Professional Documents
Culture Documents
Makalah Ulumul Hadits
Makalah Ulumul Hadits
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Nasirudin Al Hasani, Lc., M.Ag.
Oleh:
Kelompok 06
Muhammad Iqbal Muwafa Hasan (232103050026)
Rovidatul Lailia (232103050060)
Siti Nur Aziza (232103050064)
Diana Safitri (232103050068)
FAKULTAS DAKWAH
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM
UIN KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER
DESEMBER 2023
KATA PENGANTAR
Dengan segala puja dan puji Syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan Rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang
berjudul “Hadis Shohih” ini dengan tepat waktu.
Makalah ini dibaut oleh kami dalam rangka melengkapi persyaratan mata
kuliah Ulumul Hadis serta memberikan pengetahuan lebih kepada kami dan pembaca
tentang “Hadis Shohih”. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dosen pengampu mata kuliah Ulumul Hadis, Bapak
Nasirudin Al Ahsani, Le., M.Ag., yang telah memberikan bimbingan dan dukungan
penuh kepada kami dalam penyusunan makalah ini, dan menginspirrasi penulis untuk
terus meningkatkan kualitas karyanya.
Kami menyadari betul bahwa dari segi isi maupun gaya penulisan makalah ini
masih jauh dari kata unggul. Namun, saat penyusunan makalah ini, kami telah
berupaya untuk memanfaatkan keterampilan dan pengetahuan. Demi penyempurnaan
makalah yang dihasilkannya, kami sangat antusias mendengar masukan, ide, dan
kritik.
Jember, Desember
2023
Kelompok 06
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................1
C. Tujuan Masalah..................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................3
A. Definisi Hadits Shohih...................................................................................................3
B. Syarat-Syarat Hadits Shohih..........................................................................................4
1. Sanadnya Bersambung.......................................................................................5
2. Rawinya bersifat Adil.........................................................................................6
3. Rawinya bersifat Dhabit.....................................................................................7
4. Tidak Syadz (janggal).........................................................................................8
5. Tidak Ber'illat.....................................................................................................9
C. Macam-Macam Hadits Shohih Beserta Contohnya.......................................................9
1. Hadis Shohih Li Dzatihi.....................................................................................9
2. Hadist Shohih Li-Ghairih..................................................................................11
D. Kehujjahan Hadits Shohih............................................................................................12
1. Hadits Shohih Menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin Al- Albani..............12
BAB III PENUTUP.........................................................................................................15
A Kesimpulan........................................................................................................15
B. Saran.................................................................................................................15
DAFTAR PUSAKA.........................................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk menentukan hukum taklifi, umat Islam harus berargumentasi dan berdebat
dengan menggunakan Alquran. Jika Alquran tidak memuat informasi yang jelas, mereka
biasanya beralih ke hadis. Sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an ialah hadis.
Sementara itu, dilihat dari sisi terminologi, hadis telah banyak diberi penafsiran oleh para
ulama berdasarkan bidang keahliannya, misalnya oleh ulama usul dan jumhur
muhaddisin.
Pemahaman antara ulama Ushul dan Hadits merupakan akibat dari perbedaan
pemikiran dan tujuan berbagai bidang keilmuan. Rekomendasi para ulama
menitikberatkan pada akhlak dan perilaku Nabi SAW. sebagai landasan hukum syariah
yang menjadi landasan ijtihad para mujtahid pada masa setelahnya. Sementara itu, para
ahli hadis mengkaji sifat dan perilaku Nabi yang diberi gelar oleh Allah SWT sebagai
teladan. As Uswah wa Qudwah (inspirasi dan teladan). Akibatnya, hadis yang
disampaikan para ulama ushul hanya membahas bagian-bagian tertentu dari hukum
syariah; mereka berfungsi sebagai sumber tasyri. Namun definisi yang dikemukakan oleh
para ulama hadis mempunyai pandangan yang lebih luas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hadis shohih?
