You are on page 1of 47

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pelajaran mengarang sebenarnya sangat penting diberikan kepada

murid untuk melatih menggunakan bahasa secara aktif. Disamping itu pengajaran

mengarang di dalamnya secara otomatis mencakup banyak unsur kebahsaan

termasuk kosa kata dan keterampilan penggunaan bahasa itu sendiri dalam bentuk

bahasa tulis. Akan tetapi dalam hal ini guru bahasa Indonesia dihadapkan pada

dua masalah yang sangat dilematis. Di satu sisi guru bahasa harus dapat

menyelesaikan target kurikulum yang harus dicapai dalam kurun waktu yang

telah ditentukan. Sementara di sisi lain porsi waktu yang disediakan untuk

pelajaran mengarang relatif terbatas, padahal untuk pelajaran mengarang

seharusnya dibutuhkan waktu yang cukup panjang, karena diperlukan latihan-

latihan yang cukup untuyk memberikan siswa dalam karang-mengarang. Dari dua

persoalan tersebut kiranya dibutuhkan kreaivitas guru untuk mengatur sedemikian

rupa sehingga materi pelajaran mengarang dapat diberikan semaksimal mungkin

dengan tidak mengesampingkan materi yang lain.

Sekolah kita pada umumnya agak mengabaikan pelajaran mengarang.

Ada beberapa faktor penyebabnya yaitu, (1) sistem ujian yang biasanya

menjabarkan soal-soal yang sebagian besar besifat teoritis, (2) kelas yang terlalu

besar dengan jumlah murid berkisar antara empat puluh sampai lima puluh orang.

1
Materi ujian yang bersifat teoritis dapat menimbulkan motivasi guru

bahasa mengajarkan materi mengarang hanya untuk dapat menjawab soal-soal

ujian, sementara aspek keterampilan diabaikan. Sedangkan dengan kelas yang

besar konsekuensi biasanya guru enggan memberikan pelajaran mengarang,

karena ia harus memeriksa karangan murid-muridnya yang berjumlah mencapai

empat puluh sampai lima puluh lembar, kadang hal itu masih harus berhadapan

dengan tulisan-tulisan siswa yang notabene sulit dibaca. Belum lagi ia harus

mengajar lebih dari satu kelas atau mengajar di sekolah lain, berarti yang harus

diperiksa empat puluh kali sekian lembar karangan. Oleh karena itu, tidak jarang

guru yang menyuruh muridnya mengarang hanya sebulah sekali atau bahkan

sampai berbulan-bulan.

Disamping hal-hal tersebut di atas ada asumsi sebagian guru yang

menganggap tugas mengarang yang diberikan kepada siswa terlalu memberatkan

atau tugas itu terlalu berat untuk siswa, sehingga ia merasa kasihan memberikan

beban berat tersebut kepada siswanya. Ia terlalu pesimis dengan kemampuan

muridnya. Asumsi tersebut tidak bisa dibenarkan, karena justru dengan seringnya

latihan-latihan yang diberikan akan membuat siswa terbiasa dengan hal itu. Kita

tahu baha ketermpilan berbahasa akan dapat dicapai dengan baik bila dibiasakan.

Kalau guru selalu dihantui oleh perasaan ini dan itu, bagaimana muridnya akan

terbiasa menggunakan bahasa dengan sebaik-baiknya?

Berdasarkan paparan tersebut diatas maka peneliti ingin mencoba

melakukan penelitian dengan judul “Meningkatkan Prestasi Belajar Mengarang

2
Bahasa Indonesia dengan Metode Pembelajaran Terbimbing Pada Siswa

Kelas…………”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu masalah

sebagai berikut:

1. Seberapa jauh peningkatan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran bahasa

Indonesia dalam bidang karang-mengarang dengan diterapkannya

pembelajaran terbimbing pada siswa kelas?

2. Bagaimanakah pengaruh model pembelajaran terbimbing terhadap motivasi

belajar bahasa Indoensia dalai bidang karang-mengarang siswa

kelas…………………………….?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa setelah diterapkannya

pembelajaran terbimbing pada siswa kelas …………………………..

2. Mengetahui pengaruh motivasi belajar siswa setelah diterapkan pembelajaran

terbimbing pada siswa kelas ……………………………………….

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi:

3
1. Sekolah sebagai penentu kebijakan dalam upaya meningkatkan prestasi

belajar siswa khususnya pada mata pelajaran bahasa Indonesia.

2. Guru, sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan metode pembelajaran

yang dapat memberikan manfaat bagi siswa.

4
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

Menulis merupakan kegiatan yang sifatnya berkelanjutan sehingga

pembelajarannya pun perlu dilakukan secara berkesinambungan sejak awal. Hal

ini didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan menulis merupakan

kemampuan dasar sebagai bekal belajar menulis di jenjang berikutnya. Oleh

karena itu, kemampuan menulis siswa perlu mendapat perhatian yang optimal

sehingga dapat memenuhi target yang diharapkan. Target kemampuan menulis

adalah siswa mampu membuat karangan/cerita berdasarkan pengalaman atau

informasi dari bacaan (Depdikbud, 1994). Hal ini sesuai dengan profil dan ciri

tulisan siswa yang pada umumnya lebih berorientasi pada bentuk narasi dari pada

non-narasi (Antey dan Null dalam Gibbon, 1994; Kroll dan Wells, 1983).

Narrative writing is still the most frequently used form at each grade level pre-

primer through grade 6 (hasil studi Flood dan Lapp dalam Heller, 1991: 106).

Mereka terutama lebih suka menulis cerita yang mengungkapkan pengalaman

peribadinya.

Untuk dapat menulis cerita siswa harus memahami konsep struktur cerita

(SC). Pemahaman ini tidak dapat siswa peroleh lewat pembelajaran yang

verbalistik dan teoritis. Sebagaimana diungkapkan Piaget bahwa perkembangan

intelektual yang berada pada tahap operasi konkret antara 7 – 11 tahun memiliki

5
karakteristik sebagai berikut: Children deal with logical processes, but deal with

only one form of classification at a time, logical thought requires actual physical

object or events (dalam Spodek, 1994: 75). Didasarkan pada hal di atas,

pembelajaran menulis cerita (PMC) dilakukan dengan cara mengarahkan siswa

pada pembelajaran yang nyata dengan teks bacaan. Melalui kegitan membaca

terjadi internalisasi yang baik. Dengan demikian, untuk meningkatkan

pemahaman dan kemampuan siswa menerapkan konsep SC dalam menulis cerita,

guru hrus memilih stategi pembelajaran yang optimal. Namun, dari hasil

pengamatan di kelas terobservasi bahwa (1) strategi pembelajaran masih

konvensional, (2) orientasi produk, (3) menulis disikapi sebagai kegiatan yang

bersifat isolatif yang tidak mengintergrasikan keterampilan berbahasa, (4)

pembelajaran belum menggambarkan proses menulis yang melibatkan interaksi

antara siswa dengan teks, siswa-siswa, siswa-guru, dan siswa dengan

lingkungnnya, (5) pembelajaran menulis belum menggambarkan kegiatan

problem solving yang tertempuh melalui kegiatan belajar mengajar yang

sistematis sehingga sebagian siswa pada kelas terobservasi belum memahami

konsep SC dan terampil menerapkan konsep tersebut dalam menulis cerita. PMC

yang dilakukan melalui kegiatan reading stories, talking about storie, retelling,

dan writing stories merupakan suatu proses integrasi dari kemampuan berbahasa

dengan pendekatan Whole Language (Tompkins, 1994) yang dibutuhkan untuk

mengatasi kondisi di atas. Hasil penelitian Myers dan Grey (dalam Norton dan

Norton 1994), Olson (1992), Mason (1989), Leys (dalam Mason, 1989), dan

6
Tompkins (1994) menunjukkan bahwa penggunan dan pemahaman terhadap teks

naratif melalui interaksi, transaksi, dan pengujian lewat kegiatan membaca

(Papas, 1995) memberikan kontrivusi yang baik terhadap tulisan siswa dan lebih

meningkatkan keterampilan menulis siswa. Dengan demikian, kegiatan membaca

merupakan cra yang baik untuk mengembangkan konsepsi siswa tentang cerita,

struktur cerita, juga tentang struktur bahasa yang digunakan.tulisan ini akan

memberikan gambaran hasil pembelajaran menulis cerita berdasarkan Guided

Writing Procedure (GWP) melalui pengembangan pada bagian guidedanya yakni

dengan memberikan chart SC yang dimanfaatkan pada saat kegiatan membaca

untuk memahami SC dan pada saat menulis untuk menentukan dan

mengembangkan penggarapan SC.

