007 lalu, pemilih harus memilih 12 senator,
230 anggota wakil rakyat, dan ribuan pejabat lokal, termasuk anggota dewan kota, waiikota,
dan gubernur. Hanya di tahun itu, tercatat lebih dari 100 orang meninggal akibat kekerasan
politik yang muncul selama masa kampanye. Di antara mereka terdapat 53 kandidat pejabat
publik dan 47 pejabat publik yang sudah berkuasaf0 Kondisi ini diperburuk dengan absennya
komisi khusus yang berfungsi menjalankan mekanisme penyelesaikan konflik. Ditambah,
penggunaan kekerasan masih begitu kental dalam politik lokal dengan para politisi memiliki
kekuatan untuk membangun kelompok keamanan mereka tersendiri. Kondisi ini tidak ayal
membuat konflik kekerasan identik dengan pemilihan umum di Filipina hingga saat ini.

Penutup

Pada tahun 2006, Andreas Ufen menerbitkan sebuah tulisan yang berjudul “Political
Parties in Fosi-Suiiaiio Indonesia: Between Politik Aiircm and Phiiippinisation’ Daiam
tulisan teisebut, Ufen mengungkapkan kekhawaiiran bahwasanya politik Indonesia akan
mengalami sebuah kondisi yang disebutnya “filipinisasi”. Filipinisasi politik yang
dimaksudkan Ufen adalah maraknya pengunaan politik uang, tidak adanya sebuah ideologi
politik yang bisa dijadikan pijakan politik masyarakat, dan loyalitas pada partai yang lemah.
Kekhawatiran ini seolah menjadi nyata melihat betapa prakmatisnva masyarakat dan
penggunaan politik uang yang menggurita dalam pelaksanaan pilkada. Tidak mengherankan
bila Marcus Mietzer (2009) juga mengungkapkan kesetujuannya akan fenomena ini di
Indonesia. Akan tetapi, tingginya eskalasi konflik kekerasan yang terjadi di Filipina
membuat banyak pihak mengkhawatirkan kemungkinan bahwa pilkada di Indonesia akan
diwamai dengan kekerasan yang memakan korban iiwa yang tidak sedikit.

Berdasarkan perbandingan yang telah dilakukan di atas, pilkada di Indonesia bisa


terbiiang relatif aman dari konilik kekerasan skaia tinggi dibanding Filipina. Jumiah korban
jiwa yang telah jatuh akibat pemilihan umum lokal di Filipina tentu tidak dapat dibandingkan
dengan pilkada Indonesia yang hingga saat ini baru meininta satu korban jiwa. Sehingga
kekhawatiran bahwasanya Indonesia akan menjadi Filipina dalam artian kadar kekerasan
politik yang tinggi dalam pelaksanaan pilkada belum terjadi pada saat ini.

Ada beberapa alasan yang membuat pilkada Indonesia relatif aman dibanding
Filipina. Pertama, Indonesia memiliki mekanisme penyelesaian konflik yang jelas sementara

GLOBAL Vol.10 No. 2 Desember 2010 - Mei 2011 145


Filipina tidak secara khusus mengatur hal tersebut. Mekanisme itu layaknya jaring
pengamanan utama untuk mencegah eskalasi konflik menuju kekerasan terbuka. Adanya
mekanisme penyelesaian sengketa melalui Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung di
Indonesia sedikit banyak meredam konflik. Kedua wadah tersebut tersedia bagi kandidat
yang tidak puas dengan hasil penghitungan suara dan juga dapat mengkoreksi ketidakadilan
yang mungkin terjadi. Kedua, politisi dari dinasti-dinasti politik di Filipina memiliki
kekuasaan atas penggunaan kekerasan sehingga aksi kekerasan sangat mudah terjadi di sana.
Alat-alat kekerasan sudah biasa digunakan untuk mempertahankan kekuasaan atau untuk
memenangkan pemilihan umum. Sementara di Indonesia, kekuasaan keamanan itu masih ada
di tangan pemerintah pusat dan pemerintah. Politisi daerah tidak memiliki akses muilak atas
mereka untuk bisa digunakan sesuai kepentingannya. Maka, bisa dikatakan bahwa Indonesia
belum akan mengalamani “filipinisasi” dalam hal konflik kekerasan dengan skala tinggi
daiam proses pemilihan umum lokal di Indonesia.

