You are on page 1of 37

LAPORAN KASUS

AMBULATORY ANESTHESIA

Oleh :

dr. Cynthia Dewi Sinardja, SpAn, MARS, FIC

DEPARTEMEN/KSM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSUP SANGLAH/FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya, laporan kasus yang berjudul “AMBULATORY ANESTHESIA” ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan
dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Denpasar, November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


KATA PENGANTAR. ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI. ....................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN. ................................................................................... 1
BAB II TINJUAN PUSTAKA............................................................................ 2
2.1 Konsep Ambulatory Anasthesia ..................................................................... 2
2.2 Kriteria Pasien Ambulatory Anesthesia........................................................... 2
2.3 Pemilihan Metode Anestesia ........................................................................... 5
2.4 Pemulihan (Recovery), Pemulangan (Discharge), dan Fast-track Anesthesia 9
2.5 Penanganan Komplikasi Pascabedah .............................................................. 14
BAB III LAPORAN KASUS .............................................................................. 19
3.1 Identitas ........................................................................................................... 19
3.2 Anamnesis ....................................................................................................... 19
3.3 Pemeriksaan Fisik ........................................................................................... 20
3.4 Pemeriksaan Penunjang .................................................................................. 20
3.5 Permasalahan dan Simpulan ........................................................................... 20
3.6 Persiapan Anastesi .......................................................................................... 21
3.7 Manajemen Operasi ........................................................................................ 21
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................... 24
BAB V SIMPULAN ............................................................................................ 27
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 28

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Modified Aldrette Scoring System ........................................................10


Tabel 2 White’s Fast Track Criteria ................................................................12
Tabel 3 Modified PADSS ..................................................................................13
Tabel 4 Dosis dan Waktu Pemberian Obat Antiemetik ...................................19
Tabel 6 Strategi Untuk Mengurangi Risiko PONV .........................................26

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam beberapa dekade terakhir, pembedahan yang tidak memerlukan rawat


inap mengalami peningkatan di sebagian besar negara di dunia, yang sejalan dengan
perkembangan teknologi di bidang medis, teknik pembedahan, penemuan agen dan
metode anestesi baru.1 Meningkatanya hal tersebut sangat berkaitan dengan teknik
anestesia yang digunakan dalam proses pembedahan, yang dikenal sebagai
ambulatory anesthesia. Ambulatory anesthesia adalah suatu teknik pemberian
anestesia dalam pembedahan, yang secara medis tidak memerlukan perawatan inap
pasca pembedahan. Ambulatory anesthesia di Indonesia sering dikenal dengan
istilah One-day Care (ODC). Dalam pelaksanaannya, metode tersebut memiliki
beberapa keuntungan dan kerugiannya masing-masing. Keuntungan tersebut dapat
berupa berkurangnya angka ketergantungan pasien dengan rumah sakit,
meningkatkan fleksibilitas dalam penentuan jadwal pembedahan, menurunkan
resiko infeksi nosokomial, biaya yang relatif rendah, meningkatkan kinerja dan
efisiensi dari rumah sakit, pemulihan pasien bisa dilakukan dalam lingkungan yang
familiar dan ikut berkontribusi dalam perkembangan ekonomi negara. Adapun
kerugian yang ditimbulkan seperti kompikasi pembedahan dan anestesi yang
menyebabkan keharusan rawat inap yang diluar rencana, kebutuhan keterampilan
yang tinggi dari tenaga kesehatan, adanya kemungkinan kelalaian dalam penilaian
preoperative, berkurangnya kepatuhan dari instruksi puasa dan pengobatan
preoperative, dan meningkatnya tingkat kecemasan pasien.2

Pelaksanaan metode ambulatory anesthesia harus diawali dan diakhiri dengan


evaluasi komprehensif sehingga bisa meminimalkan timbulnya risiko komplikasi.
Evaluasi dimulai dari kriteria eligebilitas pemilihan pasien, evaluasi pre-operative,
pemilihan metode dan jenis anestesi, monitoring, dan manajemen post-operative.3
Dalam evaluasi tersebut, akan timbul kontrovesi dalam mencari metode dan strategi
terbaik dalam meningkatkan kualitas bedah sehingga bisa menghasilkan outcome
yang maksimal pada pasien.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Ambulatory Anesthesia


2.1.1. Definisi Ambulatory Anesthesia
Ambulatory anesthesia adalah tindakan anestesia yang dilakukan
pada kasus bedah tanpa harus menginap di rumah sakit. Ambulatory
anesthesia dalam bahasa Indonesia disamakan dengan pengertian
anestesia tanpa rawat inap atau anestesia pasien rawat jalan atau pasien
ODC (One-day Care).4
2.1.2. Kelebihan Ambulatory Anesthesia
Penerapan teknik ambulatory anesthesia dapat memberikan
beberapa manfaat kepada beberapa pihak, terutama untuk pasien itu
sendiri dan keluarga, tenaga kesehatan, pihak third-party payers, dan
baik pihak rumah sakit. Manfaat kepada pasien yang bisa diperoleh
antara lain adalah meminimalisir biaya, mengurangi waktu pisah pasien
dengan rumah dan keluarga, mengurangi waktu menunggu saat
pembedahan, dan mengurangi kemungkinan pasien terkena hospital
acquired infections. Ambulatory anesthesia juga hanya membutuhkan
tes laboratorium yang lebih sedikit pada pra dan pasca pembedahan
serta kebutuhan medikasi nyeri pasca pembedahan juga dapat
berkurang. Tidak seperti pembedahan rawat inap, ambulatory
anesthesia tidak bergantung pada ketersediaan kamar/ tempat tidur
pasien di suatu rumah sakit dan memberikan kemudahan bagi pasien
untuk memilih waktu pembedahan elektif mereka, serta mengurangi
biaya perawatan di ruang pemulihan.5

2.2. Kriteria Pasien Ambulatory Anesthesia


Sebagian besar pasien memenuhi syarat prosedur dilakukannya ambulatory
anesthesia kecuali mereka memiliki alasan khusus untuk rawat inap. Pemilihan
pasien untuk ambulatory anesthesia bergantung pada beberapa faktor seperti

2
pertimbangan pembedahan, kondisi medis, sosial, riwayat anestesia pasien, dan
beberapa pertimbangan khusus lainnya.6
2.2.1. Berdasarkan Aspek Pembedahan
1. Ambulatory surgery harus tidak mempunyai risiko komplikasi
major, contohnya seperti perdarahan dan ketidakstabilan
kardiovaskular.
2. Pembedahan rongga abdomen atau toraks harus menggunakan
teknik pembedahan invasif yang minimal.
3. Nyeri pasca pembedahan harus dikontrol dengan analgesik oral dan
dengan teknik anestesia regional atau lokal.
4. Pasien harus dapat melanjutkan fungsi-fungsi normalnya seperti
minum secara oral secepat mungkin.
5. Pasien harus dapat bergerak setidaknya sampai batas tertentu
sebelum dipulangkan.
6. Pemantauan jangka panjang oleh tim profesional pasca
pembedahan tidak dibutuhkan.
7. Ahli bedah harus memiliki pengalaman yang cukup terhadap
prosedur pembedahan dan riwayat menimbulkan komplikasi pasca
pembedahan yang sedikit.
2.2.2. Berdasarkan Kondisi Medis Pasien
Pemilihan pasien didasarkan pada status fungsional pasien pada saat
penilaian dan tidak harus dibatasi oleh usia, indeks massa tubuh (BMI),
atau status ASA.6
1. Seiring dengan meningkatnya angka harapan hidup, jumlah dan
derajat keparahan komplikasi medis yang membutuhkan obat-obatan
kardiovaskular juga meningkat. Meskipun demikian, faktor usia sendiri
tidak bisa digunakan untuk menentukan ketepatan penggunaan
ambulatory surgery. Penilaian pre operatif harus dikerjakan untuk
menentukan apakah terdapat kriteria eksklusi untuk ambulatory
surgery. Pasien-pasien lansia membutuhkan supervisi lebih banyak
pasca pembedahan dan juga masalah sosial seperti kemandirian pasien,
mobilitas, isolasi oleh sosial atau keluarga harus dipertimbangkan.