Menulis merupakan kegitan produktif yang dilakukan secara kontinyu dan

rekursif. Flower dan Hayes (dalam Mazano) percaya bahwa the writing is far

from linear, rather it is interactive and recursive. Sebagai sutau proses, menulis

terdiri dari tahapan-tahapan meliputi prewriting, drafting, revising, editing, dan

publishing (Tompikins, 1994; Ellis, 1989; Hamp-Lyons dan Heasley, 1978).

Proses ini bersifat fleksibel dan tidak kaku dalam arti pada saat satu tahapan telah

dilakukan, dan tahapan selanjutnya akan dikerjakan, siswa dapat kembali pada

tahap sebelumnya. Pada tahap prewriting siswa berusaha mengemukakan apa

yang akan mereka tulis, memilih tema dan menentukan topik tulisan melalui

kegitan penjajagan ide dan brainstorming.

7
“In writing, brainstorming and other kinds of prewriting activities could

be seen ways of developing children’s knowledge of substance. Attention of

development of declaration knowledge of form can be seen the story-structure

instruction and having student read models of good literature as a means of

improving writing (Shanahan, 1990: 91).”

Kegiatan lain yang dapat dilakukan adalah melakukan observasi,

membaca buku dan sastra, serta menggunakan chart dan gambar, saat siswa

menuangkan ide dan menyusun konsep cerita yang ditulisnya. Pada tahap

drafting, dilakukan pemberian SC sebagai media untuk memudahkan mereka

memudahkan menuangkan idenya secara tidak ragu-ragu karena pada tahap

selanjutnya teks yang akan disusun akan diperbaiki, diubah, dan disusun ulang.

Pada tahap revisings, siswa melihat kembali tulisannaya untuk selanjutnya

menambah, mengganti, atau menghilangkan sebagian ide berkaitan dengan

penggarapan struktur cerita yang telah disusunnya. Siswa bisa mengubah watak

pelaku yang semula jahat menjadi baik misalnya atau menyelipkan peristiwa lain

dalam rangkaian cerita yang disusunnya. Editing, merupakan tahap

penyempurnaan tulisan cerita yang dilakukan sebelum publikasi, pada tahap ini

siswa menyualinkembali kedalam folio bergaris draft cerita yang telah dibuatnya

melalui pengerjaan chart sehingga menjadi sebuah karangan yang utuh. Pada saat

yang sama siswa juga melakukan perbaikan kesalahan yang bersifat mekanis

yang berkaitan dengan ejaan dan tanda baca. Pada tahap Publishing, siswa

mempublikasikan hasil tulisannya melalui kegiatan berbagi hasil tulisan cerita

8
(sharing). Kegiatan (sharing) dapat dilakukan (sharing) diantaranya melalui

kegiatan penugasan siswa untuk membacakan hasil karangan didepan kelas.

Proses menulis yang terdiri dari tahapan-tahapan dan setiap tahapannya harus

dilewati ini telah mengarahkan siswa pada kemampuan menulis yang baik.

Dengan demikian, proses menulis harus dimulai diarahkan pada pemahaman

bahwa gambar berbunyi yang dirangkai melambangkan bunyi bahasa yang

bermakna.rangkaian kalimat bermakna yang mengekspresikan ide, gagasan, dan

perasaan yang disusun dalam bentuk karangan ini merupakan sasil suatu proses

berpikir. Dengan demikian, mengarang merupakan wahana bagi siswa untuk

mengungkapkan ide, gagasan, dan perasaannya.

Dalam kegiatan menulisnya siswa dapat sekaligus melakukan kegiatan

membaca untuk tujuan rewriting atau rereading karena membaca dan menulis

memiliki keterkaitan yang esensial.

Membaca merupakan proses merekonstruksi makna melalui bahasa

tertulis, dan merupakan pengembangan atau bertemunya skemata isi yang

dimiliki anak dengan informasi yang tertuang dalam teks. Aminudin (1995)

berpendapat bahwa membaca dapat diasumsikan sebagai proses menterjemahkan

print-out sebagai sistem tanda hingga menghadirkan gambaran makna dan

pengertian-pengertian tertentu melalui proses identifikasi tulisan, kata-kata,

kalimat, sampai ke rekonstuksi makna dalam konteks dan teks. Reading is related

to writing, meaning is constructed by constructing texts, while in reading texts is

constructed through anticipating meaning (Morrow dalam Spodek, 1987: 326).

9
Saat membaca cerita, anak berpikir secara kritis dan kreatif melihat dan

membandingkan realita dengan skemata dan realitas lain yang teramatinya

sehingga melahirkan pengertian baru. Heller (1991: 3) mengemukakan

pendapatnya bahwa “Reading and writing are the products of skill equitation,

with comprehension and composition being the visible, quantifiable, measurable

aspects. Reading constructs meaning from print or to construct meaning using

print, respectively.

Saat pembaca merespon dan menginterpretasi teks, eks baru akan

dihasilkan sebagai hasil proses transaksi dengan teks. Pemberian skemata tentang

SC melalui kegiatan membaca cerita sebelum kegiatan menulis akan melahirkan

pemahaman siswa tentang struktur cerita (Gordons dan Broun’s, 1982). Hanya

dengan mempelajari hasil tulisan orang lain (lewat kegiatan membaca), anak

dapat belajar tentang teknik menulis (Funk, at.al. 1993). Hanya dari bahasa tulis

orang lain anak dapat mengamati dan memahami konvensi serta gagasan secara

bersama-sama (Huck, 1987: Papas 1994).

B. Konsep Guided Writing Procedure (GWP)

Guided Writing is the heart of the writing program (Routman, 1994: 66).

Dalam pembelajaran menulis di SD, pemberian bimbingan merupakan salah satu

tugas guru. Logan (1972: 209) berpendapat bahwa, It is the responsibility of

teacher to give the needed guidance in each case. Most children need specific

guidance as well as opportunity if they are to reach their potential.

10
Dengan demikian, bentuk bimbingan yang diberikan dalam pembelajaran

menulis berdasrkan GWB diharapkan dapat memotivasi siswa untuk menulis.

The students had to be motivated to wont to write (Many were shy about

writing because they felt they have nothing about, or they didan’t know how to

express themselves). We hope instead to help him….. with guided writing, we

expected to do this by giving the students sample practice in writing through the

use of model composition an lessons (Baskoff, 1975: 227).

Bentuk bimbingan yang diberikan terhadap siswa dalam PMC yang

didasarkan pada strategi GWP adalah menyediakan bentuk pembelajaran dengan

tujuan meningkatkan pemahaman tentang SC dan penggarapannya dan

mengembangkan keterampilan siswa menerapkan hasil pemahamannya dalam

menulis cerita. Garis besar program pengajaran dilakukan secara integratif

melalui tahapan proses menulis. Hal ini didasarkan pada pendekatan GWP yang

dikemukakan Hillock dan Slager berikut ini.

“They are several reason why the GWP approach seen to facilitate

writing in content area. First, integrating reading and writing tasks fosters

synthesis of idea and comprehension of content. Second applying common

kriteria during the writing process has been found to imp rave the quality of

finished products (Reyes, 1991) 100-101).

