You are on page 1of 4

VII.

Demokrasi Policy

Demokrasi tidak memerlukan polisi, Demokrasi tidak perlu dikawal polisi, karena
demokrasi adalah domain politik. Sebaliknya, polisi berada dalam ranah profesi, yang sama
sekali tidak boleh menjadi subjek permainan politik (demokrasi), di samping tidak boleh
membiarkan diri atau dibiarkan menjadi objek intervensi politik/demokrasi. Tetapi, di banyak
negara, termasuk Indonesia, pengamatan tentang keterkaitan polisi dan politik, khususnya
demokrasi, umumnya bersifat relative dan subjektif.

Ambil contoh, ketika banyak orang menggugat polisi yang terlalu ketat dan keras
mengawal penegakan hukum (khususnya dalam konteks pemeriksaan dua pimpinan KPK yang
diduga melanggar hukum), banyak pihak yang ekstra cepat berteriak: “polisi arogan, Polri super
body, Polri tidak terkontrol, dan berbagai hujatan lain sejenis. Namun, ketika terlambat
memprediksi kemungkinan yang terjadi akibat telanjur atau berlarut-larutnya pelanggaran
hukum, polisi tetap saja menjadi sasaran sinis medan sarkasme. Pada saat polisi tegas bertindak,
polisi diacungi jempol. Tetapi, sebagian warga yang kepentingannya terganggu akibat ketegasan
sikap serta tindakan polisi, umumnya akan bersikap menentang polisi.

Oleh karena itu, sesuai grand strategy Polri 2005-2025 dengan tekanan membangun
kepercayaan masyarakat pada 2005-2010, menjalin kemitraan 2010-2015, serta pelayanan prima
2015-2025, maka seluruh personel dan lembaga Polri perlu benar-benar mampu
mengaktualisasikan reformasi instrumen, reformasi struktur, dan reformasi kultur Polri.

Konsisten dengan itu, diperlukan dehegemoni polisi, dalam rangka membentuk


kebijakan, sikap, dan tindakan Polri yang realistis serta akomodatif terhadap perkembangan
sosial-politik di lingkungannya, tanpa sedikit pun menepis kepentingan penegakan hukum.
Banyak kritik pedas masyarakat terhadap Polri, ketika anggotanya tengah bekerja menjamin
ketertiban umum. Ambil contoh sederhana, saat polisi mengawal demonstrasi dalam rangka
mencegah terjadinya anarki. Saat polisi bertindak keras terhadap massa unjuk rasa, sesuai
prosedur tetap (protap), tidak jarang bhayangkara Negara itu menjadi sasaran pelemparan batu,
bahkan bom Molotov peserta unjuk rasa yang cenderung anarki. Sayangnya, di banyak kasus
serupa, polisi yang bertugas pun mudah terpancing melakukan tindakan serupa, sehingga
semakin memperburuk keadaan. Polisi Sipil Dalam konteks aktualisasi hak demokrasi, posisi
dan tugas polisi kali memang sulit. Bila polisi terlalu lemah bertindak akibatnya bisa berupa
intensifikasi dan ekstensifikasi kecemasan publik, gangguan keamanan, serta ketertiban umum.
Sebaliknya, jika polisi terlalu keras, yang muncul kepermukaan adalah umpatan hegemoni
kekuasaan kepolisian, yang tidak sesuai dengan desain serta nalar masyarakat sipil terhadap
lembaga dan personel Polri. Padahal, untuk dan atas nama kepentingan profesi kepolisian disatu
sisi, serta kepentingan (politik) demokrasi di sisi lain, seharusnya setiap personel polisi mampu
bersikap dan bertindak sebagaimana arahan dan cirri polisi sipil (civilian police) pada umumnya.
Salah satu cirri dan arahan dimaksud adalah polisi sebagai sipil berseragam, yang hanya
mengedepankan kekerasan ketika nyawa petugas dan aparat kamtibmas dimaksud terancam.