3
Disfungsi kognitif pasca operatif lebih baik ditangani dirumah atau
dilingkungan keluarga untuk perbaikan yang lebih cepat setelah
ambulatory surgery.
2. Meskipun BMI yang tinggi bukan merupakan kontraindikasi absolut,
pasien obesitas mungkin memiliki masalah medis lainnya, seperti
obstructive sleep apnea (OSA).7 Dalam kasus pasien obesitas, penilaian
pra operasi harus cukup teliti untuk mengidentifikasi penyakit lainnnya
yang berhubungan dengan obesitas dan untuk pasien dengan penyakit
awal yang berat mungkin lebih baik dirawat inapkan.
3. Pasien dengan penyakit kronik namun stabil lebih memilih untuk
berada di rumah karena tidak akan begitu mengganggu aktivitas sehari-
sehari. Pasien dengan kondisi medis yang tidak stabil, seperti angina
yang tidak stabil atau diabetes yang tidak terkontrol, tidak
diperbolehkan untuk ambulatory surgery.6
2.2.3. Berdasarkan Kondisi Sosial
1. Pasien harus mengerti mengenai prosedur dan kebutuhan pasca
pembedahan dan paham sepenuhnya mengenai ambulatory surgery.
2. Ketika pasien dipulangkan ke rumah harus ditemani oleh orang
dewasa yang bertanggung jawab menemani dan mengurus selama
24 jam pasca pembedahan.
3. Pasien dan caregivers harus memiliki akses yang mudah terhadap
telepon setelah pulang ke rumah.
4. Pasien tidak boleh mengemudi setidaknya 24 jam pasca anestesia
atau sedasi.
5. Lingkungan rumah pasien harus sesuai dengan kondisi pemulihan
pasca pembedahan.
2.2.4. Berdasarkan Riwayat Anestesia Pasien
Beberapa hal penting lainnya yang juga perlu dinilai adalah ruang
lingkup lebih spesifik seperti riwayat anestesia, risiko postoperative
nausea and vomiting (PONV), dan asesmen jalan nafas.
1. Riwayat Anestesia

4
Sangat penting untuk menilai segala permasalahan yang
berhubungan dengan riwayat anestesia seperti suxamethonium
apnea, malignant hyperthermia, dan komplikasi lainnya yang
berhubungan, dan juga untuk memastikan riwayat keluarga.
Komplikasi-komplikasi diatas pada dasarnya bukan merupakan
kontraindikasi absolut, tetapi persiapan tambahan mungkin akan
dibutuhkan jika hal tersebut terjadi.
2. Risiko PONV
Risiko PONV merupakan komplikasi yang paling umum dan
besarnya risiko bergantung pada metode anestesia yang digunakan.
Saat evaluasi pre operatif, sangat berguna untuk mengevaluasi
risiko kejadian PONV menggunakan the four Apfel risk factor
(female gender, history of PONV and/or motion sickness, non-
smoking status, and postoperative use of opioids). Hal ini
memudahkan untuk menggolongkan pasien berdasarkan kelompok
risiko untuk rencana anestesia yang lebih baik.6
3. Penilaian Jalan Nafas
Untuk memprediksi kesulitan intubasi jalan nafas,
pemeriksaan jalan nafas pre operatif harus dilakukan. Kelompok
pasien tertentu, seperti mereka dengan OSA dan obesitas mungkin
memiliki risiko lebih tinggi terkena komplikasi berkaitan dengan
anestesia, tetapi pemilihan pasien dan terapi yang tepat dapat
mencegah komplikasi yang berhubungan dengan jalan nafas. Alat
supraglotis harus dievaluasi dengan hati-hati untuk menentukan
peran rutin dan manajemen emergensi jalan nafas pada ambulatory
anesthesia.8

2.3. Pemilihan Metode Anestesia


Tidak ada anestesi tunggal atau metode yang khusus untuk semua kasus
ambulatory anesthesia. Dengan demikian, preferensi pasien, usia dan kondisi
fisik, persyaratan dokter bedah, durasi efek dari obat yang dipilih, dan tingkat
perawatan pasca pembedahan yang diperlukan dipertimbangkan dalam

5
menentukan metode anestesia dan pengobatan yang paling efektif dan
nyaman.6
1. Umur
Pilihan anestesi pada pasien bayi dan anak adalah anestesia umum karena
pasien ini kurang kooperatif. Pada orang dewasa diberikan anesthesia umum
atau regional, tergantung jenis operasi yang akan dikerjakan. Pada orang tua
cenderung dipilih anestesia regional, kecuali jika tindakan pembedahan
yang akan dikerjakan tidak memungkinkan untuk anestesia regional. 4
2. Jenis Kelamin
Faktor emosional dan rasa malu yang lebih dominan pada pasien wanita
merupakan faktor pendukung pilihan anetesia umum, sebaliknya pada
pasien laki – laki tidaklah demikian, sehingga bisa diberikan anestesia
umum atau regional. Apabila dilakukan analgesia regional pada pasien
wanita, dianjurkan untuk meberikan tambahan obat sedatif.4
3. Status Fisik
Berkaitan dengan penyakit sistemik yang diderita pasien, komplikasi dari
penyakit primernya dan terapi yang sedang dijalaninya. Hal ini penting,
mengingat adanya interaksi antara penyakit sistemik/pengobatan yang
sedang dijalani dengan tindakan/obat anesthesia yang digunakan.4
Pilihan metode anestesia untuk operasi rawat jalan juga harus
mempertimbangkan keamanan, kualitas, kemanjuran, obat-obatan, dan
peralatan dari metode yang berbeda. Selain itu, secara umum, teknik anestesia
yang dipilih adalah mereka yang memiliki onset aksi dan waktu pemulihan
yang cepat, tidak menyebabkan masalah sehubungan dengan kontrol kesadaran
intraoperative, memiliki efek penghilang rasa sakit, dan tidak memiliki efek
samping lain. Analisis terhadap tindakan pembedahan atau operasi
menghasilkan empat pilahan masalah atau empat SI untuk menentukan teknik
anestesi yang akan digunakan, yaitu:4
1. Lokasi Operasi
Operasi di daerah kepala leher, dipilih anestesia umum dengan fasilitas
intubasi pipa endotrakea untuk mempertahankan jalan napas, sedangkan

6
operasi di daerah abdominal bawah, anus dan ekstremitas bawah, dilakukan
anestesia regional blok spinal.
2. Posisi Operasi
Posisi tengkurap, harus dilakukan anestesia umum dengan fasilitas intubasi
endotrakea dan nafas kendali.
3. Manipulasi Operasi
Operasi laparotomi dengan manipulasi intra-abdominal yang luas dengan
segala risikonya, membutuhkan relaksasi lapangan operasi optimal, harus
dilakukan anestesia umum dengan fasilitas intubasi endotrakea dan nafas
kembali.
4. Durasi Operasi
Operasi bedah saraf kraniotomi yang berlangsung lama, harus dilakukan
anestesia umum dengan fasilitas intubasi endotrakea dan nafas kendali.
Pilihan metode anestesia tergantung pada jenis operasi dan status pasien.
Ambulatory anesthesia meliputi anestesia umum dan regional, anestesia lokal,
monitored anesthesia care (MAC), atau kombinasi dari beberapa metode.6
1. General Anestesia
Anestesi umum/ general adalah pilihan yang paling umum, karena aman,
ekonomis, mudah dipulihkan, dan familiar bagi kebanyakan ahli anestesi.
Penggunaan anestesi baru, seperti propofol, sevofluran, dan desfluran,
memungkinkan titrasi yang lebih mudah, menyadarkan lebih dini, dan
pengurangan waktu yang diperlukan untuk memenuhi kriteria pemulangan
unit perawatan post anestesia (PACU). Namun, tidak adanya analgesia
selama periode pasca operasi membutuhkan penambahan opioid, yang
membawa risiko gangguan mental dan mual.
Agen inhalasi sendiri memiliki 20-50% risiko PONV yang bisa
diminimalisirkan dengan penggunaan obat propilaksis. Manfaat dari
penggunaan desfluran dengan sevofluran menjadi perdebatan. Meskipun
perbedaan klinis diantara desfluran dan sevofluran terbilang kecil, pada
beberapa penelitian mengatakan pemulihan kesadaran lebih cepat pasca
anestesi didapatkan pada desfluran.