2. Lima syarat hadis shohih
3. Macam-macam hadis shohih beserta contohnya
4. Kehujjahan hadis shohih
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian hadis shahih
2. Agar tau tentang lima syarat hadis shahih
1
3. Untuk mengetahui macam-macam hadis sahih beserta contohnya
4. Agar tau kehujjahan hadis shahih
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kata “shahih” secara etimologis berhubungan dengan “sehat”. Istilah saqim yang
berarti sakit mempunyai antonim pada kata ini. Maknanya bersifat kiasan (majaz) jika
diartikulasikan dalam hadis dan konteks lain. Namun, merupakan makna dasar (yang
sebenarnya) bila digunakan untuk menggambarkan tubuh.
Sedangkan hadis shahih adalah hadis yang sanadnya berkesinambungan,
diceritakan oleh perawi yang berilmu, dan tidak buruk hafalannya. Selain itu, tidak boleh
ada syadz dan illat pada sanad pada mereka. 1 Menurut Mahmud Thahan dalam Hadits
Taisir Musthalahil, hadits yang sebenarnya adalah:
ما اتصل سنده بنقل العدل الظابط عن مثله اىل منتهاه من غري شذوذ و ال علة
Artinya: “Hadis diturunkan melalui perawi yang adil dan terpercaya (dabit),
misalnya dari perawi yang sampai pada akhir jalan periwatannya tanpa adanya syunuz
dan juga tanpa illat.”2
Dari awal periwayatan hingga ujung (akhir), masing-masing perawi mengambil
hadis langsung dari perawi yang berada di atasnya. Hal ini disebut dengan melanjutkan
sanad. Apabila seorang perawi adalah seorang muslim, dewasa, berilmu, tidak durhaka,
dan juga tidak mempunyai cacat dalam kewibawaannya (dalam masyarakat), maka ia
baru dapat dikatakan adil. Perawi dabit adalah orang dengan ingatan yang luar biasa.
3Oleh karena itu, hadis yang dibawakan tetap tidak berubah.3
Definisi hadist shohih secara konkrit muncul setelah imam syafi’I menjelaskan
tentang Riwayat yang dapat dijadikan hujjah, yaitu:
1
Hamid, A. (2016). Pengantar Studi Al-Quran.
2
Mahmud Thahan dalam Taisir Musthalahil Hadits
3
Subhi Shalih, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, (Beirut 1988), h. 145-146
3
Pertama, Apabila hadis tersebut berkaitan dengan orang-orang yang amal
ibadahnya dapat dipercaya, yang dikenal sebagai orang-orang jujur yang memahami
hadis dengan baik, sadar akan perubahan makna hadis jika pengucapannya berubah, dan
mampu meriwayatkan hadis secara lafadz, dia mempertahankan ingatannya. Apabila
suatu hadis diriwayatkan dalam lafadz, bunyinya sama dengan hadis yang diriwayatkan
orang lain dan tidak dapat dibedakan dengan tadlis (menyembunyikan kekurangan).
Kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada nabi Muhammad SAW. atau
dapat juga tidak sampai kepada nabi.
Kita harus ingat bahwa sebelum seseorang benar-benar memahami ilmu hadis,
mustahil baginya untuk menentukan keabsahan sebuah hadis. Oleh karena itu, ketika
menentukan kebenaran sebuah hadis, mereka yang yakin bahwa mereka tidak memiliki
keahlian mengenai topik terkait hadis harus berkonsultasi dengan para ahli.