Pengembangan terhadap pendekatan GWP juga telah dilakukan oleh

Smith Bean (1980), Shanahan (1990), Konopak dan Martin (1987).

11
C. Pelajaran Menulis Berdasarkan GWP

Kegiatan belajar mengajar menulis cerita yang dilaksanakan dengan

menggunakan GWP hasil pengembangan penulis dilakukan dengan urutan

kegiatan sebagai berikut.

1. Tanya jawab untuk mengetahui latar belakang pengetahuan siswa berkaitan

dengan struktur elemen cerita.

2. Menjelaskan cara penggunaan media chart serta pembuatan cluster.

3. Memahamkan struktur elemen cerita dan penggarapannya melalui kegiatan

membaca model cerita.

4. Menelaah struktur elemen cerita yang diilustrasikan dalam cerita melalui

kegiatan membaca model cerita dan diskusi, dan melaporkannya melalui

kegiatan mengisi chart dan kegiatan sharing.

5. Melaporkan hasil pemahaman siswa tentang struktur elemen model cerita

yang telah dibaca melalui kegiatan mendisi chart dan kegitan sharing

6. Menulis cerita dengan mengapliasikan pemahaman tentang struktur cerita dan

penggarapannya yang telah dipelajari pada pertemuan sebelumnya.

Dalam kegiatan ini proses penulis meliputi beberapa kegiatan sebagai

berikut.

a. Memilih tema cerita yang akan di tulis melalui kegiatan brainstorming.

b. Membuat cluster cerita.

c. Membuat draft awal dalam bentuk pengembangan cluster cerita dan

pengerjaan chart.

12
d. Melakukan konferens dan diskusi berkaitan dengan revisi draft awal.

e. Membimbing siswa untuk mempublikasikan cerita yang telah ditulisnya

melalui kegiatan sharing.

Adapun model cerita yang diberikan didasarkan pada kriteria sebagaimana

dikemukakan Huck dan Slager berikut. “The model must be short not too much

longer than the composition the student will eventually be expected to write, they

must be contemporary and reasonably simple (not to far beyond the style the

students themselves should be expected to reach), and they should have an

organization that careful and obvious (Slager, 1975: 225) …. The basic

considerations for the evaluation of fiction for children are a well constructed

plot the moves, a significant theme, authentic setting, a credible point of view,

convincing characterization, appropriate style, and attractive format (Huck,

1987: 27).

Didasarkan pada kriteria di atas maka telah terjaring empat model cerita

antara lain “Sekuntum Mawar Merah”, “Berkah”, “Akulah Si Jago Nembak”, dan

“Pulang Kampung”.

Sementara itu chart SC dimodifikasi dari model chart yang disusun oleh

Richard Brown dan Dorren Teasdale (1994) berdasarkan ciri esensial chart yang

dikemukakan Robinson berikut ini.

“(1) The first essential of chart constructions is the children must have had

same vivid, Interesting experience, real or vicarious, (preferable real), which fills

their mind with ideals….. the subject must be something that is vital to them and

13
something that the which to talk about. (2) The second essential ….. is that the

children have same motive for recording their expression (Robinson, 1980: 102).

14
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Prosedur Kerja

Metode penelitian diorientasikan pada metode penelitian tindakan dengan

mengidentifikasi gagasan umum yang dispesifikasikan sesuai dengan tema

penelitian dan selanjutnya digarap melalui empat tahap secara berdaur mulai dari

perencanaan, pelaksanaan tindakan, pemantauan, dan perfleksian (Kemmis dan

Tagart dalam Hopkins, 1993).

Penelitian ini juga termasuk penelitian deskriptif, sebab menggambarkan

bagaimana suatuteknik/metode pembelajaran diterapkan dan bagaimana hasil

yang diinginkan dapat dicapai.

B. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Menurut

Tim Pelatih Proyek PGSM, PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat

reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan

rasional dari tindakan mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam

pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan itu, serta memperbaiki

kondisi dimana praktek pembelajaran tersebut dilakukan (dalam Mukhlis,

2003: 3).

15
Sedangkah menurut Muklis (2003: 5) PTK adalah suatu bentuk kajian

yang bersifat sistematis reflektif oleh pelaku tindakan untuk memperbaiki kondisi

pembelajaran yang dilakukan.

Adapun tujuan utama dari PTK adalah untuk memperbaiki/meningkatkan

pratek pembelajaran secara berkesinambungan, sedangkan tujuan penyertaannya

adalah menumbuhkan budaya meneliti di kalangan guru (Mukhlis, 2003: 5).

Sesuai dengan jenis penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan, maka

penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart

(dalam Sugiarti, 1997: 6), yaitu berbentuk spiral dari sklus yang satu ke siklus

yang berikutnya. Setiap siklus meliputi planning (rencana), action (tindakan),

observation (pengamatan), dan reflection (refleksi). Langkah pada siklus

berikutnya adalah perncanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan, dan

refleksi. Sebelum masuk pada siklus 1 dilakukan tindakan pendahuluan yang

berupa identifikasi permasalahan. Siklus spiral dari tahap-tahap penelitian

tindakan kelas dapat dilihat pada gambar berikut.

16
Putar
an 1

Refleksi Rencana
Rencana
awal/rancangan
awal/rancangan Putar
an 2
Tindakan/
Observasi
Rencanayang
yang
Refleksi Rencana
direvisi
direvisi Putar
an 3
Tindakan/
Observasi

Rencanayang
yang
Refleksi Rencana
direvisi
direvisi

Tindakan/
Observasi

Gambar 3.1 Alur PTK

Penjelasan alur di atas adalah:

1. Rancangan/rencana awal, sebelum mengadakan penelitian peneliti menyusun

rumusan masalah, tujuan dan membuat rencana tindakan, termasuk di

dalamnya instrumen penelitian dan perangkat pembelajaran.

2. Kegiatan dan pengamatan, meliputi tindakan yang dilakukan oleh peneliti

sebagai upaya membangun pemahaman konsep siswa serta mengamati hasil

17
atau dampak dari diterapkannya metode pembelajaran model pembelajaran

terbimbing.

3. Refleksi, peneliti mengkaji, melihat dan mempertimbangkan hasil atau

dampak dari tindakan yang dilakukan berdasarkan lembar pengamatan yang

diisi oleh pengamat.

4. Rancangan/rencana yang direvisi, berdasarkan hasil refleksi dari pengamat

membuat rancangan yang direvisi untuk dilaksanakan pada siklus berikutnya.

Observasi dibagi dalam tiga putaran, yaitu putaran 1, 2 dan 3, dimana

masing putaran dikenai perlakuan yang sama (alur kegiatan yang sama) dan

membahas satu sub pokok bahasan yang diakhiri dengan tes formatif di akhir

masing putaran. Dibuat dalam tiga putaran dimaksudkan untuk memperbaiki

sistem pengajaran yang telah dilaksanakan.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Silabus

Yaitu seperangkat rencana dan pengaturan tentang kegiatan

pembelajaran pengelolahan kelas, serta penilaian hasil belajar.

2. Rencana Pelajaran (RP)

18
Yaitu merupakan perangkat pembelajaran yang digunakan sebagai

pedoman guru dalam mengajar dan disusun untuk tiap putaran. Masing-

masing RP berisi kompetensi dasar, indikator pencapaian hasil belajar, tujuan

pembelajaran khusus, dan kegiatan belajar mengajar.

3. Tes formatif

Tes ini disusun berdasarkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai,

digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman bacaan dalam bahasa

Indonesia pada pokok bahasan mengarang.

