You are on page 1of 22

MAKALAH

AKTUALISASI DAN IMPLEMENTASI TAUHID DALAM


PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN (SAINS) DAN
TEKNOLOGI
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Tauhid dan Ilmu
Akhlak
Dosen Pengampu: Dr. Bukhori M, M.Ag
Dr. Maslani H, M.Ag

Disusun oleh:

Ai Latifah Nur Sidiq 1212080007


Arof Nurarofah 1212080017
Attalaryansyah Sukmawan 1212080020
Azka Fahira 1212080022
Egita Widiastuti 1212080032
Fadjar Tsabit Soemantri 1212080053

JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
202
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi nikmat iman dan islam
serta nikmat kesehatan sehingga akhirnya penulis bisa menyelesaikan makalah
berjudul “Aktualisasi dan implementasi tauhid dalam pengembangan ilmu
pengetahuan(sains) dan Teknologi”. Tidak lupa shawalat dan salam senantiasa
tercurah limpahkan kepada junjunan kita Nabi besar Muhammad SAW. Penyusunan
makalah ini, diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan
Pancasila, yang diampu oleh Dr. Bukhori M, M.Ag dan Dr. Maslani H, M.Ag.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Bukhori M, M.Ag dan Dr.
Maslani H, M.Ag, selaku dosen pengampu pada mata kuliah Ilmu Tauhid dan Ilmu
Akhlak, yang telah mengarahkan dalam menyusun makalah ini, serta kepada rekan-
rekan yang telah berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini, sehingga dapat
selesai pada waktunya.

Penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini.


Karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca untuk dapat dijadikan sebuah pembelajaran dalam Menyusun makalah yang
baik dikemudian hari.

Bandung, 24 Maret 2022

Penulis

i
Abstrak
Abstrak Pemikiran bahwa Tauhîd sebagai konsep yang berisikan nilai-nilai
fundamental yang harus dijadikan paradigma sains Islam merupakan kebutuhan
teologis filosofis. Sebab tauhid sebagai pandangan dunia Islam menjadi dasar atau
fundamen bangunan Islam. Oleh karena itu, sains dan teknologi harus dibangun di
atas landasan yang benar dari pandangan dunia tauhid. Sains dan teknologi dalam
pandangan tauhid adalah yang berlandaskan nilai-nilai ilahiah (teologis) sebagai
landasan etis normative dan nilai-nilai insaniyah [antropo-sosiologis] dan alamiah
[kosmologis] sebagai basis praksisoperasional.
Hubungan tauhid dengan sains dan teknologi secara garis besar dapat dilihat
berdasarkan tinjauan ideology [tauhid] yang mendasari hubungan keduanya, ada
tiga paradigma. Paradigma sekuler. paradigma sosialis, Paradigma Islam, yaitu
paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan.
Paradigma yang dibawa Rasulullah Saw yang meletakkan Tauhid Islam yang
berasas Lậilậ illa Allậh Muhammad Rasulullah sebagai asas ilmu pengetahuan.
Tauhîd sebagai landasan pijak pengembangan sains dapat dilacak pada
terbentuknya geneologinya konsepsi tentang Tuhan dalam pengertian yang
spesifik. Bahwa Tuhan adalah pengetahuan tantang alam semesta sebagai salah
satu efek tindak kreatif ilậhi. Pengetahuan tentang hubungan antara Tuhan dan
dunia, antara pencipta dan ciptaan, atau antara prinsip Ilahi dengan manifestasi
kosmik, merupakan basis paling fundamental dari kesatuan antara sains dan
pengetahuan spiritual

Keywords:
Aktualisasi Dan Implementasi Tauhid Dalam Ilmu Sains

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI ...................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
1.3 Tujuan Masalah ..................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Ilmu Pengetahuan dan Makrifatullah .................................................................... 3

2.2 Ilmu Pengetahuan dan Mahabbah ......................................................................... 6

2.2.1 Aktularisasi Mahabbah ................................................................................... 8

2.3 Ikhlas,Tawakal, sabar, Syukur, dan Ridha Dalam Ilmu Pengetahuan ................ 12

2.3.1 Ikhlas ............................................................................................................ 12

2.3.2 Tawakal ........................................................................................................ 13

2.3.3 Sabar ............................................................................................................ 14

2.3.4 Syukur .......................................................................................................... 15

2.3.5 Ridha ............................................................................................................ 16

BAB III PENUTUP

3.1 kesimpulan ........................................................................................................ 17

3.2 Saran ................................................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Perkembangan sains, teknologi, dan informasi abad mutakhir terasa sangat
mendominasi aktivitas masyarakat secara global. Pendidikan yang dianggap sebagai akar
peradaban pun memiliki peran penting dalam menyiapkan sumber daya manusia untuk
perkembangan global. Kebutuhan akan formulasi dan sistem pendidikan yang
komprehensifkondusif dirasa sangat urgent dalam menjawab tantangan itu. Pendidikan yang
dapat memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengembangkan nilai-nilai saintis, teknologi
dan informasi, hingga melahirkan peradaban mulia untuk memakmurkan bumi dengan baik
merupakan salah satu jawaban dari tantangan yang ada. Selain itu, peradaban dikembangkan
dan didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam yang kemudian melahirkan ilmu pengetahuan
(sains) serta teknologi dan informasi yang bernilai (valued) (Aari Kurnia . 2019)

Fondasi ajaran Islam itu bertumpu pada tauhid, yaitu suatu kesadaran dalam "peng-Esa-an
Tuhan" dengan "Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan." Kesadaran keEsa-an Tuhan ini
mengimplikasikan suatu pandangan hidup bahwa eksistensi alam semesta hanya berinti pada
Tuhan. Maka keyakinan hidup manusia haruslah bertumpu pada Tuhan. Manusia harus yakin
bahwa segala gerak alam semesta itu terjadi kerena eksistensi Tuhan. Tanpa Tuhan Yang
Mahakuasa, maka alam semesta tidak ada. Tuhan adalah inti realitas yang membuat realitas
menjadi ada, termasuk manusia itu sendiri. Sebab dasar tauhid ini, tidak mengherankan bila
"pengingkaran" manusia terhadap Tuhan, dalam Islam, diposisikan sebagai sikap berdosa
paling tinggi yang tidak terampuni. Audah Mannan Fakultas Dakawah & Komunikasi UIN
Alauddin Makassar (A Mannan ,Aqidah-Ta 2018)

Implikasi dari penyaksiaan ketauhidan ini adalah iman, yaitu keyakinankeyakinan terhadap
keberadaan Tuhan, malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari kiamat, dan takdir. Dengan keimanan
ini maka sudah sempurnalah setiap individu menjadi muslim. Selanjutnya, individu tersebut
akan hidup dalam garis Islam yang bersandar pada Alquran dan Hadis. Di sini terlihat bahwa
peran utama tauhid adalah sebagai pintu masuk menuju "Islam" sebagai agama teologis-
humanisme, yaitu pencipta rahmatan lil alamin dengan berdasar konsep ketuhanan. Dua
penjelasan di atas memperlihatkan bahwa esetetika adalah esensi dari sains sedangkan tauhid
adalah pondasi dari Islam.