Maka dari itu Imam Bukhari juga Imam Muslim memilah beberapa kriteria hadist
shohih sebagai berikut:
1. Dalam perawiannya sanad hadits harus tetap bersambung dari yang paling awal
sampai kepada perawi yang paling akhir,
2. Orang- orang dalam perawinya harus terdiri dari orang yang terkenal terpercaya atau
tsiqah, yang berarti harus dabit dan juga terkenal adil,
3. Hadisnya harus bersih dari cacat atau ‘illat dan juga terhindar dari yang janggal atau
syadz, dan juga
4. Perawi- perawi yang terdekat dalam hal sanadnya harus sezaman.4
Suatu hadits baru dapat dinilai hadits shahih apabila telah memenuhi beberapa
syarat yang telah ditetapkan oleh para ahli muhadditsin sebagai berikut:
4
Mudah meahami ilmu mustholah hadis: Syarh Mandzhumah al-Baiquniyyah (Pustaka Hudaya, 2021)
4
1. Sanad Haditsnya Harus Bersambung.
Seperti yang telah disinggung di awal, yang dimaksud ialah bahwa setiap perawi
dalam sebuah hadis menerima secara sebenar- benarnya oleh perawi di atasnya, dan
seterusnya hingga kembali kepada perawi yang pertama di kalangan sahabat dan secara
langsung menerima dari rasul Muhammad SAW.5
Kemudian Istilah hadits “muttashil” dan “mawshul” juga digunakan apabila
sehubungan dengan sanad. Ibnu al-Shalah dan al-Nawawi mendefinisikan hadis muttashil
atau mawshul sebagai hadis yang bersambung melalui sanad, tanpa memandang apakah
persambungan itu akan sampai secara langsung kepada Nabi Saw atau hanya sampai
kepada para sahabat.6
Menurut M. Syuhudi Ismail, hadis-hadis muttasir maushur ada yang langsung
bedasarkan Nabi (Marfu’), ada yang berdasarkan para sahabat (Mawkkuf) dan ada pula
yang berdasarkan Tanabi’in. Dapat dikatakan bahwa hadis-hadis musnad pasti muttashil
dan mawshul, namun tidak semua hadis muttashil atau mawshul itu hadis musnad.7
Berbeda dengan ketersambungan hadis Musnad, ketersambungan hadis muttashil
atau mawshul tidak bisa dijadikan tolak ukur dalam menentukan keshahihan suatu hadis.
Hal ini dikarenakan hadis muttashil atau mawshul ada yang disandarkan kepada Nabi
SAW, ada pula yang hanya disandarkan pada sahabat atau tabiin sehingga terdapat
kemungkinan terputusnya sanad. Berbeda lagi dengan hadis yang satu ini yaitu hadis
musnad yang menjamin bersambungnya sanad kepada Nabi SAW dan dijadikan patokan
syarat- syarat bersambungnya sanad.
Biasanya untuk dapat mengetahui sanad haditsnya bersambung atau tidak, para
ulama’ hadits atau ulama’ muhadditsin melakukan beberapa metode kerja penelitian
dengan sangat berhati- hati diantaranya:
a. Mencatat semua dari nama perawi sanad yang diteliti.
b. Meneliti bagaimana riwayat hidup dari masing- masing perawi.
c. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para rawi dan rawi yang
terdekat dengan sanad.8
5
Muhammad al-Shabbagh, al-Hadits al-Nabawi, (1975)
6
Abu Zakariya Yahya ibn Syarf al-Nawawi, al-Taqrib al-Nawawi Fann Ushul al-Hadits
7
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, tahun 1995), hal. 127
8
Ibid hal. 128
5
Maka, baru dapat dinyatakan bersambung suatu sanad hadits apabila; Dalam
perawiannya benar- benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis diantara masing-
masing perawi dengan perawi sebelumnya secara sah seperti ketentuan- ketentuan yang
telah diurai diatas.
9
Ibid hal . 129
10
Ibid hal. 134
11
Ibid hal. 130
6
3. Rawinya bersifat Dhabit
Pada hadits shahih periwayatnya harus mempunyai kriteria dhabit. Kata dhâbith
dapat diartikan sebagai penghafal yang benar- benar kuat dalam menjaga hafalannya.