D. Data dan Sumber Data

Data penelitian diperoleh dari subjek terteliti siswa kelas IV SDN

Purwoasri II Kec. Kebonagung Kab. Pacitan melalui kegiatan pengamatan,

wawancara, dan pencatatan lapangan pada saat berlangsungnya PMC berdasarkan

GWP. Data hasil penelitian ini berupa data verbal dan non-verbal berupa bentuk

PMC berdasarkan GWP memiliki karakteristik berkaitan denga (1) prosedur

PMC berdasarkan GWP yang mengalami perbaikan sampai hasil prosesnya

optimal, (2) format media chart SC yang mengalami perbaikan sampai hasil dan

penggunaannya optimal, (3) paparan proses menulis, (4) dokumentasi hasil

kegiatan menulis siswa, dan (5) dokumentasi hasil catatan lapangan berupa

pencatatan terhadap stategi PMC berdasarkan GWP.

E. Tempat, Waktu dan Subyek Penelitian

19
1. Tempat Penelitian

Tempat penelitian adalah tempat yang digunakan dalam melakukan

penelitian untuk memperoleh data yang diinginkan. Penelitian ini bertempat di

………………………...

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian adalah waktu berlangsungnya penelitian atau saat

penelitian ini dilangsungkan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari

semester genap tahun pelajaran 2004/2005.

3. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah siswa-siswi Kelas

……………………………. pada pokok bahasan mengarang pengalaman

masa liburan.

F. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan mengacu pada on-going alisysis. Data

hasil pengamatan berupa perilaku empiris dan hasil kerja dikumpulkan, dipilah

sesuai dengan fokus yang telah ditetapkan, didiskusikan, demaknai, dan

digunakan sebagai dasar melakukan tindakan, data yang tidak relevan direduksi.

Selanjutnya dilakukan penafsiran data dan penarikan kesimpulan. Data hasil

kegiatan membaca dan menulis siswa dianalisi berdasarkan teknik penilain yang

disodorkan Morrow (1990) namun untuk tujuan praktis maka daya yang disajikan

dibatasi pada data kemampuan menulis siswa.

20
Penganalisisan data dilakukan dengan menuyusun rambu-rambu analisis

yang didasarkan pada kriteria dengan indikator, ciri descriptor, dan kualifikasi

yang telah ditetapkan seperti terlihat dalam tabel 1 dan 2. pelaksanaannya

dilakukan dengan mengamai dan mencatat PMC yang dilakukan siswa,

membandingkannya dengan kriteria proses yang tercantum dalam rambu-rambu

dan melakukan pemaknaan. Adapun pemeriksaan keabsahan data dilakukan

melalui verifikasi terhadap temuan data.

Tabel 1.

21
Rambu-rambu Analisis Proses Pembentukan Kemampuan Mementukan

Penggarapan Struktur Cerita Berdasarkan Prosedur Menulis Terbimbing

Tahap Kualifikasi
Prosedur Pembentukan
Pembel Focus Kemampuan SB B C K SK
Kemampuan
.
PKMT Kesesuaian hasil karangan - Menyusun daftar ide
C dengan : - Memilih tema
Penentuan tema - Menentukan judul tema
Penentuan judul - Mengembangkan tema
Pengembangan tema
PKMPP Ketetapan penentuan watak - Menentukan pelaku dan
pelaku (WP) penggarapan WP sesuai
Ketetapan penggambaran tema
(WP) - Menentukan
Kelengkapan penggambaran penggarapan WP
(WP) melalui dialog
- Menentukan
penggarapan WP
melalui perilaku
- Menentukan
penggarapan WP
melalui gambaran fisik
PKML Ketetapan penentuan latar - Menentun dan
C cerita (LC) menggambarkan LC
sesuai tema
- Menentukan latar
tempat
- Menentukan latar waktu
- Menentukan suasana
cerita
PKMR Ketentuan penyusunan - Menyusun dan
C rangkaian cerita (RC) mengembangkan RC
Kelengkapan pengembangan secara runtut
RC - Menyusun bagian awal
Ketetapan pengemangan cerita
awal cerita - Menyusun bagian isi
Ketetapan pengembangan cerita
akhir cerita - Menyusun bagian akhir
cerita
Keterangan :

PKMTC : Pembentuan Kemampuan Menggarap Tema Cerita

PKMPP : Pembentuan Kemampuan Menggarap Pelaku Dan Penokohan

22
PKMLC : Pembentuan Kemampuan Menggarap Latar Cerita

PKMRC : Pembentuan Kemampuan Menggarap Rangkaian Cerita

SB : Sangat baik

: Baik

C : Cukup

K : Kurang

SK : Sangat Kurang

Tabel 2

Rambu-rambu Analisis Terbentuknya Kemampuan Penggarapan Struktur Cerita

Berdasarkan GWP

Tahap Kualifikasi
Kriteri Indikat
Pembel. dan Deskriptor
a or SB B C K SK
Hasil
PKMTC- HKC Tepat Menggambaran ide sendiri
KMTC Relevan denga pilihan tema
Hasil pengembangan tema
PKMPPP- HKC Tepat Membuat pelaku dan WP yang
KMPP Lengk relevan dengan tema
ap Penggarapan watak lewat dialog
Penggarapan watak lewat perilaku
Penggarapan watak lewat
gambaran pisik
PKMLC- HKC Tepat Menentukan dan menggambarkan
KMLC Lengk LC yang relevan dengan tema
ap Menggambarkan suasana cerita
Menggambarkan tempat kejadian
Menggambarkan waktu kejadian
PKMRC- HKC Runtut Susunan runtut RC runtut dan
KMRC Tepat relevan dengan tema
Lengk Memuat awal cerita
ap Memuat isi cerita
Memuat akhir cerita
Keterangan :

23
PKMTC : Pembentuan Kemampuan Menggarap Tema Cerita

KMTC : Kemampuan Menggarap Tema Cerita

PKMPP : Pembentuan Kemampuan Menggarap Pelaku Dan Penokohan

PKMLC : Pembentuan Kemampuan Menggarap Latar Cerita

PKMRC : Pembentuan Kemampuan Menggarap Rangkaian Cerita

KMLC : Kemampuan Menggarap Rangkaian Cerita

HKC : Hasil Karangnan Cerita

WP : Watak Pelaku

LC : Latar Cerita

RC : Rangkaian Cerita

SB : Sangat baik

: Baik

C : Cukup

K : Kurang

SK : Sangat Kurang

24
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Temuan Penelitian

Prosedur PMC berdasarkan GWP dari sklus I sampai IV mengalami

perubahan dan pengembangan. Perefleksian oleh peneliti dan praktisi

menghasilkan pengembangan berkitan dengan (1) pemberian model bacaan, (2)

penyediaan dan pemodifikasian media chart, (3) pengubahan urutan pemberian

pengubahan dan pengerjaan chart, dan (4) penguabahan strategi belajar. Sebagai

contoh setelah dilakukan pelaksanaan tindakan siklus I diperoleh temuan

sebagaimana terlihat pada tabel 3. Poses memahamkan empat elemen SC dalam 4

pertemuan dengan membaca MC yang sama menyebabkan pemahaman dan

kemampuan menulis siswa terpotong-potong. Karena itu, pda siklus II dan III

proses pembelajaran dilakukan dalam dua tahap. Untuk kebutuhan praktis juga

maka ringkasan proses tindakan ini tidak akan dijelaskan lebih lanjut dan hanya

akan diruraikan siklus I, III dan IV saja sebagimana terlihat pada tabel 3, 4 dan

tabel 5 di bawah ini. Namun, penyusunan dan pelaksanaan rancangan tindakan

yang dilakukan didasarkan pada fakta empiris dan hasil refleksi setiap siklus.

Masing-masing siklus mendasari perubahan dan perencanaan pada siklus

berikutnya. Pada siklus IV siswa sudah dianggap mampu menulis cerita melalui

prosedur PMC berdasarkan GWP yang telah mengalami penyempurnaan

berdasarkan temuan fakta dan refleksi siklus I sampai II.