7
Anestesi intravena seperti propofol menunjukan tingkat yang cepat dari
metabolisme, menghasilkan pemulihan kesadaran yang cepat dari anestesia
dengan efek samping yang sedikit. Karena rendahnya kejadian mual dan
muntah, propofol biasanya digunakan sebagai induksi anestesi dan
pemeliharaan pada ambulatory surgery.6
Remifentanil dikatakan sangat bermanfaat selama ambulatory surgery
dikarenakan oleh onset yang cepat dan durasi aksi yang pendek, yang
memicu pengembalian kesadaran yang cepat dan pemulihan dari anestesia.
Dikarenakan remifentanil memiliki efek offset analgetik yang cepat maka
perlu penggunaan opioid kerja panjang atau analgetik non opioid untuk
meredakan nyeri post operatif. Kemungkinan remifentanil dapat
menginduksi toleransi akut dan hiperalgesia setelah beberapa jam diberikan
atau pemberian berulang yang masih kontroversial. Dikatakan bahwa
remifentanil intraoperatif pada dosis tinggi (0.3-0.5 μg/kg/min)
meningkatkan nyeri post operatif dan penggunaan morfin. Penelitian lain
menyebutkan bahwa remifentanil tidak meningkatkan frekuensi kejadian
PONV atau penggunaan analgetik setelah prosedur ambulatory surgery.9
2. Regional Anestesia
Jenis utama anestesi regional meliputi blokade saraf perifer (dengan atau
tanpa kateter continuous peripheral nerve) dan blokade neuraxial. Anestesi
regional dapat tidak menimbulkan efek samping yang sering disebabkan
oleh anestesi umum, seperti mual, muntah, pusing, sisa efek relaksasi otot,
dan aspirasi pneumonia. Selain itu, efek analgesik regional dapat timbul
dari periode awal pasca operasi. Namun, ketika anestesi regional
membutuhkan lebih banyak waktu untuk menimbulkan efek, dan dalam
kasus-kasus dimana anestesi tidak berhasil atau tidak lengkap, maka
anestesi umum akan digunakan8. Selain itu, efek analgesik pasca operasi
dengan anestesi umum akan lebih besar dengan suplementasi pada blok
saraf perifer jika dibandingkan dengan penggunaan anestesi lokal. Dengan
demikian, penggunaan analgesik narkotika dan efek sampingnya dapat
dikurangi sehingga mengarah ke pemulihan yang lebih cepat. Namun,
ketika menggunakan blok aksonal sentral, anestesi lokal dan suplemen

8
anestesi yang tepat harus dipilih dan diberikan pada dosis yang sesuai untuk
mencegah keterlambatan pulangnya pasien bedah rawat jalan.6
3. Monitored Anesthesia Care (MAC)
MAC adalah metode dimana pasien dibius dengan suntikan analgesik dan
obat penenang. Alih-alih digunakan secara tunggal, MAC sering digunakan
bersama dengan anestesia infiltrasi lokal dan blok saraf perifer. MAC dapat
meningkatkan kepuasan pasien dan mempersingkat waktu pemulihan
dibandingkan dengan anestesi umum atau blok neuraxial. Baru-baru ini,
propofol, ketamin dosis rendah, dan dexmedetomidine telah digunakan
semakin banyak karena mereka dapat mengurangi kejadian depresi
pernapasan yang disebabkan oleh penggunaan obat penenang-analgesik.6

2.4. Pemulihan (Recovery), Pemulangan (Discharge), dan Fast-track Anesthesia


Pemulihan pasien pasca anestesi dapat dibagi menjadi tiga fase, yakni
fase 1, 2, dan 3. Fase 1 (early recovery) merupakan interval waktu ketika pasien
terlepas dari efek anestesi, pemulihan kontrol dari refleks protektif, dan mulai
terlihatnya ada aktivitas motorik awal. Pada fase ini pasien masih berada pada
post anesthesia care unit (PACU) untuk monitoring tanda-tanda vital dan
saturasi oksigen dan apabila diperlukan, pemberian oksigen, analgetik dan anti-
emetik bisa dilakukan.1 Setiap rumah sakit biasanya memiliki fasilitas step-
down unit yang berguna unutk membantu pasien dalam persiapan untuk
pemulangan. Dalam menentukan pasien memenuhi kriteria untuk dipindahkan
dari PACU ke fasilitas tersebut, dapat digunakan beberapa sistem penilaian
seperti modified Aldrete scoring system dan White’s fast-track criteria. Sistem
skoring Aldrete memiliki keterbatasan seperti tidak adanya pemeriksaan
mengenai nyeri, mual, atau muntah yang merupakan efek samping yang sering
ditemukan dalam PACU. Sistem tersebut juga tidak ideal dalam menentukan
fast-tracking dalam pasien-pasien yang menggunakan anestesi regional.10

9
Tabel 1. Modified Aldrete Scoring System
Kriteria Nilai
Aktifitas: mampu menggerakkan ekstremitas
4 ekstremitas 2
2 ekstremitas 1
0 ekstremitas 0
Respirasi
Mampu nafas dalam dan batuk 2
Dispneu atau nafas terbats 1
Apneu 0
Sirkulasi
BP ± 20 mmHg dari nilai sebelum anestesi 2
BP ± 20–50 mmHg dari nilai sebelum anestesi 1
BP ± 50 mmHg dari nilai sebelum anestesi 0
Kesadaran
Sadar penuh 2
Respon bila dipanggil 1
Tidak ada respon 0
Saturasi oksigen
Saturasi oksigen > 92% dengan udara bebas 2
Saturasi oksigen > 90% dengan bantuan oksigen tambahan 1
Saturasi oksigen < 90% walaupun dengan oksigen tambahan 0
Sumber: McGrath B, Chung F. Postoperative recovery and discharge. Anesthesiol Clin North
America. 2003;21(2):367–86.

Penilaian numerik dari 0, 1, atau 2 dilakukan untuk menilai aktivitas


motorik, respirasi, sirkulasi, kesadaran, dan warna kulit dengan nilai maksimal
adalah 10. Penggunaan pulse oximetry dapat menolong lebih akuratnya
indikator oksigenasi, dan diusulkanlah suatu modifikasi skoring aldrete yang
mengganti kriteria warna pada skoring Aldrete dengan SpO2 pada modifikasi
sistem skoring Aldrete. Pasien dengan skor 9 bisa dipindahkan ke step-down
unit dimana fase ke 2 pemulihan berlangsung sebelum akhirnya pasien
diperbolehkan untuk pulang.10 Dalam beberapa kasus pembedahan sederhana
yang menggunakan obat anestesi jangka pendek seperti propofol, sevoflurane,
atau desflurane, pemulihan kesadaran, kemampuan bernafas regular, dan tanda
vital stabil dari pasien bisa terjadi di ruang pembedahan. Dalam kasus seperti
ini, metode fast-tracking bisa digunakan dalam memindahkan pasien dari
ruang pembedahan langsung menuju step-down unit tanpa harus melalui PACU
terlebih dahulu yang bisa menekan biaya medis yang diperlukan. 11

10
Konsep fast-track anesthesia menggunakan program rehabilitasi
multimodalitas perioperative yang pertama kali diperkenalkan pada tahun
1990 untuk memfasilitasi pemulangan yang lebih awal dari rumah sakit dan
pemulihan yang lebih cepat untuk dapat beraktivitas kembali setelah
pembedahan elektif. Pada fast-track anesthesia, pasien tidak melewati
pemulihan di PACU (fase 1) namun pasien langsung dipindahkan menuju
ruang pemulihan (fase 2). Fast-track anesthesia berkembang karena
diperlukannya pengendalian biaya kesehatan, tetapi keuntungan paradigma ini
lebih besar daripada hanya pengurangan biaya perawatan, termasuk juga hasil
dan kepuasan pasien. Meningkatnya penggunaan teknik bedah yang invasif
minimal, perkembangan obat-obat baru termasuk yang mula kerjanya cepat,
durasi kerja lebih cepat, obat-obatan analgesik dan pelemas otot merupakan
bagian dalam perkembangan fast-track anesthesia. Selain dari tersedianya
obat-obatan anestesia yang memiliki onset cepat dan durasi obat yang lebih
pendek seperti propofol, sevoflurane, desflurane, dan remifentanil;
penggunaan pre-emtif obat analgetik non-opioid (anestesi lokal, ketamin,
NSAID, COX-2 inhibitor, acetaminophen) dan antiemetik (dexamethasone,
droperidol) juga membantun dalam menurunkan efek samping post-operative
dan mempercepat pemulihan fase 1 maupun fase 2 dari pembedahan. 5,11 Dalam
menentukan seorang pasien layak untuk termasuk dalam fast-track anesthesia,
sistem penilaian lainnya telah dibuat, karena penggunaan modified Aldrete
score pada pemulihan fase 1 tidak adekuat digunakan karena ada beberapa
kriteria yang mencakup komplikasi yang sering terjadi pada PACU seperti
nyeri, mual, dan muntah. White’s fast track criteria sering digunakan untuk
menilai pasien apakah diperbolehkan untuk masuk dalam fast-track anesthesia.
Dalam sistem skoring ini, pasien yang layak untuk menerima fast-track
anesthesia adalah pasien dengan nilai >12 dan tidak ada nilai 0.12

