You are on page 1of 17

MAKALAH

PEMAHAMAN MENGENAI FIQIH

DISUSUN OLEH
NUR ZAKIYATUN NUFUS

KELAS : XII IPA 2

GURU:
USTAD MISBAHUL MUNIR
PONDOK PESANTREN ASSHIDDIQIYAH 06 SERPONG
Tahun ajaran 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kami karunia
nikmat dan kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, dan terus dapat
menimba ilmu di ponpes asshiddiqiyah.

Penulisan makalah ini merupakan sebuah tugas dari ust misbahul munir mengenai tentang
ilmu fiqih. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan
pengetahuan pada siswa yang sedang dipelajari, agar kami semua menjadi siswa yang
berguna bagi agama, bangsa dan negara.

Dengan tersusunnya makalah ini kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan
kelemahan, demi kesempurnaan makalah ini kami sangat berharap perbaikan, kritik dan saran
yang sifatnya membangun apabila terdapat kesalahan.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi saya
sendiri umumnya para pembaca makalah ini.

Terima kasih, wassalamu’ alaikum.

Tangerang, 27 Desember 2023


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. 2

BAB I............................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ................................................................................................. 4

I. Latar Belakang .................................................................................................................... 4

II. Rumusan Masalah .............................................................................................................. 5

III. Tujuan ................................................................................................................................. 5

BAB II .............................................................................................................. 6

PEMBAHASAN ................................................................................................... 6

I. SEJARAH TENTANG ILMU FIQIH & USHUL FIQH ................................................................ 6


• Pengertian Fiqih .............................................................................................................. 6
• Pengertian Ushul Fiqih ................................................................................................... 6

II. PERBEDAAN FIQIH DAN USHUL FIQIH ............................................................................... 7

III. PENGERTIAN PERNIKAHAN DALAM HUKUM ISLAM......................................................... 8

IV. HUKUM MENIKAH.............................................................................................................. 9

V. SUMBER HUKUM ISLAM .................................................................................................. 12


• Sumber Hukum Islam ................................................................................................... 12

BAB III ........................................................................................................... 15

PENUTUP ....................................................................................................... 15

I. KESIMPULAN .................................................................................................................... 15

II. SARAN ............................................................................................................................... 16


BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah, logis
dan memiliki obyek dan kaidah tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih
merupakan gerakan hati dan perasaan. Juga bukan seperti tarekat yang merupakan
pelaksanaan ritual-ritual.Pembekalan materi yang baik dalam lingkup sekolah,
akan membentuk pribadi yang mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki budi
pekerti yang luhur. Sehingga memudahkan peserta didik dalam
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di zaman modern
sekarang semakin banyak masalah-masalah muncul yang membutuhkan kajian
fiqih dan syari’at. Oleh karena itu, peserta didik membutuhkan dasar ilmu dan
hukum Islam untuk menanggapi permasalahan di masyarakat sekitar.1 Tujuan
pembelajaran Fiqih adalah untuk membekali peserta didik agar dapat mengetahui
dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan menyeluruh,
baik berupa dalil naqli dan dalil aqli melaksanakan dan mengamalkan ketentuan
hukum Islam dengan benar.2 Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu, yang
tentunya bersifat ilmiyah,logis dan memiliki obyek dan kaidah tertentu. Fiqih
tidak seperti tasawuf yang lebih merupakan gerakan hati dan perasaan. Juga
bukan seperti tarekat yang merupakan pelaksanaan ritual-ritual.Pembekalan
materi yang baik dalam lingkup sekolah, akan membentuk pribadi yang mandiri,
bertanggung jawab, dan memiliki budi pekerti yang luhur. Sehingga
memudahkan peserta didik dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-
hari. Apalagi di zaman modern sekarang semakin banyak masalah-masalah
muncul yang membutuhkan kajian fiqih dan syari’at. Oleh karena itu, peserta
didik membutuhkan dasar ilmu dan hukum Islam untuk menanggapi
permasalahan di masyarakat sekitar. Dengan adanya fakta tersebut, guru harus
mencoba mengunakan model pembelajaran kooperatif model TGT karena tidak
hanya membuat peserta didik yang cerdas (berkemampuan akademis tinggi) lebih
menonjol dalam pembelajaran, tetapi peserta didik yang berkemampuan
akademik lebih rendah juga ikut aktif belajar.
II. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pemahaman tentang Sejarah fiqih ?
2. Apa hukum pernikahan dalam islam ?
3. Bagaimana hukum islam di Indonesia saat ini ?;

III. Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui Sejarah tentang ilmu fiqih
2. Untuk memahami mengenai fiqih sebagai sumber hukum islam
3. Untuk memahami hukum pernikahan dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN

I. SEJARAH TENTANG ILMU FIQIH & USHUL FIQH


• Pengertian Fiqih
Fiqh (‫( فقه‬secara bahasa artinya pemahaman yang benar tentang apa yang
diharapkan. Hadis berikut menggunakan kata fikih sesuai makna bahasanya
“Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik maka Allah faqihkan dia
terhadap agama. Aku hanyalah yang membagi-bagikan sedang Allah yang
memberi. Dan senantiasa umat ini akan tegak di atas perintah Allah, mereka tidak
akan celaka karena adanya orang-orang yang menyelisihi mereka hingga datang
keputusan Allah.”( HR Bukhari ). Fiqh adalah mashdar dari bab ‫ هَيفق َق ِهف‬faqiha -
yafqahu, yang berarti "paham". faquha (dengan qaf berharakat dhammah) artinya
fiqh menjadi sifat alaminya. faqaha (dengan fathah) artinya lebih dulu paham dari
yang lain. Secara pengetahuan “‫ معرفة باألحكام الشرعية العملية بأدلتها التفصيلية‬artinya fikih
,istilah tentang hukum-hukum syariat praktis berdasarkan dalil-dalil rincinya.”
Yang dimaksud ‫ ”معرفة‬pengetahuan” mencakup ilmu pasti dan dugaan. Hukum-
hukum syariat ada yang diketahui secara pasti dari dalil yang meyakinkan dan ada
yang diketahui secara dugaan. Masalah-masalah ijtihad yang menjadi bahan
perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah masalah dugaan karena jika
diketahui secara yakin, maka pasti tidak ada perbedaan pendapat.

• Pengertian Ushul Fiqih


Ushul Fiqih adalah kumpulan dari beberapa kaidah dan pembahasannya
digunakan untuk menetapkan hukum-hukum syara yang berhubungan dengan
perbuatan manusia. Pengertian Ushul Fiqih terdiri dari dua kata "ushul/ashl" dan
"fiqh". Kata ashl menurut kidah atau ketentuan yang berlaku dan fiqh ilmu tentang
hukum-hukum syara'. Ushul fikih mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori dan
sumber-sumber secara terperinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang
diambil dari sumbersumber tersebut. Mekanisme pengambilan hukum harus
berdasarkan sumber-sumber hukum yang telah dipaparkan ulama. Sumber-sumber
hukum terbagi menjadi 2: sumber primer dan sumber sekunder. Al- quran dan
sunnah merupakan sumber primer. Hukum-hukum yang diambil langsung dari Al-
quran dan Sunnah sudah tidak bertambah dan disebut sebagai syariah. Adapun
sumber hukum sekunder yaitu ijmak, qiyas, dan sumber hukum lain. Hukum-
hukum yang diambil dari sumber sekunder disebut fikih. Ijmak dan qiyas
merupakan sumber hukum yang disepakati oleh empat mazhab fikih: Hanafi,
Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Sumber hukum lain seperti kebiasaan masyarakat,
perkataan sahabat, dan istihsan diperselisihkan kevalidannya di antara mazhab-
mazhab yang ada. Tujuan ushul fiqih adalah menerapakan kaidah-kaidah dan
pembahasannya pada dalil-dalil yang detail untuk diambil hukum syara'nya.
Sehingga, kaidah dan pembahasannya dapat difahami dengan nash-nash syara' dan
dengan hukum-hukum yang dikandungnya, juga dapat diketahui sesuatu yang
dapat memperjelas kesamaran dari nash-nash tersebut dan nash mana yang
dimenangkan ketika terjadi pertentangan antara sebagian nash dengan yang lain.