25
B. Pembahasan

1. Pemahaman dan Penentuan Tema Cerita

Paparan hasil PMC berdasarkan GWP di fokuskan pada deskripsi yang

berkaitan dengan kemampuan menentukan SC meliputi (1) tema cerita, (2)

pelaku dan perwatakan, (3) latar cerita, dan (4) penyusunan rangkaian cerita.

Perkembangan kemampuan ini terlihat dari siklus I sampai siklus IV dengan

gambaran hasil sebagai berikut.

Pada siklus I sampai IV ada kecenderungan bahwa siswa sudah

memahami penggarapan SC melalui kegiatan membaca model dan menelaah

penggarapan SC dalam model. Ini menbuktikan adanya internalisasi siswa

dengan teks bacaan.

Kemampuan menentukan tema cerita dan pengembangannya pada

siklus I terlihat masih meniru model (33,33%. Peniruan dilakukan dengan

varisasi yang berbeda. Ada siswa yang meniru tema secara utuh dengan tema,

judul, penokohan, latar, danrangakian cerita yang sama sebagaimana terlihat

dalam data berikut.

“Lingkungan Sekolah”

Pada hari sabtu anak kelas 4 ditugaskan oleh ibu guru untuk kerja bakti …

Ajat adalah anak terbandel di kelasnya… Pada waktu kerja Ajat mengganggu

Muna …. Ajat mendengarkan Pak Suafi waktu pelajaran Agma. 2 jam

sesudah pelajaran Agama Ajat sadar … ia menyesal atas perbuatannya.

(HM1-Wh).

26
Dari ringkasan cerita di atas terlihat siswa menulis cerita dengan tema,

penokohan, latar, dan rangkaian cerita denganmeniru model cerita 1 (MC1)

sebagai berikut.

“Di kalangan teman-temannya Imron terkenal bandel … mereka harus bekerja

membersihkan lingkungan sekolah … dengan geramnya Imron mencabut

bunga mawar yang di tanam Reni … guru Agama yaitu Pak Mustaqim

menjelaskan tentang tata cara bergaul yang baik … tanpa diduga Imron maju

ke depan kelas. “Teman-teman maafkan saya” …

Meskipun ada peniruan, 57, 14% siswa dapat menentukan tema

berdasarkan ide sendiri seperti terlihat dalam cluster berikut walaupun masih

dalam bentuk yang sederhana.

Saya pergi liburan naik kelas

Awal Piknik ke Jakarta Akhir

Saya dan saudara pergi ke Ancol

Isi Saya pulang bersama

Makan pop mie di Ancol saya berenang saya juga pergi ke Sea World.

Cerita-cerita lain “Pergi ke Kebun Binatang” (HM1-Ye) cerita

berkisah tentang pengalaman siswa pergi rekreasi ke kebun binatang bersama

teman-temannya dan guru-guru. Cerita diselipi oleh rangkaian peristiwa yang

27
berkaitan dengan tokoh antagonis. Walaupun tema dan alur cerita berbeda

namun siswa menulis cerita dengan meniru penggarapan pelaku. Begitu juga

dengan “Anak Yang Sombong (HM1-An) dan Piknik ke Jakarta (HM1-Hy)

walaupun bercerita tentang pengalaman berdarmasiwasata atupun situasi saat

mendapat teman baru namun selalu disertai perwatakan pelaku yang nakal

atau bandel lain halnya dengan cerita “Keajaiban (HM1-Gt) dan “Perlawanan

Masyarakat Banten terhadap Penjajah (HM1-Sm) masing-masing siswa

mengembangkan ide dan fantasinya dengan baik. HM1-Gt mengisahkan

tentang keajaiban yang ditimbulkan oleh sebuah pedang ajaib yang bisa

menghilangkan kutukan yang diterima seorang putri. Sementara siswa yang

menulis HM1-Sm mencoba menuangkan pengetahuan sejarah yang

dimilikinya dengan menambahkan unsur imajinasi yang membuat cerita

menjadi lebih padu.

Terdapatnya cerita seperti di atas menunjukan bahwa dalam menulis

cerita siswa dipengaruhi olehhasil kegiatan membaca dan juga didasarkan

pada pengetahuan dan pengalaman yang dipadu dengan kemampuan

mengembangkan imajinasinya sebagaimana terlihat dalam data berikut.

Doom 2 sedang mengendarai mobil antik tiba-tiba dihadang oleh monster

berkepala banteng … Doom 2 terperosik ke ruamh tua yang ada tentara Nazi.

Nazi adalah tentara komunis Jerman Hitler Adolf (penulisan Hitler Adolf

diperbaiki siswa pd tahap refisi (HM1 – Al)).

28
Sementara itu 4,76% siswa telah dpat menulis cerita berdasarkan ide

sendiri. Namun, isi cerita berdasarkan ide sendiri. Namun, isi cerita yang

ditulis ternyata tidak memiliki kesesuaian isi dengan tema yang telah mereka

tentukan. Cerita-cerita tersebut antara lain “Pagi Yang Cerah” (HM1 –Ag) dan

“Menanam Bersama di Sekolah” (HM1-Sk). Dalam cerita itu siswa mencoba

mengungkapkan pengalaman mereka berkaitan dengan kisah yang dialami di

lingkungan keluarga dan teman.

Tema cerita yang ditulis siswa pda siklus I sampai IV antara lain

lingkungan keluarga, teman sekolah, dan teman bermain, keindahan alam,

berteman, dan cara-cara mengahadapi masalah manusiawi. Juga ditemukan

cerita sejarah, fantasi, binatang, cerita horror, petualangan, dan misteri seperti

terlihat dalam data berikut.

“Aryati sedang bermain di laut, dia bersedih karena berambut hitam … dia

ingin berambut pirang. Tiba-tiba datang seorang peri dan berkata”jangan

bersedih gadis kecil. Ini aku beri mahkota …. (HM 2-Nn).

Cerita fantasi dalam HM 2-Nn menggambarkan kemampuan siswa

mengembangkan imajinasinya. Siswa juga mampu menggambarkan

bagaimana memberi dan menerima kasih sayang terhadap binatang serta kisah

binatang yang seolah-olah berperilaku seperti manusia berikut ini.

“Pada suatu waktu di rumah, tikus desa dan tikus kota sedang menyapu

halaman … tikus kaya memamerkan kekayaannya… (HM 3-An).

29
Dalam modeling (imitating written sample) (Myers dan Grey dalam

Norton, 1994: 144), siswa melakukan kegiatan membaca model tulisan.

Banyak pendekatan pembelajaran menulis menyediakan model tulisan orang

dewasa sebagai model tulisan bagi anak. Model cerita diberikan kepada anak

beberapa kali sampai pada akhirnya anak dapat menulis cerita berdasarkan

model yang dibuatnya sendiri (Blakburn, 1982). Pada awalnya anak dapat

menulis cerita berdasarkan peniruan pada model yang diterapkan dalam

variasi bahasa sendiri, menulis cerita dengan meniru penokohan yang ada

dalam cerita, atau meniru pengorganisasian tulisan model dengan mengganti

topoiknya sampai pada akhirnya dapat menulis cerita berdasarkan modelnya

sendiri. Hal ini dilakukan sebelum memiliki keterampilan untuk berpikir

terus-menerus. Kemampuan siswa menentukan tema cerita terlihat dalam

tabel berikut.

