You are on page 1of 42

UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS) KEBIDANAN KOMUNITAS

REVIEW JOURNAL KONSEP DASAR KEBIDANAN KOMUNITAS


BERSPEKTIF GENDER DAN HAM: NUTRISI IBU YANG
MEMPENGARUHI KE STUNTING

Disusun oleh:
Kelompok 1
Dosen Pengampu:

PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM MAGISTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep
Dasar Kebidanan Komunitas Berspektif Gender Dan HAM: Nutrisi Ibu Yang
Mempengaruhi Ke Stunting”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah “Kebidanan
Komunitas” sebagai ujian akhir semester (UAS). Penulis menyadari dalam penyusunan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis meminta kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Makalah ini terwujud atas bimbingan dan arahan dan bantuan dari berbagai pihak
yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. , sebagai dosen penanggung jawab dan pengampu mata kuliah keluarga berencana.
Mengingat keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, penulis menyadari bahwa
penyusunan makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Akhir
kata, penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak.

Padang, Agustus 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan........................................................................................................2

BAB II TINJAUAN TEORI...............................................................................5


2.1 Nutrisi Ibu Hamil.......................................................................................5
2.2 Definisi Perspektif gender dan HAM........................................................8
2.3 Gender.......................................................................................................8
2.4 HAM........................................................................................................17
2.5 Fungsi Bidan dalam Gender dan HAM...................................................19
2.6 Prinsip Asuhan Kebidanan Komunitas Berperspektif Gender................22
2.7 Pendekatan Asuhan Kebidanan Komunitas Berspektif Gender..............23

BAB III REVIEW JOURNAL KONSEP DASAR KEBIDANAN KOMUNITAS


BERSPEKTIF GENDER DAN HAM: NUTRISI IBU YANG MEMPENGARUHI
KE STUNTING.................................................................................................25

BAB IV PENUTUP...........................................................................................32
4.1 Kesimpulan .............................................................................................32
4.2 Saran .......................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA

ii
2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehamilan dan melahirkan dapat menimbulkan resiko kesehatan yang besar,


termasuk perempuan yang tidak mempunyai masalah kesehatan sebelumnya. Kira-
kira 40% ibu hamil (bumil) mengalami masalah kesehatan yang berkaitan dengan
kehamilan; dan 15% dari semua bumil menderita komplikasi jangka panjang atau
yang dapat mengancam jiwa. Oleh karena itu, pengenalan mengenai pencegahan dan
penanganan yang terbukti dapat dijalankan (evidence based) bisa melindungi
keselamatan ibu dan bayinya. Penggunaan kebijakan dari bukti terbaik ( evidence
based ) yang tersedia sehingga tenaga kesehatan bidan dan pasien mencapai
keputusan yang terbaik, mengambil data yang diperlukan dan pada akhirnya dapat
menilai pasien secara menyeluruh dalam memberikan pelayanan.

Setiap manusia baik laki-laki maupun wanita dalam kehidupannya terjadi


perubahan atau mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang baik secara fisik,
psikis maupun sosial kemasyarakatan. Perbedaan peran, fungsi, tanggung jawab
antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk dan dibuat oleh masyarakat dan dapat
berubah sesuai dengan perkembangan zaman akibat konstruksi sosial merupakan arti
gender. Gender lebih menekankan pada perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab
antara peran perempuan dan laki-laki (Gusmansyah, 2019).

Gender merupakan hasil dari konstruksi sosial budaya dapat mengalami


perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Permasalahan yang terjadi bukanlah
mengenai perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab tersebut, namun ketidakadilan
yang dapat timbul akibat perbedaan tersebut sehingga merugikan salah satu pihak
(jenis kelamin) (Larasati & Ayu, 2020). Kesetaraan gender merupakan salah satu
bagian penting dari konsep hak asasi manusia. Hak yang setara untuk laki-laki dan
perempuan merupakan prinsip dasar dari piagam PBB yang diadopsi para pemimpin
dunia pada tahun 1945. Kata “manusia” di dalam Hak Asasi Manusia berarti
kemanusiaan seutuhnya. Hak asasi manusia adalah hak asasi wanita dan hak seorang
wanita adalah hak asasi manusia, sekali dan untuk semua (Chahal, 2011).
3

Menjaga dan mempertahankan kesetaraan gender antara laki-laki dan


perempuan memerlukan peran serta pemerintah. Pada sidang umum PBB tahun 1979
telah menyatakan pentingnya pengakuan terhadap hak perempuan dan oleh
karenanya turut mengadopsi Convention on the Elimination of All Form of
Discrimination Against Women (CEDAW) yang membuka jalan bagi negara di
seluruh dunia untuk melakukan ratifikasi, termasuk Indonesia yang melakukan
ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
dengan menerbitkan UU No.7 tahun 1984 (Deklarasi Penghapusan dan Kekerasan
Terhadap Perempuan yang dibuat pada tahun 1993 sesungguhnya sudah dapat
menjadi dasar hukum untuk menjamin hak dan kesempatan yang sama baik untuk
perempuan maupun laki-laki pada segala aspek kehidupan yang ada tanpa adanya
perbedaan. Namun aturan tersebut jarang sekali dijadikan acuan atau pedoman di
Indonesia dikarenakan deklarasi tersebut belum dipahami dan diaplikasikan oleh
masyarakat Indonesia (Ismail et al., 2020).

Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dengan hak asasi manusia


(HAM). HAM ada melekat pada manusia, apabila HAM dihilangkan berarti
hilanglah kemanusiaannya seorang manusia. Oleh karenanya, HAM bersifat
fundamental maka adanya merupakan keharusan, siapapun tidak dapat mengganggu
dan setiap orang harus memperoleh perlindungan HAM-nya. Manusia memiliki hak-
hak dasar untuk hidup, martabat dan pengembangan kepribadiannya, yang
menjadikan tonggak HAM yang berasal dari akal, kehendak dan bakat manusia.
Berdasarkan kultur, sejarah dan sumber daya orang berbicara tentang masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu bagaimana perspektif gender dan HAM
dalam pelayanan kebidanan komunitas?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui perspektif gender dan HAM dalam pelayanan kebidanan


komunitas.
4

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Dapat mengetahui tentang perspektif gender dan HAM dalam pelayanan


kebidanan komunitas.

2. Dapat mengetahui tentang gender.

3. Dapat mengetahui tentang HAM.

4. Dapat mengetahui tentang fungsi bidan dalam gender dan HAM.

5. Dapat mengetahui tentang HAM.

6. Dapat mengetahui tentang prinsip asuhan kebidanan komunitas


Berperspektif Gender.

7. Dapat mengetahui tentangPendekatan Asuhan Kebidanan


Komunitas berspektif Gender.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Nutrisi Ibu Hamil

Selama kehamilan, wanita mengalami peningkatan kebutuhan diet untuk


mendukung perubahan fisiologis, metabolisme serta pertumbuhan dan perkembangan
janin. Dibandingkan dengan sebelum hamil, kebutuhan energi meningkat rata-rata
300 kkal/hari selama kehamilan. Selain itu, kehamilan juga akan meningkatkan
kebutuhan wanita akan protein, vitamin, mineral seperti zat besi, asam folat dan
kalsium (Nita Dalmiya, Roland Kupka, 2022) . WHO global guidance
merekomendasi nutrisi pada ibu hamil dengan rincian yakni, jenis makanan yang
beragam minimal 5 jenis kelompok makanan per harinya, mengonsumsi suplementasi
tablet tambah darah (TTD), melakukan aktivitas fisik yang menunjang seperti senam
hamil dan peningkatan berat badan yang adekuat sesuai dengan indeks massa tubuh
(IMT) sebelum kehamilan (Kemenkes RI et al., 2019)

Marshall et al., 2022 mendapatkan 10 poin mengenai pentingnya nutrisi selama


masa kehamilan :

1. Peningkatan yang komprehensif dalam nutrisi dan status kesehatan wanita


sebelum dan selama kehamilan akan berkontribusi untuk mengoptimalkan
pertumbuhan janin, luaran obstetri yang diinginkan, kelangsungan hidup perinatal
yang lebih baik dan potensi kesehatan jangka panjang yang lebih baik pada ibu
dan bayinya

2. Status gizi ibu yang buruk berhubungan dengan pertumbuhan janin yang
abnormal. Setiap masalah tersebut berhubungan dengan peningkatan risiko
penyakit kronis di masa dewasa

3. Pola diet kehamilan pada remaja umumnya kurang sehat dibandingkan kehamilan
pada wanita dewasa. Diperlukannya peningkatan kualitas diet pada remaja

4. Pola diet yang baik sebelum dan selama kehamilan dihubungkan dengan
penurunan risiko gangguan kehamilan, termasuk DM gestasional, kelahiran
prematur, komplikasi terkait obesitas, pre-eklampsia serta hipertensi gestasional.

5
Terapi nutrisi merupakan dasar pengobatan DM gestasional

6
7

5. Pola diet dengan asupan makronutrien yang seimbang memberikan peluang


terbaik untuk kehamilan yang sehat dan luaran perinatal yang optimal. Diet yang
bergizi adalah makanan yang mencakup banyak sayuran, buah-buahan, biji-
bijian, kacang-kacangan, ikan, minyak yang diperkaya dengan lemak tak jenuh.
Hindari gula, makanan olahan

6. Diet yang menghindari makronutrien apa pun harus dihindari selama kehamilan
karena ketidakseimbangan nutrisi yang dihasilkan menyebabkan kekurangan
nutrisi atau ketosis

7. Bukti yang berkembang menunjukkan bahwa IMT ibu hamil mempengaruhi


kenaikan berat badan gestasional pada komplikasi kehamilan.