Kemampuan mengingat ini sama pentingnya dengan adil. Kata dhâbith dikaitkan dengan
kualitas intelektual sedangkan keadilan dapat dikaitkan dengan kapasitas pribadi. Dhabit
bukan hanya kuat hafalan periwayatannya saja tetapi, juga kuat hafalan catatannya
Pengertian dhâbith disajikan dalam berbagai editorial di kalangan ulama. Menurut
Ibnu Hajar al-Asqalani dan al-Sakhawi, seorang dhâbith memiliki ingatan cukup kuat
terhadap mereka dengar dan mampu mengkomunikasikan ingatan setiap saat. 12 Dhabit
adalah rawi yang bersangkutan dapat menguasai hadis dengan baik, baik dari hafalan
yang cukup kuat serta dengan kitabnya, lalu mampu membaca kembali ketika di
riwayatkannya.
Adapula definisi dhabit yang digunakan oleh Muhammad 'Ajaj al-Khatib yaitu,
Dhâbith atau kesigapan seorang perawi dalam menerima sebuah hadis, memahaminya
ketika mendengarnya, dan menghafalkannya mulai dari menerima hingga
menyampaikannya kepada orang lain.13 Dan masih ada banyak lagi definisi- definisi yang
diungkapkan dari berbagai ulama’
M. Syuhudi Ismail lalu menyimpulkan beberapa kriteria yang dapat disebut
dengan dhabit diantara lain;
Pertama, periwayat tersebut memaami dan mengetahui mengetahui latar belakang
hadis yang didengarnya. Akan tetapi, sebagian ulama tidak menuntut agar para perawi
memahami sepenuhnya latar belakang hadis yang didengarnya dengan kemungkinan; (1)
Seorang perawi dengan sendirinya akan memahami apa yang dihafalnya jika ia telah
memasukkan sejarah rawiannya ke dalam ingatannya. (2) Hafalan, bukan pemahaman
terhadap materi yang paling penting bagi seorang periwayat, tetapi pemahaman dalam
riwayat adalah hal yang paling penting. Karena orang hafal tapi tidak selalu paham
dengan apa yang dihafalnya, maka argumen pertama kurang kuat.
Kedua, periwayat menghafal dengan baik untuk mengingat riwayat hadis yang
didengar atau diterimanya. Seorang periwayat harus mampu menghafalkan riwayat agar
12
Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, hal. 13.
13
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Pokok-Pokok Ilmu Hadits
7
dapat disebut sebagai orang yang dhâbith, sedangkan sebagian ulama juga menekankan
pada kemampuan pemahaman ketika mendefinisikan dhâbith. Dengan kata lain, seorang
perawi yang hafal hadisnya secara menyeluruh dapat disebut sebagai dhabit, dan jika
diikuti dengan pemahaman terhadap hadis, maka tingkatan ke-dhabitnya lebih tinggi dari
pada periwayat tersebut.
Ketiga, Periwayat menjadi seorang dhâbith ketika dia mempunyai persyaratan
seorang periwayat dan dapat menyampaikan periwayatannya kapan saja yang dia mau.
Keaadaan ini menunjukkan bahwa kemampuan menghafal serta mengatur waktu
seseorang ada batasnya, baik karena telah memasuki umur tua dan pikun, hafalan
berlebihan, atau sebab lainnya. Perawi hadis yang kemampuan menghafalnya menurun
karena demensia atau sebab lain tersebut salah satunya, Sa’id ibn Iyas al-Jurayji, Sa’id
ibn Abi ‘Arubah, Rabi’ah al- Ra’i ibn Abi ‘Abd al-Rahman.14
Jika memiliki ingatan yang kuat dalam meneima dan memberi dari orang lain
maka jika ingin melepaskan ingatan itu kapan saja dan diamana saja, makan disebut
dabtu shadri. Jika diajarkan berdasarkan catatan disebut dabtu kitab.