1
Tauhid sebagai dasar peradaban adalah unsur struktur pemberi identitas peradaban yang
mengikat dan mengintegrasikan keseluruhan unsur pokok sehingga membentuk suatu kesatuan
yang padu. Peradaban yang dibangun di atas nilai-nilai tauhid inilah yang sesungguhnya
mencerminkan hak tipikal Islam. Dengan dimensi Tauhid yang sampai menjangkau peradaban,
maka sains, teknologi dan sosial tidak terkecuali, hakikatnya adalah menyuarakan tauhid dalam
kapasitasnya sebagai sarana untuk mempengaruhi peradaban masyarakat. Disini tauhid
merupakan komitmen manusia kepada Allah sebagai pusat orientasi dan fokus dari seluruh rasa
hormat, rasa tunduk, patuh, syukur dan sebagai satu-satunya sumber nilai. Apa yang
dikehendaki Allah akan menjadi nilai bagi manusia untuk bertauhid dan ia tidak akan mau
menerima otoritas atau petunjuk kecuali otoritas dan petunjuk Allah. Seorang muslim bertauhid
merupakan pangkal sekaligus ujung (tujuan) dari seluruh kehidupannya. Dengan Tauhid
manusia tidak akan bebas dan merdeka, tetapi juga akan sadar bahwa kedudukannya sama
dengan manusia lainnya. ( D Dzikrulloh – Izdihar 2021)

Pada pembahasan kali ini, kami akan membahas ilmu pengetahuan alam secara spesifik
lagi, yaitu pembahasan mengenai Ilmu pengetahuan alamiah dan teknologi. Seseorang
menggunakan teknologi karena ia memiliki akal. Dengan akalnya ia ingin keluar dari masalah,
dan ingin hidup lebih baik aman, mudah dan sebagainya. Perkembangan teknologi terjadi
karena, sesorang menggunakan akalnya untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Jenis-
jenis pekerjaan yang sebelumnya menuntut kemampuan fisik yang cukup besar, kini relatif
sudah bisa digantikan oleh perangkat-perangkat mesin, seperti komputer, hp, motor, dan lain
sebagainya. Pada satu sisi perkembangan dunia IPTEK, memang telah membawa manfaat yang
luar biasa bagi kemajuan peradaban umat manusia. Meskipun masih ada dampak negatif atau
kelemahan dari IPTEK itu sendiri. Namun hal ini seolah diabaikan oleh manusia, faktanya tidak
dipungkiri lagi, bahwa IPTEK dikembangkan setiap waktu.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu ilmu pengetahuan dan makrifatullah?


2. Apa itu ilmu pengetahuan dan mahabbah?
3. Bagaimana sikap ikhlas, tawakal, sabar, syukur, dan ridha dalam ilmu pengetahuan?

1.3 Tujuan Masalah


2. Mendeskripsikan ilmu pengetahuan dan makrifatullah.
3. Mendeskripsikan ilmu pengetahuan dan mahabbah.
4. Mendeskripsikan sikap ikhlas, tawakal, sabar syukur, dan ridha dalam ilmu pengetahuan

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Ilmu Pengetahuan dan Makrifatullah

Ma’rifat dalam term-term al-Qur’an memiliki banyak arti: mengetahui,


mengenal, sangat akrab, hubungan yang patut, berhubungan baik dan
pengenalan berdasarkan pengetahuan mendalam. Arti ma’rifat ini berasal dari
kata yang berakar pada kata ‘arafa, dalam keseluruhan al- Qur’an disebutkan
sebanyak 71 kali. Maka jika semua pengertian itu dihimpun dalam satu
pengertian, ma’rifat dalam substansi al Qur’an memiliki maksud sebagai
pengenalan yang baik serta mendalam berdasarkan pengetahuan yang
menyeluruh dan rinci, sebagai buah hasil dari hubungan yang sangat dekat dan
baik. Pengertian inilah yang berlaku pada konsep ma’rifat terhadap Allah
(ma’rifatullah). Ciri pokok dari orang yang berma’rifat dalam kehidupan
didunianya sebagaimana yang dikemukakan Syekh Siti Jenar, bahwa mereka
tidak terjebak oleh gemerlapnya dunia, serta menyikapi dunia secara wara’,
zuhud’ dan selalu mengembalikan dirinya kepada Allah. Adapun wataknya
dalam menjalankan syari’at keagamaan diisyaratkan dalam QS al-A’raf [7]:
157. Sehingga dengan segala pengetahuannya atas Kebenaran (ma’rifatullah)
dan ditundukkan mutlaknya kepada Allah, maka mereka selalu tenggelam
dalam kebesaran Allah. Mereka larut dalam keagungan-Nya. Sebaliknya,
dalam kehidupan dunia ini Allah-pun melimpahkan sebagian kebesaran dan
keagungan-Nya kepada hamba-Nya tersebut, sehingga dari diri orang yang ber-
ma’rifat dapat mucul karamah-karamah dari Allah. Mereka itulah yang disebut
sebagai wali Allah atau auliya’ Allah.Ayat-ayat tersebut sama-sama berbicara
tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada
hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya akan
dengan mudah untuk mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang
tidak mendapatkan cahaya akan mendapatkan kesesatan hidup. Dalam ma’rifat
kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian,
ajaran ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak
bertentangan dengan Al-Quran

3
Selanjutnya di dalam hadis kita jumpai Sabda Rasulullah yang artinya :
“Aku (Allah) adalah perbendaharan yang tersembunyi (Ghaib), Aku
ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakanlah makhluk. Oleh
karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka
itu mengenal Aku.” (Hadis Qudsi)
Hadis tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh
manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan
bahwa ma’rifat dapat terjadi dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.Dari segi
bahasa ma’rifat berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya
pengetahuan atau pengalaman. Dalam kitab Mu’jam al-Falsafyma’rifat diartikan
sebagai pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi
daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya. Ma’rifat
adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi
lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini
didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat
ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
Menurut Asmaran, ma’rifat secara etimologi berarti pengetahuan atau pengenalan.
Dalam istilah sufi, ma’rifat itu diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan
melalui hati (qalb). Pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas sehingga
jiwanya merasa menyatu dengan yang diketahuinya itu.Ma’rifat merupakan
pengenalan hati terhadap objek-objek yang menjadi sasarannya. Hal ini memiliki
kesamaan definisi dengan yang dikemukakan Adam, dkk. yang menyatakan
bahwa ma’rifat adalah pengetahuan tentang Tuhan dari dekat, sehingga hati
sanubari dapat melihat Tuhan.