II. PERBEDAAN FIQIH DAN USHUL FIQIH


Sebagaimana dalam pembahasan tentang definisi Ushul Fiqh di atas, terdapat
perbedaan makna etimologi antara kata ‘ushul’ dan kata ‘fiqh’. Perbedaan lebih
konkrit dalam makna terminologinya dapat dipaparkan sebagai berikut :
a. Ilmu Ushul Fiqh merupakan dasar-dasar bagi usaha istinbath hukum, yakni
menggali hukum-hukum dari sumber-sumbernya. Oleh itu, setiap mujtahid wajib
mengetahui betul-betul ilmu Ushul Fiqh. Ini tak lain karena tujuan ilmu ini adalah
untuk mengimplementasikan kaedah-kaedah Ushul Fiqh terhadap dalil-dalil
terperinci yang mengandung hukum-hukum cabang di dalamnya. Dengan
demikian, kajian Ushul Fiqh sesungguhnya terfokus pada kompetensi orang-orang
tertentu saja kerana tidak semua orang dapat mengkaji serta
mengimplementasikannya.Hal ini berbeda dengan kajian ilmu fiqh.
Jika ilmu Ushul Fiqh mesti diketahui oleh seseorang mujtahid, maka ilmu fiqh
harus dipahami oleh mukallaf (orang-orang yang dikenakan beban hukum) secara
keseluruhan. Ini karena ilmu fiqh merupakan kajian tentang ketentuan hukum bagi
setiap perbuatan manusia. Dengan ketentuan hukum inilah beragam perdebatan
dan persengketaan di kalangan masyarakat dapat dielakkan.
b. Pembahasan Ushul Fiqh berkenaan dengan dalil-dalil syar‘i yang bersifat
global (‫(كلي‬. Ia bertujuan untuk membuat rumusan kaedah-kaedah yang
mempunyai fungsi memudahkan pemahaman terhadap hukum-hukum beserta
sumber-sumber dalilnya secara terperinci. Sebagai contohnya adalah beberapa
kajian seperti berikut :
1) Kajian tentang kedudukan dan tingkatan dalil, baik dalil tersebut mempunyai
taraf qath’i (hanya mempunyai satu interpretasi) ataupun dhanni (multi-
interpretasi).
2) Kajian tentang indikasi hukum lafadz perintah (‫( األمر‬dan lafadz larangan ( ‫النهي‬
( baik dalam al-Qur’an ataupun al-Hadits.
Dalam kaitan ini kajian Ushul Fiqh menemukan rumusan bahwa lafadz
perintah menunjukkan hukum wajib sedangkan kata larangan menunjukkan
hukum haram sejauh tidak ada indikasi (‫( قرينة‬yang menyatakan sebaliknya. Oleh
itu, kajian ini kemudiannya dapat melahirkan kaedah Ushul Fiqh sebagai berikut :
‫األ صل في األمر يد ل على الوجوب واألصل في النهي يد ل على‬
‫التحريم‬
“Hukum asal daripada perintah adalah wajib sedangkan hukum asal
daripada larangan adalah haram”.
3) Kajian tentang lafadz-lafadz ‘am atau lafadz-lafadz khas baik dalam al-Qur’an
maupun al-Hadith. Kajian tentang hal ini kemudian melahirkan kaedah Ushul
Fiqh:
‫العام يتناول جميع أفراده مالم‬
‫يخصص‬
“Lafadz am itu meliputi semua unit-unit di bawahnya sejauh tidak
dikhususkan [ditakhsis] oleh lafadz lain”.
Sedangkan pembahasan dalam fiqh tidaklah demikian. Pembahasan ilmu fiqh
adalah berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Apakah perbuatan mukallaf itu
dihukumi halal atau haram Apakah perbuatan mukallaf itu sah atau batal? Dalam
menentukan aspek hukum perbuatan mukallaf tersebut digunakan dalil-dalil
terperinci (‫( )تفصيلي‬berdasarkan pada kaedah-kaedah Ushul Fiqh yang bersifat
umum dan global (‫)إجمالي‬.