11
Tabel 2. White’s fast track criteria
Kriteria Nilai
Kesadaran
Sadar penuh 2
Respon terhadap rangsang minimal 1
Respon hanya bila dirangsang fisik 0
Aktifitas fisik
Mampu menggerakan semua anggota gerak sesuai perintah 2
Ada kelemahan pada bagian anggota gerak 1
Tidak mampu menggerakkan semua anggota gerak 0
Stabilitas hemodinamik
Tekanan darah, ± 15% dari nilai MAP awal 2
Tekanan darah, 15%–30% dari nilai MAP awal 1
Tekanan darah, > 30% dari nilai MAP awal 0
Stabilitas respirasi
Mampu bernafas dalam 2
Takipneu tapi mampu batuk 1
Dispneu dan tidak mampu batuk 0
Saturasi oksigen
Saturasi > 90% dengan udara bebas 2
Saturasi > 90% dengan bantuan oksigen via nasal canul 1
Saturasi < 90% dengan oksigen tambahan 0
Nyeri pascabedah
Tidak ada atau minimal 2
Nyeri sedang sampai berat dengan tambahan analgetik IV 1
Nyeri berat yang menetap 0
Muntah pascabedah
Tidak ada atau mual minimal tanpa muntah 2
Muntah kadang-kadang 1
Muntah sering dengan derajat sedang sampai berat 0
Nilai total 14
Sumber: White PF, Song D. New Criteria for Fast-Tracking After Outpatient Anesthesia: A
Comparison with the Modified Aldrete’s Scoring System. Int Anesth Res Soc. 1999;88:1069–72.

Pemulihan fase 2 (intermediate recovery) diawali dengan pemindahan


pasien dari PACU menuju ruang pemulihan sebelum bisa dipulangkan. Dalam
menilai kesiapan pasien untuk dipulangkan, terdapat beberapa sistem skoring
yang bisa digunakan, salah satunya adalah Post-anesthesia Discharge Scoring
System (PADSS). PADSS digunakan oleh banyak instansi karena sistem
skoring tersebut memiliki kepraktisan yang baik, sederhan, mudah untuk
diingat, dan tidak menimbulkan beban bagi tenaga kesehatan. Skoring PADSS
didasari oleh 5 kirteria dasar, yaitu tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi,
respirasi, dan suhu badan), aktivitas motorik, mual atau muntah, nyeri, dan

12
perdarahan. Pada awalnya, PADSS terdapat ketentuan mampu minum
pascabedah, dimana ketentuan minum pascabedah tidak lagi dimasukkan
kedalam protokol kriteria pemulangan pasien dan hanya diperlukan pada
pasien tertentu sehingga PADSS dimodifikasi. Skor yang digunakan dalam
setiap indikator adalah 0, 1, atau 2. Pasien dengan total skor minimal 9 bisa
dinyatakan boleh untuk pulang.10 Pemulihan fase 3 dimulai setelah pasien
dipulangkan dan berlanjut hingga pasien bisa melakukan aktivitas seperti biasa.
Tabel 3. Modified PADSS
Kriteria Pemulangan Skor
Tanda Vital
Tanda vital harus dalam keadaaan stabil dan konsisten
Tekanan darah dan nadi sekitar 20% dari nilai prabedah 2
Tekanan darah dan nadi sekitar 20%-40% dari nilai prabedah 1
Tekanan darah dan nadi sekitar >40% dari nilai prabedah 0

Tingkat Aktivitas
Pasien harus mampu untuk ambulasi 2
Postur stabil dan mampu berdiri, tidak ada pusing 1
Membutuhkan pertolongan atau bantuan 0
Tidak mampu ambulasi
Mual dan Muntah
Tingkat mual dan muntah pasien harus minimal sebelum dipulangkan
Minimal: berhasil diatasi dengan pengobatan 2
Sedang: berhasil diatasi dengan pengobatan intramuskular 1
Berat: berulang setelah beberapa kali pengobatan 0
Nyeri
Nyeri yang dirasakan pasien harus minimal atau tidak ada sebelum
dipulangkan. Tingkatan nyeri harus dapat diterima oleh pasien. Jika ada
nyeri, harus bisa diatasi dengan analgesik oral. Lokasi, tipe, dan intensitas
dari nyeri harus konsisten dengan nyeri post-op yang diantisipasi
Nyeri dapat ditoleransi 2
Nyeri tidak dapat ditoleransi 1
Perdarahan Pasca Pembedahan
Perdarahan pasca pembedahan harus konsisten dengan perkiraan
perdarahan yang akan terjadi
Minimal: tidak memerlukan pergantian perawatan luka 2
Sedang: memerlukan dua kali pergantian rawat luka 1
Berat: lebih dari tiga pergantuan rawat luka 0
Sumber: McGrath B, Chung F. Postoperative recovery and discharge. Anesthesiol Clin North
America. 2003;21(2):367–86.

13
2.5. Penanganan Komplikasi Pascabedah
Penanganan komplikasi setelah pembedahan seperti nyeri, mual dan muntah,
pusing, obstruksi pencernaan dan saluran berkemih harus diperhatikan dalam
pasca pembedahan rawat jalan, karena dapat menunda pemulangan pasien dan
meningkatkan resiko rawat inap pada pasien tersebut. Dari semua komplikasi
pascabedah yang ada, nyeri dan post-operative nausea and vomiting (PONV)
merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan. 1

2.5.1 Penanganan Nyeri Pasca Pembedahan

Nyeri setelah pemulangan masih menjadi komplikasi yang paling sering


dijumpai pasca pembedahan. Nyeri sedang hingga berat akan menunda proses
pemulihan dan pemulangan pasien dari ruang pemulihan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkatan nyeri pada bedah rawat jalan antara lain jenis
pembedahan dan anestesi, analgetik yang diberikan saat anestesi, faktor
demografi pasien, riwayat analgetik (toleransi analgetik), serta respon
emosional dan fisiologi terhadap nyeri itu sendiri. Dalam penanganan nyeri,
pemberian obat analgetik harus diperhatikan karena berpotensi menimbulkan
efek samping lanjut, seperti pada pemberian opioid analgetik dalam
menimbulkan efek samping berupa sedasi, depress pernafasan, dan PONV
hingga diperlukannya rawat inap. Untuk meminimalisir terjadinya efek
samping dan mengingkatkan kecepatan pemulangan pasien, maka konsep
multimodal analgesia harus diterapkan.1 Multimodal analgesia merupakan
kombinasi dari beberapa medikasi dengan mekanisme aksi yang berbeda atau
bekerja pada tempat yang berbeda sesuai dengan jalur dari nyeri itu sendiri
yang bisa membantu meminimalkan penggunaan opioid dan meminimalisir
efek samping. Kombinasi dari penggunaan acetaminophen, NSAIDs dan COX
Inhibitor, alpha-2-delta modulator (gabapentin dan pregabalin), N-methyl-D-
aspartate (NMDA) receptor antagonists (ketamine), alpha-2 receptor agonist
(clonidine dan dexmedetomidine) dan anestesi lokal. 13
1. Analgetik Non-Opioid
Acetaminophen, nonselective NSAIDs, dan COX-2 Inhibitor
menjadi pilihan analgetik multimodal yang sering digunakan dalam
penanganan nyeri pasca pembedahan. Acetaminophen merupakan

14
analgetik nonopioid terlemah, namun memiliki angkata risiko efek
samping yang paling rendah, selama obat tersebut digunakan dalam
dosis terapeutik <4 gram/hari. Pemberian acetaminophen sebelum
pembedahan juga dapat menurunkan terjadinya resikon PONV.
Selain itu, acetaminophen juga bisa dikombinasikan dengan
NSAIDs seperti ibuprofen.
NSAIDs dan COX Inhibitor memiliki efektifitas yang lebih tinggi
dibandingkan acetaminophen. NSAIDs dan COX Inhibitor tidak
memiliki efikasi yang berbeda, peran dari nonopioid analgetik ini
dalam analgesia multimodal sudah jelas dalam membantu efek
antinyeri dan menurunkan kebutuhan opioid, sehingga bisa
menurunkan efek samping PONV dan sedasi. Penggunaan
ibuprofen (120 mg/hari) atau celecoxib (400mg/hari) selama 4 hari
pasca pembedahan dapat menurunkan angka kebutuhan analgetik
dalam periode awal pemulangan.
2. Analgetik Opioid
Penggunaan opioid memiliki peran penting pada analgetik cepat
dalam periode perioperative dan analgetik darurat dalam
ambulatory anesthesia. Penggunaan opiod akan menimbulkan efek
samping berupa sedasi, mual, muntah, dan konstipasi yang akan
berefek negatif pada fase pemulihan awal.
3. Alpha-2- delta modulator
Gabapentin dan pregabalin biasanya diberikan sebagai premedikasi,
karena efeknya yang memberikan sedasi pada preoperative dan
anxiolysis dan memiliki efek analgetik yang tinggi sehingga bisa
menunrunkan kebutuhan opioid.
4. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid dalam perioperatif seperti
dexamethasone digunakan karena dapat menurunkan terjadinya
PONV dan memiliki efek analgesi yang adekuat. Penelitian meta-
analisis menyebutkan bahwa penggunaan dexamethasone juga
dapat menurunkan nyeri pasca pembedahan, menurunkan

