You are on page 1of 106

LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN POST PARTUM PADA NY. S DENGAN POST


SECTIO CAESAREA ATAS INDIKASI RIWAYAT SECTIO CAESAREA

DI BANGSAL LILI RSUD TIDAR MAGELANG

KTI

Disusun untuk memenuhi sebagai syarat mata kuliah Tugas Akhir

Pada Program Studi DIII Keperawatan Magelang

Oleh :

Siti Choirunissa

NIM.P.17420513076

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN MAGELANG

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

2016
LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN POST PARTUM PADA NY. S DENGAN POST


SECTIO CAESAREA ATAS INDIKASI RIWAYAT SECTIO CAESAREA

DI BANGSAL LILI RSUD TIDAR MAGELANG

KTI

Disusun untuk memenuhi sebagai syarat mata kuliah Tugas Akhir

Pada Program Studi DIII Keperawatan Magelang

Oleh :

Siti Choirunissa

NIM.P.17420513076

PROGRAM STUDI DII KEPERAWATAN MAGELANG

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

2016
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Hasil Laporan Kasus oleh Siti Choirunissa NIM P. 17420513076 dengan

judul “Asuhan Keperawatan Post Partum pada Ny. S dengan Post Sectio

Caesarea atas indikasi Riwayat Sectio Caesarea Di Ruang Lili RSUD TIDAR

MAGELANG” ini telah diperiksa dan disetujui untuk diuji.

Magelang, April 2016

Pembimbing

Sri Adiyati, S.Pd, S.Kep

NIP. 195312061983032001
LEMBAR PENGESAHAN

Hasil Laporan Kasus oleh Siti Choirunissa NIM P. 17420513076 dengan

judul “Asuhan Keperawatan Post Partum pada Ny. S dengan Post Sectio

Caesarea atas indikasi Riwayat Sectio Caesarea Di Ruang Lili RSUD TIDAR

MAGELANG” ini telah dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 1

April 2016.

Dewan Penguji

Sri Adiyati, S.Pd, S.Kep.*) Ketua (..........................................)

NIP. 195312061983032001

Lulut Handayani, S.Kep, Ns, M.Kes **) Anggota (......................................)

NIP. 197504041998032001

Wiwin Renny R, S.ST, S.Pd, M.Kes.**) Anggota (......................................)

NIP. 197111061998032001

Mengetahui,

Perwakilan Jurusan Keperawatan Magelang

Hermani Triredjeki, S.Kep, Ns, M.Kes

NIP. 196902221988032001
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Siti Choirunissa

NIM : P. 17420513076

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Laporan Kasus yang saya tulis ini adalah

benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri; bukan merupakan pengambil

alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai hasil tulisan atau

pikiran saya sendiri.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan laporan pengelolaan

kasus ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas

perbuatan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Magelang, April 2016

Yang membuat Pernyataan,

Siti Choirunissa
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Dzat yang Maha

Agung, atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayahNya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penyusunan Laporan Kasus dengan judul “Asuhan Keperawatan

Post Partum pada Ny. S dengan Post Sectio Caesarea atas indikasi Riwayat

Sectio Caesarea Di Ruang Lili RSUD TIDAR MAGELANG”

Dalam pembuatan Laporan Kasus ini penulis banyak menghadapi masalah

dan hambatan, tetapi berkat bantuan dan arahan dari berbagai pihak maka laporan

ini dapat diselesaikan. Maka dari itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Sugiyanto, S.Pd., M. App. Sc., Direktur Politeknik Kesehatan Kementrian

Kesehatan Semarang yang telah memberi ijin dan kesempatan untuk

melaksanakan studi khususnya dalam pembuatan Laporan Kasus.

2. Putrono, S.Kep., Ns., M.Kes., Ketua Jurusan Keperawatan Poltekkes

Kemenkes Semarang yang telah memberi ijin dan kesempatan untuk

melaksanakan studi khususnya dalam pembuatan Laporan Kasus.

3. Hermani Triredjeki , S.Kep, Ns., M.Kes, Perwakilan Jurusan Program

Studi DIII Keperawatan Magelang yang telah memberikan ijin dan

kesempatan untuk melaksanakan studi khususnya dalam pembuatan

Laporan Kasus.

4. Sri Adiyati , S.Pd . S.Kep, dosen pembimbing penyusunan Karya Tulis

Ilmiah.
5. Tim penguji ujian Laporan Kasus peminatan maternitas.

6. Bapak dan Ibu dosen beserta para staf Program Studi DIII Keperawatan

Magelang.

7. Orang Tua serta saudara-saudaraku tercinta dan tersayang tanpa henti

senantiasa memberi dukungan semangat, doa, dan materi.

8. Ella, Seli, Kiki, Sheilla, Reni, Dian, Lina yang selalu memberi dukungan,

doa serta motivasi untuk menyelesaikan laporan kasus ini.

9. Teman-teman kelas Nakula yang telah sama-sama berjuang dalam

menyelesaikan Laporan Kasus ini.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah

membantu dalam penyusunan Laporan Kasus ini.

Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini masih jauh dari sempurna,

masih terdapat banyak kekurangan yang penulis belum atau tidak mengetahuinya.

Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang bersifat

membangun sebagai masukan untuk melengkapi dan memperbaiki laporan ini.

Akhirnya hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis memohon agar

Laporan Kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pembaca, amin.

Magelang,

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sectio Caesarea merupakan prosedur bedah untuk pelahiran janin

dengan insisi melalui abdomen dan uterus (David, 2008). Dewasa ini cara

ini jauh lebih aman daripada dahulu berhubung dengan adanya antibiotika,

tranfusi darah, teknik operasi yang lebih sempurna, dan anastesia yang

lebih baik. Seorang ibu yang telah mengalami pembedahan itu merupakan

seorang yang memiliki parut dalam uterus, tiap kehamilan serta persalinan

berikut memerlukan pengawasan yang cermat berhubung dengan bahaya

rupture uteri, walaupun bahaya ini dengan teknik yang sempurna tidak

besar (Wiknjosastro, 2006).

Mengacu pada WHO, Indonesia mempunyai kriteria angka sectio

caesarea standar antara 15 - 20% untuk RS rujukan. Angka itu dipakai

juga untuk pertimbangan akreditisasi Rumah Sakit (Gondo, 2010).

Indonesia memiliki target Angka Kematian Ibu (AKI) pada tahun 2015

adalah 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup, akan tetapi berdasarkan

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka

Kematian Ibu (AKI) (yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan

nifas) sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih cukup

jauh dari target yang harus dicapai pada tahun 2015.


Angka kematian ibu di Jawa Tengah dari tahun 2011-2013 terus

meningkat. Laporan pada tahun 2014 angka kematian ibu adalah 711 kasus

126,55/100.000 kelahiran hidup, hal ini mengalami peningkatan bila

dibandingkan dengan angka kematian ibu pada tahun 2013 sebesar 675

kasus 116,34/100.000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi

pada tahun 2013 yaitu 10,41/1000 kelahiran hidup (profil kesehatan jateng

, 2013). Berdasarkan pengamatan penulis, di Rumah sakit Tidar Kota

Magelang mulai Januari-Agustus 2015 terdapat 562 orang melahirkan

dengan operasi Caesar. Dari 562 orang, 157 orang (27,9%) tanpa indikasi,

108 orang (19,21%) dengan indikasi PEB, 3 orang (0,5%) dengan APH, 73

orang (12,9%) dengan indikasi letak sungsang, 48 orang (8,5%) dengan

indikasi riwayat Sectio Caesarea, 98 orang (17,4%) dengan indikasi

ketuban pecah dini, 75 orang (13,3%) dengan indikasi CPD.

Persalinan dengan operasi sectio caesarea ditujukan untuk indikasi

medis tertentu, yang terbagi atas indikasi untuk ibu dan indikasi untuk

bayi. Indikasi dari ibu : Usia, tulang panggul, persalinan sebelumnya

dengan operasi Caesar, faktor hambatan jalan lahir, kelainan kontraksi

rahim, ketuban pecah dini, rasa takut kesakitan. Sedangkan indikasi dari

bayi : bayi terlalu besar, kelainan letak bayi, ancaman gawat janin, janin

abnormal, faktor plasenta, bayi kembar. Persalinan sectio caesaria atau

bedah caesar harus dipahami sebagai alternatif persalinan ketika

dilakukan persalinan secara normal tidak bisa lagi (Patricia, 2005; Irwan,

2009; Lang, 2011).


Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari sectio caesarea adalah

Infeksi puerperal, perdarahan, komplikasi-komplikasi lain seperti kandung

kencing, dan embolisme paru-paru (Wiknjosastro, 2007).

Perawatan luka sangat penting dilakukan untuk mencegah infeksi,

dengan menginspeksi luka insisi tiap hari, dan jahitan atau klip pada kulit

dapat diangkat pada hari ke empat setelah operasi. Perawatan perineum

dilakukan dengan cara membersihkan vulva dari anterior menuju posterior

atau dari vulva menuju anus. Kesembuhan luka dapat ditunjang dengan

pemberian diit tinggi kalori tinggi protein. Pada hari ke-3 atau ke -4 ibu

sudah boleh dipulangkan. Aktivitas ibu selama minggu pertama harus

dibatasi pada perawatan diri dan perawatan bayinya dengan bantuan. Oleh

karena itu, sebelumnya harus diberikan informasi bagaimana perawatan

yang baik dan asertif (Cunningham, 2013).

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk

menyusun Karya Tulis Ilmiah dengan judul: “Laporan Kasus Post Partum

Sectio Caesarea atas indikasi Riwayat Sectio Caesarea di Ruang Budi

Rahayu Rumah Sakit Umum Tidar Kota Magelang”.


B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Menggambarkan pengelolaan kasus pada klien dengan Post Partum

Sectio Caesarea atas indikasi Riwayat Sectio Caesarea di Ruang Budi

Rahayu Rumah Sakit Umum Tidar Kota Magelang.

2. Tujuan Khusus

Penulis mampu :

a. Menggambarkan kemampuan penulis dalam mengkaji klien Post

partum Sectio Caesarea atas indikasi riwayat Sectio Caesarea.

b. Menggambarkan kemampuan penulis dalam melakukan analisa

data dari hasil pengkajian Post partum Sectio Caesarea atas

indikasi riwayat Sectio Caesarea.

c. Menggambarkan kemampuan penulis dalam menegakkan diagnosa

keperawatan Post partum Sectio Caesarea atas indikasi riwayat

Sectio Caesarea.

d. Menggambarkan kemampuan penulis dalam merumuskan rencana

keperawatan Post partum Sectio Caesarea atas indikasi riwayat

Sectio Caesarea.

e. Menggambarkan kemampuan penulis dalam tindakan keperawatan

pada klien Post partum Sectio Caesarea atas indikasi riwayat

Sectio Caesarea.
f. Menggambarkan kemampuan penulis dalam melakukan evaluasi

tindakan keperawatan dan mendokumentasikan semua hasil yang

telah dilakukan.

C. Manfaat Penulisan

1. Bagi penulis

Menambah ketrampilan dan pengalaman dalam mengelola pasien Post

Partum Sectio Caesarea atas indikasi Riwayat Sectio Caesarea

sehingga bisa digunakan sebagai bekal setelah lulus dari pendidikan.

2. Institusi pendidikan

Menambah bahan kajian perpustakaan institusi yang bisa digunakan

oleh mahasiswa lain dalam menangani kasus Post Partum Sectio

Caesarea atas indikasi Riwayat Sectio Caesarea.

3. Institusi rumah sakit

Hasil laporan kasus ini dapat menjadikan bahan masukan bagi tenaga

kesehatan terutama perawat dalam upaya peningkatan mutu kesehatan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sectio Caesaria

1. Pengertian

a. Sectio Caesaria adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi dengan

berat di atas 500 gram, melalui sayatan pada dinding uterus yang

masih utuh (Sarwono, 2007).

b. Sectio Caesaria adalah persalinan melalui sayatan pada dinding

abdomen dan uterus yang masih utuh dengan berat janin > 1000 gr

atau umur kehamilan > 28 minggu (Manuaba, 2007).

c. Sectio Caesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat

sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut; seksio

sesarea juga dapat didefinisikan sebagai suatu histerektomia untuk

melahirkan janin dari dalam rahim (Sofian, 2011).

d. Sectio Caesaria adalah tindakan untuk melahirkan bayi dengan

sayatan dinding uterus melalui dinding depan perut yang masih utuh

dengan berat janin > 1000 gr.