Salah satu cara kita mengenal Allah adalah dengan ilmu pengetahuan.
Mempelajari kejadian di alam sebagai tanda kebesaran Allah. “Sesungguhnya,
dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya
Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau,
lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Ali-‘Imran: 190-191).

Tanda-tanda kebesaran Allah ada di darat dan di laut sebagai makhluk


hidup ciptaan Allah. Diantaranya hasil komiditas perikanan yang ada di lautan
ternyata Allah singgung dalam Al-Quran sebagai makanan yang halal dan lezat
untuk manusia bahkan di kuatkan oleh hadits Rasulalloh bahwa semua bangkai di
lautan itu halal dimakan meskipun tanpa ada proses penyembelihan seperti hewat
di daratan. “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang
berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang
yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan
darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-
Nya-lah kamu akan dikumpulkan" (Al Qurán: Al-Maidah :96). Dalil Al Qur’an
mengenai kehalalan bangkai ikan ditegaskan oleh salah satu hadist riwayat Ibnu
Majah : _“Dari Ibnu Umar berkata: Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua
darah. Adapun dua bangkai itu adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah itu
adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah).

4
Berdasarkan tinjauan Ilmu pengetahuan hasil penelitian ahli perikanan
mengapa bangkai laut itu halal yaitu :

1. Proses metabolisme hewan air jelas berbeda dengan proses metabolisme


hewan darat. Semua sisa metabolisme hewan air lebih sedikit dan
cenderung netral jika dibandingkan dengan sisa metabolisme hewan darat.
Karena jika dikaji, setiap hewan darat walaupun sudah disembelih, pasti
masih ada sisa ureum/amoniak di dalam dagingnya yang berkumpul
bersama dengan cairan tubuh atau pun pada sisa darah yang tidak mengalir
lagi. Zat sisa metabolisme adalah hasil pembongkaran zat makanan yang
bermolekul kompleks. Zat sisa metabolisme antara lain, CO2, H20, NHS,
NH3, zat warna empedu, dan asam urat. Zat-zat ini sudah tidak berguna
lagi bagi tubuh, oleh karena itu langsung dikeluarkan oleh hewan melalui
proses eksresi.

2. Zat sisa metabolisme berupa amonia tidak beredar dalam darah seperti
hewan lainnya yang diharamkan dieksresikan langsung keluar tubuh oleh
ikan. Amonia bersifat toksik dan membahayakan kesehatan manusia.
Sekalipun halal, tidak semua bangkai baik (thoyyib) jika dimakan oleh
manusia. Hal ini berkaitan dengan proses kemunduran mutu ikan yang
terjadi setelah ikan mati. Ikan yang masih baik dimakan adalah ikan yang
barada keadaan segar, dan maksimal ikan berada pada fase awal post rigor.
Hal ini karena kadar amin yang dihasilkan masih bisa diterima oleh tubuh.
Selain memiliki banyak manfaat sebagai makanan halal dan bergizi,
limbah ikan yang sudah menjadi bangkai juga memiliki banyak manfaat
yang bisa dikembangkan.

3. Salah satu yang menyebabkan bangkai hewan haram adalah darah. Kita
temuai bahwa pada ikan tidak mempunyai pembuluh darah sehingga tidak
ada pengumpulan darah berbeda dengan hewan di darat.

4. Lingkungan laut sebagai habitat ikan memilki kadar garam yang tinggi yg
merupakan faktor pengawetan alami terbaik

Jadi, jelaslah bahwa bangkai ikan adalah halal menurut Alquran dan sunnah.
Dengan demikian, konsep kehalalan bangkai ikan menurut Al Qur’an ini telah
terbukti sangat relevan dengan ilmu pengetahuan.

Adapun fenomena-fenomena alam lain sebagai tanda kebesaran Allah dalam


Al- Qur’an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

- Asal mula alam raya

“kemudian dia menuju pada penciptaan langit dan langit itu masih
merupakan kabut lalu Dia berkata, “Datanglah kepada-Ku baik dengan
suka maupun terpaksa”. Keduanya berkata “Kami datang dengan suka
hati” (Q.S Fushshilat : 11).

5
Tak seorangpun ahli sains mengira bahwa langit, bintang, dan planet-
planet itu adalah kabut (dukhan). Setelah alat-alat ilmiah berkembang
pesat para peneliti menyaksikan sisa-sisa kabut yang hingga saat kini
selalu membentuk bintang-bintang.

- Bulan dan Mentari

“Kami jadikan malan dan siang sebagai dua tanda, lalu kamu hapuskan
tanda malam, kami jadikan tanda siang itu terang” (Q.S Al-Isro : 12)

Para pakar ilmu astronomi pada saat ini telah menemukan bahwa rembulan
dulunya menyala kemudian padam dan sinarnya sirna. Cahaya yang keluar
dari rembulan dimalam hari hanyalan pantulan dari lampu (siraj) yaitu
matahari.

- Kurangnya oksigen dilangit

“Barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Dia


menjadikan dadanya sesak lagi sempit seolah-olah sedang mendaki ke
langit” (Q.S Al-An’am :125)

Dahulu orang beranggapan bahwa orang yang naik ke atas merasa sesak
napas karena udara buruk yang tidak sehat. Tetapi manakala manusia berhasil
membuat pesawat ruang angkasa super canggih dan ia mampu naik ke langit,
diketahuilah bahwa orang yang naik kelangit dadanya sesak dikarenakan udara
(oksigen) berkuranh dan bahkan hampa karena itu para astronot harus
menggunakan tabung oksigen ketika ke luar angkasa.

Setelah mengkaji beberapa contoh hubungan kitabullah dengam ilmu


pengetahuan modern, pahamlah kita bahwa Al-Qur’an merupakan suatu mujizat
tiada banding. Manusia yang beriman dan berakal lurus akan merasakan
keberadaan Allah dan membenarkan keimanannya kepada Allah.

Ilmu pengetahuan dan Mahabbah


2.2
Kata Mahabbah yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan cinta
berasal darikata Arab Ahabba-YuhibbuMahabbatan, beberapa maknanya adalah
mencintai secara mendalam, kecintaan, atau cinta yang mendalam. Jamil Shaliba
dalam dalam kitab al-Mu’jamal-Falsafi menjelaskan bahwa adalah Mahabbah
(cinta) adalah lawan dari kata al-Baghd (benci). Al-Mahabbah dapat pula berarti
al-Wadud, yakni yang sangat penyayang lagi pengasih. Mahabbah atau cinta
adalah kecenderungan hati kepada sesuatu yang menyenangkan. Apabila
kecenderungan hati itu bertambah kuat, maka namanya bukan lagi mahabbah,
tetapi berubah menjadi ‘isyq (asyik-masyuk). Al-Muhasibi mendefinisikan

6
mahabbah sebagai “kecenderungan hati secara total pada sesuatu, hingga
perhatian terhadapnya melebihi perhatian pada diri sendiri, jiwa dan harta, sikap
diri dalam menerima baik secara lahiriah maupun batiniah, perintah dan
larangannya; dan perasaan diri akan kurangnya cinta yang diberikan padanya.