Tabel 5

Kemampuan Siswa Menentukan Penggarapan Tema Cerita

Jumlah Siswa (%)


No Kategori Kemampuan
Siklus I Siklus II Siklus III Siklus IV
1 Meniru Model 33,33 25,00 0,00 0,00
2 Menceritakan kembali isi cerita 4,76 10,00 5,56 0,00
yang pernah dibaca
3 Tema tidak sesuai dengan isi 4,76 0,00 0,00 0,00
karangan
4 Ide sendiri, isis cerita sesuai tema 57,14 65,00 94,00 100,00

30
2. Kemampuan Penggarapan Pelaku dan Perwatakan

Berdasarkan hasil karangan siswa, diperoleh data bahwa 9,52% siswa

menetukan variasi pelaku dan perwatakannya hanya dengan menyebutkan

pelaku yang antagonis dan protagonis tanpa memberikan penjelasan dan

penggambaran wataknya. Namun pada siklus ini pada dasarkan 19,05% siswa

menggambarkan perwatakan pelaku dalam MC yang dibaca siswa (47,62%)

terlihat dalam data berikut.

“Pada waktu di kelas Titin mencuri penggaris karena Titin dendam kepada

Rina (HM1-An).

Sifat tokoh Titin dlam HM1-An sama dengan tokoh Imron dalam

model cerita I (MC 1) beriktu ini.

“Di kalangan teman-temannya Imron tekenal bandel….. Seorang teman

purtinya menangis terisak-isak karena penggarisnya disembunyikan Imron.”

Pada dasarnya adanya penokohan dalam cerita yang ditulis siswa

didasarkan pada pemahaman mereka bahwa dalam cerita selain tokoh baik

ada juga tokoh yang jahat/tidak baik. Siswa menjelaskannya melalui dialog

dan lakuan (gambaran perilaku). Sebagaimana terlihat dalam data berikut.

“Laila menasehti Ani …. Ani membantah, ia bilang untuk apa bertanya. Laila

pun tak mau kalah … Ani pun mengambil pengaris dan memukulkannya

kepada Laila. Laila pun menangis. (HM 3-E1).”

Hal yang sama telihat dalam HM1-Ye berikut ini.

31
“Apakah kamu mau memberikan makanan untuk kera itu?, Tanya Titi. “Apa,

aku memberimu makanan kera? Ha … ha … ha ….” Jangan begitu, kalau

tidak mamu memberi yang sudah.” ….. lalu Didi memukul Titi…… (HM 2-

Ye).

Perwatakan pelaku juga dilakukan siswa melalui penggambaran

penampilan pelaku berikut ini.

“Putri akan dinikahkan dengan pangeran, sungguh pasangan yang cocok. Purti

cantik dan anggun dan juga baik hati dan pangeran tampan juga gagah

perkasa. (HM 1-Yt).

Pada siklus II kemampuan siswa menggambarkan watak pelaku

melalui keadaan fisik dan lingkungannya dapat terlihat dalam cerita Hantu

Jadi-jadian (HM2-Gt) berikut ini.

“Pak Bambang tiba-tiba mencium bau belerang ….. di balik pepohonan tiba-

tiba muncul orang laki-laki berbaju putih berambut panjang, matanya

berwarna hitam…… laki-laki itu adalah hantu jadi-jadian yang dibunuh di

hutan …… (HM 2-Gt).

Melalui penampilan yang digambarkan, siswa ingin mengungkapkan

bahwa hantu jadi-jadian adalah sosok yang menakutkan sebagaimana juga

terlihat dalam cuplikan berikut.

“ ………. Tanggnya panjanng, kukunya panjang wajahnya seperti monster,

rambutnya panjang matanya merah, dan tidak berkaki……… (HM 3-As).

32
Selain watak tokoh yang baik dan jahat, siswa menggambarkan tokoh

penakut melalui dialog seperti terlihat dalam data berikut.

“Rudi pun mencari dombanya kesemak-semak bertemu laki-laki bermata

seram…..” I….i ….iya,” kata Rudi ….. “Tu ….. tunggu, apa kesalahan saya

hingga anda akan mengubah saya menjadi Domba”, Kata Rudi (HM3-Krt).

Pada siklus IV data karangan siswa menunjukkan adanya

penggambaran watak pelaku melalui hal-hal yang dipikirkan pelaku sebagai

berikut.

“Saya sekarang tahu bahwa sudah biasa menabung. Tapi yang saya

bingungkan mengapa aku menabung untuk apa uangnya ya?”Waduh saya kok

lupa bahwa saya harus menjemput ayah ke airport”, kata saya dalam hati (HM

4-Nn).

Namun siswa tidak tahu kalau dia melakukan penggarapan dengan

cara di atas karena sati kegiatan konferensi dilakukan diketahui ia menulisnya.

Adapun perkembangan kemampuan siswa menentukan pelaku dan

perwatakannya dapat dilihat dalam table 7 berikut.

33
Tabel 7

Kemampuan Siswa Menentukan Penggarapan Pelaku dan Penokohan

Jumlah Siswa (%)


No Kategori Siklus Siklus Siklus Siklus
I II III IV
1 Tidak ada penggarapan 9,52 5,00 0,00 0,00
perwatakan pelaku. Hanya ada
pelaku yang baik dan jahat.
2 Penggarapan perwatakan pelaku 47,62 20,00 0,00 0,00
dengan meniru model
3 Melalui pengungkapan hal-hal 23,81 25,00 33,33 50,00
yang diucapkan pelaku (dialog).
4 Melalui penggambaran perilaku 19,05 35,00 38,89 43,75
tokoh (lakuan ).
5 Melalui penggambaran fisik 0,00 15,00 16,67 0,00
pelaku/lingkungan tempat pelaku
berada.
6 Melalui penggambaran tentang 0,00 0,00 11,11 6,25
hal-hal yang dipikirkan pelaku.

3. Kemampuan Penggarapan Latar Cerita

Berdasarkan hasil karangan siswa diperoleh temuan bahwa siswa

sudah memiliki pemahaman latar cerita dan kemampuan menggarap latar

cerita dalam cerita yang ditulisnya. Berkaitan dengan latar cerita, penggarapan

dibedakan menjadi tiga yakni latar tempat, waktu, dan suasana cerita.

Penggarapan latar tempat dilakukan siswa dengan menggambarkan keadaan

tempat sesuai dengan tema cerita, ada tempat yang nyata ada juga yang

unik/fiktif seperti telihat dalam data berikut.

“Ada sebuah rumah yang mewah dan bertingkat. Rumah itu dihuni oleh Amir

….. (HM1-Ye).

34
Kata “mewah” dan “bertingkat” menunjukan latar tempat berupa

sebuah rumah dalam keadaan yang sesuai dengan apa yang siswa maksudkan,

bukanlah rumah yang gubuk yang kecil tetapi sangat mewah. Untuk jenis

cerita fantasi siswa menetapkan latar tempat secara unik/fiktif seperti dalam

data berikut.

“Pada jaman dahulu ada sebuahpuri yang megah. Puri tersebut dinamakan

istama mebe (HM1-Nn).

Penentuan “Puri” dan “mebel” menunjukan imajinasi dan kreativitas

siwa dalam menentukan latar tempat sesuai cerita yang ditulisnya.

Sementara itu menentukan latar waktu terbagi menjadi periode waktu

masa sekarang dengan variasi periode waktu pagi hari, siang, dan sore/malam

hari.

“Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, kini Andi

dan Suci talah besar (HM1-Krt).

“Pada hari Sabtu sepulang dari Gresik saya pulang ke Jakarta. Saya berangkat

pada siang hari ….. (HM1-Hy).

Lebih lengkapnya untuk latar waktu masa sekarang dengan periode di

atas dapat dilihat dalam data berikut.

“Pada hari Minggu saya pergi ke kebun binatang dan ke Kenjeran.

Berangkatnya jam 08.00 pagi (HM3-Hy).

“Pada malam hari saat malam bulan purnama tiba-tiba telur jatuh di atas tikus

(HM3-Rn).

35
“Pada hari Kamis malam Jum’at Kliwon ada sebuah benda jatuh dari

langit….. (MH3-As).

Didasarkan pada tema-tema fantastis yang biasanya terjadi di masa

lampau maka siwa menggunakan latar waktu sebagai berikut.