2. Klarifikasi

Klarifikasi section caesarea menurut Wiknjosastro (2007) ada beberapa

jenis:

a. Sectio caesarea transperitonealis profunda

Adalah teknik sectio caesarea dimana insisi dilakukan secara

melintang pada segmen bawah rahim kurang 10 cm.


1) Keunggulan

a) Perdarahan tidak banyak,

b) Bahaya peritonitis tidak begitu besar,

c) Tidak terjadi rupture uteri,

d) Tidak mengakibatkan komplikasi.

2) Kekurangan

a) Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi, Luka dapat

melebar kekiri, kanan dan bawah, sehingga menyebabkan

perdarahan yang banyak.

b. Sectio caesarea klasik

Adalah teknik sectio caesarea dimana insisi dilakukan pada dinding

tengah korpus sepanjang 10-12 cm.

1) Kelebihan

a) Mengeluarkan janin dengan cepat,

b) Tidak mengakibatkan komplikasi,

c) Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal.

2) Kekurangan

a) Infeksi mudah menyebar,

b) Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri

spontan.

c. Sectio caesarea peritonealis

Adalah tindakan pembedahan yang dilakukan tanpa membuka

peritoneum dan tidak membuka cavum abdomen.


3. Etiologi

a. Faktor ibu

1) Usia

Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun,

memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi pada wanita

dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang

memiliki penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah tinggi ,

penyakit jantung, kencing manis, dan preeklamsia. Eklampsia

(keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang sehingga

dokter memutuskan persalinan dengan sectio caesarea.

2) Tulang Panggul

Cephalopelvic disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul

ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat

menyebabkan ibu tidak melahirkan secara alami. Tulang panggul

sangat menentukan mulus tidaknya proses persalinan.

3) Persalinan Sebelumnya dengan sectio caesarea

Sebenarnya, persalinan melalui bedah caesar tidak mempengaruhi

persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak.

Apabila memang ada indikasi yang mengharuskan dilakukanya

tindakan pembedahan, seperti bayi terlalu besar, panggul terlalu

sempit, atau jalan lahir yang tidak mau membuka, operasi bisa saja

dilakukan.

4) Faktor Hambatan Jalan Lahir


Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku

sehingga tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor

dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit

bernafas.

5) Kelainan Kontraksi Rahim

Jika kontraksi rahim lemah dan tidak terkoordinasi ( inkordinate

uterine action ) atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak

dapat melebar pada proses persalinan, menyebabkan kepala bayi

tidak terdorong, tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar.

6) Ketuban Pecah Dini

Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan

bayi harus segera dilahirkan. Kondisi ini membuat air ketuban

merembes ke luar sehingga tinggal sedikit atau habis. Air ketuban

(amnion) adalah cairan yang mengelilingi janin dalam rahim.

7) Pre-Eklamsi Berat

Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang

langsung disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum

jelas. Setelah perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi

merupakan penyebab kematian maternal dan perinatal paling penting

dalam ilmu kebidanan. Karena itu diagnose dini amatlah penting,

yaitu mampu mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi

eklamsi.

8) Partus lama
Persalinan dengan tidak ada penurunan kepala > 1 jam untuk

nulipara dan multipara (Sarwono, 2008).

(Kasdu, 2006)

b. Indikasi Janin

1) Ancaman Gawat Janin (fetal distress)

Detak jantung janin melambat, normalnya detak jantung janin

berkisar 120-160. Namun dengan CTG (cardiotography) detak

jantung janin melemah, lakukan segera sectio caesarea segera untuk

menyelamatkan janin.

2) Bayi Besar (makrosemia)

Ibu yang di diagnosa bayi besar biasanya dikarenakan ibu yang

memiliki riwayat diabetes mellitus yang dimana apabila diabetesnya

lebih berat dan memerlukan pengobatan insulin sebaiknya kehamilan

diakhiri lebih dini biasanya dalam kehamilan antara 36 dan 38

minggu, baik dengan cara induksi maupun sectio caesarea (

Wiknjosastro 2007 ).

3) Letak Sungsang

Letak yang demikian dapat menyebabkan poros janin tidak sesuai

dengan arah jalan lahir. Pada keadaan ini, letak kepala pada posisi

yang satu dan bokong pada posisi yang lain.

4) Faktor Plasenta

a) Plasenta previa
Posisi plasenta terletak dibawah rahim dan menutupi sebagian

atau seluruh jalan lahir.

b) Plasenta lepas (Solution placenta)

Kondisi ini merupakan keadaan plasenta yang lepas lebih cepat

dari dinding rahim sebelum waktunya. Persalinan dengan

operasi dilakukan untuk menolong janin segera lahir sebelum ia

mengalami kekurangan oksigen atau keracunan air ketuban.

c) Plasenta accreta

Merupakan keadaan menempelnya plasenta di otot rahim. Pada

umumnya dialami ibu yang mengalami persalinan yang berulang

kali, ibu berusia rawan untuk hamil (di atas 35 tahun), dan ibu

yang pernah operasi (operasinya meninggalkan bekas yang

menyebabkan menempelnya plasenta.

5) Kelainan Tali Pusat

a) Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung)

Keadaan penyembulan sebagian atau seluruh tali pusat. Pada

keadaan ini, tali pusat berada di depan atau di samping atau tali

pusat sudah berada di jalan lahir sebelum bayi.

b) Terlilit tali pusat

Lilitan tali pusat ke tubuh janin tidak selalu berbahaya. Selama

tali pusat tidak terjepit atau terpelintir maka aliran oksigen dan

nutrisi dari plasenta ke tubuh janin tetap aman.(Kasdu, 2006)

6) Bayi kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara Caesar. Hal ini

karena kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang

lebih daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat

mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk

dilahirkan secara normal.

4. Komplikasi

Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari sectio caesarea menurut

Wiknjosastro (2007), adalah sebagai berikut:

1) Infeksi puerperal

Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama

beberapa hari dalam masa nifas, atau bersifat berat, seperti

peritonitis, sepsis, dan sebagainya. Infeksi post operatif terjadi

apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala-gejala infeksi

intrapartum, atau pada faktor-faktor yang merupakan presdisposisi

terhadap kelainan itu (partus lama khususnya setelah ketuban pecah,

tindakan vaginal sebelumnya).

2) Perdarahan

Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang-

cabang arteria uterine ikut terbuka, atau karena atonia uteri.

3) Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kencing,

embolisme pari-paru, dan sebagainya sangat jarang terjadi.

4) Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak, ialah kurang kuatnya

parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa


terjadi rupture uteri. Peristiwa ini lebih banyak ditemukan sesudah

sectio caesarea klasik.

5. Patofisiologi

Indikasi dilakukannya secti caesarea dapat disebabkan dari faktor

ibu dan janin. Faktor yang berasal dari ibu yaitu pada primigravida

dengan kelainan letak ada, CPD, persalinan sebelumnya dengan operasi

Caesar, faktor hambatan jalan lahir, kelainan kontraksi rahim, KPD, dan

rasa takut kesakitan. Sedangkan faktor dari janin antara lain bayi terlalu

besar, ancaman gawat janin (fetal distress), janin abnormal, faktor

plasenta, kelainan tali pusat, dan bayi kembar.

Bedah caesarea merupakan pembedahan untuk melahirkan janin

dengan membuka dinding abdomen dan dinding uterus dan merupakan

prosedur untuk menyelamatkan kehidupan. Operasi ini memberikan

jalan keluar bagi kebanyakan kesulitan yang timbul bila persalinan

pervaginam tidak mungkin atau berbahaya (Winkjosastro,2005).

Operasi Caesar dilakukan insisi pada dinding perut dan dinding

rahim, yang mengakibatkan jaringan-jaringan, pembuluh darah dan

saraf-saraf disekitar daerah insisi terputus. Sehingga akan terjadi luka

post operasi yang menimbulkan rasa nyeri. Rangsangan saraf nyeri dapat

menimbulkan hambatan mobilitas fisik. Terputusnya jaringan memiliki

resiko tinggi masuknya kuman atau bakteri dari luar tubuh yang akan

menimbulkan terjadinya infeksi. Pada operasi secti caesarea akan

dilakukan anestesi yang akan mempengaruhi system gastrointestinal


yaitu penurunan peristaltic usus. Akibat anestesi juga akan

mengakibatkan penurunan tonus otot pada kandung kemih.

Perdarahan masa nifas post seksio sesarea didefinisikan sebagai

kehilangan darah lebih dari 1000ml. Dalam hal ini perdarahan terjadi

akibat kegagalan mencapai homeostatis di tempat insisi uterus maupun

pada placentak bed akibat atoni uteri. Komplikasi pada bayi dapat

menyebabkan hipoksia, depresi pernapasan, sindrom gawat pernapasan

dan trauma persalinan (Mochtar, 2012)


Pathway

Indikasi bayi
Indikasi ibu

Bayi Kelainan Fetal Bayi Kelainan Janin Usia


CPD Riwayat KPD Preeklamsia HT

Besar letak distress kembar plasenta abnormal


Caesar

Sectio Caesarea

Pengaruh anestesi spinal Luka Operasi


Adaptasi post partum

Nifas

Pencernaan Penurunan tonus Perdarahan Trauma


jaringan

Mobilitas usus otot kandung kemih Hipovolemik Hb menurun

Menurun Destensi
Jaringan terputus MK: Resiko
Jaringan terbuka
Kekurangan
Peristaltic kandung kemih Volume Cairan Anemia
Merangsang area Proteksi kurang

Menurun
sensorik MK: Invasi bakteri
MK:
Perubahan Hambatan
MK: Eliminasi Urin mobilitas MK: Nyeri
fisik
Konstipasi
MK:
Hambatan
mobilitas
fisik
Adaptasi post partum Nifas

Adaptasi psikologis Adaptasi Fisiologi Estrogen & progesteron

Taking in Kontraksi uterus menurun

involusi Merangsang produksi


kelenjar susu

Taking hold

Letting Go Adekuat Tidak Adekuat Ejeksi


ASI

Pengeluaran lochea Perdarahan Efektif


Tidak Efektif
MK: Defisit perawatan diri
Nutrisi
bayi terpenuhi

Kekurangan vol.

&elektrolit Kurang
Informasi tentang Bengkak

perawatan payudara

MK: Defisiensi
pengetahuan

Sumber: Cunningham (2012), Nanda (2015), Bobak (2004).


6. Penatalaksanaan

a. Perawatan Pascaoperasi

Pascaoperasi, jumlah perdarahan dari vagina harus dipantau

ketat, dan fundus uterus tetap berkontraksi kuat. Sayangnya, setelah

efek analgesia konduksi menghilang atau wanita telah sadar dari

anestesi umum, palpasi abdomen mungkin menimbulkan rasa tidak

nyaman. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan obat analgesic

intravena seperti meperidin 75 hingga 100 mg, atau morfin 10 hingga

15 mg. bebat tebal dengan plester erat yang banyak pada abdomen

akan mengganggu tindakan palpasi dan pijatan fundus dan

selanjutnya akan menyebabkan ketidaknyamanan saat plester

dilepas. Pasien diedukasi untuk batuk dan bernafas dalam. Setelah

pasien sadar sepenuhnya, perdarahan minimal, tekanan darah baik,

dan aliran urin sedikitnya 30 mL/jam, pasien dapat dipindahkan

keruangannya.

1) Analgesia

Pada wanita berukuran rata-rata, meperidin 50 hingga 75 mg

diberikan secara intramuscular setiap 3 jam seperlunya untuk

mengatasi ketidaknyamanan. Sebagai alternatif, dapat diberikan

bersama dengan narkotika. Meperidin atau morfin intravena

melalui pompa terkontrol pasien adalah alternatif yang lebih

efektif untuk terapi bolus dalam periode pascaoperasi yang


singkat. Pompa tersebut biasanya diprogram untuk

menghantarkan infus obat secara kontinu. Pasien dapat diberikan

bolus secara intermitten, frekuensinya ditentukan oleh interval

“lock-out”.

2) Tanda vital

Setelah dipindahkan ke ruangannya, pasien diperiksa sedikitnya

setiap jam selama 4 jam dan selanjutnya dalam interval 4 jam.

Tekanan darah, denyut nadi, suhu, tonus uterus, keluaran urin,

dan jumlah perdarahan dievaluasi.