14
Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsman al-Dzahabi, al-Mughn fi al-Dhu’afa’ Dar al-Ma’arif, Suriah, (1971)
15
M. Syuhudi Ismail, kaidah keshahihan sanad hadits, halaman. 117.
8
(1) hanya satu perawi yang menyampaikan hadis tersebut; dan (2) jika periwayat
sendirian itu adalah tsiqah.16
Sebaliknya imam as-Syafi'i menegaskan bahwa suatu hadis tidak termasuk Syâdz
apabila memenuhi salah satu syarat berikut ini: (1) hadis tersebut hanya diriwayatkan
oleh satu orang perawi; (2) perawi yang tidak melakukan tsiqah.
5. Tidak Ber'illat
Kata dalam bahasa “illat” artinya penyakit, keburukan, cacat, dan kesalahan
bahasa. Menurut istilahnya para ahli hadis mendefinisikan “illat” sebagai sebab-sebab
tersembunyi yang dapat melemahkan keshahihan hadis tersebut. Suatu hadis disebut
hadis mu'allal, apabila hadits tersebut mengandung cacat tersembunyi sehingga tampak
sah di permukaan. Al-Mu'allal adalah bentuk maf'ul, kata Arab a'allah, yang berarti "dia
merusaknya".
Hadits berkaitan bebas dari cacat shohih-annya, karena hadits tersebut bebas dari
sifat yang membuat cacat, meskipun terlihat jika hadis tersebut tidak menunjukkan ada
keshahihan dalam haditsnya. Menurut Ibn al-Shalah, al-Nawawi, dan Nur al-Din'Itr, 'illat
adalah faktor terselubung yang menurunkan kualitas hadis, mengubah apa yang sekilas
tampak sebagai hadis shahih menjadi hadits tidak shahih.
Dari segi periwayatannya, hadits mua’llal mirip seperti hadits syadz. Dikarenakan
persamaan kedua periwayatannya tsiqoh. Akan tetapi, tetap ada perbedaan pada
keduanya, hadits mu’allal ditemukan ‘illatnya, namun apabila di hadits syadz tidak dapat
ditemukan ‘illat karena memang tidak ada ‘illat didalam hadits syadz.
16
Al-Hakim al-Naysaburi
9
Ialah suatu hadits yang shahih apabila memenuhi seluruh kriteria hadis dengan,
antara lain sanadnya berkesinambungan, diceritakan oleh orang adil yang mempunyai
ingatan yang cukup untuk mengingat orang-orang dari awal, berikutnya sampai akhir
sanadnya, dan terhindar dari segala yang mengganjal, hal- hal yang cacat dan
kekurangan.17
Sanad bersambung disini secara luas bermaksud sanadnya mencakup syarat-
syarat diatas, tidak terputus ditengah- tengah dan terhindar dari kecacatan atau cukup
disebut dengan hadits shahih hasan18. Adapun contoh hadits li dzatihi;
َح َّد َثَنا َعْبُد الَّلِه ْبُن ُيوُس َف َقاَل َأْخ َبَر َنا َم اِلٌك َعْن اْبِن ِش َه اٍب َعْن َحُمَّم ِد ْبِن ُجَبِرْي ْبِن ُمْطِعٍم َعْن َأِبيِه َقاَل
ِمَس ْعُت َرُس وَل الَّلِه َص َّلى الَّلُه َعَلْيِه َس َّل َق َأ يِف اْل ْغِر ِب ِبالُّطوِر
َم َو َم َر
17
Muh, Zuhri. Hadis Nabi: Telaah Histories Dan Mitodologis, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana1997; 117
18
Ibid: 118
19
dalam Kitab Al-Adzan, no. 765
10
2. Hadist Shahih Li-Ghairih.
َق اَل: َح َّد َثَنا َأُب و ُك َر ْيٍب َح َّد َثَنا َعْب َد ُة ْبُن ُس َلْيَم اَن َعْن َحُمَّم ِد ْبِن َعْم ٍر و َعْن َأيِب َس َلَم َة َعْن َأيِب ُه َر ْيَر َة َق ال
ِبالِّس اِك ِعْنَد ُك ِّل اَل ٍة َّلِه َّل َّل ِه َّل
َص َرُس وُل ال َص ى ال ُه َعَلْي َو َس َم َلْو اَل َأْن َأُش َّق َعَلى ُأَّم يِت َأَلَمْر ُتُه ْم َو
akan aku perintahkan untuk bersiwak setiap kali akan shalat.” (H.R Tirmidzi).