“Pada jaman dahulu ada sebuah puri namanya puri mebel (HM2-Nn).

“Pada jaman dahulu kala hewan dapat berbicara. Ada hewan yang

bermusuhan yaitu elang dan tikus (HM3-Yg).

Berkaitan dengan penentuan suasana cerita, dari siklus I sampai IV

terlihat adanya suasana cerita yang variatf. Variasi suasana penetapan cerita

tersebut meliputi cerita dengan suasana menyedihkan, menggembirakan,

menakutkan, menjengkelkan, dan misterius. Kemampuan siswa menentukan

latar cerita ini dapat dilihat dalam tabel 8.

36
Tabel 8

Kemampuan Siswa Menetukan Penggarapan Latar Cerita

Jumlah Siswa (%)


No Kategori Kemampuan Siklus Siklus Siklus Siklus
I II III IV
1 Tempat
1.1 Nyata 76,47 85.00 89.47 97.74
a. Penggambaran keadaan 9,52 25.00 33.33 0.00
tempat
b. Penyebutan tempat tanpa 90,48 75.00 66.67 100
penggambaran 23,53 15.00 10.53 5.26
1.2 Unik/Fiktif
2 Periode Waktu
2.2 Masa sekarang: pagi, siang, 76,19 66.67 84.21 94.12
sore hari 19,05 27.78 15.79 5.88
2.2 Zaman dahulu 4,76 5.56 0 0
2.3 Masa yang akan datang
3 Suasana
3.1 Sedih 13,33 22.22 22.73 14.29
3.2 Gembira 60 44.44 31.82 85.71
3.3 Menakutkan 0 11.11 13.64 0
3.4. Misterius 6,67 11.11 13.64 0
3.5 Menjengkelkan 20 11.11 18.18 0

4. Kemampuan Menyusun Rangkaian Cerita

Pada umumnya siswa menulis cerita dengan rangkaian cerita yang

runtut, tetapi ada juga yang menyusunnya secara tidak lengkap misalnya cerita

tidak ada bagian akhirnya. Selain itu ada juga siswa yang menyusun cerita

secara lengkap tetapi tidak runtut. Susuna rangkaian cerita dengan urutan

peristiwa yang lengkap dan runtut telihat dalam data berikut.

“Pada hari minggu saat aku berdiam diri, tiba-tiba ayah mengajaku ke sawah

…. Sebelum berangkat aku menyiapkan peralatan…. Di sawah aku …

37
kemipun beristirahat di gubuk…. Hari sudah sore kamipun pulang dengan

rasa gembira (HM1-Ya).

Penggalan cerita “Pergi Ke Sawah” (HM 1- Ya) memuat rangkaian

cerita yang runtut. Keruntutan ditandai oleh penanda yang membedakan

antara awal cerita, bagian tengah atu isi cerita, dan bagian akhir cerita.

Pada cerita-cerita lainnya siswa juga menggarap rangkaian cerita

dengan urutan awal, tengah/isi cerita, dan akhir cerita. Dalam bagian awal

cerita umumnya diungkapkan suatu masalah yang dialami atau disebabkan

oleh salah satu tokoh dalam cerita tersebut. Selanjutnya pada bagian tengah

yang memuat isi cerita diungkapkan urutan peristiwa yang melatarbelakangi

tercapainya sutau alternatif pemecahan masalah. Dan pada bagian akhir, cerita

ditutup dengan penyajian alternatif pemecahan. Sebagaimana terlihat dalam

cerita”Kebaikan” (HM1-Sk).

Data karangan siswa menunjukkan bahwa penggarapan rangkaian

siswa menunjukkan bahwa penggarapan rangkaian cerita dilakukan siswa

dengan cara menentukan cerita menjadi bagian awal, tengah/isi, dan pada

bagian akhir. Untuk menunjang cerita baik cerita bagian awal, isi, maupun

bagian akhir, maka siswa menyusun urutan peristiwa yang saling terkait

dalam bentuk alur cerita sehingga membentuk cerita dengan bagian awal yang

berisi masalah yang dikemukakan penulis. Selanjutnya bagian tengah atu isi

cerita berisi urutan peristiwa yang menceritakan kejadian-kejadian yang

mendukung masalah yang diungkapkan pada bagian awal cerita. Kemudia

38
pada bagia akhir siswa baru mengemukakan alternatif pemecahan amalsah

yang diuraikan secara rinci sampai pada akhir cerita secara jelas.

Berdasarkan urutan peristiwa yang ditunjang oleh penggarapan

penokohan serta penggambaran latar cerita, diperoleh hasil karangan yang

baik. Sebagai contoh, berkaitan dengan penulisan cerita dengan tema yang

menuntut adanya masalah maka sebagian besar siswa sudah dapat

menentukan hal-hal yang menyebutkan suatu peristiwa dalam cerita itu tejadi.

Kalimat “Kejadian itu disebabkan oleh pak Diran yang sedang mabuk. Setiap

hari Pak Diran memang menghambur-hamburkan uangnya untuk mabuk-

mabukkan,” bila dikaitkan dengan judul cerita yakni “Tabrak Lari 1” (HM3-

Wy) maka dapat disimpulkan bahwa siswa sudah memahami bahwa suatu

sebab maka akan diserai suatu akibat yang ditimbulkannya.

Contoh di atas menggambarkan bahwa kebiasaan Pak Diran yang suka

mabuk-mabukkan dan menyetir mobil sambil mabuk serta kebiasaan ngebut

saat mengendarai mobil dapat menyebabkan suatu kecelakaan yang bisa

menyebabkan seseorang meninggal. Hal ini menunjukan pemahaman siswa

tentang fakta dan sebab-sebab suatu peristiwa. Hal serupa ditemukan pada

karangan siswa lainnya yakni karangan dengan tema yang memuat masalah

yang memperlihatkan hubungan sebab akibat sebagaimana dimuat dalm cerita

“Berakhirnya Sebuah Persahabatan”. Dalam cerita ini siswa menguraikan

bagaiman suatu pertengkaran kecil dua oran ggadis yang bersahabat menjadi

39
berakhir hanya karean campur tangan kedua orang tua sehingga pertengkaran

mereka mengakibatkan berakhirnya persahabatan keduanya.

Pada sisi lain, dasri cerita yang dibuat siswa juga ditemukan urutan

peristiwa yang menggambarkan kemampuan siswa mengungkapkan ketepatan

perlilaku yang dilakukansetiap tokoh, dala cerita “Tabrak Lari 2” (HM2-Gt)

diungkapkan suatu peristiwa tabrak lari yang menyebabkan kematian

seserong. Pada saat kejadian terdapat dua orang saksi yakni anak yang

bernama Agus dan Wanto. Melihat kejadian tersebut keduanya merasa takut

melihat korban yang terkapar sudah menjadi mayat. Namun, akhirnya mereka

memutuskan untuk menolong korban kecelakaan tersebut sebagaimana

tergambar dalam cuplikan berikut.

“….Kebetulan Agus dan Wanto baru pulang dari Anton. Merea melihat

kecelakaan itu dan mau menoling orang yang ditabrak. Ternyata orang yang

ditabrak meninggal dan Agus dan Wanto merasa takut …. Akan tetapi mereka

menahan takut itu…… (HM2-Gt).

Selain berkaitan dengan hal di atas, siswa juga menulis cerita yang

mengungkapkan urutan peristiwa yang saling mendukung yang dilengkapi

dengan dialog yang menunjang. Siswa menentukan kejadian-kejadian yang

didasarkan pada prediksinya tentang suatu cara yang dapat digunakan sebagai

jalan pemecahan dari masalah yang dihadapinya. Hal ini dapat dilihat dlam

cuplikan cerita petualang berjudul “Tersesat di Hutan” seperti tetlihat dalam

uraian berikut.