Sebagai catatan akhir, pemilihan umum daerah yang diwamai oleh konflik kekerasan
baik di Indonesia maupun di Filipina meski dengan skala berbeda merupakan catatan buruk
bagi berlangsungnya proses demokratisasi di kedua negara. Desentralisasi dan pemilihan
umum lokal yang menjadi lokomotif demokratisasi jusiru terbukti paradoks dari tujuan
awalnya untuk mencipatakan situasi politik dan ekonomi yang terbuka dan aman bagi semua
warna negara. Desentralisasi justru mernbuka jalan muneulnya konflik kekerasan baru
melalui pelaksaan pemilihan umum lokal sekaligus desentralisasi politik uang secara
menggurita. Merupakan tantangan besar bagi Indonesia dan Filipina untuk menjadikan
desentralisasi ini sejalan dengan tujuan awalnya baik melalui perbaikan mekanisme maupun
peraturan yang mengatur transfer dan pengunaan kekuasaan di daerah.

Daftar Pustaka

Jumal dan Buku


Abinales, Patricio N. ‘Coalition Politics in the Philippines’, Current History, 100 (2001).
Chalid, Pheni (ed), Pemilukada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good
Governance. (Jakarta: Partnership, 2005)
Choi, Nankyung, ‘Indonesia’s Direct Local Elections: Background and Institutional
Framework’. RSIS Working Papers, 137 (2007)
Crisis Group International, ‘Indonesia: Preventing Violence In Local Elections’. Asia Report.
197 (2010)
Erb, Maribeth dan Priyambudi Sulistiyanto, Deepening democracy in Indonesia?: direct
elections for local leaders (Pilkada). (Singapore: ISEAS Pub., 2009)