III. PENGERTIAN PERNIKAHAN DALAM HUKUM ISLAM


Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluknya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ini adalah
suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt. sebagai jalan bagi makhluknya untuk
berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.
Kata nikah berasal dari bahasa Arab ‫ح ن‬
َ ‫ كا‬yang merupakan masdar atau asal
dari kata kerja ‫ نكح‬sinonimnya ‫ تزوج‬kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan pernikahan. Menurut bahasa, kata nikah berarti adhdhammu
wattadaakhul (bertindih atau memasukan). Dalam kitab lain, kata nikah diaritikan
dengan ad-dhammu wa aljam’u (bertindih atau berkumpul)
Menurut Rahmat Hakim, penggunaan kata nikah atau kawin mengandung dua
maksud. Konotasinya tergantung pada arah kata itu dimaksudkan (syiaq al-
kalam). Ucapan nakaha fulanun fulanah (Fulan telah mengawini fulanah). artinya
adalah melakukan akad nikah. Akan tetapi bila kalimatnya adalah nahaka fulanun
zaujatuha (Fulan telah mengawini Fulanah), artinya melakukan hubungan
seksual.
Menurut istilah ilmu fiqh, nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang
mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai lafaz
nikah atau tazwij. Nikah atau zima’ sesuai dengan lafaz linguistiknya, berasal dari
kata “al-wath” yaitu bersetubuh atau bersenggama. Nikah adalah akad yang
mengandung pembolehan untuk berhubungan seks dengan lafaz an-nikah atau at-
tazwij, artinya bersetubuh dengan pengartian menikahi perempuan makna
hakikatnya menggauli istri dan kata “munakahat” diartikan saling menggauli.

IV. HUKUM MENIKAH


Hukum Nikah (pernikahan) adalah hukum yang mengatur hubungan antara
manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis,
dan hak juga keajiban yang berhibungan dengan akibat pernikahan tersebut.
Pernikahan adalah sunnatullah, hukum alam di dunia. Pernikahan dilakukan
oleh manusia, hewan, bahkan oleh tumbuh-tumbuhan, karenanya menurut para
sarjana ilmu alam mengatakan bahwa segala sesuatu kebanyakan terdiri dari dua
pasangan, misalnya air yang kita minum terdiri dati nitrogen dan hydrogen,
listrik ada positif dan negatifnya. Apa yang telah dinyatakan oleh para sarjana
ilmu alam tersebut adalah sesuai dengan pernyataan Allah dalam AlQuran.
Firman Allah SWT. QS. Al-Dzariat : (49) yang berbunyi :

٤ ‫يء خَ لَقْنَا زَ ْو َجيْ ِن لَ َع َّل ُك ْم تَذَكَّ ُر ْو َن‬


‫۝‬ ْ ‫َوم ِْن كُ ِل َش‬

Artinya: “ Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasangpasangan supaya


kamu mengingat kebesaran Allah”. 13 Pernikahan yang merupakan sunnatullah
pada dasarnya adalah mubah tergantung kepada tingkat maslahatnya. Oleh
karena itu, imam Izzudin Abdussalam membagi maslahat menjadi tiga bagian,
yaitu:14 1. Maslahat yang diwajibkan oleh Allah Swt bagi hambaNya. Maslahat
wajib bertingkat-tingkat, terbagi kepada fadhil (utama), afdhal (paling utama)
dan mutawassith (tengah-tengah). Maslahat yang paling utama adalah maslahat
yang pada dirinya terkandung kemuliaan, dapat menghilangkan mufsadah
paling buruk, dan dapat mendatangkan kemaslahatan yang paling besar. 2.
Maslahat yang disunahkan oleh syar’i kepada hambanya demi untuk kebaikan,
tingkat maslahat paling tinggi berada sedikit di bawah tingkat maslahat wajib
paling rendah. Dalam tingkatan ke bawah, maslahat sunnah akan sampai pada
tingkat maslahat yang ringan yang mendekati maslahat mubah. 3. Maslahat
mubah. Bahwa dalam perkara mubah tidak terlepas dari kandungan nilai
maslahat atau penolakan terhadap mafsadah. Imam Izzudin berkata: “Maslahat
mubah dapat dirasakan secara langsung. Sebagian di antaranya lebih bermanfaat
dan lebih besar kemaslahatannya dari sebagian yang lain. Maslahat mubah ini
tidak berpahala”