8. ASI memiliki nutrisi yang sesuai dan dibutuhkan bayi lahir cukup bulan selama
4-6 bulan pertama kehidupannya. Mengonsumsi ASI berhubungan dengan
penurunan risiko penyakit kronis saat dewasa. Komposisi ASI dipengaruhi oleh
intake maternal selama masa menyusui dan cadangan adiposa ibu. Pada ibu yang
DM gestasional, terdapat bukti bahwa memberikan ASI Eksklusif selama 6 bulan
menurunkan risiko DM tipe 2 untuk ibu dan melindungi risiko obesitas pada
anaknya.

9. Konsumsi rutin multivitamin dan suplemen yang mengandung asam folat dalam
jumlah optimal sangat dianjurkan bagi semua wanita usia reproduktif, dimulai
setidaknya 2-3 bulan sebelum konsepsi dan berlanjut sepanjang kehamlan
setidaknya hingga 4-6 minggu setelah melahirkan

10. Sangat penting bagi tenaga kesehatan untuk mempunyai waktu, pengetahuan dan
sarana dalam memberikan informasi mengenai nutrisi yang optimal pada wanita
usia subur sebelum, selama dan setelah kehamilan (Marshall et al., 2022)

Situasi gizi ibu hamil di Indonesia cukup sulit diprediksi mengingat data
mengenai gizi wanita di Indonesia sangat terbatas. Diperkirakan hampir setengah
(49%) dari wanita hamil di Indonesia menderita anemia yang menyebabkan
peningkatan risiko kematian ibu dan bayi, 50% dari wanita hamil mengalami
defisiensi energi dan protein dan hal ini meningkat hampir 70% pada kelompok
8

ekonomi rendah dan hampir seluruh (95%) wanita mengonsumsi kurang dari 5 porsi
buah dan sayuran per harinya. Berbagai faktor yang menyebabkan masalah ini antara
lain behaviours, food environment, health and nutrition system, social protection
system, wash system dan education system (Kemenkes RI et al., 2019).

Status gizi ibu selama kehamilan berhubungan dengan luaran kehamilan. Untuk
melihat status gizi ibu hamil, perlu dihitung indeks massa tubuh (IMT) ibu sebelum
hamil atau sebelum usia kehamilan 20 minggu. IMT berperan penting untuk
menentukan penambahan berat badan ibu selama hamil dan harus dipantau setiap
ANC. Pengukuran LILA dapat dilakukan sebagai alternatif selain IMT untuk
menentukan status gizi ibu hamil. Pengukuran LILA dilakukan sebelum atau pada
awal kehamilan. Jika pada pengukuran LILA didapatkan < 23,5 cm, maka ibu
mengalami Kurang Energi Kronik (KEK) (Nita Dalmiya, Roland Kupka, 2022). Ibu
hamil yang KEK akan meningkatkan risiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR). Bayi dengan BBLR jika tidak diintervensi dengan baik dapat
menjadi anak balita yang menderita Kurang Energi Protein (KEP). Balita perempuan
dengan KEP berpotensi tumbuh menjadi remaja putri dengan gangguan pertumbuhan
atau KEK yang pada akhirnya berisiko menjadi ibu hamil yang KEK.

Semua bentuk malnutrisi, termasuk underweight, perawakan pendek, anemia dan


overweight memiliki pengaruh yang serius terhadap kesehatan ibu (Nita Dalmiya,
Roland Kupka, 2022). Underweight merupakan keadaan ibu hamil dengan IMT
<18,5 kg/m2. Gizi kurang timbul apabila dalam jangka waktu lama asupan zat gizi
sehari-hari ke dalam tubuh lebih rendah dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang
dianjurkan sehingga tidak mencukupi kebutuhan. Apabila ibu mengalami gizi kurang,
risiko KEK meningkat sehingga juga meningkatkan risiko IUGR, BBLR, bayi
dengan kelainan kongenital, stunting sehingga meningkatkan risiko terjadinya
penyakit tidak menular (PTM) pada usia dewasa. Pada ibu perawakan pendek yakni
dengan tinggi < 145 cm dapat meningkatkan risiko cephalo-pelvic dispropotion
(CPD) dan tingginya kejadian persalinan dengan seksio sesarea serta pada bayinya
akan berisiko lahir dengan BBLR, persalinan preterm, stunting dan wasting. Anemia
dalam kehamilan merupakan suatu keadaan ketika kadar Hemoglobin (Hb) dalam
darah kurang dari normal (<11 gr/dl). Anemia terjadi pada ibu hamil karena
kebutuhan zat besi yang diperlukan untuk membentuk hemoglobin tidak terpenuhi.
9

Oleh karena itu, dianjurkan minum suplemen yang berisi 250 mg zat besi dalam
bentuk sulfas ferrosus (atau setara dengan 60 mg besi elemental) dan 400 mikrogram
asam folat. Suplemen zat besi dan asam folat sering menimbulkan keluhan mual,
perut perih, buang air berwarna hitam atau sembelit dan tidak perlu dikhawatirkan
karena tidak berbahaya. Pada ibu hamil overweight dengan IMT ≥30 kg/m 2
menimbulkan risiko penyempitan pembuluh darah yang berbahaya bagi ibu dan
janin, serta plasenta. Plasenta yang berfungsi menyuplai oksigen mengalami
penyempitan karena lemak dan dapat menghambat pasok oksigen, sehingga merusak
sel-sel otak janin, serta berimplikasi terhadap kecerdasan anak yang berkurang (Miele
et al., 2021).

2.2 Definisi Perspektif Gender dan HAM

Penerapan asuhan kebidanan di komunitas dengan perspektif gender tentunya di


lakukan dengan penerapan konsep profesi dalam praktek kebidanan. Aplikasi konsep
tersebut meliputi standar praktek kebidanan yang dikembangkan dari filosofi dan
kode etik kebidanan. Untuk menerapkan gender dalam asuhan kebidanan komunitas,
bidan harus memperhatikan prinsip,pendekatan,dan kerangka konsep bidan sensitive
gender.

Gender adalah perbedaan peran,fungsi,tanggung jawab antara laki-laki dan


perempuan yang di bentuk dibentuk,dibuat dan di kontruksi oleh masyarakat dan
dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman kontruksi sosial.

Gagasan menganai Hak Asasi Manusia (HAM) di bangun atas dasar dan prinsip-
prinsip kesetaraan. Prinsip ini menekankan bahwa manusia berkedudukan setara
menyangkut dengan harkat dan martabatnya, manusia memiliki kesetaraan di dalam
HAM. Berbagai perbedaan yang melekat di dalam diri manusia tidak menyebabkan
kedudukan manusia tidak setara karena walaupun begitu tetaplah sama dalam haknya
sebgai mahluk ciptaan tuhan yang palig mulia . Kesetaraan gender adanya perlakuan
yang setara, yang pada situsi apapun harus di pelakukan dengan sama (Putu Tya
Diliana et al., 2022).
2.3 Gender

2.2.1 Definisi
10

Gender merupakan istilah yang muncul pada tahun 1990-an setelah


muncul gerakan feminisme yang didasari tuntutan akan posisi yang adil
terhadap kedudukan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan,
mengingat ketidakadilan yang dialami baik dari segi struktural maupun
kultural (Afandi, 2019). Gender merupakan keseluruhan atribut sosial
tentang laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil dari konstruksi sosial
dalam masyarakat Gender merupakan dasar menentukan perbedaan
kontribusi laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kebudayaan
kolektif, yang merujuk pada perbedaan dan relasi sosial antara anak
perempuan dan anak laki-laki (Dewi, 2020).

Nilai dan aturan bagi laki-laki dan perempuan di setiap masyarakat


berbeda sesuai dengan nilai sosial-budaya setempat dan seringkali berubah
seiring dengan perkembangan budaya. Di beberapa daerah contohnya,
menjaga hasil bumi yang akan dijual menjadi tugas perempuan, sementara di
daerah lain itu menjadi tugas laki-laki.

2.2.2 Kontruksi Sosial Gender

Sex adalah perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan-


perbedaan dalam sistem reproduksi seperti organ kelamin (penis, testis,
dengan vagina, rahim, dan payudara), hormon yang dominan dalam tubuh
(estrogen dengan testosteron), kemampuan untuk memproduksi sperma atau
ovarium (telur), kemampuan untuk melahirkan dan menyusui.

Gender mengacu pada kesempatan dan atribut ekonomi, sosial dan


kultural yang diasosiasikan dengan peran laki-laki dan perempuan dalam
situasi sosial pada saat tertentu. Konstruksi sosial tentang seksualitas
mengacu pada proses pemikiran seksual, perilaku dan kondisi (misalnya
keperawanan) yang diinterpretasikan dan diberi makna konstruksi sosial ini
mencakup keyakinan kolektif dan individu tentang karakteristik tubuh,
tentang apa yang dianggap erotis atau menjijikan, serta hal apa dan dengan
siapa sepantasnya laki-laki dan perempuan melakukan atau berbicara tentang
seksualitas.

Di beberapa budaya tertentu, ideologi seksualitas menekan pada


11

perlawanan perempuan, agresi laki-laki, saling melawan atau menentang


dalam aktivitas seksual; dalam kebudayaan lain, penekanannya adalah saling
bertukar kesenangan.