146 -
GLOBAL Vol.10 No.2 Desember 2010 Mei 2011
Catatan Akhir

Andrew Heywood, Key Concepts in Politics , (London: Macmillan Press, 2000), hal. 200.
2
Pemilihan opsi pemilihan umum sebagai bagian integral dari proses rekonstmksi pemerintahan paska konflik
banyak ditemui di berbagai macam kasus. Konflik internal di Sudan coba diselesaikan melalui pemilihan umum
dan referendum untuk memutuskan nasib apakah Sudan Utara dan Sudan Selatan akan berpisah atau bersatu
kembali. Proses demokratisasi di Irak dan Afghanistan yang dimulai dengan pendudukan Amerika Serikat juga
coba dibanfoun melalui pemilihan umum.
3
Kekerasan dalam pemilihan umum dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Kompilasi dari bentuk-bentuk
kekerasan tersebut disarikan dari beberapa tulisan. Lihai: Kacung Marijan. “Catatan Kritis atas Pemilukada di
Beberapa Daerah: Depdagri, akar Konflik Pemilukada”, Jawa Pos, 3 Oktober 2005; Tim Analis YHB, "Konflik
Pilkada 2005", Jurnal Autonomia, Vol. 1 , No. 1, Januari 2006.
4
Untuk keterangan yang lebih detil beserta contoh kasus, lihat Jeff Fischer,’ Electoral Conflict and Violence: A
Strategy for Study and Prevention’, dalam IEFS White Paper, (2000).
5
Opini ini diajukan c!eh beberapa ahli seperti yang tertuang ualam artikei berikut: Patricio N. Abinales,
‘Coalition Politics in the Philippines’, Current History, 100 (2001); Moch. Nurhasim, Konflik dalam Pilkada
Langsung (2005-2008): Studi tentang Penyebab dan Dampak Konflik , (Jakarta: LIPI, 2009); Patrick Patino dan
Djorina Velasco, ‘Election Violence in the Philippines’, dalam Online Papers,(Manila: Friedrich Erbert
Stiftung, 2004); Maribeth Erb dan Priyambudi Sulistiyanto, Deepening Democracy in Indonesia? : direct
elections for local leaders (Pilkada),(Singapore: ISEAS Pub, 2009).
6
Pada awalnya, badan yang ditunjuk sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan perkara pilkada adalah
MA, berdasarkun UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, pengesahan TJU No 12 tahun 2008
membuat wewenang tersebut dipindahkan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Pemindahan
kelembagaan dilakukan juga agar peraturan yang ada sejalan dengan peraturan baru mengenai MK sebagaimana
yang diatur daDm UU Nomor 2-1 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 10 ayat (1) hui uf u,
diatur bahwa MK bewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dengan putusan yang bersifat final
dalam memutus perselisihan basil pemilihan umum.
7
Berdasarkan Pasal 106, UU 32/2004, MA melimpahkan kekuasaan untuk menangani sengketa dalam pilkada
di tingkat kota dan kabupaten kepada pengadilan tinggi. Apabila sengketa tersebut tidak dapat terselesaikan di
pengadilan tinggi atau ada kasasi, maka wewenang penyelesaian sengketa taliap akhir diambil alih oieh MA.
Vedi Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective, (California:
Stanford University Press, 2010), hal. 165.
9
Patrick Patino dan Djorina Velasco, ‘Election Violence in the Philippines’, Online Papers, (Manila: Friedrich
Erbert Stiftung, 2004), hal. !.
10
Legowo, T. A. and M. Djadijono, ‘Decentralization in Indonesia: How far can it go? (1999-2006)’,
<http://ipdproiects.org/iogclink-sea/resources/pdf/Deceiiiralization%20lRdoRe£i2 er.glish.pdf* [diakscs pada
tanggal 10 November 2010]
11
EDSA adalah singkatan dari Epifanio de los Santos yang menjadi nama jalan layang memotong jantung kota
Manila. Jalan layang tersebut melalui dua gedung utama Camp Aguinaldo, markas besar Tentara Nasional
Filipina dan Camp Crame, markas besar Kepolisian Nasional Filipina. Keduanya menjadi sasaran utama
demonstrasi masvarakat kala menurunkan Presiden Markos. Julio Teehankee,’ Electoral Politics in the
Philippines’ <http://www.quezon.ph/wp-
content7upload3/2Q06/09/Electoral%20Pobtics%2Qin%20the%20Ph;lipplnes.pdf> [diakses pada tanggal 10
November 2010]
12
Choi Nankyung, ‘Indonesia’s Direct Local Elections: Background and Institutional Framework’,dalam RSIS
Working Papers, 137 (2007), hal. 3-4.
13
‘Mendagri Atur Netralitas PNS Dalam Pilkada’, <http://www.depdagri . go . id/new s/2010/01 /14/mendacri-atui-
netralitas-pns-dalam-pilkada> [diakses 7 April 2009]
Muhammad Qodari lebih tepatnva menyebut fenomena ini dalam kalimat bahasa Inggns “a year of voting
frequently”.
Pendapat tersebut dikemukakan dua ahli dalam buku berikut yang diterbitkan dalam tahun yang sama yaitu:
Bambang Purwoko, ‘Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah: Antara Regulasi dan Realitas Politik’, dalam
Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, ed. oleh Karim, Abdul Gaffar, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar and Jurusan Ilinu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, 2003) dan Moch Nurhasim, Konflik
antarelit politik lokal dalam pemilihan kepala daerah : kasus Maluku Utara, Jawa Timur, dan Kalimantan
Tengah. (Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2003).
Pendapat bahwa pemilihan melalui DPRD disebutkan dalam beberapa tulisan ilmiah seperti yang tersebut:
Pheni Chalid, Pheni (ed), Pemilukada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Muus Good Governance, (Jakarta:
Partners, 2005); Lili Romli,'Pilkada Langsung, Otonomi Daerah dan Demokrasi Lokal', dalam Analisis CSIS, 3
(2005), hal. 279-290; Teddy Lesmana, ‘Politik Uang dalam Pilkada’, dalam Syarif Hidayat and Hari Susanto,