3) Terapi cairan dan diet

Masa nifas ditandai dengan ekskresi cairan yang tertahan selama

kehamilan. Lebih lanjut, pada pelahiran Caesar tipikal, tidak

dijumpai sekuestrasi bermakna cairan ekstrasel dalam dinding

usus dan lumen, kecuali bila usus dipisahkan dari lapangan

operasi atau timbul peritonitis. Karena itu, wanita yang mnjalani

pelahiran caesar jarang mengalami sekuestrasi cairan dalam

ruang ketiga. Sebaliknya, pasien memulai pembedahan secara

normal dengan volume ekstravaskuler berlebih yang fisiologis

selama kehamilan dan akan dimobilisasi dan diekskresikan

setelah pelahiran. Karena itu, volume cairan intravena yang besar

selama dan setelah operasi tidak diperlukan untuk mengganti

sekuestrasi cairan ekstrasel. Sebagai generalisasi, 3 L cairan

harus terbukti adekuat selama 24 jam pertama setelah


pembedahan. Namun, bila keluaran urin turun di bawah 30

mL/jam, pasien harus dievaluasi ulang. Penyebab oliguria dapat

berkisar dari kehilangan darah yang tidak diketahui hingga efek

antidiuretic dari infus oksitosin.

Pengecualian dari pola mobilisasi cairan tipikal ini adalah

konstriksi kompartemen cairan ekstrasel yang patologis dari

preeklamsia berat, muntah, demam, persalinan lama tanpa asupan

cairan adekuat, kehilangan darah signifikan, atau sepsis.

4) Fungsi kandung kemih dan usus

Kateter kandung kemih paling sering dapat dilepas dalam waktu

12 jam pascaoperasi atau supaya lebih nyaman, dilepas pada pagi

hari setelah operasi. Prevalensi retensi urin setelah pelahiran

Caesar mencapai 3%, dan operasi setelah persalinan gagal maju

adalah salah satu resiko yang diketahui (chai dkk., 2008). Karena

itu, surveilans untuk distensi berlebih kandung kemih harus

diimplementasikan seperti pada pelahiran pervagina.

Pada kasus-kasus tanpa komplikasi, makanan padat dapat

diberikan dalam waktu 8 jam setelah operasi (bar,

2008;Kramer,1996;orji,2009, dkk). Walaupun beberapa derajat

ileus adinamik selalu terjadi setelah operasi abdomen, namun

tidak perlu dikhawatirkan pada sebagian besar persalinan Caesar.

Gejalanya mencakup distensi abdomen dan nyeri saat buang gas,

tidak dapat flatus atau buang air besar.


5) Ambulasi

Wanita yang menjalani persalinan Caesar memiliki resiko

mengalami emboli paru 2 sampai 20 kali lipat lebih besar

daripada wanita yang melahirkan pervagina. Faktor resiko

tersebut antara lain usia >35 tahun; IMT >30; paritas >3; Caesar

darurat; histerektomi Caesar; infeksi yang terjadi bersamaan,

penyakit berat, preeklamsia, atau varises yang besar, imobilitas,

dan thrombosis vena dan emboli paru.

Pada sebagian besar kasus, sehari setelah operasi pasien harus

bangun dari tempat tidur dengan bantuan sekurang-kurangnya

dua kali untuk berjalan. Ambulasi dapat dijadwalkan sehingga

pemberian obat analgesic akan mengurangi ketidaknyamanan.

Pada hari kedua, pasien dapat berjalan tanpa bantuan.

6) Perawatan luka

Insisi di inspeksi setiap hari, dan jahitan atau klip pada kulit

dapat diangkat pada hari ke empat setelah operasi, namun, jika

khawatir akan pelepasan luka superfisial, misalnya pada pasien

yang gemuk, benang atau klip harus dipertahankan selama 7

hingga 10 hari. Pada hari ketiga pascapartum, mandi tidak

berbahaya terhadap luka insisi.

7) Laboratorium

Hematokrit rutin diperiksa pada pagi hari setelah operasi.

Pemeriksaan dilakukan lebih dini jika terdapat kehilangan darah


tidak lazim atau oliguria atau tanda lain yang mengarah

hipovolemia. Apabila nilai hematokrit menurun secara bermakna

dari nilai praoperasi, pemeriksaan diulang dan dilakukan

pencarian untuk mengidentifikasi penyebab penurunan tersebut.

Jika nilai hematocrit stabil, pasien diperbolehkan ambulasi, dan

bila terjadi sedikit kemungkinan kehilangan darah yang lanjut,

terapi zat besi lebih dipilih daripada tranfusi.

8) Perawatan payudara

Menyusui dapat dimulai pada hari operasi. Apabila pasien

memilih untuk tidak menyusui, pengikat yang menopang

payudara tanpa kompresi yang kuat akan mengurangi

ketidaknyamanan pasien.

9) Keluar dari rumah sakit

Jika tidak terdapat komplikasi pada masa nifas, ibu biasanya

dipulangkan pada hari ketiga atau keempat pascapartum.

Aktivitas ibu selama minggu pertama hatus dibatasi hanya pada

perawatan diri dan perawatan bayinya dengan bantuan.

(Cuningham, 2012)

B. Konsep Masa Nifas

1. Definisi

a. Masa nifas adalah masa setelah seorang ibu melahirkan bayi yang

dipergunakan untuk memulihkan kesehatannya kembali yang

umumnya memerlukan waktu 6-12 minggu (Marmi, 2014).


b. Masa puerperium atau masa nifas mulai setelah partus selesai dan

berkahir setelah kira-kira 6 minggu (Winkjosastro,2007).

c. Masa nifas (puerperium) adalah masa pulih kembali, mulai dari

persalinan selesai hingga alat-alat kandungan kembali seperti

prahamil. Lama masa nifas ini yaitu 6-8 minggu.

d. Masa nifas (perperium) adalah masa setelah plasenta lahir dan

berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum

hamil (Siti saleha, 2009).

2. Tahap Masa Nifas

Tahapan yang terjadi pada masa nifas menurut Saleha (2009)

adalah sebagai berikut:

a. Periode immediate postpartum

Masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam.

Pada masa ini sering terjadi masalah, misalnya pendarahan

karena atonia uteri. Oleh karena itu, bidan dengan teratur

harus melakukan pemeriksaan kontraksi uterus, pengeluaran

lochea, tekanan darah, dan suhu.

b. Periode early postpartum (24 jam-1 minggu)

Pada fase ini bidan memastikan involusi uteri dalam keadaan

normal, tidak ada perdarahan, lokea tidak berbau busuk,

tidak demam, ibu dapat menyusui dengan baik.

c. Periode late postpartum (1 minggu-5 minggu)


Pada periode ini bidan tetap melakukan perawatan dan

pemeriksaan sehari-hari serta konseling KB.

3. Adaptasi Post Partum

a. Adaptasi Psikologis

Perubahan-perubahan psikis menurut Saleha (2009)

meliputi:

1) Fase “taking in” (ketergantungan)

Perhatian ibu terutama terhadap kebutuhan dirinya,

mungkin pasif dan tergantung, berlangsung 1-2 hari. Ibu

tidak menginginkan kontak dengan bayinya tetapi bukan

berarti tidak memperhatikan. Dalam fase ini diperlukan

ibu adalah informasi tentang bayinya tentang cara

merawat bayi.

2) Fase Taking Hold

Dalam fase ini ibu berusaha mandiri dan berinisiatif.

Mekanisme pertahanan diri merupakan sumber penting

selama fase ini karena post partum blues bisa terjadi.

Bisa terjadi pada hari ke-3 sampai hari ke-10.

3) Fase Letting Go

Tubuh pasien telah sembuh, perasaan percaya diri telah

kembali, kemampuan merawat diri dan bayinya sudah

ada, dan kegiatan hubungan seksualnya telah dilakukan


kembali. Berlangsung pada hari ke-10 sampai masa nifas

selesai (Saleha, 2009).

b. Adaptasi Fisiologi

Perubahan yang terjadi pada waktu nifas memurut

Saleha (2009) meliputi:

1) Perubahan Sitem Reproduksi

a) Involusi Uterus

Involusi uterus atau pengerutan uterus merupakan

suatu peoses dimana uterus kembali kekondisi

sebelum hamil dengan bobot hanya 60 gram

(Marmi, 2014). Segera setelah plasenta lahir, pada

uterus yang berkontraksi posisi fundus uteri berada

kurang lebih pertengahan antara umbilicus dan

simfisis atau sedikit lebih tinggi. Ruptur uteri karena

luka post Sc makin sering terjadi dengan

meningkatnya tindakan seksio caesarea. Rupture

uteri semacam ini lebih sering terjadi pada luka

bekas seksio caesarea klasik (Sastrawinata, 2005).

Table 2.1

Tinggi fundus uteri dan berat uterus menurut masa

involusi
Involusi TFU Berat Uterus

Bayi lahir Setinggi pusat, 2 jbpst* 1000 gr

1 minggu Pertengahan pusat 750 gr

simfisis

2 minggu Tidak teraba di atas 500 gr

simfisis

6 minggu Normal 50 gr

8 minggu Normal tapi sebelum 30 gr

hamil

b) Involusi tempat plasenta

Segera setelah plasenta dan ketuban dikeluarkan

kontriksi, vaskuler dan thrombosis menurunkan

tempat plasenta kesuatu area yang meninggi dan

bernodul tidak teratur. Pertumbuhan endometrium

keatas menyebabkan pelepasan jaringan parut yang

menjadi karakteristik penyembuhan luka. Proses

penyembuhan yang unik ini memampukan

endometrium menjalankan siklusnya seperti bisa dan

memungkinkan implantasi dan plasentasi untuk

kehamilan dimasa yang akan datang.

c) Lochea
Lochea adalah cairan secret yang berasal dari kavum

dan vagina selama masa nifas (Saleha, 2009).

Lochea terbagi 4 jenis :

(1) Lochea rubra (cruenta) berwarna merah karena

berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban,

set-set desidua, verniks caseosa, lanugo, dan

mekoneum selama 2 hari paska persalinan. Inilah

lochea yang akan keluar selama dua sampai tiga

hari postpartum.

(2) Lochea sanguilenta berwarna merah kuning

berisi darah dan lender yang keluar pada hari ke-

3 sampai ke-7 pascapersalinan.

(3) Lochea serosa adalah lokea berikutnya. Dimulai

dengan versi yang lebih pucat dari lokea rubra.

Lokea ini berbentuk serum dan berwarna merah

jambu kemudian menjadi kuning. Cairan tidak

berdarah lagi pada hari ke-7 sampai hari ke-14

pasca persalinan.

(4) Lochea alba. Berlangsung dari hari ke-14

kemudian makin lama makin sedikit hingga

sama sekali berhenti sampai satu minggu atau

dua minggu berikutnya. Bentuknya seperti cairan


putih berbentuk krim serta terdiri atas cairan

serum, jaringan desidua, leukosit, dan eritrosit.

d) Perubahan Ligamen

Ligament-ligamen dan diafragma pelvis serta fasia

yang meregang sewaktu kehamilan dan partus,

setelah janin lahir, berangsur-angsur menciut

kembali seperti sedia kala. Tidak jarang

ligamentum rotundum menjadi kendor yang

mengakibatkan letak uterus menjadi retrofleksi atau

wanita sering mengeluh kandungannya turun

setelah melahirkan oleh karena ligament, fasia,

jaringan penunjang alat genetalia menjadi kendor

(Marmi, 2014).

e) Perubahan Pada Serviks

Perubahan pada serviks terjadi setelah bayi lahir,

serviks menjadi sangat lembek, kendur, dan

terkulai. Rongga leher serviks bagian luar akan

membentuk seperti keadaan sebelum hamil pada

saat empat minggu post partum. Setelah persalinan

buatan atau jika ada perdarahan, walaupun

kontraksi uterus baik dan darah yang keluar

berwarna merah muda harus dilakukan pemeriksaan

dengan speculum. Jika ada robekan yang berdarah


atau robekan yang lebih besar dari 1 cm, robekan

tersebut hendaknya dijahit.

f) Perubahan pada vulva, vagina dan perineum

Jumlah perdarahan dari vagina setelah pembedahan

harus dipantau dan fundus uterus harus sering

dipalpasi untuk memastikan uterus tetap

berkontraksi. Pada seksio sesarea perineum tidak

terjadi robekan atau peregangan.

2) Rasa nyeri

Luka pembedahan sectio caesarea pada

abdomen biasanya akan menimbulkan rasa sakit atau

perih pada hari pertama, setelah efek pembiusan

telah hilang. Namun biasanya rasa sakit itu akan

berkurang pada keesokan harinya. Adapun bekas

potongan yang dilakukan pada otot-otot perut ikut

terpotong pada saat pembedahan. Akibat efek

analgesia konduksi menghilang atau wanita telah

sadar dari anestesi umum, palpasi mungkin

menimbulkan rasa tidak nyaman (Rasjidi, 2009).

