You are on page 1of 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/361442097

RISIKO KESEHATAN AKIBAT PAJANAN SUHU TINGGI PADA PEKERJA DAPUR

Preprint · June 2022

CITATIONS READS
0 1,275

5 authors, including:

Caluella Valanta Nabila Jihan Fairuzia


University of Indonesia University of Indonesia
1 PUBLICATION 0 CITATIONS 1 PUBLICATION 0 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Ahmad Ariq Atthaya Khatirah Salsabila


University of Indonesia University of Indonesia
2 PUBLICATIONS 0 CITATIONS 1 PUBLICATION 0 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Caluella Valanta on 21 June 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


UNIVERSITAS INDONESIA

RISIKO KESEHATAN AKIBAT PAJANAN SUHU TINGGI PADA PEKERJA


DAPUR

TUGAS AKHIR MATA KULIAH MANAJEMEN BAHAYA FISIK

Disusun oleh:
Kelompok 4
Ahmad Ariq Atthaya (2006530646)
Caluella Valanta (2006522902)
Khatirah Salsabila (2006595412)
Mirza Saleh Khan (2006473251)
Nabila Jihan Fairuzia (2006531604)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

DEPARTEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

DEPOK

2022
PENDAHULUAN

Heat stress dapat dikatakan sebagai kondisi ketika badan menerima pajanan suhu
panas yang berlebihan dari lingkungan sekitar dan sistem internal tubuh gagal mengendalikan
paparan tersebut. Heat stress dapat menyebabkan banyak dampak negatif, seperti heat
cramps dan heat rash. Heat stress ini pada umumnya disebabkan oleh pajanan suhu ekstrem
atau iklim kerja yang melebihi batas normal. Hal ini sendiri telah diatur dalam Permenkes
nomor 70 tahun 2016.

Alokasi Waktu Kerja Nilai Ambang Batas (ISBB) dalam celcius


dan Istirahat
Ringan Sedang Berat Sangat Berat

75-100% 31,0 28,0 * *

50-75% 31,0 29,0 27,5 *

25-50% 32,0 30,0 29,0 28,0

0-25% 32,5 31,5 30,0 30,0


Catatan: (*) tidak diperbolehkan karena alasan dampak fisiologis

Dalam dunia kerja, heat stress merupakan salah satu risiko yang cukup rentan terjadi di
tempat kerja. Jika terdapat risiko di tempat kerja, tentunya terdapat paparan yang diberikan
sehingga menciptakan risiko. Menurut OSHA, heat exposure dapat terjadi di lingkungan
kerja indoor ataupun outdoor dalam kondisi apapun. Salah satu area kerja yang berpotensi
memiliki heat exposure adalah dapur.
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak bisa dipungkiri bahwa dapur merupakan tempat
yang sering digunakan untuk beraktivitas baik dalam lingkup pekerjaan maupun dalam
lingkup kehidupan sehari-hari. Dapur sendiri identik dengan konsep ruang tertutup dan
dipenuhi dengan alat-alat bantu. Dapur pada umumnya diisi dengan kegiatan memasak dan
mempersiapkan bahan masakan. Dalam kegiatan memasak, banyak aktivitas yang melibatkan
api atau suhu panas untuk membantu proses memasak tersebut. Dengan kondisi ruangan
dapur yang mayoritas cukup tertutup, ruang gerak terbatas, dan pada dapur-dapur tertentu
diisi oleh orang yang cukup banyak, hal ini dapat menyebabkan suhu ruangan dan suhu tubuh
pekerja dapat meningkat hingga tingkat yang cukup berbahaya. Lebih lanjut, heat stress yang
dialami para pekerja ini dapat mengalami bahaya lanjutan seperti heat stroke.