15
kebutuhan opioid, dan menurunkan periode dalam PACU.
Penggunaan dexamethasone (4-10 mg) direkomendasikan dalam
pembedahan rawat jalan.
5. Anestesi lokal
Penggunaan anestesi lokal juga direkomendasikan sebagai tingkat
lanjutan dari multimodal analgesia dalam guidline di Amerika.
Teknik ini memberikan keuntungan spesifik dalam pembedahan
rawat jalan. Teknik yang biasa digunakan seperti infiltrasi lokal
anestesi dengan dosis tunggal, yang biasa dikombinasikan dengan
adjuvant untuk blok saraf perifer berkelanjutan.
Pada bedah rawat jalan nyeri sudah harus terkontrol dengan analgetik
oral (seperti parasetamol, ibuprofen, parasetamol dengan codein)
sebelum pasien dipulangkan. Ibuprofen 800 mg menghasilkan efek
analgetik yang lebih baik dibanding parasetamol 800 mg dengan codein
60 mg bila diberikan setiap 8 jam selama 3 hari setelah bedah rawat
jalan. Penggunaan ibuprofen secara signifikan juga jarang
menyebabkan konstipasi, yang biasa terjadi setelah pemberian codein.

Gambar 1. Strategi Multimodal Analgesia


Sumber: Kulkarni S, Harsoor S, Chandrasekar M, Bhaskar SB, Bapat J, Ramdas EK,
et al. Consensus statement on anaesthesia for day care surgeries. Indian J Anaesth.
2017;61(2):110–24.

16
2.5.2 Penanganan PONV

PONV masih merupakan masalah yang umum pada bedah rawat jalan,
dan kejadiannya 20-30% setelah pemberian anestesi umum dan dilaporkan
masih terjadi pada 35% pasien setelah dipulangkan kerumah, sehingga
mencegah PONV merupakan prioritas bagi pasien. Apfel dkk.
Mengklasifikasikan faktor resiko PONV pada pasien dewasa dengan membuat
suatu sistem skoring yang terdiri dari 4 kategori yaitu: wanita, tidak merokok,
riwayat PONV dan penggunaan opioid pascabedah. Bila 0, 1, 2, 3, atau 4 faktor
tersebut ada maka kejadian PONV adalah sekitar 10%, 20%, 40%, 60%, atau
80%. Strategi untuk mengurangi resiko PONV adalah:14
1. Menghindari pemakaian anestesi umum, dengan menggunakan
anestesi regional.
2. Penggunaan propofol untuk induksi serta rumatan anestesi.
3. Menghindari pemakaian N2O.
4. Menghindari pemakaian obat anestesi volatile
5. Meminimalkan pemakaian opioid intraoperatif dan pascabedah.
6. Meminimalkan pemakaian prostigmin
7. Pemberian cairan yang adekuat.
Antiemetik yang digunakan sebagai profilaksis PONV pada pasien
dewasa termasuk:
1. 5-hydroxytryptamine (5-HT3) antagonist (seperti ondansetron,
dolasetron, granisetron, dan tropisetron)
2. Steroid (seperti deksametason)
3. Phenothiazines (prometazin dan proklorperazin)
4. Penylethylamine (efedrin)
5. Butyrophenones (droperidol, haloperidol)
6. Antihistamin (dimenhidrinat)
7. Antikolinergik (skopolamin transdermal)
Jika PONV terjadi pascabedah, antiemetik yang diberikan sebagai
terapi harus dengan farmakologi yang berbeda dari antiemetik
profilaksis yang telah diberikan, antiemetik yang direkomendasikan
adalah antagonis 5-HT3, terbukti adekuat pada terapi PONV. Dosis

17
antagonis 5-HT3 yang digunakan untuk terapi lebih kecil dibanding
dosis profilaksis: ondansetron 1,0 mg, dolasetron 12,5 mg, granisetron
0,1 mg, dan tropisetron 0,5 mg. Alternatif terapi lain adalah
dexametason 2-4 mg, droperidol 0,625 mg IV, atau prometazin 6,25-
12,5 mg IV. Propofol 20 mg dapat juga dipakai sebagai rescue therapy
PONV pada pasien yang masih berada di PACU, sama efektifnya
dengan ondansetron. Kejadian mual muntah setelah pasien dipulangkan
juga cukup tinggi, 17% mengalami mual dan 8% mengalami muntah
setelah pasien dipulangkan pada bedah rawat jalan. Untuk profilaksis
kejadian ini dapat diberikan ondansetron 4 mg atau deksametason 4-10
mg.

Tabel 4. Dosis dan Waktu Pemberian Obat Antiemetik

Obat Dosis waktu


Dexamethasone 4–5 mg IV At induction
Dimenhydrinate 1 mg/kg IV End of surgery
Dolasetron 12.5 mg IV End of surgery
Droperidol 0.625–1.25 mg IV End of surgery
Ephedrine 0.5 mg/kg IM End of surgery
Granisetron 0.35–1.5 mg IV End of surgery
Haloperidol 0.5–2 mg IM/IV End of surgery
Prochlorperazine 5–10 mg IM/IV End of surgery
Promethazineb 6.25–25 mg IV At induction
Ondansetron 4 mg IV End of surgery
Scopolamine Transdermal patch Prior evening or 4 h
before surgery
Tropisetron 2 mg IV End of surgery
Sumber: Gan TJ, Diemunsch P, Habib AS, Kovac A, Kranke P, Meyer TA, et al. Consensus
Guidelines for the Management of Postoperative Nausea and Vomiting. Soc Ambul Anesth.
2014;118(1):85–113.

18
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : IBKAA
No RM : 19039739
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 29 tahun
Agama : Hindu
Status : Menikah
Alamat : Dencarik Banjar Buleleng
Diagnosis : Varikokel dextra et sinistra
Tindakan : Vasoligasi vena spermatika internal
Tanggal Operasi : 24/10/2019

3.2 Anamnesis
Keluhan utama : 1 tahun menikah namun belum memiliki anak
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien laki-laki, 29 tahun, merupakan pasien rujukan dari Dr. dr Gede
Wirya Kusuma Duarsa, M.Kes, Sp U (K) dengan keluhan utama belum
memiliki anak setelah 1 tahun menikah. Pasien awalnya mengikuti
pemeriksaan analisis sperma/ check-up pada September 2019 yang dilakukan
di hotel tempat pasien bekerja. Hasil pemeriksaan menunjukkan oligospermia
dan kemudian pasien berkonsultasi mengenai hasilnya ke dokter. Pasien saat
ini tidak ada keluhan. Nyeri dan rasa berat pada alat genitalia disangkal.
Gangguan berkemih seperti nyeri saat kencing, rasa tidak puas pada saat
berkemih disangkal.
Riwayat penyakit sistemik : Riwayat penyakit hipertensi, diabetes
mellitus, penyakit jantung, asma, ginjal disangkal.
Riwayat alergi obat dan makanan : Tidak ada
Riwayat pengobatan : Tidak ada

19
Riwayat penyakit dahulu : Pasien tidak pernah mengalami keluhan
serupa sebelumnya.
Riwayat merokok dan alkohol : Tidak ada
Riwayat penyakit keluarga : Keluhan yang sama pada keluarga
disangkal, riwayat penyakit sistemik seperti hipertensi, diabetes mellitus,
jantung, ginjal dan asma dalam keluarga disangkal.
Riwayat operasi : Tidak ada

3.3 Pemeriksaan Fisik


BB 64 kg, TB 171 cm, BMI 18,6 kg, Suhu aksila 36,5oC, VAS 0/10
SSP : Kesadaran Compos mentis, GCS E4V5M6, pupil isokor 3 mm/3
mm, refleks cahaya +/+
Respirasi : Frekuensi 16x/menit, tipe vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing
(-/-), SpO2 99% room air
KV : TD 132/94 mmHg, HR 85x/menit, bunyi jatung S1-S2 tunggal,
reguler, murmur (-).
GIT : Supel, bising usus (+) normal, ascites (-)
UG : BAK spontan
MS : Akral hangat