3) Perubahan Sistem Pencernaan

a) Nafsu Makan

Pengaruh anesthesia dan obat perioperative akan

menimbulkan rasa mual dan muntah selama 12


jam pasca operasi sehingga dapat diberikan obat

anti mual dan muntah. Pemberian cairan 3 liter

termasuk larutan RL sudah cukup untuk

pembedahan dan dalam 24 jam pertama. Pada

kasus-kasus tanpa komplikasi, makanan padat

dapat diberikan dalam waktu 8 jam pascaoperasi

(Cunningham,2012).

b) Motilitas

Penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna

menetap selama waktu yang singkat setelah bayi

lahir. Kelebihan analgesia dan anesthesia bisa

memperlambat pengembalian tonus dan motilitas

keadaan normal (Marmi,2014).

c) Usus

Operasi seksio sesarea berulang, resiko cedera

usus lebih besar bila dilakukan insisi midline

daripada pfannenstiel. BAB secara spontan bisa

tertunda selama 2-3 hari setelah melahirkan

akibat tonus otot menurun selama proses

persalinan, diare sebelum melahirkan, kurang

makan, atau dehidrasi.

4) Perubahan Sistem Perkemihan


Pengaruh akibat anesthesia akan mempengaruhi

fungsi kandung kemih sehingga tidak dapat

merasakan apakah kandung kemih penuh atau sudah

kosong. Kateter vesika urinaria umumnya dapat

dilepas dalam waktu 12 jam setelah operasi atau

keesokan pagi setelah pembedahan.

5) Perubahan Sistem Muskuloskeletal

Pengaruh dari anesthesia spinal, akan menyebabkan

tungkai bawah terasa kebas/baal, tidak dapat

digerakkan selama beberapa jam. Ligamen-ligamen,

fasia dan diafragma pelvis yang meregang sewaktu

kehamilan dan persalina berangsur-angsur kembali.

6) Produksi ASI

Efek dari pembiusan dapat mempengaruhi produksi

ASI jika dilakukan pembiusan total (Narkose).

Akibatnya, kolostrum tidak bisa dinikmati bayi dan

bayi tidak dapat segera menyusui begitu ia

dilahirkan. Namun jika dilakukan pembiusan

regional (missal spinal) tidak banyak mempengaruhi

produksi ASI.

7) Sistem Endokrin

a) Oksitosin
Selama tahap ketiga persalinan, hormone

oksitosin berperan dalam pelepasan plasenta dan

mempertahankan kontraksi, sehingga mencegah

perdarahan. Isapan bayi merangsang produksi

ASI dan sekresi oksitosin (Saleha, 2009).

b) Prolaktin

Menurunnya kadar estrogen merangsang kelenjar

pituitary bagian belakang untuk mengeluarkan

prolactin. Hormone ini berperan dalam

pembesaran payudara untuk merangsang

produksi susu (Saleha, 2009).

c) Estrogen dan progesterone

Volume darah normal selama kehamilan akan

meningkat. Hormon estrogen yang tinggi

memperbesar hormon antidiuretic yang dapat

meningkatkan volume darah. Sedangkan hormon

progesterone mempengaruhi otot halus yang

mengurangi perangsangan dan peningkatan

pembuluh darah. Hal ini mempengaruhi saluran

kemih, ginjal, usus, dinding vena, dasar panggul,

perineum dan vulva serta vagina (Saleha, 2009).

8) Perubahan Tanda-Tanda Vital

a) Suhu
Suhu tubuh wanita inpartu tidak lebih dari

37,20C. Sesudah partus dapat naik ±0,50C dari

keadaan normal, namun tidak akan melebihi 80C.

Jika suhu badan >380C mungkin terjadi infeksi

(Saleha,2009).

b) Nadi dan pernapasan

Nadi berkisar antara 60-80 kpm setelah partus

dan dapat terjadi bradikardi. Bila takikardi dan

suhu tubuh tidak panas mungkin ada perdarahan

berlebihan atau ada vitium kordis pada penderita.

Pernapasan akan sedikit meningkat setelah partus

kemudian kembali seperti keadaan semula

(Saleha,2009).

c) Tekanan darah

Pasca persalinan pada kasus tanpa komplikasi,

Td biasanya tidak berubah. Perubahan TD

menjadi lebih rendah pasca melahirkan dapat

diakibatkan oleh perdarahan. TD tinggi pada post

partum merupakan tanda terjadinya pre eklamsia

post partum (Marmi,2014).

9) Perubahan sistem Hematologi dan Kardiovaskuler

Leukositosis adalah meningkatnya jumlah sel-sel

darah putih sampai sebanyak 15000 selama masa


persalinan. Leukosit akan tetap tinggi jumlahnya

selama beberapa hari pertama post partum. Kadar

fibrinogen dan plasma akan sedikit menurun tetapi

darah lebih mengenal dengan peningkatan viskositas

sehingga meningkatkan faktor pembekuan darah.

Pada post operasi volume darah cenderung

mengalami penurunan dan kadang diikuti

peningkatan suhu selama 24 jam pertama. Pada 6-8

jam pertama biasanya terjadi bradikardi dan

perubahan pola napas akibat efek anestesi.

10) Mobilisasi

Ibu tetap berada diranjang selama 6-8 jam pertama

setelah operasi section caesarea. Gerak tubuh yang

dapat dilakukan adalah menggerakkan lengan,

tangan, kaki, dan jari-jari agar kerja pencernaan

kembali normal. Ibu mulai dapat duduk pada 24 jam

pertama post SC. Setelah 24 jam, ibu dapat mencoba

berjalan.

C. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian Fokus

Menurut Doengoes (2001) focus pengkajian sectio caesarea :

a. Pengkajian dasar data klien


Tinjau ulang catatan prenatal dan intranatal dan adanya

indikasi untuk kelahiran sesaria.

b. Sirkulasi

Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira

600-800 ml.

c. Integritas ego

Dapat menunjukkan labilitas emosional, dari kegembiraan,

sampai ketakutan, marah, atau menarik diri.

d. Eliminasi

Kateter mungkin terpasang, urin jernih pucat, bising usus

tidak ada, samara tau jelas, perasaan penuh atau tekanan

pada rectum, nyeri saat defekasi, darah merah segar

menyertai pengeluaran feces, perubahan pola defekasi,

penurunan frekuensi, penurunan volume feses, feses kering

dank eras, dan padat. Massa abdomen, feses cair, dysuria,

urgensi, sering berkemih, resitensi, inkontinensia, nokturia

dan resistensi.

e. Makanan dan cairan

Masukan oral, mual, muntah, edema, membrane mukosa,

haus, penurunan turgor kulit dan lidah, penurunan haluaran

urin, penurunan pengisian vena, kulit dan membrane mukosa

kering, hematocrit meningkat, suhu tubuh meningkat,


peningkatan frekuensi nadi, penurunan tekanan darah,

penurunan volume darah, konsentrasi urin meningkat.

f. Neurosensori

Kerusakan gerakan dan sensasi dibawah tingkat anestesia

spinal epidural. Penurunan waktu reaksi, kesulitan

membolak-balik posisi tubuh, perubahan cara berjalan,

keterbatasan melakukan keterampilan motoric halus,

keterbatasan melakukan motoric kasar, keterbatasan rentang

pergerakan sendi.

g. Nyeri/ketidaknyamanan

Mungkin mengeluh ketidaknyamanan dari berbagai sumber

misalnya trauma bedah, distensi kandung kemih/abdomen,

efek-efek anestesia. Perubahan tonus otot, perubahan selera

makan, perilaku distraksi, wajah topeng(nyeri), bukti nyeri

yang dapat diamati, dan gangguan tidur.

h. Pernapasan

Bunyi paru jelas dan vesikuler.

i. Keamanan

Balutan abdomen dapat nampak sedikit/kering dan utuh,

jalur parenteral bila digunakan, paten dan bebas eritema,

bengkak dan nyeri tekan.

j. Seksualitas
Fundus kontraksi kuat dan terletak diumbilikus. Aliran

lochea sedang dan bebas bekuan berlebihan atau banyak.

k. Pembelajaran/penyuluhan

Kelahiran caesarea yang tidak direncanakan, dapat

mempengaruhi kesiapan dan pemahaman ibu terhadap

prosedur.

l. Pemeriksaan diagnostik

Jumlah darah lengkap, hemoglobin (Hb/Ht): mengkaji

perubahan dari kadar praoperasi dan mengevaluai efek

kehilangan darah pada pembedahan.

Urinolisis: kultur urine, darah, vaginal, dan lochia.

Pemeriksaan tambahan didasarkan pada kebutuhan

individual.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri Akut berhubungan dengan insisi pascabedah

Definisi: pengalaman sensori dan emosi yang tidak

menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang

actual atau potensial, atau digambarkan dengan istilah

seperti (International Association for the Study of pain);

awitan yang tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan

sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat

diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan (Nanda,

NIC NOC, 2015).


Batasan Karakteristik (Nanda, NIC NOC, 2015):

1) Subjektif

Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan (nyeri)

dengan isyarat.

2) Objektif

Posisi untuk menghindari nyeri, perubahan tonus otot,

respon autonomic, perubahan selera makan, perilaku

menjaga atau sikap melindungi, perubahan tekanan

darah, perubahan warna kulit, gangguan tidur.

b. Kekurangan Volume Cairan berhubungan dengan

kehilangan cairan aktif

Definisi: penurunan cairan intravaskuler, interstisial, atau

intrasel, Diagnosis ini merajuk pada dehidrasi yang

merupakan kehilangan cairan saja tanpa perubahan kadar

natrium (Nanda, NIC NOC, 2011):

1) Subjektif

Haus

2) Objektif

Perubahan status mental, penurunan turgor kulit dan

lidah, penurunan haluaran urin, penurunan pengisian

vena, kulit dan membrane mukosa kering, hematocrit

meningkat, suhu tubuh meningkat, peningkatan frekuensi

nadi, penurunan tekanan darah, penurunan volume dan


tekanan nadi, konsentrasi urin meningkat, penurunan

berat badan yang tia-tiba (kecuali pada ruang ketiga),

kelemahan.

c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kurang

pengetahuan tentang aktivitas fisik, gangguan rasa nyaman

nyeri, intoleransi aktivitas

Definisi: keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu lebih

ekstremitas secara mandiri dan terarah.

Batasan Karakteristik (Nanda, NIC NOC, 2015):

1) Penurunan waktu reaksi

2) Kesulitan membolak balik posisi

3) Melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan

(missal : meningkatkan perhatian pada aktivitas orang

lain, mengendalikan perilaku)

4) Dyspnea saat beraktivitas

5) Perubahan cara berjalan

6) Pergerakan menentak

7) Keterbatasan kemampuan untuk melakukan ketrampilan

motorik halus

d. Resiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invasive

Definisi: beresiko terhadap invasi organisme pathogen

(Nanda, NIC NOC, 2015).


e. Deficit perawatan diri berhubungan dengan hambatan

mobilitas fisik

Definisi: suatu keadaan seseorang yang mengalami

hambatan kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan

diri, seperti mandi, berganti pakaian, makan, dan eliminasi

(Nanda, NIC NOC, 2011).

f. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas saluran

cerna

Definisi: penurunan pada frekwensi normal defekasi yang

disertai oleh kesulitan atau pengeluaran tidak lengkap fases

atau pengeluaran fases yang kering, keras, dan banyak.

1) Subjektif

Nyeri abdomen, nyeri tekan pada abdomen dengan atau

tanpa resistensi otot yang dapat dipalpasi, anoreksia,

perasaan penuh atau tekanan pada rectum, kelelahan

umum, sakit kepala, peningkatan tekanan abdomen,

mual, nyeri saat defekasi.

2) Objektif

Darah merah segar menyertai pengeluaran fese,

perubahan pada suara abdomen, perubahan pada pola

defekasi, penurunan frekuensi, penurunan volume feses,

distensi abdomen, feses yang kering, dan padat, bising

usus hiperaktif atau hipoaktif, rembesan feses cair, massa


abdomen dapat dipalpasi, massa rektal dapat dipalpasi,

adanya feses lunak, seperti pasta didalm rectum, bunyi

pekak pada perkusi abdomen, mengejan saat defekasi,

tidak mampu mengeluarkan feses, muntah.

g. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penurunan

tonus otot kandung kemih

Definisi: difungsi pada eliminasi urin (Nanda, NIC NOC,

2015).

Batasan karakteristik (Nanda, NIC NOC, 2015):

1) Subjektif

Dysuria, urgensi

2) Objektif

Sering berkemih, resistensi, inkontinensia, nokturia.

h. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan

ketidakadekuatan suplai ASI

Definisi: ketidak puasan atau kesulitan ibu, bayi, atau anak

menjalani proses pemberian ASI (Nanda, NIC NOC, 2015).