Asal hukum melakukan perkwinan itu menurut pendapat sebagian besar para
fuqoha (para sarjana Islam) adalah mubah atau ibadah (halal dan dibolehkan).
Dengan demikian, dapat diketahui secara jelas tingkatan maslahat taklif perintah
(thalabal fiil) taklif takhir, dan taqlif larangan (thalabal kaff). Dalam taqlif
larangan, kemaslahatanya adalah menolak kemafsadatan dan mencegah
kemudharatan. Di sini perbedaan tingkat larangan sesuai dengan kadar
kemampuan merusak dan dampak negatif yang ditimbulkan. Kerusakan yang
ditimbulkan perkara haram tentu lebih besar dibandingkan kerusakan pada
perkara makruh. Oleh karena itu, meskipun pernikahan itu asalnya adalah mubah,
namun dapat merubah menurut ahkamal-khasanah (hukum yang lima) menurut
perubahan keadaan, yaitu:
• Nikah wajib, nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan
menambah taqwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu, yang akan
menjaga jiwa dan menyelamatkan dari perbuatan haram. Kewajiban ini tidak
akan dapat terlaksana kecuali dengan nikah.
• Nikah haram, nikah diharamkan bagi orang yang tau bahwa dirinya tidak
mampu melaksanakanya hidup berumah tangga melaksanakan kewajiban lahir
seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan kewajiban batin seperti
mencampuri istri.16 dan atau bila seorang pria atau wanita tidak bermaksud akan
menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai suami istri atau pria ingin menganiaya
wanita atau sebaliknya pria/wanita ingin memperolok-olokan pasangannya saja
maka haramlah yang bersangkutan itu menikah.
• Nikah Sunnah, nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah mampu
tetapi masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dalam hal
seperti ini.
nikah lebih baik daripada membujang karena membujang tidak diajarkan oleh
Islam.
• Nikah Mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan
dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, belum wajib nikah dan
tidak haram bila tidak menikah.
Dari uraian di atas menggambarkan bahwa dasar pernikahan menurut Islam,
pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, sunnah, dan mubah tergantung dengan
keadaan maslahat atau mafsadatnya.
Hubungan suami istri sebagai suatu keluarga merupakan dasar pembentukan
kelompok dalam masyarakat, akhirnya membentuk bangsa dan Negara. Oleh
karena itu hubungan suami istri itu harus langgeng, penuh kebahagiaan lahir
batin, kebahagiaan rohani dan jasmani baik moral, maupun spiritual, dilandasi
dengan makruf, sakinah, mawadah dan warahmah.
Makruf artinya pergaulan suami istri harus saling menghormati, saling
menjaga rahasia masing-masing. Sang suami sebagai top figur, sebagai nahkoda,
ibarat kapten kapal yang memimpin pelayaran, mengarungi samudra yang luas,
untuk mencapai pulau idaman penuh dengan godaan gelombang dan tiupan angin
badai yang maha dahsyat, harus menenangkan gejolak jiwa, baik seluruh
penumpang maupun kru. Menjaga hubungan yang harmonis baik antara suami
istri, maupun hubungan dengan anak-anak. Sakinah adalah penjabaran lebih
lanjut dari makruf, yaitu agar suasana kehidupan dalam rumah tangga itu terdapat
keadaan yang aman dan tenteram.
V. SUMBER HUKUM ISLAM
Apa pengertian hukum islam ? Apa saja sumber hukum islam ? Buat kamu
yang lagi belajar memperdalam ilmu agama islam, sangat penting untuk tahu apa
itu hukum islam? Darimana sumber hukum dalam ajaran agama islam?
Bagaimana cara islam memutuskan atau membuat peraturan antar sesama umat ?
Pengertian hukum islam adalah jalan yang ditempuh manusia untuk menuju
jalan Allah, Tuhan semesta alam. Hukum islam atau syariat islam adalah segala
macam hukum atau peraturan yang tujuannya mengatur segala urusan umat islam
dalam menangani perkara dunia dan akhirat.
Menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun
pengertian hukum islam atau syariat islam adalah mencakup seluruh ajaran Islam,
meliputi bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan bidang kemasyarakatan (muamallah).
Syariat islam atau yang lebih sering disebut sebagai syariah merupakan
berbagai macam aturan yang ditetapkan oleh Allah dalam mengatur hubungan
mahluk dengan Tuhannya dan saudara sesama muslim, sesama manusia, mahluk
hidup, dan alam. Peraturan dalam hukum islam diambil dari berbagai sumber
yang jika ditelusuri lebih lanjut akan berakhir pada Allah.