HEAT STRESS
Heat stress merupakan kondisi di mana tubuh gagal dalam mengendalikan suhu
internal. Suhu udara, tingkat kerja, kelembaban, dan pakaian kerja merupakan faktor yang
dapat menyebabkan heat stress. Ketika terkena panas, tubuh bereaksi dengan meningkatkan
aliran darah ke permukaan kulit dan mengeluarkan keringat. Hal ini menyebabkan tubuh
dapat menjadi dingin karena panas dibawa ke permukaan dari dalam oleh peningkatan aliran
darah dan keringat menguap. Tubuh juga dapat menghilangkan panas melalui radiasi dan
konveksi dari permukaan tubuh (Health and Safety Executive, n.d.).
Semakin besar tingkat heat stress, semakin besar pula pengeluaran keringat. Tubuh
memiliki kemampuan alami untuk meningkatkan toleransi terhadap paparan tekanan panas
melalui proses yang disebut aklimatisasi. Saat orang sudah mulai terbiasa, mereka dapat
mengeluarkan keringat lebih banyak dan meningkatkan kemampuan untuk pendinginan.
Dengan peningkatan pendinginan, detak jantung dan suhu inti akan lebih rendah untuk
kondisi kerja yang sama (Plog & Quinlan, 2002).
Heat stress memiliki beberapa faktor risiko, di antaranya adalah usia, berat badan,
tingkat kebugaran fisik, tingkat aklimatisasi, metabolisme, tekanan darah, dehidrasi,
penggunaan alkohol atau obat-obatan, dan berbagai kondisi medis baik terkait penyakit
jangka pendek maupun penyakit kronis. Kondisi-kondisi ini dapat mempengaruhi kepekaan
seseorang terhadap panas (OSHA, n.d.; Victoroff & Yeoman, 2017). Kemampuan
aklimatisasi yang buruk dapat terjadi karena menempatkan pekerja baru yang belum cukup
berpengalaman, pekerja lama yang berpengalaman baru kembali dari pekerjaan yang jauh
dari panas, atau pekerja yang mengalami perubahan suhu tempat kerja secara tiba-tiba
(Victoroff & Yeoman, 2017). Beberapa obat-obatan yang dikonsumsi dapat mengakibatkan
ketidakmampuan pekerja untuk merasakan kondisi panas dan/atau ketidakmampuan untuk
berkeringat, sehingga gejala heat stress mungkin tidak dapat terlihat (OSHA, n.d.).
Jenis pakaian yang dikenakan pun harus diperhatikan. Pakaian berbahan katun yang
ringan dan longgar menjadi salah satu pilihan selama melakukan pekerjaan yang terpapar
oleh panas. Namun, banyak tempat kerja yang masih memerlukan pakaian pelindung yang
mampu mengurangi permeabilitas dan ventilasi serta meningkatkan insulasi. Berat tambahan
APD dapat meningkatkan beban panas metabolik dan tingkat heat stress (Plog & Quinlan,
2002). Gangguan terkait paparan panas yang pernah dialami sebelumnya dapat
mempengaruhi individu untuk mengalami gangguan tambahan. Selain itu, faktor lingkungan
seperti suhu udara, panas radiasi, pergerakan udara, konduksi, dan kelembaban relatif juga
dapat mempengaruhi respons individu terhadap panas (OSHA, n.d.). Kemudian, aktivitas
pekerjaan yang dilakukan dengan tenaga yang besar disertai kurangnya istirahat, dilakukan
secara terus-menerus, dan dengan motivasi yang tinggi untuk tetap menghadapi
ketidaknyamanan akibat paparan panas juga dapat menjadi faktor risiko meningkatnya heat
stress pada pekerja (Victoroff & Yeoman, 2017).
Heat stress dapat mempengaruhi individu dengan cara yang berbeda, dan beberapa
orang mungkin lebih rentan terhadapnya. Gejala yang umum terjadi contohnya adalah
kesulitan berkonsentrasi, kram otot, rasa haus yang parah, pingsan, kelelahan, pusing, mual,
sakit kepala, kulit lembab atau kering dan panas, kebingungan, kejang dan akhirnya
kehilangan kesadaran (Health and Safety Executive, no date). Apabila pekerja terus terpapar
dengan tekanan panas yang lebihan, maka pekerja dapat mengalami penyakit yang
berhubungan dengan panas atau heat-related illness (Plog & Quinlan, 2002). Berikut
merupakan penyakit-penyakit tersebut:
1. Heat Stroke
Heat stroke terjadi ketika tubuh tidak bisa lagi mengontrol suhunya. Suhu tubuh naik
secara cepat, kegagalan mekanisme berkeringat, dan tubuh tidak dapat menjadi
dingin. Saat heat stroke terjadi, suhu tubuh bisa naik hingga 41°C atau lebih tinggi
dalam waktu 10-15 menit. Heat stroke dapat menyebabkan kecacatan permanen atau
kematian apabila tidak segera ditangani (NIOSH, 2022).
2. Heat Exhaustion
Heat exhaustion merupakan respons tubuh terhadap kehilangan air dan garam yang
berlebihan, biasanya melalui keringat yang berlebihan (NIOSH, 2022). Gangguan ini
disebabkan oleh dehidrasi, tingkat aklimatisasi yang rendah, dan tingkat kebugaran
tubuh yang rendah (Plog & Quinlan, 2002).
3. Heat Syncope
Heat syncope merupakan kondisi di mana seseorang dapat pingsan atau pusing yang
biasanya terjadi ketika berdiri terlalu lama atau tiba-tiba berdiri setelah duduk atau
berbaring. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan sinkop panas termasuk dehidrasi
dan kurangnya aklimatisasi (NIOSH, 2022).
4. Heat Cramps
Heat cramps biasanya menyerang pekerja yang banyak berkeringat saat melakukan
aktivitas berat. Keringat ini menghabiskan kadar garam dan kelembaban tubuh. Kadar
garam yang rendah pada otot menyebabkan kram yang menyakitkan. Heat cramps
juga bisa menjadi gejala heat exhaustion (NIOSH, 2022).
5. Heat Rash
Heat rash merupakan iritasi kulit yang disebabkan oleh keringat berlebih saat cuaca
panas dan lembab (NIOSH, 2022).
Selain kondisi-kondisi tersebut, terdapat pula dehidrasi dan rabdomiolisis. Dehidrasi
tidak hanya menjadi faktor risiko terjadinya heat-related illness, tetapi juga dapat menjadi
dampak akibat tekanan panas yang berlebihan di tempat kerja. Dehidrasi akibat tekanan
panas yang berlebihan disebabkan oleh hilangnya cairan tubuh secara berlebihan yang
disebabkan oleh keringat, penyakit (muntah atau diare), dan konsumsi alkohol (Plog &
Quinlan, 2002). Rabdomiolisis adalah kondisi medis yang terkait dengan heat stress dan
aktivitas fisik yang berkepanjangan. Rabdomiolisis dapat menyebabkan kerusakan, ruptur,
dan kematian otot dengan cepat. Ketika jaringan otot mati, elektrolit dan protein besar
dilepaskan ke dalam aliran darah. Hal ini dapat menyebabkan irama jantung yang tidak
teratur, kejang, dan kerusakan pada ginjal (NIOSH, 2022).

