You are on page 1of 12

MAKALAH

MATA KULIAH ETIKA BISNIS DAN PROFESI


“ETIKA DALAM AKUNTANSI MANAGERIAL DAN PERPAJAKAN”

REFERENSI : Chapter 8 dan 9, Duska & Duska

OLEH:
KELOMPOK 4
DWI CITRA OKTARA
ZILLA ZOLILA
SUNDARI SAVITRI

DOSEN PENGAMPU:
DR. YURNIWATI, SE. M.Si, Ak, CA

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ANDALAS
2023
CHAPTER 8

ETIKA DALAM
AKUNTANSI
MANAJEMEN

A. Etika dalam Akuntansi Manajemen

Akuntansi manajemen adalah disiplin ilmu yang berkenaan


dengan penggunaan informasi akuntansi oleh para manajemen dan
pihak-pihak internal lainnya untuk keperluan
penghitungan biaya produk, perencanaan, pengendalian dan evaluasi,
serta pengambilan keputusan. Akuntan manajemen bekerja pada
suatu perusahaan, baik sebagai kepala bagian akuntansi, kepala
bagian keuangan, maupun sebagai auditor interen. Akuntan
manajemen
berpengaruh besar terhadap potret keuangan perusahaan. Oleh
karena itu, akuntan manajemen mempunyai peran penting dalam
menunjang tercapainya tujuan perusahaan, dimana tanggungjawab
alam mencapai tujuan tersebut harus dicapai melalui cara yang
legal dan etis, maka para akuntan manajemen dituntut untuk
bertindak jujur, terpercaya, dan etis.
ISB (the Independence Standards Board ) menjelaskan
tanggung jawab manajemen, termasuk akuntan manajemen dan
akuntan keuangan, sebagai berikut:

“Manajemen bertanggungjawab atas laporan keuangan, termasuk


bertanggungjawab atas

pilihan metode akutansi dan judgment dalam penyajian laporan


keuangan. Tanggungjawab ini tidak bisa dialihkan kepada
siapapun”
Standards of Ethical Conduct for Practitioners of
Management Accounting and
Financial Management, yang merupakan bagian dari Institute of
Management Account ants’ Code of Ethics, mendeskripsikan
cakupan tanggungjawab sebagai berikut:

“ Praktisi akuntansi manajemen dan akuntansi keuangan


memiliki tanggungjawab kepada publik, kepada profesi, kepada
organisasi yang dilayaninya, dan kepada dirinya
sendiri, untuk menjaga standard tertinggi dari etika profesi”

B. Etika Profesional Akuntan Manajemen

Kebiasaaan beretika adalah sangat penting dalam


menjalankan perekonomian kita telah memicu berbagai perubahan
peraturan dan permintaan perundang-undangan baru. Dalam
perekonomian yang baru, digital, dan berbasis kepercayaan,
kepentingan sangat dijunjung tinggi. Kejujuran perusahaan, yang
diwujudkan dalam merek dan reputasi,
meningkatkan kepercayaan pelanggan, karyawan dan investor. Ikatan Akuntan Manajemen
( Institute of Management Accountant – IMA) di Amerika Serikat telah mengembangkan
kode etik yang disebut Standar Kode Etik untuk Praktisi Akuntan Manajemen dan
Manajemen Keuangan (Standards of Ethical Conduct for Practitioners of Management
Accounting and Financial Management ).

C. Aturan Bertindak bagi Akuntan Manajemen

Standar Kode Etik untuk praktisi Akuntan Manajemen dan Manajemen Keuangan
dibagi menjadi dua bagian:
1. Berisi tuntunan untuk berperilaku etis, singkatnya akuntan manajemen memiliki etika
tanggung jawab dalam empat bidang, yaitu:
a. Mempertahankan kompetensi professional.
b. Menjaga kerahasiaan hal-hal yang sensitif.
c. Mempertahankan integritas.

d. Menjaga objektivitas dalam semua pengungkapan.


2. Berisi panduan khusus bagaimana cara seseorang mencari bukti perilaku tidak etis dalam
organisasi. Apabila kode etik tidak dipatuhi maka mengakibatkan bisnis terganggu.