3.4 Pemeriksaan Penunjang


• Darah Lengkap (10/10/19)
WBC 10,13 (4.1-11.0) x 103/µL; HGB 15,96 (14.5-17.5) g/dL; HCT 50,40
(41-53) %; PLT 222,40 (150-440) x 103/µL

• Faal Hemostasis (10/10/19)


PPT 14,1 detik (10,8-14,4); APTT 33,1 detik (24-36); INR 1.01 (0.9-1.1

3.5 Permasalahan dan Kesimpulan


Permasalahan Aktual : Varikokel
Permasalahan Potensial : Infeksi
Kesimpulan : Status Fisik ASA I

20
3.6 Persiapan Anestesi
Persiapan di Rumah
• Puasa makanan 8 jam sebelum operasi, puasa air 3 jam sebelum operasi
Persiapan di ruang Persiapan IBS
• Evaluasi identitas penderita
• Periksa kembali catatan medik penderita, identitas, persetujuan operasi
• Persiapan psikis
− Anamnesis anggota keluarga pasien
− Memberikan penjelasan keluarga tentang rencana anestesi yang akan
dilakukan mulai di ruang penerimaan, ruang operasi sampai di ruang
pemulihan
• Persiapan fisik
− Melepaskan perhiasan sebelum ke kamar operasi
− Ganti pakaian khusus sebelum ke ruang operasi
− Memeriksa status present, status fisik dan hasil pemeriksaan penunjang
− Memeriksa surat persetujuan operasi
− Memasang ivline 18 G dengan three way, cairan pengganti puasa
dengan RL dengan tetesan 20 tetes per menit
Persiapan di Kamar Operasi
• Menyiapkan mesin anestesi dan aliran gas
• Menyiapkan monitor dan kartu anestesi
• Mempersiapkan obat dan alat anestesi
• Menyiapkan obat dan alat resusitasi
• Evaluasi ulang status present penderita

3.7 Manajemen Operasi (24/10/2019)


• Teknik Anestesi RA-BSA
Pre medikasi : Midazolam 1 mg IV
Lokasi Pungsi : L2-L3
Jarum/ no : 27 G
Kateter : Tidak
Medikasi : Bupivacaine 0.5% heavy weight 10 mg

21
Maintenance : O2: 3 lpm
Medikasi lain : Lidocaine 40 mg

• Durante operasi
Hemodinamik : TD 110-120/60-70 mmHg, Nadi 60-70x/menit, RR
14-16x/menit, SpO2 98-100%
Cairan masuk : RL 250 ml
Cairan keluar : Perdarahan 5 ml
Posisi Operasi : Terlentang (Supine)
Waktu Operasi :
Masuk ruang persiapan : 09.30 wita
Masuk kamar operasi : 10.35 wita
Anestesi mulai : 10.45 wita
Anestesi selesai :-
Operasi mulai : 10.55 wita
Operasi selesai : 12.00 wita
Lama operasi : 1 jam 5 menit (10.55 – 12.00 wita)

• Post Operasi
Perawatan :
- Paracetamol 3 x 500 mg PO
- Cefixime 2 x 200 mg PO
- Perawatan di ruang pemulihan
- Observasi tanda vital, ALDRETE Score, dan PADDS Score
- Manajemen nyeri pasca operasi

• Ruang Pemulihan (12.15 wita)


Jalan Napas : Bersih dan lapang
Pernapasan : Spontan
Bila Spontan : Adekuat bersuara
Kesadaran : Sadar betul

22
Hemodinamik : TD 120-125/70-80 mmHg, Nadi 60x/menit, RR 12-
16x/menit, SpO2 98-100%
Skor ALDRETTE :
- Aktivitas :1
- Respirasi :2
- Sirkulasi :2
- Kesadaran :2
- Saturasi O2 :2
Total :9

• Keluar Ruang Pemulihan (15.00 wita)


Ke : Langsung Pulang
Skor ALDRETE : 10
Skor PADDS : 10
- Tanda Vital :2
- Tingkat Aktivitas :2
- Mual dan Muntah :2
- Nyeri :2
- Perdarahan Pasca Pembedahan :2

Skor Bromage :0
VAS : 0/10

23
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan teori teknik anestesi yang optimal pada bedah rawat jalan harus
memenuhi beberapa kriteria seperti menciptakan kondisi pembedahan yang prima,
pemulihan yang cepat (rapid recovery), tidak ada efek samping pascabedah dan
kepuasan pasien. Disamping itu, teknik anestesi yang dipakai harus mengambil
peran dalam peningkatan kualitas serta penurunan biaya, meningkatkan efisiensi
penggunaan kamar operasi, serta pemulangan pasien yang lebih cepat tanpa efek
samping. Dalam bedah rawat jalan terdapat beberapa teknik anestesi yang dapat
dipilih yaitu; anestesi umum, anestesi regional, Monitored Anestesi Care (MAC),
serta anestesi lokal.
Berdasarkan umur, pasien tergolong usia dewasa (29 tahun) sehingga
anestesi yang dipilih adalah anestesi regional karena pasien dewasa yang
kooperatif. Berdasarkan jenis kelamin, faktor emosional dan rasa malu yang tidak
lebih dominan pada pasien laki-laki merupakan faktor pendukung pilihan anetesia
regional. Berdasarkan jenis operasi, pada teori dibagi menjadi 4 yaitu lokasi, posisi,
manipulasi dan durasi. Pada pasien ini lokasi operasinya di testis yang merupakan
regio abdomen bawah sehingga dipilih anestesia regional. Pada pasien ini di
dilakukan anestesi regional-subaraknoid blok, karena prosedur pembedahan yang
digunakan dinilai minimal invasif dan pasien dalam batas kooperatif. Selain itu,
anestesi jenis ini dinilai sangat baik untuk pembedahan pada regio abdomen bawah,
inguinal, urogenital, rektal, maupun pembedahan ekstrimitas bagian bawah. Pada
pasien juga tidak ditemukan kontraindikasi blok spinal seperti adanya tanda infeksi
pada lokasi injeksi, tidak ada riwayat maupun tanda dari gangguan koagulasi darah
(coagulopathy), syok hipovolemi, peningkatan tekanan intrakranial, maupun
gangguan jantung lainnya seperti stenosis katup aorta maupun mitral yang berat.16
Posisi operasi pada pasien supine atau terlentang dengan manipulasi minimal, serta
rencana tindakan yang diambil berupa vasoligasi vena spermatika internal.
Selanjutnya dilakukan persiapan anestesi, yaitu pasien diminta untuk puasa. Pasien
merupakan pasien rawat jalan (One Day Care) maka pasien sudah melakukan puasa

24
dari rumah sejak pukul 21.00 WITA, sesuai dengan rekomendasi dari American
Societyf of Anesthesiologist (ASA) dengan minimal 8 jam puasa.15
Pembedahan pada pasien dilakukan pada tanggal 24 Oktober 2019 pada
pukul 10.45 WITA, sehingga pasien diperbolehkan mengonsumsi makanan padat
terakhir pada pukul 02.45 dini hari dan terkhir minum cairan bening pada pukul
08.00 WITA sehingga terdapat kesesuaian antara teori dan kenyataan. Selagi pasien
puasa, kebutuhan cairan pasien dipenuhi dengan pemasangan infus. Berdasarkan
teori, pemberian cairan pasca puasa bisa diberikan dengan menggunakan NaCl
0,9%, ringer laktat, atau koloid. Pada pasien diberikan cairan ringer laktat, sehingga
dapat dikatakan hal ini sesuai dengan teori yang ada. Pasien juga dipersiapkan
secara fisik dan psikis mengingat usia pasien agar pasien merasa nyaman.
Berdasarkan teori sebelum pasien dipindahkan ke dalam ruang operasi,
pasien diberikan premedikasi. Pada kasus, pasien ini diberikan obat premedikasi
berupa Midazolam 1 mg IV, diberikan untuk memberi efek penenang pada pasien.
Pada pasien juga tidak dilakukan intubasi. Selain persiapan sebelum memasuki
kamar operasi, kamar operasi sendiri harus disesuaikan dimana pengaturan suhu,
ketersediaan selimut hangat maupun lampu penghangat harus diperhatikan.
Peralatan anestesi dalam kamar operasi juga harus memenuhi syarat. Pada pasien
ini dilakukan anestesi regional dengan menggunakan Bupivacaine 0,5% heavy
weight 10 mg dilakukan pungsi pada L2-L3. Bupivicaine 0,5% heavy weight
merupakan obat anestesi dengan sifat hiperbarik, yang berarti obat ini memiliki
tingkat kepekatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan cerebro spinal fluid
(CSF). Dalam pemilihan obat anestesi blok spinal harus memperhatikan tingkat
barisitas dari obat tersebut, karena hal itu akan berpengaruh pada level blok pada
anestesi spinal. Terdapat 3 jenis obat anestesi blok spinal tersebut, yakni obat
anestesi hiperbarik, hipobarik, dan isobarik. Obat anestesi hipobarik memiliki
kepekatan yang lebih rendah dari CSF sehingga obat tersebut akan menimbulkan
efek diatas lokasi pungsi, dan sebaliknya dengan obat anestesi hiperbarik. Obat
anestesi isobarik memiliki kepekatan yang hampir sama dengan CSF maka akan
menimbulkan efek setinggi dengan lokasi pungsi. Pengaruh tinggi efek anestesi
tidak bergantung hanya dari sifat obat yang digunakan, hal seperti posisi pasien saat
dilakukan injeksi ataupun posisi pasien setelah dilakukan injeksi akan memiliki