PEKERJA DAPUR
Pekerja dapur melakukan pekerjaan manual meliputi aktivitas yang dilakukan di
dapur secara luas yang dipekerjakan di restoran, hotel, rumah sakit, sekolah, dan tempat
lainnya di mana makanan disediakan. Mereka bekerja dari pagi hari hingga malam hari, hari
kerja, maupun di hari libur. Beberapa pekerja dapur juga bekerja part time. Pekerjaannya
melibatkan proses berdiri dalam jangka waktu lama dan bahkan beberapa melakukan
pengangkutan barang-barang berat dan suplai makanan. Pekerjaan yang cenderung cepat di
dapur dapat sangat memusingkan, apalagi saat jam makan menjadi waktu padat (SafeWork
SA, 2022). Berikut ini merupakan pekerja-pekerja yang termasuk ke dalam pekerja dapur:

Koki (Cheff)
Koki bekerja sebagai seorang yang bertanggung jawab atas pembuatan atau produksi
makanan di dapur. Koki dibagi menjadi Koki Eksekutif, Kepala Koki, Koki Deputi, Koki
Senior, dan Koki Junior. Namun apapun jabatannya, koki akan ikut serta berpartisipasi atas
kelancaran operasional dapur termasuk menjaga kebersihan dapur. Kepala Koki bertugas
untuk menjaga kelancaran dan administrasi dapur dan membuat laporan bulanan. Koki
eksekutif akan bertugas sebagai supervisi utama dari keseluruhan fungsi dapur yang akan
memberi laporan langsung kepada manajer atau pemilik perusahaan. Koki eksekutif juga
bertanggung jawab terhadap risk assessment, COSHH assessments, dan memastikan
terlaksananya standar operasional prosedur.

Kitchen Porter
Seorang kitchen porter, hadir di dapur agar pekerjaan berjalan dengan lancar dengan
membantu menempatkan barang di tempat yang tepat, menyingkirkan bahan yang tidak
digunakan, menjaga lantai dan permukaan bebas dari hazard, membersihkan tempat sampah,
memindahkan alat masak yang telah digunakan ke tempat cucian, dan pekerjaan penunjang
lainnya.

Dishwasher
Bertanggung jawab langsung kepada Head Chef serta melaksanakan segala perintah
yang diberikan atasan dengan baik. Tugas utamanya adalah mencuci barang-barang yang
telah dipakai dan berperan aktif dalam bertanggung jawab langsung atas kebersihan di area
dapur. Dishwasher membantu menyediakan ataupun membersihkan barang-barang yang akan
dipakai untuk operasional sehari-hari serta bertanggung jawab atas barang-barang yang ada di
dapur maupun restoran dengan menjaga kelancaran dan administrasi keluar masuk atau
barang yang dipergunakan dan melaksanakan inventaris barang yang ada.

Wait Staff
Bertugas untuk menyerahkan makanan yang telah selesai disajikan kepada pelayan.
Beberapa restoran akan menerapkan peran yang berbeda untuk staf dapur. Kadang, staf dapur
ada yang bertugas untuk mencuci lap, bahkan mungkin ikut menyajikan makanan. (Rushton,
2020)

Sebagai tempat kerja yang memiliki suhu tinggi, pekerja dapur memiliki risiko yang
cukup tinggi untuk mengalami heat-related illness (Venugopal et al., 2021). Risiko tersebut
dapat meningkat seiring munculnya beberapa faktor risiko lain, seperti pakaian dan sistem
ventilasi dapur.

Pakaian
Untuk saat ini masih belum ada standar terkait pakaian yang dapat melindungi pekerja
dapur dari pajanan panas, api, dan kelembaban tinggi. Bahan pakaian harus memiliki
ketebalan yang mampu menahan pajanan panas dari luar tubuh. Namun, semakin bertambah
ketebalan pakaian, maka panas tubuh tidak dapat keluar dan meningkatkan pajanan panas
bagi pekerja. Pakaian yang digunakan oleh pekerja dapur di restoran terdiri dari jaket dan
apron berbahan polyester dan/atau katun. Apron dengan bahan tidak tembus air dapat
membantu meningkatkan ketahanan pakaian dari pajanan panas pada sisi depan tubuh
pekerja. Bagaimanapun, pakaian tidak dapat melindungi pekerja ketika tersiram air atau
minyak panas. Pekerja harus segera melakukan pertolongan pertama pada bagian tubuh yang
terdampak untuk mencegah efek yang lebih parah. Pada saat menyentuh peralatan dapur yang
panas, pekerja mengenakan sarung tangan anti panas untuk mencegah luka bakar atau
kecelakaan lainnya. Namun, menggunakan sarung tangan setiap saat selama memasak dapat
menimbulkan ketidaknyamanan, sehingga pekerja harus sering mencuci tangan agar tetap
higienis (Zhang et al., 2015).