Etika akuntan manajemen dan akuntan keuangan mencakup empat standard sebagai
berikut:
a. Kompetensi (Competence)

Akuntan manajemen harus menjaga pengetahuan dan keterampilan pada tingkat yang
tepat; mengikuti hukum, aturan, dan standard teknis; dan menyajikan laporan secara jelas dan

lengkap berdasarkan informasi yang terpercaya dan relevan, yang telah dianalisis secara
memadai
b. Kerahasiaan (Confidentiality)

Akuntan manajemen harus mencegah pengungkapan informasi rahasia, kecuali


dituntut oleh kewajiban legal untuk mengungkapkannya.
c. Kejujuran (I ntegrity)
Akuntan manajemen harus menghindari konflik kepentingan, baik yang bersifat nyata
maupun tidak nyata (actual or apparent ), dan juga menghindari aktivitas yang bisa
meragukan kemampuannya dalam melaksanakan tanggungjawab etika.
d. Obyektivitas Akuntan Manajemen (Objectivity of Management Accountant)
Inti dari standar kode etik adalah objektivitas, yang menuntut akuntan manajemen
untuk “mengkomunikasikan informasi secara wajar ( fairly) dan secara objektif (objectively),
dan juga untuk mengungkap secara penuh seluruh informasi relevan yang dipandang dapat
mempengaruhi pemahaman pengguna informasi atas laporan, komentar, serta rekomendasi

yang disajikannya.

D. Whistle Blowing
Whistle blowing merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa
orang karyawan untuk membocorkan kecurangan baik yang dilakukan oleh perusahaan atau
atasannya kepada pihak lain. Pihak yang dilaporkan ini bisa saja atasan yang lebih tinggi
ataupun masyarakat luas. Rahasia perusahaan adalah sesuatu yang konfidensial dan memang
harus dirahasiakan, dan pada umumnya tidak menyangkut efek yang merugikan bagi pihak
lain, entah itu masyarakat atau perusahaan lain.

Whistle blowing menyangkut kecurangan tertentu yang merugikan perusahaan sendiri


maupun pihak lain, apabila dibongkar atau disebarluaskan akan merugikan perusahaan,
paling minimal merusak nama baik perusahaan tersebut.

Whistle Blowing terbagi dalam dua macam, yaitu


1. Whistle blowing internal

Hal ini terjadi ketika seorang atau beberapa orang karyawan mengetahui kecurangan
yang dilakukan oleh karyawan lain atau kepala bagiannya kemudian melaporkan kecurangan
itu kepada pimpinan perusahaan yang lebih tinggi, Contohnya: Kecurangan yang dilakukan

karyawan lain dalam memanipulasi laporan keuangan perusahaan demi kepentingan pribadi.
Motivasi utama dari whistle blowing ini adalah: demi mencegah kerugian bagi perusahaan
tersebut, karena hal tersebut sangat sensitif maka untuk mengamankan posisinya, karyawan
pelapor perlu melakukan beberapa langkah pencegahan, antara lain:

a Mencari cara yang paling cocok dalam penyampaian tanpa harus


menyinggung perasaan sesama karyawan atau atasan yang ditegur.
b Anda perlu mencari dan mengumpulkan data sebanyak mungkin sebagai pegangan
konkret untuk menguatkan posisinya, kalau perlu disertai dengan saksi-saksi kuat.
2. Whistle blowing eksternal

Whistle Blowing ini menyangkut kasus dimana seorang pekerja mengetahui


kecurangan yang dilakukan perusahaannnya lalu membocorkannya kepada masyarakat
karena dia tahu bahwa kecurangan itu akan merugikan masyarakat, Contohnya: Adanya
pembuangan limbah yang dilakukan perusahaan atau pabrik ke pemukiman masyarakat,

sehingga membahayakan kesehatan warga. Motivasi utamanya adalah mencegah kerugian


bagi masyarakat atau konsumen. Pekerja ini mempunyai motivasi moral untuk membela
kepentingan konsumen karena dia sadar semua konsumen adalah manusia yang sama dengan
dirinya dan karena itu tidak boleh dirugikan hanya demi memperoleh keuntungan.

Kondisi-kondisi yang mendorong perlunya whistle-blowing:


a. The proper motivation (motivasi yang tepat). Whistle-blowing harus dilakukan dengan
tujuan moralitas yang tepat, bukan untuk tujuan persaingan atau balas dendam.
b. The proper evidence (bukti yang tepat). Didasarkan pada bukti-bukti yang kuat tentang

adanya pelanggaran etika.


c. The proper analysis (analisis yang tepat). Hanya dilakukan setelah dilakukan analisis
secara cermat tentang kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggaran etika.
d. The proper channel (saluran yang tepat). Harus dicari saluran komunikasi internal yang
tepat sebelum menginformasikan ke publik. Sedapat mungkin pelanggaran moral dan etika
terselesaikan secara internal.