Mahabbah atau cinta menurut Al-Hujwairi terambil dari kata al-hibbah,


merupakan benih-benih yang jatuh ke bumi di padang pasir. Kata ini ditujukan
kepada benih-benih di padang pasir tersebut (al-hubb), karena cinta itu sebagai
sumber kehidupan sebagaimana benihbenih itu merupakan asal mula tanaman.
Beberapa ahli Bahasa Arab lain menyatakan, al-mahabbah itu diambil dari alhubb,
yang berarti sebuah tempayan yang dipenuhi air yang tenang, begitu pula 10Abdul
Fatah Muhammad Sayyid Ahmad, Tasawuf antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah,
terj. M. Muchson Anasy (Jakarta Selatan: Khalifa, 2005),

Kata ahli bahasa lain, kata Mahabbah itu diturunkan dari al-habab, yaitu
gelembung-gelembung air yang muncul waktu hujan lebat. Al-Mahabbah atau
cinta itu diasosiasikan sebagai luapan hati yang merindu untuk meyatu dengan
yang dicinta, sebagaimana menyatunya tubuh dan ruh, begitu pula hati dapat
hidup karena adacinta, dan cinta bisa hidup, karena melihat dan bersatu dengan
yang dicinta. Menurut Harun Nasution, pengertian mahabbah adalah:

1. Patuh kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.


2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu
Tuhan.

Mengacu dari pandangan Harun Nasution dan mengaitkan dengan berbagai


pandangan ahli Bahasa Arab di atas dapat dirangkum bahwa mahabbah atau cinta
adalah mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya,
mengikuti ajaran yang dibawa Rasulullah dengan ketulusan hati di atas kesadaran
bahwa itu adalah wujud kecintaan kepada Allah, sebagaimana yang dinukil dalam
Surat al-‘Imran ayat 31-32:

‫ي مَ وٱُ ۡك ۡۚم ُنوَب َ ل‬ٞ‫و ر هرِ ح‬ٞ‫ِۡف ر َل ُ ۡك م َّهلُلَ وَيۡغ ۡ بُ ُك م ٱِ ُ عوِني ُۡي حبِ َّهلَل َفٱتهبِ حُّبوَ ن ٱِ نُ كنُۡت م ُت ُۡق ل إ َّهلُلَ غُف‬
‫ُۡق‬
‫ َّهلَل‬١٣ ‫َ وٱل هرُ سو ٱْ ِ طيُ عواَ ل أ هنِ َفإْ ۡ وا هَ ول َفإ يَ نِ ن َت ِ ِفرَٰ َ كۡ ِ حُّ ب ٱلََ ل ُي ٱ‬١٣َ ‫َُۖ َّهلل ذ‬

Terjemahnya: Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,


ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-
Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orangorangkafir".

7
2.2.1 Aktularisasi Mahabbah
a. Sikap Diri

Mahabbah atau rasa cinta seorang hamba kepada Tuhannya akan melahirkan
kerinduan untuk selalu bersama dengan yang dicintainya. Ia akan merasakan
kedekatan dengannya sebagai kebahagiaan dan merasa jauh dari sebagai
kegundahan dan kemalangan, segala cara yang dapat menjadikan ia merasa dekat
dengannya tentu akan ditempuhnya walau apa pun rintangannya. Rasa cinta
seperti itu digambarkan al-Quran sebagai perasaan yang terjadi secara timbal
balik. Sang hamba merasakan cinta kepada Tuhannya dan Tuhan pun
menunjukkan cinta kepada hamba yang dipilihnya. Wujud cinta seorang hamba
kepada Tuhan, bukan hanya dalam bentuk untaian kalimat-kalimat pujian
sebagaiman para mencinta menguntai kalimat indah untuk kekasihnya. Bukti cinta
kepada Tuhan dapat dilihat dalam tiga wujud sikap dari seorang hamba.

1. Pertama: Begitu sayang dan cinta kepada kekasih-kekasih Allah.


2. Kedua: Begitu keras kepada musuhmusuh Allah.
3. Ketiga: Tidak perduli dengan celaan para pencela. Al Qur’an mejelaskan
sifat tersebut kepada kaum yang llah pilih untuk menjadi kaum yang
dicintainya. Bahkan terlebih dahulu diterangkan bahwa manakala suatu
kaum tidak mau memikul tanggung jawab agama sebagai taklif atau
pembebanan spritualitas dalam keghidupan mereka, maka Allah tidak
segan-segan menggantikan mereka dengan komunitas baru yang di dalam
jiwa mereka mengalir rasa cinta yang begitu mendalam dan Allah pun
cinta mereka. Al-Qur’an, surah AlMaidah: 54 menggambarkan hal
tersebut:

‫ُّيَهاَ أَٰٓ َي ِتيَٰ ۡ َ ۡس وَ ف َيأَ من َۡي رَت هدِ منُ ۡك مَ عنِ ديِن ِ ۦه َف ْ َ مُن واِ ذيَ نَ ءا ه ٱلِ ع ه ’ٍز ةَ عَلىَ ُ ۡم ؤِ مِنيَ ن أۡ ٍ ة‬
ََٰٓ
‫َعَلى ٱل هِ ذلَ ِ حُّبوَن َٰٓ هُۥ أِ حُّبُۡه مَ وُيٖ ُي َۡق ومِ َّهلُل ب ٱۡ ٱلۡۚ ٖ َّهلِل َ ََو ل َي َ خاُفوَ ن َۡل وَ م ’َةَ لِئمِ ل ٱ يِ ِ ُه دوَ ن ِفي‬
٤٥َٰ ‫َسب يَ ن ُيَ جَٰ ِ ِفرَٰ َ كِ سٌ عَ عِلٌيم َّهلُلَ وَٰ َ وٱُ ۡۚء َّهلِل ُۡي ؤِتيِ هَ من َي َ شَٰٓا ِل َ ك َف ۡ ضُ ل ٱَ ذ‬

Terjemahnya: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu


yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum
yang dicintai Allah dan mereka pun mencintai Allah, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang-orang yang beriman, dan bersikap keras kepada orang-orang kafir
serta berjihad di jalan Allah, juga yang tidak takut kepada celaan orang yang suka
mencela”.