Batasan karakteristik (Nanda, NIC NOC, 2015):

1) Subjektif

Ketidakpuasan proses menyusui (seperti yang

diungkapkan ibu)

2) Objektif
Ketidak puasan suplai ASI, menangis dipayudara ibu,

menangis dalam waktu satu jam setelah menyusui,

ketidak cukupan pengosongan setiap payudara setelah

menyusui, kesempatan mengisap pada payudara yang

tidak mencukupi, tidak tampak tanda pelepasan

oksitosin, luka putting yang menetap setelah minggu

pertama menyusui, ketidak mampuan bayi untuk latch-

on pada payudara ibu secara cepat, menolak latching on,

tidak responsive terhadap kenyamanan lain, tidak

menghisap payudara terus menerus.

i. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang

informasi

Definisi: tidak ada atau kurang informasi kognitif tentang

topik tertentu (Nanda, NIC NOC, 2015).

Batasan karakteristik (Nanda, NIC NOC, 2015):

1) Subjektif

Mengungkapkan masalah secara verbal.

2) Objektif

Perilaku hiperbola, ketidakakuratan mengikuti perintah,

ketidakakuratan melakukan tes, perilaku tidak tepat (mis,

hysteria, bermusuhan, agitasi, apatis).

3. Intervensi Keperawatan

a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan


Tujuan/Kriteria evaluasi (NOC)

1) Paien mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri,

mampu menggunakan teknik nonfarmakologi untuk

mengurangi nyeri)

2) Pasien melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan

menggunakan manajemen nyeri

3) Pasien mampu mengenali nyeri (skala, intensitas,

frekuensi dan tanda nyeri)

4) Pasien mengatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

NIC:

1) Observasi TTV klien

2) Kaji nyeri yang komprehensif meliputi lokasi,

karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas,

intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor

presipitasinya.

3) Kendalikan faktor lingkungan yang dapat

mempengaruhi respons pasien terhadap

ketidaknyamanan (misalnya, suhu ruangan,

pencahayaan, dan kegaduhan)

4) Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi untuk mengurangi

ketidaknyamanan
5) Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri,

berapa lama akan berlangsung, dan antisipasi

ketidaknyamanan akibat prosedur

6) Kolaborasi dalam pemberian analgesic untuk

menghilangkan atau mengurangi nyeri

b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan

cairan aktif

Tujuan/kriteria evaluasi(NOC):

Kekurangan volume cairan teratasi, dibuktikan oleh

keseimbangan cairan, keseimbangan elektrolit dan asam

basa, hidrasi yang adekuat, dan status nutrisi: asupan

makanan dan cairan yang adekuat.

NIC:

1) Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan

2) Observasi khususnya terhadap kehilangan cairan yang

tinggi elektrolit

3) Pantau perdarahan

4) Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan

keseimbangan cairan

5) Anjurkan pasien untuk menginformasikan perawat bila

haus

6) Berikan terapi IV sesuai program dan atur ketersediaan

produk darah untuk tranfusi bila perlu


c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kurang

pengetahuan tentang aktivitas fisik

Tujuan/Kriteria evaluasi (NOC)

1) Pasien mampu memperlihatkan penggunaan alat

bantu secara benar dengan pengawasan

2) Pasien mampu meminta bantuan untuk aktivitas

mobilitas bila perlu

3) Pasien mampu melakukan aktivitas kehidupan

sehari-hari secara mandiri dengan alat bantu

4) Pasien mampu menyangga berat badan

NIC :

1) Monitoring vital sign sebelum / sesudah latihan dan

lihat respon pasien saat latihan

2) Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana

ambulasi sesuai dengan kebutuhan

3) Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat

berjalan dan cegah terhadap cedera

4) Ajarkan pasien tentang teknik ambulasi

5) Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi

6) Latih pasien dalam pemenuhan ADL secara mandiri

sesuai kebutuhan

7) Damping dan bantu pasien saat mobilisasi dan

pemenuhan kebutuhan ADL


8) Berikan alat bantu jika klien memerlukan

d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive

Tujuan/kriteria evaluasi(NOC):

1) Faktor resiko infeksi akan hilang, dibuktikan oleh

pengendalian resiko penyembuhan luka

2) Pasien terbebas dari tanda dan gejala infeksi

3) Jumlah leukosit dalam batas normal

NIC:

1) Observasi tanda dan gejala infeksi

2) Kaji faktor yang dapat meningkatkan kerentangan

terhadap infeksi

3) Lindungi pasien terhadap kontaminasi silang yang dapat

menyebabkan infeksi

4) Instruksikan untuk menjaga personal hygiene untuk

melindungi tubuh terhadap infeksi

5) Berikan terapi antibiotic, bila diperlukan.

e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan hambatan

mobilitas fisik

Tujuan/kriteria evaluasi (NOC):

1) Klien mampu melakukan tugas fisik yang paling

mendasar dan aktivitas perawatan pribadi secara mandiri

atau dengan alat bantu


2) Klien mampu untuk melakukan aktivitas perawatan fisik

dan pribadi secara mandiri atau dengan alat bantu

NIC:

1) Observasi tingkat kekuatan dan toleransi aktivitas

pasien

2) Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan hygiene

3) Dukung kemandirian pasien dalam memenuhi ADL

4) Pertimbangkan budaya pasien ketika mempromosikan

aktivitas perawatan diri

f. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas saluran

cerna

Tujuan/kriteria evaluasi (NOC):

1) Mempertahankan bentuk feses lunak setiap 1-3 hari

2) Bebas dari ketidaknyamanan dan konstipasi

3) Mengidentifikasi idikator untuk mencegah konstipasi

4) Feses lunak dan berbentuk

NIC:

1) Monitor tanda dan gejala konstipasi

2) Kaji dan dokumentasikan warna, frekuensi, dan

konstipasi feses pertama pascaoperasi, keluarnya flatus,

adanya impaksi.
3) Tekankan pentingnya menghindari mengejan selama

defekasi untuk mencegah perubahan pada tanda vital dan

perdarahan.

4) Anjurkan pasien untuk diet tinggi serat

5) Jelaskan etiologi masalah dan rasional tindakan kepada

pasien

6) Konsultasi dengan ahli gizi untuk meningkatkan serat

dan cairan dalam diit

g. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penurunan

tonus otot kandung kemih

Tujuan/kriteria evaluasi (NOC)

1) Menunjukkan kandung kemih secara penuh

2) Tidak ada residu urine >100-200 cc

3) Bebas dari Infeksi saluran kemih

4) Intake cairan dalam rentang normal

NIC:

1) Pantau eliminasi urin, meliputi frekuensi, konsistensi,

bau, volume, dan warna dengan tepat

2) Dapatkan specimen urin untuk urinalisis

3) Memantau tingkat distensi kandung kemih dengan

palpasi dan perkusi

4) Jelaskan pada pasien tanda dan gejala infeksi saluran

kemih
5) Rujuk kedokter bila terdapat tanda dan gejala infeksi

saluran kemih

h. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan

ketidakadekuatan suplai ASI

Tujuan/kriteria evaluasi (NOC):

1) Ibu dan bayi akan mengalami keefektifan pemberian ASI

yang ditunjukkan oleh kemantapan pemberian ASI:

Bayi/Ibu : perlekatan bayi yang sesuai pada proses

menghisap dari payudara ibu untuk memperoleh nutrisi

selama 3 minggu pertama pemberian ASI.

2) Pemeliharaan pemberian ASI

3) Ibu mempertahankan keefektifan pemberian ASI selama

yang diinginkan bayi

4) Ibu mengindikasikan kepuasan terhadap pemberian ASI

NIC:

1) Kaji kemampuan bayi untuk latch on dan menghisap

secara efektif

2) Motivasi ibu untuk menyusui sesuai keinginan bayi

3) Instruksikan ibu dalam teknik menyusui yang

meningkatkan keterampilan dam menyusui bayinya

4) Instruksikan ibu untuk menggunakan kedua

payudaranya secara bergantian setiap kali menyusui


5) Sediakan informasi tentang keuntungan dan kerugian

pemberian ASI

i. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang

informasi

Tujuan/kriteria evaluasi (NOC):

1) Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang

penyakit, kondisi, dan program pengobatan

2) Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur

yang dijelaskan secara benar

NIC:

1) Beri penyuluhan sesuai dengan tingkat pemahaman

pasien, ulangi informasi bila diperlukan

2) Diskusikan pilihan terapi atau penanganan

3) Beri materi pengajaran yang sesuai

4) Ikut sertakan keluarga atau orang terdekat, bila perlu.

4. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan dilakukan setelah melakukan

tindakan keperawatan bertujuan untuk menilai sejauh mana

keefektifan dan keberhasilan tindakan keperawatan tang telah

diberikan.

Tahap evaluasi dapat dilakukan secara formatif dan

sumatif. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan


selama proses asuhan keperawatan sedangkan evaluasi sumatif

adalah evaluasi akhir. Menurut Irene M. Bobak (2005) untuk

menjadi efektif, evaluasi perlu didasarkan pada kriteria yang

dapat diukur, yang mencerminkan hasil akhir perawatan yang

diharapkan.
BAB III

LAPORAN KASUS

Penulis melakukan pengkajian pada tanggal 11 Januari 2016, jam 14.00

WIB, pada klien post sectio caesarea(SC) atas indikasi Riwayat Sectio Secarea di

Bangsal Nifas Budi Rahayu RSU TIDAR KOTA MAGELANG. Sumber data

diperoleh dari wawancara dengan klien dan keluarga, observasi secara langsung

serta dari status klien.

A. Biodata Klien

Identitas klien bernama Ny. S, dengan usia 29 tahun. Klien berjenis

kelamin perempuan, beragama islam dan bertempat tinggal di Jl.Jeruk 3 No 2

RT 04 RW 06 Desa Kalinegoro Kecamatan Mertoyudan Kabupaten

Magelang. Klien merupakan orang asli Jawa dan berkebangsaan Indonesia,

pekejaan klien sebagai ibu rumah tangga.

Penanggung jawab klien yaitu suami klien yang bernama Tn.A , berusia

43 tahun. Suami klien beragama islam dan saat ini bekerja sebagai buruh, Tn.

A beralamat di Jl.Jeruk 3 No 2 RT 04 RW 06 Desa Kalinegoro Kecamatan

Mertoyudan Kabupaten Magelang. Klien datang ke Budi Rahayu RSU TIDAR

MAGELANG pada tanggal 10 Januari 2016, jam 17.10 WIB atas rujukan dari

puskesmas. Klien terdaftar dengan Nomor Rekam Medis : dan diagnosa medis

post sectio caesarea atas indikasi riwayat sectio caesarea.

B. Pengkajian

1. Riwayat keperawatan
Keluhan utama yang dirasakan oleh klien pada saat dilakukan

pengkajian pada tanggal 11 Januari 2016 adalah nyeri pada luka jahitan

post operasi. Riwayat kesehatan saat ini, Ny. S usia 29 tahun

G3P2A1dengan usia kehamilan 38 minggu , klien datang ke Budi Rahayu

RSU Tidar Kota Magelang pada tanggal 10 Januari 2016 jam 17.10 WIB

diantar bidan dan keluarga dengan keluhan kenceng-kenceng sejak sabtu 9

Januari 2016, sudah melakukan pemeriksaan ke bidan dan belum adanya

tanda-tanda persalinan dan tidak mengalami pembukaan selama ±24 jam

dengan DJJ 138 kali per menit kemudian bidan merujuk klien untuk ke

Budi Rahayu RSU Tidar Kota Magelang. Pada tanggal 11 Januari 2016

pukul 09.20 WIB dilakukan tindakan sectio caesareaatas indikasi riwayat

sectio caesareadengan jenis anestesi spinal. Tindakan SC berakhir pukul

10.00 WIB dan lahir bayi laki-laki dengan berat badan 3750 gram dan

panjang badan 48 cm.

Riwayat kesehatan klien, klien mengatakan sudah pernah dirawat di

rumah sakit dengan riwayat yang sama yaitu dilakukannya operasi sectio

caesarea pada tahun 2009. Klien juga mengatakan tidak mempunyai

riwayat kesehatan seperti pembuluh darah, radang / infeksi organ

reproduksi, depresi maupun gangguan jiwa.Riwayat kesehatan keluarga

tidak mempunyai penyakit menular maupun penyakit keturunan.