Persyaratan lain whistle-blowing:


a Terdapat kebutuhan (need) , misalnya karena pelanggaran etika/moral tidak kunjung

teratasi.
b Kemampuan (capability ). Memiliki kemampuan untuk menyelamatkan keadaan.
c Kedekatan (proximity) . Pelanggaran etika moral terjadi di lingkungan terdekat
dengan tanggungjawabnya.
d Orang terakhir (last resort) . Menjadi satu-satunya orang yang tahu dan memiliki
kemampuan untuk menjadi whistle-blowing.

Empat kondisi tersebut di atas adalah yang ditawarkan oleh Simon, Powers, dan
Gunneman. Masih perlu ditambah satu kondisi lagi, yaitu kemungkinan keberhasilan

(likelihood of success).Whistle-blower harus berpotensi sukses, jika tidak ada harapan


memunculkan tekanan masyarakat, institusi, dan pemerintah, maka whilstle-blower akan
menjadi sia-sia. Namun demikian harus diakui bahwa whistle-blower sangat memerlukan
horoisme moral.

CHAPTER 9
ETIKA DALAM AKUNTANSI PERPAJAKAN

A. Pendahuluan
Akuntan pajak mempunyai beberapa tanggung-jawab kepada publik, melalui
pemerintah. Tanggung jawab akuntan pajak adalah bukan untuk suatu kepalsuan dalam suatu
kewajiban pajak, dan sebagai attestor, suatu kewajiban pajak adalah suatu
pernyataan/deklarasi atas sangsi dari kecurangan, dan informasi dari hasil menyajikan
laporan keuangan adalah benar, dan lengkap.
Dalam Laporan keuangan AICPA itu dari Responsibility Tax Preparers (SRTP)

dalam kewajibann Pajak Memposisikan 5.05 dan 5.06:

5.05 "Sistem perpajakan penilaian diri sendiri dapat berfungsi secara efektif jika wajib pajak
melaporkan hasil mereka di suatu kewajiban pajak yang benar, mengoreksi, dan melengkapi.
Suatu kewajiban pajak adalah suatu laporan wajib pajak fakta-fakta, dan wajib pajak
mempunyai tanggung jawab akhir untuk posisi-posisi menerima imbal hasil.

5.06 "CPAS menetapakn bentuk cukai atas sistem perpajakan seperti juga kepada klien-klien
mereka. Kedudukan kuat bahwa wajib pajak tidak memiliki kewajiban untuk membayar lebih

banyak pajak dibanding dengan menurut hukum berhutang, dan CPA mempunyai suatu cukai
kepada klien itu untuk membantu dalam mencapai target."

Statements on Standards for Tax Services merupakan pertimbangan etika umum yang
mendasari standar yang dibuat oleh Tax Executive Committee of the AICPA dalam sebuah
pamflet yang bertajuk. Pernyataan ini, yang disebut SSTS, dan interpretasinya menggantikan
SRTP dan interpretasinya sejak 1 Oktober 2000. Yang menarik adalah pada kalimat
pembukaannya: “Standar praktek adalah hallmark dari penyebutan diri sebagai seorang
profesional. Anggota harus memenuhi tanggungjawabnya sebagai profesional dengan

mendukung dan mempertahankan standar yang dengan itu kinerja profesionalnya bisa
diukur”.
Dalam kasus tersebut, indikasi terbaik dari standar etika yang bisa dipenuhi oleh
akuntan pajak bisa ditemukan dalam standar tersebut. Ada 6 (enam) standar yang ditunjukkan
dalam SSTS, yaitu:
1. Seorang akuntan pajak tidak boleh menyarankan sebuah posisi kecuali ada kemungkinan
realistik untuk kebaikan yang berkelanjutan.

2. Seorang akuntan pajak tidak boleh membuat atau menandatangani return jika ini berada
dalam posisi yang tidak boleh disarankan menurut point 1.
3. Seorang akuntan pajak dapat menyarankan sebuah posisi yang menurutnya tidak ceroboh
selama ini bisa didisklosur.
4. Seorang akuntan pajak berkewajiban untuk menasehati klien tentang potensi hukuman di
beberapa posisi, dan menyarankan disklosur.
5. Seorang akuntan pajak tidak boleh menyarankan sebuah posisi yang “mengeksploitasi”
proses seleksi audit IRS atau;
6. Dilarang bertindak sekadar dalam posisi “membantah”.