Kitab Ulumul Haditsnya al-Imam Ibnu Shalah memberi keterangan bahwa:
“Perawi bernama Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah ialah salah satu perawi terkenal
karna sifatnya yang juju dan benar. Tapi, tidak termasuk kuat hafalan (dhabith) sehingga
kebanyakan ulama mengelompokkan perawi yang lemah hafalan. Namun, sebagian
ulama juga mengelompokkan perawi yang kuat dari segi kejujuran dan terpercaya.
Sehingga hadis itu disebut hadits hasan.
20
‘Ulûm al-Hadîts, al-Maktabah al-Islamiyah, al- Madinah al-Munawwarah, tahun 1972)
11
“Ketika terdapat hadits yang semisal (sanad dan matan yang sama), maka yang
lemah hafalan dikhawatirkan bisa menjadi musnah. Serta kekurangan bisa dibenahi lalu
sanad menjadi shohih dan derajat hadits naik jadi shohih”21
Untuk menetapkan suatu akibat yang dapat diyakini dan yang realitasnya dapat
dipertanggungjawabkan, maka kata kerja “berhujjah” digunakan dalam memberikan
alasan- alasan atau dalil yang benar dan adil dari Muhadditsin.22
21
Kitab Taisir fi ‘Ulumil Haidts, Syeikh Mahmud ath-Thahhan.
22
Kamus Ilmu Hadits (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2002)
23
‘Ulûm al-Hadîts, al-Maktabah al-Islamiyah, (1972)
12
Dalam kitabnya, Tamamul minnah fit-Ta’liq ‘ala Fiqhus Sunnah beliau membagi
beberapa metode dalam menilai hadits shahih. Dalam kitab tesebut Syaikh mengatakan
ada beberapa pedoman pokok yang harus diketahui sebelum masuk pada penguasaan
hadits, yang diantaranya;
Yang pertama, tidak mau adanya syadz. Tidak ada syadz karena salah satu syarat
hadis yang shahih. Hadis syadz adalah riwayat suatu hadis yang bertentangan dengan
riwayat lain yang sumbernya lebih dapat dipercaya, meskipun diriwayatkan oleh orang
terpercaya dan yang kebenarannya diakui.24
Yang kedua, menolak hadits yang terdapat goncang (mudhtharib). Adapun salah
satu syarat sebuah hadis yang shahih adalah harus bebas dari 'illat (cacat), dan diketahui
bahwa goncang adalah salah satu kecacatan tersebut.25
Misal, jika terdapat kedua riwayat yang sejajar maka hadits tersebut dapat
dikatakan sebagai hadits goncang. Namun, jika salah satu lebih unggul, misalnya jika
salah satu penerima riwayat mempunyai ingatan yang lebih kuat dan interaksi yang lebih
banyak dengan pemberi, maka Riwayat yang lebih bagus maka tidak disebut sebagai
hadis goncang. hal seperti ini dapat terjadi jika mata periwayatan hadis, pada seorang
perawi, ataupun terjadi pada redaksi hadits.