Konstruksi sosial seksualitas menjelaskan bahwa tubuh laki-laki dan


perempuan memainkan peranan penting dalam seksualitas mereka.
Konstruksi sosial seksualitas juga melihat dengan seksama konteks historis
khusus dan budaya untuk memahami bagaimana pemikiran khusus dan
keyakinan tentang seksualitas dibentuk, disetujui, dan diadaptasi.
1. Pembagian pekerjaan berbasis Gender

Dalam masyarakat, perempuan dan laki-laki melakukan aktivitas


yang berbeda, walaupun karakteristik dan cakupan aktivitas tersebut
berbeda melintasi kelas dan komunitas. Aktivitas tersebut juga boleh
berubah sepanjang waktu. Perempuan biasanya bertanggung jawab dalam
perawatan anak dan pekerjaan rumah tangga atau sering disebut peran
reproduksi, tetapi mereka juga terlibat dalam produksi barang-barang
untuk konsumsi rumah tangga atau pasar atau yang dikenal dengan
peran produktif. Laki-laki biasanya bertanggung jawab memenuhi
kebutuhan rumah tangga, makanan, minuma dan sumber daya terutama
peran produktif.
2. Peran Gender dan Norma

Dalam masyarakat, laki-laki dan perempuan diharapkan untuk


berperilaku sesuai dengan norma dan peran maskulin dan feminin.
Mereka harus berpakaian dengan cara yang berbeda, tertarik kepada isu
atau topik yang berbeda, tertarik kepada isu dan topik yang berbeda dan
memiliki respon yang tidak sama dalam segala situasi. Ada persepsi
yang disepakati bersama bahwa apa yang dilakukan oleh laki-laki baik
dan lebih bernilai daripada yang dilakukan perempuan. Dampak dari
peran gender yang dibentuk secara sosial. Perempuan diharapkan
membuat diri mereka menarik dari laki-laki, tetapi bersikap agak pasif,
menjaga keperewanan, tidak pernah memulai aktivitas seksual dan
melindungi diri dari hasrat seksual laki-laki yang tidak terkendali. Dalam
masyarakat tertentu, hal ini terjadi karena perempuan dianggap memiliki
12

dorongan seksual yang lebih rendah. Dalam masyarakat lain, cara


perempuan dikendalikan adalah berdasarkan pemikiran bahwa
perempuan memiliki dorongan seksual dan secara alami tidak dapat setia
pada satu pasangan.
3. Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan

Mempunyai akses ke dan kontrol yang lebih besar atas sumber daya
biasanya membuat laki-laki lebih berkuasa daripada perempuan dalam
kelompok sosial manapun. Hal ini dapat menjadi kekuasaan kekuatan
fisik, pengetahuan dan keterlampilan, kekayaan dan pendapatan, atau
kekuasaan untuk mengambil keputusan karena merekalah yang
memegang otoritas. Laki-laki kerap kali memiliki kekuasaan yang lebih
besar dalam membuat keputusan atas reproduksi dan seksualitas.
Kekuasaan laki-laki dan kontrol atas sumber daya dan keputusan
diinstitusionalkan melalui undang-undang dan kebijakan negara, serta
melalui aturan dan peraturan institusi sosial yang formal. Hukum di
berbagai negara di dunia memberi peluang kendali yang lebih besar
kepada laki-laki atas kekayaan dan hak dalam perkawinan, serta atas
anak-anak. Selama berabad-abad, lembaga keagamaan mengingkari
hakperempuan untuk menjadi lembaga keagamaan mengingkari hak
perempuan untuk menjadi pemimpin agama, dan sekolah sering kali
bersikukuh bahwa ayah si anak lah yang menjadi wali resmi, bukan sang
ibu.

4. Akses ke dan kontrol atas Sumber Daya

Perempuan dan laki-laki mempunyai akses ke dan kontrol yang


tidak setara atas sumber daya. Ketidaksetaraan ini merugikan perempuan.
Ketidaksetaraan berbasis gender dalam hubungannya dengan akses ke
dan kontrol atas sumber daya terjadi dalam kelas sosial, ras, atau kasta.
Tetapi, perempuan dan laki-laki dari raskelas sosial tertentu dapat saja
memiliki kekuasaan yang lebih besar dari laki-laki yang berasal dari kelas
sosial yang rendah.
a. Akses adalah kemampuan memanfaatkan sumber daya.
13

b. Kontrol adalah kemampuan untuk mendefinisikan dan mengambil


keputusan tentang kegunaan sumber daya. Contohnya, perempuan
dapat memiliki akses ke pelayanan kesehatan, tetapi tidak memiliki
kendali atas pelayanan apa saja yang tersedia dan kapan menggunakan
pelayanan tersebut. Contoh lain yang lebih umum adalah perempuan
memiliki akses untuk memiliki pendapatan atau harta benda, tetapi
tidak mempunyai kendali atas bagaiman pendapatan tersebut
dihabiskan atau bagaiman harta tersebut digunakan. Perempuan
memiliki akses dan kendali yang kurang atas banyak jenis sumber
daya yang berbeda. Sumber daya ekonomi.
c. Pekerjaan, kredit, uang, makanan, keamanan sosial, asuransi
kesehatan, fasilitas perawatan anak, perumahan, fasilitas untuk
melaksanakan tugas sosial, transportasi, perlengkapan pelayanan
kesehatan, teknologi dan perkembangan ilmiah.
5. Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan

Mempunyai akses ke dan kontrol yang lebih besar atas sumber daya
biasanya membuat laki-laki lebih berkuasa daripada perempuan dalam
kelompok sosial manapun. Hal ini dapat menjadi kekuasaan kekuatan
fisik, pengetahuan dan ketrampilan, kekayaan dan pendapatan, atau
kekuasaan untuk mengambil keputusan karena merekalah memegang
otoritas. Laki-laki kerap kali memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam
membuat keputusan atas reproduksi dan seksualitas. Kekuasaan laki-laki
dan kontrol atas sumber daya dan keputusan diinstitusionalkan melalui
undang-undang dan kebijakan negara, serta melalui aturan dan peraturan
institusi sosial yang formal. Hukum di berbagai negara di dunia
memberi peluang kendali yang lebih besar kepada laki-laki atas
kekayaan dan hak dalam perkawinan, serta atas anak-anak.Selama
berabad-abad, lembaga keagamaan mengingkari hak perempuan untuk
menjadi pemimpin agama, dan sekolah seringkali bersikukuh bahwa ayah
si anak lah yang menjadi wali resmi, bukan sang ibu.

2.2.3 Peran Gander

Peran ekonomi dan sosial yang dianggap sesuai untuk perempuan dan
14

laki- laki. Laki-laki biasanya diidentifikasi dengan peran produktif,


sementara perempuan mempunyai tiga peran: tanggung jawab domestik,
pekerjaan produktif dan kegiatan di masyarakatyang biasanya dilakukan
secara stimultan. Peran dan tanggung jawab gender berbeda antara satu
budaya dengan budaya lainnya dan dapat berubah sepanjang waktu. Hampir
di semua masyarakat peran perempuan cenderung tidak dihargai.

2.2.4 Hubungan Jenis Kelamin, Gender dan Kesehatan

Pola kesehatan dan penyakit pada laki-laki dan perempuan


menunjukkan perbedaan yang nyata. Perempuan sebagai kelompok
cenderung mempunyai angka harapan hidup yang lebih panjang daripada
laki-laki, yang secara umum dianggap sebagai faktor biologis. Namun dalam
kehidupannya perempuan lebih mengalami banyak kesakitan dan tekanan
daripada laki-laki. Walaupun faktor yang melatar-belakanginya berbeda-
beda pada berbagai kelompok sosial, hal tersebut, menggambarkan bahwa
dalam menjalani kehidupannya perempuan kurang sehat dibandingkan
laki-laki. Penjelasan terhadap paradoks ini berakarpada hubungan yang
kompleks antara faktor biologis jenis kelamin dan sosial (gender) yang
berpengaruh terhadap kesehatan.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa berbagai penyakit menyerang


laki- laki dan perempuan pada usia yang berbeda, misalnya penyakit
kardiovaskuler ditemukan pada usia yang lebih tua pada perempuan
dibandingkan laki-laki.

Beberapa penyakit, misalnya anemia, gangguan makan dan gangguan


pada otot serta tulang lebih banyak ditemukan pada perempuan daripada
laki-laki. Berbagai penyakit atau gangguan kesehatan yang berkaitan dengan
kehamilan dan kanker serviks; sementara itu hanya laki-laki yang dapat
terkena kanker prostat.

Kapasitas perempuan untuk hamil dan melahirkan menunjukkan bahwa


mereka memerlukan pelayanan kesehatan reproduksi yang berbeda, baik
dalam keadaan sakit maupun sehat. Perempuan memerlukan kemampuan
15

untuk mengendalikan fertilitas dan melahirkan dengan selamat, sehingga


akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas sepanjang
siklus hidupnya sangat menentukan kesejahteraan dirinya.

Kombinasi antara faktor jenis kelamin dan peran gender dalam


kehidupan sosial, ekonomi dan budaya seseorang dapat meningkatkan resiko
terhadap terjadinya beberapa penyakit, sementara di sisi lain memberikan
perlindungan terhadap penyakit lainnya. Perbedaan yang timbul dapat
berupa keadaan sebagai berikut:
1. Perjalanan penyakit pada laki-laki dan perempuan.
2. Sikap laki-laki dan perempuan dalam menghadapi suatu penyakit.
3. Sikap masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan yang sakit.
4. Sikap laki-laki dan perempuan terhadap pengobatan dan akses pelayanan
kesehatan.
5. Sikap petugas kesehatan dalam memperlakukan laki-laki dan perempuan.