Menurut standar ini, dikatakan tidak etis bila mengkapitulasi permintaan klien untuk
mengurangi liabilitas pajak klien sebenarnya, karena ketika menandatangani return, anda
berarti menyatakan bahwa return adalah benar, tepat, dan lengkap. Bila menandatanganinya
berarti anda terlibat kebohongan.
Sebuah sistem yang menggunakan self-assessment dan reporting membuat orang
membayangkan tipe pekerjaan yang membuat golf menjadi permainan yang terhormat. Pajak
juga seperti itu. Ini ditentukan oleh self-assessment dan reporting. Dalam konteks tersebut,
sikap fair yang bisa dilakukan setiap orang adalah dengan mengawasi diri sendiri.

Masyarakat kita sering menggunakan sistem kehormatan yang besar dan ini bisa dijalankan
ketika sebagian besar orang diatur oleh sistem kehormatan tersebut.
Ada sesuatu yang berlawanan dengan kejujuran dan kesejahteraan publik saat ada
upaya untuk mengelak dari tujuan hukum spesifik yang memberikan batasan pada klien yang
ingin menghindari pembayaran segmen pajak yang fair . Sistem pajak dapat diselewengkan
oleh akuntan dan perusahaan akuntansi yang menggunakan skema penghindaran-pajak.
Bagian implisit dari semua ini adalah sebuah rekognisi tanggungjawab akuntan dan
perusahaannya untuk mempertahankan kejelasan sistem pajak –u ntuk
menghasilkan keseimbangan antara keuntungan pajak yang diinginkan dan loophole yang
bisa melemahkan

sistem.
Akuntan dan perusahaan akuntansi perlu mengetahui tanggungjawabnya pada
masyarakat besar. Akuntan dan perusahaannya perlu tegas, karena profesionalismenya, untuk
mengikuti jalur etika. Bantuan yang sering digunakan adalah nilai moral personal dan standar
plus sebuah kultur dalam perusahaan yang melarang pelanggaran nilai etika dalam mencapai
tujuan organisasi –s ebuah filosofi manajemen kuat yang mempertegas tindakan etika
dan

komunikasi jelas dari perilaku etika. Dalam situasi ini, bahkan ketika menyebabkan kerugian
klien, akuntan tetap akan melakukan apa yang benar. Ancaman kehilangan lisensi akibat
tindakan tidak beretika adalah sebuah faktor, tapi ini bukanlah faktor primer.
Dari sejumlah tantangan untuk etika, berikut ini adalah yang termasuk peringkat
atas:
a kompleksitas dan perubahan sifat dari hukum pajak;
b keterbatasan waktu untuk praktek;
c pengetahuan tentang hukum pajak yang kompleks;
d tekanan dari klien untuk mengurangi liabilitas pajak;

e dan kurangnya pemahaman klien terkait tanggungjawab profesional dan potensi hukuman
dari akuntan baik bagi praktisi pajak dan pembayar pajak

Crenshaw dalam artikelnya memberikan empat alasan mengapa tax shelter ini
muncul:
1. Ada upaya manajemen korporat untuk mencari cara baru guna mengendalikan biaya
bisnis, dan karena tidak mampu menaikkan harganya, perusahaan mulai mencari cara
untuk memotong pajaknya yang dianggap sebagai biaya.
2. Bertambahnya kerumitan dalam aturan pajak dan dunia keuangan, realita ekonomi akan

terhambat – atau berkurangnya realita tersebut – dalam serangkaian tarnsaksi.


3. Persepsi antar bank investasi dan lainnya bahwa memimpikan dan mengemas produk
pajak “adalah sebuah lini bisnis yang sukses”, seperti yang dikatakan William J. Wilkins
dari Wilmer, Cutler & Pickering, dan salahseorang anggota dari divisi pajak dari
American Bar Association. (Divisi pajak ini, yang tidak berbicara sebagai wakil ABA,
berisi pengacara yang khusus dalam urusan pajak).
4. Resiko rendah. Bukan hanya sulit bagi IRS untuk mendeteksi shelter, tapi hukumannya
cenderung ringan dan tidak selalu diberikan. Jika shelter ditemukan dan dilarang,
perusahaan akan menghutang pajak yang seharusnya dibayar, ditambah bunga. “Ini

seperti deal finansial yang bagus”, kata John E. Chapoton, mantan Assistant Treasury
Secretary dan anggota divisi pajak ABA, yang meminta disklosur perusahaan untuk
menghambat shelter.

Bagi akuntan, terkait dengan peranannya disarankan untuk menggunakan standar

yang ada secara serius dan mereview kebijakan profit dengan sarana legal apapun. Selalu ada
tekanan pada akuntan, yang memperhatikan profesionalismenya dan kewajibannya terhadap
publik. Berikut isi dari Statements on Standards for Tax Services (SSTS):

Pernyataan Standar No.1. Standar kemungkinan realistik:


“Secara umum, anggota memiliki keyakinan bahwa posisi return pajak yang disarankan
memiliki sebuah kemungkinan realistik untuk berlanjut secara administratif atau judisial”,
untuk mengkapitulasi kebutuhan perusahaannya”.