Ayat di atas memberi penjelasan tentang sikap-sikap yang lahir dari


mereka yang merasakan cinta kepada Tuhannya. Sikap yang tidak berhenti hanya
pada kalimat tasbih, tahmid, takbir, serta kalimat pujian lainnya, tapi terpatri

8
dalam bentuk sikap sayang dan sikap tegas, serta sikap pantang menyerah
mengemban misi kebenaran walau apa pun halangan dan rintangannya. Orang
yang hatinya diliputi cinta kepada Allah senantiasa bersikap mulia dan berusaha
menghiasi dirinya dengan sikap para pencinta Allah. Mereka adalah orang-orang
yang dianugerahi mahabbah kepada Allah untuk

Jadi bukti mahabbah kepada Allah akan terwujud dalam bentuk kesiapan
menghiasi diri dengan sikap-sikap mulia dan terpuji, baikdengan meneladani
sikapsikap Rasulullah seperti tercantum dalam surah ali-‘Imran: 31, 14 maupun
mengikuti sikap orang-orang yang mencintai Allah seperti pada surat al-Maidah:
54.

b. Sikap Sosial Aktualisasi

Cinta kepada Allah bukan hanya dalam bentuk keindahan bersikap dan
berhubungan dengan-Nya sebagai Dzat yang dicintai. Allah sendiri menegaskan
bahwa di antara bentuk cinta seorang hamba kepada-Nya adalah dengan
menunjukkan rasa cinta kepada hambaNya, dalam bentuk memberi perhatian dan
meletakkan “tangan” meringankan bebanbeban mereka, misalnya menjenguk
yang sakit, memberi makan, minum, pakaian, dan lain-lain. 15Itu artinya cinta
kepada Allah harus dibuktikan dengan lahirnya sikap-sikap sosial seseorang
kepada sesamanya, dimana sikap sosial tersebut tidak lain kecuali sikap ihsan
kepada sesama, terutama kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Adanya
sikap ihsan pada diri seorang hamba akan menjadi semacam jaminan baginya
untuk merasakan kecintaan Allah kepadanya, Allah berfirman, QS. Al-Baqarah:
195:

ُ ٣٩٤ِ ‫ۡم حِ سِنيَ نۡ ِ حُّ ب ٱل َّهلَل ُي هن ٱ إ‬

Terjemahnya: “Sesungguhnya Allah mencintai orangorang yang berbuat ihsan


(kebajikan).”

Sikap ihsan yang ditunjukkan seseorang kepada sesamanya muslim meski


itu sebagai bukti cinta, namun cinta kepada selain Allah tidak boleh melebihi
cintakepada Allah. Dan rasa cinta kepada selain-Nya haruslah didasari rasa cinta
karena-Nya.Rasulullahs.a.w. bersabda:

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah itu terdapat orang-orang


yang bukan nabi dan bukan syuhada’, tetapi para nabi dan syuhada’cemburu
kepada mereka. Lalu ada orang bertanya, ‘Siapakah gerangan mereka itu
barangkali kami dapat mencintai mereka? Beliau menjawab,‘Mereka adalah kaum

9
yang saling mencintai dengan cahaya Allah, bukankarena kekeluargaan, atau
keturunan. Wajah mereka bagai cahaya, mereka berada di mimbar-mimbar
cahaya, mereka tidak merasa takut ketika orang-orang sedang ketakutan dan tidak
merasa sedih ketika orangorang sedang bersedih.

Manakala mahabbah atau rasa cinta karena Allah mewarnai tradisi


keseharian sebuah masyarakat, maka akan tercipta atmosfir kemasyarakatan yang
damai, tentram, dan sentosa. Setiap warga masyarakat akan berbuat dan bersikap
dengan sikap layaknya seorang merasa senantiasa diawasi oleh Allah, Dzat yang
selalu ia rindukan cinta dan kasih sayangnya. Alangkah indahnya masyarakat
yang saling mencintai sesamanya dengan landasan mahabbah kepada Allah.
Masyarakat seperti ini pernah dibina oleh Rasulullah dengan mengikat rasa cinta
dua komunitas utama, yaitu kaum Muhajirîn dan Anshar. Sikap persaudaraan
mereka digambarkan Allah dalam firman-Nya QS. Al Hasyr: ayat 9: ِ

ِ ‫ذيَ ن هَ وَ جَ ر ٱلِ حُّبوَ نَ ۡم ن َهاَ نِ من َۡق بِل ِ ۡه م ُي َ َٰم يۡۡ ِل َتَب هوُ ءو ٱل هداَ رَ وٱْ وُت واُ أِّ مهم ’َٰٓا ِ ۡه مَ ح’’اَ ج ’ٗة‬
‫ة ِ سِ ۡه مَ وَۡل وَ كاَ ن ب نُف َ أَٰ َٰٓى َ وُۡي ؤِثُ روَ ن‬ٞ‫ِۡه مَ ََو ل َي ِ ُجدوَ ن ِفيُ ُصدور َۡل يِ إَ وَ من ُيوَ قۚۡ ِ ِ ۡه مَ خَ صاَ ص‬
‫َعَل ُ م ٱ ِئ َ ك ُهَٰٓ َٰ ْ وَل ُ ِ سِ ۦه َفأۡ ِل ُ حوَ نُ ش‬

Terjemahnya: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan


telahberiman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirîn), mereka
mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidakmenaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirîn), dan mereka mengutamakan (orangorang Muhajirîn) atas diri mereka
sendiri sekali pun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Apabila mahabbah atau cinta kepada Allah teraktualisasi dalam bentuk


hadirnya sikap dan perbuatan mulia yang dengannya tercipta atmosfir sosial
kemasyarakatan yang sehat dan saling menyayangi, maka itu dapat menjadi
solusidalam mengatasi perpecahan umat, kesenjangan sosial dan sebagainya yang
mungkin akan timbul akibat kemajuan era industralisasi yang menawarkan gaya
hidup mekanis, cenderung mematikan rasa dan cinta.Pengaruh dari sikap soisal
tersebut diyakini mampumenciptakan ketenangan, ketenteraman dan perdamaian
bagi umat manusia.

c. Sikap-Sikap Yang Dicintai Allah

Dari berbagai terma yang menunjuk makna mahabbah, sebagaimana telah


dijelaskan sebelumnya, nampak adanya sikap atau perbuatan-perbuatan tertentu
yang menjadikan rasa cinta itu muncul. Misalnya karena adanya sikap untuk

10
bertaubat dan senantiasa mensucikan diri, maka kecintaan Allah pun datang,
sebagaimana firman Allah QS. Ali Imran: 222:

‫ حُّ ب ٱلته‬٣٣٣ِ ‫َّهلَل هن ٱ إ يَ نِ ِ ُ مَت َ طِّهرۡ ِ حُّ ب ٱل يَ نَ وُيِ ب هوَٰ ُي‬

Terjemahnya: “Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang bertaubat dan


menyukai orang-orang yang mensucikan diri”

Selain ayat tersebut di atas, ada beberapa ayat lagi yang menjelaskan
bahwa ada berbagai sikap yang apabila terdapat pada diri seorang hamba, maka
hamba tersebut berhak atas kecintaan Allah. Di antara sikap tersebut adalah: sikap
ihsan (QS. Al-Baqarah: 195, QS. Al-Maidah: 13), sikap berserah diri kepada
Allah (QS. Ali Imran: 159), sikap adil (QS. Al-Maidah: 42, QS. Al-Hujurat: 9),
sikap takwa (QS. At Taubah: 4 dan 7), sikap bersatu di medan juang (QS.
AshShaf: 4).