Sistem Ventilasi
Tujuan utama dari sistem ventilasi di dapur adalah untuk menangkap dan menampung
arus asap (thermal plume) yang keluar akibat aktivitas memasak (Clark, 2009). Pembentukan
plume dipengaruhi oleh suhu, diameter sumber panas, dan kecepatan awal. Pada saat
memasak kecepatan awal adalah nol, namun di beberapa industri dengan gumpalan asap yang
cukup tebal memiliki kecepatan awal yang signifikan (Kim et al., 2018). Semakin tinggi
plume maka diameter akan bertambah, sementara suhu dan kecepatan akan berkurang.
Berikut ini merupakan standar exhaust flow rate berdasarkan aktivitas memasak dan suhu
(ASHRAE 2009):

tugas ringan suhu rendah <450 F 150 cfm/linear foot

tugas sedang suhu sedang 450-600 F 250 cfm/linear foot

tugas berat suhu tinggi >600 F 300 cfm/linear foot

tugas sangat berat pembakar kayu >700 F 500 cfm/linear foot

Sungkup udara biasa diletakkan di atas kompor untuk menangkap asap sehingga polutan yang
dihasilkan dari proses memasak tidak kembali ke dalam ruangan. Sistem ventilasi yang baik
dapat dihitung dari Capture Efficiency dengan melakukan pengukuran terhadap perubahan
kadar CO2 dari sebelum dan sesudah dihisap oleh sungkup udara (Kim et al., 2018). Ketika
sistem ventilasi tidak bekerja dengan baik, maka dapat menyebabkan kualitas udara yang
buruk. Pekerja akan menghirup gas-gas karsinogen yang berasal dari proses pembakaran (gas
kompor), partikulat PM2,55, CO2, serta CO dari asap masakan sehingga meningkatkan risiko
mengalami gangguan kesehatan, seperti kanker paru-paru, kerusakan fungsi ginjal, tekanan
darah tinggi, dan juga gangguan pernapasan (Singh et al., 2016; Zhao et al., 2014).

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN


1. Medical Surveilans
Dalam hal memilih orang yang akan bekerja di dapur, pemeriksaan kesehatan
awal harus termasuk ke dalam tahapan seleksinya. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui faktor pribadi yang sekiranya dapat meningkatkan risiko terkena
Heat-Related Illness seperti kondisi kesehatan sebelum memulai kerja di dapur,
tingkat kebugaran fisik, riwayat obat-obatan yang diminum, hingga status kehamilan
(Westaway K et al, 2015; Leyk, 2019). Adapun beberapa penyakit yang dapat
meningkatkan risiko terkena Heat-Related Illness bagi para pekerja dapur di
antaranya adalah penyakit kardiovaskular, diabetes, paru, ginjal, kulit, dan infeksi
(Leon L R et al, 2015; Tustin et al, 2018).
Selain pemeriksaan kesehatan awal, pemeriksaan kesehatan secara berkala
untuk pekerja di dapur harus diadakan. Tujuan dari diadakannya pemeriksaan
kesehatan berkala adalah untuk menemukan dengan segera para pekerja dapur yang
mungkin sudah memunculkan gejala penyakit akibat paparan panas, sehingga dapat
memperkecil keparahannya atau bahkan mencegahnya sedari dini, juga untuk
mengetahui kondisi kesehatan terkini barangkali ada faktor pribadi yang baru terlihat
dan memiliki sifat meningkatkan risiko terkena heat-related illness.
Dengan dilakukannya pemeriksaan kesehatan awal dan berkala, maka besar
kemungkinan penyedia kerja akan menemukan faktor-faktor risiko heat-related
illness. Dengan ditemukannya faktor-faktor risiko tersebut, penyedia kerja dapat
memikirkan langkah kedepannya akan seperti apa (intervensi).