Riwayat pernikahan, usia pernikahan klien dengan suaminya sudah 4

tahun. Ny. S menikah untuk yang kedua kalinya dan ketika menikah status

ibu janda.
Riwayat Obstetri, klien menarche pada usia 13 tahun dengan lama

haid 7 hari,siklus haid 28 hari. Banyaknya darah haid sedikit / spoting,

kadang nyeri saat haid dan tidak ada keputihan dengan status HPHT pada

tanggal April 2015 dan HPL pada tanggal 24 Januari 2016.

Riwayat kehamilan sekarang, status G3P2A1dengsn usia kehamilan

38 minggu. Selama kehamilan klien mengatakan mengalami keluhan,

yaitu pada trimester I klien mengatakan sering mual-mual.

Pemeriksaan kehamilan klien di puskesmas dilakukan pada usia

kehamilan trimester I-II setiap bulan sekali, sedangkan pada usia

kehamilan trimester III setiap 2 minggu sekali dan imunisasi TT dilakukan

sebanyak 2 kali. ANC 6 kali.

Riwayat KB, klien mengatakan sebelumnya sudah menggunakan alat

kontrasepsi yaitu KB suntik. Bayi lahir dengan SC pada tanggal 11 Januari

2016 pukul 09.20 WIB dengan BB 3750 gram, panjang badan 48 cm, dan

berjenis kelamin laki-laki.

2. Pengkajian Data Fokus

Pengkajian data dasar menurut Doengos (2001) diperoleh data

sebagai berikut :

Pengkajian aktivitas dan latihan klien mengatakan untuk memenuhi

kebutuhan masih dibantu keluarga, klien mengatakan jika untuk bergerak

terasa sakit, klien mengatakan baru berlatih menggerakkan kaki dan

miring, klien tampak berhati-hati saat bergerak, skala ketergantungan 2.


Pengkajian sirkulasi : TD 120/80 mmHg, suhu 36,5oC, nadi 80 kali

per menit. Makanan dan cairan : A :berat badan sebelum hamil 54 kg,

sesudah hamil hamil 70kg, tinggi badan 158 cm, B : Hb 11,3 g/dl, C :

rambut hitam, mukosa bibir lembab berwarna merah muda, D : diit TKTP,

klien makan habis ¾ porsi karena sudah terasa kenyang, minum air putih

kurang lebih 8 gelas per hari, anak klien mendapatkan ASI pada sore hari

dan mendapat makanan tambahan berupa susu formula.

Pengkajian eliminasi : klien mengatakan sejak tanggal 09 Januari

2016 belum BAB, BAK melalui kateter, warna urin kuning jernih kurang

lebih 700 cc/8jam.

Pengkajian integritas Ego : klien mengaku bahagia atas kelahiran

anak ketiganya, saat ini pada fase taking hold dimana ibu berusaha mandiri

dan ingin segera merawat bayinya, klien masih membutuhkan bantuan

untuk beraktivitas.

Pengkajian neurosensori : klien mengatakan nyeri pada luka

operasi dan sakit saat bergerak.

Pengkajian ketidaknyamanan : klien mengatakan nyeri pada luka

post operasi, P : nyeri saat bergerak, Q : seperti ditusuk-tusuk, R :

abdomen, S : skala 7,T : bertambah jika bergerak, menahan nyeri, berhati-

hati saat bergerak.

Pengkajian keamanan : klien masih takut untuk bergerak karena

masih nyeri.
Pengkajian seksualitas : Vulva tidak ada oedem, pengeluaran

lochea rubra darah berwarna merah, terpasang DC genetalia klien

700cc/8jam.

Pengkajian pengetahuan/pembelajaran : klien mengatakan belum

mengetahui tentang nutrisi ibu menyusui. Saat ANC klien mendapatkan

informasi mengenai KB dan saat operasi klien sudah langsung dilakukan

KB steril/MOW.

Pengkajian fisik didapatkan data : kesadaran composmentis, tanda-

tanda vital TD : 120/80 mmHg, suhu 36,5oC, nadi 80 kali per menit.

Pengkajian pada kepala klien : bentuk mesochepal, ranmbut terlihat

bersih, berwarna hitam, panjang, bergelombang, tidak rontok. Mata :

kedua mata simetris, tidak ada gangguan penglihatan, sclera tidak ikterik,

pupil isokor, dan conjungtivita merah muda. Hidung dalam keadaan

bersih, tidak ada polip.Mulut tidak stomatitis, mukosa bibir lembab, gigi

bersih dan tidak ada karies. Telinga terlihat bersih, tidak ada serumen,

tidak ada gangguan pendengaran. Leher tidak ada pembesaran kelenjar

tiroid. Pada payudara, inspeksi : aerola berwarna hitam, putting susu

menonjol, simetris, tidak bengkak, kedua payudara simetris. Palpasi :

payudara teraba agak keras, air susu keluar.

Ekstremitas atas dinyatakan tidak ada udem maupun sianosis,

fungsi normal, akral hangat, homan sign negative dan terpasang infuse RL

pada tangan kanan, sedangkan ekstremitas bawah tidak ada udem maupun
sianosis, tidak ada varises, fungsi normal, reflek patella +/+, homan sign

negative, akral teraba hangat, tidak pucat, CRT <2 detik.

Pengkajian dada klien : bagian jantung iktus cordis tidak tampak,

iktus cordis teraba di IC 4 dan IC 5 mid clavikula kiri, terlihat redup dan

bunyi jantung normal. Paru-paru, ekspansi paru kanan dan kiri simetris,

vocal fremitus bergetar sama, resonan dan vesikuler.

Pengkajian abdomen, inspeksi perut terdapat balutan luka operasi

secara horizontal ± 14 cm, balutan luka bersih, tidak ada pus, tidak ada

kemerahan dan tdak bengkak. Palpasi terdapat nyeri tekan disekitar luka

operasi. Auskultasi bising usus 11 kali per menit. Perkusi perut timpani.

Genetaia :Vulva tidak ada oedem, pengeluaran lochea rubra darah

berwarna merah, terpasang DC genetalia klien 700cc/8jam.

Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 10 Januari 2016,

Lekosit : 11,7 103/mm, Hematokrit : 35,7 %, Hemoglobin 11,3 g/dl,

Eritrosit: 4,4 106/mm, Trombosit : 307 103/mm, MCV : 81,9 mm3, MCH :

25,9 pg, MCHC : 31,7 g/dl, Golongan darah : O.

Tanggal 11 Januari 2016 klien mendapatkan terapi injeksi

ceftriaxone 2x1 gram, ketorolac 3x30 mg, kalnex 3x500 mg dan infus RL

+ piton 1ampul 20 tpm.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan data diatas penulis telah melakukan pengelompokkan data

serta melakukan analisa data, maka muncul diagnosa keperawatan sebagai

berikut :
1. Nyeri akut berhubugan dengan insisi pembedahan ditandai dengan DS :

klien mengatakan nyeri pada luka operasi dengan karakteristik P : nyeri

saat bergerak, Q : seperti tertusuk-tusuk, R : abdomen, S : skala 7, T :

bertambah saat bergerak. DO : klien tampak mengernyitkan dahi saat

nyeri, tampak menahan nyeri, tampak adanya luka operasi, dan berhati-

hati saat bergerak, TD : 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit.

2. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif ditandai dengan DS :

- , DO : tampak balutan luka operasi melintang kurang lebih 14 cm,

balutan luka bersih, balutan tak ada pus, daerah sekitar luka tidak bengkak,

tidak panas, tidak kemerahan, suhu 36,5oC.

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan trauma jaringan ditandai

dengan DS : klien mengatakan belum bisa menggerakkan kedua kaki

karena takut terdapat nyeri luka operasi, DO : KU lemah, TD : 120/80

mmHg, N : 80 x/menit.

D. Perencanaan

1. Tujuan yang diharapkan dari masalah keperawatan yang pertama adalah

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan

masalah nyeri teratasi dengan kriteria hasil klien mampu mengenali awitan

nyeri, klien melaporkan secara verbal nyeri berkurang, skala nyeri turun

menjadi 1-2 atau bahkan 0, klien tampak rileks, TTV dalam batas normal.

Intervensi yang disusun yaitu Observasi TTV klien, kaji nyeri yang

komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi,

kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor pencetusnya, atur


posisi yang nyaman, ajarkan teknik distraksi dan relaksasi untuk

mengurangi ketidaknyamanan, berikan informasi tentang nyeri, seperti

penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisipasi

ketidaknyamanan akibat prosedur, kolaborasi dalam pemberian analgesik

untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri).

2. Tujuan yang diharapkan dari masalah keperawatan yang kedua adalah

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam infeksi tidak

terjadi dengan kriteria hasil : luka bersih, luka kering, tak ada tanda-tanda

infeksi (kemerahan, oedema, pus dan panas), suhu 36-37oC. Intervensi

yang disusun adalah Observasi tanda dan gejala infeksi (suhu tubuh,

denyut jantung, drainase, penampilan luka, sekresi, penampilan urine,

suhu kulit, lesi kulit, keletihan dan malaise), lakukan inspeksi daerah

balutan luka dan perawatan luka dengan prinsip steril, anjurkan klien

makan-makanan tinggi protein, kaji faktor yang dapat meningkatkan

kerentangan terhadap infeksi, lindungi pasien terhadap kontaminasi silang

yang dapat menyebabkan infeksi, anjurkan untuk menjaga hygiene

personal untuk melindungi tubuh terhadap infeksi, kolaborasi dengan

dokter pemberian antibiotik..

3. Tujuan yang diharapkan dari masalah keperawatan yang ketiga adalah

setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3 x 24 jam hambatan

mobilitas fisik teratasi dengan kriteria hasil klien mampu melakukan

aktifitas fisik secara mandiri. Intervensi yang tersusun adalah kaji tingkat

kemampuan klien untuk beraktivitas(tingkat 0 : mandiri total, tingkat 1 :


memerlukan alat bantu, tingkat 2 : memerlukan bantuan dari orang lain,

tingkat 3 : membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu, tingkat 4 :

ketergantungan, tidak berpartisipasi dalam aktivitas), latih mobilitas pada

klien (tahapan mobilisasi pada klien post sectio caesarea), beri informasi

kepada klien penyebab hambatan mobilitas fisik dan tujuan dilakukannya

mobilisasi pada klien.

E. Implementasi

1. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan

a. Tindakan yang dilakukan pada tanggal 11 Januari 2016 pada pukul

14.00 WIB mengobservasi TTV klien. Jam 14.15 WIB mengkaji nyeri

yang komprehensif. Jam 15.00 WIB mengatur posisi yang nyaman.

Jam 15.30 WIB mengajarkan teknik distraksi dengan klien tetap rileks

serta mengendorkan otot-ototnya, dan jam 16.00 WIB kolaborasi

dalam pemberian analgesic yaitu ketorolac secara vena.

b. Tindakan yang dilakukan pada tanggal 12 Januari 2016 pada pukul

08.00 WIB mengobservasi TTV klien, jam 09.00 WIB mengkaji nyeri

yang komprehensif. Jam 10.00 WIB mengatur posisi yang nyaman.

Jam 11.00 WIB mengajarkan teknik distraksi dengan membayangkan

hal-hal yang disukai klien, dan pada jam 12.00 WIB kolaborasi dalam

pemberian analgesic yaitu ketorolac secara vena.

c. Tindakan yang dilakukan pada tanggal 13 Januari 2016 pada pukul

08.00 WIB mengobservasi TTV klien. Jam 08.15 WIB mengkaji nyeri

yang komprehensif. Jam 09.00 WIB mengatur posisi yang nyaman.


Jam 10.00 WIB mengajarkan teknik distraksi. Jam 12.00 WIB

kolaborasi dalam pemberian analgesic yaitu asam mefenamat 500 mg

secara oral.

2. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive

a. Tindakan yang dilakukan pada tanggal 11 Januari 2016 pada pukul

14.00 WIB adalah mengobservasi tanda dan gejala infeksi. Jam 14.15

WIB menganjurkan klien untuk makan-makanan tinggi ptotein dan

tinggi kalori. Jam 15.00 WIB menganjurkan klien unruk menjaga

hygiene personal. Jam 21.00 WIB kolaborasi dengan tim medis dalam

pemberian terapi antibiotic yaitu ceftriaxone 1 gram secara vena.

b. Tindakan yang dilakukan pada tanggal 12 Januari 2016 pada jam 08.00

WIB adalah mengobservasi tanda dan gejala infeksi. Jam 09.00 WIB

menganjurkan klien untuk menjaga hygiene personal. Jam 09.00 WIB

kolaborasi dengan tm medis dalam pemberian terapi antibiotic yaitu

ceftriaxone 1 gram secara vena.

c. Tindakan yang dilakukan pada tanggal 13 Januari 2016 pada jam 08.00

WIB adalah mengobservasi tanda dan gejala infeksi. Jam 08.15

melakukan perawatan luka dengan teknik aseptic. Jam 09.00 WIB

menganjurkan klien menjaga hygiene personal. Jam 09.00 WIB

kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi antibiotic

cefadroxil 500 mg secara oral.