Dari berbagai ayat yang menunjuk terma mahabbah, penulis menyimpulkan


bahwa hadirnya mahabbah atau rasa cinta kepada Allah, seseorang akan membentuk
dirinya dengan kepribadian al-Muhsinin (orang-orang yang berbuat baikterhadap lain), al-
Muttaqîn (orang-orang yang bertaqwa) dan al-Muqsithîn (orang-orang yang ‘adil), al-
Mutathahhirîn (orang yang menyucikan diri dan jiwa), dan alMutawakkilîn (orang yang
berserah diri kepada-Nya) al-Tawwabîn (orang-orang yang bertaubat), berjihad dengan
shaffan wahidan (orang-orang yang berjihad dengan barisan yang rapi) dan al-Shabirîn
(orang-orang yang penyabar). Di samping itu dengan mahabbah kepada Allah juga akan
terbentukpula kepribadian-kepribadian muslim lainnya, seperti al-Mu’minîn (orang-orang
yang beriman), al-Khasyi’în (orang-orang yang khusyu’ di dalam beribadah), al-
Muslimîn (orang-orang yang taat kepada Islam), alShalihîn (orang-orang yang saleh),
alShadiqqîn (orang-orang yang benar), al-Syuhada’ (orang-orang yang gugur di jalan
Allah) dan kepribadian-kepribadian muslim lainnya. Manakala setiap muslim mengetahui
bahwa di antara sikap dan perbuatan yang dapat mengantarkan seorang hamba untuk
meraih cinta Tuhannya, maka tentu ia tidak akan berpangku tangan dalam hidupnya, ia
akan berusaha keras agar dapat memiliki sikap dan karakteristik tersebut. Sikap dan
karakter tersebut adalah mu’min, muslim, shalih, khusyu’, taqwa, muhsin, tawwabîn,
shabirîn, muqsith (‘adil).

Mahabbah dalam Bahasa Arab berarti mencintai secara mendalam. Ia


didefinisikan sebagai kecenderungan hati secara total pada sesuatu, perhatian terhadapnya
melebihi perhatian pada diri sendiri, jiwa dan harta. Mahabbah juga bisa bermakna sikap
diri yang muncul sebagai bukti cinta kepada Dzat Pemilik Segala Keagungan, lahir dan
batiniah, mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya Hakikat mahabbah kepada
Allah bukan hanya dalam bentuk merindu dan selalu memuji-Nya, tapi ia juga harus
teraktualisasi dalam wujud sikap peduli kepada sesama, dengan menghadirkan “tangan”
yang selalu siap mengangkat kesulitan mereka yang membutuhkan. Sikap diri yang

11
mulia, sikap sosial yang agung, dan sikap-sikap yang mengundang rasa cinta Sang Maha
Pengasih. Jika rasa cinta kepada Allah sudah menguat, seseorang akan membentuk
dirinya dengan kepribadian al-Muhsinin (orang-orang yang berbuat baik terhadap lain),
al-Muttaqîn (orang-orang yang bertaqwa) dan al-Muqsithîn (orang-orang yang adil), al-
Mutathahhirîn (orang yang menyucikan diri dan jiwa), dan alMutawakkilîn (orang yang
berserah diri kepada-Nya) al-Tawwabîn (orang-orang yang bertaubat), berjihad dengan
shaffan wahidan (orang-orang yang berjihad dengan barisan yang rapi) dan al-Shabirîn
(orang-orang yang penyabar).

2.3 Ikhlas, Tawakal, Sabar, Syukur, dan Ridha Dalam Pengembangan


Ilmu Pengetahuan
2.3.1 Ikhlas

Sikap Ikhlas mempunyai kaitan erat dengan niat. Karena adanya sifat ikhlas
tergantung pada niatnya. Ketika dalam ibadah seseorang berniat hanya karena Allah SWT
(Lillahita’ala), maka akan muncul sifat ikhlas di dalam hatinya, sebaliknya ketika ada
campuran di dalam niatnya seperti agar dipuji, mendapat imbalan, dan lain sebagainya
maka tidak akan muncul sifat ikhlas di dalam hatinya.

Ikhlas merupakan pancaran niat semata-mata karena Allah dalam ibadah dan
kunci dakwah para rasul. Keikhlasan merupakan inti dan ruh suatu ibadah. Ibnu Hazm
berkata, “Niat adalah rahasia ketaatan. Niat dalam segala amal perbuatan bagaikan ruh
dalam jasad. Dalam ketaatan, mustahil terdapat amal perbuatan yang tidak memiliki ruh.
Karena amal perbuatan tanpa niat bagaikan jasad tanpa ruh, yaitu jasad yang mati.

Orang-orang yang mencintai Allah SWT, mengikuti Allah dan tenggelam cita-
citanya dengan akhirat, sehingga tidak ada tempat di hatinya mencintai dunia. Hal ini
dapat dijadikan sebagai cara untuk menjaga keikhlasan yakni memutuskan untuk
mencintai dunia (zuhud) dan hidup hanya bertunjuan untuk akhirat. Ketika seseorang
sudah memiliki rasa zuhud maka akan masuk dan tejaga sifat ikhlas di dalam hatinya.
Menurut ulama ikhlas dibagi mejadi dua yaitu :

a. Keikhlasan dalam beramal

Keikhlasan beramal adalah pekerjaan yang dilakukan dengan niat mendekatkan diri
kepada Allah SWT, menggunakan ihwal-Nya dan menyambut seruan-Nya. Keikhlasan ini
ada ketika seseorang hanya murni mempunyai niat untuk mencari ridho Allah. Jika
diimplementasikan kepada pendidik atau guru maka pendidik harus mempunyai niat awal
untuk mencari ridho kepada Allah. Sehingga sifat ikhlas akan sendirinya melekat pada
hatinya.

b. Keikhlasan mencari pahala.

12
Keikhlasan mencari pahala adalah keinginan memperoleh manfaat akhirat dengan
amal kebajikan. Sehingga seseorang yang melakukan sesuatu berniat untuk mendapatkan
pahala di sebut keikhlasan mencari pahala. Lawan dari keikhlasan ini adalah riya.

Seperti ketika seseorang mengajar tidak hanya berniat mengharapkan pahala dari
Allah, tetapi juga berharap pujian dari masyarakat, memiliki jabatan sehingga dihormati
masyarakat dan lain sebagainya, dengan niat seperti itu yang menjadikan rusaknya ikhlas
dalam mengajar.