2. Program Kembali Bekerja di Dapur Setelah mengalami Heat-Related Illness


Perlu diperhatikan bahwa pekerja dapur yang sebelumnya terindikasi
mengalami heat-related illness tidak diperkenankan untuk kembali bekerja sebelum
kondisinya telah dipastikan benar-benar pulih (tidak memiliki gejala dan hasil
biomarker seperti tes darah sudah normal agar menggambarkan hati dan ginjal
berfungsi dengan baik) dan sudah melakukan langkah-langkah pencegahan
kekambuhan heat-related illness yang dideritanya. Selain itu, jika pekerja dapur yang
mengalami heat-related illness akan kembali bekerja, dibutuhkan bantuan dokter
untuk melakukan evaluasi terkait kemungkinan untuk mengalami heat-related illness
kembali.
Pekerja dapur yang mengalami heat-related illness ringan atau sedang
mungkin dapat kembali bekerja pada hari berikutnya atau dalam beberapa hari ke
depan, dengan catatan telah dilakukannya tindakan pencegahan yang tepat.
Sebaliknya, pekerja dengan serangan panas atau kerusakan organ lainnya (misalnya,
AKI atau acute kidney injury) membutuhkan lebih banyak waktu untuk pulih.
3. Monitoring Fisiologis
Jika berdasarkan hasil pengukuran tekanan panas di dapur menunjukkan
bahwa tingkat heat-stressnya tinggi, maka pemantauan parameter terkait fisiologis
para pekerja di dapur secara real-time seperti detak jantung dan suhu tubuh akan
sangat dibutuhkan. Adapun program pemantauan fisiologi ini perlu dirancang,
diawasi, dan dilakukan oleh dokter yang memiliki kualifikasi atau kemampuan untuk
melakukan pemantauan fisiologis ini (ACGIH, 2020)
4. Pengukuran Heat Stress
Dalam industrial hygiene, heat stress sendiri identik dengan panas dari
lingkungan dan panas metabolisme yang dihasilkan dari adanya aktivitas fisik.
Keduanya (panas lingkungan dan panas metabolisme) berkontribusi pada beban
tekanan panas yang dirasakan oleh pekerja dapur. Laju pembentukan panas metabolik
dapat diperkirakan dari tabel yang memetakan tugas pekerjaan ke kategori aktivitas
fisik (rendah/sedang/berat). Misal, aktivitas memasak selama 2 jam dengan
menggunakan tungku yang pasa dianggap sebagai aktivitas fisik “sedang”. Adapun
tingkat panas metabolic dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti usia, kecepatan
kerja, frekuensi dan durasi istirahat, kecepatan kerja, dan beberapa hal lainnya.
Semisal setelah dilakukan measurement terbukti bahwa tingkat heat stressnya
sudah mendekati nilai ambang batas atau bahkan sudah melebihi, maka perlu
dilakukannya analisis segera terkait pekerjaan-pekerjaan yang telah dilangsungkan
dan juga segera dilakukan perubahan dengan baik agar potensi pekerja dapur untuk
mengalami heat-related illness tidak besar atau semakin berkurang.
5. Program untuk Mencegah Penyakit Akibat Panas
a. Protect Unacclimatized Workers
Pekerja baru di area dapur dan pekerja yang baru kembali bekerja
setelah tidak lama masuk tergolong ke dalam pekerja yang memiliki risiko
tinggi mengalami heat-related illness. Sebab, keduanya kemungkinan besar
belum dapat menyesuaikan diri secara masksimal untuk bekerja di lingkungan
yang panas. Oleh karenanya, penting bagi penyedia kerja untuk memasukkan
protokol aklimatisasi ke dalam program keselamatan dan kesehatan di tempat
kerja, yang mana program terkait aklimatisasi ini ditujukan untuk membuat
para pekerja mampu beradaptasi di lingkungan panas area dapur.
Salah satu cara yang dapat digunakan agar terciptanya pekerja yang
mampu beradaptasi adalah dengan cara meningkatkan paparan panas setiap
harinya secara bertahap selama periode 7 sampai 14 hari kerja. Misal, di hari
pertama, karyawan baru dipersilakan untuk bekerja dan terpapar tekanan panas
selama dua jam, lalu besoknya ditingkatkan selama 3 jam, dan begitupun
seterusnya. Ada juga cara alternatif seperti halnya pekerja baru yang diberikan
waktu istirahat lebih lama dan sering dibandingkan dengan pekerja lama.
Misal, ditemukan pekerja baru yang sangat belum terbiasa untuk bekerja satu
shift penuh dalam panas, maka pekerja tersebut harus diberikan waktu istirahat
setiap jamnya di lokasi yang sejuk, misalnya di ruangan ber AC.
b. Work/Rest Cycle and Self Pacing
Risiko terkena heat-related illness dapat dikurangi dengan
meningkatkan frekuensi dan/atau durasi istirahat. Umumnya, pekerja dapur
yang di dapurnya terdapat bahaya heat stress perlu istirahat
sekurang-kurangnya 15 menit dalam setiap jam. Melewatkan waktu istirahat
tentunya sangat disarankan, terkadang pekerja terus menerus melanjutkan
pekerjaan sekalipun sudah muncul gejala heat-related illness, yang mana hal
ini disebabkan karena ketidaktahuannya. Oleh karenanya, penting kiranya bagi
pekerja untuk berhenti ketika sudah merasakan gejala dari penyakit tertentu
yang disebabkan oleh panas, juga ketika sudah merasakan ketidaknyamanan
akibat panas.
Selain dengan meningkatkan frekuensi dan/atau durasi istirahat, risiko
terkena heat-related illness dapat dikurangi dengan menerapkan metode self
pacing selama bekerja. Kecepatan dalam bekerja diharapkan tidak selalu
konstan, ada kalanya kecepatan kerja perlu dikurangi agar tekanan panas yang
diterima dapat menurun.
c. Training
Penyedia kerja harus melatih para karyawan yang bekerja di dapur beserta
supervisornya tentang segala hal yang terkait dengan heat stress. Pelatihannya
disarankan mencakup hal-hal di bawah ini (NIOSH, 2016):
1) Pencerdasan mengenai gejala-gejala dari setiap penyakit yang terkait
dengan heat stress
2) Bagaimana cara melakukan pertolongan pertama ketika mengalami
heat-related illness
3) Aturan minum yang tepat selama bekerja di dapur yang sudah
jelas-jelas terdapat bahaya heat stress
4) Faktor risiko yang sifatnya dapat memperparah atau memperbesar
risiko pekerja untuk mengalami heat related illness, seperti halnya
penggunaan narkoba dan obesitas