Sebagai contoh, respon terhadap epidemi HIV/AIDS dimulai dengan


pemberian fokus pada kelompok resiko tinggi, termasuk pekerja seks
komersial. Laki-laki menggunakan kondom. Laki-laki dianjurkan untuk
menjauhi pekerja seks komersial atau memakai kondom.

Secara bertahap, fokus beralih pada perilaku resiko tinggi, yang


kemudian menekankan pentingnya laki-laki menggunakan kondom. Hal ini
menghindari isu gender dalam hubungan seksual, karena perempuan tidak
menggunakan kondom tetapi bernegosiasi untuk penggunaannya oleh laki-
laki. Dimensi gender tersebut tidak dibahas, sampai pada saat jumlah ibu
rumah tangga biasa yang tertular penyakit menjadi banyak.

Dewasa ini, kerapuhan perempuan untuk tertular HIV/AIDS dianggap


sebagai akibat dari ketidaktahuan dan kurangnya akses terhadap informasi.
Ketergantungan ekonomi dan hubungan seksual yang dilakukan atas dasar
pemaksaan.

Terjadinya tindak kekerasan pada umumnya berkaitan dengan gender.


Secara umum pelaku kekerasan biasanya laki-laki, yang merefleksikan
16

keinginan untuk menunjukkan maskulinitas, dominasi, serta memaksakan


kekuasaan dan kendalinya terhadap perempuan, seperti terlihat pada
kekerasan dalam rumah tangga (domestik). Karena itu kekerasan terhadap
perempuan sering disebut sebagai “kekerasan berbasis gender”.

2.2.5 Hubungan antara Gender dan Kesehatan

Dalam masyarakat, perempuan dan laki-laki berbeda karena tugas dan


aktivitasnya, ruang fisik yang mereka tempati dan orang-orang yang
berhubungan dengan mereka. Namun, perempuan memiliki akses ked an
control yang kurang atas sumber daya daripada laki-laki, khususnya akses ke
pendidikan dan fasilitas pelatihan yang terbatas.

Konsep analisis gender penting sekali di bidang kesehatan karena


perbedaan berbasis gender daalam peran dan tanggung jawab, pembagian
pekerjaan, akses ked an control atas sumber daya, dalam kekuasaan dan
keputusan mempunyai konsekuensi maskulinitas dan feminitas yang berbeda
berdasarkan budaya, suku dan kelas social. Sangat penting memilikin
pemahaman yang baik tentang konsep dan mengetahui karakteristik
kelompok perempuan dan laki-laki yang berhubungan dengan proses
pembangunan. Pada status kesehatan perempuan dan laki-laki. Konsekuensi
boleh jadi meliputi: “risiko yang berbeda dan kerawanan terhadap infeksi
dan kondisi kesehatan,” mebuat banyaknya pendapat tentang kebutuhan
kesehatan tindakan yang tepat, akses yang berbeda ke layanan kesehatan,
yang diakibatkan oleh penyakit dan konsekuensi social yang berbeda dari
penyakit dan kesehatan.

WHO (2001) telah membuat daftar cara bagaimana dampak gender


terhadap status kesehatan:
1. Pembongkaran, risiko atau kerawanan
2. Sifat dasar, kekerasan dan frekuensi masalah kesehatan yang gejalanya
dapat dirasakan
3. Perilaku mencari kesehatan
4. Akses ke layanan kesehatan
5. Konsekuensi social jangka panjang dan konsekuensi kesehatan
17

2.2.6 Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender merupakan perlakuan yang setara antara perempuan


dan laki-laki dalam hukum dan kebijakan serta akses yang sama ke sumber
daya dan pelayanan dalam keluarga, komunitas dan masyarakat luas.

2.2.7 Ketidaksetaraan Gender dalam Kesehatan

Dalam berbagai aspek ketidaksetaraan gender tersebut sering ditemukan


pula ketidakadilan gender, yaitu ketidakadilan (unfairness, unjustice)
berdasarkan norma dan standar yang berlaku, dalam hal distribusi manfaat
dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan (dengan pemahaman
bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan kebutuhan dan
kekuasaan).

Keadilan antara lain ditentukan oleh norma atau standar yang dianggap
pantas atau adil dalam suatu masyarakat, yang mungkin berbeda satu dengan
yang lain dan mungkin berubah dari waktu ke waktu. Sering kali sulit untuk
menentukan norma atau standar yang dapat diterima oleh berbagai pihak,
karena terkait dengan nilai-nilai dan penentuan keputusan, sehingga istilah
ketidaksetaraan lebih sering digunakan.

Istilah “ketidaksetaraan” menyiratkan bahwa kesenjangan yang terjadi


tidak dinilai apakah hal tersebut dapat dianggap pantas atau adil dalam suatu
tatanan masyarakat. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa ketidakadilan
adalah ketidaksetaraan yang tidak pantas atau tidak adil. Contoh-contoh
tentang ketidakadilan gender dalam bidang kesehatan:
1. Ketidakadilan dalam Hal Penyakit dan Kematian

Dibeberapa wilayah dunia, ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki


berkaitan langsung dengan perkara hidup dan mati, terutama bagi kaum
perempuan. Misalnya tergambarkan dari tingginya angka kesakitan dan
kematian perempuan. Hal ini terjadi karena berbagai bentuk pengabaian
terhadap kesehatan, gizi an kebutuhan perempuan secara langsung
kualitas hidupnya.
2. Ketidakadilan dalam Kelahiran Bayi
18

Anak laki-laki lebih diinginkan kehadirannya daripada anak perempuan.


Sekalipun kitas tahu semua agama tidak membedakan jenis kelamin anak.
Namun karena kebanyakn laki-laki lebih tinggi status di masyarakat,
maka mencuatnya isu ketidaksetaraan gender yang tercermin dari kuatnya
keinginan orangtua untuk mempunyai anak laki-laki dari pada anak
perempuan.
3. Ketidakadilan dalam Rumah Tangga

Seringkali terdapat ketidakadilan gender yang mendasar di dalam rumah


tangga dan bentuknya bermacam-macam. Dari perkara yang sederhana
sampai kepada yang rumit. Begitu juga pembagian peran dan tanggung
jawabdalam rumah tangga, sering kali tidak adil. Misalnya dalam
pembagian tugas mengurus tangga dan mengurus anak.

2.2.8 Analisis gender dalam kesehatan

Memahami teknik analisis gender dalam layakaan kesehatan ini,


setidaknya difokuskan untuk mengetahui :

1. Situasi aktual pria dan wanita meliputi peranan, tingkat kesejahteraan,


kebutuhan, dan permasalahan yang dihadapi dalam berbagai unit sosial,
budaya dan ekonomi.

2. Pembagian beban kerja wanita dan pria yang mliputi tanggung jawab,
curahan tenaga dan curahan waktu.

3. Saling berkaitan, saling ketergantungan dan saling mengisi antara


peranan wanita dan pria khususnya dalam kluarga.

4. Tingkat akses dan kekuatan kontrol wanita dan pria terhadap sumber
produktif maupun sumber daya manusia dalam keluarga.

2.4 HAM

2.3.1 Pengertian HAM

HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan
kodratnya. John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang
diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang
19

kodrati. Dalam pasal 1 UU No39 tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
meruapakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungu oleh negara, hokum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

2.3.2 HAM yang Terkait dengan Kesehatan Reproduksi

UU No. 7 Tahun 1984 (Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap


Wanita): Jaminan persamaan hak atas jaminan kesehatan dan keselamatan
kerja, termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi melanjutkan keturunan
(Pasal 11 ayat 1 f).
1. Jaminan hak efektif untuk bekerja tanpa diskriminasi atas dasar
perkawinan atau kehamilan (Pasal 11 ayat 2).
2. Penghapusan diskriminasi di bidang pemeliharaan kesehatan dan jaminan
pelayanan kesehatan termasuk pelayanan KB (Pasal 12).
3. Jaminan hak kebebasan wanita pedesaan untuk memperoleh fasilitas
pemeliharaan kesehatan yang memadai, termasuk penerangan, penyuluhan
dan pelayanan KB (Pasal 14 ayat 2 b).
4. Penghapusan diskriminasi yang berhubungan dengan perkawinan dan
hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara pria dan wanita (Pasal
16 ayat 1).
5. Tap. No. XVII/MPR/1998 tentang HAM
6. Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah (Pasal 2).
7. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
8. Setiap orang berhak membentuk suatukeluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah (Pasal 10).
9. Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh
dan berkembang secara layak (Pasal 11).
10.Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan
terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
(Pasal 30).
20

11.Hak wanita dalam UU HAM sebagai hak asasi manusia (Pasal 45).
12.Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam
pelaksanaan pekerjaan / profesinya terhadap hal-hal yang dapat
mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi
reproduksi wanita (Pasal 49 ayat 2).
13.Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi
reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum (Pasal 49 ayat 3).
14.Hak dan tanggungjawab yang sama antara isteri dan suaminya dalam
ikatan perkawinan (Pasal 51 ).

2.5 Fungsi Bidan dalam Gender dan HAM

2.4.1 Fungsi bidan dalam gender

Secara kodrati, perempuan dan laki-laki adalah dua jenis kelamin yang
berbeda. Perbedaan yang bersifat universal tersebut, sayangnya banyak
disalah artikan sebagai sebuah sekat yang membentengi ruang gerak. Dalam
perkembangannya kemudian, jenis kelamin perempuan lebih banyak
menerima tekanan, hanya karena secara kodrati perempuan dianggap lemah
dan tak berdaya. Yulfita Rahardjo dari Pusat Studi Kependudukan dan
Pemberdayaan Manusia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
mengatakan, persepsi yang bias tersebut pada akhirnya menyulitkan
perempuan untuk mendapatkan akses pada berbagai segi kehidupan,
utamanya bidang kesehatan yang menentukan kehidupan dan kematian
perempuan.