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan trauma jaringan


a. Tindakan yang dilakukan pada tanggal 11 januari 2016 pada jam 14.00

WIB adalah mengkaji tingkat kemampuan klien untuk beraktivitas

(tingkat 0 : mandiri total, tingkat 1 : memerlukan alat bantu, tingkat 2 :

memerlukan bantuan dari orang lain, tingkat 3 : membutuhkan bantuan

dari orang lain dan alat bantu, tingkat 4 : ketergantungan, tidak

berpartisipasi dalam aktivitas). Jam 14.30 WIB melatih mobilitas pada

klien (menggerakkan lengan, tangan, menggerakkan ujung jari kaki

dan memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit, menegakkan otot

betis serta menekuk dan menggeser kaki). Jam 15.00 WIB memberi

informasi kepada klien penyebab hambatan mobilitas fisik dan tujuan

dilakukannya mobilisasi pada klien.

b. Tindakan yang dilakukan pada tanggal 12 Januari 2016 jam 08.00

WIB adalah mengkaji tingkat kemampuan klien untuk

beraktivitas(tingkat 0 : mandiri total, tingkat 1 : memerlukan alat

bantu, tingkat 2 : memerlukan bantuan dari orang lain, tingkat 3 :

membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu, tingkat 4 :

ketergantungan, tidak berpartisipasi dalam aktivitas). Jam 09.00 WIB

melatih mobilitas pada klien (melatih untuk duduk).

c. Tindakan yang dilakukan pada tanggal 13 Januari 2016 jam 08.00

WIB adalah mengkaji tingkat kemampuan klien untuk

beraktivitas(tingkat 0 : mandiri total, tingkat 1 : memerlukan alat

bantu, tingkat 2 : memerlukan bantuan dari orang lain, tingkat 3 :

membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu, tingkat 4 :


ketergantungan, tidak berpartisipasi dalam aktivitas). Jam 09.00 WIB

melatih mobilitas pada klien (melatih klien untuk berdiri dan berjalan)

F. Evaluasi

1. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan

a. Evaluasi yang diambil pada tanggal 11 Januari 2016 jam 14.00 WIB

adalah Subjektif : klien mengatakan nyeri pada luka post operasi, nyeri

saat bergerak pada abdomen seperti tertusuk-tusuk, skala 7 dan

bertambah jika bergerak. Evaluasi Objektif : klien tampak berhati-hati,

klien tampak mengernyitkan dahi saat nyeri, TD : 120/80 mmHg, nadi

80 x/menit, RR 20x/menit. Evaluasi tersebut, dapat dianalisa bahwa

masalah nyeri akut belum teratasi. Perencanaan selanjutnya, lanjutkan

intervensi. Untuk mengurangi nyeri luka setelah operasi, berikan

intervensi kolaborasi pemberian analgetik.

b. Evaluasi yang diambil pada tanggal 12 Januari 2016 jam 08.00 WIB

adalah Subjektif : klien mengatakan nyeri pada luka post operasi

berkurang, nyeri saat bergerak pada abdomen seperti tertusuk-tusuk,

skala 4 dan bertambah jika bergerak. Evaluasi Objektif : klien tampak

berhati-hati, klien tampak meringis kesakitan saat bergerak, TD :

110/80 mmHg, nadi 82 x/menit, RR 22x/menit. Evaluasi tersebut,

dapat dianalisa bahwa masalah nyeri akut belum teratasi. Perencanaan

selanjutnya, lanjutkan intervensi. Untuk mengurangi nyeri luka setelah

operasi, berikan intervensi kolaborasi pemberian analgetik.


c. Evaluasi yang diambil pada tanggal 13 Januari 2016 jam 08.00 WIB

adalah Subjektif : klien mengatakan nyeri pada luka post operasi

berkurang, nyeri saat bergerak pada abdomen seperti tertusuk-tusuk,

skala 2 dan hilang timbul.. Evaluasi Objektif : klien tampak berhati-

hati, klien tampak meringis kesakitan saat nyeri timbul, TD : 110/90

mmHg, nadi 84 x/menit, RR 24x/menit. Evaluasi tersebut, dapat

dianalisa bahwa masalah nyeri akut teratasi. Perencanaan selanjutnya

hentikan intervensi.

2. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

a. Evaluasi yang diambil pada tanggal 11 Januari 2016 jam 14.00 WIb

yaitu didapatkan data obyektif tampak adanya luka bekas operasi

melintang kurang lebih 14 cm, balutan luka operasi tampak bersih,

tidak ada pus, tidak ada kemerahan dan tidak bengkak, suhu 36,70C.

evaluasi tersebut, dapat dianalisa bahwa masalah infeksi tidak terjadi.

Perencanaan selanjutnya, pertahankan intervensi, kolaborasi pemberian

antibiotik.

b. Evaluasi yang diambil pada tanggal 12 Januari 2016 jam 08.00 WIb

yaitu didapatkan data obyektif tampak adanya luka bekas operasi

melintang kurang lebih 14 cm, balutan luka operasi tampak bersih,

tidak ada pus, tidak ada kemerahan dan tidak bengkak, suhu 36,50C.

evaluasi tersebut, dapat dianalisa bahwa masalah infeksi tidak terjadi.

Perencanaan selanjutnya, pertahankan intervensi, kolaborasi pemberian

antibiotik.
c. Evaluasi yang diambil pada tanggal 13 Januari 2016 jam 08.00 WIb

yaitu didapatkan data obyektif tampak adanya luka bekas operasi

melintang kurang lebih 14 cm, balutan luka operasi tampak bersih,

tidak ada pus, tidak ada kemerahan dan tidak bengkak, jahitan luka

tidak belah, suhu 36,50C. evaluasi tersebut, dapat dianalisa bahwa

masalah teratasi, infeksi tidak terjadi. Perencanaan selanjutnya,

hentikan intervensi, kolaborasi pemberian antibiotik.

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan trauma jaringan

a. Evaluasi yang diambil dari diagnosa hambatan mobilitas fisik

berhubungan dengan trauma jaringan pada tanggal 11 januari 2016 jam

14.00 WIB yaitu didapatkan data subyektif klien mengatakan masih

tergantung dengan orang lain, klien masih takut bergerak, sudah bisa

menggerakkan kedua kaki dan akan berlatih miring kanan dan kiri.

Data obyektif klien tampak masih lemah, klien paham dengan tujuan

dilakukannya mobilitas. Evaluasi tersebut, dapat dianalisa bahwa

masalah mobilitas fisik belum teratasi. Perencanaan selanjutnya,

lanjutkan intervensi.

b. Evaluasi yang diambil dari diagnosa hambatan mobilitas fisik

berhubungan dengan trauma jaringan pada tanggal 12 januari 2016 jam

08.00 WIB yaitu didapatkan data subyektif klien mengatakan sudah

miring kanan kiri dan sudah mampu duduk, klien akan berlatih berdiri

dan berjalan. Data obyektif klien tampak sudah mampu duduk.


Evaluasi tersebut, dapat dianalisa bahwa masalah mobilitas fisik belum

teratasi. Perencanaan selanjutnya, lanjutkan intervensi.

c. Evaluasi yang diambil dari diagnosa hambatan mobilitas fisik

berhubungan dengan trauma jaringan pada tanggal 13 januari 2016 jam

08.00 WIB yaitu didapatkan data subyektif klien mengatakan sudah

mampu berdiri dan berjalan, data obyektif klien mampu melakukan

aktivitas dengan bantuan. Evaluasi tersebut, dapat dianalisa bahwa

masalah mobilitas fisik teratasi. Perencanaan selanjutnya, hentikan

intervensi.
BAB IV

PEMBAHASAN DAN SIMPULAN

A. Pembahasan

Penulis dalam bab ini akan membahas tentang asuhan keperawatan

post sectio caesarea atas indikasi riwayat sectio caesarea pada Ny. S di

bangsal nifas Budi Rahayu RSU TIDAR Kota Magelang dimulai dari

tanggal 11 januari 2016 sampai tanggal 13 januari 2016. Pembahasan

difokuskan pada aspek asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian,

analisa data, intervensi, implementasi dan evaluasi. Dalam pembahasan ini

akan diuraikan tentang kesenjangan antara teori dan kenyataan pada

pengelolaan kasus. Penulis akan membahas kembali dan memberikan

informasi, sehingga dapat menjawab pengertian dari diagnosa keperawatan

tersebut, dasar diagnosa ditegakkan, bagaimana masalah muncul, apa

akibatnya jika masalah itu tidak ditangani, dasar ilmiah untuk mengatasi

masalah, tindakan dan hasil perkembangan setelah dilakukan tindakan.

1. Pengkajian

Pengkajian yang dilakukan pada klien jika dibandingkan dengan

tinjauan kepustakaan yang ada pada BAB II tidak ada perbedaannya

karena semua langkah-langkah pengkajian telah dilakukan dengan baik,

Data pengkajian diperoleh melalui alloanamnesa dan autoanamnesa. Pada

tahap pengkajian ini penulis tidak menemukan kendala dalam

mengumpulkan data dan mencari informasi yang berhubungan dengan

pemeriksaan untuk mendapatkan data karena berkat dukungan dan


kerjasama yang baik dari berbagai pihak akhirnya data tersebut dapat

diperoleh. Pengkajian fokus yang dilakukan menurut Doengos (2001).

Sesuai dengan teori yang ada pada tinjauan kepustakaan langkah-langkah

pengkajian dimulai dari pengumpulan data, menganalisa,

mengklarifikasikan dan merumuskan diagnosa keperawatan.

2. Diagnosa keperawatan yang muncul

a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan

Definisi dari NANDA (2015) nyeri adalah pengalaman sensori dan

emosi yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan

yang actual atau potensial, atau digambarkan dengan istilah seperti

(International Association for the Study of pain); awitan yang tiba-tiba

atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang

dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari

enam bulan.

Diagnosa ini ditegakkan atas dasar adanya ungkapan dari klien

secara verbal, klien mengatakan nyeri pada luka post operasi SC, luka

terasa seperti tertusuk-tusuk di perut bawah dengan skala 7 dan terasa

bertambah saat bergerak. Data dari pengkajian obyektif di dapatkan

data klien terlihat menahan nyeri, klien tampak berhati-hati saat

bergerak.

Masalah nyeri dapat terjadi karena pada tindakan operasi sectio

caesarea akan dilakukan insisi pada dinding abdomen sehingga akan

menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan, pembuluh darah, dan


saraf disekitar daerah insisi, hal tersebut merangsang keluarnya

histamine dan prostaglandin. Histamine dan prostaglandin akan

menyebabkan nyeri pada daerah insisi.

Nyeri pasca bedah yang tidak ditangani akan menimbulkan reaksi

fisik dan psikologi pada ibu postpartum seperti mobilisasi terganggu,

malas untuk beraktifitas, sulit tidur, tidak nafsu makan, tidak mau mera

wat bayi sehingga perlu adanya cara untuk mengontrol nyeri pada ibu

post operasi sectio caesarea. (bobak et al, 2004. Cuningham et al,

2013).

Masalah nyeri menjadi prioritas utama karena dilihat dari hirarki

maslow tentang kebutuhan dasar manusia, nyeri atau ketidaknyamanan

menempati urutan kedua. Nyeri juga menjadi keluhan utama yang

dirasakan klien saat pengkajian.

Pada diagnosa ini penulis menemukan kesenjangan yaitu tidak

dilakukannya atau klien tidak diedukasi untuk batuk.

b. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

Definisi menurut NANDA (2015) adalah beresiko terhadap invasi

organisme pathogen. Factor resiko yang diungkapkan adalah

pertahanan primer tidak adekuat (mis., kulit luka, trauma jaringan,

penurunan kerja silia, statis cairan tubuh, penurunan pH, dan gangguan

peristaltis), prosedur invasif.

Diagnosa keperawatan ini menjadi prioritas kedua karena adanya

faktor yang menyebabkan infeksi yaitu jahitan post sectio caesarea.


Data yang diperoleh lebih mendukung kearah resiko terjadinya suatu

infeksi. Resiko terjadinya suatu infeksi merupakan kebutuhan dasar

manusia, rasa aman dan nyaman (Menurut Maslow) yaitu

mempertahankan keselamatan fisik yang melibatkan keadaan

mengurangi atau mengeluarkan ancaman pada tubuh atau kehidupan.