• Sumber Hukum Islam


Ada 3 sumber hukum islam, yaitu Al Quran, Hadits, dan Ijtihad.
Ketiganya saling berkaitan satu sama lain dan tidak ada yang berbeda
pandangan dalam menanggapi suatu permasalahan. Sumber hukum utama
dalam hukum islam adalah Al Quran. Berikut ini rincian sumber hukum
islam:
1. Al Quran
Selain berisi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, Al Quran juga berisi
peraturan atau hukum dari Allah sang pencipta kehidupan. Nabi Muhammad
diutus untuk menyampaikan Al Quran kepada seluruh umat manusia hingga
kiamat tiba. Al Quran dijadikan sumber hukum pertama atau awal. Setiap
hukum atau peraturan yang dibuat harus berdasarkan Al Quran dan tidak
boleh saling bertentangan. Seiring berkembangnya jaman, tafsiran Al Quran
sudah banyak beredar sehingga memudahkan orang awam untuk mendalami
dan menerapkan hukum islam.
2. Hadits Shahih
Acuan kedua dalam hukum islam adalah hadits. Berbeda dengan Al
Quran, hadits berisi tentang penjelasan rinci mengenai hukum islam yang ada
di Al Quran, tata cara beribadah, aturan dalam melaksanakan ibadah, dan
ucapan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang dijadikan
sumber hukum. Contoh perbedaan antara hukum dalam Al Quran dan hadits
adalah sebagai berikut:
Di dalam Al Quran kita diperintahkan untuk shalat (QS. Al Baqarah ayat
43). Lalu penjelasan cara shalat, berapa kali shalat, dan kapan waktu untuk
shalat dijelaskan melalui hadits. Jadi dalam prakteknya, hadits digunakan
untuk menjelaskan dan menegaskan hukum yang sudah ditulis Allah di kitab
suci Al Quran.
Dalam meriwayatkan hadits yang disampaikan oleh banyak periwayat
haruslah dilakukan oleh ulama dengan ilmu fiqih tinggi dan dipercaya umat.
Jika ada salah satu riwayat hadits yang cacat misalnya jika adalah salah satu
periwayat yang ketahuan memiliki sifat buruk (sering berbohong) atau suka
lupa maka derajat kebenaran (shahih) hadits bisa ikut ternoda. Berikut ini
empat derajat keaslian hadits.
• Shahih
• Hasan
• Daif (lemah)
• Maudu’ (palsu).
Perbedaan hadits Shahih dan hasan terletak pada ke-dhabithan-nya. Jika
hadits Shahih tingkat dhabith-nya tinggi, maka hadits hasan tingkat ke-
dhabithan-nya ada dibawahnya. Contoh hadits Hasan adalah seperti hadits
yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Amr bin al-Qamah, dari Salamah,
dari Abu Hurairah. Dalam hadits ini, hadits dikategorikan hasan karena
Muhammad bin Amr bin al-Qamah dikenal punya kemampuan menghafal
yang tidak luar biasa. Dalam menentukan hukum islam, hadits yang paling
dijadikan acuan adalah hadits shahih dan hasan.
3. Ijtihad
Ijtihad adalah usaha para ulama untuk menentukan hukum suatu perkara
baru dengan mengacu pada Al Quran dan hadits. Ijtihad adalah usaha ulama
untuk menentukan hukum setelah Nabi Muhammad wafat sehingga tidak ada
lagi yang bisa ditanyakan pendapatnya. Karena bersumber dari Al Quran dan
Hadits maka dari itu Ijtihad ulama harus melampirkan ayat dalam Al Quran
dan hadits ketika ingin memutuskan suatu peraturan. Ada 4 jenis Ijtihad,
yaitu:
• Ijma, hukum sesuai kesepatakan para ulama
• Qiyas, hukum yang mirip dengan hukum lain yang jelas hukumnya
• Maslahah, hukum untuk mencapai kemaslahatan umat
• Urf, hukum yang sesuai kebiasaan.
Ijtihad adalah langkah para ulama besar untuk menentukan hukum suatu
hal baru yang belum pernah ada di jaman Nabi Muhammad dan tidak tertulis
di Al Quran. Oleh karena itu, dalam menentukan suatu keputusan, Ijtihad
harus berdasarkan pada Al Quran dan hadits dan dilihat baik atau buruknya
suatu hal kepada umat muslim lainnya. Salah satu bentuk ijtihad ulama adalah
pengharaman rokok oleh sebagian besar ulama setelah ditemukan kandungan
racun pada rokok yang bisa menggangu kesehatan perokok dan orang di
sekitarnya. Baca lebih lanjut Hukum Merokok dalam Islam.
BAB III
PENUTUP