Secara biologis, perempuan melahirkan, menstruasi dan menyusui,


sementara pria tidak. Perempuan memiliki payudara yang berfungsi untuk
menyusui, laki-laki tidak punya. Demikian juga jakun dan testikel yang
dimiliki pria, tidak dimiliki kaum hawa.
Jenis kelamin memang bersifat kodrati, seperti melahirkan dan menyusui bagi
perempuan. Tapi gender yang mengacu pada peran, perilaku dan kegiatan
serta atribut lainnya yang dianggap oleh suatu masyarakat budaya tertentu
sebagai sesuatu yang pantas untuk perempuan atau pantas untuk laki-laki,
masih bisa dirubah.
21

Di beberapa wilayah dengan adat istiadat dan budaya tertentu, isu gender
memang sangat membedakan aktivitas yang boleh dilakukan antara pria dan
wanita. Pada masyarakat Jawa dari strata tertentu misalnya, merokok
dianggap pantas untuk laki- laki, tapi tidak untuk perempuan.

Demikian dengan profesi bidan, yang sebagian besar disandang


perempuan. Sementara dokter kandungan didominasi laki-laki. Bahkan
pernah dalam satu masa, dokter kandungan tidak boleh dilakoni kaum hawa.
Juga mitos gender seputar hubungan seksual, dimana isteri tabu meminta
suaminya untuk pakai kondom. Jadi yang ber-KB adalah kaum perempuan.
Dalam masalah ini bidan berperan untuk member penyuluhan kepada
pasangan suami istri bahwa tidak hanya kaum wanita yang diharuskan
memakai KB namun kaum laki-laki pun perlu memakai KB bila ingin
meminimalisir kehamilan dan persalinan.

Data terakhir, Indonesia masih menempati urutan tertinggi dengan


Angka Kematian Ibu (AKI) mencapai 307/100 ribu kelahiran dan Angka
Kematian Bayi (AKB) mencapai 45/1000 kelahiran hidup. Tak pelak lagi,
perempuan seringkali menghadapi hambatan untuk mendapatkan akses
terhadap pelayanan kesehatan. Hal itu disebabkan tiga hal, yakni jarak
geografis, jarak sosial budaya serta jarak ekonomi.

Perempuan biasanya tidak boleh bepergian jauh. Jadi kalau rumah sakit
atau puskesmas letaknya jauh, sulit juga perempuan mendapatkan pelayanan
kesehatan. Dalam masalah ini bidan desa atau bidan yang berada di daerah
terpencil sangat berperan penting untuk memberikan pelayanan kesehatan
yang layak kepada para wanita ataupun pria yang menduduki tempat
terpencil.

Hambatan lainnya adalah jarak sosial budaya. Selama ini, ada


keengganan kaum ibu jika mendapatkan pelayanan kesehatan dari petugas
kesehatan laki-laki. Mereka, kaum ibu di pedesaan ini, lebih nyaman kalau
melahirkan di rumah dan ditemani mertua dan anak-anak. Akibatnya, apabila
terjadi perdarahan dalam proses persalinan, sulit sekali mendapatkan layanan
dadurat dengan segera. Bidan pun berperan dalam member penyuluhan
tentang bahaya melahirkan dirumah tanpa bantuan tenaga medis. Itu semua
22

dilakukan untuk meminimalisir Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angkan


Kematian Bayi (AKB) yang saat ini semakin berkembang setiap tahunnya.

Yang paling penting menjadi hambatan adalah masalah ekonomi.


Banyak keluarga yang kurang mampu, sehingga harus berpikir dua kali untuk
menuju rumah sakit atau rumah bersalin. Sebagai seorang bidan, jangan
melihat klien berdasarkan status ekonominya karena bidan berperan sebagai
penolong bagi semua kliennnya dan tidak membedakan status ekonominya.

Selain menimpa perempuan, bias gender juga bisa menimpa kaum pria.
Di bidang kesehatan, lebih banyak perempuan menerima program pelayanan
dan informasi kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan
reproduksi dan anakketimbang laki-laki. Hal itu bisa jadi ada kaitannya
dengan stereotip gender yang melabelkan urusan hamil, melahirkan,
mengasuh anak dan kesehatan pada umumnya sebagai urusan perempuan.
Dari beberapa contoh diatas memperlihatkan bagaimana norma dan nilai
gender serta perilaku yang berdampak negatif terhadap kesehatan.
Untuk itu, tugas bidan adalah meningkatkan kesadaran mengenai gender dalam
meurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).

2.4.2 Fungsi Bidan dalam HAM

Dalam konsep Hak Asasi Manusia (HAM), bidan memiliki beberapa


fungsi, diantaranya:
a. Memberikan hak kepada semua pasangan dan individual untuk
memutuskan dan bertanggung jawab terhadap jumlah, jeda dan waktu
untuk mempunyai anak serta hak atas informasi yang berkaitan dengan hal
tersebut. Contohnya bidan memberikan informasi selengkap-lengkapnya
kepada klien saat klien tersebut ingin menggunakan jasa KB (Keluarga
Berencana) dan bidan memberi hak kepada klien untuk mengambil
keputusan sesuai keinginan kliennya.
b. Memberikan hak kepada masyarakat untuk mendapatkan kehidupan
seksual dan kesehatan reproduksi yang terbaik serta memberikan hak untuk
mendapatkan pelayanan dan informasi agar hal tersebut dapat terwujud.
Misalnya, bidan membrikan penyuluhan tentang kehidupan seksual dan
kesehatan reproduksi kepada masyarakat dan memberikan pelayanan serta
23

informasi selengkap- lengkapnya kepada masyarakat agar masyarakat


mendapatkan kehidupan seksual dan kesehatan reproduksi yang terbaik.
c. Memberikan hak untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan
reproduksi yang bebas dari diskriminasi, pemaksaan dan kekerasan. Hak-
hak reproduksi merupakan hak asasi manusia. Baik ICPD 1994 di Kairo
maupun FWCW 1995 di Beijing mengakui hak-hak reproduksi sebagai
bagian yang tak terpisahkan dan mendasar dari kesehatan reproduksi dan
seksual. Contohnya setelah bidan memberikan informasi kepada klien,
bidan tidak boleh memaksakan klien atau menekan klien untuk mengambil
keputusan secepatnya.
d. Memberikan hak privasi kepada klien
e. Memberikan hak pelayanan dan proteksi kesehatan

2.6 Prinsip Asuhan Kebidanan Komunitas Berperspektif Gender


2.5.1 Berfokus kepada perempuan ( women center care )

Prinsip women centercare adalah penerapan asuhan kbidanan yang


melibatkan perempuan dalam setiap pemberian asuhan dengan cara sebagai
berikut :
a. Mendorong perempuan untuk berkontribusi secara aktif dalam proses
kehamilan,persalinan, dan nifas.
b. Mendorong perempuan sebagai pengambil keputusan dalam menentukan
kesehatan reproduksinya termasuk pengambilan keputusan untuk proses
kehamilan , persalinan, nifas, dan menjadi akseptor keluarga berencana.
c. Fokus utama dalam pemberian asuhan adalah dengan cara rosponsif
terhadap kebutuhan perempuan dan bayi.
d. Memahami setiap orang yang diberi asuhan adalah indiviidu yang unik,
sehingga setiap memberikan asuhan harus disesuaikan dengan kebutuhan
individu.

2.5.2 Asuhan berkelanjutan ( continu of care )

Asuhan berkelanjutan mempunyai pengertian sebagai berikut :


a. Continu of care atau continuum of care life – cycle across adalah dalam
24

pemberian asuhan kebidanan harus berkesinambungan, yaitu asuhan


kebidanan dilakukan pada daur siklus kesehatan reproduksi perempuan ,
sesuai dengan ruang lingkup kebidanan yang di atur dalam keputusan
mentri kesehatan pada 1464/2010, termasuk kesehatan remaja, pra
konsepsi, konseling, ANC, INC, PNC, Bayi Baru Lahir,Bayi, dan Anak
Balita, serta kesehatan reproduksi termasuk keluarga berencana.
b. Continuum of care pathwayas adalah asuhan kebidanan dilakukan
disetiap tatanan pelayanan kesehatan sesuai system pelayanan kesehatan
sebagai satu kesatuan yang berkelanjutan mulai dari pelayanan
plimer,sekunder dan tersier. Asuhan yang berbasis bukti dan
memperhatikan keaman pasien( evidence base and patien safety).

Asuhan kebidanan berbasis bukti adalah pemberian asuhan


berdasarkan bukti-bukti tentang konsep fisiologi dan psikologis kehamilan ,
persalinan,nifas, dan menyusui, yang merupakan proses yang alamia atau
normal dari kehidupan reproduksi perempuan. Asuhan ini menggunakan hasil
penelitian tentang keaman sebagai acuan dalam proses pengambilan
keputusan untuk memecahkan masalah dan memperoleh hasil maksimal.
Memberikan prioritas kepada keefektifitas dan efisien asuhan yang normal
atau fisiologis denganseminimal mungkin melakukan tindakan invansif, serta
tidak merugikan atau menyakiti pasien.