Pernyataan No.2 : Pernyataan ini bukanlah yang problematik dan mengemukakan:


“Seorang anggota membuat upaya wajar untuk memperoleh informasi dari pembayar pajak
untuk memberikan jawaban pada semua pertanyaan tentang return pajak sebelum
memberikan tanda tangan sebagai preparer”.

Pernyataan No.3. Kewajiban untuk memeriksa atau memverifikasi data yang


mendukung:
Seorang preparer dapat menggunakan keyakinan klien yang bagus untuk memberikan
informasi akurat dalam membuat sebuah return pajak, tapi “tidak mengabaikan implikasi

informasi yang dibuat dan harus membuat penelitian wajar jika informasi menjadi tidak
tepat, tidak lengkap atau tidak konsisten” (SSTS). Di sini, kewajiban untuk sistem pajak
menjadi jelas. Preparer akan menandatangani pernyataan yang menguji bahwa informasi
yang terkandung menjadi benar, tepat, dan lengkap menurut pengetahuan preparer.
Konsekuensinya, jika preparer menyimpulkan bahwa karena ketidakkonsistensinya,
informasi menjadi tidak tepat atau lengkap, preparer berkewajiban untuk tidak
menandatangani return.
Pernyataan No.4. Gunakan estimasi:
Ini bukan standar non-problematik. Preparer menggunakan estimasi pembayar pajak jika ini
tidak berpengaruh praktikal dalam memperoleh data dan jika preparer menentukan bahwa
estimasinya sudah beralasan, yang didasarkan pengetahuan preparer.

Pernyataan No.5. Berawal dari sebuah posisi sebelumnya:


Ini adalah sebuah standar teknis. “Seperti yang ditunjukkan dalam SSTS No.1, Tax Return
Positions, anggota bisa merekomendasikan sebuah posisi return pajak atau mempersiapkan
atau menandatangani return pajak yang berawal dari perlakuan sebuah item yang
disimpulkan dalam urusan administratif atau keputusan pengadilan terkait return
sebelumnya dari pembayar pajak”.

Pernyataan No.6. Pengetahuan keliru:


Apa yang perlu dilakukan ketika preparer menjadi sadar akan kekeliruan dalam

pengembalian pajak pembayar pajak sebelumnya? Anggota harus “memberitahu pembayar


pajak” dan “merekomendasikan ukuran korektif yang perlu diambil” (SSTS). Jika dalam
mempersiapkan return tahun sekarang, preparer menemukan bahwa pembayar pajak tidak
mengambil tindakan tepat untuk membenarkan errornya dari tahun sebelumnya, preparer
perlu memutuskan apakah perlu melanjutkan hubungan dengan pembayar pajak. Penarikan
diri ini bisa terjadi jika pembayar pajak tidak mau membenarkan error, dan jika error ini
memiliki efek terhadap return.

Pernyataan No.7. Pengetahuan tentang error: urusan administratif:

Jika dalam urusan administratif, preparer menemukan error, preparer harus “meminta
persetujuan pembayar pajak untuk mendisklosur error tersebut kepada otoritas pajak. Bila
tidak ada persetujuan, anggota harus mempertimbangkan penarikan diri dari representasi
pembayar pajak dalam urusan administratif”.

Pernyataan No.8. Bentuk dan Isi dari advis untuk pembayar pajak:
Pernyataan ini tidak menggambarkan bentuk atau isi advis karena kisaran advis begitu
ekstensif dan spesifik menurut kebutuhan setiap pembayar pajak. Apa yang disarankan
adalah bahwa advis ini mencerminkan kompetensi profesional dan memenuhi kebutuhan

pembayar pajak.
Ini menjadi ringkasan standar dari layanan pajak yang oleh AICPA diharapkan
dilakukan oleh anggotanya yang menjadi preparer pajak. Ini adalah standar yang umumnya
bisa diterapkan bagi akuntan pajak dalam sebagian besar negara karena ini menggunakan
prinsip universal tentang perilaku profesional yang benar dalam urusan pajak.

DAFTAR PUSTAKA

Duska, Ronald Duska, Brenda Shay Duska and Julie Ragatz. 2011. Accounting Ethics. United
Kingdom: John Wiley & Sons, Ltd.

You might also like