I. KESIMPULAN
Ilmu fikih merupakan sebuah disiplin keilmuan yang berkaitan dengan
hukum-hukum syariat yang digali dari sumber-sumbernya. Sumber-sumber
tersebut terdiri dari beberapa hal, namun yang paling fundamental dan utama
adalah al-Qur’an itu sendiri. Sedangkan dari berbagai sumber hukum tersebut,
setidaknya ada lima hukum yang biasanya dihasilkan. Lima hukum tersebut
terdiri dari wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Hukum-hukum inilah yang
kemudian disebut dengan hukum takli>fi>.1 Pada koteks QS. al-Nūr [24]: 32,
yang di dalamnya terdapat sebuah disimpulkan dapat maka ,]‫ِحُوا الْ َيَا َمى ِمنْكُ ْم‬
ْ ‫] َوأَنْك‬
berbunyi yaitu ,)amr-al (perintah bahwa: 1. Perintah untuk menikahkan al-
aya>ma> pada ayat tersebut bermakna wajib. Karena, sebagaimana menurut
kaidah dasar, tidak ada illat yang bisa memalingkan maknanya dari wajib.
Kewajiban di sini tidak bermakna bahwa para wali memiliki otoritas untuk
memaksa orang-orang yang berada dalam pengayomannya untuk menikah, tetapi
sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Qutb, para wali memastikan bantuan untuk
membantu mereka yang ingin menikah dan ingin menjaga kesucian diri.
Kewajiban ini merupakan kewajiban yang berkaitan dengan kemampuan. Karena
itu, pada konteks ini berlaku sebuah kaidah [ ‫ باالستطاعة يتعلق الوجوب‬berkaitan yang
kewajiban “yaitu ,]‫ وال محرم مع الضرورة‬،‫ فال واجب مع العجز‬dengan kemampuan, maka
menjadi tidak wajib dalam kondisi keterbatasan (lemah), dan juga tidak terlarang
untuk dilakukan ketika darurat. 2. Adapun implementasi atau bentuk
implementasi serta manifestasi perintah menikahkan al-aya>ma> pada QS. al-
Nūr [24]: 32 tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengkondisikan
pernikahan bagi orang-orang yang tidak memiliki pasangan hidup. Berdasarkan
teori dila>lat al-nass, yaitu menemukan makna substantif (ru>h) atau yang analog
(ma’qu>l) dengan sebuah teks, yang mekanismenya adalah terkait dengan
kesamaan illah (sebab hukum), maka di antaranya sebagai berikut; a. Sulitnya
menemukan jodoh. Jika kesulitan seseorang untuk menikah adalah sulitnya
menemukan jodoh, maka perintah pada QS. al-Nūr [24]: 32 tersebut dipahami
sebagai perintah untuk membantu mereka untuk menemukan jodohnya. b. Biaya
terlalu tinggi. Biaya disini bisa berkaitan dengan banyak hal, seperti mahar atau
hal-hal yang berkaitn dengan budaya lokal tertentu, seperti uang hantaran atau
panaik yang sangat besar, sehingga menjadi kendala bagi para pemuda untuk
menikah. Maka pada konteks ini, perintah pada QS. al-Nūr [24]: 32 tersebut
dipahami sebagai perintah untuk membayarkan biaya mahar, hantaran, panaik,
dan sebagainya, atau mengecilkan jumlahnya sehingga tidak lagi menjadi kendala
bagi terjadinya pernikahan. c. Kurangnya perhatian orang tua terhadap
perkembangan anaknya. Orang tua terkadang tidak antisiatif sekaligus tidak
sensitif terhadap perkembangan kedewasaan anaknya. Terkadang, hal ini
membuat seorang anak menjadi malu untuk megutarakan keinginannya untuk
menikah. Maka pada konteks ini, perintah pada QS. al-Nūr [24]: 32 tersebut
dipahami sebagai perintah kepada orang tua agar antisipatif dan sensitif terhadap
perkembangan kehidupan anaknya. Bentuk lain misalnya, orang tua tidak terlalu
memaksakan pilihannya terhadap anaknya. d. Serta kendala-kendala lainnya.