2.7 Pendekatan Asuhan Kebidanan Komunitas Berspektif Gender

Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menerapkan asuhan


kebidanan komunitas berperspektif gender diantaranya yaitu :
1. Pendekatan kemanusiaan ( humanistic )
Pendekatan kemanusiaan adlah pendekatan dengan memanusiakan manusia
artinya :
a. Asuhan kebidanan dilakukan secara manusiawi, aman, dan nyaman bagi
perempuan.
b. Menghargai harkatdan martabat perempuan
c. Menghargai hak-hak perempuan
d. Menjaga prifasi dan kerahasiaan
25

e. Mengutamakan pendekatan alamia atau fisiologi dan penggunaan teknologgi


yang di sesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya, mengatur ruang persalinan
seperti kamar atau ruang dirumah ibu sendiri ( naturally setting )
2. Pendekatan menyeluru ( holistic)
3. Pendekatan secara menyeluru yaitu dalam memberikan asuhan kebidanan tidak
hanya memperhatikan masalah fisik saja, tetapi pemberian asuhan harus dilakukan
secara menyeluruh dengan memperhatikan aspek bio-psiko-sosial-spiritual-
kulturan.
4. Pendekatan komprehensif
Pendekatan komprenhensif yaitu pemberian asuhan kebidanan dengan
menempatkan perempuan , janin, dan bayi sebagai satu kesatuan, serta ada peran
aktif dari individu yang diberi asuhan dalam proses persalinan . selain itu,
pelayanan kebidanan harus dapat di akses oleh semua perempuan dengan
memperhatikan kebutuhan individu , keluarga, kelompok, dan masyarakat.
BAB III
REVIEW JOURNAL KONSEP DASAR KEBIDANAN KOMUNITAS BERSPEKTIF
GENDER DAN HAM : NUTRISI IBU YANG MEMPENGARUHI KE STUNTING

Indonesia adalah negara yang terkenal kaya dengan sumber


daya alam (SDA), namun negara ini seakan tidak lepas dari persoalan
gizi buruk yang telah terjadi sejak lama. Penanganan yang tidak serius
terhadap gizi buruk menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit
kronis, salah satunya stunting. Stunting (kerdil) adalah masalah gizi
kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih
pendek untuk seusianya. Data menunjukkan, 149,2 juta anak pada
tahun 2020 didiagnosis stunting, dan lebih dari setengahnya berasal
dari Asia. Indonesia merupakan negara dengan tingkat stunting yang
tinggi, data dari Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa ada
30,8% anak di bawah usia 5 tahun yang mengalami stunting
(Wiliyanarti et al., 2022). WHO menyatakan bahwa prevalensi
stunting di atas 20% merupakan masalah kesehatan masyarakat.
Konsekuensi stunting pada anak baik jangka pendek maupun jangka
panjang antara lain peningkatan morbiditas dan mortalitas, serta
terhambatnya perkembangan potensi diri. (Tinaningsih et al., 2022).
Selain itu, anak yang menderita stunting sensitif terhadap penyakit
bahkan saat dewasa beresiko untuk mengidap penyakit degeneratif.
Dampak stunting tidak hanya pada segi kesehatan tetapi juga
mempengaruhi tingkat kecerdasan anak. Stunting juga dapat
mengakibatkan kerugian terhadap negara dengan potensi kerugian Rp
260-390 Triliun/tahun (Haryanti & Nurhayanti, 2019).

Stunting merupakan masalah yang disebabkan oleh berbagai


faktor. Menurut Damayanti Rusli, salah satu faktor utama tingginya
masalah stunting di Indonesia adalah buruknya asupan gizi mulai
dalam kandungan sampai lahir hingga usia dua tahun (Haryanti &
Nurhayanti, 2019). Terjadinya stunting juga sangat dipengaruhi oleh

26
gaya hidup, seperti kebiasaan makan. Kebiasaan makan dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor biologis, jenis kelamin,
lingkungan budaya dan sosial. Perilaku makan diperoleh melalui
proses pembelajaran progresif yang dimulai dari tahun-tahun awal
kehidupan dan dipengaruhi oleh kedua jenis kelamin oleh berbagai
faktor biologis dan sosial ekonomi. (Salmi, 2018). Menurut
Kementerian Kesehatan RI, stunting diakibatkan oleh malnutrisi

27
28

yang berkepanjangan selama 1000 hari pertama kehidupan (HPK) anak dimana fase ini
termasuk masa kritis (Delima & Firman, 2023)

Pemahaman ibu atau pengasuh tentang pentingnya gizi selama


1000 hari pertama kehidupan (HPK) sangat penting untuk diperhatikan
dalam upaya menurunkan kejadian stunting. Namun, masalah terbesar
yang dapat menghambat upaya penurunan stunting adalah rendahnya
dukungan dan peran suami saat kehamilan, persalinan dan masa nifas.
Posisi sosial perempuan mempengaruhi kesenjangan dalam perawatan
dimana banyak ibu di daerah perkotaan dan pedesaan bergantung pada
keputusan suami dalam hal perawatan Kesehatan bagi diri mereka
sendiri dan anak-anak. Sebagian masyarakat masih menganggap
kesehatan ibu hamil menjadi tanggung jawab perempuan, demikian
juga tanggung jawab kesehatan bayi dan pemenuhan gizi balita
menjadi urusan perempuan. Dalam pengambilan keputusan dalam
keluarga, yang biasanya berada pada suami dan/atau mertua sebagai
orang yang mengambil keputusan mengenai makanan apa yang akan
dibeli dan dikonsumsi secara tidak langsung berdampak pada asupan
makan ibu hamil. Bahkan di beberapa daerah, perempuan biasanya
makan terakhir, termasuk selama kehamilan, karena adanya keyakinan
konservatif yang menganggap suami sebagai pencari nafkah sehingga
layak mendapatkan gizi makanan yang terbaik. Hal-hal tersebut
merupakan isu gender dalam masalah nutrisi ibu yang mempengaruhi
luaran kehamilan termasuk kejadian stunting (Erni, 2020)

Gender adalah pembedaan peran, posisi, dan karakteristik


antara laki-laki dan perempuan, yang melekat pada identitas seseorang
melalui konstruksi sosial. Perbedaan ini bukanlah biologis atau ilahi.
Gender dibentuk berdasarkan situasi politik, sosial, dan budaya
masyarakat, dan dapat berubah. Jenis kelamin dapat berubah dari
waktu ke waktu, tempat ke tempat, dan bahkan dari kelas ke kelas
(Ratnawati & Prameswari, 2022). Hubungan kuasa antara perempuan
dan laki-laki secara konteks bersifat dinamis dan spesifik. Pengamat
feminisme telah mencermati pendekatan feminis liberal dan pola
29

pengembangan konseptualisasi identitas perempuan dan dinamika


kekuasaan gender yang telah didefinisikan secara sempit karena
mereka diterapkan secara diskursif dan material dengan cara yang
kontradiktif: perempuan digambarkan sebagai korban pengucilan di
berbagai aspek (Vercillo et al., 2023).

Ketidaksetaraan gender telah lama menjadi masalah yang


belum terselesaikan. Baik negara maju maupun negara berkembang
mengalami permasalahan ketidaksetaraan gender yang berujung pada
meningkatnya perilaku diskriminatif terhadap orang-orang yang
terpinggirkan akibat ketidaksetaraan tersebut, khususnya perempuan.
Lebih jauh lagi, Indonesia merupakan negara dengan warisan budaya
patriarki yang sampai saat ini masih cukup kuat meresap di sebagian
masyarakat, di mana mereka percaya pada kendali tunggal laki-laki
atas segalanya (Ratnawati & Prameswari, 2022). Ketidaksetaraan
gender merupakan kontributor penting terhadap kerawanan pangan dan
gizi secara global. Terutama pada kaum wanita karena kebanyakan
budaya dan sosial yang ada saat ini mengahadapkan wanita kepada
variasi biologis dan sosial secara berkala. Dalam kehidupan sosial
tersebut wanita memiliki peran ganda dalam keluarganya. Wanitalah
yang memberi makan, wanita memiliki keharusan dalam mengurus
urusan dapur, menyiapkan makanan, menyajikan makanan, menjaga
kesejahteraan seluruh keluarga. Dengan adanya konsep sosial tersebut
mengakibatkan wanita terkena dampak ganguan kesehatan, salah
satunya adalah nutrisi. Nutrisi telah berperan dalam menjaga kesehatan
populasi dunia dan dianggap sebagai salah satu alat yang penting
untuk pencegahan primer, dalam dua dekade terakhir. Terdapat
hubungan antara gizi yang tidak memadai dengan peningkatan risiko
penyakit, termasuk stunting (Salmi, 2018). Dalam hal ini, peran ibu
menjadi penting dan masalah yang terjadi selama kehamilan sangat
mungkin berkontribusi pada stunting. Setiap tahun, satu dari tujuh
neonatus (20 juta di seluruh dunia) memiliki berat lahir rendah
(BBLR; (Tinaningsih et al., 2022)
30

Berkaitan dengan hal tersebut peran ibu memiliki kedudukan


yang penting, permasalahan yang terjadi pada masa kehamilan sangat
mungkin berkontribusi terhadap terjadinya stunting. Budaya
berpengaruh pada status gizi anak, seperti masyarakat yang tinggal di
daerah pesisir. Mereka memiliki kondisi sosial budaya yang berbeda
dengan daerah lain, terutama cara mereka memberi makan anak-anak
mereka. Juga, kondisi geografis mereka berpengaruh pada akses
makanan, kebersihan, serta akses air, dan sanitasi. Keluarga juga
memainkan peran penting, seperti dalam pemilihan makanan dan
persiapan makanan. Pola asuh yang berbeda akan mempengaruhi
status gizi anak. Pengetahuan merupakan langkah penting dalam
menurunkan stunting terutama dalam mendidik ibu. Ibu yang
berpendidikan memiliki pengetahuan yang baik terkait penyebab dan
risiko stunting (Wiliyanarti et al., 2022).