d. Hazard Assessment
Monitoring tingkat heat stress di area kerja (dapur) merupakan tanggung
jawab penyedia kerja, biasanya dapat dilakukan oleh ahli industrial hygiene
atau oleh ahli K3 di perusahaannya. Monitoring perlu dilakukan untuk
mengetahui tingkat heat stress di dapur secara berkala karena tingkat heat
stress di hari ini mungkin akan berbeda dengan tingkat heat stress beberapa
hari ke depan. Ketika ditemukan tingkat heat stress yang sudah melewati
ambang batas, maka perlu dilakukan perbaikan segera. Penilaian heat stress
umumnya dengan cara mengukur WBGT (wet bulb globe temperature) dan
memperkirakan tingkat metabolisme pekerja (ex: beban kerja) (NIOSH, 2016;
ACGIH, 2020)
e. Provide Adequate Hydration Fluids
Jumlah dan jenis cairan yang dikonsumsi sangat penting bagi pekerja di dapur
yang lingkungannya panas. Penyedia kerja harus menyediakan air minum dan
akses untuk mendapatkannya perlu diperhatikan (mudah diambil dan letaknya
dekat dengan dapur). Ketika bekerja di lingkungan yang panas selama lebih
dari 2 jam atau bahkan kurang, besar kemungkinan pekerja dapur akan
berkeringat, oleh karenanya penyedia kerja juga harus menyediakan minuman
yang mengandung elektrolit seperti minuman untuk olahraga (NIOSH, 2016).
Penyedia kerja atau supervisor harus menasehati pekerja dapur untuk minum
jumlah cairan yang cukup untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang
akibat berkeringat. Supervisor juga perlu menyarankan para pekerja dapur
untuk tidak mengonsumsi cairan secara berlebihan, yang dapat menyebabkan
hiponatremia. Pembobotan sebelum dan sesudah shift adalah salah satu cara
untuk memantau apakah pekerja mengonsumsi cairan dalam jumlah yang
tepat.
6. Heat Stress Hygiene Practises
Praktik higiene heat stress merupakan tindakan yang perlu dilakukan oleh setiap
individu yang bekerja di area dapur untuk terhindar dari risiko heat-related illness.
Sebab, pada dasarnya setiap individu bertanggung jawab untuk mempraktekkan
higiene heat stress yang baik. Sesuai dengan yang tercantum dalam buku
Fundamental of Industrial Hygiene, beberapa contoh heat stress hygiene practices di
antaranya adalah:
a. Self-determination
Aspek utama dari penentuan nasib sendiri adalah membatasi paparan panas
selama bekerja di area dapur. Dalam hal penentuan nasib sendiri, pekerja
dapur sangat disarankan untuk segera berhenti dari pekerjaannya ketika sudah
merasakan gejala pertama dari penyakit yang disebabkan oleh heat stress.
Sebab, cedera yang lebih serius sangat amat mungkin terjadi apabila
timbulnya gejala diabaikan begitu saja.
b. Diet
Diet seimbang penting untuk menjaga kesehatan yang baik yang
dibutuhkan untuk bekerja di bawah tekanan panas. Saat istirahat, pekerja
dapur tidak disarankan untuk memakan makanan besar dikarenakan hal
tersebut dapat memperbesar beban peredaran darah dan tingkat metabolisme.
Penting untuk diketahui, diet di sini bukan asal diet, melainkan harus
berdasarkan pertimbangan atau arahan yang diberikan oleh dokter yang paham
bahwa pekerja di dapur merupakan pekerja yang tergolong memiliki risiko
besar mengalami sakit akibat tekanan panas. Selain itu, rutin mengecek dan
mengontrol berat badan pun merupakan hal yang penting dikarenakan obesitas
sendiri dapat memperbesar risiko seseorang untuk mengalami heat-related
illnes
c. Gaya Hidup
Gaya hidup sehat penting untuk menurunkan risiko gangguan terkait panas.
Seorang pekerja harus memiliki tidur yang cukup dan pola makan yang baik.
Gaya hidup sehat juga berarti tidak menyalahgunakan alkohol atau
obat-obatan, yang mana sifat keduanya adalah dapat memperbesar atau
memperparah risiko heat-related illnes. Selain itu, paparan stres panas segera
sebelum bekerja dapat meningkatkan risiko gangguan panas di tempat kerja
d. Status Kesehatan
Semua pekerja harus menyadari bahwa penyakit kronis seperti penyakit
jantung, paru-paru, ginjal, atau hati tergolong ke dalam penyakit yang sifatnya
mengakibatkan penderitanya memiliki toleransi panas yang lebih rendah,
sehingga penderita penyakit-penyakit tersebut memiliki risiko yang lebih besar
untuk mengalami gangguan kesehatan akibat panas. Pada prinsipnya, pekerja
yang menderita gangguan kronis harus memberi tahu dokter tentang pajanan
stres panas di tempat kerja dan mencari nasihat tentang potensi efek gangguan
atau obat yang digunakan untuk mengobatinya.
7. Engineering Controls
Engineering controls adalah perangkat atau proses yang dapat mengurangi tingkat
heat stress di dapur. Begitupan di area dapur yang bahaya heat stressnya tinggi,
penerapan engineering controls umumnya difokuskan untuk mengurangi panas
lingkungan, mengurangi kelembaban udara, mengurangi panas radiasi, meningkatkan
kecepatan udara, . Engineering controls juga dapat digunakan untuk mengurangi
produksi panas metabolik pekerja dengan cara mengurangi beban kerja (ex: yang
semula aktivitas memasak full dilakukan oleh manusia, aktivitas memasak bisa
dibantu oleh robot).
8. Administrative Controls
Administrative controls adalah pengendalian yang dilakukan untuk mengubah cara
pekerjaan di dapur dilakukan dan juga untuk membatasi risiko terkena penyakit
akibat heat stress yang tidak terkendali. Terkait dengan heat stress, administrative
controls diterapkan untuk membatasi paparan tekanan panas ke tubuh manusia,
sehingga denyut jantung dan suhu inti tidak melebihi batas yang diterima. Adapun
yang tergolong ke dalam administrative controls untuk pekerja dapur beberapanya
telah disebutkan sebelumnya, yaitu diterapkannya protokol untuk mempercepat proses
aklimatisasi, penjadwalan kerja yang baik dalam bekerja di dapur, rutin menganjurkan
untuk minum, frekuensi dan durasi istirahat yang cukup bagi pekerja dapur
9. Personal Protective Equipment
Jika engineering dan administrative control tidak cukup dalam mengurangi bahaya
tekanan panas di dapur, maka penggunaan alat pelindung diri amat patut untuk
dipertimbangkan oleh para penyedia kerja. Pelindung diri yang sering digunakan oleh
para pekerja di dapur yang panas adalah mengenakan pakaian yang sebelumnya sudah
didinginkan atau dibasahkan atau juga dengan meletakkan handuk basah di leher saat
bekerja (NIOSH, 2016).