25
pengaruh pada level anestesi yang dihasilkan. Pada pasien ini tidak ditemukan
adanya kelainan pada kurvatura spinal, sehingga setelah dilakukan injeksi obat pada
L2-L3 dan dilakukan perubahan posisi ke posisi supine, obat tersebut tidak akan
menimbulkan efek pada daerah T4 karena secara anatomis bagian apex dari
kurvatura spinal bagian thorakolumbar berada pada T4. 16

Gambar 2. Posisi Kanal Spinalis pada Posisi Supine dan Lateral Dekubitus
Sumber: Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology.
5 ed. Toronto: McGraw-Hill; 2013.

Setelah pasien selesai dilakukan pembedahan dan sudah sadar, pasien


dipindahkan ke ruang pemulihan, dimana tanda-tanda vital pasien harus
diperhatikan. Pasien rawat jalan biasanya langsung dijadwalkan untuk pulang ke
rumah jika skor PADDS mampu mencapai nilai 10 dan tidak ada penyulit atau
komplikasi pasca operasi. Pada kasus, pasien dipulangkan setelah dilakukan
observasi selama kurang lebih 3 jam dimana skor PADDS didapatkan 10, tanda
vital dalam batas normal, mual (-) dan skala nyeri pada pasien 0.

Pasien dan keluarganya juga diberikan KIE mengenai penatalaksaan setelah


pasien pulang dari rumah sakit seperti prosedur diet, obat, aktifitas, nomor telepon
bila ada kejadian emergensi, tidak melakukan aktivitas berat dan kemungkinan
gejala pasca operasi yang timbul saat pasien sudah di rumah. Pasien bedah rawat
jalan harus disertai orang dewasa yang bertanggung jawab membawanya pulang
dan menjaganya dirumah karena akan mengurangi kejadian adanya efek yang tidak
diinginkan serta meningkatkan kenyamanan pasien.

26
Dalam mengatasi resiko terjadinya PONV, terdapat beberapa obat yang bisa
digunakan sebagai tindakan profilaksi yang diberikan saat premedikasi maupun saat
pembedahan sudah selesai. Pemberian dexamethasone dalam dosis kecil (4 mg)
dinilai memiliki efektifitas yang setara dengan pemberian ondansentron dalam
menurunkan risiko terjadinya PONV. Namun pada pasien ini tidak diberikan
premedikasi profilaksis PONV dengan pertimbangan pada prosedur pembedahan
tidak menggunakan anestersi general maupun obat-obatan analgetik opiat yang
memiliki kemampuan untuk meningkatkan risiko terjadinya PONV. Selain
pemberian steroid, pemberian golongan serotonin, 5-hydroxytryptamine (5-HT)
antagonis juga bisa digunakan untuk mengatasi PONV. 5-HT3 merupakan reseptor
yang memediasi muntah yang bisa ditemukan pada saluran gastrointestinal maupun
pada otak. Ondansentron merupakan salah satu obat yang termasuk dalam golongan
5-HT3 antagonis, dimana obat tersebut akan secara selektif memblok dari 5-HT3
reseptor dengan efek minimal maupun tidak ada efek pada reseptor dopamine. 16
Berdasarkan teori tidak terdapat faktor risiko yang dapat menimbulkan terjadinya
PONV seperti faktor dari pasien (individu), faktor anestesi dan faktor pembedahan.
Pada kasus, faktor risiko dari pasien adalah pasien merupakan seorang laki-laki,
tidak merokok, riwayat PONV sebelumnya (-), mabuk perjalanan (-). Selanjutnya
didapatkan angka terjadinya PONV berdasarkan faktor individu sebesar 0%.

Tabel 6. Strategi untuk mengurangi resiko PONV


Teori Kasus
Menghindari pemakaian anestesi umum, dengan menggunakan ✓
anestesi regional
Penggunaan propofol untuk induksi serta rumatan anestesi -
Menghindari pemakaian N2O -
Menghindari pemakaian obat anestesi volatil (inhalasi) -
Meminimalkan pemakaian opioid intraoperatif dan pascabedah ✓
Meminimalkan pemakaian prostigmin ✓
Pemberian cairan yang adekuat ✓
Sumber: Gan TJ, Diemunsch P, Habib AS, Kovac A, Kranke P, Meyer TA, et al. Consensus
Guidelines for the Management of Postoperative Nausea and Vomiting. Soc Ambul Anesth.
2014;118(1):85–113.

27
Retensi urin akut dapat terjadi pada semua jenis anestesi dan setelah
prosedur operasi. Etiologi retensi urin pasca operasi melibatkan kombinasi banyak
faktor, termasuk trauma bedah pada saraf panggul atau kandung kemih,
overdistensi kandung kemih dengan sejumlah besar cairan yang diberikan secara
intravena, edema pasca operasi di sekitar leher kandung kemih, dan nyeri atau
kecemasan yang disebabkan refleks spasme sfingter uretra internal dan eksternal.
Penumpukkan cairan kandung kemih yang berlebihan dapat meregangkan dan
merusak otot detrusor, menyebabkan atonia dinding kandung kemih, sehingga
pemulihan berkemih mungkin tidak terjadi ketika kandung kemih dikosongkan.
Retensi urin lebih mungkin terjadi setelah operasi besar dan dengan pasien pria
lanjut usia. Gangguan berkemih sering terjadi pada 24 jam pertama setelah anestesi
spinal. Untuk menghindari gejala kandung kemih yang berkepanjangan pasca
operasi, pengawasan yang cermat terhadap fungsi kandung kemih sangat penting
pada pasien yang menerima anestesi spinal dengan anestesi kerja lama. Pasien yang
berisiko untuk retensi urin harus didorong untuk duduk, berdiri, atau ambulasi
sesegera mungkin dengan kateterisasi yang tepat bila diperlukan.17 Pasien ini masih
tergolong kelompok usia dewasa dan pembedahan yang dilakukan adalah bedah
minor sehingga faktor risiko untuk terjadinya retensi urin menjadi lebih kecil.
Tetapi pada pasien terjadi retensi urin pada 2 jam pertama pasca operasi, namun 1
jam setelahnya pasien dapat berkemih secara spontan. Meskipun demikian, pasien
dan keluarga tetap diberikan penjelasan mengenai kemungkinan adanya retensi urin
dan agar segera kembali ke rumah sakit untuk mendapat penanganan awal seperti
kateterisasi.
Post Dural Puncture Headache (PDPH) adalah sakit kepala khas yang
biasanya terjadi pada bagian frontal dan oksipital dan diperburuk oleh postur tubuh
yang lurus dan dengan mengejan. Sakit kepala mungkin pertama kali dialami
beberapa jam sampai beberapa hari setelah tusukan dural. Sakit kepala ini berbeda
dari sakit kepala yang pernah dialami pasien sebelumnya (kecuali pernah
mengalami PDPH sebelumnya). PDPH perlu dibedakan dari sakit kepala tegang /
migrain, meningitis, trombosis vena kortikal, atau hematoma serebral / epidural.
Nyeri ini sering dikaitkan dengan gejala lain yang dapat dikaitkan dengan saraf
yang terlibat. Biasanya gejala lain ini juga menghilang dengan pemulihan dari sakit

28
kepala itu sendiri. Gangguan pendengaran dapat terjadi akibat disfungsi saraf
kranialis delapan, yakni tuli unilateral atau bilateral yang mungkin tidak diketahui
jika tidak secara spesifik ditanyakan oleh pasien. Traksi pada saraf abdusen dapat
menyebabkan gangguan penglihatan, yaitu diplopia menjadi gejala yang paling
umum. Mual dan muntah juga dapat dirasa.17 Mekanismenya adalah kebocoran
CSF di seluruh lubang dural dapat memicu PDPH dimana terjadi penurunan
tekanan intracranial yang menyebabkan traksi struktur kranial yang peka terhadap
nyeri. Penurunan volume CSF dapat menyebabkan kompensasi vasodilatasi
serebral dan aktivasi reseptor adenosin juga dapat menyebabkan vasodilatasi
serebral.18