Di antara beberapa faktor ibu, otonomi ibu muncul sebagai


prediktor penting dari status gizi anak. Otonomi perempuan adalah
aspek multi-dimensi dan spesifik konteks, yang didefinisikan secara
beragam dalam literatur feminis yang ada. Kabir telah mengemukakan
pengertian pemberdayaan perempuan sebagai kemampuan untuk
melaksanakan pilihan hidup strategis dalam hal sumber daya, agensi,
dan prestasi. Dyson dan Moore mendefinisikan otonomi perempuan
sebagai "kemampuan... untuk memperoleh informasi dan
menggunakannya sebagai dasar untuk membuat keputusan tentang
kepentingan pribadi seseorang dan orang-orang terdekatnya."
Jejeebhoy dan Sathar menggambarkan otonomi sebagai "kontrol yang
dimiliki wanita atas kehidupan mereka sendiri, sejauh mana mereka
memiliki suara yang setara dengan suami mereka dalam hal-hal yang
mempengaruhi diri mereka sendiri dan keluarga mereka, kontrol atas
materi dan sumber daya lainnya, akses ke pengetahuan dan informasi,
wewenang untuk membuat keputusan independen, kebebasan dari
kendala mobilitas fisik, dan kemampuan untuk menjalin hubungan
kekuasaan yang adil dalam keluarga." (Paul & Saha, 2022).
31

Penelitian yang dilakukan oleh Mkandawire, dkk (2022)


menyimpulkan bahwa Peran gender tradisional tetap lazim di pedesaan
Malawi Tengah, yang berdampak pada gizi anak. Perempuan adalah
pemeran utama dan sekaligus bertanggung jawab pada bagian
makanan, perawatan, dan kesehatan rumah tangga. Beban kerja
perempuan yang berat mencegah mereka memberikan perawatan dan
nutrisi yang optimal untuk anak-anak. Namun, pria memang
menawarkan dukungan saat wanita terlalu terbebani atau jauh dari
rumah. Sejauh mana laki-laki menawarkan dukungan ini perlu
dipahami secara kuantitatif. Sementara upaya untuk mendistribusikan
kembali peran gender tampaknya kurang berhasil, sejauh mana upaya
ini telah berhasil mendorong laki-laki untuk berbagi peran gender.
hasilnya masih belum jelas. Pria mengambil tugas yang biasanya
dikaitkan dengan wanita. Keberhasilan intervensi ini bergantung pada
perempuan yang memiliki lebih banyak waktu untuk mengejar
kegiatan yang menghasilkan pendapatan, yang mungkin atau mungkin
tidak meningkatkan kekuatan mereka dalam rumah tangga. Upaya
untuk meningkatkan partisipasi laki-laki dalam “kegiatan perempuan”
perlu dilengkapi dengan proses berbasis masyarakat yang menentukan
bagaimana peran gender dapat berubah untuk meningkatkan relasi
kuasa gender dalam rumah tangga dan masyarakat pada umumnya
(Mkandawire et al., 2022).

Tinaningsih, dkk (2021) telah melakukan sebuah penelitian,


mereka menyimpulkan bahwa Stunting dan grande multipara terkait
erat dengan ketidaksetaraan gender di lingkungan rumah tangga.
Budaya patriarki dan lingkungan masyarakat yang religius
menempatkan ibu pada posisi yang tidak berdaya untuk menentukan
pilihan kesehatan reproduksi dan menentukan besaran paritas yang
dianggap tepat bagi dirinya. Bukti menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi saja tidak akan memperbaiki stunting tanpa investasi yang
sepadan dalam intervensi lain yang menyertainya dalam hal ini adalah
kesetaraan gender. Jumlah anak juga penting untuk kesehatan ibu.
Selain itu perbedaan berbasis gender berimplikasi bahwa peningkatan
32

dukungan keluarga terkait kesehatan juga dapat menjadi strategi


promosi kesehatan bagi perempuan (Tinaningsih et al., 2022).

Kesimpulan yang diutarakan tersebut juga didukung oleh


penelitian yang dilakukan pada tahun 2022 oleh Ratnawati. Ratnawati
mengemukakan stunting tidak hanya disebabkan oleh faktor kesehatan
tetapi juga oleh ketimpangan relasi kuasa antara suami dan istri.
Ketimpangan ini terjadi akibat budaya patriarki yang masih mengakar
dalam masyarakat Indonesia yang menimbulkan ketidaksetaraan
gender dalam pengasuhan anak. Hasilnya adalah kebaruan perspektif
dalam menjelaskan kejadian stunting pada anak, dimana lebih lanjut
hampir selalu dijelaskan dari perspektif kesehatan (Ratnawati &
Prameswari, 2022).

Tinjauan sistematis tentang ketidaksetaraan kesehatan anak di


Indonesia menemukan bahwa hubungan antara pengambilan keputusan
rumah tangga ibu dan kesehatan anak masih belum tereksplorasi.
Ideologi umum tentang gender tercermin dalam organisasi nasional
Indonesia yang disebut Dharma Wanita (Dedikasi Wanita). Setelah
secara resmi diatur dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1974), undang-undang
tersebut menyatakan bahwa meskipun suami dan istri mempunyai hak
yang sama dalam perkawinannya, namun suami adalah kepala rumah
tangga. Fakta yang tercantum dalam kartu keluarga dan bahwa peran
utama perempuan adalah menjadi pendamping dan pengasuh suami
bagi anak-anak mereka. Struktur sosial dominasi gender ini ada dalam
masyarakat patriarki seperti Indonesia dimana laki-laki yang dianggap
sebagai pencari nafkah utama keluarga diberikan kekuasaan dan hak
untuk mengontrol perempuan. Sebaliknya, perempuan diharapkan
menjadi pengurus rumah tangga, menunjukkan kepatuhan kepada
suaminya dan bertanggung jawab dalam membesarkan anak
(Vaezghasemi et al., 2020).

Konstruksi dan nilai-nilai hegemonik ini menempatkan laki-


laki sebagai atasan dalam arena ruang publik, tempat kerja dan
33

keluarga, sehingga secara efektif berperan dalam mempertahankan


subordinasi perempuan. Perlakuan budaya patriarki ini secara tidak
langsung menjadi perlakuan diskriminatif terhadap perempuan
merupakan manifestasi dari maraknya ketidaksetaraan gender. Budaya
patriarki yang berdampak pada ketidaksetaraan gender yang dialami
perempuan, menjadikan mereka rentan mengalami perilaku
diskriminatif di masyarakat menggambarkan bentuk-bentuk
diskriminasi terhadap perempuan menjadi lima bentuk, yaitu
stereotype, subordinasi, marginalisasi, beban kerja yang berlebihan,
dan kekerasan. Dalam konteks anak stunting di Kalibawang,
diskriminasi terhadap perempuan akibat budaya patriarki adalah beban
kerja dan kekerasan yang berlebihan (Ratnawati & Prameswari, 2022).

Penelitian tentang anak stunting berfokus pada faktor non gizi


pada ibu, seperti pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan ibu yang
menjadi ibu. Dalam dekade terakhir, sejumlah penelitian telah
membuktikan peran faktor non-gizi yang mempengaruhi gizi
perempuan, fertilitas, praktik pemeliharaan, dan status gizi anak. Hal
ini membuktikan bahwa masalah stunting sangatlah kompleks dan
menandakan masalah yang tidak hanya bersifat sesaat. Stunting
melibatkan masalah keibuan sejak pertumbuhan reproduksi dalam
siklus periode wanita. Dalam jangka panjang, melalui kualitas
kesehatan perempuan, stunting mempengaruhi kualitas sumber daya
manusia. Berbagai penelitian di Asia Selatan membuktikan bahwa
perempuan adalah kunci utama status gizi.

Masalah gizi buruk (stunting) bukan hal yang baru karena sejak
dahulu pemerintah telah mengambil kebijakan melalui program
penanggulangan masalah stunting di Indonesia. Selain itu, pemerintah
telah melindungi hak anak seperti hak untuk hidup, hak sehat, hak
untuk tumbuh kembang layaknya manusia pada umumnya
sebagaimana yang diatur dalam konstitusi Pasal 28 B ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945
ditegaskan bahwa: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
34

tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan


dan diskriminasi“, selain itu, dalam berbagai peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang hak hidup anak seperti Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, bahkan diatur pula
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Fakta yang terjadi bahwa penderita stunting relatif tinggi
atau masih berada dibawah standar yang ditetapkan WHO 20%
(Haryanti & Nurhayanti, 2019).