KESIMPULAN
Heat stress adalah kondisi ketika tubuh gagal mengendalikan suhu internal tubuh. Hal
ini dipengaruhi beberapa faktor, seperti suhu udara, kelembaban, pakaian kerja, dan tingkat
pekerjaan seseorang. Heat stress juga memiliki faktor risiko, diantaranya adalah usia, berat
badan, tingkat kebugaran fisik, dan tekanan darah dimana hal-hal tersebut akan
mempengaruhi kepekaan tubuh terhadap paparan suhu panas..
Seseorang yang mengalami heat stress memiliki gejala-gejala umum, seperti tidak
fokus, kram otot, kelelahan, pusing, mual, sakit kepala, kulit lembab atau kering dan panas,
kebingungan, kejang, atau bahkan pingsan. Apabila kondisi dimana pekerja mendapatkan
paparan panas berlebihan secara terus menerus terus berlanjut, pekerja dapat menderita heat
related illness. Penyakit yang termasuk kedalam heat related illness adalah heat stroke, heat
exhaustion, heat syncope, heat cramps, dan heat rash.
Pencegahan dan pengendalian heat stress dapat dilakukan dengan beberapa metode.
Medical Surveilans dapat diterapkan untuk memeriksa kondisi kesehatan pekerja. Bagi
pekerja yang mengalami heat-related illness perlu diperhatikan kondisinya terlebih dahulu
sebelum diizinkan kembali bekerja di dapur. Perusahaan juga dapat melakukan monitoring
fisiologis serta melakukan pengukuran heat stress pada tempat kerja untuk menilai tingkat
heat stress. Penerapan program untuk mencegah heat-related illness, seperti protect
unacclimatized workers, work/rest cycle and self pacing, training, hazard assessment, dan
provide adequate hydration fluids direkomendasikan untuk diterapkan oleh perusahaan untuk
mengendalikan heat stress. Setiap pekerja juga perlu disadarkan untuk menerapkan heat
stress hygiene practises selama berada di lingkungan dapur. Engineering control,
administrative control, dan personal protective equipment juga merupakan tindakan yang
dapat dilakukan untuk mengendalikan heat stress di dapur.

SARAN

Saran yang dapat diberikan terkait dengan risiko heat stress di dapur yang dapat
menyebabkan heat-related illness.adalah kejadian ini dapat dihindari atau dicegah dengan
menjalankan metode-metode pencegahan dan pengendalian heat stress yang telah dipaparkan
sebelumnya. Terutama pengukuran heat stress, engineering controls, dan hazard assessment.
Pengukuran heat stress dapat bermanfaat untuk mengetahui kondisi dapur dan hasil
pengukurannya dapat digunakan sebagai acuan untuk mengontrol sistem kerja dan sistem
engineering dapur. Engineering control dibutuhkan untuk mengendalikan suhu dan
kelembaban di dapur sehingga para pekerja tidak mendapatkan paparan suhu dan kelembaban
yang melebihi batas. Hazard Assessment tentunya juga menjadi salah satu langkah mendasar
yang sangat penting karena dengan menerapkan langkah ini perusahaan dapat menilai kondisi
di dapur dan kemungkinan bahaya apa saja yang dapat ditimbulkan dengan kondisi dapur saat
ini. Dengan begitu, perusahaan juga dapat melakukan tindakan lanjutan untuk meminimalisir
terjadinya bahaya di dapur. Selain itu, memperhatikan kondisi individu pekerja juga perlu
dilakukan. Bagi para pekerja yang mengalami heat-related illness perlu diberikan tindakan
yang tepat dan diperhatikan kondisinya setelah sembuh. Perlu diperhatikan untuk pekerja
yang mengalami heat-related illness berat agar tidak langsung kembali bekerja agar tidak
memperparah kondisinya dan menyebabkan penyakit tersebut kambuh kembali.
DAFTAR PUSTAKA

American Conference of Governmental Industrial Hygienists. Heat Stress and Strain:


TLV.Cincinnati: ACGIH; 2020.

Clark, J. A., 2009. Solving Kitchen Ventilation Problems. American Society of Heating,
Refrigerating and Air-Conditioning Engineers.
http://www.ashraerp.com/files/Solving_Kitchen_Problems.pdf.