Dalam kaitan ini, scenario Polri kedepan adalah Polri dengan dukungan seluas-luasnya
organ negara yang lain serta dukungan masyarakat sipil. Kedepan, Polri perlu mengembangkan
scenario optimistis dan scenario pesimistis. Skenario optimistis diperlukan, khususnya ketika
keberadaan polisi diminta dalam ranah demokrasi. Skenario optimistis ini diawali dengan upaya
Polri menjauhkan diri dari berbagai bentuk infiltrasi intelijen terhadap ranah kepentingan politik
(demokrasi). Sebaliknya, scenario pesimistis Polri diperlukan, dengan cara meyakinkan semua
pihak (Negara dan masyarakat), bahwa Polri bertekad meniadakan hegemoni, pada situasi dan
kondisi apa serta bagaimanapun. Jaminan dehegemoni polisi ini perlu ditindak lanjuti dengan
kebijakan serta tindakan konkret polisi, yang tidak lagiakan menimbulkan kesan umum polisi
’setengah hati’ dalam membangun polisi sipil, yaitu polisi tanpa hegemoni, di samping polisi
sebagaimana dibutuhkan masyarakat.

Pembauran scenario optimistis dan pesimistis perlu disikapi lebih lanjut oleh pucuk
pimpinan Polri di Mabes dan secara berjenjang kebawah. Dalam konteks tersebut, seluruh organ
dan personel Polri diharapkan selalu mampu mempertimbangkan kearifanlokal dalam setiap
perumusan kebijakan serta pengambilan tindakan. Kearifan local itu, khususnya yang
bersentuhan dengan perwujudan hak, kewajiban politik, serta demokrasi, diharapkan
memperkuat keteguhan penegak hukum kita itu untuk tidak merasa inferior. Khususnya pada
saat mereka berhadapan dengan aneka bentuk intervensi politik masif, di samping intervensi
kekuasaan dari pihak mana pun dan dalam situasi serta kondisi yang bagaimanapun. Dengan
kearifan local dimaksud, polisiakanlebihmemilikikewibawaandalampenanamannilailuhur di
tingkatkomunitas. Pendekatandemikiandiharapkandapatmembawamanfaatbagipolisi, terutama di
tengahtugaspengawalan/pendampingandemokrasi di satusisidanpenjabaranprofesipolisi di sisi
lain.

IX. Independency Policy

Salah satupolitikkenegaraan (state policy) yang diamanatkandalampembukaanUndang-


UndangDasar 1945 adalahgagasanperlindunganhukum. Gagasaninitermasukdalamanakkalimat“
melindungisegenapbangsa Indonesia danseluruhtumpahdarah Indonesia”. Kata
melindungimengandungmaknaadanyatugasnegarauntuksecaraaktifmengadakansegalamacamperli
ndungan, terutamaterhadapseluruhrakyat Indonesia.
Fungsipolridalampenegakanhukumbukansemata-matabersifatrepresif,
melainkanjugafungsipreventif,

Kinerjakepolisiantidakhanyadiisiolehupayauntukmenemukanfakta-fakta yang
mengandungtentangtelahterjadinyatindakpidana (factual guilt) danmenemukantersangkanya,
tetapijugapencegahanaktifatassegalapotensi yang mungkinmenimbulkankejahatan.
Kejahatanterkadangmenimbulkankonsekuensiyuridis yang tidaklagimemperhatikanbatas-
batasnegara (transnational crime). Sepertitindakpidanapenyebaran terror (terorisme),
tindakpidanapencucianuang( money laundering ), dankejahatanbisnislainnya.

Dituntutkemandirianatauindependensipolri.
Pertamahaliniuntukmenjaminterlaksananyapencegahandanrepresikejahatansemata-
matauntukkepentinganpenegakhukum. Dengan kata lain,
independensipolrimembawapadapenegakanhukum yang
terbebasdaripengaruhkepentinganpolitikdanekonomitentunya,
melainkanhanyadalamrangkamewujudkanpolitikkenegaraan, melindungisegenapbangsa
Indonesia danseluruhtumpahdarah Indonesia.
Keduaindependensimenjaminefektivitasdanefesiensipenegakhukum,
karenakemandirianmerupakan factor pentingpeningkatanprofesionalismepolri.
Dalamhaliniwibawahukumsedikitterganggudaritingkatpengungkapankejahatanolehpolri, yang
apabilacenderungpositif, akansemakinmenjaminkepastian (penegak) hukum. Hal
inibukanhanyabergunadalamtataranpraktis,
tetapijugadiharapkandapatmemberikontribusidalammengadakanreformasikebijakan substance,
structure dan culture yang terkaitdenganpelaksanaantugas, wewenangdantanggungjawabpolri.

You might also like