Risiko lebih tinggi untuk terjadinya PDPH adalah jika tusukan ditujukan
pada bagian tertipis dari dura mater, pada pasien yang lebih muda, pasien sedang
hamil dan juga mereka yang memiliki PDPH sebelumnya. Terdapat pendapat yang
mengatakan jarum yang lebih tipis harus digunakan. Namun, jarum tulang belakang
terkecil yang tersedia (29-gauge) lebih sulit digunakan dan lebih mahal daripada
yang lebih tebal. Ahli anestesi harus menggunakan jarum tulang belakang yang ia
kenal untuk menghindari kesulitan teknis selama tusukan. Jarum yang lebih tebal
27 gauge, cukup mudah digunakan setelah beberapa waktu latihan dan dapat
memberikan keseimbangan antara kemudahan tusukan dan kejadian komplikasi.
Dengan jarum modern ini, CSF muncul di ujung jarum begitu cepat sehingga tidak
menghambat prosedur. Dapat dikatakan, penggunaan rutin jarum Whitacre 27-
gauge (0,41 mm) saat melakukan anestesi spinal telah direkomendasikan. 17

Algoritma pengobatan tergantung pada tingkat keparahan PDPH. Perawatan


konservatif terdiri dari tirah baring dan penggantian cairan oral atau intravena.
Terapi farmakologis mencakup analgetik, vasokonstriktor, atau obat-obatan yang
meningkatkan produksi CSF. Parasetamol atau obat antiinflamasi nonsteroid
digunakan sebagai pengobatan langkah pertama. Vasokonstriktor, seperti kafein
dan sumatripan telah digunakan tetapi dengan manfaat yang terbatas. Kafein harus
diresepkan dengan hati-hati karena memiliki ambang kejang yang lebih rendah dan
pemberian jangka panjang tidak disarankan. Gabapentin juga telah berhasil
digunakan untuk pengobatan PDPH. Terapi obat dapat memberikan bantuan, tetapi
tidak sepenuhnya menyelesaikan gejalanya. Morfin epidural juga telah terbukti

29
bermanfaat tetapi kebocoran dari lubang dural ke ruang intratekal dapat terjadi dan
memiliki efek samping seperti pruritus, mual dan muntah.18

Gejala radikular, termasuk rasa sakit, sensasi terbakar pada bokong,


dysaesthesia, dan paresthesia dapat diamati setelah anestesi spinal. Gejala-gejala
ini umumnya mereda dalam dua hari. Tidak ada gambaran khusus gejala ini pada
radiografi, CT atau MRI. Operasi rawat jalan, posisi litotomi, jenis anestesi lokal
yang digunakan, serta konsentrasi dekstrosa dan osmolaritas telah disebutkan
sebagai faktor yang berkontribusi untuk transient neurologic syndrome (TNS).
Penggunaan lidokain pada tulang belakang adalah salah satu faktor yang dapat
meningkatkan kejadian gejala neurologis sementara, terutama ketika beberapa
faktor digabungkan. Peningkatan konsentrasi anestesi lokal dengan pengumpulan
dan maldistribusi juga dapat meningkatkan kejadian komplikasi ini.17 Nyeri
biasanya berintensitas sedang dan berkurang dengan agen antiinflamasi nonsteroid,
tetapi opioid juga sering dibutuhkan.18 Pada pasien ini terdapat faktor risiko yang
mendukung terjadinya TNS, salah satunya adalah penggunaan lidokain. Pasien dan
keluarga pasien juga sudah diedukasi apabila mengalami gejala seperti yang
disebutkan diatas agar segera kembali ke rumah sakit untuk mendapat penanganan
lebih lanjut seperti pemeriksaan awal gejala yang timbul dan selanjutnya mendapat
pengobatan.

30
BAB V

SIMPULAN

Kemajuan dalam bidang anestesi dan teknik pembedahan menyebabkan


teknik bedah rawat jalan berkembang pesat, jumlah pasien bedah rawat jalan juga
terus mengalami peningkatan. Peranan ahli anestesi dalam pengelolaan perioperatif
sangat penting dalam tim bedah rawat jalan dalam mencapai keberhasilan teknik
bedah rawat jalan. Evaluasi pada setiap proses dalam anestesi pada bedah rawat
jalan (evaluasi prabedah, skrining laboratorium, pemilihan obat dan teknik anestesi,
efek pada outcome pasien, efek pada perawatan pascabedah, serta pengaruh secara
keseluruhan terhadap pelayanan) melahirkan kontroversi-kontroversi dalam rangka
mencari strategi terbaik untuk meningkatkan kualitas bedah rawat jalan agar lebih
cost-effectiveness, aman, serta tetap menjaga kualitas pelayanan sehingga
menjamin kepuasan pasien.
Jenis operasi yang dilakukan pada pasien ini adalah ODC (One Day Care).
Pada pasien menggunakan teknik anestesi dengan anestesi regional (RA) dengan
metode spinal blok menggunakan bupivacaine 0.5% heavy dose 10 mg. Pada pasien
tidak diberikan obat premedikasi dan pelumpuh otot. Selama operasi terjadi
fluktuasi hemodinamik dengan perubahan tekanan darah, nadi, laju nafas dan
saturasi oksigen. Pada pasien dilakukan operasi selama 1 jam 5 menit. Setelah
operasi pasien diobservasi di ruang pemulihan lalu diperbolehkan pulang.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Kulkarni S, Harsoor S, Chandrasekar M, Bhaskar SB, Bapat J, Ramdas EK,


et al. Consensus statement on anaesthesia for day care surgeries. Indian J
Anaesth. 2017;61(2):110–24.

2. Bajwa SJS, Sharma V, Sharma R, Singh AP. Anesthesia for Day‑care


Surgeries: Current Perspectives. Med J DrDY Patil Univ. 2017;10(4):327–
33.

3. Svediene S. Ambulatory anaesthesia. Proc Lativan Acad Sci.


2014;68(5):194–9.

4. Mangku G, Senapathi TGA, 2017. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Cetakan 2. Jakarta.

5. White P, F. Update on ambulatory anesthesia. Can J Anesth 2005; 52(6): 1-


10.

6. Lee, Jeong Han Anesthesia for Ambulatory Surgery. Korean Journal of


Anesthesiology 2017. 70(4): 398-406

7. Moon TS, Joshi GP. Are morbidly obese patients suitable for ambulatory
surgery? Curr Opin Anaesthesiol 2016; 29: 141-5.

8. Hinkelbein J, Hohn A, Genzwurker H. Airway management for anaesthesia


in the ambulatory setting. Curr Opin Anaesthesiol 2015; 28:642-7.

9. Hara R, Hirota K, Sato M, Tanabe H, Yazawa T, Habara T, et al. The impact


of remifentanil on incidence and severity of postoperative nausea and
vomiting in a university hospital-based ambulatory surgery center: a
retrospective observation study. Korean J Anesthesiol 2013;65: 142-6.

10. McGrath B, Chung F. Postoperative recovery and discharge. Anesthesiol


Clin North America. 2003;21(2):367–86.

11. Kehlet H, Neal JM, Schricker T, Carr DB. The Role of the Anesthesiologist
in Fast-Track Surgery : From Multimodal Analgesia to Perioperative

32
Medical Care. Int Anesth Res Soc. 2007;104(6):1380–96.

12. White PF, Song D. New Criteria for Fast-Tracking After Outpatient
Anesthesia: A Comparison with the Modified Aldrete’s Scoring System. Int
Anesth Res Soc. 1999;88:1069–72.

13. Schug SA, Chandrasena C. Postoperative pain management following


ambulatory anesthesia : challenges and solutions. Ambul Anesth. 2015;2:11–
20.

14. Gan TJ, Diemunsch P, Habib AS, Kovac A, Kranke P, Meyer TA, et al.
Consensus Guidelines for the Management of Postoperative Nausea and
Vomiting. Soc Ambul Anesth. 2014;118(1):85–113.

15. Anesthesiologists AS of. Practice Guidelines for Preoperative Fasting and


the Use of Pharmacologic Agents to Reduce the Risk of Pulmonary
Aspiration : Application to Healthy Patients. Vol. 126. 2017.

16. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. 5 ed. Toronto: McGraw-Hill; 2013. 937–974 hal.

17. Pekka Takila. Complications Associated with Spinal Anesthesia. 2014. 149-
162 hal.

18. Apan, Alparslan. Complications in Spinal Anaesthesia. Chapter 7. 2014.


139-153 hal.

33

You might also like