Health and Safety Executive, n.d. Heat stress - Temperature. [online] Available at:
<https://www.hse.gov.uk/temperature/heatstress/> [Accessed 20 June 2022].

Kim, Y.-S., Walker, I. S., & Delp, W. W., 2018. Development of a standard capture efficiency
test method for residential kitchen ventilation. Science and Technology for the Built
Environment, 24, 176–187.
https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/23744731.2017.1416171?casa_token=yB
bZKEOR8kAAAAAA:mB2ymfV-Iv66L6zroH2lIGfHHix82I1DpqdrLby_b1lxbLJzjtP8
K6W429WKWwD8xxa6-VaqgINOQw_f.

Leon LR, Bouchama A. Heat stroke. ComprPhysiol. 2015;5:611–647.

Leyk, D., 2019. Health Risks and Interventions in Exertional Heat Stress. Deutsches
Ärzteblatt international,

National Institute for Occupational Safety and Health, 2022. Heat Stress – Heat Related
Illness. [online] Available at:
<https://www.cdc.gov/niosh/topics/heatstress/heatrelillness.html> [Accessed 20 June
2022].

National Institute for Occupational Safety and Health. Criteria for a Recommended Standard:
Occupational Exposure to Heat and Hot Environments. Cincinnati, OH: US Department
of Health and Human Services; 2016. DHHS (NIOSH) Publication 2016–106. Available
at: https://www.cdc.gov/niosh/docs/2016–106/default.html.

Occupational Safety and Health Administration, n.d. Heat. [online] Available at:
<https://www.osha.gov/heat-exposure/personal-risk-factors> [Accessed 20 June 2022].

Occupational Safety and Health Administration, n.d. Heat Stress Guide. [online] Available at:
<https://www.osha.gov/emergency-preparedness/guides/heat-stress> [Accessed 20 June
2022].

Plog, B. and Quinlan, P., 2002. Fundamentals of Industrial Hygiene. 5th ed. USA: National
Safety Council.

Singh, A., Kamal, R., Mudiam, M. K. R., Gupta, M. K., Satyanarayana, G. N. V., Bihari, V.,
Shukla, N., Khan, A. H., & Kesavachandran, C. N., 2016. Heat and PAHs Emissions in
Indoor Kitchen Air and Its Impact on Kidney Dysfunctions among Kitchen Workers in
View publication stats

Lucknow, North India. PLoS ONE, 11(2).


https://doi.org/10.1371/JOURNAL.PONE.0148641.

Tustin, A., Cannon, D., Arbury, S., Thomas, R. and Hodgson, M., 2018. Risk Factors for
Heat-Related Illness in U.S. Workers. Journal of Occupational &amp; Environmental
Medicine, 60(8), pp.e383-e389.

Venugopal, V., PK, L., & Shanmugam, R. (2021). O-371 Occupational heat exposures and
renal health implications – A cross-sectional study among commercial kitchen workers
in South India. Oral Presentations, A22.1-A22.
https://doi.org/10.1136/OEM-2021-EPI.57.

Victoroff, T. & Yeoman, K., 2017. Mining Product: Heat Stress: A Series of Fact Sheets for
Promoting Safe Work in Hot Mining Settings. Spokane, WA: U.S. Department of Health
and Human Services, Public Health Service, Centers for Disease Control and Prevention,
National Institute for Occupational Safety and Health, DHHS (NIOSH) Publication No.
2017-125. [online] Available at:
<https://www.cdc.gov/niosh/mining/UserFiles/works/pdfs/2017-125.pdf> [Accessed 20
June 2022].

Westaway, K., Frank, O., Husband, A., McClure, A., Shute, R., Edwards, S., Curtis, J. and
Rowett, D., 2015. Medicines can affect thermoregulation and accentuate the risk of
dehydration and heat-related illness during hot weather. Journal of Clinical Pharmacy
and Therapeutics, 40(4), pp.363-367.

Zhang, H., McQueen, R. H., Batcheller, J. C., Paskaluk, S. A., & Murtaza, G. 2015. Clothing
in the kitchen: Evaluation of fabric performance for protection against hot surface
contact, hot liquid and low-pressure steam burns. Textile Research Journal, 85(20),
2136–2146. https://doi.org/10.1177/0040517515581584.

Zhao, Y., Li, A., Gao, R., Tao, P., & Shen, J., 2014. Measurement of temperature, relative
humidity and concentrations of CO, CO2 and TVOC during cooking typical Chinese
dishes. Energy and Buildings, 69, 544–561.
https://doi.org/10.1016/J.ENBUILD.2013.11.037.

Habib, R., El-Haddad, N., Halwani, D., Elzein, K. and Hojeij, S., 2021. Heat Stress-Related
Symptoms among Bakery Workers in Lebanon: A National Cross-Sectional Study.
INQUIRY: The Journal of Health Care Organization, Provision, and Financing, 58,
p.004695802199051.

Singh, A., Kamal, R., Mudiam, M., Gupta, M., Satyanarayana, G., Bihari, V., Shukla, N.,
Khan, A. and Kesava, C., 2016. Heat and PAHs Emissions in Indoor Kitchen Air and Its
Impact on Kidney Dysfunctions among Kitchen Workers in Lucknow, North India.
PLOS ONE, 11(2), p.e0148641.

You might also like