Yang ketiga, tidak menerima hadits mudallas. Menurut istilah, definisi riwayat
hadis Mudallas diyakini menunjukkan bahwa hadis tersebut bebas dari kecacatan. Akan
tetapi periwayat yang menyembunyikan kecacatan tersebut disebut al- mudallis, lalu
haditsnya disebut hadits mudallas dan perilaku untuk menyembunyikan kecacatan
tersebut disebut al- tadlis.26
24
Tamamul minnah fit-Ta’liq ‘ala Fiqhus Sunnah, (2001s)
25
Ibid hal. 5
26
Ibid Hal. 6
13
Yang keempat, tidak mau hadits majhul. dalam kifayah halaman 88 al- Khatib
berbicara “Al-Majhul adalah seorang tekenal yang ahli hadis serta metode
pembelajarannya tidak diketahui atau dikenal oleh para ulama”. Orang ini biasanya hanya
menggunakan satu sumber untuk meriwayatkan hadisnya. Ketidaktahuannya akan sedikit
berkurang karena fakta bahwa hadis tersebut diturunkan darinya oleh dua atau lebih
perawi yang berilmu.27
Pedoman kelima, tidak mengandalkan tautsiq Ibnu Habban. Menurut mayoritas
ulama, kecuali Ibnu Hibban, hadis majhul tidak dapat diterima, sebagaimana tercantum
dalam kaidah keempat. karena beliau menganut majhul hadis dan menyampaikan
justifikasinya dalam bentuk aslinya.28
Akibatnya para ulama hadis seperti al-Asqalani, adz-Dzahabi, dan lain-lain tidak
mempercayai mereka yang hanya didukung oleh Ibnu Hibban. Penting untuk mengingat
pernyataan Abdul Hadi bahwa “dan jika dia tidak diketahui maka keadaannya tidak dapat
diketahui”. Hal ini tidak benar karena menunjukkan bahwa Ibnu Hibban tidak
memasukkan satupun perawi dalam bukunya, Buku ats-Tsiqat, yang tidak mengenalnya
secara pribadi. Hal ini tidak benar, terbukti dengan komentarnya di "Sahl" bahwa "Saya
tidak mengenalnya dan saya tidak tahu siapa ayahnya."
27
Ibid hal. 7
28
Ibid hal. 10-13
14
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits yang shohih adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang adil, berakal,
sanadnya berkesinambungan, serta terhindar dari illat (cacat). Hadits sahih adalah hadits
yang disandarkan berasal dari Nabi Muhammad SAW. Karena sanadnya
berkesinambungan dan diceritakan oleh orang yang amanah dan terpercaya, maka tidak
ada penyimpangan atau kondisi sampai akhir sanad. Hadits-hadits shahih ini terbagi
menjadi dua golongan, yaitu lizathihi dan lighairi.
Ada banyak kriteria yang diberikan pada bagian yang menjelaskan hadis-hadis
Shahih yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu hadis sahih atau tidak.
Kadar hadis otomatis akan menurun jika syarat hadis shahih tidak terpenuhi. Misalnya,
jika kita menganalisis sebuah hadis, kita akan menemukan bahwa salah satu perawi hadis
tersebut bukannya tidak memiliki kesalahan intelektual atau ‘illat.
Maka kita harus lebih berhati- hati dalam meneliti dan mempelajari lebih luas
dalam ilmu hadits terutama hadits shahih.
B. Saran
Saya berharap karya saya dapat bermanfaat bagi para pembaca dan teman-teman
sebagai sarana pembelajaran untuk memperluas pemahaman dan pengetahuan mereka.
Dan jangan lupa bahwa saya sangat menghargai masukan apapun, termasuk kritik dan
saran, untuk membantu saya menulis makalah yang lebih baik di masa depan.
Demikianlah penjelasan terbaik yang bisa saya berikan untuk muhkam dan
mutasyabih. Sebagai manusia tentu saja mempunyai kekurangan dan ketidaktahuan
dalam menulis dan mengkomunikasikan gagasan dalam tulisan ini. Penulis berharap
dapat direvisi isi tulisan tentang muhkam dan mutasyabih ini disertai saran dan kritik
yang bermanfaat.
15
DAFTAR PUSAKA
M Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, tahun (1995)
TerjemahanTamamul minnah fit-Ta’liq ‘ala Fiqhus Sunnah, Maktabah salafy Press, Tegal,
(2001)
16