II. SARAN
Dengan penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pemikiran dan
gagasan dalam kajian hukum Islam, khususnya terkait dengan hukum
menikahkan al-aya>ma> dalam perspektif hukum Islam. Tema pokok penelitian
ini merupakan sebuah kajian yang masih terbilang langka dibicarakan dan
disosialisasikan di realitas umat Islam, meskipun ternyata sudah cukup banyak
dibahas dalam literatur-literatur. Meskipun demikian, penulis menemukan
pembahasan tersebut masih didominasi oleh tafsir-tafsir klasik, sedangkan
buku-buku khusus dalam disiplin ilmu fikih, bisa dikatakan masih sangat sedikit
untuk tidak mengatakannya belum ada sama sekali. Karena itulah, penelitian
terhadap persoalan ini sangat membutuhkan kajian atau penelitian lebih lanjut
sebagai upaya untuk pengembangannya.
DAFTAR PUSAKA

Muhammad Rafa’i, Ilmu Fiqih Lengkap (Semarang : CV Toha Putra, 1978) Fauzan
Shalaih bin Fauzan, al Mulakkhash (Jakarta : Pustaka Azzam) Hhtp : Nurannbawiy.
Menurut Pendapat Jamhur Ulama Wordpress. Com Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,
(Jakarta : Pustaka Azzam) 2006. jilid I. Shalaih Fauzan,Ringkasan Fikih Syaikh Fauzan,
Khusus Fikih Ibadah. Jakarta : Pustaka Azzam, 2006 Jilid Ke III. Muhali, Ahmad Mujab,
Hadist-hadist Riwayat Asy-Syafi’i, Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2003 SabiqSayyid, Fikih
Sunnah (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2011), jid I. Al MalibariZainuddin, Fathul Mu’in,
(Beirut: Dar al Fikr), juz I. Muhammad bin’ AbdurrahmanSyaikh Al-Alamah, Fikih Empat
Mazhab, Dimasyqi, 2001. Ahmad FaridSyaikh, 60 Biografi Ulama Salaf, Penerj. Masturi
Irham, Asmu’i Taman, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006), Cet. Ke-1.
YanggoTahidoHuzaimah, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Logos, 1997), Cet.
Ke-I. M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996), Cet.
Ke-2. Asy-Shiddeqy Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang ; Pustaka Rizki
Putra, 1997), Cet Ke-I. DahlanAbdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru
Van Hoeven, 1970), Cet. Ke-I, Jilid 4. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,
(Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve,1997), Jilid 3, Cet. Ke-4. Proyek Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama IAIN Pusat Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Pengantar
Ilmu Fiqh, (Jakarta : 1981)

You might also like