Hak Asasi Manusia mengalami perkembangan yang cukup


pesat yaitu pada tanggal 10 Desember 1948 dikeluarkannya Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Hak Anak dalam DUHAM
terdapat dalam Pasal 25 ayat (2) DUHAM yang menyatakan bahwa
“Ibu dan anak-anak berhak mendapatkan perhatian dan bantuan
khusus. Semua anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar
perkawinan, harus menikmati perlindungan sosial yang sama”.
Deklarasi Hak Anak menyatakan bahwa anak harus mendapatkan
jaminan tumbuh kembang dengan sehat dan untuk mencapai tujuan
tersebut harus ada perawatan dan perlindungan khusus bagi si anak
dan ibunya. Anak berhak mendapat gizi yang cukup, perumahan,
rekreasi dan pelayanan kesehatan. Dalam Konvensi Hak Anak termuat
54 pasal yang berdasarkan materi hukumnya mengatur mengenai hak
anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh negara sebagai pihak
yang meratifikasi Konvensi tersebut. Materi hukumnya memuat empat
materi pokok hak-hak anak, salah satunya adalah Hak untuk tumbuh
kembang (hak pembangunan), meliputi segala bentuk Pendidikan
(formal dan nonformal) dan hak atas standar hidup yang layak bagi
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak
(Fadlyansyah & Joni, 2020).
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Penerapan asuhan kebidanan di komunitas dengan perspektif gender tentunya


dilakukan dengan penerapan konsep profesi dalam praktek kebidanan. Aplikasi
konsep tersebut meliputi standar praktek kebidanan yang dikembangkan dari filosofi
dan kode etik kebidanan. Untuk menerapkan gender dalam asuhan kebidanan
komunitas, bidan harus memperhatikan prinsip, pendekatan, dan kerangka konsep
bidan sensitif gender.

Gender adalah perbedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan yang di bentuk dibentuk, dibuat dan di kontruksi oleh masyarakat dan
dapat berubah sesuai dengan perkembangan kontruksi sosial. Gender dan Hak Asasi
Manusia (HAM) memiliki hubungan satu sama lain. Hak Asasi Manusia adalah hak
dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan
sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak
tersebut maka mustahil kita dapat hidup sebagai manusia seperti perbedaan biologis
yakni perbedaan jenis kelamin (seks), yang merupakan kodrat Tuhan dan oleh
karenanya secara permanen berbeda. Sedangkan gender berarti perbedaan yang bukan
biologis dan bukan kodrat Tuhan, seperti perbedaan perilaku (behavioral differences)
antara laki-laki dan perempuan yang konstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang
bukan kodrat dan bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (laki-
laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultural yang panjang

Isu gender terkait nutrisi ibu yang mempengaruhi stunting yakni rendahnya
dukungan dan peran suami saat kehamilan, persalinan dan masa nifas yang
diakibatkan oleh masalah ketidaksetaraan gender. Ketidaksetaraan gender merupakan
kontributor penting terhadap kerawanan pangan dan gizi secara global termasuk
pemenuhan nutrisi ibu. Hubungan antara gizi yang tidak memadai inilah yang
meningkatkan berbagai risiko penyakit, terutama stunting. Dikaji dalam aspek Hak
Asasi Manusia (HAM), ketidaksetaraan gender antara ibu dan suami dalam keluarga
dan anak yang mengalami stunting merupakan pelanggaran HAM yang seharusnya
dilindungi dalam Undang-Undang Dasar (UUD). Diperlukan penelitian dan kajian

35
lebih lanjut mengenai hal ini sehingga bidan dapat memberikan asuhannya di
komunitas dengan memperhatikan isu

36
37

gender dan HAM

4.2 Saran

Bidan seharusnya melakukan asuhan komunitas tanpa membedakan gender dan


harus tetap memperhatikan HAM sehingga pelayanan kesehatan dapat berjalan sesuai
dengan standar. Selain itu, diperlukannya advokasi kepada pembuat kebijakan dan
pada pemuka atau tokoh masyarakat setempat untuk membantu menyadarkan
masyarakat sadar mengenai pentingnya isu kesetaraan gender ini terutama dalam
masalah nutrisi ibu yang mempengaruhi stunting.
DAFTAR PUSTAKA

Chahal, S. (2011). Gender Equality As A New Human Right In India. GAP, 3(1), 346–349.
http://www.gapjournals.org

Delima, & Firman, R. A. (2023). Analisis Faktor Sosial Budaya Mempengaruhi Kejadian
Stunting: Studi Literatur Review. Jurnal Endurance : Kajian Ilmiah Problema, 1(8),
79–85.

Dewi, R. (2020). Kedudukan perempuan dalam islam dan problem ketidakadilan gender.
NOURA: Jurnal Kajian Gender, 4(1), 2655–6200.

Erni, A. (2020). Dasar Hukum Pengarusutamaan Gender. Kementerian Pemberdayaan


Perempuan Dan Perlindungan Anak. https://stunting.go.id/?
smd_process_download=1&download_id=6479

Fadlyansyah, M. H., & Joni, M. (2020). Kesehatan Anak Di Indonesia ( Stunting ). 1(2), 1–
10.

Gusmansyah, W. (2019). Dinamika Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik Di


Indonesia. Hawa, 1(1). https://doi.org/10.29300/hawapsga.v1i1.2233

Haryanti, T., & Nurhayanti. (2019). Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Bagi Anak
Penderita Stunting (Enforcement Of Human Rights Law For Children With Stunting).
Ham, 10(2), 249–260.
https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/ham/article/download/815/pdf

Ismail, Z., Lestari, M. P., Rahayu, P., & Novita, F. (2020). Gender equality seen from a
normative and sociological perspective. Jurnal Terakreditasi Nasional, 26(28), 154–
161. https://fhukum.unpatti.ac.id/jurnal/sasi/article/view/224/pdf%0Ahttps://
fhukum.unpatti.ac.id/jurnal/sasi/article/view/224

Kemenkes RI, UNICEF, & Bappenas. (2019). Framework For Action Indonesia Maternal
Nutrition. https://www.unicef.org/indonesia/documents/framework-action-
complementary-feeding-and-maternal-nutrition
Larasati, A. M., & Ayu, N. P. (2020). The Education for Gender Equality and Human
Rights in Indonesia: Contemporary Issues and Controversial Problems. The
Indonesian Journal of International Clinical Legal Education, 2(1), 73–84.
https://doi.org/10.15294/ijicle.v2i1.37321

Marshall, N. E., Abrams, B., Barbour, L. A., Catalano, P., Christian, P., Friedman, J. E.,
Hay, W. W., Hernandez, T. L., Krebs, N. F., Oken, E., Purnell, J. Q., Roberts, J. M.,
Soltani, H., Wallace, J., & Thornburg, K. L. (2022). The importance of nutrition in
pregnancy and lactation: lifelong consequences. American Journal of Obstetrics and
Gynecology, 226(5), 607–632. https://doi.org/10.1016/j.ajog.2021.12.035

Miele, M. J., Souza, R. T., Calderon, I. M., Feitosa, F. E., Leite, D. F., Rocha Filho, E. A.,
Vettorazzi, J., Mayrink, J., Fernandes, K. G., Vieira, M. C., Pacagnella, R. C., &
Cecatti, J. G. (2021). Maternal nutrition status associated with pregnancy-related
adverse outcomes. Nutrients, 13(7), 1–14. https://doi.org/10.3390/nu13072398

Mkandawire, E., Bisai, C., Dyke, E., Dressel, A., Kantayeni, H., Molosoni, B., Kako, P.
M., Gondwe, K. W., & Mkandawire-Valhmu, L. (2022). A qualitative assessment of
gender roles in child nutrition in Central Malawi. BMC Public Health, 22(1), 1–13.
https://doi.org/10.1186/s12889-022-13749-x

Nita Dalmiya, Roland Kupka, V. T. and V. A. (2022). Maternal nutrition prevention of


malnutrition in women before and during pregnancy and while breastfeeding. Unicef,
25–33.

Paul, P., & Saha, R. (2022). Is maternal autonomy associated with child nutritional status?
Evidence from a cross-sectional study in India. PLoS ONE, 17(5 May), 1–20.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0268126

Putu Tya Diliana, Dewa Gede Sudika Mangku, & Ni Putu Rai Yuliartini. (2022).
Berlakunya Kesetaraan Ham, Gender, Dan Pemberdayaan Perempuan Berdasarkan
Perspektif Hukum Internasional. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 8(2), 650–659.
https://doi.org/10.23887/jkh.v8i2.52012

Ratnawati, & Prameswari, Y. P. (2022). Patriarchal Culture in the Family and Stunting
Children Incidence at Kulon Progo (Indonesia). Universal Journal of Public Health,
10(6), 606–619. https://doi.org/10.13189/ujph.2022.100608

Salmi, M. (2018). Nutrition: Gender differences and the role of women. Italian Journal of
Gender-Specific Medicine, 4(3), e130–e132. https://doi.org/10.1723/3035.30363

Tinaningsih, M. D., Nurhaeni, I. D. A., Fithri, A. N., & Haryati, N. P. S. (2022). Stunting
and the Grande Multipara Phenomenon From the Gender Perspective. KnE Social
Sciences, 2022, 589–599. https://doi.org/10.18502/kss.v7i5.10580

Vaezghasemi, M., Öhman, A., Ng, N., Hakimi, M., & Eriksson, M. (2020). Concerned and
Conscious, but DefenselessThe intersection of gender and generation in child
malnutrition in Indonesia: a qualitative grounded theory study: The intersection of
gender and generation in child malnutrition in Indonesia: a qualitative grounded
theory study. Global Health Action, 13(1).
https://doi.org/10.1080/16549716.2020.1744214

Vercillo, S., Rao, S., Ragetlie, R., & Vansteenkiste, J. (2023). Nourishing the Nexus: A
Feminist Analysis of Gender, Nutrition and Agri-food Development Policies and
Practices. In European Journal of Development Research (Issue 0123456789).
Palgrave Macmillan UK. https://doi.org/10.1057/s41287-023-00581-1

Wiliyanarti, P. F., Wulandari, Y., & Nasrullah, D. (2022). Behavior in fulfilling nutritional
needs for Indonesian children with stunting: Related culture, family support, and
mother’s knowledge. Journal of Public Health Research, 11(4).
https://doi.org/10.1177/22799036221139938

You might also like