Pada saat sakit, seorang klien rentan terhadap komplikasi seperti

infeksi oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan supaya tidak

menjadi masalah yang actual (Perry and Potter, 2005).

Kulit merupakan pertahanan primer untuk menghalangi

mikroorganisme masuk ke tubuh. Kerusakan pada kulit akibat post

operasi setio caesarea dapat menghilangkan pertahanan tubuh dari

mikroorganisme sehingga mudah terjadi infeksi. Sering kali respon

tubuh terhadap organisme patogenik dengan membentuk drainase

purulent. Drainase ini merupakan portal ke luar potensial. Proses

peradangan ditandai dengan rubor, kalor, dolor, tumor, dan fungsio

laesa. Terjadinya infeksi juga dipengaruhi oleh kerentanan klien, faktor

yang mempengaruhi kerentanan klien adalah usia, status nutrisi dan

stress (potter&perry, 2006).

c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan trauma jaringan

Definisi menurut NANDA (2015) adalah keterbatasan pada

pergerakan fisik tubuh atau satu lebih ekstremitas secara mandiri dan

terarah.
Diagnosa tersebut ditegakkan karena pengkajian yang ditemukan

pada klien yaitu berdasarkan data subyektif klien mengatakan belum

bisa menggerakkan kedua kaki karena takut terdapat nyeri luka

operasi. Data obyektif yang didapatkan adalah klien tampak lemah, TD

: 110/80 mmHg nadi : 80 kali per menit, RR : 20 kali per menit.

3. Diagnosa keperawatan yang tidak muncul

Penulis pada BAB ini membahas diagnosa yang tidak muncul pada

klien, dari teori yang telah di bahas di BAB II terdapat 9 diagnosa yang

ada, akan tetapi ada 6 diagnosa yang tidak muncul yaitu :

a. Kekurangan Volume Cairan berhubungan dengan kehilangan cairan

aktif

Definisi dari Kekurangan Volume Cairan berhubungan dengan

kehilangan cairan aktif menurut NANDA (2015) adalah penurunan

cairan intravaskuler, interstisial, atau intrasel. Diagnosis ini merujuk

pada dehidrasi yang merupakan kehilangan cairan saja tanpa

perubahan kadar natrium.

Penulis tidak mengangkat diagnosa kekurangan volume cairan

berhubungan dengan kehilangan cairan aktif karena saat pengkajian

ditemukan data tanda-tanda vital tekanan darah : 110/80 mmHg, nadi

80 x/menit, RR : 20x/menit dan suhu : 36,50C dan pada pemriksaan

fisik ditemukan data mukosa bibir lembab, turgor kulit klien baik

capillary refill time (CRT) kembali dalam <2 detik. Pengkajian fokus

di dapatkan data klien minum 8 gejala per hari, klien biasanya minum
air putih dan teh, BAK klien menggunakan kateter dengan produk

urine ± 400 cc warna kuning. Sedangkan menurut NANDA (2015)

untuk menegakkan diagnosa ini harus ada batasan karakteristik

subyektif adalah haus sedangkan untuk batasan karakteristik obyektif

adalah perubahan status mental, perubahan turgor kulit dan lidah,

penurunan haluaran urin, penurunan pengisian vena, kulit dan

membran mukosa kering, hematokrit meningkat, suhu tubuh

meningkat, peningkatan frekuensi nadi, konsentrasi urin meningkat,

dan kelemahan.

b. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas saluran cerna

Definisi: penurunan pada frekwensi normal defekasi yang disertai

oleh kesulitan atau pengeluaran tidak lengkap fases atau pengeluaran

fases yang kering, keras, dan banyak.

Diagnosa keperawatan konstipasi tidak ditegakkan karena menurut

NANDA (2015) untuk menegakkan diagnosa ini harus ada batasan

karakteristik subyektif adalah Nyeri abdomen, nyeri tekan pada

abdomen dengan atau tanpa resistensi otot yang dapat dipalpasi,

anoreksia, perasaan penuh atau tekanan pada rectum, kelelahan umum,

sakit kepala, peningkatan tekanan abdomen, mual, nyeri saat defekasi,

sedangkan untuk batasan karakteristik obyektif adalah Darah merah

segar menyertai pengeluaran feses, perubahan pada suara abdomen,

perubahan pada pola defekasi, penurunan frekuensi, penurunan volume

feses, distensi abdomen, feses yang kering, dan padat, bising usus
hiperaktif atau hipoaktif, rembesan feses cair, massa abdomen dapat

dipalpasi, massa rektal dapat dipalpasi, adanya feses lunak, seperti

pasta didalam rectum, bunyi pekak pada perkusi abdomen, mengejan

saat defekasi, tidak mampu mengeluarkan feses, muntah. Sedangkan

pada klien tidak ditemukan data-data tersebut sehingga tidak diambil

diagnosa keperawatan konstipasi.

c. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penurunan tonus otot

kandung kemih

Definisi: difungsi pada eliminasi urin

Diagnosa keperawatan eliminasi urin tidak ditegakkan karena

menurut NANDA (2015) untuk menegakkan diagnosa ini harus ada

batasan karakteristik subyektif adalah dysuria, urgensi, sedangkan

batasan karakteristik obyektif adalah sering berkemih, resistensi,

inkontinensia, nokturia.

Penulis tidak mengangkat diagnosa ini karena pada saat dilakukan

pengkajian klien menggunakan kateter dengan haluaran urin 400 cc,

sedangkan data yang didapat pada pemeriksaan fisik yaitu pada palpasi

abdomen tidak ada distensi kandung kemih.

d. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan

ketidakadekuatan suplai ASI

Definisi: ketidak puasan atau kesulitan ibu, bayi, atau anak

menjalani proses pemberian ASI.


Diagnosa keperawatan ketidakefektifan pemberian ASI tidak

ditegakkan karena menurut NANDA (2015) untuk menegakkan

diagnosa ini harus ada batasan karakteristik subyektif adalah

ketidakpuasan proses menyusui (seperti yang diungkapkan ibu),

sedangkan batasan karakteristik obyektif adalah ketidak puasan suplai

ASI, menangis dipayudara ibu, menangis dalam waktu satu jam setelah

menyusui, ketidak cukupan pengosongan setiap payudara setelah

menyusui, kesempatan mengisap pada payudara yang tidak

mencukupi, tidak tampak tanda pelepasan oksitosin, luka putting yang

menetap setelah minggu pertama menyusui, ketidak mampuan bayi

untuk latch-on pada payudara ibu secara cepat, menolak latching on,

tidak responsif terhadap kenyamanan lain, tidak menghisap payudara

terus menerus. Penulis tidak mengangkat diagnosa ini karena tidak

ditemukan data-data tersebut.

Pada perencanaan tindakan (intervensi) penulis tidak menemukan

kesenjangan karena respon klien terhadap tindakan yang diberikan oleh

perawat baik. Sedangkan pada implementasi keperawatan, penulis tidak

mengalami kesenjangan dan sudah sesuai dengan teori yang ada.

Evaluasi yang didapat selama melakukan intervensi pada masing

masing diagnosa yaitu masalah nyeri akut sudah teratasi karena klien

mengatakan nyeri sudah berkurang dengan skala 2, masalah resiko infeksi

tidak terjadi karena tidak ditemukan tanda-tanda infeksi, hambatan


mobilitas teratasi karena klien telah dapat melakukan aktivitas secara

mandiri.

Kesenjangan yang penulis dapatkan adalah untuk perawatan post

operasi secara teori menurut Cuningham, 2012 klien ditempatkan pada

kamar observasi sampai pasien sadar sepenuhnya, perdarahan minimal,

tekanan darah baik, dan aliran urin sedikitnya 30 mL/jam, pasien dapat

dipindahkan keruangannya, tetapi dilapangan klien hanya diobservasi

beberapa menit dan langsung dipindah kebangsal. Kesenjangan berikutnya

adalah pada perawatan payudara menyusui dapat dimulai pada hari operasi

tetapi bayi tidak diberikan pada ibunya di hari operasi akibatnya kolostrum

ibu tidak dapat dinikmati bayi. Sedangkan, isapan bayi merangsang

produksi ASI dan sekresi oksitosin yang berperan dalam mempertahankan

kontraksi, sehingga mencegah perdarahan (Saleha, 2009). Pada

B. Simpulan

Tahap awal pembuatan asuhan keperawatan ini adalah melakukan

pengkajian klien dan keluarga sangat kooperatif, klien ditemani oleh suami

dan ibu kandungnya. BAB ini merupakan simpulan dari Asuhan

Keperawatan Post Sectio Caesarea dengan indikasi riwayat Sectio

Caesarea. Berdasarkan teori yang ada dengan dilakukannya tindakan

Sectio Caesarea dengan riwayat Sectio Caesarea karena ibu yang

mempunyai riwayat SC sebelumnya memiliki resiko sebesar 4 kali untuk

terjadinya SC. Seorang wanita yang telah mengalami pembedahan

merupakan seseorang yang mempunyai parut dalam uterus, dan pada


kehamilan dan persalinan berikutnya memerlukan pengawasan yang

cermat berhubungan dengan adanya bahaya rupture uteri, namun dengan

teknik yang baik bahaya ini tidak besar, sebelum keputusan untuk

melakukan SC diambil pertimbangan secara teliti indikasi dengan resiko

yang mungkin terjadi, pertimbangan tersebut harus berdasarkan penilaian

prabedah secara lengkap (Sarwono, 2006). Namun wanita yang pernah

mengalami SC sebelumnya dapat diperbolehkan untuk bersalin

pervaginam kecuali jika sebab SC sebelumnya adalah mutlak karena

adanya kesempitan panggul(CPD) (William R, 2010). Sedangkan pada

data yang diperoleh penulis di catatan medis bahwa klien dilakukan SC

karena kesempitan panggul (CPD) tetapi penulis tidak melakukan

pengukuran pada panggul klien sebelum operasi dilakukan. Cephalopelvic

disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai

dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak

melahirkan secara alami. Tulang panggul sangat menentukan mulus

tidaknya proses persalinan. Normal dari tulang panggul itu sendiri adalah

> 23 cm.
DAFTAR PUSTAKA
Bobak, Irene M. (2005). Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Terjemahan oleh
Maria A. Wijayarini, S.Kp, MSN. Jakarta : EGC

Cunningham, F.G, dkk. (2012). Obstetric William. Terjemahan oleh dr. brahm U.
Pendit, dkk. Edisi 23. Volume 1&2. Jakarta : EGC

Dinkes jateng. (2013). Profil Kesehatan Jawa Tengah. (online),


(http://www.dinkesjatengprov.go.id/v2015/Dokument/profil2013/#p=19,
diakses tanggal 8 Oktober 2015)

Doenges, Marilynn E. dan Mary Frances Moorhouse. (2001). Rencana Perawatan


Maternal/Bayi. Terjemahan oleh Ellen Panggabean. Edisi 2. Jakarta : EGC

Estiwidani. (2008). Buku Keperawatan Maternitas. Jakarta : Salemba Medika

Gondo, H.K.2010. Pro I Operasi Sectio Caesarea di SMF Obstetri, dan


Ginekologi RSUP Sanglah, Denpasar Bali Tahun 2001, dan 2006. CDK. 37

Mauaba, Ide Bagus. 2007. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga
Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC

Marmi, dkk. (2015). Asuhan Kebidanan Patologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar


EGC

Mochtar, Rustam. (2012). Synopsis Obstetri. Jilid 1. Jakarta : EGC

Nanda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan


Nanda NIC NOC. Yogyakarta : Media Action
Potter, Perry. 2006. Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC

Prawirohardjo, sarwono. (2008). Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo

Riskesdas. 2013. Buletin Balai Penelitian dan Pengembangan Riset Kesehatan


Dasar.http://depkes.go.id/downloads/riskesdas2013/hasil%20riskesdas%20
2013.pdf diakses pada tanggal 20 oktober 2015

Saleha, Siti. (2009). Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba
Medika

Winkjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu bedah Kebidanan. Edisi 1. Jakarta: Yayasan


Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi

Nama : Siti Choirunissa

TTL : Temanggung, 24 Desember 1994

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Jl. Boegenvil no 3, Mardisari Kertosari Temanggung

Telepon : 085643066493

Status : Lajang

Berat Badan : 48

Tinggi Badan : 162

Pendidikan Formal

Tahun 2002-2008 : SDN 2Jampiroso Temanggung

Tahun 2008-2010 : SMPN 1 Temanggung

Tahun 2010-2013 : SMK KESDAM IV Diponegoro Magelang

You might also like