148 GLOBAL Vol.10 No.2 Desember 2010 Mei 2011 -


Bisms dan Politik di Tingkat Lokal: Penguasa Pengusaha dan Penyelenggaraan Pemerintahan Pasca Pilkada,
(Jakarta: LIPI, 2007).
17
Disarikan dari “Mendagri Atur Netralitas PNS Dalam Pilkada”, diambii dari
http://www.depdagri.go.id/news/2010/01/14/mendagri-atur-netralitas-Dns-dalam-pilkada. dan “70 Persen
Pilkada Bermasalah”, http://matanews.com/2010/06/12/7Q-persen-pilkada-bennasalah/.
18
Syamsuddin Haris, “Mengelola Potensi Konflik Pemilukada”, Kompas, 10 Mei 2005.
19
Temuan ini senada dengan hasil penelitian CGI mengenai konflik pilkada di Indonesia yang diterbitkan 8
Desember 2010 lalu dan telah diverifikasi penulis dalam sebuah diskusi dengan CGI, Jakarta Desember 2010
berkenaan dengan dinamika pemilihan umum daerah putaran keuua di Indonesia yang masih diliputi dengan
kekerasan di beberapa daerah. Temuan ini ditulis dalam: Nurul Rochayati, Direct Elections for Local Leaders in
Indonesia, 2005-2008: Money, Democracy and Conflicts, Master Thesis. (Japan: Ritsumeikan University,
2010).
20
Novri Susan, Sosiologi Konflik: Isu-isv. Konflik Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 208.
21
Menurut Didik Supriyanto, wartawan senior, tidak ada caftan yang menunjukkan adanya bentrok massa
berdarah sepanjang pelaksanaan pilkada dari 2005 hingga 2006. Hanya di tahun 2007 pada pilkada di Maluku
Utara dan Sulawei Selatan teijadi bentuk massa meski skalanya sangat kecil. Bentrok tersebut dipicu oleh tensi
yang cukup tinggi ketika ada demonstrasi dan aksi kumpul massa. Wawancara di Jakarta, 16 November 2009.
22
Pengertian dari konflik horizontal dalam pilkada adalah konflik yang muncul antar kandidat dan
pendukungnya melawan atau vis-a-vis kandidat lawan dan pendukungnya.
23
Perubahan tersebut secara eksplisit digariskan dalam Pasal 235 C, UU No. 12/2008.
24
Menurut tJU No. 12/2008, MK hanya dilimpahi wewenang penanganan sengketa hasil penghitungan suara
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sementara, wewenang menangani penyelesaian kasus-kasus
tindak pidana pilkada seperti politik uang berada di tangan lembaga peradilan dengan hukum acara yang berlaku
sesuai dengan KUHAP (fasten jurisprudent]e)
25
Jumlah perkara ini dirineikan oleh I Gusti Putu Artha dalam tulisannya betjudul “Perselisihan Hasil
Pemilukada: Putusan Mahkarnah Konstitusi dan Implikasinya dalam Penyelenggaraan Pemilukada” yang bisa
diakses di http://www.kpud-pacitankab.go.id/node/59.
26
Crisis Group International, ‘Indonesia: Preventing Violence In Local Elections’, Asia Report, 197 (2010), hal.
1-3.
27
Paul D. Hutchcroft, ‘Oligarchs and Cronies in the Philippine State: the Politics of Patrimonial Plunder’,
World Politics, 43 (1991), hal 415-416.
28
Keterangan mengenai bagaimana jaringan kekuasaan di Filipina bisa dilihat di John T. Sidel, Capital,
coercion. and crime: hossism in the Philippines. (US: Stanford University' Press, 1997).
29
Peter Kreuzer, ‘Private Political Violence and Boss-Rule in the Philippines’, Behemoth. A Journal on
Civilisation, 1 (2009), hal. 47-63.
30
Data ini diambii dari pemberitaan RTE News. Bisa dilihat di ’ 100 Dead ini Philipines Election Violence '
<http://www.rte.ie/news/2007/0509/philippines.html> [diakses pada 3 November 2009]

GLOBAL Vol.10 No.2 Desember 2010 - Mei 2011 149

You might also like