Di kalangan penuntut ilmu, terutama di fakultas dan lembaga pendidikan, ada


ungkapan: sesungguhnya tidak ada lagi seseorang yang belajar di lembaga pendididkan
kecuali untuk mendapatkan Syahadah (ijazah) dan dunia. Tetapi semestinya menuntut
ilmu itu mencurahkan tenaga dan pikiran, teguh , sabar, berprasangka baik terhadap
penuntut ilmu, kecuali orang yang sudah diketahui menyalahi hal itu.

2.3.2 Tawakkal

Tawakkal dalam usaha pengembangan ilmu pengetahuan, keduanya adalah satu


kesatuan, dimana usaha adalah bagian dari tawakkal. Dikatakan bahwa tawakkal dan
usaha adalah wajah dari dua sisi ke imanan, karena tawakkal adalah menyerahkan hasil
usaha kepada Allah SWT, sedangkan usaha adalah syarat dari tawakkal. Ulama
mengatakan, “ tawakkal tanpa usaha adalah cacat dalam akal, sedangkan usaha tanpa
tawakkal kepada Allah merupakan sebuah kesyirikan”.

Tawakkal adalah menyerahkan hasil usaha seorang hamba kepada Allah SWT setelah
mengoptimalkan segala potensinya, dan ridha dengan keputusan Allah SWT, serta
berhusnudzan kepada Allah bahwa Allah pasti lebh tahu apa yang bermaslahat untuk
hamba-Nya. Hal ini seperti yang termaktub dalam doa istikharah yang di ajarkan kepada
Rasulullah yang artinya:

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada engkau untuk dipilihkan dengan ilmu-
Mu, dan mohon kemampuan-Mu, aku mohon dari karunia-Mu yang agung.
Sesungguhnya engkau berjuasa dan aku tidak berkuasa, Engkau maha mengetahui yang
gaib. Ya Allah, jika engkau mengetahui perkara ini (sebutkan jenis masalahnya) baik
buatku dalam dinku, duniaku akhir perkaraku atau kondisi sekarang dari perkaraku atau
nantinya, maka takdirkanlah hal itu untukku, dan mudahkanlah untukku, kemudian
berkahilah aku didalamnya. Dan jika engkau mengetahui bahwa perkara ini buruk bagiku
dan agamaku, kehidupanku, akhir perkaraku atau perkaraku yang cepat atau yang
nantinya, maka palingkan perkara itu dariku, dan palingkan aku darinya, dan takdirkanlah
kebaikan untukku dari arah mana saja, kemudian ridhailah aku.”

Sebagaimana orang yang beristikharah tidak memastikan yang terjadi apa yang
diinginkan, tapi menyerahkan keputusannya kepada apa yang baik di sisi Allah SWT.
Demikian juga seseorang yang bertawakkal minta tolong kepada Allah dan menyerahkan
segala urusannya kepada Allah serta pasrah totalitas kepada Allah dengan keyakinan
bahwa Allah tidak akan menelantarkan hamba-Nya yang bertawakkal kepada-Nya. Yang

13
harus diyakini dalam memahami masalah ini, bahwa manusia adalah hamba Allah dalam
segala kondisi, beribadah kepada Allah dalam segala hal, termasuk dalam masalah
tawakkal dan usaha. Allah Rabb dari segala sesuatu, termasuk dalam menentukan
berhasil dan tidaknya segala usaha, Dialah yang berhak menentukan segala sesuatu dan
tidak ada pilihan bagi manusia kecuali yang Allah berikan pilihan bagi mereka. Allah
SWT berfirman :

‫َو َر ُّبَك َيْخ ُل ُق َما َيَش ۤا ُء َو َيْخ َتاُرۗ َما َك اَن َلُهُم اْل ِخَيَر ُةۗ ُسْب ٰح َن ِهّٰللا َو َتٰع ٰل ى َع َّما ُيْش ِرُك ْو َن‬
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak
ada pilihan bagi mereka persekutukan (dengan Dia)”. (Q.S. Al-Qashas:68)

Manusia harus senang hati dengan keputusan Allah tentang tercapainya atau tidak
tercapainya yang telah diusahakannya. jika tercapai, ia tetap berdoa agar Allah
memberika taufik, keberkahan serta sebab kesuksesan akhirat. Sedangkan jika tidak
tercapai ia berhusnudzan kepada Allah, dan pasrah menerima keputusan Allah. Jadi
kesuksesan sebenarnya tercapai bagi orang yang bertawakkal baik terealisasikan apa yang
diinginkan dari dunia atau tidak, sebab apapun hasilnya ia mendapat ridha dan rahmat
Allah dan itu lebih baik dari apa yang didapatkan dari dunia.

2.3.3 Sabar

Sabar berasal dari bahasa Arab shobaru yashbiru yang berarti menahan.
Sedangkan sabar menurut istilah adalah menahan diri dari berbagai kesusahan dan
menyikapinya menggunakan akal dan syariat, menjaga lisan dari menggunjing serta
menahan semua anggota tubuh dari perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Menurut
islam sabar itu ada beberapa macam, yang diantaranya:

a. Sabar dalam melaksanakan perintah Allah SWT Sabar dalam hal ini adalah
dimaksudkan untuk menahan diri kita agar selalu istiqomah menjalankan apa yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT. Sebagai seorang muslim yang beriman, sudah semestinya
untuk sabar dan ikhlas dalam menjalankan segala perintah-Nya.

b. Sabar dalam menjauhi segala larangan Allah SWT Jenis sabar yang kedua ini
memang dirasa sangat sulit. Seorang muslim yang rajin beribadah dengan sabar pun
belum tentu bisa menjauhi segala larangan Allah SWT, karena memang Allah
menciptakan hawa nafsu dan Syaithan untuk selalu menggoda manusia agar melakukan
segala apa yang dilarang oleh Allah SWT.

c. Sabar dengan apa yang telah dituliskan oleh Allah untuk kita Sabar yang ini
bisa jadi yang lebih sulit dari yang sebelumnya. Seseorang bisa saja mampu untuk
bersabar dalam taat menjalankan perintah Allah dan menjauhi sregala larangan-Nya,
namun belum tentu ia akan tabah menghadapi takdir Allah yang jauh dari harapannya.

Sabar dapat mengundang manfaat yang besar bagi orang yang memilikinya.
ketika tertimpa musibah atau kesusahan yang amat berat. Salah satunya disebutkan dalam
Q.S. Ali Imran 146:

14
‫َو ُهّٰللا ُيِح ُّب الّٰص ِبِرْيَن‬

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang sabar.”

Batapa indahnya kita sebagai seorang muslim yang menjaga sabar karena dengan
begitu mampu mendapatkan cinta dari Allah SWT.