40
“Keesokan harinya mereka sepakat untuk pulang pagi hari karena liburan

telah usai….. mereka tersesat, Karena hutannya sangat lebat maka mereka

tidak bisa menemukan jalan ke luar hutan….. “Hai teman-teman aku sudah

dapat akal yaitu kelilingi saja hutan ini”, kata Yanto. “Setuju”, kada Didi dan

Andi…. Setelah itu mereka sampai kerumah mereka masing-masing (HM2-

Sm).

Dari cerita HM2-Sm di atas, tergambarkan bahwa penulis sudah dapat

memprediksikan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh tokoh yakni

tindakan yangakan mengasilkan suatu pemecahan masalah yang diyakini

dapat berhasil.

Berdasarkan urutan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menulis

cerita siswa dapat menyebutkan fakta-fakta, menentukan sebab-sebab suatu

peristiwa, menentukan tepat tidaknya keputusan dalam menentukan urutan-

urutan kejadian menentukan serta menyusun peristiwa dalam suatu rangkaian

cerita secara lengkap.

Dengan demikian saat menulis cerita-cerita di atas secara tidak

langsung siswa sudah memperlihatkan kemampuan yang mengarahkan pada

proses berpikir. Pada saat proses menulis cerita dandari hasil karangan siswa,

terlihat bahwa saat tulisannya menyebutkan fakta, menentukan sebab-sebab

suatu peristiwa dalam suatu rangkaian cerita secara lengkap. Proses berpikir

kritis juga terlihat saat siswa menentukan tepat tidaknya keputusan yang

diambil pelaku (HM2-Sm).

41
Ketepatan prediksi siswa dalam menentukan urutan kejadian-kejadian

dalam cerita yang ditulisnya juga memberikan gambaran apakah mereka

melakukan proses berpikir prediktif. Pada akhirnya proses berpikir kreatif

siswa juga dapat dilihat dari kreativitas siswa menususn hubungan sebab

akibat dalam peristiwa yang disusun dalam rangkaian peristiwa cerita.

Kemampuan siswa menentukan penggarapan rangkaian cerita dapat

dilihat dalam tabel 9 berikut ini.

Tabel 9

Kemampuan Siswa Menentukan Penggarapan Rangkaian Cerita

Jumlah siswa (%)


No Kategori Kemampuan Siklus Siklus Siklus Siklus
I II III IV
1 Tidak lengkap 9.52 5 0 0
2 Tidak runtut 0 10 0 0
3 Runtut dan lengkap 90.48 85 100 100

42
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran menulis cerita berdasarkan GWP

terwujud berkat terciptanya peristiwa pembelajaran sebagai suatu bentuk

interaksi sosial budaya secara optimal. Peristiwa pembelajaran demikian

ditandai oleh guru sebagai designer, motivator, fasilitator, evaluator, model,

guider, dan instruktur. Lebih dari itu guru juga berperan sebagai stimulan

yakni sebagai penghadir gejala ataupun fakta berkenaan dengan suatu yang

harus depelajari siswa. Fakta/gejala yang dihadirkan tadi berupa cerita

sebagai model, chart sebagai media, gambaran dari sesuatu yang akan

digarap, dan pemilihan fokus pembelajaran yang sesuai dengan tingkat

perkembangan anak. Selain itu, guru juga berperan sebagai penghubung

antara dunia pengalaman anakdengan sesuatu/dunia yang akan merka pelajari.

Keseluruhan peran guru di atas merupakan dasar terciptanya proses

pembelajaran secara kolaboratif, kooperati, dan maksimalisasi peran guru

sebagai pembimbing yang berperan aktif dalam guided participation. Dalam

hal ini guru berperan sebagai scaffolding bagi siswa dalam mencapai

pamahaman, pengetahuan, dan keterampilan belajarnya, dalam hal ini

keterampilan menulis.

43
2. Ditinjau dari segi siswa, keberhasilan di atas terbentuk oleh terdapatnya

kesesuaian antara fakta, gejala atau sesuatu yang dipelajari dengan tingkat

perkembangan sosial-budaya anak. Terdapatnya kesesuaian tersebut memberi

peluang terjadinya internalisasi berkenaan dengan sesuatu pengetahuan dan

pengalaman yang dimiliki, dan kombinasi dari sesuatu yang dipelajari secara

utuh. Dalam konteks ini keterampilan yang dimaksud adalah ketarampilan

menulis cerita.

B. Saran

Dari hasil penelitian yang diperoleh dari uraian sebelumnya agar proses

belajar mengajar Bahasa Indonesia lebih efektif dan lebih memberikan hasil yang

optimal bagi siswa, makan disampaikan saran sebagai berikut:

1. Untuk melaksanakan pembelajaran terbimbing memerlukan persiapan yang

cukup matang, sehingga guru harus mempu menentukan atau memilih topik

yang benar-benar bisa diterapkan dengan cara belajar aktif model pengajaran

terarah dalam proses belajar mengajar sehingga diperoleh hasil yang optimal.

2. Dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa, guru hendaknya lebih

sering melatih siswa dengan kegiatan penemuan, walau dalam taraf yang

sederhana, dimana siswa nantinya dapat menemukan pengetahuan baru,

memperoleh konsep dan keterampilan, sehingga siswa berhasil atau mampu

memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.

44
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:

Rineksa Cipta.

Baskoff, Florence. 1975. “A Writing Laboratory for Beginning Student of English”.

The Art of TESOL English Teaching Forum Part Two. Wasington,

DC. Vol. XII Numbers 3 & 4: 227-232.

Richard Brown, Harcleroad. 1977. Instructions, Technology, Media, and Methods.

Mc Grow-Hill Book Company.

Ellis, Arthur. 1989. Elementary Languager Arts Instructions. New Jersey: Prentice

Hall.

Funk, Robert. et.al. 1989. Option for Reading and Writing. New York: McMillan.

Hamp-Lyons dan Hasley. 1987. Study Writing Cambridge: Cambridge University

Press.

Heller, Marry F. 1991. Reading Writing Connections from Theory to Practice. New

York: Logman Publishing Group.

Huck, Charlotte S. 1987. Children Literature in the Elementary Scholl. New York:

Hall; Rinerhart.

Konopak, B, C, M, A. Martin, dan S.H. Martin. 1978. “Reading and Writing to

learning in the Content Areas”. Journal of Reading. 31: 109-115.

Mason, Jana F. 1989. Reading and Writing Connections. London. Universitu of

Illinois at Urbana.

45
Norton, Carol both. 1992. Thinking/Writing Fostering Critical. USA. Harper Collins

Publisher.

Papas, Christine C. dkk. 1985. An Intergrated Language Perspective in The

Elementari School. London: Longman.

Riduwan. 2004. Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru-Karyawan dan Peneliti

Pemula. Bandung: Alfabeta.

Robinson, Alan H. dan Nila B. Smith. 1980. Reading Instructions for Today’s

Children. Prentice Hall International USA.

Routman, Regie. 1994. Invitations: Changing as Teachers and Learners K-12.

Heinenmann Portmouth, NH.

Shanahnan, Timothy. 1990. Reading and Writing Together: New Perspective for the

Classroom. Christopher – Gordon Publisher, Inc. Norword.

Slager, William. 1975. “Classroom Techniques for Cotrolling Composition”. Te Art

of TESOL. Wasington DC. Vol. XIII No. 3. hal,, 221-226.

Smith, C. dan T.W. Bean. 1980. A Writing Procedure: Integrating Content Reading

and Writing Improvement. Reading Word Bol. 31. 290 – 298.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2004. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Spodek, Bernard, L. Saracho, dan Olivia W. 1994. Right from the Start Teaching

Children Three to Eight. Boston: Allayn and Bacon Inc.

Tompkins, Gail E. 1994. Teaching Writing: Balancing Process and Product.

McMillan College Publishing Company, Inc.

46
47

You might also like