2.3.4 Syukur

Kata syukur atu dalam Bahasa Arab berasal dari kata Syukuran, Syakara, Wa
syukuran, Wa syakara yang berarti berterimaksih kepada Allah (dalam kontek islam) atas
segala nikmat yang telah kita terima. Sedangkan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia
(EdisiIII), syukur artinya rasa terima kasih kepada Allah atau penyataan lega, senang dan
sebagainya. Refleksi dari syukur merupakan bagian dari kegiatan yang menunjukkan
sikap tawakkal dan mengandung arti ”sebuah hal yang menunjukan penyebaran dari
sebuah kebaikan”. Para ulama mendefiniskan syukur sebagai kalimat aplikatif, yaitu
menggunakan dengan baik segala sesuatu yang Allah anugrahkan dengan tujuan
penciptaan anugerah tersebut. Dan oleh karena itu, syukur terbagi kedalam tiga bagian,
diantaranya adalah syukur I’tiqadi (bersyukur dalam bentuk keyakinan), syukur kauli
(bersyukur dalam bentuk ucapan), dan syukur ‘amali bersyukur dalam bentuk perbuatan
dan perilaku). Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: sesungguhnya jika kamu


bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kau mengingkari
(nikmat-ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.(Q.S. Ibrahim:7)

Dalam ayat diatas menjelaskan betapa dasyatnya tindakan bersyukur, karena


sebagaimana disebutkan bahwa dengan bersyukur, Allah akan menambah nikmat kepada
kita. Namun sebaliknya, jika kita mengingkari nya, disana Allah memperingati bahwa
azab-Nya begitu pedih. Maka dari itu penting bagi kita semua untuk selalu bersyukur atas
segala sesuatu yang Allah anugerahkan kepada kita.

2.3.5 Ridha

Kata ridha berasal dari bahasa Arab, Radiya yang artinya senang hati (rela).
Ridha menurut syariah adalah menerima dengan senang hati atas apa yang diberikan
Allah SWT, baik yang berupa hukum maupun ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh-
Nya, dan baik ketika menerima nikmat maupun ketika ditimpa musibah. Sering kali
sebagai manusia yang belum menanamkan ridha di dalam hatinya, ia akan merasa sangat
gelisah ketika mendapatkan ujian seperti kehilangan barang, pangkat, jabatan, kehilangan

15
anggota keluarga karena meninggal. Namun ridha terhadap takdir bukan berarti menyerah
dan pasrah tanpa berusaha dan mencari jalan keluar dari musibah yang menimpanya, hal
tersebut hanya akan menambah kerugian kita karena tidak ingin bangkit dari
keterpurukan. Hal tersebut (musibah) hanyalah ujian dari Allah SWT dalam menguji
keimanan dan ikhtiar hamba-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar(15). (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengucapkan “inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uu”. (Q.S, Al-Baqarah: 155-
156)

Ayat diatas mengajarkan untuk kembali mengingat segala apa yang kita miliki,
bahwa semuanya adalah titipan dan pemilik sejatinya adalah Allah SWT dan akan
kembali kepada-Nya. Ayat di atas merupakan kalimat istirja’(pernyataan kembali kepada
Allah) dan disunnahkan bagi kita untuk mengucapkannya ketika ditimpa musibah baik
yang besar maupun musibah yang ringan atau kecil.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

16
Kesimpulan Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat
yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Untuk itu manusia harus
mengenal Allah terlebih dahulu ketika upaya akan dan sedang menemukan
sesuatu ilmu pengetahuan. Melalui 2 jalan yaitu, jalan dilalui bukan atas
dasar petunjuk Islam dan jalan yang dilalui berdasarkan petunjuk Islam.
Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu,-mahabbatan, yang secara
harfiah berarti mencintai secara mendalam. Macam-macam mahabbah ada
3 diantaranya, mahabbatul’ ibadah, mahabbah fillah dan mahabbah
thabi’iyyah. Ikhlas berarti bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu.
Tawakal dalam usaha pengembangan ilmu pengetahuan, keduanya adalah
satu kesatuan. Dikatakan bahwa tawakal dan usaha adalah wajah dari dua
sisi keimanan. Sabar berasal dari bahasa Arab shobaru-yashbiru berarti
“Menahan”. Sabar adalah menahan diri dari berbagai kesusahan dan
menyikapinya menggunakan akal dan syariat, menjaga lisan dari
menggunjing serta menahan semua anggota tubuh dari perbuatan yang
dilarang oleh Allah SWT. Syukur atau dalam bahasa Arab dari kata
Syukuran, Syakara, Wa Syukuran, Wa Syakara yang artinya berterima
kasih kepada Allah atas segala nikmat yang telah kita terima. Kata Ridha
berasal dari bahasa Arab, radiya yang artinya senang hati (rela).

3.2 Saran

Demikianlah makalah tentang Aktualisasi dan Implementasi dalam


Pengembangan Ilmu Pengetahuan yang kami buat. Adapun saran dari
kami yaitu:
 Pengembangan ilmu pengetahuan sains dan teknologi dalam Islam
sebaiknya sesuai dengan syariat Islam yang ada.
 Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Islam diharapkan mampu
menopang kemajuan kehidupan umat islam.
 Ada bagusnya jika seseorang yang memiliki intelektual yang tinggi
memanfaatkan itu dengan sebaik-baiknya sesuai dengan syariat Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Mannan, A. (2018). Tranformasi Nilai-Nilai Tauhid Dalam Perkembangan Sains dan

17
Teknologi. Aqidah-Ta: Jurnal Ilmu Aqidah, 4(2), 252 - 268.

Dzikrulloh, D. (2021) Jurnal Ekonomi Syariah, 1(1) - ejournal.unwaha.ac.id

Kurnia, A. (2019). Pendidikan Integral Berbasis Tauhid Dalam Memebentuk Insan


Kamil. - eprints.umm.ac.id

Aziz, A., Budiyanti, N., Ahmad, N., Suhartini, A., Prayoga, A. (2020). Pendidikan
Islam Sebagai Upaya Ma’rifatullah. Jurnal Manajemen Pendidikan Islam. 10(2).

Nasution, H. (1983). Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan


Bintang.

Imam al-Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumiddin, terj. Abu Fajar al-Qolami, Cet. 1,
Surabaya: Gitamedia Press, 2003

Margareth Smith, Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan, terj. Jamilah Baraja, Cet. IV,
Surabaya: Risalah Gusti, 2001.

Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz XIX.

Ahmad Mubarok, Jiwa Dalam Al-Qur’an; Solusi Krisis Keharmonisan Manusia Modern.
Jakarta: Paramadina, 2000

Al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Risalah al-Qusyairiyah, Mesir: Dar al-Kahir, t.t

Jumantoro, T., Amin, M Syamsul. (2012). Kamus Ilmu Tasawuf. Jakarta: AMZAH. 85-
86.

Fathani, H Abdul. (2008). Ensiklopedia Hikmah. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group. 258.

Quthb, S. (2004). Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Yogyakarta: Lembaga Penelitian dan


Pengabdian pada Masyarakat Universitas Muhammadiyah Yogaykarta

18

You might also like